ii
Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini berjudul ”Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Guru SMP ”X” Bandung”. Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai kecerdasan emosional guru SMP ”X” Bandung, serta bertujuan untuk mengetahui secara lebih rinci dan mendalam mengenai gambaran setiap aspek dari kecerdasan emosional guru-guru SMP “X” Bandung sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling, dan sampel dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, yang berusia antara 20 hingga 40 tahun. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner kecerdasan emosional yang terdiri dari 36 item. Kuesioner ini disusun oleh peneliti berdasarkan teori kecerdasan emosional dari Salovey (dalam Goleman, 2001). Berdasarkan pengolahan data diketahui bahwa validitas dari alat ukur kecerdasan emosional ini berkisar antara 0.32 hingga 0.85, sedangkan reliabilitasnya sebesar 0.92.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 60% guru SMP ”X” memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dan 40% memiliki kecerdasan emosional yang cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru SMP ”X” memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Pada penelitian ini, faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor keluarga dan usia, dimana guru yang berusia lebih tua memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada guru dengan usia yang lebih muda.
vi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan...i
Abstrak... ii
Kata Pengantar... iii
Daftar Isi...vi
Daftar Tabel...x
Daftar Bagan...xi
Daftar Lampiran...xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Identifikasi Masalah...8
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian...8
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis...9
1.4.2 Kegunaan Praktis...9
1.5 Kerangka Pemikiran...10
1.6 Asumsi...18
vii
Universitas Kristen Maranatha 2.1.2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional...20 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 22 2.1.4 Dua Jenis Pikiran...22 2.1.5 Ciri Utama Pikiran Emosional...23 2.2 Masa Dewasa
2.2.1 Pengertian Masa Dewasa...24 2.2.2 Tugas Perkembangan Masa Dewasa...25 2.2.3 Hubungan Regulasi Emosi - Konteks Perkembangan...26 2.3 Guru
2.3.1 Pengertian Guru...26 2.3.2 Peran dan Fungsi Guru... 29 2.3.3 Kode Etik Guru...32
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian...34 3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Penelitian...34 3.2.2 Definisi Operasional... 34 3.3 Alat Ukur
viii
Universitas Kristen Maranatha 3.4 Populasi Sasaran dan Teknik Sampling
3.4.1 Populasi Sasaran...40
3.4.2 Karakteristik Populasi...40
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel...40
3.5 Teknik Analisis Data...41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden 4.1.1 Jenis Kelamin...42
4.1.2 Usia...42
4.1.3 Pendidikan Terakhir... 43
4.1.4 Lama Bekerja...43
4.2 Hasil Penelitian 4.2.1 Derajat Kecerdasan Emosional...43
4.2.2 Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek...44
4.3 Pembahasan...46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...54
ix
x
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kemampuan yang Harus Dimiliki oleh Guru 30
Tabel 3.1 Aspek dan Indikator Kecerdasan Emosional 37
Tabel 4.1 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 42
Tabel 4.2 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Usia 42
Tabel 4.3 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 43
Tabel 4.4 Tabel Persentase Responden Berdasarkan Lama Bekerja 43
Tabel 4.5 Tabel Persentase Derajat Kecerdasan Emosional Responden 43
Tabel 4.6 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengenali Emosi Diri 44
Tabel 4.7 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengelola Emosi 44
Tabel 4.8 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Memotivasi Diri Sendiri 45
Tabel 4.9 Tabel Tabulasi Silang antara Derajat Kecerdasan Emosional dengan Aspek Mengenali Emosi Orang Lain 45
xi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Kerangka Pikir 17
xii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Lampiran II. Alat Ukur
Lampiran III. Skor Responden
Lampiran I. Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Kecerdasan Emosional
Validitas
Reliabilitas
0.92, yang berarti reliabilitas kuesioner kecerdasan emosional tergolong sangat tinggi
No Item Koefisien Korelasi
1 0.773
2 0.447
3 0.484
4 0.702
5 0.570
6 0.773
7 0.686
8 0.730
9 0.551
10 0.611
11 0.748
12 0.783
13 0.801
14 0.748
15 0.783
16 0.809
17 0.748
18 0.702
19 0.723
20 0.757
21 0.832
22 0.685
23 0.713
24 0.731
25 0.911
26 0.783
27 0.794
28 0.785
29 0.740
30 0.655
31 0.641
32 0.570
33 0.854
34 0.742
35 0.783
Lampiran II. Alat Ukur - Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Saya mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung sedang menyusun skripsi dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Guru SMP “X” Bandung. Oleh karena itu dengan hormat saya ingin meminta kesediaan Saudara untuk mengisi kuesioner ini. Hasil dari kuesioner ini bersifat rahasia, sehingga sangat diharapkan Saudara dapat menjawab setiap pernyataan dengan jujur sesuai dengan diri Saudara.
Kuesioner Kecerdasan Emosional
PETUNJUK PENGISIAN
Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan empat alternatif pilihan jawaban, yaitu:
SS : Sangat Sesuai
S : Sesuai
KS : Kurang Sesuai TS : Tidak Sesuai
Anda diminta untuk menjawab dengan memberikan tanda checklist (√) pada salah satu kolom jawaban yang sesuai dengan diri Anda.
