• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA NEUROKONSELING CALON KONSELOR : Studi Deskriptif Perubahan Gelombang Otak Konselor dan Konseli dalam Proses Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PARADIGMA NEUROKONSELING CALON KONSELOR : Studi Deskriptif Perubahan Gelombang Otak Konselor dan Konseli dalam Proses Konseling"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH BENING

(BELAJAR BIMBINGAN DAN KONSELING) ISSN: 2548-4222 ISSN-E: 2716-1765

Available Online at http://ojs.uho.ac.id/index.php/bening

PARADIGMA NEUROKONSELING CALON KONSELOR:

Studi Deskriptif Perubahan Gelombang Otak Konselor dan Konseli dalam Proses Konseling Rury Muslifar1) *, Yasintha Sari Pratiwi2)

1)Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman

2) Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman Email: 1) rurymuslifar@fkip.unmul.ac.id

1. Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gelombang otak calon konselor dan konseli melalui EEG (Electroenchepalography) dalam proses konseling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi generik terhadap siswa yang menderita phobia dan calon konselor yang melakukan konseling terhadap siswa (konseli) tersebut.

Peneliti tidak hanya menggunakan hasil EEG sebagai data utama namun peneliti juga melakukan pengumpulan data dengan wawancara, dokumentasi, dan observasi.

Penelitian yang telah dilakukan menghasilkan deskripsi gelombang otak melalui EEG (Electroenchepalography) calon konselor antara lain (a) Sebelum proses konseling yang dilakukan oleh calon konselor menghasilkan gelombang otak normal tanpa adanya gelombang patologis. (b) Selama proses konseling yang dilakukan oleh calon konselor menghasilkan gelombang otak abnormal I dengan jenis gelombang ISA (Intermittent Slow Activity). Hal ini bermakna bahwa calon konselor mengalami perlambatan gelombang otak secara menyeluruh dan fenomena ini disebut dengan DMN ( brain Default Mode Network) yang disebabkan konselor blank dan melamun saat konseling. Deskripsi gelombang otak melalui EEG (Electroenchepalography) bagi konseli antara lain (a) sebelum proses konseling yang dilakukan konseli menghasilkan gelombang otak normal dengan jenis gelombang otak Bheta tinggi serta kontraksi otot dan jantung yang menandakan kecemasan selama masa perekaman gelombang otak; (b) setelah proses konseling yang dilakukan konseli menghasilkan gelombang otak normal dengan catatan berkurangnya kontraksi otot dan jantung secara kontinu. Hal ini menandakan bahwa konseling menghasilkan progres kesembuhan bagi phobia konseli. Pandangan paradigma calon konselor terhadap neurokonseling merujuk pada pentingnya (a) asesmen awal dan akhir pada konseli yang didasarkan pada hasil yang empiris seperti EEG dan alat lainnya (b) pentingnya integrasi serta pengembangan dan keberbaharuan dari teori-teori konseling (c) kajian keilmuan Neurokonseling menjadi peluang bagi calon konselor untuk lebih mantap mempersiapkan diri mengahadapi persaingan antar sesama profesi dengan menghadirkan nuansa baru proses konseling secara lebih empiris dan didasarkan pada proses dan hasil yang saintifik.

2. Latar Belakang

Layanan Bimbingan dan Konseling merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pendidikan di sekolah. Konselor adalah salah satu profesi yang harus siap dengan berbagai tantangan dan masalah di masa depan.

(2)

Sebagai layanan profesional, kegiatan layanan Bimbingan dan Konseling harus berpijak dari suatu dasar yang kuat dengan didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.

Salah satu isu utama yang sedang dialami oleh konselor di lapangan adalah adanya tuntutan akan unjuk kinerja layanan yang optimal, terutama melalui layanan konseling. Selama ini, konselor melalui layanan konseling masih menemui beberapa tantangan, salah satunya adalah benarkah bahwa layanan konseling dapat benar- benar membantu permasalahan siswa. Isu ini telah diidentifikasi oleh Vogel dan Wester (2007: 410) yang menghasilkan temuan penelitian bahwa salah satu kendala utama pelaksanaan konseling adalah keraguan tentang keefektivan pelaksanaan layanan konseling di sekolah. Temuan lain, oleh Supriadi (1990: 38) bahwa 38%- 60% orang tua siswa mengaku tidak puas terhadap layanan konseling yang diberikan oleh konselor. Sedangkan menurut temuan Murad (2011: 351) tingkat kepuasan kinerja konselor profesional hanya mencapai maksimal 70%.

