• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM NOVEL “SHEILA” KARYA TOREY HAYDEN (Studi Semiotik representasi kekerasan pada anak dalam novel “Sheila” karya Torey Hayden).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM NOVEL “SHEILA” KARYA TOREY HAYDEN (Studi Semiotik representasi kekerasan pada anak dalam novel “Sheila” karya Torey Hayden)."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar

Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

NILAWATI NINGRUM

0643010240

YAYASAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN DAN PERUMAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR

(2)

(studi semiotik kekerasan pada anak dalam novel “sheila”

karya torey hayden)

Nama Mahasiswa : NILAWATI NINGRUM NPM : 0643010240 Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian dan Seminar Proposal Menyetujui,

PEMBIMBING

Juwito, S.Sos, M.Si s

NPT. 3 6704 95 0036 1

KETUA PROGRAM STUDI

(3)

(studi semiotik kekerasan pada anak dalam novel “sheila” karya torey hayden)

Nama Mahasiswa : NILAWATI NINGRUM NPM : 0643010240 Program Studi : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji 1.

Juwito, S.Sos, M.Si Juwito, S.Sos, M.Si NPT. 3 6704 95 0036 1 NPT. 3 6704 95 0036 1

2.

Drs. Syaifudin Zuhri, S.Sos, M.Si NPT. 3 7006 94 0035 1

3.

Zainal Abidin A.S.Sos, M.Ed, M.Si NIP. 373 039 301 701

Mengetahui, Ketua Program Studi

(4)

kehadirat Allah SWT atas segala karunia serta rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : REPRESENTASI KEKERASAN PADA ANAK DALAM NOVEL “SHEILA” KARYA TOREY HAYDEN

(Studi Semiotik Representasi Kekerasan Pada Anak dalam Novel

“SHEILA” Karya Torey Hayden.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi banyak terdapat kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan sangat terbatasnya ilmu yang penulis miliki serta kekuranganya pengalaman dalam membuat skripsi. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat mahasiswa dalam menempuh pendidikan di Prorgram Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poloitik, Universitas Pembanguna Nasional ”Jawa Timur.”

Keberhasilan dalam penyelesaian penelitian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, baik materiil dan sprituil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Syaifudin Zuhri, S.Sos., M.Si. sebagai Sekertaris Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional ” Veteran ” Jawa Timur.

(5)

iv didikannya selama ini.

6. Seluruh dosen Penguji, banyak terima kasih atas petunjuknya.

7. Ibu Aulia Rahmawati, S.Sos sebagai Dosen Wali, terima kasih atas bimbingannya.

8. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu, Kakak dan Adikku yang turut membantu baik dukungan maupun materiel pada penulis.

9. Teman-teman, Veta, Rina, Mb.Vika, Mb.Leny, Chiko, Raissa, Sindhi, Mb.Sri, Best Buddy ”Rirrin”, T.G.B.W.M, terimakasih banyak telah memberi dukungan dan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan baik dari segi teknis maupun dalam segi penyusunannya. Untuk itu, penulis senantiasa bersedia dan terbuka dalam menerima saran dan kritik yang bersifat membangun.

Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk bagi kita semua, Amin.

Surabaya, Juni 2010

(6)

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... ….vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah………. 10

1.3 Tujuan Penelitian……….. 10

1.4 Manfaat Penelitian……… 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa ... 12

2.2 Representasi………. ... 14

2.3 Konsep Kekerasan… ... 16

2.4 Kekerasan Pada Anak………... 17

2.4.1 Kekerasan Fisik………...21

2.4.2 Kekerasan Mental………23

2.5 Undang-undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak……….23

2.6 Anak Dalam Novel “SHEILA”……….26

2.7 Semiotik Rolland Barthest……….26

2.8 Kerangka Berpikir……….32

(7)

viii

3.3 Unit Analisis ... 36

3.4 Corpus…… ... 36

3.5 Teknik Pengumpulan Data... ….41

3.6 Teknik Analisis Data………. 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ….44

4.1 Gambaran Objek Penelitian ... ….44

4.2 Penyajian dan Analisis Data ... ….47

4.2.1 Penyajian Data ... ….47

4.2.2 Hasil Analisis Data ... ….52

4.3 Sistem Mitos ...…96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...…98

5.1 Kesimpulan ...…98

5.2 Saran ...…101

(8)

Penelitian ini berdasarkan fenomena banyaknya kekerasan terhadap anak di Indonesia yang mempunyai kultur masyarakat patriatkhal. Penelitian ini di maksudkan untuk mempertegas dan memperjelas seperti apakah banyak dan hal sekecil apakah yang dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap anak dengan membandingkan kekerasan terhadap anak yang ada di Indonesia dengan Negara lainterutama asal dari penulis novel kisah nyata ini yaitu Amerika. Dengan membandingkan seperti apa bentuk dan pemaknaan kekerasan tehadap anak yang terjadi di Indonesia dengan asal Negara penulis novel.

Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah kekerasan terhadap anak dari pengalaman dan catatan pribadi seorang guru pada sekolah anak berkebutuhan khusus yang juga seorang psikolog dan guru pendidikan luar biasa yang sejak 1979 telah mengisahkan perjuangannya di ruang kelas dalam sekumpulan buku-buku laris dan internasional best seller. dan salah satu novel inernasional bestsellernya yang akan dianalisis semiotik, yaitu “Sheila” (Luka Hati Seorang Gadis Kecil). Lebih spesifik studi ini diarahkan untuk memahami segala bentuk kekerasan terhadap anak dari masyarakat patriakhal yang telah berlangsung lama yang mana dalam hirarki sosial anak berada di tangga terbawah. Yang terjadi di Indonesia apakah sama bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dengan Negara asal penulis novel, yang mana di Indonesia. Mereka tidak punya hak apapun sedangkan orang dewasa dapat berlaku apapun terhadap anak. Banyak dampak yang disebabkan oleh kekerasan terhadap anak baik secara fisik dan mental.Teori yang digunakan adalah teori semiotik Rolland Barthes.

Metode yang digunakan adalah analisis yang termasuk penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Yaitu pemaknaan bentuk kekerasan dalam novel dengan pengertian dan bentuk kekerasan, yang biasa terjadi di Indonesia. Apakah sama arti dan bentuk suatu hal. Menurut penulis, dengan pengertian kita tentang bentuk pemaknaan kekerasan atau hal tersebet menjadi hal yang biasa, begitu juga sebaliknya.

Data dianalisi dengan menggunakan pendekatan konsep dan melibatkan leksia sebagai subjek tanda (sign), obyek (object) dan penafsiran. Menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan diantara uraian. Tujuan penafsiran data ialah salah satu diantara tiga tujuan berikut : deskripsi semata-mata, deskripsi analitik, dan teori subtantif. Penelitian ini hanya bertujuan untuk deskripsi semata-mata.

(9)
(10)

1.1.Latar Belakang Masalah

Pada tahun 1980 Torey Hayden merilis sebuah novel berjudul Sheila ( Luka Hati Seorang Gadis Kecil ). Torey Hayden oleh seorang psikolog pendidikan dan guru pendidikan yang sejak tahun 1979 telah mengisahkan perjuangannya diruang kelasnya. Novel ini menceritakan sebuah kisah nyata kehidupan seorang gadis kecil. Dan menjadikan sebuah inspirasi bagi banyak guru, orang tua, dan psikologi, terutama pendidikan anak yang berkubutuhan khusus.

