• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indrayang meliputi indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tidakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

2. Tingkatan Pengetahuan

Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2007) Tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif ada 6 yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali ( recall).

Dalam kaitannya pengetahuan ibu dalam upaya melatih balita untuk mengontrol buang air kecil maupun besar serta melatih balita untuk buang air kecil maupun besar pada tempatnya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpratasikan materi tersebut dengan benar. Setelah ibu mengetahui toilet training, maka berlanjut ketahap memahami.

Kemampuan pengasuh dalam memahami toilet training.

Ditentukan oleh seberapa banyak materi yang telah diingatnya mengenai pengajar toilet training, serta seberapa tinggi kemampuan pengasuh balita dalam mengartikan dan memberikan makna terhadap materi toilet training.

(2)

c. Aplikasi ( Application )

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

Setelah ibu tetang toilet training mengetahui diharapkan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari.

d. Analisis ( analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek kedalam komponen-komponen. Bagaimana kemampuan ibu dalam melaksanakan toilet training.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi ( evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan melakukan penilaian terhadap suatu objek atau materi. Bagaimana penilaian ibu terhadap perilaku tolet training.

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo, (2007), yaitu :

a. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

b. Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.

c. Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang, karena informasi-informasi baru akan disaring, kira-kira

(3)

sesuai tidaknya dengan kebudayaan yang ada da agama yang dianut.

d. Pengalaman

Pengalaman disini berkaitan dengan umur dan pendidikan indivdu, artiny, pendidikan yang tinggi, pengalaman akan luas sedang umur bertambha tua.

e. Sosial Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.

B. Sikap

1. Pengertian

Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek (Hikmawati, 2011)

Notoatmodjo (2007), meyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan merupakan kesiapan untuk berreaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek.

2. Komponen Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Hikmawati (2011) menjelaskan bahwa sikap mempunyai 3 komponen :

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

(4)

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek artinya bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek).

c. Kecendrungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka ( tindakan).

Ketiga komponen tersebut akan bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menetukan sikap yang utuh ini pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting

3. Tingkatan Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek) misalnya sikap ibu terhadap toilettraining dapat dilihat dari perhatian ibu terhadap kesiapan anak.

b. Merespon (responding)

Memberi jawaban apabila ditanya, mengajarkan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap

c. Menghargai (valuating)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu inidkasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu mengajak ibu lain untuk mendiskusikan tentang toilet training, adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap kesiapan mengenai toilet training.

d. Bertanggung jawab (responsibel)

Bertanggung jawab atas segala suatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

(5)

C. Praktik

1. Pengertian

Praktik menurut Hikamawati (2011) dipengaruhi oleh kehendak sedangkan kehendak dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif.

Sikap sendiri di pengaruhi oleh keyakinan akan hssil dari tindakan yang telah lalu. Norma subjektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut.

Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior) untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkingkan antara lain fasilitas.

2. Faktor pendukung (support) parkti dari pihak lain (Notoatmodjo, 2007) ada 4 yaitu :

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

b. Respon (guide respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh. Misalnya ibu dapat mencontohkan cara buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) dengan benar pada anak mulai dari melepas celana hingga memakai celana kembali.

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan.

Misalnya jika anak biasa buang air kecil setelah bangun tidur pada pukul 7 pagi maka ibu langsung mengajak anak untuk buang air kecil ke WC

(6)

d. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi tindakan tersebut.

Pengukuran praktik dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan wawancara terhadap kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu (recall).

Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan seseorang.

D. Toilet Training

1. Pengertian Toilet Training

Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol buang air kecil (BAK) dan baung air besar (BAB) secara benar dan teratur (Zaivera, 2008). Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil atau buang air besar. Toilet training secara umum dapat dilaksanakan pada setiap anak yang sudah mulai memasuki fase kemandirian pada anak. Fase ini biasanya pada anak usia 18 – 24 bulan. Dalam melakukan toilet training ini, anak membutuhkan persiapan fisik, psikologis maupun intelektualnya. Dari persiapan tersebut anak dapat mengontrol buang air besar dan buang air kecil secara mandiri (Hidayat, 2005).

Menurut Wong (2008) menyatakan bahwa melalui toilet training anak akan belajar bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang air yang selanjutnya akan menjadikan mereka terbiasa untuk meggunakan toilet (mencerminkan keteraturan) secara mandiri.

