• Tidak ada hasil yang ditemukan

dalam Eksplorasi Sulawesi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "dalam Eksplorasi Sulawesi"

Copied!
342
0
0

Teks penuh

(1)

dalam Eksplorasi Sulawesi

Edisi Revisi Perdana

Ditulis Oleh :

Dr. Armstrong F. Sompotan

Dosen Jurusan Fisika FMIPA UNIMA

Diterbitkan oleh :

Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional (LP2AI) UNIVERSITAS NEGERI MANADO

2017

(2)
(3)

Oleh

Dr. Armstrong F. Sompotan

Universitas Negeri Manado, 2017

(4)

“Tidak ada yang tidak bisa ditemukan”

Armstrong F. Sompotan

(5)

Kata Pengantar

Metode geofisika memainkan peran kunci dalam eksplorasi karena banyak tujuan eksplorasi dapat dicapai dengan metode geofisika, antara lain metode seismik, gravity, magnetik, elektrik, elektromagnetik, radioactivity.

Adapun Sulawesi terletak pada pertemuan 3 Lempeng besar, yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks, dimana kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya. Struktur geologi yang berkembang didominasi sesar-sesar mendatar, dimana mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan model simple shear.

Dalam buku ini akan menyajikan penjelasan rinci metode metode seismik, gravity, magnetik, elektrik, elektromagnetik, GPR dalam eksplorasi serta tinjauan struktur geologi Sulawesi untuk melihat potensi sumber daya alam di Sulawesi.

Tondano, November 2017 PENULIS

(6)
(7)

Daftar Isi

1. Pendahuluan 1

2. Metode Seismik 10

3. Metode Gravitasi 67

4. Metode Geomagnet 98

5. Metode Geolistrik 119

6. Metode Induced Polarization 132

7. Metode Self Potential 146

8. Metode Very Low Frequency (VLF) 150

9. Metoda GPR (Ground Penetrating Radar) 157

10. Geologi Sulawesi 176

10.1. Mandala Barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) 183 10.2. Mandala Tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) 204 10.3. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) 208 10.4. Fragmen Benua Banggai-Sula dan Tukang Besi 219

11. Stratigrafi Sulawesi 224

11.1. Stratigrafi Sulawesi Utara 224

11.2. Stratigrafi Sulawesi Selatan 226

11.3. Stratigrafi Sulawesi Barat 230

11.4. Stratigrafi Sulawesi Tengah 233

11.5. Stratigrafi Banggai Sula 234

12. Perkembangan Tektonik Sulawesi 236

12.1. Kapur Akhir 238

12.2. Paleogen 239

12.3. Neogen 241

13. Sejarah dan Mekanisme Struktur Geologi Sulawesi 244

13.1. Sejarah Geologi Sulawesi 244

13.2. Mekanisme Struktur Geologi Sulawesi 249

14 Survei Metode Seismik dalam Geothermal 252 15. Survei Gravitasi Daerah Geothermal Sulawesi 263 16. Survei Geomagnet Daerah Geothermal Sulawesi 277

17. Epilogue 289

Slide Presentasi 291

Bibliografi 329

Biodata Penulis 334

(8)
(9)

1

Bab 1 Pendahuluan

Teknologi geofisika pada dasarnya adalah teknologi yang dikembangkan dengan menerapkan sejumlah hukum fisika pada berbagai sifat fisik bumi agar dapat dimanfaatkan untuk mempelajari struktur bawah permukaan bumi. Geofisika adalah ilmu yang mempelajari bumi dengan menggunakan prinsip- prinsip Fisika. Geofisika adalah gabungan Ilmu Geologi dan Fisika. Geologi adalah ilmu yang mempelajari berbagai materi yang ada di kerak bumi. Fisika adalah ilmu yang mempelajari

(10)

2

semua proses atau gaya yang bekerja pada materi. Jika ahli geologi memerlukan pengujian suatu hipotesis, maka ahli fisika telah menyiapkan teknologi untuk mengukur besarannya.

Bidang geologi mengamati dan melakukan penelitian secara langsung di lapangan terhadap materi, batuan baik dari singkapan maupun hasil pengeboran dengan beberapa analisis secara deskriptif. Sebaliknya, bidang fisika mempelajari dan melakukan pengukuran di laboratorium terhadap gaya, proses, serta hubungan antar-materi secara kuantitatif. Pemikiran tersebut melahirkan prinsip atau cara kerja pengukuran yang dapat dilakukan di lapangan seperti pengukuran seismik, gravity, magnetik, elektrik, elektromagnetik, radioactivity yang disebut metode Geofisika.

Beberapa metode geofisika digunakan untuk pencarian hidrokarbon. Metode lainnya lebih banyak digunakan dalam eksplorasi mineral dan untuk tujuan lain. Pengukuran seismik, magnetik, dan gravity adalah pengukuran utama untuk eksplorasi mineral. Metode elektromagnetik telah banyak digunakan secara kontinu dalam mencari minyak bumi.

(11)

3

Para ahli geofisika eksplorasi pada umumnya bertugas mencari atau mengeksplor sumberdaya alam, hal ini berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia akan energi dan mineral, termasuk air dan dampak lingkungannya sebagai tempat tinggal manusia itu sendiri di dalamnya. Kegiatan eksplorasi yang tadinya hanya mengandalkan penemuan-penemuan singkapan di permukaan bumi oleh para ahli geologi diekstrapolasikan ke bawah permukaan, untuk mengetahui/ diinterpretasikan sebaran penemuan tersebut secara lateral maupun vertikal. Dengan demikian, hasil interpretasinya menjadi sangat subyektif.

Geofisika berperan membantunya dengan menerapkan hampir semua metode fisika untuk mengungkap struktur bawah permukaan bumi. Hasil pengukuran besaran-besaran fisika di permukaan bumi di analisis dan diinterpretasikan dengan menyelesaikan problem baliknya, sehingga para ahli geologi menjadi sangat terbantu secara kuantitatif dalam menafsir isi fisisnya (batuannya), menentukan posisi dan sebarannya, kedalaman dan ukuran serta proses dinamisnya.

Tahapan-tahapan sistematik ilmiah metode geofisika dalam mempelajari struktur bawah permukaan bumi meliputi:

(12)

4

A. Rancangan Survei

Rancangan survei adalah perencanaan sistematis semua aktivitas, sasaran, alat-alat utama dan alat bantu yang akan digunakan lengkap dengan spesifikasinya, jadwal, kebutuhan logistik yang sesuai dengan lapangan daerah survei, pembiayaan dan sebagainya yang berkaitan dengan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, keberhasilan survey dan jaminan mutu proses dan hasilnya.

B. Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah pengukuran besaran-besaran fisika di lapangan yang jenis, akurasi, dan keluarannya sesuai dengan rancangan sasaran dan spesifikasi semula. Data tersebut diukur pada titik ukur yang posisinya harus ditentukan juga dengan akurat dengan menggunakan alat ukur posisi yang presisi, dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Karena pada umumnya data geofisika juga merupakan fungsi waktu, maka pengukuran waktu saat mengukur juga harus direkam secara akurat, dan kadang-kadang malah harus disinkronisasi secara presisi dengan waktu universal (Universal Time, UT).

(13)

5

C. Pengolahan Data

Di dalam geofisika semua pengaruh lingkungan medium bumi (baik yang di dalam maupun yang di luar bumi) turut terukur oleh alat ukur sesuai dengan kadarnya masing- masing. Sehingga harus diadakan pemrosesan data yang sangat seksama untuk membuang gangguan-gangguan yang tidak relevan terhadap target studi. Kalau variabel yang akan dikaji adalah sinyal, maka variable yang mengganggu adalah noise, sehingga sebelum dilakukan interpretasi dan kesimpulan perlu dilakukan koreksi atau memperbaiki sinyal to noise ratio, sudah tentu semakin besar signal to noise ratio semakin baik semakin menonjol informasi target yang akan dikaji.

Pengolahan data yaitu koreksi data dari pengaruh gangguan (noise) yang terjadi selama proses pengukuran, memperkuat signal to noise ratio, penampilan data dalam table, grafik, peta kontur, visualisasi tiga dimensi, dan proses lanjut yang sesuai dengan rancangan sasaran dan spesifikasi serta ilmu dan teknologi mutakhir pada saat itu. Noise sistematis dapat berasal dari dari pengaruh benda- benda langit terutama dari matahari dan bulan; pengaruh rotasi bumi; pengaruh bentuk bumi nyata dengan pegunungan yang tinggi dan palung laut yang dalam

(14)

6

beserta variasi morfologi di antaranya; demikian juga pengaruh posisi dan geometri konfigurasi pengukuran yang dipergunakan;

bahkan pengaruh struktur dan dinamika internal global dari bumi itu sendiri juga harus diperhatikan. Proses pembersihan noise sistematik ini dapat dilakukan dengan menapisnya dalam kawasan ruang dan waktu bagi gejala unum geofisika yang periodik dalam ruang dan waktu; mengurangkan pengaruh global yang sifatnya bervariasi secara tak-periodik terhadap ruang dan waktu; dan sering diperoleh noise yang sangat komplek sehingga harus dilaksanakan penapisan yang bersifat adaptif setelah dikaji polanya.

D. Interpretasi dan Pemodelan

Interpretasi dan pemodelan struktur bawah permukaan bumi merupakan proses penghitungan balik atau penyelesaian inversi atau pembuatan model-model alternatif yang paling mungkin dengan penjelasan kualitatif dan kuantitatif, misalnya seperti posisi, kedalaman, dimensi, bentuk, dan parameter fisis yang terkandung serta dinamika sumber model anomali. Sesuai dengan sifat data geofisika yang dinamis sebagai fungsi waktu, kadang-kadang juga harus ditampilkan gambar tiga dimensi yang

(15)

7

berubah terhadap waktu yang saat ini lebih dikenal dengan empat dimensi (4D). Pemodelan, pada umumnya dilakukan secara matematis dan melibatkan persamaan diferensial yang linier maupun yang non linier sesuai dengan tingkat kecanggihan masalah dan penyelesaiannya, oleh karena itu tidak jarang pemodelan juga dilakukan secara fisis.

Interpretasi data hasil pengukuran di lapangan secara geologis merupakan tujuan dan produk akhir dari pekerjaan eksplorasi.

Interpretasi yang dimaksud adalah menentukan posisi anomali, dimensi, dan ukuran atau memperkirakan arti geologis anomali target tersebut melalui data pengukuran. Sering interpretasi juga termasuk reduksi data, pemilihan dan pemrosesan data tertentu, serta lokalisasi target yang akan dicari. Interpretasi tidak bisa dinilai benar atau salah, karena keadaan geologi sesungguhnya tidak ada yang tahu. Interpretasi hanya bisa diuji mengenai konsistensinya dari suatu data atau fenomena. Apabila trend data polanya tersebar secara random atau tidak konsisten, sehingga menyulitkan penelusuran konsistensinya dalam menginterpretasi, maka sebagai seorang interpreter harus dapat membuat kemungkinan-kemungkinan yang masih dapat

(16)

8

konsisten dengan data lainnya. Tetapi biasanya hanya satu interpretasi saja yang diminta, oleh karena itu ia harus dapat dan berani menarik satu kemungkinan, kebolehjadian atau kesimpulan yang paling besar peluangnya dan yang paling dapat di pertanggungjawabkan berdasarkan data yang ada. Karenanya seorang interpreter harus optimis dan yakin akan pekerjaannya.

Setelah diperoleh hasil interpretasi struktur bawah permukaan, untuk membuktikannya sering harus dilakukan pengeboran.

Kegiatan pengeboran ini masih bisa dikaitkan dengan pelaksanaan eksplorasi sehingga kerap disebut sebagai pengeboran eksplorasi. Pada awalnya target pengeboran ini hanya untuk memperoleh cuplikan batuan-batuan sampel yang diketemukan sebagai fungsi kedalaman, tetapi Schlumberger telah memanfaatkannya juga untuk melakukan pengukuran besaran-besaran fisika yang juga sebagai fungsi kedalaman.

Hasil pengukuran besaran-besaran fisika fungsi kedalaman ini selanjutnya dimanfaatkan untuk keperluan kalibrasi atas hasil interpretasi pengukuran besaran fisika di permukaan bumi yang telah di ekstrapolasikan ke bawah permukaan bumi. Dengan demikian terjadi peningkatan keyakinan kebenaran atas hasil

(17)

9

interpretasinya. Berdasarkan semua informasi yang terpadu dari hasil keseluruhan kegiatan tersebut, harus berakhir menjadi suatu laporan dan rekomendasi penentuan posisi dan kedalaman pengeboran eksploitasi untuk pengambilan sumberdaya alamnya.

Dalam buku ini akan menyajikan penjelasan rinci metode geofisika dalam eksplorasi serta tinjauan struktur geologi Sulawesi untuk melihat potensi sumber daya alam di Sulawesi.

(18)

10

2. Metode Seismik

Metode seismik adalah salah satu metode yang sangat penting dan sering dipakai dalam survei geofisika. Hal ini disebabkan karena metode seismik mempunyai ketepatan serta resolusi yang tinggi dalam memodelkan struktur geologi bawah permukaan bumi. Dalam penentuan struktur geologi, metode seismik dikategorikan dalam dua bagian yaitu seismik refraksi dan seismik refleksi. Seismik refraksi efektif digunakan untuk penentuan struktur geologi yang dangkal sedangkan seismik

(19)

11

refleksi untuk struktur geologi yang dalam. Prinsip dasar metode seismik adalah memanfaatkan sifat elastik material bumi dengan membangkitkan gelombang seismik dan merekam penjalaran gelombang tersebut dengan serangkaian geophone yang umumnya disusun satu line dengan sumber gelombang, dimana pada prinsipnya gelombang seismik akan menjalar kesegala arah di dalam bumi, sebagian dipantulkan dan sebagian lagi dibiaskan bidang batas antar lapisan. Adapun struktur lapisan bawah permukaan bumi dapat diperkirakan berdasarkan besar kecepatannya, karena medium bumi dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan berbeda-beda. Semakin dalam lapisan bumi materialnya semakin kompak sehingga besar kecepatan gelombang seismik semakin besar. Sebagaimana diketahui panjang gelombang seismik jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketebalan lapisan bumi, hal ini memungkinkan terdeteksinya setiap lapisan bumi.