No Pernyataan SS S KS TS
1 Saya merasa bingung akan perasaan yang saya alami.
2 Saya biasanya menenangkan diri terlebih dahulu ketika sedang marah sebelum melanjutkan aktivitas saya.
3 Saya mampu melakukan pekerjaan saya dengan lebih baik walaupun sebelumnya saya
mengalami kegagalan.
4 Saya bisa menerima jika guru lain tidak suka dengan pendapat saya.
5 Saya tetap menerapkan cara mengajar yang sama meskipun siswa tidak menyukainya. 6 Saya tetap memiliki relasi yang baik meskipun
dengan siswa yang pernah membuat saya marah.
7 Hubungan saya dengan siswa menjadi renggang karena saya jengkel dengan siswa tersebut.
8 Saya merasa ditolak oleh siswa tanpa mengetahui dengan jelas alasannya.
9 Saya merasa sulit untuk melihat hal-hal positif ketika saya sedang tertekan.
10 Saya bisa merasakan ketika siswa merasa senang di dalam kelas.
11 Saya mudah tanggap ketika rekan kerja saya sudah tidak ingin melanjutkan percakapannya dengan saya.
12 Saya tetap dapat bersikap adil meskipun sedang kesal kepada salah satu siswa.
No Pernyataan SS S KS TS 14 Saya akan berusaha membantu menyelesaikan
masalah yang dihadapi siswa.
15 Saya kurang memberi waktu untuk memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh siswa.
16 Saya menikmati pekerjaan saya sebagai guru.
17 Saya merasa tidak mampu menjadi guru ketika siswa sulit diatur.
18 Saya tetap memperhatikan kepentingan sekolah ketika saya membuat suatu keputusan.
19 Saya mengambil keputusan berdasarkan pemikiran saya sendiri.
20 Saya tetap bersikap tenang ketika sedang cemas.
21 Saya mudah kehilangan kesabaran ketika menghadapi siswa yang nakal.
22 Saya bersedia menerima masukan dari siswa. 23 Saya menjadi lupa mengenai materi yang
hendak disampaikan di kelas ketika saya sedang mengalami kecemasan.
24 Saya mengenali bahwa saya sedang marah dari nada bicara saya.
25 Saya sulit mengendalikan emosi ketika saya sedang kesal kepada siswa.
26 Saya tetap antusias mengajar walaupun di awal pertemuan siswa tampak kurang menghormati saya.
27 Saya suka merasa cemas tanpa penyebab yang jelas.
28 Saya sulit menerima ketika tujuan saya tidak tercapai.
29 Gurauan saya seringkali menyinggung perasaan siswa maupun guru lain.
30 Saya sulit untuk merasakan ketika rekan kerja saya ingin beralih ke topik pembicaraan yang lain.
31 Saya akan tetap bekerja sama dengan tim walaupun saya tidak suka dengan salah satu anggota.
32 Saya mampu mengungkapkan rasa marah dengan sikap yang tenang sehingga tidak menyinggung perasaan guru lain.
No Pernyataan SS S KS TS 34 Saya mudah merasa bosan ketika
mendengarkan permasalahan yang dialami siswa.
35 Saya bersedia dievaluasi oleh pihak sekolah atas kinerja saya dalam bekerja.
Data Penunjang
Identitas Diri
Nama :
Usia :
Pendidikan terakhir :
Lama bekerja sebagai guru di tempat ini :
Status (lingkari yang sesuai) : a. Menikah / Belum menikah
b. Tinggal bersama orang tua / sendiri
Petunjuk pengisian:
Pilihlah jawaban yang sesuai dengan diri Anda dengan cara melingkari huruf yang ada di depan setiap pilihan.
1. Apakah sebelum mengajar di tempat ini Anda pernah mengajar di tempat lain?
a. Ya, di...selama... ...selama... ...selama... b. Tidak
2. Bagaimana pengalaman Anda akan reaksi orang tua ketika Anda melakukan suatu kesalahan?
a. tidak peduli
b. langsung memarahi tanpa penjelasan apapun c. memarahi sambil menjelaskan alasannya d. menerima, memaafkan
3. Apa yang Anda rasakan ketika orang tua bereaksi seperti itu? a. senang, merasa dimengerti
b. merasa bersalah c. tidak suka, kesal
d. ... 4. Faktor yang berperan dalam memotivasi Anda untuk bangkit kembali dari
kegagalan yang pernah Anda alami? Lalu seberapa besar peranannya? 4.1.Faktor dari dalam diri