Padahal layanan konseling mempunyai peran yang cukup signifikan dalam menjawab berbagai problematika yang dialami siswa. Hal tersebut dapat dipicu oleh beberapa miskonsepsi konselor seperti konseling adalah pemberian nasehat saja, konselor belum memahami teori dan teknik konseling serta anggapan konselor jika konseling bukan menjadi prioritas dalam program BK. Hasil temuan Stelzer (2003:

3) mengungkapkan bahwa miskonsepsi konselor berujung pada inkonsistensi kinerja konselor, kurang lengkapnya program dan program pemberian layanan konseling yang tidak efektif.

Melalui paradigma neurokonseling, Konselor dituntut untuk dapat memberikan treatment secara lebih holistik dan integral. Chapin mengatakan “ Counselors have known for years that counseling changes thoughts, behaviors and the brain, and now we have scientific evidence” (Chapin, 2014). Hal tersebut kemudian kembali dipertegas bahwa bukti yang saintifik dari paradigma neurokonseling dapat digunakan sebagai salah satu fondasi utama konselor dalam

(3)

proses pelatihan dan peningkatan kualitas penyiapan calon konselor. Di Amerika, pada tahun 2009, Badan Dewan Akreditasi untuk penyiapan program konseling yang berhubungan dengan pendidikan atau Council for Accreditation of Counseling and Related Educational Programs (CACREP) telah mulai menyusun program untuk pelatihan konselor yang concern dalam bidang neurokonseling (CACREP, 2009:61).

Standar terbaru yang diterbitkan oleh CACREP pada tahun 2016 juga dengan tegas memasukkan kajian keilmuan otak (neuroscience) dalam kurikulum konseling ( counseling curricculum) pada bagian (section) ke 5 yakni Professional Counselor Identity (CACREP, 2016: 9).

(4)

Penerapan neurokonseling pada calon konselor didasarkan pada penyiapan calon konselor sebagai seorang calon profesional. Di sisi lain, Kualitas layanan BK yang baik tidak lepas dari penyiapan pendidikan prajabatan bagi calon konselor.

Calon konselor yang akan terjun dilapangan memerlukan paradigma neurokonseling sebagai salah satu acuan dalam memberikan layanan konseling. Melalui neurokonseling, calon konselor menjadi lebih kuat dalam penguasaan wawasan tentang perubahan dari setiap pernyataan yang diberikan, perasaan yangdipantulkan dan perilaku yang ditunjukkan oleh konseli.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti mencoba menggali paradigma neurokonseling terhadap calon konselor yang sedang melakukan proses pemberian layanan konseling. Salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui perubahan otak adalah dengan menggunakan EEG ( Electroencephalography) yang berfokus pada perubahan gelombang otak sebelum dan sesudah proses konseling.

Pemberian konseling dengan menggunakan teknik Desensitisasi Sistematis dilakukan oleh subjek peneliti lain mahasiswa calon konselor Universitas Mulaarman Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah memenuhi beberapa kriteria tertentu seperti telah lulus matakuliah konseling baik teori maupun praktek, memiliki standing academic yang baik seperti IPK cumlaude, keaktifan dan lain sebagainya serta, sosok pribadi yang mencerminkan seorang konselor. Dua subjek yakni calon konselor dan konseli akan melakukan sesi konseling dengan menggunakan pendekatan behavioral teknik desensitisasi sistematis untuk mengatasi phobia, kemudian dalam setiap tahapan tertentu akan direkam melalui EEG untuk mengetahui perubahan gelombang otak sehingga manjadi data empirikuntuk evaluasi proses konseling pada sesi-sesi mendatang. Penelitian ini juga menjadi data awal

(5)

dalam kajian keilmuan Neurokonseling yang tergolong masih sangat muda.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan permasalahan sebagaimana telah dirumuskan pada fokus penelitian yang terkait dengan paradigma neurokonseling calon konselor. Peneliti berpandangan bahwa untuk mengungkap substansi dan makna kebenaran dalam penelitian ini diperlukan pengamatan yang mendalam dengan latar alami (natural setting). Karakteristik tersebut sejalan dengan karakteristik pendekatan kualitatif yaitu pendekatan penelitian yang berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya, sehingga, memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas (Somantri, 2005:2).