Kedekatan interaksi orang tua dengan anak dalam toilet training ini akan membuat anak merasa aman dan percaya diri.

Latihan buang air besar dan buang air kecil termasuk didalam perkembangan psikomotorik, karena latihan ini membutuhkan

(7)

kematangan otot-otot pada daerah pembuangan kotoran (anus dan saluran kemih). Anak – anak dilatih untuk dapat menguasai otot-otot alat pembuangan pada waktu buang air besar dan buang air kecil.

Apabila secara biologis dan psikologis anak telah matang dalam hal toilet training, tetapi anak gagal melakukannya, maka anak diberi hukumanan berupa bentakan atau larangan. Toilet training ini merupakan latihan moral yang pertama kali diterima anak dan sangat berpengaruh pada perkembangan moral selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Havighurt bahwa toilet training merupakan latihan moral dalam membentuk karakter seseorang (Suherman, 2000).

Selain mencegah terjadinya mengompol dan membentuk prilaku hidup bersih dan sehat pada anak sejak dini toilet training juga akan membentuk kemandirian dan kepercayaan diri dalam mengontrol buang air kecil dan buang air besar. Dapat melatih kemampuan motorik kasar yaitu dengan berjalan, duduk, jongkok, berdiri dan juga kemampuan motorik halus yaitu melepas dan memakai celana sendiri setelah buang air kecil dan buang air besar. Serta dapat juga untuk melatih kemampuan intelektualnya yaitu anak dapat meniru perilaku yang tepat seperti buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya (Hidayat, 2005).

2. Usia Anak Dalam Toilet Training

Latihan buang air atau toilet traning ini hendaknya dimulai pada waktu anak berumur 15 bulan karena sudah mampu melakukan kegiatan toilet training dan fungsi syaraf yang diguanakan untuk menguasai organ pembuangan sudah mulai matang sehingga anak sudah dapat belajar untuk mengontrol buang air kecil maupun besar.

Secara berangsur - angsur sistem syaraf dan organ pembuangan berfungsi dengan sempurna pada saat usia 4 tahun (Suherman, 2000).

Pengajaran toilet training dilakukan pada usia 15 – 18 bulan, karena sistem syaraf anak sudah cukup berkembang serta sudah dapat mengenali tanda – tanda dari kandung kemih dan perutnya. Anak juga

(8)

dituntut untuk dapat mengendalikan otot yang membuka dan menutup kandung kemih dan anusnya (Thompson, 2003).

Pada tahapan usia 1 sampai 3 tahun atau usia toddler, kemampuan sfingter uretra untuk mangontrol rasa ingin berkemih dan sfingter ani untuk mengontrol rasa ingin defekasi mulai berkembang (Supartini, 2002). Sedangkan menurut Gupte (2004) sekitar 90 persen bayi mulai mengembangkan kontrol kandung kemihnya dan perutnya pada umur 1 tahun hingga 2,5 tahun. Toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan anak yaitu umur 18 bulan sampai 24 bulan (Hidayat, 2005).

Toilet Training dapat berlangsung pada usia 1-3 tahun atau usia balita, sebab kemampuan spingter ani untuk mengontrol rasa ingin devekasi telah berfungsi. Namun setiap anak kemampuanya berbeda tergantung factor fisik dan psikologisnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengajaran toilet training dapat dilakukan pada anak usia 12-36 bulan karena pada saat usia tersebut anak sudah mulai siap dalam toilet training secara fisik, psikologis serta kognitifnya.

3. Prinsip Toilet Training

Pada prinsipnya ada 3 langkah dalam toilet training yaitu melihat kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri. Beberapa hal yang harus di ketahui yang berhubungan dengan toilet training yaitu (Yupi, 2004):

a. Toilet training merupakan latihan yang menentukan kerjasama b. Toilet training merupakan keterampilan yang bersifat kompleks c. Kesiapan otot bladder dan bowel dibutuhkan dalam pengontrolan

BAK/BAB

d. Sifat orang tua dari anak sangat menentukan dalam keberhasilan toilet training

e. Paksaan dari orang tua tidak selamanya akan membuat anak lebih awal bisa mengikuti toilet training.

