KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kuasa
yang Maha Pengasih dan Penyayang sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Pemaknaan Karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover
Majalah Tempo” (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari
2010).
Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
Bpk. Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti,
sehingga peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Serta peneliti
juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.
Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa
Timur
2.
Bpk Juwito, S.Sos, Msi Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN
“Veteran” Jatim
3.
Kedua Orang Tua peneliti, yaitu Bpk. M. Zulaini Arifin dan Ibu Endang
Widaryati yang telah membantu baik secara materiil dan doa, adik peneliti
yaitu Novita Dwi Kartika Sari dan M. Ludfi Zulkarnaiin yang memberikan
support.
4.
Teman sekaligus sahabat-sahabat saya, yaitu : Ike Pratiwi, Fadilla Dwi
Anggia, Erni Purnamawati dan Niken Rizki Oktasyah (Thx garls buat
motivasi yang olweys kalian kasih)
ii
5.
Buat semua yang gak bisa di sebut satu persatu, trima kasih.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Surabaya, 1 Juni 2010
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kabinet Lanjutkan tapi Mirip Pemula ... 108
2. Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas ... 109
3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan ... 110
4. Program 100 Hari Kabinet Dikritik ... 111
5. Kepuasan Atas Kinerja Pemerintah Turun ... 112
6. Pengunjuk Rasa Tidak Puas ... 113
DAFTAR TABEL
2.1. Perangkat Framing William A.Gamson dan Modigliani ...
29
2.2. Kerangka Berpikir ...
31
3.1. Tabel 4.1 ...
50
3.2. Tabel 4.2 ...
51
3.3. Tabel 4.3 ...
52
3.4. Tabel 4.4 ...
59
4.1. Frame Berita Jawa Pos 27 Januari 2010 ...
67
4.2. Frame Berita Jawa Pos 28 Januari 2010 ...
73
4.3. Frame Berita Jawa Pos 29 Januari 2010 ...
80
4.4. Frame Berita Kompas 27 Januari 2010 ...
86
4.5. Frame Berita Kompas 28 Januari 2010 ...
92
4.6. Frame Berita Kompas 29 Januari 2010 ...
99
4.7. Frame Umum Perbandingan Jawa Pos dan Kompas ... 100
ABSTRAKSI
Citra Eka Prafitrian. Pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover
Majalah Tempo (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari
2010). SKRIPSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan karikatur “Artalyta
Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010
Teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu : Majalah
Sebagai Media Massa, Majalah, Media Cetak, Ilustrasi Cover, Komunikasi visual,
Kartun Dan Karikatur, Karikatur Sebagai Kritik Sosial, Konsep Makna, Relasi
Politik Dengan Hukum, Pemaknaan Warna, dan Pendekatan Semiotika.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif, yang menggunakan analisis semiotik dari Charles Sanders Pierce.
Korpus dari pemberitaan tersebut yaitu : Gambar karikatur “Artalyta ‘Ayin’
Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa ikon korpus tersebut
adalah seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang
memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri,
berjalan melewati tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar. Timbangan
tidak imbang, menuruni tangga, sandal lepas, uang terbang, baju berkibar, kain
putih terjuntai di pedang, langit berwarna orange yang berawan, rambut yang di
ikat, dan wajah yang tersenyum merupakan indeks dalam gambar tersebut.
Sedangkan simbol ditujukan oleh gambar palu, uang, pedang, sandal, pilar,
hanger, baju, tangga, dan timbangan.
.
ABSTRACT
Citra Eka Prafitrian. Confessing Caricature "Artalyta Suryani" On Tempo
Magazine Cover. (Semiotic Studies on Tempo Magazine Cover January 2010
edition). THESIS.
This study aimed to determine the meaning of caricature "Artalyta Suryani"
on the cover of Tempo magazine January 2010 edition.
Researchers used the theory in this research are: Magazine For Mass Media,
Magazines, Mass-Media, Cover Illustration, Visual Communications, Cartoon and
Caricature, Caricature As Social Critic, The Concept Of Meaning, Relationships
Politics And Law, Color Meanings, and the Semiotic Approach.
The method used in this study is a qualitative research method, which uses a
semiotic analysis of Charles Sanders Pierce. Corpus of the features are : Image
caricature "Artalyta 'Ayin' Suryani” on the cover of Tempo magazine January
2010 edition.
clothes, a white cloth hanging on the sword, the sky was cloudy orange color, hair
in that group, and the smiling face is the index of the image. While the picture
presented by the hammer symbol, money, swords, sandals, pillars, hanger,
clothes, stairs, and scale.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan
dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang
bahwa dalam komunikasi antar manusia, maka media yang paling dominan dalam
berkomunikasi adalah panca indra manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan
yang diterima panca indra selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk
mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan
dalam tindakan. Media yang dimaksud ialah media yang digolongkan atas empat
macam yakni media antar pribadi, media kelompok, media publik, dan media
massa.
Media massa adalah penyaji realita. Para pengelola media massa ibarat koki
yang memproses peristiwa menjadi berita, features, investigative reporting,
artikel, foto-foto, gambar bergerak, suara penyiar dan sounds effect, dialog
interaktif, dan sebagainya untuk disajikan kepada para khalayak. Sang koki
seharusnya memang merujuk pada fakta, akurasi, aktualitas, kaidah bahasa, dan
etika. Namun ia boleh memasukkan subyektifitas dengan menentukan mana yang
diletakkan pada bagian yang “sangat penting” atau “tidak penting” dan sebagainya
agar mendapat perhatian dan minat khalayak.
Media massa terdiri dari media massa cetak dan media massa elektronik.
massa elektronik terdiri dari televisi, radio, film, internet, dan lain-lain. Media
cetak seperti majalah, surat kabar, dan buku, justru mampu memberi pemahaman
yang tinggi kepada para pembacanya, karena ia sarat dengan analisis yang lebih
dalam dibanding media lainnya (Cangara, 2005:128).
Majalah merupakan medium yang memiliki kualitas dalam menyajikan
informasi. Majalah juga memiliki kemampuan membawa pesan yang sangat
spesifik untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau hiburan dengan penyajian
mendalam yang sangat jarang ditemukan pada media lain. Pesan-pesan yang
terdapat pada majalah dibentuk melalui proses interpretasi atau fenomena yang
terjadi. Hal ini diperkuat sebagai berikut, di Indonesia sendiri majalah lebih
dahulu melakukan jurnalisme interpretatif ketimbang koran ataupun kantor-kantor
berita. Bagi majalah, interpretasi justru menjadi sajian utama. Aneka majalah
sengaja menyajikan tinjauan dan analisis terhadap suatu peristiwa secara
mendalam, dan itulah hakikat interpretasi. Tidak hanya itu saja, dalam
kenyataannya, majalah ikut berperan dalam reformasi politik maupun sosial.
Majalah tidak seperti koran yang biasanya memiliki perspektif nasional, sehingga
terbebas dari sentimen kedaerahan. Bahkan majalah juga berjasa ikut memelihara
kesadaran tentang kesatuan bangsa, dan menyodorkan berbagai topik diskusi
kepada semua orang (River, 2003: 212).