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial secara komprehensif dan konstekstual dengan menggambarkan realitas empiris tentang bagaimana perpesktif neurokonseling pada calon konselor dalam memandang permasalahan dan melakukan proses konseling pada konseli di sekolah. Dengan demikian, peneliti berpandangan bahwa penelitian ini bersifat strategis dengan permasalahan krusial terkait dengan kurang efektifnya konseling yang selama ini dilakukan konselor.

Subjek penelitian (konseli) dipilih seorang siswa dari 80 siswa yang telah mengisi kuisioner tentang skala phobia. Kriteria pemilihan siswa sebagai subjek penelitian didasarkan pada tingkat phobia dan komitmen serta kemauan untuk sembuh dari phobia yang dialami dengan hasil skala phobia 9 (tinggi) untuk tingkat keparahan dan 10 (sangat tinggi) untuk komitmen kesembuhan. Siswa terpilih berjenis kelamin perempuan dengan usia 16 tahun yang lahir pada tanggal 5

(6)

6 Januari tahun 2008. Subjek penelitian berperawakan tingi 166 cm dengan berat 70 Kilogram dengan keturunan campuran antara suku Jawa dan bugis

Lofland (1984) mengemukakan sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Selanjutnya, sumber data dalam penelitian ini diuaraikansebagai berikut.

Sumber Data

 Siswa dengan phobia symptom

 Calon konselor

 Guru BK

 Dokumen hasil EEG

 Hasil Observasi

Sumber data penelitian sebagaimana dipaparkan diatas, diperoleh dengan dua teknik, yaitu purposive sampling. Pada awal penelitian, peneliti menentukan para informan yang menjadi subjek penelitian sesuai dengan topik-topik informasi yang akan dikumpulkan. Hal ini merepresentasikan teknik purposive sampling dalam menentukan subjek penelitian.

Peneliti mulai melakukan wawancara dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan deskriptif melalui observasi umum dan mencatat semua itu dalam catatan lapangan. Peneliti memindahkan hasil wawancara dan observasi ke dalam catatan lapangan secara langsung pada saat selesai melakukannya. Hal tersebut dapat mengurangi kemungkinan informasi menjadi tidak lengkap karena terlupa atau rekaman hilang. Pencatatan sumber data utama melalui kegiatan wawancara dan pengamatan berperan serta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya.

6

(7)

4. Hasil dan Pembahasan

Rasionel pemilihan proses perekaman gelombang otak dengan menggunakan alat bernama Electroencephalogram (EEG) telah dilakukan oleh ahli sejak tahun 1920-an dengan mengacu pada tonggak sejarah EEG yang dimulai pada tahun 1929 saat salah satu ilmuwan mengumumkan kemungkinan untuk merekam arus listrik yang lemah yang dihasilkan pada otak, tanpa membuka tengkorak, dan hasilnya digambarkan pada kertas.

Kemudian format perekaman yang baru ini disebut sebagai Electroencephalography (EEG) sehingga dapat diketahui bahwa EEG merupakan suatu alat yang merekam aktivitas listrik di otak untuk kemudian diinterpretasikan menurut Luders (dalam Benson, 2000:3). Berdasarkan pendapat tersebut, EEG masih menjadi satu-satunya alat yang valid digunakan untuk mengukur atau menggambarkan gelombang otak.

Istilah penamaan EEG antara Electroensefalography dengan Electroensefalogram mempunyai makna yang berbeda. Electroensefalography merujuk pada ilmu yang mempelajari gambar dari rekaman aktivitas listrik di otak, termasuk tehnik melakukan perekaman EEG dan interpretasinya, sedangkan Electroensefalogram merupakan nama mesin EEG yang diamplifikasi (Luders and Noachtar, 1995:108).

Hasil ringkas perekaman gelombang otak calon konselor sebelum melakukan konseling menunjukkan bahwa latar belakang gelombang otak calon konselor sebelum proses konseling tergambar ritmis, kontinu dan masuk dalam kategori normal dengan jenis gelombang medium yakni 9-10 Hz dengan interval gelombang bheta 20-30 Hz. Menurut teori dalam perekaman gelombang otak, setiap besaran frekwensi mempunyai harga normal.