a. sangat besar b. besar
c. cukup besar d. biasa saja e. kurang
4.2.Faktor dari luar diri, yaitu... a. sangat besar
b. besar c. cukup besar d. biasa saja e. kurang
5. Bagaimana pengalaman Anda akan sikap orang tua ketika Anda berbeda pendapat dengan mereka?
a. diam saja, tidak memberi respon
b. pada akhirnya tetap pendapat mereka yang harus benar c. langsung menyerahkan keputusan pada saya
d. menerima sambil tetap melanjutkan pembicaraan
Lampiran III. Skor kuesioner Emotional Intelligence
Resp Item
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 1 4 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 2 3 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 4 4 3 3 3 3 4 4 3 4 3 2 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 2 3 3 4 3 3 3 4 4 3 4 4 4 2 3 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 1 3 3 3 3 3 3 4 2 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 6 3 4 3 3 3 4 3 4 3 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 4 3 4 3 2 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 7 4 4 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 4 3 3 4 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 2 3 8 3 4 4 3 3 3 2 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 3 2 3 2 4 2 4 4 3 4 3 4 3 3 4 2 3 3 3 9 4 4 3 3 4 3 2 4 3 4 3 4 4 4 4 4 2 4 4 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 4 3 4 3 4 4 4 10 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 2 1 3 3 2 2 3 3 3 36 37 35 32 35 35 33 38 30 38 35 35 36 36 34 35 34 32 28 31 31 36 33 35 35 31 37 30 35 35 34 33 29 34 35 34
Skor Derajat
138 Tinggi 128 Tinggi 128 Tinggi 118 Tinggi 142 Tinggi
115 Cenderung Tinggi 109 Cenderung Tinggi 115 Cenderung Tinggi 128 Tinggi
Lampiran IV. Tabulasi Silang Antara Kecerdasan Emosional dengan Data Penunjang
A. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Pengalaman Mengajar di Tempat Lain dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Pengalaman mengajar di tempat lain
Pernah Count 6 2 8
Total 75% 25% 100%
Tidak
Pernah Count Total 0% 0 100% 2 100% 2
B. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Lama Pengalaman Mengajar di Tempat Lain dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Lama pengalaman mengajar di tempat lain
< 1 tahun Count 0 1 1
Total 0% 100% 100%
1 – 10 tahun Count 5 1 6
Total 83.33% 16.67% 100%
11 – 20 tahun Count 1 0 1
Total 100% 0% 100%
C. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Reaksi Orang Tua Ketika Responden Melakukan Kesalahan dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Reaksi orang tua ketika responden melakukan kesalahan
Tidak peduli Count 0 0 0
Total 0% 0% 0%
Langsung memarahi tanpa penjelasan apapun
Count 0 0 0
Total 0% 0% 0%
Memarahi sambil menjelaskan
alasannya
Count 1 1 2
Total 50% 50% 100%
Menerima,
memaafkan Count Total 50% 3 50% 3 100% 6
Berbeda-beda Count 1 0 1
Total 100% 0% 100%
Introspeksi diri Count 1 0 1
D. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Perasaan Responden terhadap Reaksi Orang Tua dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Perasaan responden terhadap reaksi orang tua ketika responden melakukan kesalahan Senang, merasa
dimengerti Count Total 33.33% 1 66.67% 2 100% 3
Merasa
bersalah Count Total 50% 2 50% 2 100% 4
Tidak suka,
kesal Count Total 0% 0 0% 0 0% 0
Mengerti,
memahami Count Total 100% 2 0% 0 100% 2
Biasa saja Count 1 0 1
Total 100% 0% 100%
E. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Faktor yang Paling Berperan untuk Bangkit Kembali dari Kegagalan dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Faktor yang paling berperan dalam memotivasi responden untuk bangkit kembali dari kegagalan Faktor dari
dalam diri Count Total 100% 5 0% 0 100% 5
Faktor dari luar diri: keluarga dan
teman
Count 0 1 1
Total 0% 100% 100%
Faktor dari dalam dan luar diri
Count 1 3 4
F. Tabel Persentase Tabulasi Silang Antara Sikap Orang Tua dalam Menangani Perbedaan Pendapat dengan Derajat Kecerdasan Emosional
Derajat Kecerdasan Emosional Total Tinggi Cenderung Tinggi
Sikap orang tua ketika responden
berbeda pendapat dengan mereka
Diam saja, tidak
memberi respon Count Total 0% 0 0% 0 0% 0
Pada akhirnya tetap pendapat mereka yang
harus benar
Count 0 1 1
Total 0 100% 100%
Langsung menyerahkan
keputusan kepada responden
Count 0 1 1
Total 0 100% 100%
Menerima sambil tetap melanjutkan pembicaraan
Count 3 0 3
Total 100% 0% 100%
Berdiskusi untuk mencari solusi yang paling tepat
Count 3 2 5
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Peranan pendidikan menjadi sangat vital jika melihat perkembangan yang
terjadi dalam dunia globalisasi saat ini. Dunia pendidikan mampu memotivasi
terciptanya teknologi yang bisa diadaptasi, diimitasi bahkan disebarkan dengan
cara yang cepat dan mudah. Hal tersebut dapat mendukung laju perkembangan
suatu negara (http://re-searchengines.com/). Begitu pentingnya pendidikan untuk
kemajuan sebuah bangsa, tahun 1972, The International Comission for Education
Development dari UNESCO sudah mengingatkan bangsa-bangsa bahwa jika ingin
membangun dan berusaha memperbaiki keadaan sebuah bangsa harus dimulai
dengan pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan inilah yang membuat
sebagian besar negara di dunia memberi prioritas tinggi akan pendidikan,
mengadakan modernisasi dan penyempurnaan lembaga-lembaga pendidikan serta
tidak segan-segan mengadakan pembaruan (Sindhunata, 2001).