Seiring dengan perkembangan jaman, majalah sudah mengalami berbagai
kemajuan. Jika pada jaman dahulu majalah hadir dalam bentuk cetak sederhana,
dicetak di atas kertas dengan kualitas apa adanya. Maka saat ini majalah terbit dan
tinggi serta kemasan yang sangat menarik. Kini majalah semakin tersegmentasi,
dengan mulai adanya majalah khusus anak-anak, seperti majalah BOBO. Khusus
remaja, Gadis, Kawanku, dll. Untuk politik terdapat Tempo dan Gatra. Selain itu
juga terdapat majalah khusus untuk olahraga, keluarga, pria serta wanita. Hal ini
yang menyebabkan masyarakat semakin selektif dalam memilih majalah sesuai
dengan kebutuhan mereka terhadap informasi maupun hiburan.
Majalah merupakan media yang terbit secara berkala, yang isinya meliputi
bermacam-macam artikel, cerita, gambar dan iklan (Djuroto, 2002: 32). Fungsi
dari majalah adalah, menyebarkan informasi kepada masyarakat. Selain itu
memberikan hiburan baik dalam bentuk tekstual atau visual seperti gambar kartun
maupun karikatur. Artini Kusmiati juga mengatakan di dalam bukunya Teori
Komunikasi Visual (1999:36) bahwa media gambar atau visual mampu
mengkomunikasikan pesan dengan cepat dan berkesan. Sebuah gambar bila dapat
memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata, juga secara
individual mampu untuk memikat perhatian. Visualisasi adalah cara atau sarana
yang paling tepat untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas.
Penampilan secara visual selalu mampu untuk menarik emosi pembaca dan dapat
memutuskan suatu problema untuk kemudian menghayalkan pada kejadian yang
sebenarnya. Media verbal gambar merupakan media yang paling cepat untuk
menanamkan pemahaman. Informasi bergambar lebih disukai dibandingkan
dengan informasi tertulis karena menatap gambar jauh lebih mudah dan
sederhana. Gambar berdiri sendiri, memiliki subyek yang mudah dipahami dan
Pada dasarnya simbol adalah sesuatu yang berdiri atau yang ada untuk
sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah
simbol dapat berdiri untuk institusi, cara berpikir, ide, harapan, dan banyak hal
lain (Sobur, 2003:163). Dapat disimpulkan bahwa simbol atau tanda pada sebuah
gambar memiliki makna yang dapat digali. Dengan kata lain, bahasa simbolis
menciptakan situasi yang simbolis pula. Atau memiliki sesuatu yang mesti
diungkap maksud dan artinya.
Memahami makna karikatur sama susahnya dengan membongkar makna
sosial dibalik tindakan manusia, atau menginterpretasikan maksud dari karikatur
sama dengan menafsirkan tindakan sosial. Indarto (1999: 1) menyatakan dibalik
tindakan manusia ada makna yang harus ditangkap dan dipahami, sebab manusia
melakukan interaksi sosial melalui saling memahami makna dari masing-masing
tindakan.
Karikatur juga perlu memiliki referensi-referensi sosial agar mampu
menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh karikaturisnya. Tokoh, isi,
maupun metode pengungkapan kritik yang dilukiskan secara karikatural sangat
bergantung pada isu besar yang berkembang dijadikan headline.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa karikatur merupakan salah satu wujud
lambang (simbol) atau bahasa visual yang keberadaannya dikelompokkan dalam
kategori komunikasi non verbal dan dibedakan dengan bahasa verbal yang
berwujud tulisan atau ucapan. Karikatur merupakan ungkapan ide dan pesan dari
karikaturis kepada publik yang dituju melalui simbol yang berwujud gambar,
Wahana penyampai kritik sosial dalam bentuk karikatur dapat kita temui
dalam berbagai media cetak, dalam media ini karikatur menjadi pelengkap
terhadap tajuk rencana, opini, serta artikel pilihan lainnya. Keberadaannya
biasanya disajikan sebagai selingan atau dapat dikatakan sebagai penyejuk setelah
para pembaca menikmati artikel-artikel yang lebih lebih serius dengan sederetan
huruf yang cukup melelahkan pembacanya. Meskipun sebenarnya pesan-pesan
yang disampaikan dalam sebuah karikatur sama seriusnya dengan pesan-pesan
yang disampaikan lewat artikel-artikel, namun pesan-pesan dalam karikatur lebih
mudah dicerna karena sifatnya yang menghibur. Seringkali gambar itu terkesan
lucu dan menggelikan sehingga membuat kritikan yang disampaikan oleh
karikatur tidak begitu dirasa melecehkan atau bahkan mempermalukan.
Karikatur juga dapat menjadi kontrol sosial . keberadaan karikatur maupun
gambar kartun dalam media massa cetak, khususnya pada majalah tidak hanya
melengkapi artikel tulisan-tulisan di majalah saja, tetapi juga memberikan
informasi kepada masyarakat agar mereka tahu antara tindaka-tindakan mana
yang layak dan tidak layak untuk dilakukan. Banyak kejadian yang dilaporkan
dalam bentuk gambar (misalnya kartun) yang lebih efektif dibanding dengan
kata-kata, karena kartun mempunyai kekuatan dan karakter sehingga pembaca tertarik
untuk sekedar melihat atau bahkan berusaha memahami makna dan pesan yang
terkandung dalam gambar kartun tersebut.
Kartun sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik dari segi
pengetahuan, intelektual, teknik menulis, psikologis, cara melobi, referensi,
kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Karena itu kita bisa
mendeteksi tingkat intelektual sang kartunis dari sudut ini. Juga cara dia
mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum
(Sobur, 2003:140).
Peletakan karikatur juga dapat menjadi nilai plus tersendiri. Headline dengan
menggunakan karikatur pada bagan paling depan sebuah majalah yaitu cover,
dapat mempermudah konsumen untuk mengetahui secara langsung, berita hangat
apa yang sedang beredar di masyarakat saat ini. Jangan pungkiri keberadaan
kemasan cover dari majalah. Walaupun orang sering mengatakan “Jangan melihat
atau menilai buku hanya dari sampulnya”, namun kekuatan cover / sampul
sebagai daya tarik dari sebuah cover juga tidak dapat dipungkiri. Cover
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah majalah dan memiliki
peranan penting karena pada saat akan membeli atau membaca majalah, yang
pertama kali diperhatikan adalah cover dan ilustrasi gambarnya. Karena melalui
ilustrasi gambarnya, seorang penulis dapat menuangkan ide dan kreatifitasnya dari
karya yang dihasilkan. Sehingga cover majalah dibuat untuk membuat calon
pembeli atau pembaca dalam hal pemahaman pesan.
Cover / sampul juga perlu didesain secara indah dan artistik agar mampu
menarik perhatian khalayak untuk membacanya. Pemilihan gambar harus dapat
dimengerti oleh khalayak. Pada sebuah cover / sampul, ilustrasi digunakan
sebagai gambaran pesan yang tidak terbaca, namun bisa mewakili isi dalam
bentuk grafis yang memikat. Meskipun ilustrasi merupakan attention-getter
tersebut juga mampu menunjang pesan yang terkandung dari sebuah isi. Dengan
ilustrasi, maka pesan menjadi lebih berkesan, karena pembaca akan lebih mudah
mengingat gambar daripada kata-kata.