II.1 Teori Dasar Gelombang Seismik

Secara umum sebuah benda padat akan berubah bentuk dan ukuran ketika diberikan gaya dari luar. Gaya eksternal tersebut akan dilawan gaya-gaya internal sehingga benda cenderung akan

(20)

12

kembali ke kondisi semula ketika gaya eksternal yang diberikan hilang atau dipindahkan. Sifat dasar yang melawan perubahan bentuk dan mengembalikan benda kekeadaan semula disebut elastisitas. Benda elastis sempurna adalah sesuatu yang dapat pulih secara penuh setelah mengalami deformasi. Banyak substansi termasuk batuan dapat pulih secara penuh tanpa error yang cukup signifikan ataupun dengan deformasi yang kecil seperti kasus gelombang seismik, kecuali pada bagian yang berada didekat sumber. Adapun teori elastisitas berhubungan dengan penggunaan gaya untuk menghasilkan perubahan bentuk dan ukuran, dimana hubungan antara gaya yang diberikan dan deformasi yang dihasilkan ditunjukan oleh konsep stress dan strain. Stress didefinisikan sebagai gaya per unit area, sedangkan strain merupakan perubahan bentuk dan dimensi yang terjadi akibat stress. Stress yang ditimbulkan oleh gaya berarah perpendicular disebut normal stress sedangkan stress yang terjadi akibat gaya berarah tangential disebut shear stress. Adapun shear strain berhubungan dengan perubahan bentuk sedangkan normal strain berhubungan dengan perubahan arah dan dimensi.

Hubungan antara stress dan strain ditunjukan oleh hukum Hooke, dimana strain secara langsung dihasilkan stress. Ketika beberapa

(21)

13

stress muncul masing-masing memproduksi strain secara bebas sehingga total strain merupakan penjumlahan masing-masing strain yang diproduksi individual stress, dimana setiap strain merupakan fungsi linier dari seluruh stress.

Hubungan stress dalam hal ini persamaan gaya per unit volume dengan hukum gerak Newton kedua menghasilkan persamaan gelombang elastik untuk medium tidak setimbang, yang merupakan teori dasar dalam pengamatan seismik,

(2.1)

Persamaan gelombang tersebut menghubungkan diferensial displacement terhadap waktu ( ⁄ ) dengan diferensial displacement terhadap jarak/spatial ( ) dimana c adalah kecepatan, untuk gelombang primer ( ) ⁄ dan untuk gelombang sekunder ⁄ .

Melalui solusi plane wave mula-mula dianggap displacement gelombang ψ hanya merupakan fungsi x dan t (Telford dkk., 1996), sehingga persamaan 2.1 direduksi,

( ) (2.2)

Melalui d‟Alembert‟s solution, fungsi (x-ct) untuk persamaan 2.2 adalah, ( ) ( ) (2.3)

(22)

14

Untuk plane waves dalam ruang tiga dimensi, solusi displacement harmonik pada persamaan gelombang dapat dituliskan,

( ) ( ) (2.4) k adalah vektor gelombang yang menentukan arah perambatan gelombang, dimana persamaan 2.4 memenuhi persamaan gelombang (pers. 2.2),

( ) ̈ (2.5)

Dengan mengikuti penurunan oleh Wenzheng Yang, persamaan 2.4 dimodifikasi menjadi (Yang, 2003),

( ) , * ( ) ⁄ +- (2.6) , ( ) ⁄ - adalah fungsi posisi yang menggantikan ( ) dan c0 adalah kecepatan referensi. Besaran A dibuat hanya merupakan fungsi posisi, dimana persamaan 2.6 merupakan persamaan osilasi dengan amplitudo maksimumnya A(x), dengan memasukan pers. 2.6 ke dalam pers. 2.5 didapatkan

persamaan 2.7,

( )

( ) ( ) ( ), * ( ) ⁄ +-

, ( ) * ( ) ⁄ + ( ) * ( ) ⁄ +- (2.7) Adapun komponen imaginer dari persamaan 2.7 adalah persamaan transport,

(23)

15

( ) , ( ) ⁄ - ( ) , ( ) ⁄ - ( ) ( ) (2.8) Sedangkan komponen real persamaan 2.7 adalah,

( ) ( ), ( ( ) ⁄ )-

( ) ( )

( )

( ) , ( )-

( ) (2.9) Pada persamaan 2.9 dapat dibuat sebuah aproksimasi ( ) ( ) , yang mana sangat akurat untuk periode yang pendek/frekuensi tinggi, serta dikenal sebagai persamaan traveltime field,

, ( )-

( ) (2.10) Diketahui bahwa ( ) , dimana T adalah traveltime gelombang, sehingga persamaan 2.10 dapat dituliskan,

( ) ( ) (2.11)

Persamaan 2.11 ini disebut persamaan eikonal, dimana adalah vektor kelambatan S dari raypath.

(24)

16

II.2 Konsep Dasar Metode Seismik Refraksi

Prinsip utama metoda seismik refraksi adalah penerapan first arrival time gelombang refraksi, dalam hal ini gelombang P.

Adapun Gelombang P adalah gelombang body yang merupakan gelombang longitudinal atau gelombang kompresional dengan pergerakan partikelnya sejajar arah rambatan, dimana kecepatannya paling tinggi diantara semua gelombang seismik.

Gambar II.19. Kurva traveltime gelombang seismik

Besar kecepatan gelombang P tergantung dari konstanta Lame (), rigiditas () dan densitas () medium yang dilalui, dimana masing-masing koefisien elastis ini unik karena tiap batuan yang berbeda akan memberikan harga yang berbeda.

(25)

17

Tabel II.3 Koefisien elastis dan kecepatan gelombang seismik pada batuan

(Burger dkk., 2006)

Dalam metode seismik refraksi yang diperhatikan hanyalah gelombang P, dimana pada kasus terbias kritis sudut bias 90°

sehingga hukum Snellius yang berlaku adalah sinus sudut datang berbanding lurus dengan kecepatan seismik pada lapisan pertama dan berbanding terbalik dengan kecepatan seismik lapisan kedua.

Untuk kasus dua lapisan ditunjukan dalam gambar II.20, dimana

(26)

18

titik shot berada pada titik E dan receiver berada pada titik G, dengan kecepatan V2 > V1.