Inti cerita dari novel karya Torey Hayden ini. Torey mengajar disebuah kelas khusus untuk anak-anak yang “bermasalah” baik secara fisik maupun mental. Ada 8 anak yang diajar olehTorey. Yang pertama adalah Peter, seorang anak yang kondisi neurologisnya buruk sehingga perilakunya sangat kasar. Yang kedua adalah Tyler, seorang anak perempuan yang mencoba bunuh diri dua kali. Yang ketiga bernama Max yang menderita autisme. Yang keempat adalah Freddie yang diduga menderita autisme, namaun ada juga yang menduga mengalami keterbelakangan mental yang parah. Yang kelima adalah Sarah, seorang anak yang menjadi korban penyiksaan fisik dan seksual yang menjadikannya pemarah dan pembangkang. Yang keenam bernama Susannah Joy yang menderita skizofrenia kanak-kanak. Yang ketujuh bernama

(11)

William yang takut akan segala hal. Lalu yang terakhir bernama Guillermo, anak imigran Meksiko yang buta dan pemarah.

Dalam mengajar kedelapan anak tersebut, Torey dibantu oleh dua orang assistant pengajar. Yang pertama bernama Anton seorang imigran Meksiko berumur 29 tahun yang belum lulus SMU dan tidak pernah membayangkan berkeja di bidang pendidikan yang berisi anak-anak “khusus”. Yang kedua adalah Whitney, seorang murid SMP. Jadilah mereka berdua kelas didalam kelas tersebut.

(12)

Dihari pertama Sheila dikelas tersebut ia sangat pemarah. Ia tidak mau melakukan semua tugas yang diberikan oleh Torey. Di hari yang sama, Sheila melakukan hal yang tidak terduga, ia mencungkil mata ikan mas yang ada di kelas mereka sehingga kelas menjadi sangat kacau dan tak terkendali. Sheila lari dan Torey mengejarnya. Torey berusaha untuk berbicara dari hati ke hati dengan Sheila bahwa ia adalah seorang teman yang tidak perlu ditakuti. Namun Sheila tidak percaya begitu saja. Torey meyakinkan kembali, lagi dan lagi untuk waktu yang sangat lama. Akhirnya, Sheila pun mau untuk mendekat walaupun sikapnya masih sangat waspada terhadap Torey.

Setelah kejadian tersebut, tidk ada seorangpun yang membahas kejadian tragedy ikan. Hari-hari berjalan dengan normal. Seperti biasa, Sheila tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh Torey. Torey memberikan pengertian kepadanya. Dengan kesabaran dam kasih saying, Torey berusaha untuk mengubahnya menjadi anak yang baik. Lambat laun perilaku Sheila berubah. Ia tidak lagi menjadi anak yang destruktif melainkan membaantu teman-temannya yang sedang kesulitan sehinga memperingan tugas Torey dan kedua asistentnya. Ia mau mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh Torey. Namun ada kalanya juga perilaku destruktifnya itu timbul bahkan bisa lebih parah dari.

(13)

sekolah tempat Torey mengajar pun mengatakan hal yang sama dan terkagum-kagum, ia pun berusaha untuk mencari tes yang dapat mengukur IQ Sheila. IQ Sheila setara dengan anak kelas 5. Torey sangat yakin bahwa Sheila tidak layak dimasukan kedalam rumah sakit negara. Ia bersikeras untuk menampatkan Sheila di sekolah biasa, di sekolah normal .

Ketika instalasi anak di rumah sakit Negara sudah dibuka, mau tidak mau Sheila harus ditempatkan di sana karena pengadilan sudah memutuskannya. Namun, Torey sudah sangat mencintainya dan ia berusaha untuk menempatkan Sheila di sekolah umum. Dengan bantuaan pacarnya, Chad, seorang pengacara, ia menentang pengadilan dan berusaha untuk menempatkan Sheila di sekolah umum. Akhirnya, kemenangan diraih oleh Torey sehingga Sheila tidak perlu dimasukan kedalam rumah sakit Negara. Akhirnya, Sheila bisa di sekolahkan di sekolah umum.

(14)

memandang Sheila. “apa yang terjadi?”. Dia menggeleng , wajahnya tidak menunjukkan emosi. Di bagian dalam pipa celananya yang kanan tercetak noda merah. Setelah mengangkat tubuhnya saya bergegas kekamar mandi. Setelah melepas kancing tali celananya, darah telah menodai pakaian dalamnya dan mengalir di kedua kakinya. Kertas tisu tersumpal di balik pakaian dalamnya. Ketakutan memenuhi hati saya sementara saya melepaskan tisu terakhir dari pakainnya. Darah merah segar mengucur dari vaginanya. Dia berusaha keras untuk menahan rasa sakit dan emosinya. “Paman Jerry,” dia mulai berbicara dengan perlahan, “dia mencoba memasukkan anunya ke badanku pagi ini, tapi enggak bisa masuk, jadi dia memasukkan pisau ke badanku untuk membuatku menurut.” Paman Jerry bilang aku akan menyesal tidak biarkan dia memasukkan anunya. Dia bilang ini akan lebih menyakiti aku dan aku akan menyesal. “Aku takut. Paman Jerry suruh enggak bilang siapa-siapa. Dia bilang dia akan lakukan lagi kalau aku laporkan dia. Dia bilang akan terjadi apa-apa yang lebih buruk kalau aku cerita.”

(15)

Setelah buku itu meledak di pasaran, wanita kelahiran Livingston, Montana, Amerika Serikat pada 21 Mei 1952 ini seperti memperoleh tenaga ajaib yang menggerakkannya untuk lebih produktif menulis. Sebagian dari karyanya fiksi, tetapi sebagian lainnya non fiksi.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, novel karya Hayden memang laku keras. Penerbit Qanita, lini baru dari Penerbit Mizan yang secara khusus menembak pasar buku perempuan modern Indonesia, adalah yang beruntung memperoleh kesempatan menerbitkan karya Hayden.

(http://www.korantempo.com/internasional/krn.20040912.22348.id,diakses:14 september 2004)

(16)

Kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan dan otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab atau pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.

(17)

Dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain: 1) Kerusakan fisik atau luka fisik; 2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif: 3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri; 4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri, dll; 5) Pendidikan anak yang terabaikan.

Diberlakukannya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.

(18)

tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; 3) Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetapkan dalam lingkup hidup rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu, 4) Penelantaran rumah tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

(http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=70:ke kerasan-terhadap-anak)

Dalam kutipan-kutipan diatas jelas sekali terpancar, Bagaimana seorang anak digambarkan sedemikian rupa oleh Torey Hayden. Penulis ingin menggambarkan interaksi antara media dengan khalayak pembacanya. Signifikasi dalam penelitian ini bagi pembaca sebagai pembelajaran khususnya bagi para anak agar lebih peka terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi disekitarnya baik secara verbal maupun secara non verbal.

