• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Orientasi Agama Terhadap Perkawinan. Pasangan Beda Agama Dan Cara Mengatasi Konflik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Orientasi Agama Terhadap Perkawinan. Pasangan Beda Agama Dan Cara Mengatasi Konflik"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Orientasi Agama Terhadap Perkawinan Pasangan Beda Agama Dan Cara Mengatasi Konflik

Skripsi HALAMAN JUDUL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Ricky Januarto 129114050

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

PENGARUH ORIENTASI AGAMA TERHADAP PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA DAN CARA MENGATASI KONFLIK

Disusun Oleh:

Ricky Januarto 129114050

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Prof. A. Supratiknya, Ph.D. Tanggal,

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH ORIENTASI AGAMA TERHADAP PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA DAN CARA MENGATASI KONFLIK

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ricky Januarto

129114050

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji Pada tanggal

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Penguji Tanda Tangan

1. Penguji 1 Prof. A. Supratiknya, Ph.D. ……….

2. Penguji 2 Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si. ……….

3. Penguji 3 MM. Nimas E.S., M.Si., Psi. ……….

Yogyakarta Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(Dr. Titik Kristiyani, M.Psi.)

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

The secret of being Happy is accepting where you are in life and making the most out of everyday – Anonymous

Grow is painful. Change is painful. But nothing is as painful as staying stuck somewhere you don‟t belong – Mandy Hale

When you face dificult times, know that challenge are not sent to destroy you.

They‟re sent to promote, increase, and strengten you - Buddha

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk

Orang-orang yang saya cintai dan kasihi

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar acuan, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Juni 2019 Peneliti,

Ricky Januarto

(7)

vii

PENGARUH ORIENTASI AGAMA TERHADAP PERKAWINAN PASANGAN BEDA AGAMA DAN CARA MENGATASI KONFLIK

Ricky Januarto

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkawinan pada pasangan beda agama. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode Analisis Isi Kualitatif terarah. Informan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah 1 pasangan perkawinan beda agama yang telah menikah lebih dari 20 tahun. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria penelitian (purposive sampling). Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur di mana kedua informan diwawancarai secara bersamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan memiliki orientasi agama intrinsik.

orientasi agama yang dimiliki oleh informan memengaruhi perkawinan pasangan beda agama. Pemilihan cara mengatasi konflik yang muncul adalah avoiding, compromising, dan integrating.

Kata kunci: Orientasi agama, intrinsik, perkawinan, beda agama

(8)

viii

THE INFLUENCE OF RELIGIOUS ORIENTATION TOWARD THE DIFFERENT MARRIAGE AND HOW TO OVERCOME CONFLICTS

Ricky Januarto

ABSTRACT

This purposed of this study was to explored the dynamics of marriage in interfaith couples. This research is a descriptive qualitative study with a Qualitative Content Analysis method. The informants involved in this study was 1 interfaith marriage couple who had been married for more than 10 years. The informants were selected based on research criteria (criterion base). Data collection was performed using semi-structured interviews where the two informants interviewed simultaneously. The results showed that the informants had an intrinsic religious orientation. The religious orientation possessed by informants influenced aspect of marriage between religious partners. The choice of how to overcame conflicts that arise is avoiding, compromising, and integrating.

Key Words: religious orientation, intrinsic, marriage, interfaith

(9)

ix

LEMBAR PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Ricky Januarto

Nomor Mahasiswa : 129114050

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Pengaruh Orientasi Agama terhadap Perkawinan Pasangan Beda Agama dan Cara Mengatasi Konflik

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau medai lain untuk kepentingan akademis, tanpa perlu meminta izin dari saya maupnn memberikan royalti kepada royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyaan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yoygakarta Pada tanggal 25 Juli 2019 Yang menyatakan

(Ricky Januarto)

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya hanturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, peneliti mempelajari banyak hal baru, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun pelajaran hidup. Pelajaran ini membantu peneliti untuk berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi. Dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, peneliti tidaklah dapat menyelesaikannya tanpa bantuan dan dukungan dari orang lain. Secara khusus peneliti ingin berterima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencurahkan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.

2. Jajaran Fakultas Psikologi dan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan berbagai fasilitas yang mendukung.

3. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu dan mengajarkan peneliti mengenai banyak hal, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ilmu kehidupan.

4. Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dari awal hingga akhir, yang dengan sabar menjelaskan dan memberitahu mengenai kesalahan-kesalahan penulis, memberikan dukungan serta nasehat sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. dan Ibu Monica Eviandaru

Madyaningrum, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang dengan

(11)

xi

sabar telah membimbing dan menyediakan waktunya ketika peneliti membutuhkan saran.

6. Ibu Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si. dan Ibu MM. Nimas E.S., M.Si., Psi.

selaku dosen penguji yang telah bersedia membimbing saya dengan sabar selama masa revisi.

7. Seluruh informan dalam penelitian ini yang telah bersedia dengan suka rela meluangkan waktunya untuk membagikan pengalamannya terkait dengan topik penelitian. Tanpa kesediaan para informan, skripsi ini tidak akan pernah terselesaikan.

8. Anggota keluarga yang dengan senantiasa memberikan dukungan emosional dan mendoakan yang terbaik untuk peneliti.

9. Kepada Ivie, Lenny, AP, Dian, Deva, Indah, Priska, Karin, Gege, Reka, Kak Maria, Mas Tama, Gaby, dan Raras yang telah menemani dan berdiskusi dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Kepada Willy dan Kurniandy yang juga selalu memberikan semangat dan dorongan untuk peneliti.

11. Seluruh grup “NUSANTARA” yang telah memberikan saya banyak dukungan dan dorongan untuk tetap semangat mengerjakan skripsi.

12. Seluruh teman seperjuangan yang telah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk sehingga peneliti tetap bisa termotivasi dalam mengerjakan skripsi ini.

Terlepas rasa terimakasih peneliti kepada berbagai pihak yang telah

disebutkan, peneliti hendak menegaskan bahwa tanggung jawab atas skripsi ini

(12)

xii

sepenuhnya ditanggung oleh peneliti seorang diri. Skripsi ini peneliti persembahkan kepada khalayak umum dengan harapan bahwa dapat memberikan manfaat positif kepada semua orang yang membaca secara langsung maupun tidak langsung.

Yogyakarta, 25 Juni 2019 Peneliti,

Ricky Januarto

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. Perkawinan Beda Agama ... 11

B. Orientasi Agama dalam Perkawinan ... 12

C. Aspek Perkawinan ... 14

D. Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle) ... 17

E. Permasalahan dan Konflik dalam Perkawinan Beda Agama ... 18

F. Cara Mengatasi Konflik ... 21

G. Kerangka Konseptual... 24

BAB III METODE PENELITIAN... 27

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 27

B. Fokus Penelitian... 28

C. Informan ... 30

(14)

xiv

D. Peran Peneliti ... 31

E. Metode Pengambilan Data ... 32

F. Kredibilitas Data ... 37

G. Analisis dan Interpretasi Data ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Pelaksanaan Penelitian... 44

B. Latar Belakang Informan ... 44

C. Dinamika Wawancara ... 46

D. Hasil Penelitian ... 49

1. Orientasi Agama ... 49

2. Pengaruh Orientasi Agama terhadap Aspek Perkawinan ... 52

a. Komunikasi ... 52

b. Managemen Keuangan ... 53

c. Aktivitas Bersama Di waktu Luang ... 55

d. Hubungan Seksual ... 57

e. Anak dan Pengasuhan ... 59

f. Kesetaraan Peran ... 61

g. Perubahan dalam Perkawinan ... 62

3. Konflik dan Cara Mengatasi Konflik ... 64

a. Konflik ... 64

b. Cara Mengatasi Konflik ... 65

E. Pembahasan ... 67

1. Orientasi agama dan Pengaruhnya dalam Perkawinan Beda Agama ... 67

2. Konflik dan Cara Mengatasi Konflik ... 69

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Keterbatasan Penelitian ... 72

C. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 79

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik ... 22

Gambar 2. Kerangka Konseptual ... 26

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Informan ... 31

Tabel 2. Kriteria Koding Orientasi Agama terhadap Perkawinan ... 40

Tabel 3. Kriteria Koding Problem Solving ... 43

Tabel 4. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ... 44

Tabel 5. Prinsip-prinsip Agama Katolik dan Islam dalam Perkawinan ... 51

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Lembar Persetujuan Partisipan / Informed Consent ... 79

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Menurut Saleh (1992, dalam Wahyuni, 2010), dalam suatu perkawinan, ikatan lahir dan ikatan batin tidak boleh dipisahkan, karena tanpa keduanya perkawinan tidak akan lengkap. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, yaitu adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami-istri, yang disebut juga ikatan formal. Hubungan formal ini mengikat bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan maupun bagi orang lain atau masyarakat.

Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi harus ada karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan rapuh. Selain itu, sebuah perkawinan juga tidak hanya dapat berdasarkan ikatan lahir dan batin saja, tetapi juga ada aspek religius, yaitu agama yang dianut pasangan, yang melengkapi semuanya (Wahyuni, 2010).

Kita tahu bahwa semua agama pasti mengajarkan hal yang baik dan benar.

Agama, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sistem yang mengatur tata

keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta

tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya. Menurut McGuire (1981, dalam Jalaluddin, 2016), agama

(19)

memberikan sistem nilai kepada individu di mana sistem nilai tersebut akan memengaruhi bagaimana seseorang berpikir dan berperilaku. Sistem nilai tersebut mengarahkan seseorang untuk bertindak dan berperilaku ke arah yang benar dan baik. Namun kebaikan dan kebenaran tersebut berbeda-beda tergantung agama yang dianut. Perbedaan tersebut menjadi semakin jelas terlihat ketika terjadi persinggungan antara agama yang berbeda pada suatu kejadian tertentu, seperti perkawinan.

Seperti sebuah kasus yang peneliti jumpai pada salah satu anggota keluarga peneliti dimana seorang laki-laki berinisial PC dan perempuan berinisial NV berpacaran beda agama. PC beragama Protestan dan NV beragama Buddha.

Kedua orang tua dari PC adalah pendeta, sedangkan kedua orang tua dari NV adalah pandita. Orang tua PC berharap agar kelak perkawinan diantara mereka dijalankan menurut agama Protestan dengan NV masuk ke agama Protestan, begitu pula dari pihak NV. Hal tersebut kemudian menimbulkan konflik diantara pasangan dan keluarga yang diakibatkan adanya saling “tarik menarik” antar kedua pasangan untuk mengikuti salah satu agama yang mereka percayai.

Kejadian yang peneliti jumpai ini bukanlah kejadian yang baru. Hal tersebut sudah lazim terjadi pada pasangan beda agama yang hendak melaksanakan perkawinan.

Masyarakat pada umumnya masih memiliki pandangan yang cenderung

negatif terhadap perkawinan beda agama. Yahya dan Boag (2014) dalam

penelitiannya menemukan bahwa ketika seseorang menjalani hubungan beda

agama, maka mereka akan mendapatkan konsekuensi secara sosial. Masyarakat

(20)

masih melihat bahwa menikahi pasangan yang memiliki agama yang berbeda dapat membuat kehidupan tidak nyaman dan kurang bahagia karena tidak dapat menjalankan ritual atau hari raya bersama, sehingga kurang ada rasa kebersamaan (Abdul, 2011). Ketika akan melakukan perkawinan, pasangan juga akan mengalami kesulitan dikarenakan secara hukum pada UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat 1 berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Berdasarkan peraturan tersebut pencatatan perkawinan hanya dapat dilakukan untuk perkawinan seagama (Wahyuni, 2010).

Selain itu, pemilihan agama anak juga menjadi salah satu permasalahan yang muncul dalam perkawinan beda agama (Hapsari, 2013). Orang tua, baik ayah maupun ibu yang memiliki perbedaan agama, menginginkan anak mereka agar dapat menganut agama mereka, namun hal tersebut menimbulkan masalah ketika tidak ada kesepakatan bersama agama apa yang harus dipilihkan kepada anak. Ketika anak diberikan kebebasan untuk memilih, anak juga mengalami kebingungan karena ketika harus memilih salah satu agama, maka anak akan merasa sungkan dengan orang tua yang agamanya tidak dipilih (Hanindya, Yuliadi, & Karyanta, 2014; Pratiwi, 2012; Pratiwi, 2014).

Dari pemaparan masalah-masalah di atas, terlihat bahwa cukup banyak

permasalahan yang dapat muncul dari perkawinan beda agama. Hal ini dapat

disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang yang dimiliki tiap agama

sehingga rentan menimbulkan pergesekan dan pertentangan pada pasangan suami-

istri yang kemudian dapat berkembang menjadi konflik. Konflik dapat muncul

(21)

ketika adanya perbedaan pendapat mengenai suatu hal yang dipercaya itu benar atau pertentangan pada perilaku atau tindakan yang dilakukan (Deutsch, 1969).

Ketika konflik yang muncul tidak dapat diselesaikan, hal ini dapat menyebabkan pasangan merasakan ketidakbahagiaan dalam perkawinan. Selain itu, apabila konflik terus berlanjut, maka kemungkinan berakhirnya hubungan perkawinan tersebut menjadi lebih tinggi (Curtis & Ellison, 2002; Call & Heaton, 1997;

Ortega, Whitt, & William, 1988; Lehrer & Chiswick, 1993).

Walau banyak yang memandang perkawinan beda agama dapat menimbulkan permasalahan yang dapat memicu terjadinya konflik, namun tidak sedikit juga yang melangsungkan perkawinan beda agama dan mampu mempertahankan dan mengatasi rintangan kehidupan perkawinan mereka seperti perkawinan yang dilaksanakan oleh Rinto Harahap-Lily Kuslolita, Bob Tutupoly- Rosmayasuti Nasution, dan Amara-Frans Mohede (Ramadhana, 2016).

Selain itu, peneliti berasumsi bahwa pasangan-pasangan tersebut dapat

mempertahankan kehidupan perkawinan mereka salah satunya disebabkan

orientasi agama yang dimiliki oleh masing-masing pasangan tersebut. Orientasi

agama adalah bagaimana seseorang mempraktekkan kepercayaannya dan

mengintegrasikan praktek tersebut kedalam kehidupan sehari-harinya (Whuff,

1991, dalam Hughes & Dickson, 2005). Menurut Hugh dan Dickson (2005),

orientasi agama terbagi menjadi dua, yaitu orientasi agama intrinsik dan

ekstrinsik. Orang dengan orientasi agama intrinsik menginternalisasi ajaran agama

kedalam diri dan kehidupan mereka, dan menghidupi ajaran tersebut. Orang

dengan orientasi agama ekstrinsik melihat agama sebagai sarana atau alat untuk

(22)

memenuhi kebutuhan mereka, seperti beragama supaya punya teman, memiliki status, dan lain sebagainya. Pernyataan peneliti tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hughes dan Dickson (2005) dimana mereka menemukan bahwa pasangan beda agama tidak harus memiliki agama yang sama untuk menjadi puas terhadap perkawinan mereka, tetapi mereka hanya perlu memiliki orientasi agama yang sama. Selain memiliki orientasi yang sama, peneliti juga menemukan bahwa untuk dapat mempertahankan sebuah perkawinan, mengatasi konflik yang muncul juga merupakan salah satu kuncinya (Gottman, 1994, dalam Curtis & Ellison, 2002). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh orientasi agama terhadap pasangan perkawinan beda agama. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk melihat bagaimana cara pasangan mengatasi konflik yang terjadi dalam perkawinan.

Untuk dapat melihat dengan lebih seksama pengaruh tersebut terhadap perkawinan, peneliti kemudian membagi perkawinan menjadi tujuh aspek berdasarkan aspek perkawinan yang dicetuskan oleh Fowers dan Olson (1989).

