Perkembangan Pendidikan Pada Zaman Reformasi
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan sebagai suatu proses berkesinambungan yang ada sejak manusia
itu ada, memiliki suatu perkembangan yang dinamis sesuai dengan jiwa zaman
(zeitgist) dalam suatu masa tertentu. Pendidikan mengikuti pola kehidupan
masyarakat dan sistem kebudayaan yang melatarbelakanginya. Sehingga
tidak jarang peralihan atau pergantian dari suatu sistem kekuasaan akan
mengakibatkan pula perubahan substansi dalam bidang pendidikan. Dari zaman
prasejarah, zaman kuno, zaman pertengahan sampai pada zaman modern pendidikan
mengalami suatu perubahan secara dinamis sampai pada rezim orde baru di bawah
kekuasaan Soeharto.
Setelah Rezim orde baru mengalami keruntuhan pada tahun 1998 maka
dimulaialah suatu zaman perubahan (Reformasi) yang tentu saja ikut merubah tatanan
sistem pendidikan di Indonesia. Ketidakteraturan politik, ekonomi, sosial dan budaya
Indonesia pada saat itu hingga sekarang mengalami perubahan – perubahan secara
signifikan. Seiring dengan hal tersebut, pendidikan juga tidak terlepas dari dampak
perubahan politik. Untuk mengkaji dan mengidentifikasi permasalahan tersebut, maka
kami mencoba memaparkan hasil tinjauan pustaka mengenai perkembangan
pendidikan pada jaman reformasi hingga sekarang.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana sistem pendidikan orde reformasi
Apa saja perubahan yang berdampak langsung pada masyarakat
3. Tujuan Penulisan
Mengetahui sistem pendidikan pada zaman orde reformasi
Merasakan dampak langsung dari perubahan sistem pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Pendidikan
pemerintahan daerah. Lebih lanjut, tantangan yang berkaitan dengan regulasi adalah
kondisi UU No. 2/1989 tentang sistem pendidikan nasional (UU SPN) yang menganut
manajemen pendidikan sentralistis/k dan masih lebih menitikberatkan penyelenggaraan
pendidikan pada pemerintah, yang tidak lagi sesuai dengan prinsip otonomi daerah.
Dari segi kualifikasi tenaga guru di Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini
ditunjukkan oleh statistik sebagai berikut: dari jumlah guru SD sebanyak 1.141.161
orang, 53% diantaranya berkualifikasi D-II atau statusnya lebih rendah. Dari jumlah
guru SLTP sebanyak 441.174 orang, 36% berkualifikasi D-II atau lebih rendah, 24,9%
berijasah D-III kemudian dari 346.783 orang guru sekolah menengah, sebanyak 32%
masih berkualifikasi D-III atau lebih rendah statusnya. Sementara itu pengangkatan
tenaga pendidik yang baru setiap tahun hanya dipenuhi 25% dari usulan kebutuhan
akan tenaga pendidik (Soearni, 2003: 396 – 397).
Implikasi dari situasi bangsa Indonesia seperti itu adalah dalam waktu kurang
dari satu dasawarsa ini sering terjadi pergantian kabinet sesuai dengan presiden yang
berkuasa. Hal ini tentu saja membawa dampak secara tidak langsung terhadap sistem
pendidikan di Indonesia. Pergantian kabinet, termasuk menteri pendidikan nasional
dapat berdampak seringnya terjadi pergantian kurikulum pendidikan yang diterapkan di
seluruh Indonesia.
B. Periodesasi Pemerintahan
Pada era pemerintahan Habibie masih menggunakan kurikulum 1994 yang
disempurnakan sampai pada masa pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan
Megawati terjadi beberapa perubahan tatanan di bidang pendidikan, antara lain :
a. Dirubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2000 dan akhirnya disempurnakan
menjadi kurikulum 2002 (KBK). KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan
kurikulum yang pada dasarnya berorientasi pada pengembangan tiga aspek utama,
antara lain aspek afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (ketrampilan).
b. Pada tanggal 8 juli 2003 disahkannya Undang – undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan dasar hukum untuk membangun
pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi,
keadilan dan menjunjung Hak Asasi Manusia.