Hasil EEG dapat diberikan selama kurun waktu sekitar 2 Minggu. Menurut Benson (2000:88) menyebutkan bahwa latar belakang gelombang otak dapat dilihat dari model grafik yang disebut dengan “Latar Belakang Posterior pada Aktivitas EEG Normal”, dalam grafik tersebut terdapat dua keterangan yakni garis frekwensi dengan umur (bulan dan setelah perekaman selesai dilakukan. Kecuali untuk situasi-situasi khusus yang memerlukan hasil karena kepentingan mendesak 7

(8)

dan sebagainya. Hasil EEG dianalisis dan disahkan oleh pihak yang memiliki otoritas untuk pembacaan hasil rekaman seperti operator EEG (perawat) dan Dokter Spesialis Syaraf.

Hasil unik ditunjukkan calon konselor pada perekaman ketika proses konseling dilakukan. Pada tahapan pertama yakni penentuan latar belakang gelombang otak, calon konselor memiliki latar belakang gelombang otak dikatakan masih cukup bagus dengan berada pada kisaran 9-10 Hz yang berarti normal dengan kategori medium sesuai dengan ketentuan normal EEG yang harus memenuhi 2 kriteria (Lisa 2004: 13). Kriteria pertama yakni frekuensi latar belakang posterior harus sesuai dengan usianya dan kriteria tersebut telah terpenuhi. Namun, kriteria kedua yakni tidak adanya gelombang abnormal belum dapat terpenuhi. Diganosis utama oleh dokter ahli syaraf menyebutkan bahwa konseli masuk dalam EEG Abnormal (bangun) dengan kategori ISA (Intermittent Slow Activity) general yang bermakna bahwa temuan perekaman gelombang otak telah ditetapkan mengalami perlambatan secara umum pada seluruh regio permukaan otak.

ISA (Intermittent Slow Activity) merupakan salah satu dari jenis gelombang otak yang abnormal dan masuk dalam kategori Abnormal EEG.

Abnormal EEG sendiri memiliki beberapa jenis gelombang abnormal dalam Slow Activity, yakni (1) Background Slow, (2) Intermittent Slow, (3) Continous Slow (Lusi, 2004:18). ISA (Intermittent Slow Activity) terjadi secara intermiten dan tidak disebabkan karena pasien atau calon konselor

Hasil unik ditunjukkan calon konselor pada perekaman ketika proses konseling dilakukan. Pada tahapan pertama yakni penentuan latar belakang gelombang otak, calon konselor memiliki latar belakang gelombang otak dikatakan masih cukup bagus dengan berada pada kisaran 9-10 Hz yang berarti normal dengan kategori medium sesuai dengan ketentuan normal EEG yang harus memenuhi 2 kriteria (Lisa 2004: 13). Kriteria pertama yakni mengantuk. ISA pada anak-anak biasanya terjadi secara ritmis dan terjadi secara general dan hal tersebut masuk dalam kategori abnormal Luders (dalam Benson, 2000:3).

Perlambatan gelombang otak dapat terjadi secara menyeluruh yakni 8

(9)

seluruh permukaan otak dan sebagian yakni pada bagian tertentu. ISA sebagian atau regio sebagian sangat mungkin terjadi dikarenakan terjadinya disfungsi pada bagian tertentu dalam otak, namun yang sering terjadi adalah adanya aktivitas yang melambat pada gelombang yang beresiko epilepsi (Gloor et al 1968).

Sedangkan ISA general atau keseluruhan sangat mungkin disebabkan karena adanya lesi (cidera) di beberap bagian seperti Infratentorial atau Supratentorial.

Calon konselor diketahui mengalami perlambatan gelombang otak pada saat tahapan talking atau ketika proses konseling. Perlambatan otak yang terjadi sebesar 6-7 Hz. Menurut penuturan dr. Jenar Harumi Sp.S selaku dokter ahli syaraf, mengungkapkan bahwa sangat mungkin calon konselor mengalami ISA karena sempat pada pada tahapan sadar, berhenti berpikir namun tidak melakukan aktivitas apapun atau dapat dikatakan blank space.

Kondisi otak saat itu berhenti berpikir secara intermitten karena banyaknya informasi yang ditangkap oleh pikiran sehingga blank seperti yang telah diuraikan dalam paparan data dan temuan penelitian.