Peneliti menaruh perhatian terhadap ilustrasi cover depan majalah Tempo
edisi Januari 2010. Karena pada cover tersebut mengangkat isu yang sedang
hangat beredar di masyarakat. Tentang Artalyta ‘Ayin’ Suryani dalam rubrik opini
yang mendapat perlakuan istimewa. Sebenarnya hal seperti ini telah menjadi isu
yang telah lama beredar dimasyarakat. Para koruptor kelas berat sebelumnya telah
mendapatkan perlakuan istimewa terlebih dahulu. Lihatlah Bob Hasan di
Nusakambangan dan Tommy Soeharto di Cipinang. Banyak pemberitaan tentang
sel mewah yang diberitakan dengan cara yang unik, salah satunya lewat karikatur.
Dan setiap gambar yang muncul (melalui karikatur) memiliki pengertian yang
berbeda-beda, sehingga akan memunculkan makna dibalik pemberitaan tersebut.
Oleh karena itu para desaigner-desaigner dari berbagai media massa
menyampaikan pesan atau memberikan sebuah informasi yang salah satunya
melalui karikatur tersebut.
Berita tentang sel mewah milik Artalyta Suryani tersebut menjadi
bulan-bulanan media massa. Pada media elektronik berupa televisi kita ambil contoh di
Liputan 6 dengan judul “Artalyta Kendalikan Perusahaan Dari Penjara”
(11/01/2010, 19:25). Pada media Cetak berupa majalah, Tempo edisi Januari 2010
yang dimuat pada rubrik opini.
Penelitian ini berusaha menangkap makna yang terkandung pada karikatur,
opini majalah Tempo edisi Januari 2010, ditampilkan seorang Artalyta ‘Ayin’
Suryani yang sedang menggunakan baju serta sandal berwarna putih. Beberapa rol
rambut menghiasi kepala, lengkap dengan make up tebal. Tangan kiri memegang
timbangan yang terbuat dari penggantung pakaian yang di isi dengan uang yang
sebagian bertebangan dan palu, terlihat seimbang. Tangan kanan memegang
pedang yang patah, dan selembar kain putih yang berkibar terkena angin. Dalam
gambar tersebut ia menggunakan sandal berwarna putih, yang sebelah kirinya
terlepas. Sedangkan pada background terdapat dua pilar dan Tiga buah anak
tangga. Serta dominan warna orange dan kuning.
Peneliti ingin sedikit mengingatkan pembaca tentang siapa Artalyta ‘Ayin’
Suryani. Wanita yang sering dijuluki sebagai ratu lobi ini, adalah terdakwa kasus
korupsi yang dituntut hukuman lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum
(JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu Artalyta harus
membayar denda sebesar Rp. 250 juta. JPU KPK menilai Artalyta terbukti
menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 660 ribu dollar AS, untuk kepentingan
obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Sjamsul Nursalim
(Suara Karya, 08 Juli 2008. 09:18). Sebagian publik mungkin sudah lupa dengan
kasus tersebut, akan tetapi pada 10 Januari 2010. Publik kembali dikejutkan
dengan pemberitaan Artalyta ‘Ayin’ Suryani yang memiliki sel mewah di rumah
tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Hampir sebagian besar media elektronik
memberi perhatian terhadap pemberitaan sel mewah tersebut. Hal ini juga diulas
Tempo merupakan salah satu majalah yang mempunyai rubrik khusus dalam
menyajikan karikatur. Majalah yang terkenal dengan pesan-pesannya yang kritis
ini lebih banyak menyajikan topik-topik dalam bidang sosial politik dalam setiap
kali penerbitannya. Akibat kekritisannya tersebut Majalah Tempo juga pernah
dibredel pada tahun 1982 dan 1994 namun hal ini tidak membuat Tempo terus
tenggelam. Dengan semangatnya untuk memperjuangkan kebebasan Pers, Tempo
berhasil bangkit dan menerbitkan kembali sirkulasinya pada tahun 1998 dan
berhasil menjadi pemimpin untuk industri penerbitan Majalah di Indonesia serta
diterbitkan dengan skala nasional atau beredar diseluruh wilayah Indonesia
(www.tempointeractive.com).
Peneliti memilih majalah Tempo karena merupakan salah satu majalah
mingguan yang pada umumnya meliput berita dan politik. Pada majalah Tempo,
terdapat rubrik opini yang menyesuaikan isu-isu hangat tentang politik yang
masih banyak dibicarakan oleh masyarakat luas, salah satunya tentang koruptor.
Dengan adanya penyampaian pesan lewat karikatur akan didapatkan persepsi yang
berbeda-beda dari khalayak sasaran yang memaknainya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik, yaitu studi tentang tanda
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda
lain, pengiriman dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Selain itu
peneliti juga menggunakan warna sebagai acuan untuk meneliti cover depan
majalah Tempo tersebut, karena memiliki makna yang bermacam-macam.
Dengan menggunakan metode semiotik dari Charles Sanders Pierce, maka
digolongkan dalam semiotik, yaitu ikon, indeks dan simbol. Dari interpretasi
tersebut, maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam ilustrasi
yang terkandung dalam ilustrasi cover depan majalah Tempo edisi Januari 2010.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
“Bagaimana makna karikatur pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010?”
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pemaknaan cover
majalah Tempo dengan karikatur Artalyta ‘Ayin’ Suryani.
1.4Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis, memberikan makna pada tanda dan lambang yang
terdapat dalam objek untuk memperoleh hasil dari interpretasi data
mengenai pemaknaan karikatur pada cover majalah Tempo dengan
menggunakan metode semiotik Pierce.
2. Kegunaan praktis, untuk mengetahui penerapan tanda dalam studi
semiotik, sehingga dapat memberi masukan bagi para pembaca majalah
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Majalah Sebagai Media Massa
Berbeda dengan surat kabar, majalah telah jauh lebih menspesialisasikan
produknya untuk menjangkau konsumen tertentu. Umunya setiap majalah
mempunyai pembaca jauh lebih sedikit dibanding pembaca surat kabar, namun
memiliki pasar yang mengelompok. Usia majalah juga jauh lebih panjang dari
surat kabar. Majalah memiliki kedalaman isi yang jauh berbeda dengan surat
kabar yang hanya menyajikan berita. Disamping itu, majalah menemani pembaca
dengan menyajikan cerita atas berbagai kejadian dengan tekanan unsur menghibur
atau mendidik.
Jenis-jenis majalah itu sendiri dapat dibedakan atas dasar frekuensi penerbitan
dan khalayak pembaca. Sedangkan frekuensi penerbitan di Indonesia pada
umumnya terbit mingguan, bulanan, dua kali sebulan, tiga kali sebulan dan
bahkan ada pula yang terbit triwulanan.
Klasifikasi majalah menurut khalayak pembaca umumnya dibagi menjadi tiga
jenis, yaitu:
1. Majalah Konsumen
yakni majalah yang diarahkan pada para konsumen yang akan langsung
membeli barang-barang konsumsinya. Majalah-majalah jenis ini dijual secara
2. Majalah Bisnis
yakni majalah yang ditujukan untuk kepentingan kalangan bisnis.
3. Majalah Pertanian
yakni majalah yang ditujukan kepada para petani atau peminat dibidang
pertanian atau perkebunan.