Menurut Lembaran Negara Nomor 4301 Pendidikan dalam UU Republik
Indonesia No. 20/2003, pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk
memperbaharui visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi dari
pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Adapun misi dari pendidikan nasional
adalah sebagai berikut :
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperleh pendidikan dan
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
d. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat
pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan nilai
berdasarkan standar nasional dan global.
e. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemudian setelah Megawati turun dari jabatannya dan digantikan oleh Susilo
Bambang Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun pada masa SBY
juga ditetapkan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Penetapan Undang –
undang tersebut disusul dengan pergantian kurikulum KBK menjadi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini berasaskan pada PP No. 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan kurikum operasional yang
disusun dan dilaksanakan oleh masing – masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat
satuan pendidikan, kalender pendidikan serta silabus (BSNP, 2006: 2). KTSP
dikembangkan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan pesrta didik
serta lingkungan.
b. Beragam dan terpadu.
c. Tanggapan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan.
f. Belajar sepanjang hayat.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Tujuan pendidikan KTSP :
a. Untuk pendidikan dasar, diantaranya meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
b. Untuk pendidikan menengah, meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian,
akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut.
c. Untuk pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Pendidikan pada zaman reformasi mengalami suatu perkembangan yang pada
dasarnya lebih maju daripada pendidikan pada zaman orde baru. Pendidikan pada
zaman reformasi mengutamakan pada perkembangan peserta didik yang lebih terfokus
pada pengelolaan masing – masing daerah (otonomi pendidikan). Dalam hal tenaga
kependidikan diberlakukan suatu kualifikasi profesional untuk lebih meningkatkan mutu
pendidikan Indonesia. Sedangkan sarana dan prasarana juga sudah mengalami suatu
peningkatan yang baik. Namun daripada hal tersebut pendidikan yang ada di Indonesia
masih belum mengalami suatu pemerataan. Ini terlihat dari adanya beberapa sekolah –
sekolah terutama di daerah pedalaman masih terdapat keterbatasan dalam berbagai
aspek penyelenggaraannya. Dinamika sosial politik Indonesia yang juga berdampak
pada perubahan kurikulum merupakan suatu bentuk penyempurnaan dalam bidang
pendidikan untuk meningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
B. Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i
berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: PSNP
Ricklefs, M. C. 2001. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta
Soearni, Eddy. 2003. Pengembangan Tenaga Kependidikan pada Awal Era Reformasi
(1998-2001) dalam “Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak
Jaman Kolonial Hingga Era Reformasi”. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI,
Dirjen Dikdasmen, Direktorat Tenaga Kependidikan
Suyanto & Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Millenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, kultural, dan politik, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan sangat strategis. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan namun demikian sampai sejauh ini belum menampakkan hasil. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di Indonesia dapat dikatakan senantiasa mengalami kegagalan dalam menjawab problem masyarakat ? "Kegagalan" pembaharuan pendidikan tersebut dikarenakan penentu kebijakan tidak sinkron dalam mengimplementasikan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial.
Krisis multi dimensi yang di-alami bangsa Indonesia belum sepenuhnya teratasi sehingga memberikan dampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Terobosan baru dalam dunia pendidikan harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi permasalahan pendidikan, dengan kata lain reformasi pendidikan merupakan suatu "imperative action".
Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan majemuk sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk me-ngembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan pe-ningkatan kualitas pendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efsien dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam reformasi tersebut yang perlu dilakukan adalah identifkasi masalah yang menghambat pelaksanaan pendidikan dan perumusan reformasi bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan.
Reformasi pendidikan harus berdasarkan pada realitas lembaga pendidikan yang ada, bukan berdasar pada jargon-jargon pendi-dikan semata. Maka reformasi pendidikan tersebut hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang valid, sehingga dapat dikembangkan program reforma-si yang utuh, jelas dan realistis.
empat dimensi yaitu : dimensi kultural-fondasional, politik kebijakan, teknis operasional, dan dimensi kontekstual.
Dimensi kultural fondasional berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma pendidikan, seperti apa sekolah/lembaga pendidikan itu? Siapa pengajar/ dosen? Seberapa jauh materi yang harus dipelajari anak didik? dan siapa siswa itu? serta siapa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol institusi sekolah tersebut? Maka jawaban atas pertanyaan tersebut akan dapat menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan komponen institusi pendidikan seperti pimpinan lembaga pendidikan, tenaga pengajar, pegawai administrasi, siswa dan orang tua siswa yang bersang-kutan.
Secara khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa/anak didik dalam proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan tersebut. Perubahan pada diri anak didik tersebut sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri staf pengajar dalam melaksanakan proses belajar-mengajar khususnya, dan perubahan iklim lembaga pendidikan tersebut pada umumnya.
Perubahan perilaku tenaga pe-ngajar/guru/dosen merupakan perubahan pada aspek teknis yang disebabkan oleh aspek politik. Namun demikian reformasi pendidikan tidak lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik, melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Tetapi sayang-nya, aspek kultural merupakan suatu yang bersifat relatif abstrak dan sulit untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan tersebut merupakan inti dari reformasi pendidikan. Berkaitan dengan dimensi kultural tersebut, lembaga pendidikan harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi dan kebijakan (organik). Lazimnya sebagai suatu sistem organik, lemba-ga pendidikan dapat dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang didekati dengan sistem "thin-king" , artinya dalam pengelolaannya lembaga pendidikan harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Dengan pendekatan sistem "thinking" tersebut dapat di identifkasi struktur, umpan balik dan dampak seperti : keterbatasan perubahan pendidkan, pergeseran sasaran reformasi pendidikan, dan perkembangan pendidikan.