(19)

penulis. Peneliti ini ingin mempresentasikan tentang kekerasan yang ada dalam novel “SHEILA” oleh karma itu yang sesuai adalah dengan menggunakan metode semiotik khususnya Roland Barthes. Dengan menggunakan metode ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui dan melihat lebih jelas bagaimana sebuah pesan diorganisasikan, digunakan, dan dipahami.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang peneliti yang uraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana representasi kekerasan pada anak dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana representasi kekerasan pada anak dalam novel “SHEILA” karya torey hayden.

1.4.Manfaat Penelitian

Ada 2 manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu : 1. Manfaat Teoritis

(20)

2. Manfaat Praktis

(21)

2.1 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa

Menurut Cecep Syamsul Hari (www.kompas.com/kompas cetak), istilah novel berasal dari Italia, Novella, yaitu prosa naratif fiksional yang panjang dan kompleks, yang secara imajenatif merupakan pengalaman manusia melalui suatu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan satu sama lain dengan melibatkan sekelompok atau sejumlah orang (tokoh, karakter) di dalam latar (setting) yang spesifik. Sedangkan dalam Kamus Besar bahasa Indonesia edisi kedua, novel diartikan sebagai kerangka prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap perilaku.

Menurut De Flour dan Dennis Mc Quail dalam Ganarsih (2006: 33), secara garis besar media komunikasi massa dapat digolongkan ke dalam tiga hal, yaitu media cetak atau print (buku, majalah, surat kabar, dan film, khususnya film komersial) serta media broadcasting yaitu radio dan televise. Media cetak sebagai salah satu bentuk media komunikasi umumnya memiliki fungsi sebagai pemberi informasi, artikel majalah lebih bersifat mempengaruhi, dan novel yang mempunyai fungsi utama untuk menghibur. Selain itu novel juga memberi informasi dan memprsuasi pembacanya.

Novel merupakan media massa, dimana melalui media novel itulah pengarang mengkomunikasikan sebuah pesan. Sementara, kegiatan komunikasi

(22)

tidak dapat dipisahkan dengan proses pembentukan makna (Lindlof, 1995 : 13). Dalam kajian budaya, segala artifak yang dapat dimaknai disebut sebagai teks, karena ia dapat dimaknai, baik dari segi bentuk, pengemasan, maupun isi pesannya. Sebagai teks, novel memiliki siifat polisme, dan membuka peluang pembacanya untuk memaknai sebuah teks tersebut secara berbeda (McQuail, 1997 : 19). Perbedaan dalam memaknai teks dipengaruhi oleh aspek individu, seperti karakter dan pengalaman individu. Serta aspek social budaya, meliputi faktor lingkungan, sosialisasi norma, adat istiadat, tingkat pendidikan, serta faktor-faktor lain terbentuk dari hasil interaksi individu dengan dunia luar. Aspek budaya itulah yang nantinya mempengaruhi pemaknaan terhadap teks media.

(23)

2.2 Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol. (Piliang, 2006:24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda.

Menurut Stuart Hall (1977) Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi.seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (symbol-symbol dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengunkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangt tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

(24)

menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksikan makna lewat bahasa yang kita pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua representasi. Pertama mental yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing(konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua bahasa berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan symbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dini dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau symbol, yang berfungsi di dalam bahasa atau symbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi (Juliastuti, 2000 http://kunci.or.id)

(25)

2.3 Konsep Kekerasan

Kekerasan domestik adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, dimana biasanya yang berjenis kelamin laki-laki menganiaya secara verbal, fisik, dan psikologis. Kekerasan secara verbal seperti berkata-kata yang tidak semestinya, kekerasan fisik misalnya, meliputi tindakanyang mengakibatkan rasa sakit, luka, atau bekas luka di tubuh seseorang, keguguran, pingsan, dan kematian. Kekerasan psikologis adalah tindakan yang mengakibatkan rasa takut, kehilangan percaya diri, kehilangan kemampuan unutk mengambil tindakan, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan jiwa serius kepada jenis kelamin perempuan (Arivia, 2006:179-180).

Kekerasan yang menimpa pada anak-anak tidak identik pada kemiskinan, sebab (mampu secara ekonomi pun ada juga yang melakukan kekerasan pada anak). Media massa baik elktronika maupun cetak belum banyak mmberikan porsi pemberitaan terhadap maslah perlindungan anak. Begitu mel;uas dan kompleks dalam permasalahan anak, mulai dari penelantaran anak, kekerasan anak di sekolah, sampai masalah anak bunuh diri lantaran malu menunggak uang sekolah. Dan banyak anak yang putus sekolah dan sebagainya. Kekerasan pada anak juga di pengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini, namun semua itu harus di sikapi bijaksana oleh para orang tua, seperti mengingatkan agar anak tidak banyak nonton senitron televisi yang menayangkan kekerasan.

(26)

1. Kekerasan fisik dan psikologis. Dalam kekerassn fisik tubuh manusia di sakiti bahkan sampai pembunuhan. Sedangkan kekerasan psikologis adalah tekanan yang berhubungan dengan kemampuan mental dan otak. 2. Pengaruh positif dan negatif. Sistem orientasi imbalan yang sebenarnya

ada pengendalian atau control yang tidak bebas, kurang terbuka dari cenderung manipulatif, meskipun memberikan kenikmatan.

3. Ada objek atau tidak. Dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis, meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.

4. Ada subjek atau tidak. Kekerasan di sebut langsung atau personal jika ada laku atau pelakunya, dan bila tidak ada pelakunya di sebut structural atau tidak langsung.

5. Di sengaja atau tidak bertitik berat pada akibat dan bukan tujuan. Dari sudut korban sengaja atau tidak, kekerassna tetap kekerasan.

Yang tampak dan tersembunyi. Kekerasan yang tampak nyata daapt di lihat meskipun tidak langsung, sedangkan kekerasan yang sembunyi adalah sesuatu yang memang tidak keliahatan tetapi bias dengan mudah meledak (Santoso, 2002: 168-169).

2.4 Kekerasan Pada Anak

(27)

(multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome.

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.

(28)

Selain itu, kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak.

Perlakuan salah terhadap anak pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, antara lain kekerasan fisik, seksual dan emosional. Kekerasan dalam rumah tangga baik dilakukan oleh suami kepada istrinya atau orang tua terhadap anaknya bisa berbentuk fisik atau nonfisik. Kekerasan nonfisik bisa berbentuk verbal seperti pelecehan, penghinaan, mencuekin (mendiamkan) istri, atau bentuk lain seperti tidak membiayai selama berbulan-bulan, sedangkan kekerasan fisik bisa berbentuk pemukulan, penjambakan, dll.

Kekerasan pada anak merupakan perlakuan yang salah. Menurut Seto Mulyadi mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental. Dampak dari perlakuan kekerasan, yaitu: 1) Perlakuan salah secara seksual; 2) Perlakuan salah secara fisik; dan 3) Perlakuan salah secara mental.