Pembaca majalah dapat diklasifikasikan menurut segmen-segmen demografis,
misalnya, majalah anak-anak, remaja, pria, remaja wanita, wanita dewasa atau
pria dewasa, ataupun secara geografis, psikografis dan dari segi kebijakan
editorial. Dari segi kebijakan editorial dapat dibedakan antara Majalah Berita
(Tempo, Editor), Majalah Umum (Intisari), Wanita (Femina, Kartini), Bisnis
(Swasembada, Warta Ekonomi) dan Special Interest (ASRI) dan lain-lain.
Majalah sebagai media massa tidak melepaskan konsekuensinya sebagai alat
yang ampuh untuk menyebarkan informasi, edukasi dan budaya. Dari media itu
kita bisa tahu mengenai apa yang wajar atau disetujui, apa yang salah dan apa
yang benar, apa yang mesti diharapkan sebagai individu, kelompok atau bangsa
lain. Majalah memang dianggap sebagai media massa, meskipun demikian masih
tercatat ada ratusan majalah khusus (special interest magazine), yang
masing-masing ditujukan untuk khalayak yang memiliki perhatian dan gaya hidup khusus
(Shimp, 2003:517).
2.1.2 Majalah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, majalah adalah terbitan berkala
oleh konsumen pembaca, artikel, sastra, dan sebagianya yang menurut kala
terbitnya dibedakan atas majalah bulanan, majalah tengah bulanan, majalah
mingguan dan sebagainya.
Majalah lazimnya berjilid, sampul depannya dapat berupa ilustrasi foto,
gambar atau lukisan tetapi dapat pula berisi daftar isi atau artikel utama serta
kertas yang digunakan lebih mewah dari surat kabar. Majalah sebagai salah satu
bentuk dari media massa yang sangat perlu diperhatikan keheterogenan pembaca
yang merupakan cirri dari komunikasi massa. Majalah adalah terbitan berkala
yang berita bacaannya ditujukan untuk umum dan ditulis oleh beberapa orang
dengan bahasa yang popular sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.
Menurut Junaedhi (1991: 54), dilihat dari isinya majalah dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:
a. Majalah Umum
Majalah yang memuat karangan-karangan, pengetahuan umum, komunikasi
yang menghibur, gambar-gambar, olahraga, film dan seni.
b. Majalah Khusus
Majalah yang hanya memuat karangan-karangan mengenai bidang-bidang
khusus seperti majalah keluarga, politik, dan ekonomi
2.1.3 Media Cetak
Media massa dapat dibedakan menjadi dua, yakni media massa elektronik dan
media massa cetak. Media massa elektronik maupun cetak banyak yang
Keberadaan media massa seperti halnya pers, radio, televisi, film dan lain-lain,
tidak terlepas dengan kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Media massa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan
komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu bahkan lapisan sosial
dalam masyarakat.
Media cetak dalam hal ini adalah suatu bentuk media yang stastis yang
mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran dengan
sejumlah kata, gambaran atau foto dalam tata warna dan halaman putih
(Kasali,1995:99).
2.1.4 Ilustrasi Cover
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian ilustrasi adalah
gambar (foto, lukisan) untuk membantu memperjelas isi suatu buku, majalah,
karangan dan dapat pula berupa gambar, desain atau diagram untuk penghias
halaman cover.
Sesuai dengan pengertian tersebut maka ilustrasi cover adalah sebuah gambar
atau lukisan dan tulisan-tulisan yang dipergunakan untuk menghiasi sebuah
majalah, sekaligus sebagai media untuk memperjelas pandangan dan penilaian
dari pihak tim kreatif suatu majalah akan suatu fenomena kehidupan.
Dengan adanya ilustrasi berupa gambar pada cover, khalayak atau pembaca
diharapkan tertarik dan tergugah untuk mengetahui pesan, sesuai dengan yang
pemahaman serta lebih kaya lagi terhadap ide-ide yang terdapat pada isi majalah
tersebut.
Gambar adalah lambang lain yang digunakan dalam berkomunikasi
non-verbal, gambar dapat digunakan untuk menyatakan suatu pikiran atau perasaan.
Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang
didalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, warna dan komposisi.
Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non-verbal, ia
dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Gambar
banyak dimanfaatkan sebagai lambang visual pesan guna mengefektifkan
komunikasi (http://puslipetra.ac.id/journals/desain).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka ilustrasi sampul novel sangat
berperan dalam mengefektifkan komunikasi, karena ilustrasi merupakan sebuah
proses komunikasi dimana, terdapat informasi atau pesan yang sengaja digunakan
oleh komunikator (ilustrator) untuk disampaikan atau ditransmisikan kepada
komunikan (khalayak atau pembaca) dengan menggunakan bahasa.
2.1.5 Komunikasi Visual
Sejak awal sejarah terciptanya manusia di alam raya ini, komunikasi antar
manusia adalah bagian yang paling penting dalam berkomunikasi. Komunikasi
visual yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara,
pada hakikatnya adalah suatu bahasa. Tugas utamanya membawakan pesan dari
seseorang, lembaga atau kelompok masyarakat tertentu kepada yang lain (Pirous
Sebagai bahasa, maka efektifitas penyampaian pesan tersebut menjadi
pemikiran utama seorang pendesain komunikasi visual. Komunikasi visual
sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia dibidang informasi visual
melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan
pesat. Hampir disegala sektor kegiatan, lambang-lambang atau simbol-simbol
visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, corporate identity, sampai
berbagai display produk dipusat pertokoan dengan aneka daya tarik.
Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang di
dalamnnya terkandung struktur rupa, seperti: garis, warna dan komposisi.
Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non-verbal, ia
dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan maupun ucapan.
Di dalam rancangan grafis yang kemudian berkembang menjadi desain
komunikasi visual banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai lambang
visual pesan guna mengefektifkan komunikasi. Upaya mendayagunakan
lambang-lambang visual berangkat dari premis (dasar pemikiran) bahwa bahasa visual
memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan sangat istimewa untuk
menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit
dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal.
Maka dalam berkomunikasi diperlukan sejumlah pengetahuan yang memadai
seputar siapa publik yang dituju dan bagaimana cara sebaik-baiknya
berkomunikasi dengan mereka. Semakin baik dan lengkap pemahaman kita
terhadap hal-hal tersebut maka akan semakin mudah untuk menciptakan bahasa
2.1.6 Kartun dan Karikatur
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa karikatur seperti halnya kartun gags
(kartun kata), kartun komik dan kartun animasi adalah bagian dari apa yang
dinamakan kartun.
Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang kartunis, baik dari segi
pengetahuan, intelektual, tekhnik melukis, psikologis, cara melobi, referensi
bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat. Karena itu, kita bisa
mendeteksi intelektual seorang karikaturis dari sudut ini juga, cara dia mengkritik
yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur,
2006:140)
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk
gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau
ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan
sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena
penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur,
2006:40).