Salah satu jenjang yang ada dalam lembaga pendidikan yaitu jenjang
SMP. Siswa SMP yang pada umumnya berusia sekitar 13 tahun hingga 15 tahun,
berada pada masa remaja ketika pencarian identitas dan mengejar kebebasan
menjadi suatu hal yang sangat penting (Santrock, 2002). Dalam menghadapi
karakteristik siswa yang sedang dalam masa pencarian identitas dan pengejaran
kebebasan, dibutuhkan peran seorang guru yang bukan hanya mampu
2
Universitas Kristen Maranatha siswanya. Guru membimbing siswa agar ketika mereka ingin bebas, mereka tetap
paham bahwa kebebasannya juga dibatasi oleh kebebasan orang lain sehingga
tidak bisa semaunya melakukan kehendak mereka, ada aturan-aturan yang harus
ditaati. Selain itu, siswa SMP yang sedang dalam masa pencarian identitas diri
seringkali melakukan modelling (Santrock, 2002). Mereka mencontoh perilaku
atau sifat-sifat yang ada dalam diri orang-orang yang signifikan baginya. Dalam
hal ini, guru turut berperan untuk menjadi sosok panutan yang patut ditiru dan
diteladani siswa.
Mendidik dan membimbing siswa bukan merupakan suatu hal yang mudah
untuk dilakukan. Ada kalanya siswa yang dibimbing tidak mau menuruti aturan
yang dibuat oleh guru, bahkan sampai berani melawan gurunya. Ada beberapa
guru yang karena terlalu kesal kepada siswa, pada akhirnya sampai melakukan
tindak kekerasan kepada siswa. Berdasarkan pengakuan dari salah seorang siswa
di suatu sekolah negeri, ada guru yang suka mencubit, memukul memakai
penggaris panjang dan menghukum lari lapangan, hanya karena siswa terlambat
masuk kelas, tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tersebut
(http://nuritaputranti.wordpress.com/).
Suparlan (2006) menjelaskan bahwa guru memiliki satu kesatuan peran
dan fungsi yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai pendidik, pembimbing, pengajar
dan pelatih. Guru sebagai pendidik lebih banyak sebagai sosok panutan yang
memiliki nilai moral dan agama yang patut ditiru serta diteladani oleh siswa.
Contoh dan keteladanan itu lebih merupakan aspek-aspek sikap dan perilaku.
3
Universitas Kristen Maranatha disiplin ilmu yang diajarkannya. Guru harus menguasai materi yang akan
diajarkan dan metode mengajar yang akan digunakan. Dalam perannya sebagai
pembimbing, guru perlu memiliki kemampuan membimbing siswa dan
memberikan dorongan psikologis agar siswa dapat mengesampingkan hal-hal
yang akan mengganggu proses belajarnya. Guru sebagai pelatih harus
memberikan sebanyak mungkin kesempatan bagi siswa untuk dapat menerapkan
teori ke dalam praktik yang akan digunakan langsung dalam kehidupan.
Kasus kekerasan guru terhadap siswa, yang sudah dijelaskan di paragraf
sebelumnya, jika dikaitkan dengan peran seorang guru tentunya akan menjadi
suatu hal yang berlawanan, terutama dengan perannya sebagai pendidik. Tindakan
mencubit dan memukul siswa bukanlah suatu contoh dan teladan yang baik untuk
ditiru. Dalam hal ini guru telah gagal menjalankan perannya sebagai pendidik
yang seharusnya menjadi sosok panutan yang memiliki nilai moral yang patut
ditiru serta diteladani oleh siswa. Guru seharusnya belajar untuk mengendalikan
emosinya agar dapat diungkapkan dengan cara yang tepat. Salah satu kecerdasan
yang berperan penting dalam pengelolaan emosi yaitu kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional yaitu kemampuan untuk memonitor
perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang
lain, membedakan emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini
untuk menuntun atau mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey
dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional meliputi lima area utama yaitu
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
4
Universitas Kristen Maranatha Salah satu sekolah yang menarik perhatian peneliti adalah SMP “X” di
Bandung. Berdasarkan penjelasan dari salah seorang guru Bimbingan dan
Konseling di SMP ”X”, jumlah siswa SMP ”X” sekitar 117 orang, dengan jumlah
kelas sebanyak enam kelas, terdiri dari satu kelas VII, dua kelas VIII, dan tiga
kelas IX. Jumlah siswa dalam setiap kelasnya kurang lebih 20 orang. Siswa
SMP ”X” jika dibandingkan dengan siswa SMP lainnya dalam hal akademik
tergolong kurang mampu, dan sebagian besar dari mereka merupakan siswa yang
tidak diterima di SMP lain. Siswa SMP ”X” juga kreatif, dalam arti kemampuan
mereka dalam bidang lain, seperti seni, musik, lebih berkembang dibandingkan
dengan bidang akademik.
Jumlah guru di SMP “X” ini berjumlah kurang lebih 20 orang dengan usia
kurang lebih antara 20 hingga 40 tahun. Pengalaman mengajar sebagian besar
guru masih di bawah lima tahun. Dengan usia yang relatif masih muda dan
pengalaman mengajar yang belum terlalu lama, beberapa di antara mereka merasa
kesulitan untuk menangani siswa SMP ”X” yang pada umumnya kurang dalam
hal akademik, sehingga seringkali tingkah laku siswa pun menjadi sulit diatur.
Siswa masih banyak yang bertindak sesuka hatinya tanpa memperhatikan
aturan-aturan yang berlaku di SMP “X” ini, seperti sering tidak mengerjakan PR,
kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas, melawan perintah guru. Ada
guru yang bahkan pernah memukul kepala siswanya memakai buku karena sangat
kesal terhadap tingkah laku siswa tersebut.
