• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PERLAKUAN ANTARA WARGA BINAAN HUKUMAN BERAT DAN HUKUMAN RINGAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNGBALAI ASAHAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEBIJAKAN PERLAKUAN ANTARA WARGA BINAAN HUKUMAN BERAT DAN HUKUMAN RINGAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNGBALAI ASAHAN SKRIPSI"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PERLAKUAN ANTARA WARGA BINAAN HUKUMAN BERAT DAN HUKUMAN RINGAN DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNGBALAI ASAHAN

SKRIPSI

Disusun Dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

YUSRIL AZHARUDDIN NIM: 160200329

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingaa penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Sholawat dan Salam juga senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia menuju jalan keselamatan dan keberkahan. Skripsi yang diberi judul “Kebijakan Perlakuan Antara Warga Binaan Hukuman Berat Dan Hukuman Ringan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan” disusun untuk memenuhi tugas dan memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Ir. Nazaruddin Sitorus, MM, dan Ibunda Yusnidar Panjaitan, S.Pd, yang telah mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, dukungan, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan studi dengan baik.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis juga mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Dr. Affila. S.H., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik.

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum selaku Pelaksana Ketua Departemen Hukum Pidana.

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I.

9. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II.

10. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Staf Pegawai dan Tata Usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Bapak Pujo Harinto selaku Kepala Divisi Pemasyarakatan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Wilayah Sumatera Utara.

13. Bapak Jayanta, A.Md.IP., S.H., M.Hum selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

14. Abangda Husnul Rizky Sitorus, S.T dan Adinda Vida Utami selaku saudara kandung penulis.

15. Kakanda Mila Suvia Refryani, S.H, selaku teman seperjuangan dalam penulisan skripsi.

16. Seluruh teman-teman penulis.

(6)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini ibarat sebutir pasir di pantai ilmu yang luas, jauh dari kata sempurna karena hanya Sang Pencinpta yang mempunyai kesempurnaan itu. Penulis berusaha memberi kontribusi pemikiran sederhana sebagai upaya latihan dan belajar guna menjadi ilmuwan yang lebih baik nantinya.

Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Juni 2021 Penulis

Yusril Azharuddin 160200329

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitiaan ... 10

E. Keaslian Penulisan ... 11

F. Tinjauan Kepustakaan ... 12

1. Pengertian Pidana ... 12

2. Pengertian Tindak Pidana ... 13

3. Teori Pemidanaan ... 15

4. Pengertian Narapidana ... 19

5. Pengertian Pembinaan ... 20

6. Pengertian Pemasyarakatan ... 20

7. Pengertian Sistem Pemasyarakatan ... 20

8. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 21

G. Metode Penelitian ... 22

H. Sistematika Penulisan ... 25

(8)

BAB II KETENTUAN MENGENAI PERLAKUAN KEPADA WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 27

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ... 27 B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan ... 31 C. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan

Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ... 33 D. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-

Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan ... 40 E. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018

tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat ... 48 BAB III PROSES PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

TANJUNGBALAI ASAHAN ... 52 A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Tanjungbalai Asahan ... 52 1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Tanjungbalai Asahan ... 53 2. Keadaan Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Tanjungbalai Asahan ... 59 3. Sarana dan Prasarana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Tanjungbalai Asahan ... 64 B. Proses Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

Tanjungbalai Asahan ... 65

(9)

BAB IV KEBIJAKAN PERLAKUAN ANTARA WARGA BINAAN HUKUMAN BERAT DAN HUKUMAN RINGAN DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

TANJUNGBALAI ASAHAN ... 76

A. Pelaksanaan Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan ... 76

B. Hak dan Kewajiban Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan ... 93

C. Pemberian Kebijakan Perlakuan Antara Warga Binaan Hukuman Berat dan Hukuman Ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan ... 97

BAB V PENUTUP ... 120

A. Kesimpulan ... 120

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 123 LAMPIRAN

(10)

ABSTRAK Yusril Azharuddin )

Liza Erwina **) Marlina ***)

Terjadinya penyelewangan kekuasaan yang dilakukan petugas lapas kepada narapidana, dimana terdapat penyiksaan di dalam lapas yang dilakukan petugas kepada narapidana. Adapun judul yang akan dibahas ialah Kebijakan Perlakuan Antara Warga Binaan Hukuman Berat dan Hukuman Ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Untuk mewujudkan pembinaan yang sesuai dengan perikemanusiaan, maka digunakan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pembinaan di dalam lembaga pemasyrakatan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai undang-undang pokok. Aturan ini menjadikan proses pembinaan dapat dilakukan dengan baik kepada narapidana, sehingga dapat dibedakan perlakuan kepada narapidana yang mendapat hukuman berat dengan narapidana yang mendapat hukuman ringan untuk menjaga suasana di dalam lembaga pemasyarakatan tetap kondusif, tidak terjadi kekacauan yang dapat merugikan narapidana maupun pihak lainnya.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum mengenai perlakuan kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan, bagaimana proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan dan bagaimana kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian empiris, data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari studi lapangan yang dilakukan dengan wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa ketentuan hukum mengenai perlakuan, proses pembinaan dan kebijakan perlakuan terhadap warga binaan di Lembaga Pemsayarakatan Klas II B Tanjungbalai telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses Pembianaan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertujuan untuk memberikan pembinaan kepada narapidana agar setelah menjalani pembinaan dan keluar dari Lapas, narapidana bisa kembali menjadi pribadi yang baik dan dapat diterima masyarakat. Lembaga pemasyarakatan yang seharusnya hanya menampung narapidana, namun pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan juga menampung tahanan yang mengakibatkan terjadinya kelebihan daya tampung. Sehubungan dengan itu, saran yang saya berikan adalah agar pemerintah membuat rumah tahanan, sehingga pembinaan terhadap narapidana dan tahanan dapat dibedakan dengan cara yang efektif.