Sedangkan kartun sendiri merupakan suatu keahlian seorang kartunis, baik
dari segi pengetahuan, intelektual, tekhnik melukis, psikologis, cara melobi,
referensi bacaan, maupun bagaimana dia memilih isu yang tepat. Kartun
merupakan tanggapan atau opini secara subjektif terhadap suatu kejadian, tokoh,
suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Karena itu bisa mendeteksi tingkat
intelektual yang membuat kartun dari sudut ini. Juga cara dia mengkritik yang
Kartun mempunyai keunggulan sekaligus kelemahan. Ia dapat ditangkap
pikiran orang, tetapi tidak mampu menjelaskan persoalan secara lengkap dan
tuntas. Kemudahan dan daya tembus sebuah kartun dapat diterima oleh semua
kalangan mulai dari rakyat yang buta huruf sampai intelektual yang sarat dengan
cara pandang kritis. Menurut ketua PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia)
Pramono, kartun yang baik antara lain memiliki misi pendidikan, yaitu
meningkatkan kemampuan berpikir dan perenungan bagi penikmatnya, meskipun
mediumnya berupa humor. Oleh Karena itu kartun yang berhasil tentu saja terbit
dari ide yang cerdas dan dapat dinikmati secara cerdas pula.
2.1.7 Karikatur Sebagai Kritik Sosial
Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem
sosial atau proses bermasyarakat, dalam konteks inilah kritik sosial merupakan
unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik sosial
dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah
sistem sosial atau masyarakat (Masoed, 1999:47).
Krtitik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial, bahwa kritik sosial
menjadi sarana komunikasi, gagasan baru, sembari menilai gagasan yang lama
untuk suatu perubahan sosial. Persepsi kritik sosial yang demikian lebih banyak
dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat kritik sosial adalah
wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial (Masoed, 1999:49).
saja, melainkan justru melibatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial
kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab bahwa manusia bersama-sama
bertanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya.
Kritik memiliki fungsi taktis dan peranan strategis dalam menumbuhkan
berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pemerintahannya. Kontrol
sosial dan kritik sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang selalu
ada didalam masyarakat manapun. Dengan demikian, apabila kontrol sosial
cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, kritik sosial cenderung
dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan
pengendalian.
Kritik sosial sebenarnya bagian yang sangat penting dalam kemajuan
jalannya pemerintahan, karena kritik menciptakan cambuk bagi pemerintahan agar
mampu dan sebisa mungkin mengerti apa yang diinginkan masyarakat dan juga
merupakan apresiasi dari masyarakat terhadap pemerintahan, lewat karikatur
media cetak yang diproduksi para desaigner media dalam hal ini majalah. Kritik
sosial seringkali ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar,
majalah dan tabloid. Kritikan-kritikan yang jenaka disampaikan secara jenaka
tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan (Wijana, 2004:4).
2.1.8 Konsep Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan
dan Ricards dalam Kurniawan, 2008:27) telah mengumpulkan tidak kurang dari
22 batasan mengenai makna.
Makna sebagaimana dikemukakan oleh Fisher (dalam Sobur, 2004:248),
merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat
dan para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato
mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultarealitas”, para
pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang
sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai
kerespon yang dikeluarkan Skinner. “tetapi” (Jerold Katz dalam Kurniawan,
2008:47), “setiap usaha untuk memberikan jawaban yang langsung telah gagal.
Beberapa seperti misalnya Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif. Yang
lainnya memberikan jawaban salah”.
Menurut Devito, makna terletak pada kata-kata melainkan pada manusia.
“Kita” lanjut Devito, menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin
kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini secara sempurna dan lengkap
menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula makna yang didapat
pendengar dari pesan-pesan akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi
dibenak pendengar dan apa yang ada dalam benak kita.
Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf sehubungan dengan usaha
menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah (1) menjelaskan makna
secara alamiah, (2) mendeskripsikan secara alamiah, (3) menjelaskan makna
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna. Model
konsep makna (Johnson dalam Devito, 2997:123-125) sebagai berikut:
1. Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata, melainkan
pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang
ingin kita komunikasikan, tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan
lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Komunikasi adalah
proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar apa yang
ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa saja salah.
2. Makna berubah. Kata-kata relative statis, banyak dari kata-kata yang kita
gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini dan
berubah, ini khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.
3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu
pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai
kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan
gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah
komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan
yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita, persahabatan, kebahagiaan,
kejahatan dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan
sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan
bicara.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam
kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada
sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang
berkomunikasi.
6. Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari
suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya
sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.
Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam benak kita, karenanya
pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita
capai tetap tidak pernah tercapai (Sobur, 2003:285-289).
2.1.9 Relasi Politik Dengan Hukum
Hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk
mewujudkan nilai-nilai keadilan. Ciri-ciri hukum mengandung perintah dan
larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, hukum yang berjalan akan
menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Sebagai salah satu kaidah
yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara, hukum adalah sebuah
produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan
yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan., kaidah
hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada
tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk
pelanggaran berdasarkan keputusan politik.
Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat
berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas dari proses kerjanya
lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat
memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum
itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung
prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Pada hukum terdapat istilah-istilah seperti penjara, tahanan, narapidana,
terdakwa, tersangka. Penjara adalah tempat untuk membatasi ruang gerak atau
kebebasan individu yang berada di dalamnya. Penjara di Indonesia sendiri Penjara
di Indonesia dikenal dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan
Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dimana didalamnya dilakukan pembinaan terhadap narapidana. Sedangkan rumah
tahanan sendiri adalah adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama
proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di
Indonesia. Rumah Tahanan Negara merupakan unit pelaksana teknis di bawah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2.1.10 Pemaknaan Warna
Para teoritis bahasa mengemukakan bahwa kebanyakan kata memiliki makna
majemuk. Setiap kata dari kata-kata, seperti: merah, kuning, hitam, dan putih
memiliki makna konotatif yang berlainan. Dalam Roget’s Thesaurus, seperti
dikutip Mulyana (2003, 260-261), terdapat kira-kira 12 sinonim untuk kata hitam,
dalam beberapa kepercayaan warna-warna seperti warna hitam dan abu-abu
hal-hal yang bersifat buruk dan negatif, misal: daftar hitam, dunia hitam, dan kambing
hitam.
Sedangkan terdapat sinonim untuk kata putih, dan semua bersifat positif.
Warna putih kebalikan dari warna hitam, putih mewakili sesuatu yang
menyenangkan dan mencerminkan segala sesuatu yang bersifat kebaikan, seperti:
murni, bersih, suci. Jadi kata hitam umumnya berkonotasi negatif dan warna putih
berkonotasi positif (Sobur, 2001:25).
Warna mampu memberikan pemaknaan tentang sesuatu hal, misalnya warna
merah, berarti bisa api atau darah, dibeberapa kata merah darah lebih tua
dibandingkan dengan kata merah itu sendiri, namun di beberapa bahasa kata
merah digunakan pada saat bersamaan menjadi merah darah. Karena unsur-unsur
tersebut, merah dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat dalam hubungannya
dengan ikatan, kebenaran dan kejayaan, namun tak jarang pula warna merah
diartikan sebagai suatu kebencian dan dendam tergantung dari situasi.
Kuning bisa diartikan sebagai sebuah optimis, filosofi dalam budaya barat.
Sedangkan warna ungu menandakan nuansa spiritual, misteri, kebangsawanan,
transformasi, kekasaran dan keangkuhan. Warna orange yang berarti energi,
keseimbangan, kehangatan, menekankan pada suatu produk yang tidak mahal,
menurut budaya barat (Mulyana, 2003:376).