Koordinator Bimbingan dan Konseling di SMP “X” Bandung mengatakan
5
Universitas Kristen Maranatha emosinya ketika menghadapi siswa yang bermasalah di kelas. Beberapa guru
menjadi sering marah di kelas karena kelakuan siswa yang dinilai kurang ajar,
meskipun hanya sedikit guru yang pernah melakukan hukuman fisik, seperti
memukul siswa. Guru membentak siswa sehingga merusak relasi antara guru
dengan murid. Hal ini jika dibiarkan tentunya akan berlawanan dengan harapan
SMP “X”, yaitu guru diharapkan dapat mendidik siswa bukan hanya supaya
cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang baik.
Siswa SMP “X” yang kurang secara akademik sehingga sering bertindak
sesuka hatinya tanpa mempedulikan aturan-aturan yang berlaku di sekolahnya,
tentunya membutuhkan bimbingan dari guru agar siswa bisa mulai belajar untuk
mengendalikan emosinya, yang merupakan salah satu penunjang terciptanya
karakter yang baik dalam diri siswa. Oleh karena itu, guru SMP “X” turut
memiliki peran yang cukup besar sebagai pembimbing bagi siswanya. Guru dapat
mengajarkan kepada siswa bagaimana cara mengungkapkan emosinya dengan
tepat. Guru sebagai pembimbing diharapkan sudah terlebih dahulu mampu untuk
mengungkapkan emosinya dengan tepat, agar dapat menjadi contoh bagi siswa.
Dalam hal ini guru SMP ”X” perlu memiliki kecerdasan emosional.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam orang guru
SMP “X”, diperoleh hasil sebanyak dua orang menghayati dirinya kurang mampu
untuk mengenali emosi apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Mereka pernah
beberapa kali merasa bingung antara sedih, kesal dan benci misalnya, dan tidak
mampu mengenali penyebab munculnya emosi tersebut. Empat orang lainnya
6
Universitas Kristen Maranatha dirinya karena mereka suka merenungkan kembali setiap hal yang sudah
dialaminya sehingga lebih mengenali emosi yang dirasakannya.
Dalam hal pengelolaan emosi, empat orang menghayati dirinya kurang
mampu mengelola emosinya terutama ketika marah atau kesal kepada siswa.
Mereka menghayati dirinya sering kesulitan untuk menghadapi siswa yang
tingkah lakunya sangat sulit untuk diatur, berani bersikap kurang ajar dan
bertindak semaunya. Mereka jadi sering membentak siswa yang menyebabkan
hubungan antara guru dengan siswa tersebut menjadi renggang. Sedangkan dua
orang lainnya menghayati dirinya mampu mengelola emosinya. Mereka merasa
mampu untuk menahan emosinya dan berusaha untuk tetap sabar menghadapi
siswa yang sulit diatur. Dari empat orang guru yang menghayati dirinya kurang
mampu mengelola emosi, dua orang di antaranya terkadang menyimpan
kemarahan atau kekesalannya kepada siswa di dalam hatinya karena tidak dapat
mengungkapkannya secara langsung sehingga ada kalanya kemarahan itu keluar
pada saat atau orang yang tidak tepat. Ketika mereka berelasi dengan rekan
pengajar lainnya dan ada sesuatu hal yang menyinggung perasaan mereka, emosi
mereka langsung terpancing, sehingga menimbulkan pertengkaran di antara
sesama rekan pengajar.
Dari enam orang guru yang diwawancara, semua menghayati dirinya
mampu memotivasi diri untuk bangkit kembali dari rasa kecewanya. Mereka
mengaku sempat kaget melihat kondisi siswanya ketika pertama kali mengajar di
SMP “X” ini. Ada yang pernah dilempari pensil oleh siswa ketika sedang
7
Universitas Kristen Maranatha membuat para siswa agar patuh pada aturan. Mereka mengatakan bahwa mereka
sempat kecewa dan bahkan sampai menangis (di luar kelas) ketika proses belajar
mengajar masih berlangsung. Kekecewaan mereka disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara harapan mereka ketika melamar menjadi guru di SMP ”X”
dengan kondisi siswa SMP ”X” yang sebenarnya. Dalam menghadapi
kekecewaan tersebut, mereka tidak terus menerus berada dalam kekecewaannya,
tetapi lebih melihat peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pengalaman agar bisa
lebih menyiapkan diri ketika hendak mengajar. Sama halnya dalam membina
relasi dengan para siswa, semua guru yang diwawancara mengatakan bahwa
mereka tidak merasa kesulitan untuk membina relasi dengan siswa-siswinya,
bahkan ada beberapa di antara mereka yang sering menjadi teman bicara dan
sharing para siswa.