Gambar II.20. Raypath gelombang refraksi untuk kasus dua layer Adapun besar traveltime gelombang seismik yang merambat dari source menuju receiver diberikan oleh persamaan,

( )

( ⁄ ) ⁄ (2.12) Persamaan 2.12 mempunyai bentuk persamaan umum garis lurus dimana m adalah gradien yang besarnya dan c adalah intercept time pada sumbu y dalam grafik time-distance yang besarnya ⁄ . Menurut hukum snellius sin θic = V1/V2 sehingga persamaan traveltime dapat dituliskan,

( )

(2.13)

(27)

19

(2.14) Persamaan intercept time ti dalam pers. 2.12 merupakan konsep dasar interpretasi metode intercept-time untuk menentukan kedalaman refraktor dibawah titik shot.

( ) (2.15) Adapun besar kedalaman refraktor di bawah titik shot E didapatkan sebesar,

( ) (2.16)

Gambar II.21. Kurva traveltime kasus dua layer

Pada jarak crossover (xcros) traveltime gelombang langsung dan refraksi sama,

(28)

20

( )

.

/ (2.17)

Jarak crossover dapat digunakan untuk menentukan kedalaman interface yaitu,

.

/ (2.18)

Gambar II.22. Jarak kritis pada kasus dua layer Adapun untuk jarak kritis (xcrit) ditunjukan oleh persamaan,

, ( ⁄ )- (2.19)

,( ) - (2.20)

(29)

21

Untuk kasus tiga lapisan ditunjukan dalam gambar II.23, dimana titik shot berada pada titik E dan receiver berada pada titik G, dengan kecepatan V3 > V2 > V1.

Gambar II.23. Raypath gelombang refraksi untuk kasus tiga layer Besar traveltime gelombang seismik yang merambat dari source menuju receiver pada kasus tiga lapisan diberikan oleh persamaan,

( )

(2.21)

Menurut hukum snellius sin θi = V1/V3 dan sin θic = V2/V3,

(30)

22

( ) ( ) (2.22)

Adapun ( ) adalah traveltime dilapisan satu dan

( )

adalah traveltime dilapisan kedua, sehingga persamaan 2.22 dapat dituliskan,

(2.23)

Gambar II.24. Kurva traveltime kasus tiga layer

Besar intercept time kedua adalah ti2 = t1 + t2, yang dapat dituliskan,

( ) ( ) (2.24) Melalui persamaan 2.24 ketebalan pada lapisan kedua dapat dihitung sebesar,

(31)

23

[ ( ) ]

( )

(2.25)

Gambar II.25. Jarak kritis pada kasus tiga layer

Adapun besar jarak kritis source dengan receiver dapat ditentukan dengan persamaan berikut,

[

( )

( ) ] (2.26)

(32)

24

Mengacu pada persamaan 2.13 dan 2.22, secara umum persamaan traveltime untuk kasus multilayer dapat dituliskan,

( )

(2.27)

Menurut hukum snellius sin θin = Vi /Vn , sehingga persamaan umum traveltime untuk kasus multilayer,

(2.28) Untuk kasus dipping layer ditunjukan dalam gambar II.26, yang terdiri atas dua fase yaitu fase down-dip dan fase up-dip.

Gambar II.26. Raypath gelombang refraksi untuk kasus dipping layer

Untuk fase down-dip, posisi forward shot terletak pada titik E dan posisi receiver terletak pada titik G, dimana besar traveltime perambatan gelombang,

(33)

25

( )

(2.29)

Persamaan tersebut kemudian disederhanakan dengan identitas trigonometri ( ) dan ( ) , dimana sehingga persamaan traveltime fase down-dip,

( ) (2.30)

( ) ( ) ( ) (2.31) Jika diketahui ( ) dan ( ) , maka persamaan 2.31 menjadi,

( )

Secara umum persamaan traveltime pada dipping refraktor ke-n dapat dituliskan,

( ) (2.32) Dimana hi adalah ketebalan vertikal dari layer i dibawah titik shot,

(34)

26

αi adalah sudut yang bergantung pada vertikal dari ray yang bergerak ke bawah dalam lapisan i, γi adalah sudut yang bergantung pada vertikal dari ray yang bergerak ke atas dalam lapisan i dan x adalah jarak offset antara source dan receiver.

Adapun traveltime fase up-dip (t2’) ditunjukan oleh persamaan,

( ) (2.33) Melalui persamaan 2.30 dan 2.33 besar intercept time pada fase down-dip (ti2) dan fase up-dip (ti2’) dapat ditentukan, yang merupakan bentuk persamaan umum interpretasi dengan metode intercept-time untuk menentukan kedalaman refraktor di bawah titik shot.

(2.34)

(2.35)

Dalam gambar II.26 memperlihatkan bahwa cos β = z/h dan cos β = z’/h’ sehingga kedalaman refraktor h dan h’ dapat ditentukan dengan persamaan;

(2.36)

(35)

27

(2.37)

Dengan mensubtitusi persamaan 2.34 dan 2.35 kedalam persamaan 2.36 dan 2.37, kedalaman refraktor di bawah titik forward shot (h) dan reversed shot (h’) dapat dirumuskan melalui persamaan;

(2.38)

(2.39)

Untuk kasus multiple dipping layer, traveltime perambatan gelombang seismik sesuai dengan persamaan umum traveltime refraksi pada dipping refraktor ke-n, dimana traveltime fase down-dip multiple dipping layer ditunjukkan oleh persamaan berikut,

( ) (2.40) Sedangkan traveltime fase up-dip multiple dipping layer ditunjukkan oleh persamaan berikut,

( ) (2.41) Untuk analisis delay time ditunjukan gambar II.27, dimana metode delay time adalah metode interpretasi seismik refraksi untuk menentukan kedalaman refraktor dibawah titik receivers dengan bantuan dua offset shot. Adapun delaytime adalah

(36)

28

perbedaan waktu rambat gelombang pada lapisan V1 dan V2, ( ⁄ ) ( ⁄ ) ( ⁄ ) ( ⁄ ) (2.42)

Gambar II.27. Raypath metode delay time

Besar delay time total pada gambar II.27 ditunjukan oleh persamaan berikut,

( ⁄ ) (2.43)

ttot adalah traveltime total EMQR atau RQME yang disebut reciprocal time, dimana TER = TE+TR, sehingga besar reciprocal time dapat dituliskan,

( ⁄ ) (2.44) Besar traveltime dari forward shot E dan reversed shot R ke receiver G adalah;

( ⁄ ) (2.45)

(37)

29 ,( ) ⁄ - (2.46) Dengan menjumlahkan persamaan 2.45 dan 2.46 didapatkan bentuk persamaan,

( ⁄ ) ,( ) ⁄ - (2.47) Karena syarat reciprocity menurut pers. 2.44, maka pers. 2.47 dapat dituliskan,