Aspek perkawinan yang dicetuskan oleh Fowers dan Olson (1989) yang terbagi menjadi tujuh aspek, yaitu: komunikasi, manajemen keuangan, aktivitas bersama di waktu luang, hubungan seksual, anak dan pengasuhan, pembagian peran, dan perubahan dalam perkawinan.

Selain itu, untuk melihat bagaimana cara pasangan perkawinan beda agama

menyelesaikan konflik. Peneliti menggunakan model penyelesaian konflik yang

dicetuskan oleh Rahim dan Bonoma (1979) untuk melihat bagaimana cara

pasangan menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam perkawinan beda

(23)

agama. Adapun model penyelesaian konflik tersebut terbagi menjadi lima gaya, yaitu: (1) integrasi, berkolaborasi bersama untuk mencari solusi yang dapat diterima semua pihak; (2) obligasi, berusaha untuk tidak membeda-bedakan dan menekankan persamaan yang ada untuk memuaskan orang lain; (3) dominasi, memaksakan solusi secara sepihak tanpa mempedulikan pihak lain; (4) menghindar, menyerahkan keputusan penyelesaian konflik kepada pihak lain; (5) kompromi, kedua belah pihak yang sedang berkonflik sama-sama mengorbankan atau memberikan sesuatu untuk dapat membuat keputusan yang dapat disetujui semua pihak.

Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan beda agama sudah

banyak dilakukan. Reiter dan Gee (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa

semakin sedikit mengkomunikasikan perbedaan agama, maka dapat membantu

sebuah hubungan beda agama untuk bertumbuh. Hal ini berbeda dengan temuan

yang dilakukan pada penelitian Indahyani (2003) di mana keterbukaan terhadap

perbedaan akan membantu mereka menghadapi konflik. Selain itu, penelitian ini

juga menemukan bahwa berdialog juga dapat membantu untuk mengurangi

konflik. Selain itu, ada pula penelitian Amir dan Trianasari (2013) yang meneliti

mengenai pola komunikasi antarpribadi dalam mengasuh anak pada orang tua

beda agama. Penelitian ini menjelaskan mengenai 3 pola komunikasi dalam

mengasuh anak pada perkawinan beda agama, yaitu : (1) membebaskan, orang tua

memberikan kebebasan tanpa batas seperti bersikap mengalah dan menuruti

semua keinginan anak; (2) otoriter, orang tua menolong anak dengan

mengorbankan otonomi anak seperti mengharuskan anak melakukan sesuatu tanpa

(24)

kompromi dan jika anak tidak menuruti maka akan mendapatkan hukuman; (3) demokratis, orang tua bersikap terbuka seperti menghargai pendapat anak.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Cila dan Lalonde (2014) membahas mengenai keterbukaan terhadap perkawinan beda agama ditinjau dari identitas, dasar agama, identitas budaya dan hubungan dengan keluarga diantara orang Kanada muslim dewasa muda. Mereka menemukan bahwa seseorang yang memiliki identitas dan dasar agama yang kuat kurang mau terbuka untuk melakukan hubungan beda agama. Peran hubungan keluarga secara tidak langsung tersalurkan melalui identitas agama yang mengajarkan ajaran agama sejak kecil. Selain itu, memiliki identifikasi budaya Kanada yang kuat memprediksi keterbukaan terhadap hubungan beda agama. Penelitian ini juga menemukan bahwa perempuan lebih tertutup untuk melakukan hubungan beda agama.

Selanjutnya, penelitian Hikmantunnisa dan Takwin (2007) meneliti mengenai pengaruh perbedaan agama orang tua terhadap psychological well-being dan komitmen beragama anak. Penelitian ini menemukan tidak ada perbedaan psychological well-being pada anak dengan orang tua beda agama maupun

beragama sama. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hanindya, Yuliadi, dan

Karyanta (2014) yang meneliti mengenai konflik beragama anak pada keluarga

beda agama. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa konflik beragama yang

terjadi pada anak disebabkan karena perbedaan ajaran dari kedua orang tua. Satu

sisi anak ingin memilih salah satu, tetapi di sisi lain anak merasa sungkan dengan

orang tua yang agamanya tidak dipilih.

(25)

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas, jika dilihat dari segi metode penelitian, kebanyakan metode yang digunakan adalah kuantitatif (Chinitz & Brown, 2001; Hughes & Dickson, 2005;

Hikmatunnisa & Takwin, 2007; Reiter & Gee, 2008; Cila dan Lalonde, 2014;

Yahya dan Boag, 2014). Adapun penelitian kualitatif (Amir & Trianasari, 2013;

Hanindya, Yuliadi, & Karyanta, 2014; Indahyani, 2013), namun penelitian yang menggunakan pasangan suami istri sebagai informan hanyalah penelitian yang dilakukan oleh Indahyani (2013). Jika dilihat dari penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti menemukan beberapa defisiensi. Penelitian yang dilakukan mengenai perkawinan beda agama membahas seputar keterbukaan, komunikasi, pengaruh sosial, dan pemilihan agama anak dengan mayoritas menggunakan metode kuantitatif di mana dalam penjelasannya kurang mendalam. Adapun penelitian kualitatif menggunakan metode studi kasus dan kualitatif deskriptif meneliti mengenai anak dari pasangan perkawinan beda agama sebagai informannya. Dari penelitian-penelitian tersebut, masih belum ada yang membahas mengenai pengaruh orientasi agama terhadap aspek-aspek yang ada dalam perkawinan. Penelitian sebelumnya juga kurang menjelaskan mengenai bagaimana pasangan menyelesaikan konflik yang muncul dalam perkawinan.

Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh orientasi agama terhadap aspek-aspek yang ada dalam perkawinan pada pasangan beda agama dan cara pasangan mengatasi konflik yang muncul dalam perkawinan.

Aspek-aspek perkawinan yang digunakan merupakan hasil konsep aspek

perkawinan yang disusun oleh Fowers dan Olson (1989). Selain itu, untuk melihat

(26)

cara pasangan menyelesaikan konflik, peneliti menggunakan konsep penyelesaian konflik yang dikonseptualisasikan oleh Rahim dan Bonoma (1979).

Penelitian ini akan melibatkan pasangan suami istri beda agama yang sudah menikah lebih dari dua puluh tahun, sudah memiliki anak, dan masih berkomitmen dalam perkawinannya. Berdasarkan Rollins dan Feldman (1970), pasangan suami istri yang usia perkawinannya sudah lebih dari dua puluh tahun termasuk dalam tahap enam dalam family life cyle, dimana tahap tersebut merupakan titik terendah kepuasan pada sebuah perkawinan. Peneliti berasumsi bahwa pada titik tersebut pasangan sedang mengalami berbagai permasalahan yang dapat memicu konflik, sehingga lebih menarik untuk melihat bagaimana cara mereka mengatasi konflik-konflik tersebut. Thornton dan Dumke (2005, dalam Santrock, 2010) juga mengemukakan bahwa pada usia dewasa madia Kemampuan untuk mengatasi masalah dan efektivitas dalam membuat keputusan meningkat.

Selain itu, kriteria informan sudah memiliki anak dikarenakan permasalahan dalam perkawinan beda agama yang paling sering terjadi adalah pemilihan anak (Hapsari, 2013; Hanindya, Yuliadi, & Karyanta, 2014; Pratiwi, 2012; Pratiwi, 2014).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Adapun metode pengambilan data adalah wawancara semi terstruktur.

Metode analisis yang dipilih oleh peneliti adalah Analisis Isi Kualitatif (AIK)

dengan pendekatan deduktif.

(27)

B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan Utama :

1. Bagaimana pengaruh orientasi agama pada pasangan yang menjalani perkawinan beda agama?

2. Bagaimana cara pasangan beda agama mengatasi konflik dalam perkawinan beda agama?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana pengaruh orientasi agama pada pasangan yang menjalani perkawinan beda agama dan bagaimana cara pasangan mengatasi konflik yang muncul dalam perkawinan.

