BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjuan Teroritis 1. Status Gizi Lebih
Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 2006).
Menurut Sediaoetama (2004), gizi lebih diartikan keadaan ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dan kebutuhan energi dimana konsumsi terlalu berlebihan dibandingkan kebutuhan atau pemakaian energi. Gizi lebih dan obesitas adalah istilah yang sering digunakan untuk menyatakan adanya kelebihan berat badan. Kedua istilah ini sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Kata obesitas yang berasal dari bahasa latin mempunyai arti makan berlebihan, tetapi saat ini obesitas atau kegemukan didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak secara berlebihan. Gizi lebih adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau jaringan non lemak (Purwati et al., 2001 dalam Vinda 2009).
Kegemukan (gizi lebih) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak-anak, sampai pada usia dewasa. Gizi lebih pada masa bayi terjadi karena adanya
penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami gizi lebih sampai usia dewasa. Gizi lebih pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami gizi lebih dari masa anak-anak (Suyono, 2006).
Hasil penelitian Purwanti (2002) yang menunjukkan bahwa ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kelebihan berat badan atau gizi lebih, yaitu faktor genetik atau faktor keturunan yang berasal dari orang tua, jika kedua orang tuanya menderita kegemukan sekitar 80% anaknya akan menjadi gemuk, bila salah satu yang mengalami kegemukan kejadiannya menjadi 40% dan jika keduanya tidak mengalami kegemukan maka prevalensinya turun menjadi 14%. Faktor psikologis, emosi seseorang dapat mempengaruhi perilaku seperti stres, cemas dan takut dapat menimbulkan sikap yang berbeda -beda pada setiaporang dalam mengatasinya misalnya dengan makan makanan kesukaan secara berlebihan. Mursito (2003) menyatakan bahwa aktivitas fisik diperlukan untuk membakar lemak tubuh.
Dampak secara klinis pada anak gemuk cenderung mengalami peningkatan tekanan darah, denyut jantung serta keluaran jantung dibandingkan anak normal seusianya. Hipertensi ditemukan pada 20-30%
anak gemuk. Diabetes Melitus tipe 2 jarang ditemukan pada anak gemuk tetapi hiperinsulinemia dan intoleransi glukosa hampir selalu ditemukan pada morbid obese (Damayanti, 2012).
Selanjutnya dampak psikologis yang terjadi pada anak yang mengalami masalah gizi lebih umumnya jarang bermain dengan teman sebayanya, cenderung menyendiri, tidak diiikutsertakan dalam permainan serta canggung atau menarik diri dari kontak sosial. Masalah piskososial ini disebabkan oleh faktor internal yaitu depresi, kurang percaya diri, persepsi diri yang negatif maupun rendah diri karena selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Faktor eksternal juga berpengaruh besar karena sejak dini lingkungan menilai orang gemuk sebagai orang yang malas, bodoh, dan tambahan (Damayanti, 2012).
Penanggulangan masalah gizi lebih yaitu dengan menyeimbangkan masukan dan keluaran energi melalui pengurangan makan dan penambahan latihan fisik.Penyeimbangan masukan energi dilakukan dengan membatasi konsumsi karbohidrat dan lemak serta menghindari konsumsi alkohol (Almatsier, 2009).
2. Klasifikasi Status Gizi
Dalam menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS. Menurut Harvard dalam Supariasa 2002, klasifikasi status gizi dapat dibedakan menjadi empat yaitu:
a. Gizi lebih (Over weight)
Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan
(Almatsier, 2005). Kelebihan berat badan pada balita terjadi karena ketidakmampuan antara energi yang masuk dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga atau keduanya. Kelebihan berat badan anak tidak boleh diturunkan, karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan (Arisman, 2007).
b. Gizi baik (well nourished)
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2005).
c. Gizi kurang (under weight)
Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat esensial (Almatsier, 2005).
d. Gizi buruk (severe PCM)
Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurng Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita (Lusa, 2009).
Menurut Kemenkes (2010) Paremeter IMT/U berdasarkan Z-Score diklasifikasikan menjadi :
a. Gizi Buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD
b. Gizi Kurang (Kurus) : -3SD sampai <-2SD
c. Gizi Baik (Normal) : -2 SD sampai +2SD
d. Gizi Lebih (Gemuk) : > +2 SD
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian status gizi lebih a) Pengetahuan Gizi
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang-orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, perasa, dan peraba.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Tingkat pengetahuan tentang gizi lebih dapat menentukan perilaku konsumsi pangan seorang anak, salah satunya melalui pendidikan gizi.