( ) (2.48) Adapun besar delay time TG dapat juga dituliskan dalam bentuk persamaan,

( ⁄ ) ( ⁄ ) (2.49) Persamaan tersebut sesuai dengan pers. 2.42, dimana kedalaman refraktor dibawah receiver G yang menjadi tujuan utama metode delay time adalah,

( ) ( ⁄ ) (2.50)

II.3 General Reciprocal Method (GRM)

General Reciprocal Method (GRM) adalah metode inversi untuk menghitung kedalaman refraktor di bawah line seismik dengan menggunakan arrival time gelombang refraksi dari forward shot dan reversed shot (Palmer, 1981). GRM dapat menyelesaikan variasi

(38)

30

kecepatan dan kedalaman refraktor dengan volume data yang lebih sedikit dibandingkan metode tomografi (Palmer, 2001), dimana GRM biasanya dapat menentukan parameter refraktor yang interface-nya tidak rata/irregular (Palmer, 2005). Perbedaan utama GRM dengan metode inversi lainnya yakni adanya penerapan variabel migrasi refraksi yang bermanfaat dalam permasalahan lapisan yang tidak terdeteksi (Whiteley dan Eccleston, 2006). Metode GRM terdiri dari dua algoritma yaitu fungsi analisis kecepatan dari kecepatan refraktor yang didapatkan dan fungsi waktu-kedalaman yang adalah ukuran dari kedalaman refraktor dalam unit waktu.

Gambar II.28. Raypath fungsi analisis kecepatan metode GRM Fungsi analisis kecepatan GRM didefinisikan oleh persamaan traveltime,

(39)

31

⁄ ( ) (2.51) Adapun jarak EY = EG + (XY/2) dan jarak RX = ER – EG + (XY/2), dimana dalam interpretasi GRM, biasanya besar tv yang dihitung melalui persamaan 2.51 diplot lagi terhadap jarak dengan nilai XY yang berbeda. Inversi kecepatan aktual refraktor V’n didefinisikan sebagai slope dari sebuah line yang sesuai dengan tv untuk jarak optimum XY (Palmer, 1981),

(2.52)

(2.53)

Ketika Vn adalah true velocity refraktor dan βn-1 adalah kemiringan refraktor. Hal tersebut biasanya mengambil V’n sebagai true velocity dalam banyak situasi.

Gambar II.29. Raypath fungsi waktu-kedalaman metode GRM

(40)

32

Seperti halnya fungsi analisis kecepatan, fungsi waktu- kedalaman tG dihitung untuk pasangan reversed traveltimes pada receiver X dan Y, yang ditempatkan diantara titik-titik shot E dan R dari refraktor yang sama (Palmer, 1981),

⁄ , * ( ⁄ )+- (2.54) Fungsi waktu-kedalaman yang diplot dengan mematuhi posisi G untuk menentukan kedalaman (ZiG) ditunjukan oleh persamaan,

(2.55)

ZiG adalah ketebalan tegak lurus di bawah G dan Vin adalah faktor konversi kedalaman yang dihitung dari persamaan

( ). Adapun Vin kurang sensitif untuk kemiringan lapisan > 20o (Palmer, 1981), dimana

( ) , sehingga persamaan 2.55 dapat dituliskan,

( ) (2.56)

( ) ( ⁄ ) (2.57) Untuk menentukan nilai optimum XY, sudut kritis forward dan reversed shot diasumsikan sama atau hampir sama. Adapun nilai optimum XY berhubungan dengan kedalaman ZiG serta

(41)

33

kecepatan Vi dan Vn, dimana θin = sin-1 (Vi / Vn) sehingga kedalaman ( ⁄ ) (Palmer dkk., 2005). Untuk nilai XY,

(2.58) GRM dapat juga menghitung kecepatan rata-rata semua lapisan di atas refraktor,

̅ [( ) ( ⁄ )] (2.59) Metode kecepatan rata-rata ini sangat sensitif dengan nilai optimum XY, tetapi metode tersebut tidak dibutuhkan setiap refraktor diatas target yang diketahui. Sedangkan metode aproksimasi kecepatan relatif tidak sensitif pada nilai optimum XY, tetapi metode ini dibutuhkan setiap refraktor diatas target yang ditetapkan.

II.4 Solusi Finite Difference Pada Persamaan Eikonal Aproksimasi finite difference pada persamaan eikonal diperkenalkan oleh Reshef dan Kosloff pada tahun 1986, untuk menghitung traveltime pada grid seragam dengan mengekstrapolasi gradien kedalaman dari traveltime (Zhang dkk., 2005). Kemudian John E. Vidale merumuskan metode beda hingga dalam koordinat cartesius yang menyelesaikan persamaan

(42)

34

eikonal dengan progressing outward dari sebuah expanding square untuk menghitung first arrival time model kecepatan 2 D (Vidale, 1988) dan model kecepatan 3D (Vidale, 1990). Metode Vidale bekerja sangat cepat pada traveltimes grid seragam karena metode ini hanya membutuhkan sedikit operasi aljabar, akan tetapi metode Vidale mengalami masalah kestabilan seperti dalam perhitungan akar-akar kwadrat bilangan negatif. Qin kemudian mengemukakan sebuah alternatif untuk metode Vidale dimana progressing outward-nya dari expanding wavefront (Qin dkk., 1992).

Metode Qin menyelesaikan beberapa masalah stabilitas algoritma Vidale, tapi pencarian nilai global minimum untuk memulai perhitungan pada setiap tahapan membuat komputasi metode tersebut sangat besar. Adapun solusi finite difference pada persamaan eikonal jauh lebih cepat dari metode ray tracing untuk jumlah sources dan receivers yang banyak, karena traveltime untuk semua titik grid dimasukan kedalam sebuah model yang dihitung pada waktu yang bersamaan. Metode ini dapat digunakan untuk 2D/3D depth migration, tomografi ataupun analisis kecepatan (Zhang dkk., 2005).

Dalam medium 2 D, traveltime perambatan gelombang diatur

(43)

35

dengan persamaan eikonal, yang menghubungkan gradien traveltime dengan kelambatan medium (Vidale, 1988),

. / .

/ ( ) (2.60)

dimana (x,z) adalah koordinat jarak Cartesius, t adalah traveltime dan S adalah kelambatan/inversi kecepatan. Adapun untuk mendapatkan besar traveltime pada medium 2 D, terlebih dahulu medium diparameterisasi dengan sel persegi yang di dalamnya terdapat sembilan titik, dengan jarak antar titik adalah h, seperti yang ditunjukan dalam gambar II.30.