D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis :

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan baru dalam bidang psikologi, khususnya psikologi konseling keluarga dan perkawinan.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pasangan

beda agama yang ingin melanjutkan hubungan ke jenjang perkawinan

mengenai kehidupan perkawinan beda agama secara umum.

(28)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perkawinan Beda Agama

Menurut pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Ajaran atau sistem nilai yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia, serta manusia dan lingkungannya secara umum kita kenal sebagai agama (kbbi.web.id). Maka perkawinan beda agama adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, yang menganut agama yang berbeda, dan kemudian menjadi suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Saleh (1992, dalam Wahyuni, 2010), dalam suatu perkawinan,

ikatan lahir dan ikatan batin tidak boleh dipisahkan, karena tanpa keduanya

perkawinan tidak akan lengkap. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat,

yaitu adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk

hidup bersama sebagai suami-istri, yang disebut juga ikatan formal. Hubungan

formal ini mengikat bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan maupun bagi

orang lain atau masyarakat. Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang

(29)

tidak formal, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi harus ada karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan rapuh. Selain itu, sebuah perkawinan juga tidak hanya dapat berdasarkan ikatan lahir dan batin saja, tetapi juga ada aspek religius, yaitu agama yang dianut pasangan, yang melengkapi semuanya (Wahyuni, 2010).

Secara umum, agama memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam perkawinan. Hal ini bisa terjadi karena agama membentuk sistem nilai pada seseorang (McGuire, 1981, dalam Jalaluddin, 2016). Sistem nilai ini berfungsi untuk memberikan norma-norma yang kemudian menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan yang dipercayainya. Sistem nilai ini juga membentuk identitas seseorang, memengaruhi kehidupan sehari-hari, cara bersikap, berpenampilan, maupun alasan seseorang dalam mengikuti kegiatan tertentu sesuai dengan agama yang dianut (McGuire, 1981, dalam Jalaluddin, 2016).

Walaupun pada pasangan suami-istri yang memiliki perbedaan sistem nilai karena adanya perbedaan agama, mereka tetap dapat mencapai tujuan perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia. Salah satu hal yang mempengaruhi tercapainya tujuan tesebut adalah orientasi masing-masing pasangan terhadap agama yang mereka percayai (Hughes & Dickson, 2005).

B. Orientasi Agama dalam Perkawinan

Orientasi agama adalah bagaimana seseorang mempraktekkan

kepercayaannya dan mengintegrasikan praktek tersebut kedalam kehidupan

(30)

sehari-harinya (Whuff, 1991, dalam Hughes & Dickson, 2005). Menurut Hugh dan Dickson (2005), orientasi agama terbagi menjadi dua, yaitu orientasi agama intrinsik dan ekstrinsik. Orang dengan orientasi agama intrinsik menginternalisasi ajaran agama kedalam diri dan kehidupan mereka, dan menghidupi ajaran tersebut. Individu dengan orientasi agama intrinsik cenderung tidak berprasangka, memiliki toleransi terhadap cara pandang yang berbeda, lebih sering melakukan kegiatan beragama (Allport & Ross, 1967).

Berdasarkan penelitian Hughes dan Dickson (2005), pasangan dengan orientasi agama intrinsik dipercaya mampu berkomunikasi dengan lebih konstruktif, memiliki kepuasan terhadap perkawinan yang lebih tinggi, dan lebih sedikit demand-withdraw communication (jenis komunikasi di mana salah seorang pasangan lebih banyak menuntut dalam berkomunikasi dan pasangan yang lainnya memilih untuk lebih menghindar). Orang dengan orientasi intrinsik juga lebih baik dalam mengintrospeksi diri, sehingga memungkinkan memiliki kemampuan untuk menganalisis hubungan dan komunikasi mereka, serta lebih efektif dalam menghadapi konflik yang ada pada perkawinan. Orang dengan orientasi agama intrinsik juga lebih toleran dan menerima perbedaan dalam agama. Mereka juga tidak melihat agama sebagai kriteria dalam memilih pasangan untuk menikah, sehingga dalam berkehidupan perkawinan mereka tidak mempermasalahkan perbedaan agama.

Orang dengan orientasi agama ekstrinsik melihat agama sebagai sarana

atau alat untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti beragama supaya punya

teman, memiliki status, dan lain sebagainya. Individu dengan orientasi agama

(31)

ekstrinsik cenderung lebih berprasangka, bergantung, tidak sering melaksanakan kegiatan beragama, kurang mampu berkomunikasi dengan konstruktif dan lebih menggunakan demand-withdraw communication, lebih mendapatkan kepuasan dukungan sosial dari jaringan sosialnya, dan kurang merasa puas terhadap perkawinannya (Allport & Ross, 1967). Selain itu, pasangan dengan orientasi agama ekstrinsik juga mengekspektasi pasangannya untuk ikut hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan beragamanya (Hughes &

Dickson, 2005).

C. Aspek Perkawinan

Untuk dapat melihat pengaruh orientasi agama terhadap perkawinan, peneliti merincinya menjadi 7 aspek berdasarkan aspek kepuasan perkawinan yang dirumuskan oleh Fowers dan Olson (1989), yaitu:

1. Komunikasi

Dalam perkawinan komunikasi sangat penting karena perkawinan menyatukan dua individu yang berbeda ke dalam sebuah keluarga.

Komunikasi juga merupakan pintu gerbang dari sebuah hubungan. Jika dalam

perkawinan pasangan tidak memiliki komunikasi yang baik, maka dapat

dipastikan hubungan perkawinan mereka akan digoncang oleh berbagai

masalah karena tidak tersampaikannya pesan dengan tepat. Jika pasangan

perkawinan memiliki komunikasi yang baik, maka dapat dipastikan hubungan

mereka akan cukup stabil. Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang

(32)

dirasakan oleh pasangan dalam berkomunikasi seperti berbagi, berdiskusi, dan menerima informasi emosional dan kognitif.

2. Manajemen keuangan

Manageman keuangan merupakan masalah setiap orang untuk zaman sekarang, termasuk juga pasangan yang sedang membangun keluarga bahagia. Banyak hal yang harus dipikirkan oleh pasangan perkawinan seperti keperluan rumah tangga, kesehatan, dan tempat tinggal. Dalam perkawinan, aspek ini melihat sikap dan perhatian mengenai cara mengatasi permasalahan ekonomi bersama pasangan. Berkaitan tentang bagaimana cara pasangan mengatur finansial bersama, mengatasi masalah finansial, kepuasan terhadap keadaan finansial, kecukupan finansial dalam memenuhi kebutuhan sehari- hari (Poduska,1992).

3. Aktivitas bersama di waktu luang

Dalam hidup berkeluarga, pastilah ada waktu luang. Dengan perkawinan,

individu memiliki pasangan untuk menghabiskan waktu bersama. Area ini

lebih melihat pemilihan dalam menghabiskan waktu luang. Apakah aktivitas

bersama atau aktivitas individu, berbagi atau sendirian, dan ekspektasi

mengenai cara menghabiskan waktu luang sebagai pasangan. Jika pasangan

terlalu banyak menghabiskan waktu luang masing-masing dan ekspektasi

yang mengenai menghabiskan waktu luang bersama tidak terpenuhi, maka

dapat menimbulkan permasalahan dalam hubungan. Suami atau istri akan

berpikir bahwa pasangan terlalu mementingkan dirinya sendiri.

(33)

4. Hubungan seksual

Manusia memiliki berbagai kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan untuk menyalurkan hasrat seksualnya melalui berhubungan seksual.

Area ini melihat sikap mengenai permasalahan seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan seksual.

5. Anak dan pengasuhan

Salah satu tujuan menikah adalah untuk memiliki keturunan. Area ini melihat sikap dan perasaan tentang memiliki anak dan membesarkannya. Area ini berfokus pada keputusan mengenai pendidikan, masa depan anak, dan dampak anak terhadap hubungan pasangan.