(29)

tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian. b) Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

(30)

Kekerasan tersebut diperlukan tindakan kolektif untuk mengatasinya, memerlukan proses pendidikan yang terus menerus untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokratis dan penghargaan pada hak-hak anak-anak, berusaha menegakkan undang-undang yang melindungi anak-anak dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang dewasa dan membangun lembaga-lembaga advokasi anak-anak.(http://id.wikipedia.org/wiki/kekerasan)

2.4.1 Kekerasan Fisik

Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) terdapat empat bentuk kekerasan di antaranya kekerasan seksual,kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan dalam bentukpenelantaran.Kekerasan pada anak ini tidak terjadi begitu saja, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Diantara faktor tersebut antara lain adalah akibat orang tuayang dibesarkan dalam kekerasan (sehingga cenderung mereka meniru pola asuh yang telah mereka dapatkan sebelumnya), stres dan kemiskinan, isolasisosial, tidak adanya dukungan, lingkungan yang mengalami krisis ekonomi, tidak bekerja (pengangguran), kurangnya pengetahuan tentang pendidikan anak serta minimnya pengetahuan agama orang tua.

(31)

Dampak berikutnya dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan antara pelaku dengan korban. Biasanya kekerasan fisik merupakan pelampiasanemosi atau amarah dari pelaku. Mungkin disebabkan korban yang berbuat salah sehingga menyebabkan pelaku menjadi marah, namun salah disini sangat relatif. Bergantung pada penilaian pelaku, menganggap apa yang dilakukan korban salah atau tidak. Tetapi tak jarang korban hanya sebagai pelampiasan amarah pelaku terhadap sesuatu, dan kekerasan fisik ini merupakan bentuk ketakberdayaan peaku menempatkan emosinya. Dalam hal ini korban merupakan orang yang tak berdaya atau pelaku mempunyai kuasa yang lebih tinggi dari pelaku, sehingga pelaku menjadi objek kekerasan fisik.

Hukuman tidak sama dengan kekerasan fisik. Secara filosofis, orang tua merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan menghukum anak demi kebaikan si anak sekarang dan masa yang akan datang. hukuman badan telah diterima sebagai salah satu metode sangat efektif untuk mengendalikan dan mendisiplinkan anak. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah dapat disamakan antara menghukum anak dengan tindak kekerasan pada anak ?. menghukum anak (terutama hukuman berupa fisik) dengan melakukan tindakan kekerasan pada anak. Pada hukuman yang terpaksa dilakukan untuk mendidik bertujuan agar anak tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahannya sehingga anak telah merasa bersalah. Ia akan memperbaiki dirinya dan pukulan tersebut tentu saja tidak menyakiti si anak.

(32)

pada tubuh si anak (memar-memar dan terluka) namun juga pada perasaannya. Ketika kekerasan fisik dibudidayakan, kekerasan fisik dapat menjadi penyelesaian dari suatu masalah bagi korban atau pelaku. Padahal masalah seharusnya disikapi dengan bijak agar dapat diperoleh pembelajarannya, ada kalanya dalam mendidik dilakukan kontak fisik. Kontak fisik yang bagaimana? kontak fisik yang mendidik, bertujuan untuk memberikan pembelajaran pada korban, membuat jera tetapi tidak mengakibatkan pengerusakan fisik.(hukuman-dan-kekerasan-anak.pdf-Adobe Reader).

2.4.2 Kekerasan Mental

Kekerasan mental adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking atau jual-beli anak. Semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.

2.4 Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(33)

Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminas.

Pada dasarnya Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. (Pasal 1)

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. (Pasal 3)

(34)

demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya. (Pasal 13). Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16).

Bahkan dalam Pasal 23 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah, negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat pada Pasal 25 terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

(35)

2.5 Anak dalam novel “SHEILA”

Anak dalam novel “SHEILA” digambarkan seseorang anak perempuan yang sejak kecil sudah mendapatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sang ibu meninggalkannya seorang diri ditepi jalan tol saat berusia 4 tahun. Sang ayah akan mencambuknya keras-kerasa jika dia ngompol. Kekerasan itu merupakan akibat dari bentuk kekecewaan kedua orang tua Sheila, karena ayahnya pemabuk dan tak mampu memberinya pengasuhan yang layak. Dan akhirnya ibunya pun meninggalkannya di tepi jalan seorang diri. Yang mengakibatkan Sheila menderita problem emosional parah, dia membakar anak laki-laki berusia 3 tahun sampai nyaris mati. Dia tak pernah menangis, baik kala sedih, marah, maupun kesakitan. Dia juga agresif dan selalu membangkang.

2.6 Semiotik Rolland barthes

Rolland barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistic dan semiologi saussere. Ia juga intelektual dan kritikus sastra perancis yang ternama. Eksponen penerapan strukturalisme dan semiatika pada studi sastra. Barthes(2001:208) mnyebutkannya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960 sampai 1970an(Sobur,2001:63).

(36)

menemukan makna didalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu strip dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraph(kurniawan, 2001:93).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the rider). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi dalam memaknai sebuah “teks”, pembaca memunyai kekuasaan absolute untuk memberikan makna dan penafsiran terhadap sebuah hasil karya sastra (novel) yang di lihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud sang pengarang. Pembaca memiliki beberapa pilihan dalam memberikan makna, bisa dengan membedah bacaannya, memfokuskan pada teks, dan terkadang dapat pula melupakan sang pengarang, sehingga pembaca tersebut melakukan interpretasi sendiri terhadap bacaannya. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin jelas pula karya novel itu memberikan maknanya.

Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lma kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes adalah kode Hermeneutik (kode teka teki), kode semik

(makna konotatif), Kose simbolik, kode proaretik ( Logika Tindakan), dank ode

(37)

Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur sruktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada sesuatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya didalam cerita ( Sobur,2006:65). Kode ini merupakan sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajampermasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2003:55).

Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema didalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” ( Sobur, 2006:65-66). Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu ( Budiman, 2003:56).

(38)

istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem symbol Barthes ( Sobur, 2006:66). Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan saran tekstual (Budiman, 2003:56).

Kode Proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak dimana masing-masing dampak, memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi sekuans yang bersangkutan (Budiman, 2003:56). Kode ini dinggap Barthes sebagai perlengkapan utama sebagai teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat di kodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi (Sobur, 2006:66).

Telah Kode gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya. Bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus menerus di rujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah di ketahui dan di kodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi oleh acuan ke apa yang telah di ketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah di kodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu (Sobur, 2006:66).

(39)

atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes di sebut dengan konotatif, yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjeelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69).

Peta Tanda Rolland Barthes (Sobur, 2004:69)

1.Signifier

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri dari penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004:69).

(40)

harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga di rancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional di sebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Rolland Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih di asosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999:22).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001:28). Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos di bangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumya. Atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-2. Di dalam mitos pola sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

(41)

Dalam mythologies-nya (1957:131), dia mendefinisikan sistem-sistem makna sekunder semacam ini sebagai mitos, kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideology. Media masa menciptakan mitologi-mitologi atau ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap denotative primer. Pada tataran denotative, mereka mengekspresikan makna “alami” primer. Pada tataran konotatif, media massa mengungkapkan makna ideologis sekunder.

Gagasan lapisan denotasi primer yang secara ideologis tidak berdosa ini kemudian ditinggalkan. Dalam s/z, Barthes mendefinisikan denotasi kembali sebagai hasil akhir proses konotatif, efek penutupan semiotik (Noth, 2006:316).