Gambar II.30. Ilustrasi metode centered finite-difference pada medium 2D

Posisi sumber gelombang seismik diasumsikan berada pada titik A dengan besar traveltime sama dengan nol. Adapun besar traveltime (t) pada titik B1, B2, B3 dan B4 dihitung dengan mengalikan jarak h dengan kelambatan rata-rata S antara kedua titik A dan B melalui persamaan (Vidale, 1988),

(44)

36 ( ) (2.61)

Untuk mendapatkan traveltime pada semua titik C dilakukan ekstrapolasi. Ekstrapolasi yang dilakukan adalah ekstrapolasi plane wave yang sangat akurat untuk wavefront yang hampir datar. Ekstrapolasi ini diawali dengan menentukan posisi traveltime pada masing-masing titik. Pada titik A ditetapkan traveltime t0, sedangkan traveltime setiap titik Ci yang akan dihitung ditetapkan sebagai t3, untuk posisi t1 dan t2 diposisikan pada dua titik di dekat titik Ci yang akan dihitung. Misalnya t3 yang akan dihitung adalah traveltime pada titik C1, maka t1 adalah traveltime pada titik B1 dan t2 adalah traveltime pada titik B2. Untuk perhitungan awal t0 dianggap bernilai 0 karena titik shot dianggap berada pada titik A, namun biasanya t0 tidak bernilai nol karena titik A tidak selalu harus dibatasi sebagai titik shot. Ketika t0, t1

dan t2 diketahui maka traveltime pada t3 dapat ditentukan dengan metode beda hingga yang mengasumsikan locally plane wave, dimana t0, t1 dan t2 digunakan untuk menghitung t3 dengan menggunakan metode centered finite-difference. Adapun dua bentuk persamaan diferensial yang akan diaproksimasi kedalam persamaan eikonal 2D adalah (Vidale, 1988);

(45)

37

( ) (2.62)

( ) (2.63)

Subtitusi kedua persamaan diatas ke dalam persamaan eikonal 2D menghasilkan,

,( ) ( ) -

, ( ) ( ) - (2.64) Persamaan 2.64 secara umum dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut,

, ( ̅ ) ( ) - (2.65) ketika i = 4 maka tBi+1 = tB1, dimana besar kelambatan rata-rata

̅ adalah,

̅ ( ) (2.66)

Gambar II.31. Ilustrasi metode expanding square

Adapun metode Vidale ini menggunakan solusi expanding square

(46)

38

yang ditunjukan gambar II.31 dimana titik putih merupakan traveltime pada gambar II.30 yang dihitung dengan persamaan 2.61 dan 2.65, dimana untuk titik hitam merupakan traveltime yang akan dihitung berikutnya dengan menggunakan skema finite-difference sampai titik sudut lainnya atau traveltime relatif maksimum didapatkan. Mula-mula ketiga titik hitam pada keempat sisi bagian tepi dihitung satu persatu dengan titik shot berada pada bagian titik putih dengan traveltime terkecil, yang dilakukan satu persatu sampai semua traveltime pada titik hitam pada bagian tepi tersebut semuanya didapatkan. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung traveltime di keempat titik sudut, oleh karena itu strategi ini disebut expanding squares karena traveltimes dihitung sepanjang persegi yang diekspansi sampai traveltimes di semua titik grid dalam model diketahui.

Permasalahan dengan strategi expanding square adalah metode ini tidak seluruhnya tepat untuk model dengan perbedaan kecepatan besar. Adapun dengan metode ini, traveltime bagian- bagian raypath yang mendahului titik sudut harus didapatkan terlebih dahulu sebelum mendapatkan traveltime pada titik sudutnya, hal ini bisa menyebabkan nilai negatif, dimana skema expanding square akan menghitung first arrival traveltime sebelum

(47)

39

headwave menyentuh interface, sehingga lapisan berkecepatan tinggi tidak sempat dimasukkan. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan metode Vidale walaupun sesungguhnya metode ini bekerja sangat cepat pada traveltime dalam grid seragam, dimana Qin memberikan sebuah alternatif dengan progressing outward dari expanding wavefront (Qin dkk., 1992).

Gambar II.32 Ilustrasi metode expanding wavefront

Langkah pertama metode Qin menggunakan persamaan 2.61 dan 2.65 dari metode Vidale untuk menentukan traveltime titik- titik terluar square dalam gambar II.31 yang kemudian dimasukan dalam perimeter yang ditunjukkan berupa titik hitam dalam gambar II.32, untuk menentukan titik traveltime minimum global sepanjang titik terluar perimeter yang merupakan titik dimana wavefront pertama kali mencapai permukaan perimeter dan merupakan titik awal ekspansi untuk solution region. Adapun

(48)

40

dalam gambar II.32a, menunjukan titik putih dan hitam membentuk solution region dan wavefront yang aktual direpresentasikan dengan garis kurva. Semua traveltime pada lingkaran hitam sepanjang perimeter dimasukan kedalam perimeter array, termasuk titik traveltime minimum yang ditunjukan sebuah titik hitam dalam lingkaran putih. Titik titik terdekat pada titik traveltime minimum yang ditunjukan dengan lingkaran putih dalam gambar II.32b kemudian dihitung dengan metode beda hingga, sehingga sebuah solution region dibentuk dan traveltime baru sepanjang titik terluar perimeter digunakan untuk memperbaharui perimeter array. Sebuah titik traveltime minimum didapatkan diantara elemen perimeter array yang kemudian digunakan untuk proses berikutnya seperti dalam gambar II.32c.

Dengan menerapkan prosedur diatas secara berulang, semua titik dalam model dapat dihitung. Berikutnya persamaan eikonal diselesaikan menggunakan metode beda hingga. Ketika titik grid pada batas model didapatkan, titik tersebut tidak akan digunakan sebagai titik baru, sehingga perhitungan berhenti pada batas grid komputasi. Adapun operasi dalam skema ini adalah logical statements, sehingga vektorisasi code metode expanding wavefront ini lebih sulit dari metode expanding square.

(49)

41

II.5 Tomografi Refraksi

GRM mengasumsikan kontinuitas permukaan refraktor terbentang sepanjang profil. Asumsi ini seringkali tidak valid seperti dalam kasus-kasus tanah longsor, dimana tomografi seismik refraksi dapat memberikan hasil yang lebih baik.

Tomografi seismik refraksi adalah sebuah teknik inversi untuk merekonstruksi model kecepatan subsurface bumi dari data seismik, dimana pengukurannya dilakukan berdasarkan gelombang seismik yang tersebar menerobos medium.

Karakteristik gelombang seismik yang diterima itulah kemudian digunakan untuk memperkirakan properti dari medium yang dilaluinya. Tipe utama data seismik untuk diinversi terdiri atas dua bagian yaitu; data traveltime dan waveform. Traveltime tomography adalah prosedur untuk merekonstruksi model kecepatan subsurface bumi dari data picking traveltimes, dimana traveltime dihitung berdasarkan data seismik dengan konfigurasi source - receiver yang bervariasi sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan model kecepatan dengan resolusi spatial yang berbeda-beda. Tomografi refraksi dengan menggunakan data picking first break sangat potensial dalam mengestimasi kecepatan

(50)

42

di dekat permukaan dan dapat memberikan hasil yang lebih mendekati perkiraan sebenarnya.