Kata Kunci : Kebijakan Perlakuan, Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejalan dengan perkembangan zaman, hukum berkembang mengikuti setiap kebutuhan manusia. Hukum terus mengalami perubahan dalam rangka perbaikan- perbaikan di segala bidang kehidupan manusia demi terwujudnya tujuan nasional, tidak terkecuali di dalam sistem kepenjaraan di Indonesia. Sistem kepenjaraan telah mengalami perubahan karena telah dianggap tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.1 Pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan di dalam suatu pergaulan hidup masyarakat, baik di lingkungan yang kecil maupun lingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu keserasian, suatu ketertiban, serta suatu kepastian hukum.2

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan dan kebutuhan manusia, agar kepentingan tersebut dapat dilindungi maka hukum harus dilaksanakan.

Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga karena adanya pelanggaran hukum maka hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan.

Dalam penegakan hukum ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan.

Pidana penjara merupakan jalan terakhir dalam sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya mengacu kepada hak asasi manusia

1 Soerjono Soekanto, 2011, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm.

1.

2 P.A.F. Lamintang, 2016, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 16.

(12)

mengingat narapidana memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk merdeka yang keberadaannya harus dijunjung tinggi.3

Jenis pidana penjara tergolong ke dalam pidana pokok di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.4 Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana penjara adalah bentuk pidana yang dikenal juga dengan sebutan pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan atau juga dengan pidana kemasyarakatan. Pada umumnya pidana penjara dijalani di dalam suatu ruangan tertentu.5

Inti pidana penjara di Indonesia yang sebelumnya mengutamakan faktor pembalasan yang setimpal dengan mempertahankan sifat pidana penjara itu sendiri, mulai beralih untuk mengutamakan faktor pembinaan narapidana (re- educatie dan re-socialisatie) pada tahun 1963. Sejak tahun 1964, sistem

pemasyarakatan dijadikan sebagai sistem perlakuan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia. Hal ini membawa perubahan yang cukup jauh dalam hubungannya dengan pidana penjara, apalagi jika dilihat dari dasarnya yang masih digunakan yakni Pasal 10 KUHP dan Reglemen Penjara 1917, yang masih berlaku. Dengan ditetapkannya sistem pemasyarakatan sebagai sistem pembinaan terpidana, keadaan itu membawa Indonesia kepada paham “rehabilition” yang berarti narapidana seyogyanya tidak dipidana melainkan diperbaiki (resosialisasi)

3 Jan Remmelink, 2003, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Pustaka Urama, Jakarta, hlm. 61.

4 Duwi Handoko, 2018, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Hawa dan Ahwa, Pekanbaru, hlm. 3.

(13)

3

semata-mata. Hal ini membawa konsekuensi hilangnya pidana penjara sebagai salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.

R. Soegondo menggambarkan bahwa sistem inilah yang menentukan arah serta batas-batas proses pemasyarakatan. Sarana yang diperlukan untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut adalah Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) inilah yang memberi jiwa, bentuk serta kegiatan-kegiatan baru dari apa yang awalnya disebut penjara. Penjara tidak ada lagi di Indonesia. Konsepsi tempat berpijak dan kegiatan-kegiatan kepenjaraan sudah diubah dan diganti, dimana rumah penjara sekarang dinamakan dengan Lembaga Pemasyarakatan. Jika dalam penjara seorang pelanggar hukum yang terpidana itu diberi hukuman dan diperlakukan dengan tindakan keras sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah diperbuatnya, maka dalam Lembaga Pemasyarakatan seorang terpidana atau narapidana itu akan diberikan pembinaan, tuntunan dan bimbingan.

Narapidana dibina secara teratur dan berencana dengan tujuan agar mereka dapat kembali memasuki kehidupan masyarakat di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Mereka dibina untuk mejadi anggota-anggota masyarakat yang tidak akan melanggar hukum lagi, dibimbing agar berguna aktif dan produktif dalam kehidupan masyarakat, dan dituntut agar menjadi manusia yang seutuhnya, yang sanggup hidup berbahagia di dunia dan akhirat. Penjara itu dapat diumpamakan sebagai ‘sangkar’ dan Lembaga Pemasyarakatan itu sebagai

‘sanggar’.Suatu ‘sangkar’ dikuasai oleh ciri-ciri retributif, opresif dan punitif, sedangkan ‘sanggar’ diisi dengan ciri-ciri rehabilitatif, korektif dan edukatif.