(9)

4. Tanda Kesiapan Anak Melakukan Toilet Training

Menurut warner, 2007 tanda kesiapan yang dapat diketahui pada anak yang akan diajari menggunakan toilet adalah sebagai berikut:

a. Tanda kesiapan fisik

Anak dapat mengguankan tangan dan kakinya untuk menaiki dan menuruni toilet besar dengan menggunankan bangku kecil. Anak dapat menurunkan dan menarik celanaya dengan atau tanpa bantuan.

b. Tanda kesiapan kognitif

Anak sepertinya tahu kapan akan buang air kecil maupun besar atau sensitif saat poponya basah atau kotor. Anak sudah mengerti dan mengikuti petunjuk yang diberikan orang tua. Anak dapat mengatakan bahwa ingin buang air kecil maupun besar, serta anak tahu kegunaan toilet.

c. Tanda kesiapan sosial-emosiaonal

Anak mempunyai rasa keingintahuan kepada penggunaan toilet dan tertarik melihat orang lain menggunakan toilet serta meniru menggunakan toilet. Anak yang sudah dapat melakukan baung air kecil maupun besar di toilet maka anak akan lebh semangat bila keberhsilannya itu diberi pujian dari orang sekitar.

5. Pengkajian Masalah Toilet Training

Menurut Hidayat, (2005) Pengkajian kebutuhan terhadap toilet training merupakan suatu yang harus diperhatikan sebelum anak melakukan buang air kecil maupun besar. Untuk mencegah terjadinya kegagalan dalam toilet training perlu dilakukan pengkajian yang meliputi:

a. Pengkajian Fisik

Pengkajian fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil maupun besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk, melompat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas dan membuka

(10)

celananya sendiri. Lancar dan tidaknya kemampuan buang air kecil maupun besar dapat ditunjang dari kesiapan fisik sehingga pada saat anak berkeinginan untuk buang air kecil maupun besar sudah mampu dan siap untuk melaksanakannya.

b. Pengkajian Psikologis

Pengkajian psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika akan melakukan buang air kecil maupun besar seperti tidak rewel, tidak menangis ketika akan buang air, menunjukkan ekspresi wajah gembira dan ingin melakukan secara mandiri, anak sabar dan sudah mau tetap tinggal di toilet selama 5-10 menit tanpa rewel atau meninggalkannya.

Keingintahuan kebiasaan toilet training pada orang dewasa atau saudaranya.

c. Pengakajian Kognitif

Pengkajian kognitif pada latihan buang air kecil maupun besar antara lain kemampuan anak untuk buang air kecil maupun besar, kemampuan mengkomunikasikan buang air kecil maupun besar, anak menyadari timbulnya rasa ingin buang air kecil maupun besar, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat sehingga dapat buang air kecil maupun besar pada tempatnya serta etika dalam buang air kecil maupun besar.

Dalam melakukan pengakajian kebutuhan buang air kecil maupun besar, teradapat beberapa hal yang perlu diperhatikan selama toilet training, diantaranya adalah:

1. Hindari pemakaian popok sekali pakai atau diapers dimana anak akan merasa aman.

2. Ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan buang air kecil maupun buang air besar.

3. Mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi sebelum dan sesudah tidur untuk buang air kecil, cuci muka, cuci tangan dan cuci kaki.

(11)

4. Jangan marah apabila anak gagal dalam melakukan toilet training.

6. Teknik Toilet Training Pada Anak

a. Menurut Hidayat (2005), Banyak cara yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk buang air besar dan kecil, diantaranya adalah:

1. Teknik Lisan

Teknik lisan merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan instruksi pada anak dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil maupun besar. Cara ini kadang merupakan hal biasa yang dilakukan oleh orang tua akan tetapi teknik lisan ini mempunyai nilai yang cukup besar dimana dengan lisan ini persiapan psikologis pada anak akan semakin matang dan akhirnya anak anak mampu dengan baik dalam melaksanakan buang air besar maupun kecil secara mandiri.

Berbicara dengan kata-kata sederha yang mudah dipahami oleh anak, contohya “apakah kamu ingin pipis atau pupup?”, jika anak mengatakan “mau atau iya” segeralah ajak ke toilet dan katakan bahwa “saat kamu merasa ingin pipis atau pupup segeralah katakan kepada ibu dan sekarang kamu sudah beranjak besar saatnya kamu pipis dan pupup ketoilet ya?”, serta saat itu pula ajarkan bagaimana melepas celananya dan dudukkan diatas toilet, jika anak masih merasa takut orang tua harus selalu mendampingi hingga anak mampu melakukannya sendiri. Jika belum juga berhasil lakukan cara ini secara bertahap hingga anak memahami dan mau menggunakan toilet sendiri. Selalu berikan pujian pada anak apabila sudah dapat melakukannya.