Secara matematis masalah yang terkandung dalam tomografi seismik adalah masalah non linier, dimana rekonstruksi struktur bawah permukaan dengan tomografi seismik dapat dilakukan dengan pendekatan linier dan non linier. Pendekatan linier mengasumsikan lintasan penjalaran gelombang mendekati atau sama dengan lintasan model inisial, dalam hal ini masalah non linier yang terkandung dalam tomografi seismik didekatkan/disamakan menjadi masalah linier. Sedangkan tomografi dengan pendekatan non linier adalah penentuan solusi dari masalah non linier dengan pendekatan linier yang berulang-ulang (iterasi) sehingga diperoleh solusi akhir yang mendekati data observasi. Hasil tomogram dengan pendekatan non linier secara kuantitatif memiliki citra yang lebih tajam (sharp) dibandingkan dengan hasil tomogram dengan pendekatan linier, akan tetapi citra tomogram dengan pendekatan linier memberikan hasil yang lebih halus (smooth) terutama untuk studi tomografi seismik pada skala lokal dimana cakupan data yang digunakan terbatas.

(51)

43

Software interpretasi dengan metode tomografi refraksi antara lain adalah RayfractTM software dan SeisOpt@2D software.

Adapun kedua software tersebut memiliki tiga komponen penting yaitu; forward model untuk menghitung first arrival time dari source ke receiver berdasarkan model kecepatan, kemudian inversi yang biasanya untuk menyesuaikan model kecepatan sampai adanya kesesuaian antara first arrival time kalkulasi dengan observasi, serta memiliki sarana untuk membangkitkan model inisial kecepatan (Hiltunen dkk., 2007).

Metode yang digunakan RayfractTM software berdasarkan pada metode linier wavepath eikonal traveltime inversion/WET (Schuster dan Quintus-Bosz, 1993), dengan pendekatan Fresnel volume (Watanabe dkk., 1999). Metode WET inversion dibangun berdasarkan formula backprojection untuk menginversi kecepatan traveltime hasil komputasi solusi finite difference pada persamaan eikonal (Qin dkk., 1992). RayfractTM software membangun dua model inisial untuk memulai WET inversion; pertama dengan metode Delta-t-V yang sangat membantu dalam mengidentifikasi fitur-fitur kecil dan algoritma smooth inversion yang secara otomatis membangun model 1D berdasarkan hasil

(52)

44

metode Delta-t-V untuk menutupi area 2D hasil metode tersebut (Sheehan dkk., 2005), atau dengan kata lain algoritma smooth inversion berfungsi untuk mengeliminasi artifacts yang seringkali dihasilkan metode Delta-t-V.

Metode dalam SeisOpt@2D software adalah teknik inversi optimisasi non linier yang disebut adaptive simulated annealing procedure, dimana kontrol inversi Monte-Carlo digunakan untuk mengembangkan model kecepatan optimisasi global dari lapisan bawah permukaan (Pullammanappallil dan Louie,1994). Untuk forward model, solusi finite-difference pada persamaan eikonal (Vidale, 1988) digunakan untuk menghitung first arrival traveltime model kecepatan uji, yang nantinya dibandingkan dengan first arrival traveltime data observasi, dimana error antara traveltime hasil komputasi dengan data observasi akan dioptimalkan. Adapun model kecepatan direpresentasikan sebagai discrete square dengan menggunakan persyaratan resolusi untuk mengarahkan nomor sel relatif, dimana algoritma simulated annealing inversion berdiri bebas dari model inisial.

(53)

45

II.5.1 Teori Klasik Traveltime Tomography

Traveltime tomography klasik menggunakan raypath untuk memodelkan traveltime dan mengasumsikan data berfrekuensi tinggi, dimana panjang gelombang lebih kecil dari variasi jarak model kecepatan. Dalam hal ini traveltime observasi dihubungkan dengan model (Schuster, 1998),

( ) ∫ ( ) (2.67) Integral traveltime menunjukan bahwa traveltime untuk gelombang seismik yang merambat dari source ke receiver dihitung dengan mengintegralkan bobot kelambatan s(x,z)=1/c(x,z) sepanjang raypath yang berhubungan dengan source dan receiver. Adapun tahapan inversi data traveltime sebagai berikut; pertama traveltime ti di-picking dari raw data ke i, kemudian membangun vektor traveltime M x 1 yang terdiri dari M traveltime picks, dimana traveltime tersebut dihitung dengan cepat menggunakan solusi finite difference pada persamaan eikonal (Vidale, 1988; Qin dkk., 1992). Kemudian dilakukan diskritisasi model bumi ke dalam sel kelambatan N, dimana setiap sel i mempunyai konstanta kelambatan Si.

(54)

46

Gambar II.33. Contoh diskritisasi model sel bumi kedalam 16 sel

Pada tahapan kedua, segmen panjang ray ke i diletakkan dalam sel ke j sebagai lij, dimana persamaan 2.67 direduksi oleh somasi bobot kelambatan yang merupakan segmen panjang ray (Schuster, 1998),

(2.68)

Persamaan traveltime 2.68 dapat dituliskan dalam bentuk notasi matriks-vektor L’S’ = t’, dimana L’ adalah matriks M x N segmen raypath, dengan nilai elemen lij dan S’ adalah model kelambatan aktual. Tahapan ketiga, model inisial kelambatan tafsiran (S) dengan persamaan t = LS digunakan untuk membentuk persamaan,

(2.69)

L adalah matriks raypath, dimana L’ dapat diaproksimasi dengan

(55)

47

L yaitu parameter dS = S – S’ atau L’ = L + 0 (dS2) sehingga bentuk persamaan menjadi,

(2.70)

Tahapan ini dikenal sebagai tahapan linierisasi dimana hubungan model dan data adalah linier dengan persamaan 2.70. Adapun hal ini mengsumsikan bahwa segmen panjang tidak berubah ketika model kelambatan diubah dari model kelambatan aktual.

Biasanya ada banyak persamaan yang tidak diketahui, sehingga persamaan 2.70 dapat diselesaikan dengan minimisasi penjumlahan subjek error kuadrat pada panjang terbatas (Schuster, 1998),

( ) ( ) (2.71) Dimana α adalah nilai skalar positif kecil, dimana minimisasi persamaan diatas pada komponen S menghasilkan solusi least squares (Schuster, 1998),

,( ) - (2.72) I adalah matriks identitas NxN, dimana model kecepatan dibaharui dengan

(2.73)

β adalah step length, jika model awal hampir mendekati model aktual sehingga persamaan traveltime benar-benar linier, dimana β

(56)

48

= 1 dan persamaan 2.73 adalah jawaban akhir. Biasanya model tersebut berbeda sehingga persamaan 2.73 digunakan sebagai model awal dan tahapan ketiga sampai akhir diulang untuk memperbaharui model. Prosedur ini disebut metode Gauss- Newton, yang dilakukan berulang sampai model dan traveltime residu konvergen. Adapun Persamaan 2.72 mengharuskan perhitungan langsung matriks inversi NxN (LTL), sehingga sangat menyulitkan karena sejumlah besar parameter N tidak diketahui. Oleh karena itu solusi iteratif diterapkan dengan metode steepest descent, dimana untuk α yang besar, persamaan 2.72 diaproksimasi persamaan berikut,

(2.74)

Sehingga vektor kelambatan S dibaharui dengan persamaan (Schuster, 1998),

(2.75)

Adapun k adalah step length, dimana S yang dibaharui digunakan untuk menghitung traveltime residu dt dan matriks L raypath baru, yang kemudian menggunakan persamaan 2.75 untuk membaharui kelambatan perturbation, dimana prosedur ini dilakukan berulang kali sampai konvergen.