Warna menurut Hoed dan Benny Hoedoro 1992. Dalam bukunya
“periklanan” memiliki beberapa makna dalam menunjang kegiatan periklanan
karena perpaduan dan kombinasi warna yang menarik akan mempunyai nilai
1. Merah
Merah merupakan warna power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresif,
bahaya, kekuatan, kemauan, eksentrik, aktif, bersaing, warna ini memberikan
pengaruh berkemauan keras dan penuh semangat. Sering juga diapresiasikan
untuk menunjuk emosi atau debaran jantung.
2. Orange
Orange merupakan warna energi, keseimbangan, kehangatan, antusiasme,
perluasan, pencapaian bisnis, karir, kesuksesan, keadilan, penjualan,
persahabatan, kesehatan pikiran dan pengetauan, daya tahan, kegembiraan,
gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, tekanan sosial, modal kecil, murah,
ketertarikan dan independent.
3. Kuning
Warna kuning ini bersifat menonjol, semangat untuk maju dan toleransi tinggi.
Pengaruh warna ini antara lain riang, dermawan, dan sukses. Kuning adalah
warna yang berkesan optimis, dan termasuk pada golongan warna yang mudah
menarik perhatian. Warna ini dapat digunakan untuk menaikkan metabolisme.
4. Merah Muda
Merah muda berarti memiliki asosiasi yang kuat dengan citra, keberanian dan
kesenangan. Ikatan antara merah dan kehidupan memiliki peranan yang
penting dalam kebudayaan di bumi.
5. Hijau
Hijau melambangkan alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan, warna bumi,
tanaman dan pohon, pertumbuhan, pencapaian personal, kebangkitan, jiwa
muda, stabilitas, daya tahan, kesegaran, lingkungan, keamanan, rujukan, cinta,
keseimbangan, ketenangan, harapan, ketergantungan, dan persahabatan.
Warna hijau melambangkan elastisitas keinginan. Cenderung pasif, bertahan,
mandiri, posesif, susah menerima pemikiran orang lain. Pengaruh dari warna
ini adalah teguh dan kokoh, mempertahankan miliknya, keras kepala, dan
berpendirian tetap.
6. Biru
Biru melambangkan kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi,
kebersihan, keteraturan, komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan,
perlindungan, inspirasi, spiritual, kelembutan, dinamis, air , laut, kreativitas,
cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari
dalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi,
idealisme, empati, dingin, konservatisme, persahabatan dan harmoni serta
kasih sayang, kalem, ketenangan, menenangkan namun juga dapat berarti
dingin dan depresi. Sebagai dari akibat efek menenangkan, warna biru dapat
membuat orang lebih konsentrasi.
7. Abu-abu
Abu-abu melambangkan intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan,
keamanan, reabilitas, kepandaian, tenang, serius, kesederhanaan, kedewasaan,
8. Putih
Putih melambangkan positif, ketepatan, ketidak bersalahan, steril, kematian,
kedamaian, pencapaian ketinggian diri, spiritualitas, kedewasaan,
keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kebersihan, kesempurnaan,
cahaya, persatuan, lugu, murni, ringan, netral dan fleksibel.
9. Hitam
Hitam melambangkan power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri,
ketakutan, kesedihan, keanggunan, perlindungan, pengusiran, sesuatu yang
negatif, mengikat, formalitas, kekayaan, kejahatan, perasaan yang dalam,
kemarahan, harga diri dan ketangguhan.
10.Ungu/Jingga
Ungu/jingga melambangkan spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi,
kekasaran, keangkuhan, pengaruh, pandangan ketiga, pengetahuan yang
tersembunyi, aspirasi yang tinggi, upacara, kebijakan, pencerahan, arogan,
intuisi, mimpi, ketidaksadaran, telepati, empati, imajinasi, kepercayaan yang
dalam, harga diri, independensi, kontemplasi, dan meditasi, ambisi,
kemewahan, kekayaan, feminim, artistik, kuno dan romantik.
11.Cokelat
Warna cokelat adalah warna yang kesannya paling dekat dengan bumi
sehingga membuat kita merasa dekat. Cokelat bisa menjadi sumber energi
yang konstan, serta membuat kita merasa kuat. Warna ini mewakili rasa aman,
komitmen dan rasa kepercayaan. Cokelat juga membarikan rasa nyaman dan
2.1.11 Pendekatan Semiotika
Kata “Semiotika” yang berarti tanda. Semiotika sendiri berakar dari studi
klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Semiotika adalah
cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda terdapat
dimana-mana “kata” adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas,
bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur)
atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi
tanda, tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara
verbal maupun non-verbal sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut
memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna
informasi atau pesan dari pengirim pesan. Semiotika merupakan cabang ilmu yang
semula berkembang dalam bahasa. Dalam perkembangannya kemudian semiotika
bahkan masuk pada semua segi kehidupan manusia. Derida (dalam Kurniawan,
2008:34) memiliki pendapat bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting
bahasa, “there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai
“teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting dalam
kehidupan umat manusia sehingga: “manusia yang tak mampu mengenal tanda,
tak akan bertahan hidup” (Widagdo dalam Kurniawan, 2008). Charles Sanders
Pierce merupakan ahli filsafat dan ahli terkemuka dalam semiotika modern
Amerika menegaskan bahwa, manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda
dan manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dapat
dimanfaatkan dalam seni rupa berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, terdiri
sebagainya. Tanda-tanda yang bersifat verbal adalah objek yang dilukiskan seperti
objek manusia, binatang, alam, imajinasi atau hal-hal abstrak lainnya. Apapun
alasannya (senirupawan, designer) untuk berkarya, karyanya adalah sesuatu yang
kasat mata. Karena itu secara umum bahasa digunakan untuk merangkul segala
yang kasat mata dan merupakan media antar perupa (seniman) dengan pemerhati
atau penonton. Seniman dan designer membatasi bahasa rupa dalam
segitiga,estetis-simbolis-bercerita (story telling). Bahasa merupakan imaji dan tata
ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik imaji yang kasat mata maupun
imaji yang ada khayalnya.
Menurut John Fiske, pada intinya semua model yang membahas mengenai
makna dalam studi semiotik memiliki bentuk yang sama, yaitu membahas tiga
elemen, antara lain:
1. Sign atau tanda itu sendiri
Pada wilayah ini akan dipelajari tentang macam-macam tanda. Cara seseorang
dalam memproduksi tanda, macam-macam makna yang terkandung
didalamnya dan juga bagaimana mereka saling berhubungan dengan
orang-orang yang menggunakannya. Dalam hal ini tanda dipahami sebagai
konstruksi makna dan hanya bisa dimaknai oleh orang-orang yang telah
menciptakannya.
2. Codesi atau kode
Sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam tanda yang terorganisasikan
mengeksploitasi media komunikasi yang sesuai dengan transmisi pesan
mereka.
3. Budaya
Lingkungan dimana tanda dan kode itu berada. Kode dan lambang tersebut
segala sesuatunya tidak dapat lepas dari latar belakang budaya dimana tanda
dan lambang itu digunakan.
Dalam semiotik model yang digunakan dapat berasal dari berbagai ahli,
seperti Saussure, Pierce dan sebagainya. Pada penelitian ini yang akan digunakan
adalah model semiotik milik Pierce, karena adanya kelebihan yang dimiliki yaitu
tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistik.
Tampilan iklan yang muncul di berbagai media tersebut terdapat berbagai
macam tanda yang dibuat oleh pengiklan dalam usahanya untuk memberikan
pesan atau informasi bagi khalayak berupa karikatur. Berbagai macam tanda
itulah yang hendak dikaji dalam sebuah tampilan iklan melalui pendekatan
semiotika.