Kondisi calon konselor blank space yang berdampak pada terjadinya perlambatan gelombang otak secara menyeluruh menjadi temuan menarik sebagian atau regio sebagian sangat mungkin terjadi dikarenakan terjadinya disfungsi pada bagian tertentu dalam otak, namun yang sering terjadi adalah adanya aktivitas yang melambat pada gelombang yang beresiko epilepsi (Gloor et al 1968). Sedangkan ISA general atau keseluruhan sangat mungkin disebabkan karena adanya lesi (cidera) di beberap bagian seperti Infratentorial atau Supratentorial. Tingkat abnormalitas untuk ISA general adalah berada karena fenomena tersebut sering dialami oleh konselor dalam masa konseling. karena bingung bersikap dalam menghadapi konseli atau karena pembanjiran informasi dalam otak konselor sehingga konselor tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya. Fenomena tersebut sebenarnya juga dapat dikatakan bahwa calon konselor telah mengalami lamunan atau “melamun” (minds wandering). Menurut kajian Oscar F. Goncalves (2015:12) dalam karyanya terkait dengan lamunan konselor berjudul “The Counselor’s Wandering mind: Being Emphatic by Default” mengungkapkan bahwa fenomena lamunan seorang konselor adalah hal 9

(10)

yang wajar sebagai manusia, karena setiap orang dapat melamun sepanjang hari dengan memberikan gambaran masa lalu dan masa depan, diri sendiri dan orang lain, realita dengan fantasi dan emosi yang tidak terungkapkan. Lamunan sebenarnya tidak terlepasakan dengan proses konseling sebagai konsekuensi dari fokus perhatian yang diberikan terhadap konseli.

Perlambatan gelombang otak yang dialami oleh konselor dapat disebut dalam terminologi keilmuan otak sebagai DMN (brain’s Default Mode Network) yang telah dibuktikan oleh Malia Mason dari Dartmouth College yang berafiliasi dengan Harvard dan Universitas Aberdeen. DMN terjadi dikarenakan sistem konektivitas dalam otak aktif ketika individu beristirahat tanpa fokus terhadap apapun. DMN terjadi karena hubugan regio sebelah depan otak bagian tengah dengan posterior cingulates, inferior parietal dan lateral temporal corticies yang menariknya bagian tersebut selalu non aktif ketika individu menunjukkan aktivitas yang membutuhkan perhatian dan fokus (Goncalves 2015:13). Lamunan konselor menjadi tidak (minds wandering). Menurut kajian Oscar F. Goncalves (2015:12) dalam karyanya terkait dengan lamunan konselor berjudul “The Counselor’s Wandering mind: Being Emphatic by Default” mengungkapkan bahwa fenomena lamunan seorang konselor adalah hal yang wajar sebagai manusia, karena setiap orang dapat melamun sepanjang hari dengan memberikan gambaran masa lalu dan masa depan, diri sendiri dan orang lain, realita membantu ketika yang dimunculkan adalah gambaran negatif atau hal lain diluar yang tidak ada hubungannya dengan proses konseling.

Memahami keterampilan berpikir akan sangat membantu calon konselor dalam memantapkan pemahaman tentang mind skills dan neurokonseling.

Pembahasan berkaitan dengan evaluasi hasil EEG dan konseling terhadap dampak paradigma neurokonseling merujuk pada keseluruhan proses dan hasil penelitian ini. Rasionel pemilihan gelombang otak. Jika ditarik benang merah, maka kajian keilmuan neurokonseling yang terbilang masih muda ini perlu diejawantahkan dalam bentuk yang lebih konkrit agar mahasiswa calon konselor dapat memahami keilmuan konseling.

Fokus utama dalam penelitian ini antara lain adalah (1) peletak dasar teori 10

(11)

neurokonseling telah menyusun berbagai penelitian dan penemuan didasarkan pada gelombang otak; (2) hasil perekaman gelombang otak dapat mencerminkan keadaan fisiologis dan psikologis seseorang; (3) alat yang digunakan relatif cukup mudah ditemui daripada alat perekam otak lainnya; (4) harga yang cukup terjangkau dibandingkan dengan alat perekam otak lainnya.