(57)

49

II.5.2 Wavepath Eikonal Traveltime Inversion (WET Tomography)

Wavepath eikonal traveltime inversion (WET) adalah metode perhitungan wavepath dengan menggunakan solusi finite difference pada persamaan eikonal, yang merupakan suatu rumusan umum untuk proyeksi balik traveltime residu dalam traveltime tomography (Schuster dan Quintus-Bosz, 1993). Dalam beberapa kasus, rumusan WET mengarahkan skema inversi komputasi yang efisien dalam domain ruang-waktu, dimana pada prinsipnya metode ini hampir sama efektif dengan wave-equation traveltime inversion (WT) namun lebih cepat. Metode ini menghitung wavepath dengan sangat cepat, dimana WET secara parsial menghitung band-limited dan shadow effect di dalam data sehingga berbeda dengan ray-tracing tomography (RT).

Hal terpenting dalam rumusan algoritma WET adalah fungsi bobot source, yang didapatkan dari persamaan umum proyeksi balik traveltime residu untuk menginversi slowness field S(x) dalam medium akustik. Mula-mula data dikumpulkan dalam domain ruang-waktu dan first arrival dalam seismogram dimasukan dalam window dan ditransformasi dengan transformasi fourier terhadap

(58)

50

waktu untuk memperoleh pressure field ̅ ( | ) yang diukur pada xr dimana frekuensi anguler ditandai oleh ω, energi original dari titik source pada xs dan first arrival traveltimes diasumsikan dengan mem-picking peak amplitudo dari fase nol vibroseis wavelet. Langkah berikut mengarahkan pada persamaan umum proyeksi balik traveltime atau fase residu, dimana bentuk fase fungsi misfit ditunjukan oleh persamaan (Schuster dan Quintus-Bosz, 1993),

∑ ∑ ∑ ̅ ( ) ( ) (2.76) Diketahui r adalah indeks receiver, s adalah indeks source, ω adalah

frekuensi diskrit source, dimana

( ) ( ) ( ) adalah fase residu atau perbedaan antara first arrival fase kalkulasi ( ) dan fase observasi ( ) pada satu frekuensi. Hubungan pressure field observasi ̅ ( | ) dan pressure field kalkulasi ̅ ( | ) memenuhi persamaan Helmholtz. Faktor bobot sembarang ditandai sebagai ̅ ( ), jika faktor tersebut dibuat sama pada spektrum magnitude wavelet source lalu dihitung untuk realibilitas (serupa fungsi probabilitas) dari pengukuran fase sebagai fungsi

(59)

51

frekuensi, akan memberikan efek smoothing terhadap gradien dengan kata lain faktor tersebut konsisten dengan spektrum source dan lintasan perambatan. Adapun gradien y(x) dari fase fungsi misfit yang berkenaan dengan parameter-parameter kelambatan ditunjukan oleh persamaan,

( )

( ) ∑ ∑ ∑ ̅ ( ) ( )

( ) ( ) (2.77) Sehingga kelambatan tersebut dapat direkonstruksi dengan steepest descent,

( ) ( ) ( ) (2.78) Indeks k menandakan jumlah iterasi sebanyak k dan αk adalah step length, dimana besar ( )( ) pada persamaan 2.77 dihitung dengan menggunakan definisi fase ( ) , ̅ ( | )-, untuk mengambil turunan dari

( ) yang berhubungan dengan S(x);

( )

( ) 0 , ̅ ( | )-

( )

̅ ( | ) ( ) 1

( )

| ̅ ( | )| (2.79)

(60)

52

Fase kalkulasi ditandai dengan ( ) dan ( ), ditetapkan menjadi fase ̅ ( ( ) | ). Persamaan tersebut dapat ditunjukkan dengan turunan Frechet dari pressure field sebagai berikut;

̅ ( | )

( ) ( ) ̅ ( | ) ̅( | ) (2.80) Diketahui ̅( | ) adalah fungsi inhomogeneous Helmholtz Green 3D untuk impuls source pada x dan observer pada x,. Dengan mensubtitusikan pers. 2.80 kedalam persamaan 2.79, kemudian mensubtitusikan hasil ( )( ) kedalam persamaan 2.77 didapatkan bentuk persamaan,

( ) ( ) ∑ ∑ ∑ ( ) ̅ ( )

| ̅ ( | )|| ̅( | )|

| ̅ ( | )| ( ) (2.81) Diketahui dimana besar fase fungsi Green

( ) dan fase kalkulasi tekanan diberikan oleh persamaan ( ). Adapun besar gradien asimtotik untuk sebuah source pada xs dan receiver pada xr dapat ditentukan dengan fase linear yang berdasarkan pada first arrival

Referensi

Dokumen terkait

Dalam seismik refleksi, dasar metodenya adalah perambatan gelombang bunyi dari sumber getar ke dalam bumi atau formasi batuan, kemudian gelombang tersebut

Oleh karena itu penulis akan mencoba mengkaji bagaimana sifat, penjalaran gelombang elektromagnetik dan proses refraksi yang terjadi pada material bernilai indeks

Metode magnetik merupakan metode geofisika yang bekerja memanfaatkan sifat- sifat magnetik dari batuan dan material- material yang berada di bawah permukaan bumi. Data

Capain Pembelajaran : Mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasikan konsep dasar seismologi dalam studi mengenai gempa bumi.. 4-5 Menguasai pengetahuan dasar tentang gelombang

MASW atau Multichannel Analysis of Surface Wave adalah suatu metode seismik yang memanfaatkan sifat dispersif dari gelombang permukaan untuk menginterpretasi kecepatan

Metode magnetik merupakan metode geofisika yang bekerja memanfaatkan sifat- sifat magnetik dari batuan dan material- material yang berada di bawah permukaan bumi. Data

Seismik merupakan salah satu metode geofisika yang bekerja dengan memanfaatkan laju perambatan gelombang di dalam permukaan bumi dari suatu sumber getaran yang

*arena material bumi yang bersifat elastik, apabila ada sumber  gelombang+ seperti berasal dari palu, dinamit, air gun, dan lain-lain yang dihasilkan dari sumber