2. Teknik Modeling

Teknik modeling merupakan usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air besar maupun kecil dengan cara

(12)

memberi contoh untuk buang air besar maupun kecil. Cara ini dilakukan dengan memberi contoh atau membiasakan untuk buang air besar maupun buang air kecil secara benar. Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan seperti melakukan observasi pada saat anak merasakan ingin buang air besar maupun kecil, tempatkan anak diatas pispot atau ajak anak ke kamar mandi.

Pada anak yang akan melakukan buang air besar maupun kecil, dudukkan anak diatas pispot atau dengan orang tua memberi contoh duduk atau jongkok dihadapannya sambil mengajak berbicara dan bercerita. Biasakan anak untuk pergi ke toilet pada jam-jam tertentu dan kenakan celana yang mudah dilepas dan dikembalikan lagi oleh anak. Berikan pujian jika anak berhasil, jangan memarahi atau disalahkan jika anak tidak berhasil. Dampak buruk pada cara ini adalah apabila contoh yang dibeikan salah sehingga anak akan mempunyai kebiasaan yang salah untuk kedepannya.

b. Menurut Safaria, 2004 terdapat 3 cara yang dilakukan orang tua dalam toilet training, yaitu:

1. Dengan menggunakan metode bermain boneka

Melalui permainan boneka, orang tua dapat mengajari anak sekaligus mengamati ketertarikan anak dalam menggunakan toilet. Keinginan anak dalam permainan boneka dapat dilihat sebagai tanda yang kuatakan kesiapan dalam toilet training.

Saat anak ingin mengganti popok boneka, tunjukkan kepada anak cara yang benar dan biarkan anak untuk menggantinya sendiri. Apabila anak sudah dapat mengganti popok boneka dengan baik kemudian katakan pada anak bahwa bonekanya sudah saatnya menggunakan pispot atau toilet saat buang air kecil dan buang air besar, maka reaksi anak akan memperlihatkan tingkatan ketertaikannya pada toilet.

2. Dengan menggunakan media gambar atau vidio

(13)

Melalui media gambar atau vidio orang tua dapat menunjukkkan cara menggunakan toilet mulai dari menunjukkan gambar toilet itu sendiri kemudian kegunaan toilet serta cara menggunakan toilet secara berurutan mulai dari membuka celana saat merasa ingin buang air kecil atua buang air besar, duduk diatas pispot atau toilet, cara membersihakn diri dan toilet setelah buang air kecil atau buang air besar dan memakai celana kembali setelah buang air kecil dan buang air besar.

3. Dengan menggunakan cara meniru orang – orang dewasa sekitarnya

Meniru orang – orang disekitar anak dalam menggunakan toilet merupakan cara yang efektif karena anak dapat melihat langsung bagaimana caranya menggunakan toilet mulai dari merasakan ingin buang air, masuk kedalam toilet, duduk diatas toilet, sampai membersihakn diri setelah buang air kecil maupun besar. Sebagai contoh ibu mengajak anak perempuannya, ayah mengajak anak laki – lakinya pada saat mandi atau buang air kecil maupun besar serta menunjukkan bagaimana cara yang benar untuk buang air kecil atau buang air besar menggunakan toilet mulai dari anak merasa ingin buang air, melepas celana, duduk diatas toilet, membersihakan diri hingga memakai celana kembali setelah buang air kecil atau besar. Cara ini sangat tergantung pada cara pengajaran, pada pengajaran yang benar dan sesuai maka anak akan menggukan cara tersebut hingga dewasa, tetapi saat pengajaran ini ada sedikit kesalahan maka anak akan melakukan kesalahan tersebut hingga dewasa.