Gelombang otak muncul dan dideteksi ketika sensor elektroda EEG ditempelkan dipermukaan otak tertentu yang mengandung jutaan neuron dalam otak. Gambaran gelombang otak berbentuk lekukan-lekukan yang menggambarkan sekelompok neuron sedang “menembak” dan “meledak” dalam aktivitas tertentu (Russo, 2016:15). Setiap satu elektroda yang terpasang di permukaan kepala dapat menangkap sinyal dari 15.000 neuron, pada milisekon menangkap 5000 hingga 10.000 sinyal neuron. Komputer akan mencatat data tersebut dan kemudian mengolahnya menjadi lekukan- lekukan yang disebut dengan gelombang otak. Gelombang otak yang tercatat akan menggambarkan kondisi mental state pasien mulai dari mengantuk atau drowsy atau sedang mengalami kecemasan (Chapin, 2015:36).

Jenis gelombang otak secara mendasar antara lain adalah (1) Delta dengan besaran 0,5-3,5 Hz yang menggambarkan kondisi ketika seseorang ketika tidur (2) Theta dengan besaram 4-7,7 Hz dengan kondisi peralihan mengantuk dan tidur (3) Alpha dengan besaran 8-12 Hz yang (4) harga yang cukup terjangkau dibandingkan dengan alat perekam otak lainnya. menggambarkan kondisi siap bangun (5) Bheta dengan besaran 13-21 Hz sebagai bheta rendah yang menggambarkan konsentrasi sedangkan bheta

Gelombang otak muncul dan dideteksi ketika sensor elektroda EEG ditempelkan dipermukaan otak tertentu yang mengandung jutaan neuron dalam otak. Gambaran gelombang otak berbentuk lekukan-lekukan yang menggambarkan sekelompok neuron sedang “menembak” dan “meledak” tinggi dengan besaran 22-35 Hz yang menggambarkan kecemasan (5) Gamma dengan besaran 35-45 hz yang menggambarkan kegiatan supersadar dan dalam aktivitas belajar (Chapin, 2015:17). Hasil temuan penelitian ini membahas tentang deskripsi gelombang bheta saja. Hal ini dikarenakan menurut sudut pandang 11

(12)

medis, gelombang bheta menjadi acuan dan patokan utama dalam proses perekaman gelombang otak dengan EEG. Gelombang yang lain tetap muncul, hanya frekwensinya amat kecil dan tidak signifikan, terutama gelombang Delta, Theta dan Alpha.

Selain kajian tentang gelombang otak, proses dan hasil konseling, meninggalkan tempat) menjadi lebih tenang dan hanya menunjukkan respon kaget sesaat saja. Melalui hasil tersebut, maka dapat menjadi justifikasi dari berbagai macam penelitian tentang pembuktian terapi behavioral dengan teknik desensitisasi sistematis masih ampuh digunakan untuk menyembuhkan phobia.

Kajian dalam pembahasan ini juga memaparkan tentang paradigma neurokonseling calon konselor yang telah menjalani serangakaian proses penelitian ini dan kemudian memberikan pandangannya terhadap kajian keilmuan neurokonseling sebagai berikut (1) Pandangan calon konselor terhadap keseluruhan proses konseling ini merujuk pada pentingnya asesmen awal dan akhir pada konseli yang didasarkan pada hasil yang empiris seperti EEG dan alat lainnya. (2) Pandangan calon konselor juga merujuk pada pentingnya integrasi serta pengembangan dan keberbaharuan dari teori-teori konseling yang selama ini digunakan sebagai acuan dalam proses konseling. (3) Calon konselor mempunyai pandangan bahwa salah satu permasalahan yang muncul ketika konseling adalah konselor hanya menangkap hal-hal yang ditunjukkan oleh konseli yang kemudian berubah menjadi persepsi konselor yang sangat mungkin salah, padahal keadaan tentang kondisi real konseli

Selain kajian tentang gelombang otak, proses dan hasil konseling, menjadi kunci ketepatan konselor dalam merespon. (4) Calon konselor memprediksikan bahwa jika keilmuan neurokonseling telah benar-benar terlaksana dengan baik, maka lembaga resmi seperti Laboratorium BK dan biro konseling lainnya hendaknya mempunyai alat-alat perekaman otak seperti EEG dan MRI secara mandiri sehingga akan sangat mendukung penyiapan calon konselor profesional yang memahami integrasi keilmuan konseling dengan keilmuan otak sebagai layanan yang holistik. (5) Calon konselor juga memberikan pandangan bahwa keilmuan neurokonseling merupakan kajian keilmuan yang cukup baru dan sangat 12

(13)

perlu dikembangkan secara masif mengingat semakin kompleksnya kebutuhan manusia yang berpotensi melahirkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks, dan untuk menangani masalah tersebut dapat dilakukan dengan terapi konseling yang semakin holistik, terintegrasi dan komprehensif seperti neurokonseling. (6) Hadirnya kajian keilmuan Neurokonseling menjadi peluang bagi calon konselor untuk lebih mantap mempersiapkan diri mengahadapi persaingan antar sesama profesi dengan menghadirkan nuansa baru proses konseling secara lebih empiris dan didasarkan pada proses dan hasil yang saintifik.