6. Kesetaraan peran

Untuk menciptakan rumah tangga yang baik, suami dan istri haruslah memiliki peran yang jelas dan disetujui kedua belah pihak. Area ini melihat perasaan individu dan sikapnya mengenai berbagai peran perkawinan dan keluarga. Pembagian peran antara suami dan istri haruslah adil menurut kedua belah pihak, karena jika suami atau istri merasa pembagian tugas tidak adil, maka dapat menimbulkan konflik. Aspek kesetaraan peran suami istri berfokus pada pembagian peran dalam pekerjaan, rumah tangga, dan peran orang tua dalam mengasuh.

7. Perubahan pada perkawinan

Dengan menikah, akan ada perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan

suami dan isteri, karena suami dan istri merupakan dua individu yang berbeda

satu sama lain. Untuk mengatasi perubahan-perubahan tersebut, suami dan

(34)

isteri harus dapat menyesuaikan diri menghadapi perubahan tersebut dan menjaga agar perubahan tersebut tidak mengganggu perkawinan mereka.

Aspek ini berfokus pada bagaimana pasangan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkawinan.

D. Siklus Hidup Keluarga (Family Life Cycle)

Informan dalam penelitian ini merupakan pasangan suami istri dengan usia perkawinan lebih dari dua puluh tahun. Pada usia ini, berdasarkan siklus hidup keluarga, pasangan termasuk pada tahap enam. Menurut Rollins dan Feldman (1970), siklus hidup keluarga adalah sebuah siklus interaksi perkawinan berdasarkan tahap perkembangannya. Siklus ini terbagi menjadi delapan, yaitu:

(1) awal perkawinan, pasangan baru melakukan perkawinan dengan umur pernikahan antara 0 sampai 5 tahun; (2) keluarga yang baru memiliki anak, memiliki anak pertama yang baru lahir hingga dua tahun; (3) keluarga dengan anak pra-sekolah, anak berumur tiga hingga lima tahun; (4) keluarga dengan anak usia sekolah, anak berumur enam hingga dua belas tahun; (5) keluarga dengan anak remaja, anak berumur tiga belas tahun hingga dua puluh tahun; (6) keluarga yang “melepaskan” anak, anak mulai meninggalkan rumah; (7) keluarga dengan usia madia, tahapan dimana keluarga mengalami empty nest hingga masa pensiun;

(8) keluarga tua, masa pensiun hingga kematian salah seorang pasangan.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rollins dan Feldman (1970),

kepuasan perkawinan pada awal menikah cenderung meningkat dan dengan

seiring berjalannya waktu kepuasan terhadap perkawinan tersebut akan semakin

(35)

berkurang dan hal ini dimulai pada saat pasangan memiliki anak pertama (tahap kedua) dan mencapai titik terendahnya ketika anak akan mulai untuk meninggalkan rumah (tahap enam). Tahap keenam ini juga merupakan titik balik meningkatnya kepuasan perkawinan pada pasangan. Hal ini dikarenakan ketika anak sudah tidak berada di rumah, pasangan dapat lebih memiliki banyak waktu untuk dinikmati bersama (Gorschoff, John, & Helson, 2008). Selain itu, menurut Thornton dan Dumke (2005, dalam Santrock, 2010), pasangan telah memasuki usia dewasa madia dimana kemampuan pasangan untuk mengatasi masalah dan efektivitas dalam membuat keputusan juga cenderung semakin meningkat.

E. Permasalahan dan Konflik dalam Perkawinan Beda Agama

Dalam perkawinan beda agama, dua individu dengan sistem nilai yang berbeda disatukan dalam suatu ikatan perkawinan sehingga tidak heran jika permasalahan menjadi lebih rentan muncul dalam hubungan ini.

Permasalahan perkawinan beda agama di Indonesia yang paling jelas terlihat adalah ketika akan mencatatkan perkawinan. Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 tentang perkawinan, berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dengan adanya peraturan ini, pasangan beda agama yang ingin melakukan

pencatatan perkawinan menjadi lebih sulit karena ditafsirkan bahwa perkawinan

yang dianggap sah adalah perkawinan seiman (Wahyuni, 2010). Padahal

pencatatan perkawinan sangatlah penting untuk mendapatkan akta nikah, karena

dengan tidak adanya akta nikah tersebut, pihak istri dan anak sangat dirugikan.

(36)

Istri menjadi sangat mudah untuk diceraikan dan anak tidak memiliki akta lahir yang merupakan syarat untuk mendaftar sekolah, mendapat ijazah, dan kartu tanda penduduk (KTP) (Tarsono, 2015). Untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama, pasangan harus melewati proses pengadilan, setelah mendapatkan keputusan pengadilan barulah dapat melakukan pencatatan. Namun, untuk mendapatkan keputusan ijin menikah juga bukan 100% pasti bisa didapatkan ketika melakukan proses pengadilan.

Selain itu, sulitnya mendapatkan ijin dari orang tua untuk menikah beda agama juga merupakan masalah (Pratiwi, 2014; Yahya & Boag, 2014). Orang tua umumnya menginginkan anaknya untuk melanjutkan tradisi keluarga yang sudah ada, termasuk tradisi agama. Pasangan juga mendapatkan tekanan dari lingkungan sosial yang mempengaruhi mereka untuk tidak menikah beda agama (Yahya &

Boag, 2014; Pratiwi, 2014). Pengaruh dari lingkungan dan keluarga cukup berpengaruh kepada pengambilan keputusan melanjutkan hubungan kejenjang perkawinan atau tidak (Sprecher, 2011; Norona & Welsh, 2016).

Pratiwi (2014) menyatakan bahwa dalam pernikahan beda agama,

perselisihan antara pasangan suami-istri seringkali dikarenakan adanya perbedaan

cara pandang. Situasi ini akan semakin buruk apabila pasangan memiliki pola

komunikasi yang buruk. Salah satu permasalahan yang paling sering muncul

dalam perkawinan beda agama adalah terkait pemilihan agama anak. Perbedaan

agama yang dimiliki oleh pasangan dapat menyebabkan munculnya kebingungan

untuk menentukan agama anak (Hapsari, 2013; Pratiwi, 2014). Di sisi lain,

apabila anak diberikan kebebasan untuk memilih agamanya sendiri tanpa

(37)

pendampingan dari orang tuanya, hal ini dapat menyebabkan timbulnya konflik intrapersonal pada anak karena tidak tahu pilihan yang tepat dan juga mengalami dilema. Ketika anak memilih salah satu agama orang tuanya, anak akan merasa sungkan kepada orang tua yang agamanya tidak ia pilih (Hanindya, Yuliandi, &

Karyanta, 2014).

Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya dapat memicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Konflik adalah percekcokan yang disebabkan ketidaksepakatan atau ketidakcocokan yang terjadi pada dua orang atau lebih (Deutsch, 1969). Konflik dapat muncul ketika adanya perbedaan pendapat mengenai suatu hal yang dipercayai benar dan baik oleh masing-masing pihak yang sedang berkonflik, perbedaan keinginan, atau pertentangan pada perilaku atau tindakan yang dilakukan. Konflik memiliki sifat untuk cenderung meluas dan meningkat. Dampak dari meluas dan meningkat tersebut antara lain adalah meningkatnya jumlah masalah yang dilibatkan, jumlah motif yang dilibatkan, dan intensitas untuk bersikap negatif terhadap pihak lain (Deutsch, 1969). Hal ini mengakibatkan sebuah konflik dapat semakin meluas dan melibatkan berbagai hal yang tidak terlibat diawal dan berdampak semakin buruk bagi pihak yang sedang berkonflik jika tidak segera diselesaikan.