2.7 Kerangka Berpikir

Novel tidak mengembangkan secara penuh, biasanya berupa aspek personalitas tunggal yang direngkuh melalui kemasan konflik dalam episode yang juga tunggal. Sebuah batasan yang relative memadai untuk di apresiasi.

Novel yang baik di baca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat menginspirasikan para pembacanya. Sebaliknya novel ibura hanya di baca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya.

(42)
(43)

3.1 Definisi Operasional

Pada penelitian ini menggunakan riset kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang di kumpulkan sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang di teliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Di sini yang lebih di tekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data bukannya banyaknya (kuantitas) data (Kriantono, 2007: 58).

Menurut Rahmat (2004:24) penelitian semiotik di tujukan untuk beberapa hal diantaranya adalah:

1. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku.

2. Membuat perbandingan atau evaluasi.

3. Mengumpulkan informasi actual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada.

4. Menentukan apa yang di lakukan orang lain dalam menghadapi maslah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

(44)

Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannnya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 2002:23).

Dasar teoritis penelitian kualitatif biasanya berorientasi pada orientasi teoritis dan teori di batasi pada pengertian suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat prosisi yang berasal dari data dan di uji lagi secara empiris (Moeleong, 2002:8).

Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan sebuah studi semiotik untuk menggambarkan representasi kekerasan pada anak dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden. Bentuk kekerasan didalam novel “SHEILA” diantaranya adalah: kekerasan fisik, kekerasan fisik ialah kontak fisik yang diberikan pada seseorang yang menyakiti dan bersifat kepada pengerusakan fisik. Dan kekerasan mental adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian itu yaitu leksia dari teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden yang menunjukkan adanya unsur kekerasan terhadap anak.

(45)

hal yang akan di cari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu kekerasan yang di dapat oleh seorang anak baik kekerasan domestic maupun kekerasan public. Sedangkan tema dari novel ini adalah seorang anak yang sering mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis dalam lingkungan keluarga.

Penelitian ini berusaha memngungkapakan bagaimana penggambaran karakteristik pada kekerasan, baik kekerasan secara domestic maupun secara public dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden.

3.3 Unit Analisis

Penelitian ini menggunakan leksia dari Barthes sebagai unit analisis. Leksia merupakan satuian bacaan tertentu dengan panjang pendek bervariasi (Kurniawan, 2001:93). Leksia ini dapat berupa satu dua kata, kleompok kata, beberapa kalimat atau beberapa paragraph dari teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden yang menunjukkan adanya unsure kekerasan, sesuai dengan subyek penelitian. Dengan adanya analisis naratif yang ditawarkan oleh Barthes, maka peneliti memilih untuk menggunakan analisis tersebut agar lebih mudah untuk menganalisis teks dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden.

3.4 Corpus

(46)

memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 201:70).

Corpus pada penelitian ini adalah teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden berupa leksia-leksia yang mengandung unsure kekerasan. Dalam teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden, terdapat 22 leksia yang menunjukkan adanya unsure kekerasan:

1. Ed Somers membawa gadis kecil itu, memegang erat-erat pergelangan tangannya dan menyeretnya. (halaman 32).

2. Saya menyeret Sheila melintasi ruangan ke kursi saya tempat kami selalu menyelenggarakan diskusi pagi, dan mendudukkannya di atas lantai persis di depan saya. (halaman 33).

3. Sheila tinggal berdua dengan ayahnya di sebuah gubuk dengan stu kamar di perkampungan pekerja migran. Rumah itu tidak punya sarana pemanas, pipa air, dan listrik. Ibunya telah meninggalkan Sheila dua tahun sebelumnya, tetapi dia membawa putranya yang lebih kecil. (halaman 49)

(47)

erat pada pagar pemisah jalan tol. Setelah dibawa ke pusat anak-anak, Sheila, waktu itu empat tahun, ternyata punya banyak bekas luka dan patah tulang, semuanya akibat penganiayaan.(halaman 50) 5. Seorang dokter yang bertugas di daerah itu mencantumkan catatan di bagian bawah laporan bahwa badannya yang kecil mungkin akibat kurang gizi, tetapi selain itu dia seorang anak perempuan kulit putih yang sehat dengan luka-luka dan patah tulang yang telah sembuh total. Disamping dua catatan itu masih ada memo dari psikiater daerah dengan sau pernyataan: ketidakmampuan Kronis untuk Menyesuaikan Diri dengan Masa Kanak-Kanak. (halaman 50-51)

6. Ayahnya menaggapnya bagai anak yang suka melawan dan sering mendisiplinkan dia, sering kali dengan cara memukul atau mencabut haknya. (halaman 52)

7. Disamping peristiwa pembakaran itu, dia pernah dimarahi karena menyulut kebakaran di perkampungan pekerja migran dan karena engoleskan kotoran manusia di ruang tunggu sebuah terminal bus. Pada usia enam setengah tahun, Sheila telah berhadapan dengan polisi tiga kali. (halaman 52)

(48)

menggelepar di sekeliling kursi, dengan mata lepas. Sheila mencengkram seekor ikan erat-erat dengan tangan kanannyadan berdiri mengancam dengan pensil di tangan lain.(halaman 58).

9. “Jatuhkan itu!” saya membentak dengan suara setegas mungkin.(halaman 58).

10.“Papaku, dia pasti cambuk aku keras-keras kalau dia liat aku gini.” (halaman 67).

11.Dia mencabut hak-hak tertentu Sheila, memberinya hukuman duduk di pojok ruangan, dan akhirnya membawa Sheila kepada kepala sekolah untuk dipukul dengan tongkat. (halaman 74).

12.Pekerja sosial itu dating sambil mneyeret Sheila sekitar lima belas menit sebelum pelajaran di mulai.(halaman 76).

13.“Papaku, dia bilang begitu. Dia bilang aku gila dan mereka memasukkan aku ke kelas untuk anak-anak gila. Dia bilang di sini kelas anak-anak gila.(halaman 100).

14.“Aku enggak punya temapat cuci juga. Papaku, dia bawa air dalam ember dari pom bensin.” Dia berhenti sambil menatap lantai. “Itu Cuma untuk minum. Dia akan marah besar kalau buat itu kotor.”(halaman 115).

(49)

kadang-kadang. Tapi papaku, dia sayang aku. Aku Cuma suka kikuk jadi sering dapat luka.” (halaman 119)

16.“Sini,kutunjukkan padamu.” Dia mengangkat sebelah kakinya dan menunjuk sebuah bekas luka. “Mamaku dia bawa aku ke jalan dan tinggalkan aku di sana. Dia dorong aku keluar mobil dan aku jatuh, jadi sebuah batu lukai kaki kananku. Lihat.” Dia menunjuk sebuah garis putih. (halaman 119)

17.Sheila membawa bingkisan ke rumahnya, barang itu dikembaikan keesokan harinya, terbungkus dalam kantong kertas. Sheila bercerita dengan malu bahwa dia dipukul ayahnya karena menerima sedekah. (halaman 129)

18.“Kerjakan.” Saya dapat mendengar suara saya lebih keras dan lebih tajam daripada yang saya inginkan. Saya mengulurkan tangan untuk mengambil pensil, memaksakannya ke dalam tangannya. “Aku bilang kerjakan lembaran itu. Kerjakan sekarang, Sheila.” (halaman 140).