Dengan demikian, kita akan melihat bahwa telah terjadi suatu pergeseran klimaks

(14)

dalam sistem peradilan Indonesia. Dengan diterapkan sistem pemasyarakatan, maka klimaks sistem peradilan di Indonesia kini terlihat pada reintegrasi sehat dari bekas narapidana dengan masyarakat.6

Istilah penjara sebagai tempat untuk menjalankan pidana penjara diganti dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan sejak tahun 1964, walaupun dalam pelaksanaannya tetap memakai dasar dari peraturan kepenjaraan yang lama.

Menurut P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam suatu lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.7

Falsafah pemasyarakatan dicetuskan oleh Sahardjo pada tahun 1963 diantaranya menyatakan bahwa tujuan pidana adalah di samping menimbulkan rasa derita pada narapidanan karena kehilangan kemerdekaan bergerak, yaitu untuk membimbing narapidana agar bertaubat, mendidik agar menjadi anggota masyarakat yang baik. Menurut Sahardjo, menjelaskan bahwa terdapat beberapa pokok dasar dalam memperlakukan narapidana menurut kepribadian Indonesia antara lain :

a. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia walaupun telah tersesat, tidak boleh ditunjukkan pada narapidana bahwa ia itu jahat, sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.

6 Bachtiar Agus Salim, 2009, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana Di Indonesia, USU Press, Medan, hlm. 89-91.

7 Margo Hadi Pura dan Raden Yulia Kartika, Juni 2019 “Perlindungan Hukum Terhadap Narapidana Yang Menjadi Korban Over Population Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan”, Jurnal Hukum Media Bhakti, Volume 3, Nomor 1, hlm.

(15)

5

b. Tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak ada orang yang hidup di luar masyarakat, narapidana harus kembali ke masyarakat sebagai warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang.

c. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan bergerak, sehingga perlu diusahakan supaya narapidana mempunyai suatu pencarian dan mendapatkan upah untuk pekerjaannya.8

Dalam Konferensi Lembaga dirumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap para narapidana dan anak didik. Seluruhnya terdapat sepuluh prinsip sebagai berikut :

1. Ayom dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Ini berarti bahwa tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana dan anak didik, baik yang berupa tindakan, perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita yang dialami oleh narapidana dan anak didik hendaknya hanyalah dihilangkannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas.

3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat. Berikan pada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatannya.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan, dan sebagainya.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

Antara lain, kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam bentuk kunjungan hiburan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan dari anggota- anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi keperluan jabatan atau kepentingan negara pada waktu tertentu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan terdapat di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan, seperti menunjang usaha meningkatkan produksi pangan.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik harus berdasarkan Pancasila. Antara lain ini berarti bahwa kepada mereka harus ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi jiwa kekeluargaan, di samping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual.

8 Marsudi Utoyo, Januari 2015, “Konsep Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatn Analysis of Prisoners Guidance to Reduce Level”, Pranata Hukum, Volume 10, Nomor 1, hlm. 43.

(16)

8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah manusia, dan harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya sebagai manusia harus dihormati.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.

10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam Sistem Pemasyarakatan.

Kesepuluh prinsip yang tertera di atas sudah cukup untuk menunjukkan penjuru-penjuru mana yang harus kita tuju dengan sistem pemasyarakatan, sesuai dengan tuntutan dari sepuluh prinsip pemasyarakatan itu, maka perlakuan terhadap narapidana dan anak didik harus berpijak pada pembinaan. Program- program pembinaan yang teratur, disusun secara matang dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta kelayakan akan menjamin integritas dalam Sistem Pemasyarakatan.9

Berdasarkan prinsip tertera di atas, penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai salah satu prinsip, khususnya mengenai penggabungan antara narapidana yang melakukan tindak pidana berat dan ringan. Sehingga penulis melakukan penelitian di salah satu Lembaga Pemasyarakatan di Sumatera Utara, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan merupakan salah satu gedung bersejarah yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda, didirikan pada tahun 1906 dan berfungsi pertama kali sebagai rumah sakit.

Bersamaan dengan pembangunan rumah sakit oleh Tengku Mansyur, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 juga membangun rumah penjara yang berdampingan langsung dengan rumah sakit yang dibangun oleh Tengku Mansyur. Pada tahun 1927, rumah sakit yang dibangun oleh Tengku Mansyur dipindahkan ke lokasi Rumah Sakit Umum Tanjungbalai di Selat Lancang.

Sementara itu, bekas rumah sakit tersebut kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda dijadikan sebagai rumah penjara bersamaan dengan rumah penjara yang telah dibangun pemerintah Hindia Belanda.