BAB II
PENDIDIKAN DI ERA REFORMASI.
konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.
Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Pancasila, UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justru tidak ada yang mengerjakan.
Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di Departemen Pendidikan (Depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat lokal sebagai wujud pembentukan budaya lokal, dan kearifan lokal.
Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfkir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?
Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfkir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam flsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatiftas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena flsafat pendidikannya berbeda.
untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan
Dimensi Politik-Kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh (termasuk negoisasi) untuk memecahkan konfik-konfik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan dan setiap kebijakan saling melengkapi serta menuju sasaran utama yaitu meningkatkan kemajuan pendidikan.
Dimensi politik ini tidak sekedar hak-hak politik warga sekolah/institusi pendidikan, khususnya tenaga pengajar/guru/dosen dan kepala sekolah/rektor, tetapi mempunyai pengertian yang luas, yakni penekanan pada kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitannya dengan masya-rakat sekitar. Dengan otonomi tersebut maka keberadaan sekolah/lembaga pendidikan merupa-kan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas.
Keberhasilan reformasi pendidik-an ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru/dosen, dimana guru/dosen me-miliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah/institusi pendidikan / lembaga pendidikan harus diimplementasikan dalam praktek sehari-hari. Selain itu pemberdayaan guru/dosen perlu dilakukan pula melalui pemberian kesempatan dan dorongan bagi mereka untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran (learning) sepanjang waktu bagi tenaga pendidik/guru/dosen merupakan keharusan dan menjadi titik sentral dalam reformasi pendidikan.
Dimensi Teknis Operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan profesionalisme dan tingkat pengetahuan pendidik, atau dengan kata lain aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan kemampuan guru/dosen untuk melaksanakan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan proses belajar-mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi.
mempergunakan pendekatan dan cara belajar yang lebih natural /alami dan menarik. Untuk itu perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan pendidik dan para pakar/ahli agar dapat terjalin komunikasi yang baik sehingga berdampak positif bagi pendidik itu sendiri dalam me-ngembangkan kemampuan dan pengetahuannya.
Dimensi Kontekstual
Pendidikan tidak berproses da-lam suasana vakum dan tertutup, namun terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan aspek-aspek lain diluar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek tersebut antara lain : kepedulian ma-syarakat terhadap pendidikan, perkembangan media masa, dan sistem politik pemerintah.
Keberhasilan reformasi pendidik-an ditentukan juga oleh dukung-an masyarakat, warga masyarakat, khususnya orang tua siswa perlu dilibatkan untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran secara aktif. Maka untuk itu, orang tua siswa dan tokoh-tokoh masyarakat perlu diajak memahami visi dan misi institusi pendidikan tersebut sehingga mereka dapat mengambil peran dalam melaksanakan misi tersebut sesuai dengan keyakinan dan kemampuannya.
Program Aksi Reformasi
Dalam pembahasan sebelumnya kita ketahui bahwa empat dimensi/aspek tersebut secara riil dapat diimplementasikan dalam "action program" dan memberikan dukungan yang signifkan dalam kontribusinya meningkatkan kualitas pendidikan sesuai dengan tujuan reformasi yang diharapkan. Program aksi yang perlu dikembangkan untuk me-nunjukkan tujuan reformasi tersebut dapat diwujudkan dalam matriks analisa reformasi.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Reformasi pendidikan merupakan suatu keharusan walaupun krisis moneter, ekonomi
Reformasi pendidikan yang diperlukan bersifat mendasar dan menyeluruh, menyangkut dimensi kultural, politik, teknis, dan kontekstual.
Kemungkinan adanya resistensi yang menghambat reformasi pendidikan, sehingga reformasi pendidikan perlu mendapat dukungan dari kalangan profesional, orang tua dan masyarakat.
Reformasi pendidikan berhasil jika beban administrasi (non-profesi) tenaga pendidik dikurangi dan lebih menekankan pada aspek teknis profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Don., S. and Biddle, Bruce, J., Knowledge for Policy : Improving Education Trough Research, The Falmer Press, New York, 1991.
Boediono, Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter Terhadap Pendidikan, Pusat Penelitian Sains dan Teknologi, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
Taufk Abdullah, Nasionalisme dan Politik Akademika, No. 02/I,, P. 47-51, 1991
Verspoot, A.M. & Leno, J.L., Improving Teaching. A Key to Succesful. Educational Change. Lessons from the World Bank. A Paper. The Annual IMTEC Seminar, Bali Indonesia ,1986.