Dalam hal pengenalan emosi orang lain atau empati, empat orang guru
masih merasa kesulitan untuk berempati. Mereka lebih sering menyarankan agar
siswa berkonsultasi dengan guru yang lain, seperti guru BP, ketika ada siswa yang
datang untuk menceritakan masalahnya. Hal ini disebabkan mereka merasa
kurang mampu untuk memahami masalah yang dihadapi siswanya, kurang
mampu untuk menempatkan diri pada posisi siswa tersebut. Bahkan beberapa
guru sempat mengatakan bahwa mereka hanya “menyediakan telinga” saja untuk
mendengar keluhan para siswa yang bercerita kepada mereka tanpa melibatkan
perasaan atau pikirannya untuk memahami masalah siswanya itu. Seorang dari
empat orang guru yang merasa kesulitan untuk berempati ini jika ada siswa yang
8
Universitas Kristen Maranatha tersebut bercerita ke guru lain saja karena guru ini merasa tidak mampu untuk
memahami masalah siswa tersebut, terlebih dengan kondisi dirinya yang sedang
bermasalah juga. Sedangkan dua orang sisanya menghayati dirinya mampu untuk
berempati
Berdasarkan hasil wawancara dengan enam orang guru di SMP “X”,
diperoleh gambaran bahwa ada guru yang menghayati dirinya mampu mengenali
emosi, memotivasi diri dan membina relasi, tetapi kurang mampu berempati. Ada
juga yang menghayati dirinya mampu mengenali emosi dan memotivasi diri,
tetapi kurang mampu mengelola emosinya. Dengan adanya hasil yang
berbeda-beda pada setiap aspek kecerdasan emosional yang dimiliki
masing-masing guru maka peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
kecerdasan emosional guru SMP “X” Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang hendak diteliti adalah bagaimana gambaran kecerdasan
emosional pada guru-guru SMP “X” Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai
kecerdasan emosional pada guru-guru SMP “X” Bandung.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara lebih rinci dan
9
Universitas Kristen Maranatha guru-guru SMP “X” Bandung sehubungan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis
1. Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional guru,
khususnya bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan dan Psikologi
Pendidikan.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti
mengenai kecerdasan emosional pada guru.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah SMP “X” mengenai
gambaran kecerdasan emosional guru-guru SMP “X” sehingga bisa
menjadi bahan pertimbangan untuk mengadakan kegiatan atau
penyuluhan bagi guru yang berkaitan dengan kecerdasan emosi.
2. Memberikan informasi kepada para guru SMP “X” mengenai gambaran
kecerdasan emosional mereka sehingga dari penelitian ini diharapkan
para guru dapat menyadari kelemahan dan kelebihan yang ada dalam
10
Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pemikiran
Guru di SMP “X” rata-rata berada pada tahap perkembangan dewasa awal
yang merupakan periode perkembangan yang dimulai dari akhir masa remaja
(awal usia 20 tahun) dan berlangsung sampai usia sekitar 30 tahun. Masa dewasa
awal ini merupakan saatnya untuk membangun kemandirian ekonomi maupun
personal, perkembangan karier dan bagi kebanyakan orang, waktunya untuk
memilih pasangan, belajar untuk hidup dengan seseorang secara intim, memulai
sebuah keluarga dan mengasuh anak (Santrock, 2002).
Berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan di atas, Hurlock (1994)
menjelaskan masa dewasa awal merupakan masa untuk menyesuaikan diri dengan
pekerjaan. Guru memiliki tugas untuk menyesuaikan diri dengan sifat dan macam
pekerjaannya, yang di dalamnya tercakup juga penyesuaian terhadap rekan kerja
dan para siswa. Bagi sebagian besar guru, terutama guru yang kurang mempunyai
pengalaman kerja, sering mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
pekerjaannya. Kesulitan ini akan berpengaruh juga terhadap perkembangan karier
mereka yaitu cenderung akan menghambat para guru untuk dapat berkembang
dalam kariernya. Apabila masalah-masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan
baik, salah satu dampaknya yaitu menimbulkan ketegangan emosional. Hal ini
kurang sesuai karena pada masa dewasa awal guru diharapkan mampu
memecahkan setiap permasalahan dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan
tenang secara emosional.
Salah satu kecerdasan yang berperan penting dalam hal penyesuaian
11
Universitas Kristen Maranatha emosional yaitu kemampuan untuk memonitor perasaan-perasaan dan
emosi-emosi yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, membedakan
emosi-emosi yang muncul dan menggunakan informasi ini untuk menuntun atau
mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang (Salovey dalam Goleman, 2001).
Di dalam diri setiap guru tentunya terdapat komponen emosi sehingga mereka
bisa merasakan marah, sedih, bahagia dan jenis-jenis emosi lainnya. Namun yang
membedakan adalah bagaimana mereka mengenal emosinya, mengelola
emosinya, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan
dengan orang lain, dimana kelima hal ini merupakan aspek dari kecerdasan
emosional (Salovey dalam Goleman, 2001). Kecerdasan emosional tidak dapat
dinilai hanya dari satu aspek saja, melainkan dari lima aspek yang “membangun”
kecerdasan emosional tersebut.
Aspek yang pertama yaitu mengenali emosi diri. Hal ini berarti mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, yang merupakan dasar dari kecerdasan
emosional itu sendiri, karena guru tidak mungkin mampu untuk mengelola dan
mengendalikan emosinya jika ia tidak mengenali emosi apa yang harus
dikelolanya. Guru yang mampu mengenali emosinya menyadari kapan dia merasa
marah, sedih ataupun bahagia, dan mengetahui penyebabnya. Berbeda dengan
guru yang kurang mampu mengenali emosinya, mereka kurang mampu mengenali
perasaan mereka sendiri ketika sesuatu terjadi dan kurang mampu mengenali
penyebab emosi yang mereka rasakan.