(17)

7

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan tempat pembinaan narapidana yang bernaung di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, yang berada pada tingkat kabupaten/kota, yakni di Kota Tanjungbalai. Lapas ini memiliki kapasitas sebesar 707 orang yang terdiri dari narapidana dan tahanan, tetapi berdasarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada saat ini dihuni oleh sebanyak 1130 orang.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan sebuah unsur pelaksana Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemasyarakatan. Lembaga ini dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan memiliki tindak pidana berbagai macam, tindak pidana yang dilakukan paling banyak yaitu pencurian, narkotika, penganiayaan dan pembunuhan. Kemudian pada Lapas ini terdapat perlakuan yang berbeda kepada narapidana yang melakukan tindak pidana berat dan tindak pidana ringan. Semakin berat tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana tersebut, maka semakin berat perlakuan yang diberikan kepadanya, seperti menjalani hukuman yang lebih lama atau diberikan pekerjaan tambahan yang dapat mendidik narapidana tersebut menjadi manusia yang terbebas dari kejahatan. Semua kebijakan yang dilakukan di dalam Lapas tidak boleh disamakan seluruhnya, karena harus mempertimbangkan dari jenis tindak pidana yang dilakukan, serta lama hukuman yang diberikan kepada narapidana.

(18)

Adapun cara yang dilakukan untuk mendidik terpidana agar dapat kembali pada kehidupan masyarakat adalah :

a. Selama ia kehilangan kemerdekaan bergeraknya ia harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya.

b. Pekerjaan dan didikan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan kepenjaraan atau kepentingan negara sewaktu saja, pekerjaan harus satu dengan masyarakat dan ditujukan kepada pembangunan nasional.

c. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.10

Cara ini memungkinkan narapidana mempunyai peluang besar untuk kembali pada kehidupan awalnya yang tidak melakukan tindak pidana dan dapat diterima di lingkungan masyarakat. Narapidana akan memperoleh kehidupan baru yang bersih dari perbuatan pidana yang telah dijalaninya di Lembaga Pemasyarakatan yang memberikan penderitaan kepada narapidana sehingga dapat mengetahui bahwa yang dilakukannya salah sebagai suatu tindak pidana.

Cara di atas berfungsi dengan baik pada lembaga ini, karena diterapkan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan untuk mendidik narapidana agar dapat kembali pada kehidupan masyarakat. Para narapidana secara bergantian melakukan semua cara ini di dalam maupun di lingkungan sekitar Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Narapidana tidak ada yang diasingkan di tempat khusus, melainkan selalu melakukan interaksi kepada warga binaan lainnya maupun masyarakat yang berada di lingkungan Lapas tersebut. Narapidana diperlakukan dengan sebaik-baiknya, memberikan pekerjaan yang dapat merangsang narapidana untuk berbuat baik dan peduli terhadap sekitarnya, berinteraksi baik dengan masyarakat sekitar dalam hal kebersihan maupun keamanan dilakukan secara gotong royong. Semua didikan

10 Muhammad Mustafa, 1981, Bantuan Hukum Untuk Terpidana Penjara (Warga Tersisih),

(19)

9

yang diberikan kepada narapidana tidak lepas dari ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Melihat prinsip-prinsip pokok dan cara untuk mendidik narapidana tertera diatas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kebijakan perlakuan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Sehingga penulis dapat menyusun karya ilmiah yang berbentuk skripsi ini dengan judul “KEBIJAKAN PERLAKUAN ANTARA WARGA BINAAN HUKUMAN BERAT DAN HUKUMAN RINGAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNGBALAI ASAHAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan di atas maka perumusan masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum pembinaan bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan?

2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan?

3. Bagaimana kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan?

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana diuraikan di atas, tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :

1. Untuk mengetahui ketentuan hukum mengenai perlakuan kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

3. Untuk mengetahui kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

D. Manfaat Penulisan

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan skripsi ini dapat menambah ilmu pengetahuan Hukum Pidana khususnya mengenai kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum, praktisi hukum dan lembaga pemasyarakatan mengenai kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan.

(21)

11

b. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang terkait khususnya Direktorat Jendral Pemasyarakatan tentang kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

E. Keaslian Penulisan

Sebelum melakukan penulisan skripsi, telah dilakukan penelusuran terlebih dahulu terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Melalui surat tertanggal 12 Desember 2019, Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU telah memeriksa dan menyatakan bahwa tidak judul yang sama pada arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum. Surat keterangan tersebut merupakan bukti yang sah, yang berarti tidak ada judul skripsi yang sama dengan judul skripsi penulis.

Namun, terdapat penelitian yang membahas mengenai proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, yaitu :

Kristina Sitanggang, FH USU (2010), dengan judul penelititan Pembinaan Terhadap Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa.

2. Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa.

3. Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dalam mengatasi hambatan pembinaan narapidana.

(22)

Rahmadan Syarifuddin, FH UMA (2019) dengan judul penelitian Peran Lapas dalam Perkembangan Narapidana Narkotika (Studi di Lapas Klas II B Tanjungbalai). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Peran Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai dalam membina narapidana narkotika.

2. Hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai dalam pembinaan narapidana narkotika.

Pembahasan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah murni hasil ide, gagasan dan pemikiran, yang didasarkan pada pengertian-pengertian dan aturan- aturan hukum yang diperoleh melalui berbagai referensi baik dari media cetak maupun media elektronik serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, keaslian penulisan skripsi ini dapat terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.11 Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf’” dan istilah “dihukum” yang berasal dari

11 Mohammad Ekaputra, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan,

(23)

13

“wordt gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, kalau “straf”

diartikan “hukuman”, maka “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai

“hukum hukuman”.12

Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu : (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; dan (4) pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.13

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbar feit, yaitu sebagai berikut :14

12 Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 185.

13 Ibid, hlm. 186.

14 Adami Chazawi, 2010, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 67.

(24)

a. Tindak pidana b. Peristiwa pidana c. Delik

d. Pelanggaran pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum f. Perbuatan yang dapat dihukum g. Perbuatan pidana

Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan ”strafbaar feit” tidak dijelaskan. Jadi, tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana.

Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.15

Menurut Moeljatno, istilah perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

Selanjutnya dapat juga dikatakan, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal diingat bahwa larangannya itu ditujukan kepada perbuatan manusia (yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya itu ditujukan pada orangnya. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada

15 Barda Nawawi Arief dalam Mohammad Ekaputra, 2015, Dasar-Dasar Hukum Pidana

(25)

15

orangnya) ada hubungan yang erat, oleh karena itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula.

Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, menurut Sudarto, dipakai istilah perbuatan pidana, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.16

3. Teori Pemidanaan17 a. Teori Retributif

Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang- orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Teori ini ada dua corak, yaitu corak subjektif (subjectif vergelding), yaitu pembalasan langsung ditujukan kepada kesalahan si pembuat; dan kedua adalah corak objektif, yaitu pembalasan ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Teori ini dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan

“morally justified” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.

Nigel Walker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang

16 Mohammad Ekaputra, Op.Cit., hlm. 84.

17 Marlina, Op.Cit, hlm. 41-76.

(26)

dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

a) Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku.

b) Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

Penjatuhan pidana kepada pelaku keajahatan dalam teori retributif ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut :

a) Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative.

b) Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya.

Tipe aliran retributif ini disebut fairness.

(27)

17

c) Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan, disebut proportionality.

b. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan.Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, menurut J. Andenles, dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan (teori tujuan juga dinamakan “de relatieve iheorien”.

1) Pencegahan Umum (General Preventie)

Menurut paham ini tujuan pokok pidana yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Teori ini mengandung sifat menjerakan/menakutkan dengan pelaksanaannya di depan umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan keajahatan lagi, perlu diadakan pelaksanaan pidana yang menjerakan dengan dilaksanakan di depan umum.

2) Pencegahan khusus (Specaile Preventie)

Aliran ini mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah si penjahat mengulangi kejahatan. Tujuan pidana menurut aliran ini ialah : Pertama, untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi manusia yang baik dengan

(28)

reclasering. Kedua, menjatuhkan pidana harus disertai pendidikan

selama menjalani pidana, dan selain itu diberikan pendidikan keahlian seperti menjahit, pertukangan dan lain-lain sebagai bekal kemudian setelah selesai menjalani pidana. Ketiga, menyingkirkan penjahat.

3) Teori Treatment (Teori Pembinaan/Perawatan)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran

positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya.Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).

4) Teori Social Defence (Teori Perlindungan Masyarakat)

Tujuan utama dari hukum perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

c. Konsep Diversi dan Restorative Justice

Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana yang dilakukan oleh anak dari mekanisme formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan suatu bentuk penyelesaian

(29)

19

bahwa proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Dalam hal ini mekanisme peradilan akan memberikan stigma terhadap pelaku atas tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik untuk menghindarkan pelaku dari sistem peradilan pidana konvensional ke mekanisme penyelesaian di luar sistem peradilan pidana.

Konsep restorative justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesaian kasus pidana yang dilakukan oleh anak di luar mekanisme peradilan konvensional yang dilaksanakan oleh masyarakat yang disebut victim offender mediation. Konsep ini pada awalnya dilakukan sebagai

tindakan alternatif dalam memberikan hukuman yang terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Pelaku dan korban dipertemukan terlebih dahulu dalam suatu perundingan untuk menyusun suatu usulan hukuman bagi hakim untuk memutus perkara ini.

d. Pembenaran Pidana

Menurut Herbert L. Packer, dalam pemidanaan terlihat dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda antara satu sama lain. Pertama adalah pandangan retributif (retributive review) yang mengandalkan pidana sebagai ganjaran negatif terhadap setiap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat, yang kedua adalah pandangan utilitarian (utilitarian review) yang lebih melihat pidana itu dari segi manfaat atau kegunaannya.

(30)

4. Pengertian Narapidana

Menurut Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Narapidana adalah :

“Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan.”

5. Pengertian Pembinaan

Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Pembinaan adalah :

“Kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.”

6. Pengertian Pemasyarakatan

Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Pemasyarakatan adalah :

“Kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.

7. Pengertian Sistem Pemasyarakatan

Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Sistem Pemasyarakatan adalah :

“Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan

(31)

21

kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.”