2.1.12 Semiotika Charles S. Pierce
Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka
teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur, 2004:83). Bagi Pierce
tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or
capacity”. Kita misalnya dapat menjadikan teori segitiga makna (triangle
adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat
berfungsi, oleh Pierce disebut ground, object dan interpretant (Sobur, 2004:41).
Sementara itu interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu
berinteraksi dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang
diwakili oleh tanda tersebut. Makna adalah persoalan bagaimana makna muncul
dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi
(Barthes dalam Kurniawan, 2008:37).
Charles S. Pierce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga
kategori yaitu: ikon, indeks, dan simbol adalah tanda yang hubungan antara
penanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata
lain ikon adalah hubungan antara tanda objek atau acuan yang bersifat kemiripan,
misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjuk adanya hubungan
alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab
akibat, atau tanda yang langsung ,mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling
jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu pada
denotatum melalui konvesi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang
biasa disebut simbol tanda yang menunjuk hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan
berdasarkan konvensi atau perjanjian masyarakat (Sobur, 2004: 42). Hubungan
segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut ini: (Fieske
Sign
Interpretant Object
Gb. 2.1 Hubungan Tanda, Objek dan Interpretant Pierce
Charles S. Pierce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga
kategori, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ketiga kategori tersebut digambarkan
dalam sebuah model segitiga sebagai berikut:
Icon
Index Symbol
Gb. 2.2 Model Kategori Tanda Oleh Pierce
2.2 Kerangka Berfikir
Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dalam
memaknai sesuatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan adanya pengalaman
(Field Of Experience) dan pengetahuan (Field Of Preference) yang berbeda-beda
pada individu tersebut. Begitu juga peneliti dalam hal memaknai tanda dan
lambang yang ada dalam objek, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemahaman terhadap tanda dan
lambang dalam hal ini adalah karikatur “Artalyta Suryani” dalam majalah Tempo
Edisi Januari 2010. Tanda–tanda yang terdapat dalam setiap penggambaran
karikatur secara keseluruhan tersebut dikaji berdasarkan teori yang sesuai dengan
peristiwa yang melatarbelakangi pembuatan karikatur dalam cover Tempo, yang
dijabarkan secara terperinci dalam pemilihan gambar dan warna.
Berdasarkan landasan tersebut diatas, maka peneliti menggunakan metode
semiotik dari Charles S. Pierce, yaitu teori tentang segitiga makna (triangle
meaning), yang terdiri dari tanda, objek dan interpretant. Tanda merujuk pada
sesuatu yang dirujuk, sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda. Pierce membagi tanda
dalam tiga kategori, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dengan metode tersebut,
maka dapat diperoleh suatu hasil interpretasi mengenai pemaknaan karikatur
“Artalyta Suryani” dalam cover Tempo edisi Januari 2010.
Analisis Semiotik Charles Sander Pierce
Sign
Segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut.
[image:40.612.133.503.503.700.2]Object
Gambar karikatur “Artalyta Suryani” pada cover Tempo edisi Januari 2010.
Interpretant
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan semiotik. Alasan peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif
terdapat beberapa faktor pertimbangan, yaitu pertama metode deskriptif kualitatif
akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataannya ganda,
kedua metode deskriptif kualitatif menyajikan secara langsung hubungan antara
peneliti dengan objek peneliti, ketiga metode deskriptif kualitatif lebih peka serta
dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi (Moelong, 220:33).
Selain itu pada dasarnya semiotik bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu suatu
metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajian, serta
bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda akan teks tersebut.
Oleh karena itu peneliti harus memperhatikan beberapa hal dalam penelitian
ini, pertama adalah konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang
diteliti. Disini peneliti diharapkan dapat memahami makna dari teks yang diteliti.
Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya
dikemas secara aktual dan diorganisasikan secara bersama, ketiga adalah
pembentukan secara bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan
Dalam penelitian ini menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu
ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan
menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang
didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan
sepanjang gambar dalam cover karikatur. Pendekatan semiotik termasuk dalam
metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha
untuk mengetahui pemaknaan dari karikatur “Artalyta Suryani” pada Cover
Majalah Tempo Edisi Januari 2010.
3.2 Korpus
Korpus merupakan sample terbatas pada penelitian kualitatif yang bersifat
homogen. Tetapi sebagai analisa, korpus bersifat terbuka pada konteks yang
beraneka ragam, sehingga memungkinkan memahami berbagai aspek dari sebuah
teks pesan. Korpus bertujuan khusus digunakan untuk analisa semiotik dan analisa
wacana. Pada penelitian kualitatif memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya
interpretasi-interpretasi alternatif.
Makna yang digali adalah makna eksplisit dan makna yang berdasarkan apa
yang tampak (denotatif), serta makna yang mendalam yangt berkaitan dengan
pemahaman-pemahaman ideology dan cultural (konotatif)
Korpus pada penelitian kualitatif ini adalah gambar karikatur “Artalyta ‘Ayin’
3.3 Unit Analisis
Unit analisis data pada penelitian ini adalah keseluruhan tanda yang ada
didalam karikatur pada majalah Tempo edisi Januari 2010 yang berupa karikatur
“Artalyta Suryani”, yang berupa gambar, benda dan warna yang terdapat pada
cover Tempo tersebut menggambarkan seorang Artalyta Suryani atau yang biasa
dijuluki sebagai ratu lobi diikuti dengan adanya beberapa benda berupa pedang
patah, timbangan, sebuah palu, sandal, tangga, baju, pilar, palu, hanger dan
beberapa lembar uang kertas dalam pecahan dollar yang sebagian berterbangan,
yang seolah-olah menjadi pelengkap di dalam karikatur, serta warna background
yang sangat dominan. Dimana kemudian ini diinterpretasikan dengan
menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).
3.3.1 Ikon (icon)
Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan. (Sobur, 2001:41). Dengan kata lain tanda memiliki ciri-ciri sama
dengan apa yang dimaksudkan. Apabila pada cover majalah Tempo edisi Januari
2010 ditunjukkan:
1. Seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang
sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan
ditangan kiri, berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua
3.3.2 Indeks (index)
Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat (Sobur,
2004:42). Pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010, ditunjukkan dengan:
1. Timbangan seimbang
2. Memegang pedang patah
3. Anak tangga ketiga
4. Sandal lepas
5. Uang terbang
6. Baju berkibar
7. Kain putih terjuntai di pedang
8. Langit berwarna orange yang berawan
9. Rambut yang di rol
10.Wajah yang tersenyum
11.Bayangan.
3.3.3 Simbol (symbol)
Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara petanda
dengan penandanya, bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian masyarakat) (Sobur, 2004:42). Pada cover majalah Tempo edisi
Januari 2010 ditunjukkan dengan:
1. Palu
3. Pedang
4. Sandal
5. Pilar
6. Hanger
7. Baju
8. Tangga
9. Timbangan
10.Rambut
Penempatan sebuah tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol tergantung dari
kebutuhan dan sudut pandang khalayak (point of interest) yang memaknainya.