Untuk mengukur pengetahuan tentang gizi lebih dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang berbentuk pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda.Instrumen ini merupakan bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan, responden hanya memilih jawaban yang menurutnya benar (Purwati et al. 2006).
Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan. Pengetahuan gizi yang baik dapat mempengaruhi konsumsi makanan yang baik sehingga dapat menuju status gizi yang baik pula. Kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi dan kesalahan dalam memilih makanan akan berpengaruh terhadap status gizi (Sediaoetama, 2000).
Salah satu penyebab timbulnya masalah gizi adalah pengetahuan gizi yang rendah dan terlihat pada kebiasaan makan yang salah. Permasih (2003) menyatakan bahwa pengetahuan dan praktek gizi anak yang rendah terlihat dari prilaku menyimpan dalam kebiasaan memilih makanan.
Anak-anak sebaiknya mengetahui jenis makanan apa yang harus dikonsumsi. Anak-anak lebih menyukai makanan mengandung tinggi kalori dan rendah vitamin dan mineral. Tentu saja jika hal ini berlanjut akan mengakibatkan kelebihan berat badan. Sulit bagi anak untuk mengubah kebiasaan makan, cara yang bijak adalah bukan dengan diet, tetapi sikap untuk menyukai dan memilih makanan yang bergizi (Soekirman, 2006).
Berdasarkan penelittian Irma (2006) di Kendari yang dilakukan pada anak SD Swasta 9 Kendari menunjukan bahwa faktor resiko gizi lebih pada anak SD swasta tersebut adalah karena pengetahuan gizi yang kurang, konsumsi energi yang tinggi, kurang aktivitas fisik, tingkat pendidikan ibu serta adanya riwayat dalam keluarga.
b) Konsumsi Buah dan Sayur
Bagi anak usia sekolah, serat yang terkadung didalam buah dan sayur itu penting karena akan memberikan dampak kesehatan pada masa dewasanya, guna mencegah penyakit degeneratif seperti, jantung koroner, diabetes mellitus, dan kanker usus besar. Konsumsi serat dianjurkan sebanyak 28-29 g/hari. Diet tinggi serat dapat menjaga dari kanker usus dan penyakit usus lainnya. Kelompok vegetarian dan populasi diet rendah daging dan lemak serta tinggi sayur memiliki angka kanker usus yang rendah (Webb, 2008).
Menurut Whitney et al. (2011) makanan kaya serat memiliki manfaat untuk kesehatan. Makanan tersebut yaitu whole grains, kacang- kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang menyumbang asupan vitamin dan mineral. D\’iet tinggi kacang-kacangan, buah-buhan dan sayur dapat mencegah dari penyakit jantung dan stroke melalui penurunan tekanan darah, memperbaiki lemak darah dan mengurangi inflamasi. Konsumsi tinggi sayuran, buah, dan biji-bijian berhubungan dengan penambahan kecil pada IMT dan lingkar perut (Newby et al. 2003). Demikian halnya yang dinyatakan oleh Drapeau et al. (2004) bahwa konsumsi sayuran dan buah dapat menurunkan lingkar perut dan berat badan.
Peningkgatan konsumsi sayuran dan buah dapat menggantikan kelebihan densitas energi dari diet dan mengurangi asupan lemak.
Peningkatan konsumsi buah lebih baik untuk mengontrol berat badan daripada sayuran. Buah lebih mudah dimakan sebagai snack dan dessert,
sedangkan sayuran sering dikombinasikan dengan bahan lain yang mengandung energi seperti mentega, saus, minyak, dan keju. Buah lebih berperan dalam pengaturan berat badan dibandingkan dengan jus buah.
Buah mengandung serat yang menimbulkan efek mempercepat rasa kenyang (Drapeau et al. 2004).
Sayur merupakan sumber vitamin A, vitamin C, asam folat, magnesium, kalium dan serat serta tidak mengandung lemak dan kolesterol. Sayuran daun berwarna hijau, dan sayuran berwarna jingga seperti wortel dan tomat mengandung lebih banyak provitamin A berupa betakaroten daripada sayuran tidak berwarna. Sayuran berwarna hijau disamping itu kaya akan kalsium, zat besi, asam folat, dan vitamin C.
Contoh sayuran berwarna hijau adalah bayam, kangkungm daun singkong, daun kacang, daun katuk dan daun pepaya. Semakin hijau warna daun, semakin kaya akan zat-zat gizi (Almatsier, 2010)
Kandungan serat pada buah sangat berpengaruh dalam pencernaan.Serat juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan karena sifat fisik dan sifat fisiologisnya. Sifat fisik yang penting adalah volume dan massa, kemampuan mengikat air dan ketahanan terhadap fermentasi oleh bakteri sehingga serat sangat dibutuhkan oleh tubuh (Jahari, 2001).