Sistem pemasyarakatan yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 tersebut dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana didasarkan pada beberapa hal, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, bahwa :

“Sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas : a. Pengayoman

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan c. Pendidikan

d. Pembimbingan

e. Penghormatan harkat dan martabat manusia

f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.”

8. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan (Lapas) merupakan institusi yang menempatkan orang yang terbukti bersalah melanggar hukum untuk ditahan dalam jangka waktu tertentu setelah menjalani persidangan dan telah divonis oleh hakim. Orang-orang yang ditahan itu disebut dengan narapidana. Jumlah narapidana yang besar, tidak seimbang dengan daya tampung lapas menjadi permasalahan bagi pengelolaan Lapas tersebut.

Kehidupan seorang narapidana berbeda dengan kehidupan seseorang yang berada dalam lingkungan masyarakat. Ketika seseorang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, maka hak-haknya akan dibatasi oleh peraturan dan norma yang berlaku di dalam lapas tersebut. Hal ini karena kebebasan yang

(32)

dimilikinya hilang saat hakim menjatuhkan vonis dan menghilangkan kemerdekaan orang tersebut.18

Berdasarkan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat untuk melaksanakam pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Istilah Lapas lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan istilah penjara.Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit pelaksanaan teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah seseorang yang berstatus hukum narapidana (napi) atau seseorang yang belum dijatuhi vonis oleh hakim yang lebih dikenal warga binaan pemasyarakatan.

G. Metode Penelitian

Berkenaan dengan ruang lingkup skripsi ini, metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian hukum yaitu suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya dan kecuali itu maka juga diadakannya pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.19

18 A. Alfian, 2015, Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Fiat Justisia, hlm. 12.

19 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,

(33)

23

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis penelitian empiris atau lapangan.Jenis penelitian ini menunjukkan peneliti untuk mendapatkan data primer dan mengidentifikasi hukum sebagai perilaku yang mempola. Pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan dan melihat secara langsung bentuk penerapannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

3. Sumber Data a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data yang dimaksud adalah data yang diperoleh dari wawancara dengan staf, pejabat struktural serta narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

b. Data Sekunder

Data sekunder terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, bahan hukum yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah atau negara yaitu peraturan perundang- undangan.

(34)

2) Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang berasal dari bahan- bahan yang isinya memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis, seperti buku-buku, artikel, jurnal, laporan penelitian dan karya tulis ilmiah lainnya.

3) Bahan hukum tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti catatan kuliah, kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui :

a. Daftar pertanyaan, pengumpulan data dengan cara dilakukan dalam bentuk daftar pertanyaan kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

b. Wawancara, merupakan cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung yang telah disiapkan kepada narapidana, staf dan pejabat struktural Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

c. Studi dokumentasi, cara memperoleh data dengan semua informasi yang sudah ada, berkaitan dengan permasalahan penelitian dari sumber-sumber terkait.

5. Analisis Data

Data-data yang telah terkumpul baik data primer dan sekunder selanjutnya diolah dan dianalisa secara normatif, logis dan sistematis dengan menggunakan

(35)

25

data kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman dari objek yang diteliti sesuai dengan perumusan masalah yaitu kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

Pengelolaan data secara kualitatif dan memaparkan secara deskriptif akhirnya diperoleh suatu kesimpulan bahwa penelitian akan memperoleh hasil yang benar dan akurat untuk menjawab permasalahan. Dengan pemaparan secara deskriptif, maka penelitian ini mampu menjelaskan mengenai kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab dan tiap bab dibagi atas beberapa sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :

BAB I : Bab ini terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka (terdiri dari 8 sub bab yaitu pengertian pidana, pengertian tindak pidana, teori pemidanaan, pengertian narapidana, pengertian pembinaan, pengertian pemasyarakatan, pengertian sistem pemasyarakatan, pengertian lembaga pemasyarakatan), metode penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Bab ini membahas mengenai ketentuan mengenai perlakuan kepada warga binaan di lembaga pemasyarakatan berdasarkan perundang-

(36)

undangan yang berlaku seperti undang-undang dan peraturan pemerintahan.

BAB III : Bab ini membahas mengenai proses pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Dalam bab ini diuraikan dalam 2 (dua) sub bab yaitu mengenai gambaran umum dan aktivitas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

BAB IV : Bab ini membahas mengenai bentuk-bentuk kebijakan perlakuan antara warga binaan hukuman berat dan hukuman ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan. Dalam bab ini diuraikan dalam 3 (tiga) sub bab yang membahas mengenai Pelaksanaan Pembinaan Pemasyarakatan Klas II B di Tanjungbalai Asahan, Hak dan Kewajiban Warga Binaan di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan, Pemberian Kebijakan Perlakuan Antara Warga Binaan Hukuman Berat dan Hukuman Ringan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjungbalai Asahan.

BAB V : Bab ini terdiri atas 2 (dua) sub bab yaitu kesimpulan dan saran. Sub bab kesimpulan berisi mengenai kesimpulan terhadap bab-bab yang telah dibahas sebelumnya secara keseluruhan dan sub bab saran berisi mengenai saran yang diberikan penulis terhadap masalah yang dibahas.