(50)

dari mulutnya, tak ada air mata mengalir dari matanya.(halaman 153)

20.“Papaku,” katanya pelan, “dia bilang itu satu-satunya cara ,membuat aku jadi baik. Dia cambuk aku dan harus jadi lebih baik, soalnya dia enggak mau tinggalkan aku di jalan seperti Mamaku.”(halaman 156).

21.Pengadilan memerintahkan bahwa dia harus ditempatkan di rumah sakit Negara jika sudah ada unit anak-anak. (halaman 259)

22.“Paman Jerry,” dia mulai bicara dengan perlahan, “dia mencoba memasukkan anunya ke badanku pagi ini, tapi enggak bisa masuk. Jadi , dia ambil pisau. Dia bilang aku membuatnya enggak bisa masuk, jadi dia memasukkan pisau kebadanku untuk membuatku menurut.”

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Data primer

Yaitu teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden dan penelitian-penelitian sebelumnya. Data primer ini yang membantu peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian ini.

2. Data sekunder

(51)

dalam memahami latar belakang penulis novel “SHEILA” karya Torey Hayden.

3.6 Teknik Analisis Data

Untuk dapat menganalisis seluruh data yang ada di dalam novel“SHEILA” karya Torey Hayden ini, maka peneliti akan membagi dalam beberapa langkah teknis dengan tujuan untuk memudahkan penganalisisan secara semiologi. Langkah-langkah ini merupakan pengembangan dari Barthes dalam membaca semiologi teks tertulis. Berikut penjelasan langkah-langkahnya :

1. Peneliti menggunakan semiologi dari Barthes, yaitu mengumpulkan seluruh unit analisis yang berupa leksia-leksia atau bacaan tertentu berdasarkan penilaian atas teks novel “SHEILA” karya Torey Hayden yang layak dan sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.

2. Peneliti kemudian membagi semua leksia yang terkumpul ke dalam aspek semiologi, yaitu aspek material dan aspek konseptual. Leksia-leksia tersebut dalam semiologi Barthes dianggap sebagai tanda (sign). Yang dimaksud aspek material adalah teks tertulis dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden, sedangkan aspek konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika membaca aspek material pada leksia tersebut.

(52)

kode-kode pembacaan ini, kita akan menemukan tanda-tanda dan kode-kode yang menghasilkan makna.

4. Langkah-langkah di atas akan memberikan kesimpulan akhir bagaimana representasi keindahan dalam novel “SHEILA” karya Torey Hayden.

Kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan dan otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab atau pengasuhnya, yang berakibat penderitaan,

kesengsaraan.

Dalam novel “Sheila” menggambarkan kekerasan terhadap seorang anak kecil yang digambaran sebagai anak yang tidak berdaya. Yang seharusnya

mendapatkan perlindungan dari keluarga dan orang sekitar. Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.

Dalam novel “Sheila” anak

digambarkan sebagai individu lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengalami ketidakadilan dan kekerasan dari kedua orang

tuanyanya dan juga dari orang-orang disekitarnya.

(53)

5.1 Kesimpulan

Novel non fiksi Sheila karya Torey Hayden memiliki latar belakang tentang kehidupan seorang gadis kecil yang mengalami kekerasan fisik, psikis dan kekerasan seksual dari orang tuanya sehingga mengalami gangguan mental yang kronis yaitu ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan masa kanak-kanak. Dan bagaiamana perjuangan sang penulis merubah tokoh utama dalam novel ini kembali menjadi anak kecil yang mampu menjalani kehidupan normalnya. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, setelah pemilihan leksia yang kemudian masing-masing leksia tersebut digolongkan pada masing-masing kode pembacaan lalu di aplikasikan pada meta bahasa, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

Setelah dilakukan beberapa proses yang dilalui untuk mendapatkan pemaknaan perilaku kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang-orang yang disekitarnya yang diperankan oleh tokoh yang bernama Sheila yang terdapat dalam Sheila karya Torey Hayden.

Pada kode pembacaan hermeunetik, perilaku kekerasan pada anak yang diperankan oleh tokoh yang bernama Sheila dengan ayah dan orang-orang yang disekitarnya, pada saat itu tokoh yang bernama Sheila mengalami trauma yang berlebihan sehingga dia mengalami gangguan kronis pada kemampuannya

(54)

bersosialisasi, yaitu ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan masa kanak-kanak sehingga dia berubah menjadi sosok gadis kecil yang agresif, dia tidak pernah menangis, baik kala sedih, marah, maupun kesakitan, dan dia selalu membangkang. Ketika dia merasa terjepit dalam kehidupan keras yang dilaminya dia tidak bisa berbuat apa-apa yang dilakukannya hanya diam tanpa ada air mata karma kebingungannya akan makna takut dan rasa sakit yang sebenarnya karna terlalu sering mengalaminya. Dan dapat dimaknai sebagai korban kekerasan, hal tersebut cenderung mengarah pada diskriminalisasi oleh para pelaku.

Pada kode pembacaan semik perilaku kekerasan pada anak dalam novel Sheila dimaknai sebagai perlakuan yang salah terhadap anak, dimana kita dapat mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental.

(55)

Pada kode pembacaan proaretik, perilaku kekerasan pada anak dalam novel Sheila karya Torey Hayden didukung oleh faktor sosial yang mendukung kekerasan terhadap anak antara lain 1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya; 2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. 3) Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan.

Pada kode pembacaan gnomic, perilaku kekerasan pada anak dalam novel Sheila karya Torey Hayden bertentangan dengan banyak hal yaitu bertentangan dengan norma, budaya, undang-undang dan agama terutama dalam agama, khususnya dalam agama islam. Dalam hal ini dapat dikatakan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

(56)

sosial dan adanya kemungkinan orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah tangga, stress, kemiskinan dan penyalahgunaan NAPZA.

Pada tataran mitos, dalam novel Sheila ini perilaku kekerasan pada anak dimaknai sebagai sebuah fenomena yang bertentangan, jika dilihat dari sisi sosial saat ini perilaku kekerasan terhadap anak dalam masyarakat umum dipandang sebagai sesuatu yang tabu dan bertentangan dengan budaya oleh karna itu seringkali korban dari perilaku kekersan terhadap anak ini ditutup-tutupi. Sedangkan banyak orang tua menggangap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka menganggap kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Sedangkan jika dilihat dari sisi agama Islam sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh peneliti menyatakan bahwa dalam tatanan masyarakat dunia masi berlaku Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Faktor nilai-nilai sosial inilah yang menyebabkan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap anak lupa bahwa mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

5.2 Saran

(57)

mendapatkan pemahaman yang obyektif dan tidak berdampak kesalahpahaman terhadap lingkungan masyarakat.

2. Diharapkan pula dengan adanya penelitian terhadap cerita sebenarnya yang ditulis oleh Torey Hayden ini terpapar jelas arti dan bentuk kekerasan yang sebenarnya terhadap anak,sehingga masyarakat umum lebih baik dalam memperlakukan anak.

3. Diahrapkan teknik penulisan dalam novel Sheila dapat diperhatikan lagi penggunaan kata-kata yang lebih tajam untuk membuat novel ini dapat dimaknai lebih nyata oleh pembaca untuk memberikan kesan dan memunculkan alur cerita yang lebih dalam. Selain itu dapat juga menjadi pembelajaran untuk pembuatan novel yang lain.