Perbedaan agama dapat memicu untuk munculnya konflik (Curtis & Ellison,

2002; Ortega, Whitt, & William, 1998; Lehler & Chiswick, 1993). Hal ini

dikarenakan perbedaan agama lebih sulit untuk beradaptasi satu sama lain

dikarenakan perbedaan gaya hidup dan dapat menyebabkan berkurangnya

ketidakbahagiaan (Ortega, Whitt, & William, 1998), serta mempengaruhi

(38)

kestabilan dalam perkawinan (Lehler & Chiswick, 1993). Jika konflik yang terjadi dalam perkawinan terus terjadi, maka dapat menyebabkan meningkatnya kemungkinan untuk terjadinya perceraian (Call & Heaton, 1997; Lehler &

Chiswick, 1993).

Maka dari itu, konflik yang muncul harus segera ditangani agar tidak menimbulkan dampak negatif yang berkelanjutan. Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk melihat lebih lanjut bagaimana cara pasangan yang melakukan perkawinan beda agama mengatasi konflik yang muncul dari permasalahan- permasalahan yang ada dalam perkawinan mereka. Menurut Gottman (1994, dalam Curtis & Ellison, 2002), mengatasi konflik merupakan kunci untuk mempertahankan perkawinan.

F. Cara Mengatasi Konflik

Dalam menentukan penyelesaian konflik, peneliti memilih model penyelesaian konflik yang dikonseptualisasikan (Rahim & Bonoma, 1979). Dalam model tersebut, terdapat 2 dimensi, yaitu concern for self yaitu melihat seberapa tinggi/rendah seseorang berusaha untuk memuaskan keinginannya sendiri dan concern for others adalah melihat seberapa tinggi/rendah seseorang ingin

memuaskan keinginan orang lain). Adapun gaya penyelesaian masalahnya terbagi

menjadi 5, yaitu :

(39)

C o n c e r n

f o r

O t h e r

H i g h

L o w

Integrating

Avoidance Dominating

Obliging

Compromising Concern for Self

Low High

1. Integrating (IN)

Gaya ini melibatkan concern of self dan concern of others yang tinggi.

Orang yang menggunakan gaya ini menekankan kolaborasi antara dua orang atau lebih untuk mencapai solusi yang dapat diterima semua pihak. Gaya ini memiliki keuntungan untuk menangani masalah yang rumit dikarenakan terjadi pertukaran informasi dan kemampuan yang dimiliki kelompok yang lain untuk menemukan solusi yang tepat

2. Obliging (OB)

Gaya ini melibatkan concern of self yang rendah dan concern of others

yang tinggi. Orang dengan gaya ini berusaha untuk tidak membeda-

bedakan dan menekankan kesamaan dan berusaha untuk memuaskan

orang lain. Gaya ini menguntungkan ketika merasa bahwa pilihan yang

dilakukan kurang tepat dan pecaya bahwa masalah ini lebih penting

untuk pasangan dan gaya ini juga berguna ketika secara sukarela

Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik (Rahim & Bonoma, 1979)

(40)

menyerah terhadap sesuatu dengan keyakinan bahwa dapat menguntungkan dikemudian hari.

3. Dominating (DO)

Gaya ini menekankan concern of self yang tinggi dan concern of others yang rendah. Orang dengan gaya ini akan memaksakan kehendaknya agar cara yang digunakan menguntungkan dirinya. Penggunaan gaya ini sering mengabaikan kebutuhan dan ekspektasi pasangannya. Gaya ini berguna ketika permasalahan yang ada tidak terlalu penting dan membutuhkan keputusan yang cepat

4. Avoiding (AV)

Gaya ini memiliki concern of self dan concern of others yang rendah.

Orang dengan gaya ini lebih memilih menghindar dari masalah, menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada orang lain, atau menarik diri dari masalah yang ada. Gaya ini berguna ketika masalah yang ada tidaklah terlalu penting atau ketika ada potensi munculnya disfungsi ketika mengkonfrontasi pasangan lebih besar daripada penyelesaian konflik.

5. Compromising (CO)

Gaya ini menekankan concern of self dan concern of others yang cukup

(tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah). Orang dengan gaya ini

akan memberi dan mengambil atau berbagi agar kedua belah pihak yang

sedang bermasalah mengorbankan sesuatu untuk membuat keputusan

yang dapat disetujui semua orang. Gaya ini berguna ketika pasangan

(41)

yang sedang berkonflik memiliki keinginan dan kepentingan yang sama- sama dianggap penting bagi masing-masing pihak.

G. Kerangka Konseptual

Perkawinan beda agama adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita, yang menganut agama yang berbeda, dan kemudian menjadi suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan beda agama bukanlah hal baru di Indonesia, tetapi juga bukan hal yang umum. Di Indonesia, perkawinan beda agama masih dipandang secara negatif (Abdul, 2011) dan relatif sulit untuk dilaksanakan dikarenakan banyaknya hambatan-hambatan. Adapun hambatan-hambatan yang dapat terjadi dalam perkawinan beda agama adalah sulitnya mencatatkan perkawinan (Wahyuni, 2010), mendapatkan tekanan dari lingkungan sosial dan keluarga (Yahya & Boag, 2014). Selain itu, pemilihan agama anak juga menjadi salah satu permasalahan yang muncul dalam perkawinan beda agama (Hapsari, 2013; Hanindya, Yuliadi, & Karyanta, 2014;

Pratiwi, 2012; Pratiwi, 2014). Masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan

beda agama tersebut dapat memicu untuk terjadinya konflik (Curtis & Ellison,

2002). Konflik adalah percekcokan yang disebabkan ketidaksepakatan atau

ketidakcocokan yang terjadi pada dua orang atau lebih (Deutsch, 1969). Konflik

yang terjadi pada pasangan perkawinan beda agama dapat menyebabkan

ketidakbahagiaan dalam perkawinan dan meningkatkan kemungkinan untuk

(42)

terjadinya perceraian (Call & Heaton, 1997; Ortega, Whitt, & William, 1988;

Lehrer & Chiswick, 1993).

Walau perbedaan agama dianggap menjadi salah satu faktor terjadinya berbagai konflik dalam perkawinan yang meningkatkan terjadinya perkawinan, tidak sedikit pula pasangan perkawinan beda agama dapat mengatasi hal tersebut dan dapat mempertahankan bahtera rumah tangga mereka (Ramadhana, 2016).

Hughes dan Dickson (2005) dalam penelitiannya menemukan bahwa bahwa pasangan beda agama tidak harus memiliki agama yang sama untuk menjadi puas terhadap perkawinan mereka, tetapi mereka hanya perlu memiliki orientasi agama yang sama. Orientasi agama adalah bagaimana cara pasangan menjalankan kehidupan beragamanya dalam kehidupan sehari-hari (Whuff, 1991, dalam Hughes & Dickson, 2005). Selain itu, Gottman (1994, dalam Curtis & Ellison, 2002) juga menemukan bahwa mengatasi konflik yang muncul merupakan hal yang penting untuk mempertahankan perkawinan.

Maka dari itu, peneliti menjadi tertarik untuk melihat pengaruh orientasi

agama terhadap perkawinan beda agama. Untuk dapat melihat pengaruh tersebut

dalam perkawinan, peneliti membagi perkawinan menjadi 7 aspek berdasarkan

aspek perkawinan yang disusun oleh Fowers dan Olson (1989). Selain itu,

permasalahan yang timbul pada perkawinan beda agama, peneliti juga ingin

melihat bagaimana pasangan menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait

aspek perkawinan tersebut. Peneliti menggunakan model penyelesaian masalah

yang dirancang oleh Blake & Moutin (1964), Hall (1969), Lawrence & Lorsch

(43)

(1967), dan Thomas & Kilmann (1974) yang sudah dikonseptualisasikan (Rahim, 1983).

Gambar 2. Kerangka Konseptual Perkawinan

Beda agama Orientasi

Agama

Penyelesaian

Konflik

1. Intergrating

2. Obliging

3. Dominating

4. Avoiding

5. compromising

Konflik

(44)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif, yaitu jenis penelitian yang eksploratif bertujuan untuk mengungkapkan cara seseorang memahami dunianya (Supratiknya, 2015), di mana peneliti menginterpretasikannya secara subjektif dalam rangka membentuk gambaran yang holistik dari topik yang diteliti (Creswell, 2009, dalam Supratiknya, 2015).