(37)

BAB II

KETENTUAN MENGENAI PERLAKUAN KEPADA WARGA BINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

A. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Dalam melakukan pemasyarakatan, terdapat sistem pemasyarakatan yang berisikan rangkaian penegakan hukum dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatanyang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.20

Dalam sistem pemasyarakatan terdapat proses pembinaan yang dilakukan terhadap warga binaan, disini penulis mengutamakan pembahasan tentang narapidana. Terdapat sistem pembinaan pemasyarakatan terhadap narapidana yang didasarkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, dimana pembinaan tersebut dilaksanakan berdasarkan atas asas :

20 Indonesia, Undang-Undang Pemasyarakatan, UU RI No. 12 Tahun 1995, LN. No. 77 Tahun 1995, Pasal 2.

(38)

a) Asas pengayoman

Adalah asas dimana perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oeh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di daam masyarakat.

b) Asas persamaan perlakuan dan pelayanan

Adalah asas dimana pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

c) Asas pendidikan dan pembimbingan

Adalah asas menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan memberi kesempatan untuk menunaikan ibadah.

d) Asas penghormatan harkat dan martabat manusia

Adalah asas yang menyatakan bahwa sebagai orang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

e) Asas kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

Adalah asas dimana warga binaan pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti

(39)

29

hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olahraga, atau rekreasi.

f) Asas terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu

Adalah asas yang menyatakan walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana dilakukan di lembaga pemasyarakatan yang diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.21 Pelaksanaan pembinaan kepada narapidana harus melalui proses pendaftaran terpidana yang diterima di Lembaga Pemasyarakatan serta pembebasan narapidana ditanggungjawabi oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan pendaftaran ini mengubah status terpidana menjadi narapidana.22 Pendaftaran yang dilakukan kepada terpidana meliputi :

1. Pencatatan, terdiri dari : a) Putusan pengadilan, b) Jati diri, dan

c) Barang dan uang yang dibawa.

2. Pemeriksaan kesehatan.

21 Ibid, Pasal 7 ayat (1).

22 Ibid, Pasal 10.

(40)

3. Pembuatan pasfoto.

4. Pengambilan sidik jari.

5. Pembuatan Berita Acara Serah Terima Terpidana.

Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pembinaan.23 Pelaksanaan pembinaan kepada narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegitan tertentu.

Pelaksanaan pembinaan kepada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan juga harus tetap memperhatikan hak-haknya. Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan bahwa narapidana berhak :

1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

3) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

4) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

5) Menyampaikan keluhan.

6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

8) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum/orang tertentu lainnya.

9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

(41)

31

10) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti untuk mengunjungi keluarga.

11) Mendapatkan pembebasan bersyarat.

12) Mendapatkan cuti menjelang bebas.

13) Mendapatan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan, sedangkan pembimbingan adalah pemberian tuntutan untuk meningkatkan kualitas, ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan. Pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian yang meliputi ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kesadaran berbangsa dan bernegara, intelektual, sikap dan perilaku, kesehatan jasmani dan rohani, kesadaran hukum, reintegrasi sehat dengan masyarakat, keterampilan kerja, latihan kerja dan produksi.

Pembinaan narapidana dilaksanakan melalui tiga tahap pembinaan, tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Pengalihan pembinaan satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pembinaan tahap awal bagi

(42)

narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana, pembinaan tahap awal ini meliputi masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama satu bulan, perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian, pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian, penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Pembinaan tahap lanjutan yang terdiri dari tahap lanjutan pertama dilakukan sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan setengah dari masa pidana dan tahap lanjutan kedua dilakukan sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

Pembinaan tahap lanjutan ini meliputi perencanaan program pembinaan lanjutan, pelaksanaan program pembinaan lanjutan, penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan serta perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Pembinaan tahap akhir ini meliputi perencanaan program integrasi, pelaksanaan program integrasi dan pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahanp akhir.

Narapidan dapat dipindahkan dari satu Lapas ke Lapas lain oleh Kepala Lapas apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :24

a. Ada izin pemindahan tertulis dari pejabat yang berwenang b. Dilengkapi dengan berkas-berkas pembinaan

c. Hasil pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan

24 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pembinaan dan Pembimbingan pada Warga Binaan

(43)

33

C. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa sistem pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik dan melindungi masyarakatterhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sistem pemasyarakatan menitikberatkan pada usaha perawatan, pembinaan, pendidikan, dan bimbingan bagi warga binaan yang bertujuan untuk memulihkan kesatuan hubungan yang asasi antara individu warga binaan dan masyarakat.

Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik dan membimbing warga binaandengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna.25

Warga binaan dalam sistem pemasyarakatan mempunyai hak untuk mendapatkan pembinaan rohani dan jasmani, hak untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarganya maupun pihak lain, memperoleh informasi, baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan sebagainya. Hak-hak tersebut tidak diperoleh secara otomatis melainkan dengan syarat atau kriteria tertentu seperti halnya untuk mendapatkan remisi dan asimilasi harus memenuhi syarat yang telah ditentukan.26

25 Indonesia, Peraturan Pemerintah Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN. No. 69 Tahun 1999, Penjelasan Umum alinea 2 dan 3. 26

Ibid, Penjelasan Umum alinea 4 dan 5.