Dengan mengonsumsi buah, tubuh akan dibersihkan dari racun makanan (Winarto, 2008).
Serat memiliki peranan terhadap gizi lebih dalam menunda pengosongan lambung, mengurangi rasa lapar, memperlancar pencernaan
dan dapat mengurangi terjadinya gizi lebih. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi serat pangan yaitu tingkat pendapatan, genetik, umur, dan faktor lingkungan. Kurangnya konsumsi serat bukan satu-satunya faktor pencetus terjadinya gizi lebih dan obesitas. Faktor lain penyebab gizi lebih dan obesitas adalah aktivitas fisik yang kurang, faktor lingkungan, psikologis, genetik, perubahan gaya hidup diantaranya konsumsi tinggi lemak dan rendah serat (Mursito, 2003).
c) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pembakaran kalori yang dilakukan minimal 30 menit berturut untuk memelihara kesehatan fisik dan mental serta mempertahankan kualitas hidup agar tetap bugar dan sehat (Badan Pusat Statistik, 2013).
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi (WHO, 2013).
Pola aktivitas fisik berperan penting dalam meningkatkan resiko obesitas pada anak. Sebagian besar waktu anak dihabiskan untuk bermain.
Bermain bagi mereka bukan hanya sebagai sarana rekreasi tetapi juga sebaiknya sebagai sarana berolahraga yang menyehatkan. Sesuai dengan salah satu pesan dalam PUGS, yaitu lakukan aktivitas fisik dan olah raga secara teratur setiap hari, maka sejak usia muda anak sebaiknya dianjurkan berolah raga dan melakukan aktivitas fisik (Damayanti &
Muhilal, 2006).
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi, sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya gizi lebih akan meningkat. Misalnya pada remaja, dengan berkurangnya lapangan tempat bermain serta tersedianya hiburan dalam bentuk game elektonik atau play station dan televisi akan menyebabkan kurangnya pembakaran lemak dan sedikitnya energi yang dipergunakan (Mustofa, 2010).
Menurut Suryaputra dan Nadhiroh (2012) aktivitas fisik dbagi menjadi aktivitas ringan, sedang dan berat. Aktivitas ringan diantaranya adalah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dalam posisi berdiri dan duduk.Aktivitas sedang diantaranya adalah melakukan aktivitas berdiri dalam waktu lama dengan membawa beban ringan, sedangkan aktivitas berat diantaranya adalah mencangkul dan berjalan kaki dalam jarak yang jauh dengan beban yang berat.
Menurut Byrne dan Hills (2007) usia anak-anak seharusnya melakukan aktifitas fisik sekitar 60 menit atau lebih setiap harinya.
Adapun aktifitas fisik yang dapat dilakukan misalnya kegiatan olahraga di sekolah, permainan, berenang, jogging, berjalan kaki dan bersepeda ke sekolah.
Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga orang-orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung menjadi gemuk. Hal ini menjelaskan bahwa tingkat aktivitas fisik juga berkontribusi terhadap kejadian gizi lebih terutama
kebiasaan duduk terus-menerus, menonton televisi, penggunaan komputer dan alat-alat berteknologi tinggi lainnya (Virgianto dan Purwaningsih, 2006).
Dalam studi epidemiologi ditemukan bahwa adanya hubungan antara menonton TV dengan kejadian gizi lebih pada anak-anak. Pada saat menonton TV dapat meningkatkan anak untuk mengkonsumsi makanan dan mengkonsumsi makanan yang ditayangkan di TV.
Lamanya waktu menonton TV berhubungan dengan meningkatnya pemasukan energi (Matheson et al, 2006).
Berdasarkan WHO/FAO (2004), besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level (PAL) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi
yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Nilai Physical Avtivity Rate (PAR) untuk berbagai jenis aktivitas dan tingkat
aktivitas fisik menurut WHO/FAO (2004). PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut:
PAL = Keterangan :
PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik).
: Physical avtivity rate dari masing-masing aktivitas yang dilakukan untuk tiap jenis aktivitas per jam).
: Alokasi waktu tiap aktivitas.
Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL:
a) Ringan (sedentary lifestyle) 1.40-1.99
b) Sedang (active or moderately active lifestyle) 2.00-2.40 4. Pengukuran Status Gizi
Penggunaan antropometri untuk menilai status gizi merupakan pengukuran yang paling sering digunakan.Antropometri dilakukan dengan mengukur beberapa parameter sebagai salah satu indikator status gizi diantaranya umur, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa, 2014).
Indeks antropometri yang digunakan, yaitu : a) Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Faktor umur sangat penting dalam menentukan status gizi. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supriasa, 2001).
Pengukuran status gizi anak sekolah dapat dilakukan dengan indeks antropometri dan menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT) anak sekolah.
Rumus IMT
IMT =
Kategori :
1. Gemuk : > 2.0 SD
2. Normal : - 2.0 SD s/d + 2 SD 3. Kurus/wasted : < - 2.0 SD
4. Sangat kurus : < - 3 SD 5. Penelitian Terkait
1) Hubungan antara pengetahuan dan kebiasaan konsumsi fast food dengan kejadian gizi lebih pada siswa Sekolah Dasar Negeri Sudirman 1 Makassar, Barre Allo (2012). Jenis penelitian iniadalah survei deskriptif dengan case-control. Populasi adalah seluruh siswa yang berstatus gizi lebihyang berjumlah 63 siswa dan sampel kasus dan kontrol masing-masing 42 siswa.Hasilpenelitian menunjukkan bahwa siswa SD Negeri Sudirman I Makassar kelas 4,5, dan 6 yang berstatusgizi lebih 27,8%, tingkat pengetahuan fast food yang mengalami gizi lebih berada dalam kategorikurang (54,8%),
frekuensi konsumsi berada dalam kategori sering (97,6%), terdapat hubungan yangbermakna antara kebiasaan konsumsi fast food dengan kejadian gizi lebih,tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian gizi lebih. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sekarang yaitu terletak pada variabel yang diteliti, design penelitian.
2) Aktifitas Fisik, Asupan Energi dan Asupan Lemak dan Hubungannya dengan Gizi Lebih pada Siswa SD Negeri Pondok Cina 1 Depok, Luh Anggi (2012).
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional pada siswa kelas 4 dan 5 SD Negeri Pondok Cina 1 Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44,3%
siswa termasuk gizi lebih. Faktor-faktor yang mempunyai hubungan
bermakna dengan gizi lebih adalah aktifitas fisik, asupan energi dan lemak.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sekarang yaitu terletak pada variabel yang diteliti.
3) Kebiasaan makan, aktivitas fisik dan kebugaran pada anak Sekolah Dasar dengan status gizi normal dan lebih di Kota Bogor. Desain yang digunakan adalah cross sectional study di SD N Polisi dan SD IT At Taufiq. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan energi (p=0.003), asupan protein (p=0.000), asupan lemak (p=0.008), serta tingkat kecukupan protein (p=0.033) pada contoh gizi lebih, lebih tinggi daripada contoh gizi normal. Status gizi contoh memiliki hubungan signifikan positif dengan asupan energi (p=0.015, r=0.242) dan asupan lemak (p=0.044, r=0.202), namun memiliki hubungan signifikan negatif dengan kebugaran (p=0.005, r=0.282). Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas fisik dengan kebugaran (p>0.05).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sekarang yaitu terletak pada variabel yang diteliti.
B. Kerangka Teori
Skema 2.1 Skema Kerangka Teori Gizi Lebih H.L Blum (2003)
Keterangan:
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis
Status Gizi Lebih
Konsumsi Buah Sayur
Faktor prilaku/gaya hidup (life style) Faktor Lingkungan
Pelayanan kesehatan
Aktivitas Fisik Pengetahuan Gizi
Genetik
C. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori tersebut maka dapat disusun kerangka konsep dengan yang menjadi variabel dependen alam analisis ini adalah kejadian gizi lebih pada siswa SD M 019 Bangkinang, sedangkan yang menjadi variabel independen adalah pengetahuan gizi, konsumsi buah sayur dan aktivitas fisik.
Independent Dependent
Skema 2.2 Kerangka Konsep Gizi Lebih
D. Hipotesa
Berdasarkan kerangka konsep, maka peneliti membuat hipotesis sebagai berikut:
Ha: 1. Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi dengan status gizi lebih pada siswa SDM 019 Bangkinang.
2. Terdapat hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan status gizi lebih pada siswa SDM 019 Bangkinang.
3. Terdapat hubungan antara aktifitas fisik dengan status gizi lebih pada siswa SDM 019 Bangkinang.
Pengetahuan Gizi
Konsumsi Buah dan Sayur
Aktivitas fisik
Status Gizi Lebih