Peneliti memilih desain penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif menganut paradigma realis yang tercermin dari cara peneliti kualitatif deskriptif memperlakukan data dan menganalisisnya (Supratiknya, 2018). Data yang diperoleh dari informan digunakan untuk mengungkapkan pengalaman informan, dengan tujuan menangkap, mengklarifikasikan, dan menyajikan kualitas pengalaman tersebut senyata mungkin. Dalam menganalisis data, peneliti juga memperhatikan data secermat mungkin untuk menangkap makna dan menyajikannya secara sistematis. Peneliti bertugas menjadi sejenis cermin yang merefleksikan secara akurat apa yang berlangsung di dunia subjektif para informan (Wilig, 2012, dalam Supratiknya, 2018).

Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode Analisis Isi

Kualitatif (AIK). AIK adalah metode penelitian unuk menafsirkan secara subjektif

isi data berupa teks melalui proses klasifikasi sistematik berupa koding atau

pengodean dan pengidentifikasian aneka tema atau pola (Hsieh & Shannon, 2005,

(45)

dalam Supratiknya, 2015). Tujuan akhir dari AIK adalah mendapatkan pengetahuan dan pemahaman berupa konsep-konsep atau kategori tentang fenomena yang sedang diteliti (Hsieh & Shannon, 2005; Elo & Kyngas, 2008, dalam Supratiknya, 2015). Peneliti menggunakan pendekatan deduktif terarah karena dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep dan teori yang sudah ada pada konteks baru (Supratriknya, 2015).

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh orientasi agama terhadap pasangan perkawinan beda agama yang mampu mempertahankan perkawinan mereka berdasarkan aspek perkawinan yang peneliti ambil dari aspek kepuasan perkawinan yang dirinci oleh Fowers dan Olson (1989). Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat bagaimana cara pasangan perkawinan beda agama mengatasi konflik-konflik yang muncul dari permasalahan-permasalahan dalam perkawinan dalam perkawinan berdasarkan konsep penyelesaian konflik yang dikemukakan oleh

B. Fokus Penelitian

peneliti menjadi tertarik untuk meneliti mengenai pengaruh orientasi agama terhadap pasangan perkawinan beda agama yang mampu mempertahankan perkawinan mereka. Peneliti juga tertarik untuk meneliti bagaimana cara pasangan perkawinan beda agama mengatasi konflik-konflik yang muncul dari permasalahan-permasalahan dalam perkawinan.

Peneliti berasumsi bahwa orientasi agama pasangan perkawinan beda agama

dapat memengaruhi kehidupan perkawinan pasangan. Orientasi agama adalah

(46)

bagaimana cara seseorang untuk mempraktekkan kepercayaannya dan mengintegrasikannya kedalam kehidupan sehari-hari (Whuff, 1991, dalam Hughes & Dickson, 2005). Orientasi agama terbagi menjadi 2, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Individu dengan orientasi agama intrinsik menginternalisasi ajaran agama kedalam diri dan kehidupan mereka, dan menghidupi ajaran tersebut.

Individu dengan orientasi agama ekstrinsik melihat agama sebagai sarana atau alat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk melihat dengan lebih baik pengaruh orientasi agama terhadap perkawinan, peneliti menggunakan aspek perkawinan yang dirinci oleh Fowers dan Olson (1989), yaitu : 1) komunikasi, melihat bagaimana komunikasi yang terjadi dalam perkawinan; 2) mamajemen keuangan, melihat bagaimana pasangan mengatur uang bersama; 3) aktivitas bersama di waktu luang, melihat pemilihan kegiatan yang dilakukan pasutri di waktu luang;

4) hubungan seksual, melihat perilaku seksual pasutri; 5) anak dan pengasuhan, melihat bagaimana pasutri mengasuh anak; 6) kesetaraan peran, melihat pembagian peran dalam rumah tangga; dan 7) perubahan pada perkawinan, melihat bagaimana pasangan menyesuaikan perubahan dalam perkawinan.

Selain itu, peneliti juga ingin melihat bagaimana cara pasangan

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul dengan menggunakan

model penyelesaian konflik yang dikonseptualisasi oleh Rahim dan Bonoma

(1979), yaitu: 1) integrasi, menekankan kolaborasi antara dua orang atau lebih

untuk mencapai solusi yang dapat diterma semua pihak; 2) obligasi, tidak

membeda-bedakan dan menekankan kesamaan untuk memuaskan orang lain; 3)

dominasi, memaksakan kehendak agar solusi yang dipilih menguntungkan salah

(47)

satu pihak; 4) menghindar, memilih untuk menghindari masalah; dan 5) kompromi, membuat keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak dengan mengorbankan suatu hal.

C. Informan

Partisipan yang dipilih pada penelitian ini adalah pasutri beda agama.

Adapun kriteria yang dipilih oleh peneliti adalah sudah memiliki anak dan umur perkawinan sudah lebih dari 20 tahun. Peneliti memilih umur perkawinan yang sudah lebih dari 20 tahun karena secara emosi dan fisik kedekatan suami-isteri sudah semakin kuat dan banyak masalah yang sudah terselesaikan (Hartono, 2008). Berdasarkan kriteria tersebut, dalam pemilihan informan peneliti menggunakan purposive sampling, yaitu peneliti secara sengaja memilih informan tertentu yang dipandang mampu memberikan data yang paling kaya informasi (Morrow, 2005, dalam Supratiknya, 2018). Dalam pengumpulan informan, peneliti memilih pasangan perkawinan beda agama yang berdomisili di Yogyakarta untuk mempermudah subjek menjangkau tempat informan. Untuk mencari informan, peneliti mengandalkan kenalan dari teman peneliti yang berdomisili di Yogyakarta.

Dalam penelitian ini, informan yang terlibat adalah 1 (satu) pasang suami

istri yang menikah beda agama selama 24 tahun. Adapun agama yang dianut oleh

suami adalah Katolik dan istri beragama Islam. Peneliti kemudian menglabel

suami dengan inisial S dan istri dengan inisial I. Adapun keterangan dari informan

yang terlibat sebagai berikut.

(48)

Tabel 1.

Data Informan

No. Inisial Usia Pendidikan Terakhir Pekerjaan Agama

1 S 50 SMA Wiraswasta Katolik

2 I 49 S1 Perawat Islam

Peneliti sadar bahwa 1 pasang informan tidaklah cukup, namun dalam praktiknya, calon informan yang bersedia untuk diwawancarai hanya 1(satu) pasang saja. Adapun calon-calon informan yang lain merasa keberatan karena merasa bahwa topik yang akan diwawancarai terlalu personal dan adanya kekhawatiran dari para calon informan bahwa akan dapat memunculkan konflik internal dalam hubungan mereka.

D. Peran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen kunci di mana peneliti turun langsung ke lapangan untuk pengambilan data dengan metode wawancara. Peneliti juga membekali dirinya dengan instrumen pengumpulan data berupa pedoman wawancara dan observasi (Supratiknya, 2015).

Peneliti tidak memiliki kaitan apapun dengan lokasi penelitian karena peneliti berasal dari kota Pontianak. Peneliti juga tidak memiliki hubungan apapun dengan informan. Peneliti memilih mengambil data di DIY dikarenakan penelitian ini kebetulan dilakukan di Yogyakarta.

Untuk mendapatkan partisipan, peneliti bertanya kepada teman peneliti yang

berdomisili di Yogyakarta apakah memiliki teman, kenalan, atau keluarga yang

(49)

melakukan perkawinan beda agama. Ketika peneliti mendapatkan informasi tersebut, peneliti akan melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk mengetahui kesediaan informan dalam penelitian ini. Setelah mendapatkan kesediaan dari informan, peneliti akan menjelaskan gambaran tentang penelitian ini dan memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani sebagai bentuk persetujuan informan dalam penelitian ini. Peneliti juga berjanji akan menjaga kerahasiaan identitas informan.