(14)

7. Metode Toilet Training

Menurut Octopus (2006), ada dua metode melakukan toilet training, yaitu:

a. Metode santai

Metode ini dimulai dari secara bertahap dengan melepaskan popok dan mendudukkannya di pispot atau toilet selama beberapa menit setiap hari. Anak mungkin tidak akan duduk lama sehingga orang tua dapat memberika buku atau mainan untuk mengalihkan perhatian anak. Berikan pujian kepada anak jika berhasil buang air, tetapi jangan memberi hukuman jika anak tidak dapat melkukannya. Secara beratahap tingkatkan waktu tanpa popok selama beberapa minggu berikutnya, kemudian perkenalkanlah anak pada penggunaan celana. Setelah anak percaya diri dengan menggunakan pispot atau toilet didalam rumah dan popoknya selalu kering saat diajak berpergian, maka anak dapat di ajak berpergian menggunakan celana.

b. Metode cepat

Metode ini dapat dimulai dari orang tua mengosongkan waktu setidaknya selama satu minggu penuh. Sebelumnya orang tua sudah harus memperkenalkan pispot atau toilet kepada anak dan orang tua sebaiknya membelikan celana dalam seperti orang dewasa. Ajak anak untuk duduk di pispot atau toilet jika ingin bunag air besar. Berika pujian jika anak berhasil buang air kecil maupun besar, serta cobalah membersihkan kotorannya dengan tersenyum. Apabila akan berpergian ajak anak untuk buang air ke toilet terlebih dahulu. Tidak ada salahnya orang tua membawa pispot dan baju ganti saat bepergian. Setelah beberapa minggu anak akan terbiasa dengan cara ini dan saat anak merasakan ingin buang air kecil maupun besar anak akan mencari pispot sendiri.

(15)

8. Tahapan Toilet Training

Menurut Warner, (2007) ada tiga tahapan dalam toilet training, yaitu:

a. Persiapan

Bagian terpenting dari dari proses pengajaran toilet training pada anak yang harus diperhatikan adalah memahami sudut pandang anak, perkembangan anak dan cara belajar anak. Belajar untuk menggunakan toilet adalah semacam perjalanan yang membantu anak untuk mandiri. Hal itu memberinya kekuatan dan kontrol atas tubuhnya, dan membantu mengambil langkah lagi untuk menjadi individu yang mandiri. orang tua perlu berkerja sama dengan anak mereka untuk berkomunikasi dengan jelas dalam istilah yang sederhana mengenai kegunaan toilet. Persiapan bukan hanya bergantung pada tingkat kedewasaan pribadi anak, tetapi juga pada minat dan tempramen anak. Jika anak belum siap jangan mencoba untuk memaksa karena anak akan memberontak dan menentang.

b. Perencanaan

Memilih waktu yang tepat untuk pengajaran pengguanaan toilet adalah hal terpenting untuk menuju keberhasilan. Saat pagi hari adalah waktu yang tepat untuk memulai pengajaran penggunaan toilet, sehingga mereka bisa memulai hari dengan suatu tujuan dipikiran mereka. Anak yang dapat merespon kegiantan pengajaran toilet training dengan senang, saat itulah waktu yang tepat. Liburan dirumah membantu untuk lebih santai dan tidak tertekan dalam mengajari anak toilet training. Jadwal buang air anak menentukan jadwal pengajaran penggunaan toilet.

kebanyak anak butuh menggunakan toilet pada saat bangun pagi atau siang, setelah makan siang dan saat akan tidur malam.

c. Pelaksanaan

Memulai pelaksanaan pengajaran toilet training yang pertama orang tua harus memilih satu hari dimana orang tua tidak

(16)

mempunayai kegiatan apapun serta anak tidak sedang menderita suatu penyakit atau stres, ini akan membuat orang tua dan anak akan lebih fokus dalam pengajaran. Sebaiknya anak menggunakan celana kain dan meminta untuk anak memakaninya sendiri. Tetap perhatikan tanda kesiapan anak sehinga anak dapat menghubungkan persaan fisik denga perasaan buang air kecil maupun besar. Ikuti dan perhatikan jadwal buang air kecil maupun besar pada anak. Berikan motivasi kepada anak untuk menggunakan pispot atau toilet agar anak lebih bersemangat dalam menggunakan toilet. Berikan penghargaan atau pujian jika akan berhasil melakukan buang air kecil atau buang air besar. Pujian adalah motivator yang paling efektif pada pengajaran penggunaan toilet.

9. Dampak Toilet Training

Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian anak dimana anak cenderung bersikap keras kepala dan kikir. Hal ini dapat ditunjukkan oleh orang tua yang sering memarahi anak pada saat buang air kecil maupun besar atau melarang anak untuk buang air kecil maupun besar saat berpergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam toilet training maka anak dapat mengalami kepribadian ekspresif dimana anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional dan seenaknya dalam kegiatan sehari-hari (Hidayat, 2005) 10. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Toilet Training

a. Penegtahuan orang tua

Pengetahuan tentang toilet training yaitu cara mengajarkan latihan toilet training, dimulai dari tahu tanda – tanda kesiapan anak.