(44)

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dalam melakukan pembinaan kepada narapidana, Lembaga Pemasyarakatan harus memberikan pendidikan, pengajaran, pelayanan kesehatan, dan pembimbingan. Ini semua dilakukan untuk memenuhi semua hak narapidana yang tercantum dalam peraturan ini.

Pendidikan dan pengajaran merupakan usaha sadar untuk menyiapkan warga binaan masyarakat melalui kegiatan bimbingan atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang. Pelayanan kesehatan merupakan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dibidang kesehatan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Pembimbingan merupakan pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani.27

Narapidana memiliki hak-hak yang berada di luar pembinaan, yaitu remisi dan pembebasan bersyarat. Remisi merupakan pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat- syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dan pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya minimal 9 (sembilan) bulan.28

27 Ibid, Pasal 1 ayat (3), (4), dan (5).

(45)

35

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, seorang narapidana mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu : 1. Ibadah

Setiap narapidana berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

2. Perawatan Rohani dan Perawatan Jasmani

Setiap narapidana berhak mendapat perawatan rohani dan jasmani yang diberikan melalui bimbingan rohani dan pendidikan budi pekerti. Setiap narapidana juga berhak mendapat perawatan jasmani berupa:

a) Pemberian kesempatan melakukan olahraga dan rekreasi.

b) Pemberian perlengkapan pakaian.

c) Pemberian perlengkapan tidur dan mandi.

Narapidana diwajibkan memakai pakaian seragam yang telah ditetapkan.

3. Pendidikan dan Pengajaran

Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dari Lembaga Pemasyarakatan yang bekerja sama dengan instansi pemerintah yang lingkup tugasnya meliputi bidang Pendidikan dan Kebudayaan, dan atau badan-badan kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Pendidikan dan pengajaran bagi narapidana dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan diselenggarakan berdasarkan kurikulum yang berlaku pada lembaga pendidikan yang sederajat serta ditanggungjawabi oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Setiap narapidana yang telah berhasil

(46)

menyelesaikan pendidikan dan pengajaran, berhak memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar dari instansi yang berwenang.

4. Pelayanan Kesehatan dan Makanan

Setiap narapidana berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak dengan menyediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan disediakan sekurang- kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya. Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya di Lembaga Pemasyarakatan wajib melakukan pemeriksaan jika ada keluhan mengenai kesehatan narapidana dan dilakukan perawatan khusus apabila hasil pemeriksaan kesehatan ditemukan adanya penyakit menular atau membahayakan, jika narapidana memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter Lembaga Pemasyarakatan memberikan rekomendasi kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan agar pelayanan dilakukan di rumah sakit umum Pemerintah di luar Lembaga Pemasyarakatan dan wajib dikawal oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan dan apabila diperlukan dapat meminta bantuan petugas kepolisian. Kepala Lembaga Pemasyarakatan harus segera memberitahukan kepada keluarga narapidana jika ia sakit dan semua biaya perawatan kesehatan di rumah sakit bagi penderita dibebankan kepada negara.

Narapidana berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan dan bagi narapidana yang berkewarganegaraan asing bukan penduduk Indonesia, atas petunjuk dokter dapat diberikan makanan jenis lain sesuai dengan kebiasaan di negaranya.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa hal yang dapat menjadi permasalahan dari film Senjakala Di Manado tersebut, menjadi dasar oleh peneliti, yang tentunya dapat di lanjutkan melalui tahapan

Peneliti juga mendapatkan pengalaman dalam melakukan pemeriksaan operasional secara nyata di perusahaan karena peneliti dapat mengimplementasikan dan mempraktikkan ilmu

Sehingga didapatkan asumsi produksi limbah di Kota Bengkulu ini sejumlah 72.154 lt/hr dari hasil perhitungan kebutuhan ideal produksi limbah setiap manusia dikalikan dengan

Berdasarkan penelitian Fadli (2013) diketahui bahwa pada Stasiun 11 Blok III Selat Bengkalis merupakan perairan laut berkadar ammonia tertinggi dibandingkan

Kesimpulan hasil penelitian menunjukkan: Terdapat pengaruh faktor-faktor kepuasan kerja pegawai dari sisi psikologik terhadap peningkatan kinerja pegawai di Pusdiklat Migas,

Pada gambar 2 nilai tertinggi didapatkan pada kategori unsur 3, 4 dan 6 yaitu sebesar 0,99 yang artinya dari hampir 366 orang responden menilai bahwa petugas layanan di

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan prinsip purposive sampling (sampel bertujuan). Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat sekitar warnet

Berdasarkan uraian latar belakang dan data yang diperoleh maka perlu dilakukan penelitian tentang Hubungan Frekuensi ANC dan Pengetahuan Tentang Tablet Besi dengan