Permasalahan yang mungkin muncul dalam proses pengambilan data adalah munculnya perasaan sedih, tidak nyaman, enggan, atau perasaan-perasaan lainnya yang dapat membuat informan tidak nyaman ketika mengingat pengalaman- pengalaman yang terjadi pada perkawinan informan. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti menelaah pertanyaan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, dalam proses wawancara, peneliti

E. Metode Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, metode pengambilan data yang digunakan adalah

wawancara semi terstruktur. Wawancara adalah percakapan panjang berhadapan

muka antara peneliti dan informan dengan tujuan mengumpulkan atau

memperoleh “informasi mendalam” tentang topik tertentu melalui informasi

mendalam berupa “dunia kehidupan” (life-world) dari informan penelitian peneliti

bisa menginterpretasikan sebuah fenomen yang menjadi topik penelitian bertilak

dari berbagai makna yang diberikan atau diungkapkan oleh partisipan terhadap

fenomen tersebut (Alshenqeeti, 2004, dalam Supratiknya, 2018). Dalam penelitian

(50)

ini, peneliti memilih wawancara semi terstruktur agar informan dapat mengungkapkan apa yang dirasakan terkait isu perkawinannya secara bebas, namun tetap pada batasan-batasan yang telah disusun oleh peneliti.

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti menyiapkan pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan untuk ditanyakan kepada informan berdasarkan rumusan masalah serta teori yang digunakan oleh peneliti. Berikut adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini :

a. Pembukaan : 1. Rapport

i. Peneliti memperkenalkan diri.

ii. Peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada informan atas kesediaan dirinya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

iii. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

iv. Peneliti membacakan informed consent yang berisi proses pengambilan data, efek yang mungkin muncul, dan hak-hak yang diperoleh oleh informan selama proses wawancara.

v. Peneliti menanyakan kembali kesediaan informan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dan jika informan bersedia maka peneliti akan meminta informan untuk menandatangani informed consent.

vi. Peneliti memulai proses wawancara b. Wawancara :

1. Pertanyaan Pendahuluan :

i. Bisakah Bapak/Ibu menceritakan awal mula ketika Bapak/Ibu bertemu?

(51)

ii. Bagaimana proses ketika Bapak/Ibu akan melakukan perkawinan?

iii. Bagaimana Bapak/Ibu menjalani kehidupan perkawinan Bapak/Ibu saat ini?

2. Pertanyaan inti :

Bagaimana agama memengaruhi kehidupan perkawinan Bapak/Ibu?

3. Probes

Terkait dengan orientasi agama i. Apa makna agama bagi Bapak/Ibu?

ii. Bagaimana Bapak/Ibu memandang kehidupan beragama Anda?

iii. Apakah agama memengaruhi kehidupan bekerluarga Bapak/Ibu?

Terkait dengan komunikasi

i. Dalam berkomunikasi, apakah Bapak/Ibu merasa nyaman dengan bagaimana cara pasangan menyampaikan pendapat atau berdiskusi?

ii. Apakah Bapak/Ibu pernah mengalami hambatan dalam berkomunikasi selama perkawinan berlangsung?

iii. Terkait soal agama, apakah perbedaan agama menjadi penghambat dalam berkomunikasi?

iv. Bagaimana Bapak/Ibu menghadapi permasalahan yang muncul dalam berkomunikasi?

Terkait dengan manajemen keuangan

i. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatur keuangan keluarga?

(52)

ii. Apakah pendapatan yang Bapak/Ibu hasilkan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau lebih dari cukup? jika lebih dari cukup, bagaimana Bapak/Ibu mengatur uang yang lebih tersebut?

iii. Dalam menjalani perkawinan, apakah Bapak/Ibu pernah mengalami permasalahan terkait keuangan?

iv. Bagaimana cara Bapak/Ibu menghadapi permasalahan keuangan tersebut?

Terkait dengan kegiatan di waktu luang

i. Apakah Bapak/Ibu lebih sering menghabiskan waktu luang bersama atau sendirian?

ii. Apa saja kegiatan yang Bapak/Ibu lakukan untuk menghabiskan waktu luang sendirian?

iii. Ketika ada waktu luang bersama, apa yang Bapak/Ibu akan lakukan?

iv. Apakah Suami/Istri Bapak/Ibu pernah merasa tidak nyaman atau puas dengan pilihan kegiatan yang dipilih oleh Bapak/Ibu?

v. Bagaimana cara Bapak/Ibu mengatasi ketidaknyamanan atau ketidakpuasan tersebut?

Terkait dengan hubungan seksual

i. Terkait hubungan seksual, bagaimana Bapak/Ibu memandang hubungan seksual Bapak/Ibu?

ii. Apakah Bapak/Ibu merasa nyaman?

iii. Bagaimana Bapak/Ibu mengatur tingkat kelahiran?

(53)

iv. Apakah Bapak/Ibu memiliki permasalahan dalam berhubungan seksual?

Terkait dengan anak dan pengasuhan

i. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu dalam pengasuhan anak selama ini?

ii. Apa suka duka dalam mengasuh anak?

iii. Terkait dengan pendidikan agama anak, anak diajarkan agama apa?

iv. Apakah ada masalah dalam mengasuh atau mendidik anak?

v. Bagaimana cara Bapak/Ibu menghadapi masalah tersebut?

Terkait dengan kesetaraan peran

i. Bagaimana Bapak/Ibu membagi peran dalam rumah tangga (seperti pengasuhan, pembagian peran dalam rumah tangga, dan pekerjaan)?

ii. Dalam pembagian peran tersebut menurut Bapak/Ibu sudah cukup adil?

iii. Apakah terdapat permasalahan dalam pembagian peran tersebut?

iv. Bagaimana Bapak/Ibu mengatasi permasalahan dalam pembagian peran tersebut?

Terkait dengan perubahan pada perkawinan

i. Setelah menikah, apakah terdapat perubahan dalam kehidupan Bapak/Ibu?

ii. Apa saja suka duka yang Bapak/Ibu alami selama perkawinan?

iii. Apa saja perbedaan yang Bapak/Ibu rasakan dalam kehidupan Bapak/Ibu?

iv. Apakah perubahan tersebut berdampak positif atau negatif terhadap

kehidupan perkawinan Bapak/Ibu?

Gambar

Gambar 1. Gaya Penyelesaian Konflik ................................................................
Gambar 2. Kerangka Konseptual Perkawinan Beda agama Orientasi Agama  Penyelesaian Konflik 1

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa penelitian diatas di perguruan tinggi Agama Hindu belum ada pembahasan mengenai Pemanfaatan Teknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK) Dalam Meningkatan Mutu

jarangnya melalui kombinasi diagram Th/U dan (Th/Yb- Ta/Yb) serta Zr/Y menunjukkan karakter sumber magmatisme dan afinitas magma Granitoid Pulau Bangka dipengaruhi dari

Dalam swat keputusan tersebut dikatakan bahwa restrukturisasi kredit adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitur dapat memenuhi

sepintas dari ungkapan di atas Gus Ulil mengkategorikan Kiai Afif sebagai maqoshidiyyun, artinya beliau adalah salah satu dari ulama yang menilai sesuatu secara substansialis

Tiga belas spesies kapang rhizosfer yang diisolasi dari lahan pertanian organic tanaman tomat mempunyai kemampuan antagonis terhadap F..

Dalam skripsi ini, penyusun menyajikan pembahasan masalah yang meliputi hal- hal sebagai berikut: analisis komparasi tentang bentuk dan mekanisme akad serta sistem pengambilan

1) Penelitian yang dilakukan oleh Amerika Serikat melalui badan antariksannya yaitu National Aeronautics and Space Administration (NASA) terhadap Planet Mars, sejauh

1) Pemahaman, merupakan kemampuan memahami pesan secara cermat sebagaimana yang disampaikan oleh komunikator. Dalam hal ini komunikasi orang tua dikatakan efektif