Aspek yang kedua yaitu mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar
12
Universitas Kristen Maranatha akan terus-menerus bertarung melawan perasaan sedih misalnya, sementara guru
yang mampu mengelola emosinya dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat
dari rasa sedihnya. Ketika seorang guru dibuat kesal oleh para siswanya, ia
menjadi marah dan menunjukkan sikap maupun perlakuan yang kasar kepada
siswanya, seperti membentak atau memukul siswanya, dan biasanya rasa kesal itu
tidak bisa langsung hilang melainkan terbawa terus dan mungkin saja akan
berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru tersebut
kurang mampu mengelola emosinya. Jika ia mampu untuk mengelola rasa
kesalnya tersebut, misalnya dengan mengungkapkan rasa kesalnya dengan cara
yang lebih tepat, seperti menyampaikan secara verbal dengan nada yang “enak”
didengar bahwa yang dilakukan siswa tersebut telah membuat guru tersebut
merasa kesal, maka dapat dikatakan bahwa guru tersebut mampu mengelola
emosinya. Guru tersebut tidak terus terperangkap dalam rasa marahnya dan
diharapkan hubungan antara guru dan siswa tidak menegang, tetapi tetap dapat
terjalin baik.
Aspek yang ketiga yaitu memotivasi diri sendiri. Hal ini dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Guru yang kurang mampu memotivasi dirinya ketika dikecewakan oleh perlakuan
siswanya dapat menjadi orang yang terus-menerus tinggal dalam kekecewaannya
dan tidak bersemangat, tidak berinisiatif dalam melakukan tugasnya. Guru yang
mampu memotivasi dirinya akan cenderung menjadi seorang guru yang mampu
untuk memanfaatkan rasa kecewanya menjadi sebuah pengalaman yang berguna
13
Universitas Kristen Maranatha dikecewakan tersebut, ia mampu untuk tetap melakukan pekerjaannya secara
optimal dan memanfaatkan pengalaman kecewanya untuk lebih bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi siswa yang diajarnya.
Aspek yang keempat yaitu mengenali emosi orang lain. Guru yang mampu
mengenali emosi orang lain akan mampu mengenali dan memahami hal-hal apa
yang dibutuhkan atau dikehendaki para siswanya. Mereka memiliki kemampuan
untuk mengenali ketika siswanya sedang merasa takut, jengkel atau putus asa,
sehingga akan lebih mudah untuk menjalin atau membangun relasi awal dengan
siswanya karena guru dapat memperlakukan siswanya secara tepat sesuai dengan
kondisi emosi yang sedang dirasakan oleh siswa tersebut. Guru dengan
kemampuan mengenali emosi orang lain juga mampu untuk menerima jika sudut
pandangnya berbeda dengan siswa. Lain halnya dengan guru yang kurang mampu
mengenali emosi orang lain, mereka kurang mampu untuk mengenali apa yang
dirasakan atau sedang dibutuhkan oleh para siswanya sehingga mereka kurang
mampu memilih cara yang tepat ketika menghadapi siswa. Hal ini menyebabkan
relasi yang tercipta pun kurang baik. Mereka juga kurang mampu untuk menerima
sudut pandang siswa yang berbeda dengan sudut pandang mereka.
Aspek yang kelima yaitu membina hubungan. Dalam membina hubungan
dengan orang lain perlu adanya emosi yang tepat, karena setiap kali guru
berinteraksi dengan siswa maupun rekan pengajar yang lain, emosi dalam dirinya
akan turut berperan untuk menentukan tingkah laku yang akan dimunculkannya.
Guru yang mampu membina relasi akan mampu untuk mengolah hubungan
14
Universitas Kristen Maranatha dalam perbedaan untuk mencapai kesepakatan, menyeimbangkan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bersama serta bekerja sama dengan
orang-orang yang berbeda karakter sekalipun. Berbeda dengan guru yang kurang
mampu membina hubungan, mereka akan kurang mampu bekerjasama dengan
rekan kerja maupun para siswa.
Kemampuan setiap guru dapat berbeda-beda dalam wilayah atau lima
aspek di atas. Beberapa orang guru mungkin amat terampil dalam menangani
kecemasan yang ada dalam dirinya, tetapi kurang terampil ketika harus meredam
kemarahan siswanya atau rekan kerjanya. Hal ini menyebabkan derajat
kecerdasan emosional yang berbeda-beda pada setiap guru. Guru yang memiliki
kecerdasan emosional tinggi, pada umumnya akan memiliki kemampuan yang
baik dalam kelima aspek kecerdasan emosional yang dimilikinya. Guru dengan
kecerdasan emosional cenderung tinggi, mungkin memiliki kemampuan yang baik
hanya pada sebagian besar aspek saja. Misalnya guru yang mampu mengelola rasa
kecewanya dan mengetahui penyebab kekecewaannya, serta mampu untuk
memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit kembali dari kondisinya ini, tetapi ia
mengalami kesulitan jika harus berempati kepada siswa, walaupun ia masih
mampu untuk membangun relasi dengan siswanya. Guru yang memiliki
kecerdasan emosional cenderung rendah, mungkin hanya mampu dalam satu atau
dua aspek saja. Sebagai contoh, guru yang mampu untuk mengenali penyebab
kemarahannya dan mengelola emosinya tersebut, mungkin saja dia kesulitan
untuk mencapai prestasi kerja yang lebih baik di saat kondisi emosinya seperti itu,
15
Universitas Kristen Maranatha membangun relasi dengan sesamanya. Guru dengan kecerdasan emosional yang
rendah, pada umumnya akan kurang mampu dalam kelima aspek kecerdasan
emosional yang dimilikinya. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan
emosional ini dapat diperbaiki dan terus dikembangkan.