Orang tua perlu tahu cara mengajarkan toilet training dari tahap awal sampai akhir (Wulandari, 2001)

(17)

b. Kesiapan anak dan kesiapan orang tua

Kesiapan anak yaitu kesiapan fisik, mental dan psikologi. Faktor kesiapan orang tua juga memegang pranan penting dalam melatih toilet training, dimulai dari melatih anak untuk tidak enkopresis (mengompol) pada saat siang dan malam hari, tidak buang air besar dicelana. Hal ini tentunya membutuhkan kesabaran orang tua dalam melatih toilet training (Wulandari 2001).

c. Kesadaran anak

Semakin tinggi tingkat kesadaran anak, semakin siap anak diajari untuk toilet training. Ada tiga tingkatan umum kesadaran anak dalam toliet training menurut Warner, (2007) yaitu:

1. Sudah basah, anak sadar bahwa ia sudah basah atau popoknya basah.

2. Sedang basah, anak sadar bahwa ia sedang basah atau membasahi popoknya.

3. Akan basah, anak sadar bahwa ia akan basah atau membasahi popoknya.

d. Pola buang air pada anak

Pola buang air besar anak mulai rutin dan dapat diprediksi, serta anak dapat tetap kering untuk waktu yang lebih lama disiang hari (Warner, 2007)

11. Faktor yang Mendukung Toilet Training

Menurut Warner 2007 faktor yang mendukung untuk toilet training adalah :

a. Tersedianya toilet

Toilet sangat dibutuhkan untuk melatih toilet training karena orang tua akan memperkenalkan toilet dan penggunaan toilet kepada anak. Usahakan toilet bersih dan tidak licin agar tidak terjadi kecelakaan pada saat latihan dan berikan suasana nyaman agar anak tidak takut saat berada di toilet. Sebaiknya menggunakan kloset duduk karena selain lebih aman untuk anak dan juga

(18)

memudahkan orang tua untuk mengajari toilet training. Pastikan kloset dalam keadaan tertutup setelah pemakaian. Keingintahuan anak dapat membuat mereka tergelincir yang akhirnya membuat kepala anak terbenam kedalam kloset dan anak dapat meminum air kloset. Apabila menggunakan kloset jongkok, buat penutup dari papan yang kokoh untuk menhindari kaki anak terpeleset masuk kedalam kloset.

b. Pakaian untuk pengajaran penggunaan toilet

Pakaian yang akan digunakan selama toilet training akan sangat menentukan keberhasilan toilet training. Hindari pakaian yang mempunyai gesper, kancing, resleting, tali, dan pengikat sulit lainnya. Hindari juga celana ketat, terusan, celana kodok, dan pakaian yang harus dimasukkan, yang berlapis, atau yang terlalu panjang. Gunakanlah pakaian dengan ikat pinggang dari karet, pengikat velcro, dan fitur lainnya yang membuat mudah untuk digunakan dan dilepaskan.

c. Komuniksi

Bicarakan dengan anak bahwa saat ini anak sudah siap untuk mulai belajar latihan buang air besar dan buang air kecil.

Komunikasikan semua proses latiahan buang air besar dan buang air kecil agar anak dapat memahami sebelum latihan dilakukan, seperti membuka celana terlebih dahulu saat ingin buang air kecil atau besar, jongkok atau duduk pada toilet yang sudah tersedia, kemudian membersihkan alat kelamin dan menyiram toilet agar tetap bersih. Tanyakan kembali apa yang belum dipahami oleh anak dan apabila anak belum mengerti, jelaskan kembali secara perlahan agar anak benar-benar memahaminya. Berikan pujian jika anak paham dan mampu melakukannya dengan baik, tetapi jangan memarahi anak jika belum dapat melakukannya.