(58)

4.1 Gambaran Objek Penelitian

Torey Hayden oleh seorang psikolog pendidikan dan guru pendidikan yang ternama sejak tahun 1979 telah mengisahkan perjuangannya diruang kelasnya. Novel ini menceritakan sebuah kisah nyata kehidupan seorang gadis kecil. Dan menjadikan sebuah inspirasi bagi banyak guru, orang tua, dan psikologi, terutama pendidikan anak yang berkubutuhan khusus.

Inti cerita dari novel karya Torey Hayden ini. Torey mengajar disebuah kelas khusus untuk anak-anak yang “bermasalah” baik secara fisik maupun mental. Ada 8 anak yang diajar oleh Torey. Yang pertama adalah Peter, seorang anak yang kondisi neurologisnya buruk sehingga perilakunya sangat kasar. Yang kedua adalah Tyler, seorang anak perempuan yang mencoba bunuh diri dua kali. Yang ketiga bernama Max yang menderita autisme. Yang keempat adalah Freddie yang diduga menderita autisme, namaun ada juga yang menduga mengalami keterbelakangan mental yang parah. Yang kelima adalah Sarah, seorang anak yang menjadi korban penyiksaan fisik dan seksual yang menjadikannya pemarah dan pembangkang. Yang keenam bernama Susannah Joy yang menderita skizofrenia kanak-kanak. Yang ketujuh bernama William yang takut akan segala hal. Lalu yang terakhir bernama Guillermo, anak imigran Meksiko yang buta dan pemarah.

(59)

Dalam mengajar kedelapan anak tersebut, Torey dibantu oleh dua orang assistant pengajar. Yang pertama bernama Anton seorang imigran Meksiko berumur 29 tahun yang belum lulus SMU dan tidak pernah membayangkan berkeja di bidang pendidikan yang berisi anak-anak “khusus”. Yang kedua adalah Whitney, seorang murid SMP. Jadilah mereka berdua kelas didalam kelas tersebut.

Berbagai macam metode pengajaran dilakukan oleh Torey dan kedua asisstentnya untuk menambah kemampuan kedelapan anak-anak dalam berbagai aspek, diantaranya, diskusi pagi yang membahas tentang berbagai hal, kelas memasak di hari rabu, dan mengadakan kotak ajaib yang berisikan curahaan hati setiap anak yang ada dikelas. Beberapa bulan kemudian, kelas mereka bertambah satu orang murid bernama Sheila. Sheila adalah seorang anak berumur 6 tahun yang membakar seorang anak laki-laki berusia tiga tahun. Perilakunya sangat destruktif, pemarah dan pendendam. Ia benci akan segala hal. Sheila dibesarkan tanpa kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ibunya pergi meninggalkannya bersama dengan adiknya, sedangkan ayahnya selalu mengatakan anak haram kepada dirinya dan selalu disiksa. Tubuhnya sangat bau oleh bau pesing karena bajunya tidak pernah diganti. Karena peristiwa pembakaran tersebut, Sheila akan dimasukan ke rumah sakit negara. Namun, karena tidak ada instalasi khusus anak, ia ditempatkan sementara di kelas Torey sampai instalasi anak dibuka.

(60)

judul One Chlid, buku itu laku keras. Sheila (Luka Hati Seorang Gadis Kecil), edisi bahasa Indonesia atas buku tersebut yang diterbitkan oleh Qanita pada 2003 ternyata juga laku keras.

Setelah buku itu meledak di pasaran, wanita kelahiran Livingston, Montana, Amerika Serikat pada 21 Mei 1952 ini seperti memperoleh tenaga ajaib yang menggerakkannya untuk lebih produktif menulis. Sebagian dari karyanya fiksi, tetapi sebagian lainnya non fiksi.

Di berbagai negara, termasuk Indonesia, novel karya Hayden memang laku keras. Penerbit Qanita, lini baru dari Penerbit Mizan yang secara khusus menembak pasar buku perempuan modern Indonesia, adalah yang beruntung memperoleh kesempatan menerbitkan karya Hayden.

(61)

4.2 Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Penyajian Data

Penelitian ini menggunakan objek sebuah novel “SHEILA“ karya Torey Hayden dan di terbitkan oleh penerbit Qonita PT. Mizan Pustaka Bandung pada tahun 2009, yang pada teksnya terhadap leksia. Berdasarkan sifat representatifnya tanda pada teks novel tersebut di terjemahkan ke dalam struktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang di gunakan mengidentifikasi hal yang akan di cari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu kekerasan yang di dapat oleh seorang anak baik kekerasan domestic maupun kekerasan public. Sedangkan tema dari novel ini adalah seorang anak yang sering mendapatkan kekerasan fisik maupun psikis dalam lingkungan keluarga.

Kisah tentag Sheila itulah yang kemudian ditulis Hayden sebagai sebuah catatan pribadi pada 1979. Ketika kisah itu diterbitkan sebagai sebuah buku pada 1980 dengan judul One Chlid, buku itu laku keras. Sheila (Luka Hati Seorang Gadis Kecil), edisi bahasa Indonesia atas buku tersebut yang diterbitkan oleh Qanita pada 2003 ternyata juga lakukeras.

(62)

1. Ed Somers membawa gadis kecil itu, memegang erat-erat pergelangan tangannya dan menyeretnya. (halaman 32).

2. Saya menyeret Sheila melintasi ruangan ke kursi saya tempat kami selalu menyelenggarakan diskusi pagi, dan mendudukkannya di atas lantai persis di depan saya. (halaman 33).

3. Sheila tinggal berdua dengan ayahnya di sebuah gubuk dengan stu kamar di perkampungan pekerja migran. Rumah itu tidak punya sarana pemanas, pipa air, dan listrik. Ibunya telah meninggalkan Sheila dua tahun sebelumnya, tetapi dia membawa putranya yang lebih kecil. (halaman 49)

(63)

kulit putih yang sehat dengan luka-luka dan patah tulang yang telah sembuh total. Disamping dua catatan itu masih ada memo dari psikiater daerah dengan satu pernyataan: ketidakmampuan Kronis untuk Menyesuaikan Diri dengan Masa Kanak-Kanak. (halaman 50-51)

6. Ayahnya menaggapnya bagai anak yang suka melawan dan sering mendisiplinkan dia, sering kali dengan cara memukul atau mencabut haknya. (halaman 52)

7. Disamping peristiwa pembakaran itu, dia pernah dimarahi karena menyulut kebakaran di perkampungan pekerja migran dan karena mengoleskan kotoran manusia di ruang tunggu sebuah terminal bus. Pada usia enam setengah tahun, Sheila telah berhadapan dengan polisi tiga kali. (halaman 52)

8. Sheila berdiri dengan sikap menantang di atas kursi dekat akuarium. Dia pasti telah menangkap ikan mas situ satu demi satu dan mencungkil mata mereka hingga keluar dengan sebatang pensil. Tujuh atau delapan ikan tergeletak di lantai sambil menggelepar di sekeliling kursi, dengan mata lepas. Sheila mencengkram seekor ikan erat-erat dengan tangan kanannya dan berdiri mengancam dengan pensil di tangan lain.(halaman 58).