Terbentuknya kecerdasan emosional, khususnya pada guru, tidak terlepas
dari pengaruh lingkungan keluarga, sehingga memungkinkan setiap guru
mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang berbeda-beda
(Salovey dalam Goleman, 2001). Kehidupan keluarga merupakan sarana
pendidikan pertama untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan keluarga,
seorang guru (pada masa kecilnya) belajar bagaimana merasakan perasaannya
sendiri dan bagaimana orang lain menanggapi perasaannya itu; bagaimana
berpikir tentang perasaannya dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi;
serta bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.
Pembelajaran emosi ini tidak hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan
oleh orang tua secara langsung pada anak-anaknya, melainkan juga melalui
contoh-contoh yang diberikan sewaktu orang tua menangani perasaan mereka
sendiri. Misalkan saja seorang anak yang melihat orang tuanya selalu membentak
jika anak melakukan kesalahan, maka ada kemungkinan setelah anak itu
bertumbuh dewasa, ia akan menjadi seseorang yang mudah membentak orang lain
jika ada yang melakukan kesalahan, karena itulah yang didapatkannya selama
proses belajar dalam keluarganya.
Guru yang pada masa kecilnya mengalami reaksi orang tua yang mau
16
Universitas Kristen Maranatha perbedaan pendapat, kemungkinan besar akan menjadi guru yang mampu untuk
memaafkan siswanya ketika siswa tersebut melakukan kesalahan dan mampu
untuk menerima setiap perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara guru
dengan siswa ataupun dengan rekan pengajar lainnya. Sebaliknya, guru yang pada
masa kecilnya langsung dimarahi oleh orang tua ketika melakukan kesalahan,
tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahannya itu,
dan pendapatnya selalu dianggap salah, kemungkinan besar akan menjadi guru
yang cepat marah dan kurang bisa menerima adanya perbedaan pendapat dengan
siswa maupun rekan kerjanya. Hal ini tentunya akan turut berpengaruh terhadap
17
Universitas Kristen Maranatha Bagan 1.1 Kerangka Pikir
Faktor yang berpengaruh: Peran orang tua
Kecerdasan emosional Guru SMP “X”
Bandung
Tinggi
Cenderung tinggi
Cenderung rendah
Aspek-aspek kecerdasan emosional: 1. Mengenali emosi diri
2. Mengelola emosi 3. Memotivasi diri
4. Mengenali emosi orang lain 5. Membina hubungan
18
Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi
1. Setiap guru di SMP “X” Bandung memiliki derajat yang berbeda-beda
dalam hal kecerdasan emosionalnya, yang dipengaruhi oleh peran orang
tua.
2. Perbedaan di antara kelima aspek yang membangun kecerdasan
emosional, yaitu aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina
hubungan, akan mempengaruhi tinggi rendahnya kecerdasan emosional
54
Universitas Kristen Maranatha
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebanyak 60% guru SMP ”X” Bandung memiliki kecerdasan emosional
yang tergolong tinggi.
2. Guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, hampir di
semua aspek kecerdasan emosionalnya juga tergolong tinggi. Mereka
semuanya menghayati dirinya mampu untuk mengenali dan
mengendalikan emosinya, berempati serta membina hubungan dengan
rekan kerja maupun para siswa. Tetapi dalam aspek memotivasi diri
sendiri, hanya sebagian besar saja yang menghayati dirinya mampu untuk
memotivasi dirinya.
3. Sebanyak 40% guru SMP ”X” yang memiliki kecerdasan emosional
cenderung tinggi memiliki penghayatan bahwa dirinya cukup mampu
untuk mengenali dan mengendalikan emosinya, memotivasi dirinya,
55
Universitas Kristen Maranatha
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diajukan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain
seperti usia dan kematangan, pengalaman, dan lingkungan, yang mungkin
berpengaruh terhadap derajat kecerdasan emosional guru.
2. Untuk Kepala Sekolah SMP ”X” diharapkan untuk dapat membuat
beberapa kegiatan yang berkaitan dengan cara memotivasi diri sendiri bagi
guru ketika menghadapi kegagalan, misalnya dengan mengadakan
pelatihan atau seminar mengenai motivasi.
3. Untuk para guru SMP ”X” diharapkan dapat mempertahankan
kemampuannya dalam mengenali dan mengelola emosinya, dalam
berempati serta dalam membina hubungan dengan rekan kerja maupun
para siswa. Selain itu diharapkan juga lebih berusaha untuk meningkatkan
motivasi diri, terutama setelah menghadapi kegagalan, misalnya dengan
mencari sumber motivasi dan mulai mengikuti seminar-seminar maupun
56
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel. 2001. Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Hurlock, Elizabeth B. 1994. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development. New York: McGraw-Hill.
57
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Risanto. 2007. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Remaja Putri Panti Asuhan “X” di Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Winselly, Lea Oke. 2008. Studi Deskriptif Mengenai Kecerdasan Emosional pada Perawat di Rumah Sakit “X” Bandung. Metode Penelitian Lanjutan. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
(http://re-searchengines.com/, diakses 18 September 2008)
(http://nuritaputranti.wordpress.com/, diakses 24 September 2008)
(http://ta-tugasakhir.blogspot.com/, diakses 15 Agustus 2009)