5. Kesimpulan dan Saran

Hasil deskripsi gelombang otak melalui EEG (Electroenchepalography) bagi konseli antara lain (a) sebelum proses konseling yang dilakukan berdasarkan tujuan dan hasil pembahasan dalam penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan: konseli menghasilkan gelombang otak normal dengan jenis gelombang Bheta tinggi serta kontraksi otot dan jantung yang menandakan kecemasan selama masa perekaman terutama dalam masa provokasi phobia. (b) setelah proses konseling yang dilakukan konseli menghasilkan gelombang otak normal dengan catatan berkurangnya kontraksi otot dan jantung secara kontinu.

Hal ini menandakan bahwa konseling menghasilkan progres kesembuhan bagi phobia konseli.

Saran untuk peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengembangkan hasil temuan dari penelitian ini baik dari segi proses maupun hasil untuk menguatkan kajian keilmuan neurokonseling yang masih tergolong sangat muda. Selain itu, peneliti selanjutnya juga diharapkan untuk menggunakan alat/media lain selain EEG seperti MRI dan spec MRI untuk lebih detail melihat proses konseling secara struktur otak selama proses konseling atau hal lain yang berhubungan dengan kajian keilmuan Bimbingan dan Konseling.

6. Daftar Pustaka

American Electroencephalographic Society. 1991. Guidelines for Standard- 13

(14)

electrode positions nomenclature. New York: Jlin Neurophysiol.

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. 2008. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta : Depdiknas

Benson. 2000. Atlas and Classification of Electroencephalograph (Translated from Germany to English). London: W.B. Saunders Company.

Blakemore. 2013. Thinking: The new science of decision making, problem solving, and prediction (The Adolescent Brain). New York: Harper Perennial

Bogdan, R.C dan Biklen, S.K.1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. London: Allyn and Bacon, Inc.

Chapin. L.R,. 2015. Combining Counseling with Neurotheraphy: Two Successful Neurofeedback Case Studies. February 13;331 (1432): 13-16 Scientific Counseling Article of American Counseling Association (ACA)

Creswell, J. W. 2012. Educational Research. Fourth Edition. Thousand Oaks:

Pearson Publications.

Fleming & Dolan. 2012. The neural basis of metacognitive ability. Journal of Medicine, May 19; 367(1594): 1338–1349. US National Library of Medicine National Institutes of Health

Gazzaniga., Mangun. 2014. The Cognitive Neuroscience: Fifth Edition.

Massachussets Institute and Technology: MIT Press

Gargiulo., Arroyo. 2015. Psychiatry and Neuroscience Update: Bridging the Divide. Switzerland: Springer International Publishing

Gladding, S. 2009. Keterampilan dalam Konseling. Jakarta: Pustaka Belajar Gloor P, Kalabay O, Giard n. 1968. The Electroencephalogram in diffuse enchepalophaties: Electroenchepalographic correlates of grey and white matter lessions. Brain 91:779-802.

Griffin, P., and Care, E. 2012. Assessment and Teaching of 21st Century Skills:

Methods and Approach. Dordrecht : Springer

Harahap. L. 2014. Pemaknaan Konselor Terhadap Layanan Konseling Di Sekolah. Disertasi. PPS Universitas Negeri Malang: Tidak Dipublikasikan Hardiman, M. 2012. The Brain Targeted Teaching Model for 21st-Century

Schools. California: A Sage Publication.

Ivey. A. 2015. Allostatis, stress and the microbiota-gut-brain axis. Journal of neurocounseling: Bridging Brain and Behavior: ACA.

Jennings. S. 2016. Healthy Attachments and Neuro Dramatic-Play. London:

Sage Publication Johnson, M.H., 2000. Functional brain development in infants: elements of an interactive

specialization framework. Child Dev. 71, 75–81.

Johnson, M.H., 2001. Functional brain development in humans. Nat. Rev.

Neuroscience. 2, 475–483.