Sehingga penempatan tanda-tanda dalam cover majalah tersebut, di atas, yang
mana sebagai ikon, mana sebagai indeks dan mana sebagai simbol tersebut hanya
sebagai subyektifitas peneliti, bukan menjadi sesuatu yang mutlak, karena hal ini
kembali lagi kepada sudut pandang khalayak yang memaknai karikatur pada cover
majalah Tempo edisi Januari 2010 sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam peneltian ini dilakukan pengamatan secara langsung
karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.
Pengumpulan data dalam penelitian ini, melalui penggunaan bahan dokumenter
seperti majalah, studi keperpustakaan, bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi
serta penggunaan internet. Selanjutnya data-data akan dianalisis berdasarkan
digunakan untuk mengetahui penafsiran makna karikatur “Artalyta Suryani” pada
cover majalah Tempo edisi Januari 2010.
3.5Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar. Hal ini
disebabkan adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua yang
dikumpulkan kemungkinan menjadi jawaban terhadap objek yang diteliti. Analisis
data dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan model semiotik dari Charles
Sanders Pierce, yaitu sistem tanda (sign) dalam karikatur yang dijadikan korpus
(sample) dalam penelitian, dikategorikan kedalam tanda dengan acuannya yang
dibuat oleh Charles Sanders Pierce terbagi kedalam tiga kategori yaitu ikon (icon),
indeks (index), dan simbol (symbol).
Dengan studi semiotik penelitian dapat memaknai gambar dan pesan yang
terdapat dalam karikatur “Artalyta ‘Ayin’ Suryani” serta membentuk berbagai
pemaknaan terhadap karikatur ini. Cover majalah Tempo edisi Januari 2010 ini
akan diinterpretasikan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat
dalam setiap penggambaran karikatur, untuk mengetahui maknanya.
Untuk mengetahui hubungan antara tanda, penggunaan tanda dan realitas
eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan model semiotik dari Pierce.
Sistem tanda (gambar, warna, perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang
menggunakan metode deskriptif karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah
Tempo edisi Januari 2010.
Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur surat
pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam cover,
kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan metode
semiotik Pierce, yang terdiri dari:
1. Obyek
Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini
adalah karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari
2010.
2. Sign
Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign
dalam penelitian ini adalah seorang perempuan, Artalya Suryani yang sedang
memegang pedang patah dan sebuah timbangan yang dimasing-masing
timbangan tersebut terdapat sebuah palu dan di sisi lain terdapat beberapa
lembar uang kertas yang sebagian berterbangan, hanger, baju, palu, sandal,
pilar dan tangga.
3. Interpretant
Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang
dirujuk sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi
peneliti.
Berdasarkan obyeknya Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks),
1. Ikon (icon)
Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan
antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam
karikatur pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010 tersebut adalah
seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang
memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri,
berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.
2. Indeks (index)
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda
dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang
langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur cover majalah
Tempo, timbangan seimbang, memegang pedang patah, anak tangga ketiga,
sandal lepas, uang terbang, baju berkibar dan kain putih terjuntai dipedang,
langit berwarna orange yang berawan, rambut yang di rol, wajah yang
tersenyum dan bayangan.
3. Simbol (symbol)
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda
dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena,
hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam
karikatur yang dimuat pada cover majalah Tempo ini adalah palu, uang,
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data
4.1.1 Pemaknaan Terhadap Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI”
Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” yang menjadi objek penelitian
ini dimuat pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010. Gambar yang
mengangkat masalah permaianan hukum. Dimana dalam gambar ini
menggambarkan seorang mafia hukum Artalyta ‘Ayin’ Suryani, adalah dengan
menggunakan tanda dan atribut-atribut lain sebagai pendukung kejelasan karikatur
tersebut.
Karikatur yang diberi judul “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” tersebut
adalah sebagai suatu reaksi atau refleksi terhadap fenomena yang sedang
berkembang dan menonjol ditengah masyarakat pada awal Januari 2010 kemarin,
yaitu tentang ketidak adilan aparat hukum, dengan menampilkan citra atau image
dari seorang Artalyta ‘Ayin’ Suryani. Karikatur ini merupakan salah satu bentuk
pesan dalam bentuk non verbal yang memang diciptakan dengan kesengajaan agar
pembaca dapat dengan aktif memahami pesan yang terkandung didalamnya.
Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” diciptakan sebagai sebuah
wahana untuk memberikan informasi kepada masyarakat seputar kabar tentang
masih adanya mafia hukum di tanah air, yang membuktikan bahwa uang masih
4.1.2 Majalah Tempo
Tempo edisi pertama diterbitkan pertama kali pada Maret 1971, Tempo
keluaran yang pertama ini mengambil pendekatan yang belum pernah dikenal
selama masa-masa sulit dalam kebebasan jurnalistik. Publikasi Tempo sebenarnya
sama sekali tidak berhubungan atau berafiliasi dengan dunia politik, perhatian
yang utama justru tertuju pada misi panjangnya untuk membangunkan kesadaran
yang telah lama diracuni dengan media yang tunduk pada rezim yang represif.
Ketegasannya untuk mempertahankan kebebasan jurnalistik telah membuat
Tempo sebagai legenda dan menjadi ikon didalam industri pers di Indonesia selain
juga menjadi salah satu media tertua di Asia Tenggara. Tempo pernah dibredel
pada tahun 1982 dan tahun 1984, Tempo tidak pernah berhenti untuk terus
bersuara dengan lantang dan telah menjadi salah satu kendaraan atau sarana
kebebasan pers yang sedang dinikmati Indonesia saat ini.
Tempo adalah standart kesempurnaan jurnalistik yang oleh penerbitan lainnya
sekalu dijadikan perbandingan dan dijadikan acuan. Komitmennya adalah
menyeimbangkan pandangan dan melaporkan kebenaran tetap sebagai yang benar
sebagaimana, seperti tahun 1971, Nama “TEMPO” dengan definisinya yang tanpa
disadari ternyata sesuai atau cocok telah menetapkan sebuah standart dan langkah
yang oleh penerbitan lain akan selalu dijadikan perbandingan. Tempo hari ini
adalah sebuah tongkat ukuran yang ditiru oleh semuanya tetapi tetap tidak akan
tertandingi. Sebagai Majalah berita tertua di Indonesia. Tempo kembali terbit pada
Pada tahun belakangan ini Tempo tanpa disadari menjadi legenda, namun
perlu dicatat ini merupakan realita. Bersama-sama dengan tenaga yang penuh
pengalaman dan tenaga muda penuh harapan. Tempo tanpa risau menghadapi
masalah tersebut untuk mempertahankan loyalitas dari pembaca setianya dan
merebut hati dari pembaca-pembaca terbarunya terutama adalah lapisan urban
kelas menengah. Mereka itulah yang secara ekonomis mampu serta terdidik
dengan baik dan tetap diharapkan menjaga posisi Negara selalu dalam keadaan
yang dinamis. Tempo kembali bersikulasi tepatnya 6 Okteber 1998, dimana pada
saat itu keadaan pasar telah berubah secara signifikan sejak tahun 1994, oleh
sebab itu Tempo menjelajah setiap kesempatan dengan semangat perubahan dan
pembaharuan.
Kehadiran kembali Tempo disambut dengan antusias oleh Indonesia,
sehingga sejak dari edisi pertamanya Tempo akhirnya dapat memperoleh kembali
posisinya yang semula sebagai pemimpin