(64)

10.“Papaku, dia pasti cambuk aku keras-keras kalau dia liat aku gini.” (halaman 67).

11.Dia mencabut hak-hak tertentu Sheila, memberinya hukuman duduk di pojok ruangan, dan akhirnya membawa Sheila kepada kepala sekolah untuk dipukul dengan tongkat. (halaman 74).

12.Pekerja sosial itu dating sambil mneyeret Sheila sekitar lima belas menit sebelum pelajaran di mulai.(halaman 76).

13.“Papaku, dia bilang begitu. Dia bilang aku gila dan mereka memasukkan aku ke kelas untuk anak-anak gila. Dia bilang di sini kelas anak-anak gila.(halaman 100).

14.“Aku enggak punya temapat cuci juga. Papaku, dia bawa air dalam ember dari pom bensin.” Dia berhenti sambil menatap lantai. “Itu Cuma untuk minum. Dia akan marah besar kalau buat itu kotor.”(halaman 115).

15.“Papaku”, dia enggak mau lakukan itu. Dia enggak mau sakiti aku keras-keras. Dia sayang aku. Dia hanya pukul aku sedikit untuk buat aku baik. Kamu mesti lakukan itu pada anak-anak kadang-kadang. Tapi papaku, dia sayang aku. Aku Cuma suka kikuk jadi sering dapat luka.” (halaman 119)

(65)

jadi sebuah batu lukai kaki kananku. Lihat.” Dia menunjuk sebuah garis putih. (halaman 119)

17.Sheila membawa bingkisan ke rumahnya, barang itu dikembalikan keesokan harinya, terbungkus dalam kantong kertas. Sheila bercerita dengan malu bahwa dia dipukul ayahnya karena menerima sedekah. (halaman 129)

18.“Kerjakan.” Saya dapat mendengar suara saya lebih keras dan lebih tajam daripada yang saya inginkan. Saya mengulurkan tangan untuk mengambil pensil, memaksakannya ke dalam tangannya. “Aku bilang kerjakan lembaran itu. Kerjakan sekarang, Sheila.” (halaman 140).

19.Tuan Collins memaksanya membungkuk dengan kasar dan dengan satu sambaran papan itu memukul tubuhnya. Dia jatuh berlutut terkena pukulan pertama itu, tetapi wajahnya tidak berubah. Tuan Collins menariknya kembali berdiri. Sekali lagi pukulan dating. Lagi-lagi dia jatuh berlutut. Saat mendapat dua pukulan terakhir dia tetap berdiri dan tidak jatuh. Namun, tak ada suara sama sekali dari mulutnya, tak ada air mata mengalir dari matanya.

(halaman 153)

(66)

21.Pengadilan memerintahkan bahwa dia harus ditempatkan di rumah sakit Negara jika sudah ada unit anak-anak. (halaman 259)

22.“Paman Jerry,” dia mulai bicara dengan perlahan, “dia mencoba memasukkan anunya ke badanku pagi ini, tapi enggak bisa masuk. Jadi , dia ambil pisau. Dia bilang aku membuatnya enggak bisa masuk, jadi dia memasukkan pisau kebadanku untuk membuatku menurut.”

4.2.2 Hasil Analisis Data

Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan kalimat dalam leksia yang menunjukkan adanya perilaku kekerasan dan umumnya tergolong kedalam jenis kekerasan terhadap anak,selengkapnya sebagai berikut:

Leksia Kalimat Yang Menunjukkan Adanya Kekerasan Terhadap Anak

Leksia 1 Ed Somers membawa gadis kecil itu, memegang erat-erat pergelangan tangannya dan menyeretnya.

Leksia 2 Saya menyeret Sheila melintasi ruangan ke kursi saya temat kami selalu menyelenggarakan diskusi pagi, dan mendudukkannya di atas

lantai persis di depan saya.

Leksia 3 Sheila tinggal berdua dengan ayahnya di sebuah gubuk dengan stu kamar di perkampungan pekerja migran. Rumah itu tidak punya

sarana pemanas, pipa air, dan listrik. Ibunya telah meninggalkan

Sheila dua tahun sebelumnya, tetapi dia membawa putranya yang

(67)

Leksia 4 Ayah Sheila menghabiskan hampir sepanjang masa kanak-kanak gadis kecil itu di penjara atas tuduhan penganiayaan. Sejak dia

dibebaskan dua setengah tahun yang lalu, dia pun harus tinggal di

rumah sakit Negara karena kacanduan alcohol dan ketergantungan

obat. Sheila berpindah-pindah di antara keluarga dan kawan keluarga

itu, terutama dari pihak ibu, sebelum akhirnya ditinggalkan di tepi

jalan, ketika ditemukan dia sedang berpegang erat pada pagar

pemisah jalan tol. Setelah dibawa ke pusat anak-anak, Sheila, waktu

itu empat tahun, ternyata punya banyak bekas luka dan patah tulang,

semuanya akibat penganiayaan.

Leksia 5 Seorang dokter yang bertugas di daerah itu mencantumkan catatan di bagian bawah laporan bahwa badannya yang kecil mungkin akibat

kurang gizi, tetapi selain itu dia seorang anak perempuan kulit putih

yang sehat dengan luka-luka dan patah tulang yang telah sembuh

total. Disamping dua catatan itu masih ada memo dari psikiater

daerah dengan sau pernyataan: ketidakmampuan Kronis untuk

Menyesuaikan Diri dengan Masa Kanak-Kanak.

Leksia 6 Ayahnya menaggapnya bagai anak yang suka melawan dan sering mendisiplinkan dia, sering kali dengan cara memukul atau mencabut

haknya.

Leksia 7 Disamping peristiwa pembakaran itu, dia pernah dimarahi karena menyulut kebakaran di perkampungan pekerja migran dan karena

engoleskan kotoran manusia di ruang tunggu sebuah terminal bus.

Pada usia enam setengah tahun, Sheila telah berhadapan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan dalam film yang diteliti ternyata dijumpai perilaku kekerasan fisik, kekerasan seksual,kekerasan verbal

a) Kekerasan Fisik dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong, atau dengan alat atau senjata, menganiaya,

Manfaat penelitian ini adalah agar dapat lebih membantu pembaca novel untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis novel sehingga gambaran objektif tentang feminisme

Bab IV merupakan bab inti dari penelitian yang akan membahas representasi perempuan pinggiran dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Bab V merupakan bab akhir

(1) Peristiwa sejarah sosial politik yang terdapat dalam novel-novel karya Ayu Utami adalah (a) di Medan 1 Maret sampai dengan 16 April 1994, (b) Gerakan 30 September 1965, (c)

Teori yang digunakan adalah iklan media cetak, majalah sebagai media massa cetak, konstruksi realitas dan makna, perempuan sebagai model dalam iklan, feminisme, dominasi

Manfaat penelitian ini adalah agar dapat lebih membantu pembaca novel untuk memahami pesan yang ingin disampaikan penulis novel sehingga gambaran objektif tentang feminisme

Teori-teori yang digunakan antara lain Teori Konstruksi Realitas Sosial, Kekerasan, Kategori kekerasan, Kekerasan Dalam Media, Respon Psikologi Warna, Semiotika, Representasi,