Johnson, M. 2005. Developmental Cognitive Neurroscience:

2nd edition.Victoria :Blackwell Publishing

Johnson, M. 2011. Developmental Cognitive Neurroscience: 3rd edition.Victoria :Blackwell Publishing

14

(15)

Johnson, M. 2011.Interactive Specialization: A domain-general framework for humanfunctional brain development. Developmental Cognitive Journal.

Vol 1 (2011) 7-21

Jones, R.N. 2003. Basic counseling skills: A Helper’s Manual. London: Sage Publications Jones, R.N. 2005. Introduction to Counseling Skill. London:

Sage Publications.

Joni, T.R. 2008. Resureksi Pendidikan Profesional Guru. Malang:LP3 Universitas Negeri Malang

Khandpur,R.S.1986. Handbook of Biomedical Instrumentation. New York:McGraw-Hill.

Lisa, W. 2004. Prosedur Perekaman Gelombang Otak EEG: Buku Panduan.

Surabaya: Tidak dipublikasikan (Untuk kalangan RS. Dr. Soetomo) Lofland, J. dan Lyn, L. 1984. Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitive

Observation and Analysis. (2nd Edtion). Belmont, CA: Wadsworth.

McHenry, B., Sikorski, A. M., & McHenry, J.(2013) A Counselor’s Introduction to Neuroscience. New York, NY: Routledge.

McHenry, B., Sikorski, A. M..(2014) Neuroscience and Counseling Practice.

New York, NY: Routledge.

McMillan, P. 2014. Psychology and Neuroscience. Sinauer Associates.inc.

California: Worth Publishers.

Melton . R. 2013. Counseling and its Perception . New York:McGraw-Hill.

Miles, M.B dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Diterjemahkan oleh Tjetjep R.R.

Jakarta: UI Press.

Miller., Barret.,H. 1974. Behavioral Assessment and Treatment of Childhood Phobias. London: Sage Publication

Moleong, L.J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munakata., 2004. Developmental cognitive neuroscience:

progress and potential. Journal of TRENDS in Cognitive Sciences Vol.8 No.3.

Murad. 2011. Tingkat Kinerja Konselor Profesional. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 5, , hlm. 339-353.

Radjah, C. 2012. Metakognisi Konselor dalam Kegiatan Layanan Konseling di Sekolah. Desertasi. Universitas Negeri Malang. Tidak dipublikasikan.

Russo. Stevents. 2016. Counseling students gaining early exposure to neurofeedback. Journal of Neurocounsleing: Bridging Brain and Behavior: ACA

Spencer, J.P., Thomas, S.C., McClelland, J.L. (Eds.), 2009. Toward a Unified Theory of Development: Connectionism and Dynamic Systems Theory Re- Considered. Oxford University Press.

Spradley, J.P. 1997. The Etnographic Interview. Terjemahan Misbah Zulfa Elizabet. Yogyakarta:Tiara Wacana.

Stelzer. 2003. A Critical Analysis Of The Function Of Guidance Counselors.

Reseacrh Paper. The Graduate College University of Wisconsin-Stout 15

Referensi

Dokumen terkait

Metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metoda deskriptif, yaitu suatu metoda yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan variabel yang diamati,

Selain daripada itu juga, kajian ini turut mengkaji sama ada terdapat hubungan antara setiap fasa (analisis, reka bentuk, pembangunan, pelaksanaan, dan penilaian) dengan

Kedua adalah bagaiman politik identitas musik pop Bali yang paling ditandai oleh keberadaan bahasa Bali, dari aspek kebahasaan tersebut, menjadi diskur- sus (dalam

Analisis Potensi Tegakan Hasil Inventarisasi Hutan di KPHP Nunukan Unit IV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi, struktur dan komposisi jenis tegakan hutan pada

Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran yang berlebihan, kredit yang tidak wajar atau memadai, (c) Perusahaan belum memiliki sistem pelatihan karyawan, (d) Perusahaan

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan penurunan kadar BOD antara sebelum dan sesudah perlakuan pada limbah cair rumah makan dengan koagulan PAC (p = 0,000)..

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui harapan advertisers terhadap kinerja pelayanan bisnis radio Ardan Group, atribut apa saja yang perlu ditingkatkan dan

Pihak-pihak akan berusaha sekerasnya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mendorong dan mengembangkan kerjasama teknis bidang pertahanan dan keamanan