(19)

E. Kemampuan Toilet Training Pada Anak Balita

Anak-anak yang telah mampu melakukan toilet training dapat dilihat dari kemampuan psikologis,kemampuan fisik dan kemampuan kognitifnya. Kemampuan psikologis anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut, anak mampu kooperatif, anak memiliki waktu kering periodenya antara 3-4 jam, anak buang air kecil dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk buang air besar dan buang air kecil dan waktu untuk buang air kecil maupun besar sudah dapat diperkirakan (Warner, 2007)

Kemampuan fisik dalam melakukan toilet training yaitu anak dapat duduk atau jongkok tenang kurang lebih 2-5 menit, anak dapat berjalan dengan baik, anak sudah dapat manaikkan dan menurunkan celananya sendiri, anak merasakan tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai yang basah atau kotor, anak menunjukkan keinginan dan perhatian terhadap kebiasaan ke kamar mandi, anak dapat memberitahu bila ingin buang air kecil maupun besar, menunjukkan sikap kemandirian, anak sudah memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan orang, kemampuan atau keterampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua atau saudaranya dan anak tidakmenolak dan dapat bekerjasama saat orang tua mengajari buang air (Warner, 2007)

Kemampuan kognitif anak bila anak sudah mampu melakukan toilet training seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi sederhana, memiliki bahasa sendiri seperti pipis untuk buang air kecil dan eek untuk buang air besar, serta anak mengerti reaksi tubuhnya bila ingin buang air kecil maupun buang air besar dan dapat memberitahukannya bila ingin buang air (warner, 2007).

(20)

F. Kerangka Teori

Gambar 2.1 kerangka teori

Sumber: Lawrence Green dalam Hikmawati (2011)., Thompson, 2003., Warner, 2007., Wulandari, 2001

Faktor yang mempengaruhi toilet training:

a. Pengetahuan orang tua b. Kesiapan anak dan orang tua c. Kesadaran anak

d. Pola buang air pada anak

Praktik toilet training Faktor yang mendukung Toilet

training:

a. Tersedianya toilet

b. Pakaian untuk pengajaran penggunaan toilet

c. komunikasi

Faktor yang mempengaruhi perilaku:

a. Faktor predisposisi (pengetahuan, kepercayaan, sikap)

b. Faktor pemungkin (status sosial ekonomi, sarana, lingkungan, perilaku, pendidikan)

c. Faktor penguat (sikap orang tua, tokoh masyarakat)

(21)

G. Kerangka Konsep

Variabel bebas variabel terikat

Gambar 2. 2 Kerangka Konsep

H. Variable Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Independen: pengetahuan, sikap

2. Variabel Dependen: praktek ibu dalam toilet training

I. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan hubungan antara pengetahuan ibu balita dengan praktik ibu dalam toilet training pada balita di perumahan Kini Jaya Kelurahan Kedungmundu Kecamatan Tembalang Semarang.

2. Ada hubungan antara sikap ibu balita dengan praktik ibu dalam toilet training pada balita di perumahan Kini Jaya Kelurahan Kedungmundu Kecamatan Tembalang Semarang.

Pengetahuan ibu

Sikap ibu

Praktek ibu dalam Toilet training

Gambar

Gambar 2.1 kerangka teori
Gambar 2. 2 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Yang bisa kami lakukan untuk mewujudkan mimpi tersebut adalah dengan tetap menjalin hubungan baik dengan pelanggan dan calon pelanggan, komitmen terhadap apa yang telah

Fragmen pengenal adalah epidermis atas bentuk tidak beraturan, dinding bergelombang; epidermis bawah bentuknya tidak beraturan, dinding bergelombang dengan stomata tipe

akuisisi pada perusahaan go-publ ic yang mel ibatkan in- vestor dan emiten (perusahaan yang go-publ ic) dalam pro- ses emisi saham. D€ngan sendi ri nya titik

Ikan nila strain GIFT dengan 3 tingkatan umur yang berbeda yaitu ukuran benih (kurang dari 3 bulan), ukuran konsumsi (antara 3-6 bulan) dan ukuran induk (lebih dari

Pada vlogger keempat, keterbukaan diri yang dilakukan menggunakan media video berupa video blog berfokus pada diri vlogger sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dari banyaknya

Dari Gambar 5 diatas, data masukkan pengguna dihitung menggunakan metode AHP terlebih dahulu, setelah metode AHP menghasilkan bobot kriteria, selanjutnya dihitung menggunakan

Objek-objek ini berada pada area pelayanan yaitu area penerimaan (welcome area) dan wisma tamu (guest house), area koleksi yaitu Taman Rhododendron, Taman Sakura, koleksi

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Peran jamur dalam