• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI KOTA TIDORE KEPULAUAN DENGAN METODE PARTICIPATORY PLANNING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERENCANAAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI KOTA TIDORE KEPULAUAN DENGAN METODE PARTICIPATORY PLANNING"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN RUANG TERBUKA NON HIJAU DI KOTA TIDORE KEPULAUAN DENGAN METODE

PARTICIPATORY PLANNING

Maria Christina Endarwati

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP ITN Malang

ABSTRAKSI

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keterlibatan masyarakat dalam penataan ruang adalah hal yang mutlak untuk dilaksanakan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), dijelaskan bahwa negara telah memberikan kewenangan penyelenggaraan penataaan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan daerah sebagai daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Daerah otonom juga mempunyai kewenangan yang besar dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan penataan ruang, yaitu perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayahnya masing-masing.

Sebagai salah satu kawasan pesisir dan kepulauan, menjadikan Kota Tidore Kepulauan memiliki karakterisitik yang khas didalam pengembangan pemanfaatan ruang wilayahnya. Wilayah daratan dan pesisir yang dimiliki membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Tidore Kepulauan. Berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah terkait dengan penyediaan ruang terbuka, salah satu potensi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pemanfaatan ruang pada wilayah ini adalah penyediaan ruang terbuka non hijau sebagai faktor utama yang mempengaruhi perkembangan permukiman dan kebutuhan prasarana/sarana perkotaan.

Kata Kunci: Keterlibatan Masyarakat, Ruang Terbuka Non Hijau, Participatory Planning

PENDAHULUAN Latar Belakang

Permasalahan penyelengaraan penataan ruang di kawasan perkotaan diantaranya adalah semakin menurunnya kualitas permukiman yang ditunjukkan antara lain oleh: kemacetan, kawasan kumuh, pencemaran (air,

(2)

udara, suara, sampah), hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH) untuk artikulasi sosial dan kesehatan masyarakat, kurang tersedianya sarana jaringan pejalan kaki, tidak tersedianya ruang untuk kegiatan sektor informal, serta bencana alam gempa, banjir dan longsor yang frekuensinya semakin sering dan dampaknya semakin luas, terutama pada kawasan yang berfungsi lindung. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 28 disebutkan bahwa RTRW Kota merupakan mutatis mutandis dengan perencanaan RTRW Kabupaten dan ditambahkan dengan pengaturan tentang rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH, RTNH, prasarana, dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, serta ruang evakuasi bencana.

Sedangkan pada Pasal 65 disebutkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat.

Kota Tidore Kepulauan adalah salah satu kota di provinsi Maluku Utara. Kota ini memiliki luas wilayah ± 9.564,7 km² dan berpenduduk sebanyak 98.025 jiwa. Kota ini sudah terkenal sejak jaman penjajahan dahulu karena hasil cengkeh dan pala. Sebagai salah satu wilayah yang berkembang, perkembangan fisik kawasan di wilayah ini ikut terpengaruh seiring dengan menggeliatnya pembangunan di Kota Tidore. Pembangunan kota bukan sekedar mengembangkan kota dan meningkatkannya menjadi lebih luas jangkauannya, melainkan mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang efisien, pemenuhan kebutuhan masyarakat kota yang kontinyu, serta pencapaian infrastruktur sarana dan prasarana kota yang sustainable dan teratur (Budi Rahardjo Eko, 1998). Sebagai salah satu kawasan pesisir dan kepulauan, menjadikan Kota Tidore Kepulauan memiliki karakterisitik yang khas dalam pengembangan pemanfaatan ruang wilayahnya. Wilayah daratan dan pesisir yang dimiliki membutuhkan pendekatan yang berbeda didalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Tidore Kepulauan.

Berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah terkait dengan penyediaan ruang terbuka, salah satu potensi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pemanfaatan ruang pada wilayah ini adalah penyediaan ruang terbuka sebagai faktor utama yang mempengaruhi perkembangan permukiman dan kebutuhan prasarana/sarana perkotaan. Keberadaan ruang terbuka sebagai ruang publik merupakan bagian integral kegiatan pembangunan dan keberadaan suatu kawasan perkotaan (Darmawan, 2005). Dalam konteks penyediaan ruang terbuka, maka hampir semua kota- kota di Indonesia mengalami defisit karena jumlah besaran/luas ruang terbuka yang disediakan oleh Pemerintah Kota tidak mampu menampung kebutuhan beberapa aktivitas sosial yang semestinya merupakan hak dari warga kotanya. Salah satu fungsi utama ruang publik adalah sebagai tempat interaksi antar komunitas untuk berbagai tujuan, baik individu maupun kelompok. Dalam hal ini ruang publik merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dinamika

(3)

sosial. Berdasarkan Hakim, et al (2003), ruang publik juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta memberikan image dari suatu kota.

Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah dalam perkembangan aktivitas kawasan perkotaan adalah:

• Pengaruh perkembangan perkotaan yang cenderung mengabaikan penyediaan ruang terbuka.

• Kurangnya keterlibatan peran masyarakat dalam penyediaan ruang publik perkotaan.

Dalam penelitian peranserta masyarakat dalam perencanaan ruang terbuka non hijau di Kota Tidore Kepulauan akan merumuskan bentuk pengembangan kawasan ruang terbuka yang dirancang dengan melibatkan peran masyarakat dalam rencana desain penyediaan ruang publik perkotaan berupa kawasan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH).

Tujuan dan Sasaran

Penelitian ini bertujuan untuk peningkatan kualitas tata ruang dengan melaksanakan amanat Undang-Undang Penataan Ruang terkait dengan peran serta masyarakat dan Pemerintah Kota dalam merencanakan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH).

Sasaran yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk teridentifikasinya lokasi dan jenis kegiatan yang dibutuhkan untuk penyediaan ruang terbuka non hijau dan tersusunnya pedoman/ketentuan desain ruang terbuka non hijau. Selain itu, juga mendorong peranserta masyarakat dan Pemerintah Kota melalui penyelenggaraan rencana penyediaan ruang terbuka non hijau yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Dengan tercapainya hal tersebut, maka diharapkan dapat membangun kesadaran, peranserta aktif, serta prakarsa masyarakat dalam meningkatkan kualitas tata ruang kota.

TINJAUAN RUANG TERBUKA NON HIJAU

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang diketahui bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka dan tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang diketahui bahwa ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah/Kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat

(4)

secara umum. Yang termasuk ruang terbuka hijau publik, antara lain adalah taman kota, taman pemakaman umum, serta jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain adalah kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/

swasta yang ditanami tumbuhan.

Berdasarkan Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau, diketahui bahwa:

• Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

• Ruang terbuka hijau publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Kota/Kabupaten yang digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat secara umum.

• Ruang terbuka hijau privat adalah RTH milik institusi tertentu atau orang perseorangan yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

• Ruang terbuka non hijau adalah ruang terbuka di wilayah perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

Sebuah definisi yang dipublikasi secara luas terdapat pada buku The Dimension of Urban Design oleh Carmona, et all (2003) mendefinisikan open space sebagai hamparan lahan tidak terbangun atau secara minimum terbangun dengan beberapa jenis penggunaan (misalnya: lapangan golf, lahan pertanian, taman, permukiman kepadatan rendah) atau lahan yang dibiarkan tidak terbangun untuk tujuan estetika atau ekologis, kesehatan, kesejahteraan, atau keamanan (misalnya: jalur hijau, jalur banjir, lereng atau lahan basah).

Ruang terbuka dapat juga diklasifikasi berdasarkan kepemilikan, yaitu:

(1) ruang terbuka privat (lahan pada perumahan atau pertanian milik privat);

(2) ruang terbuka untuk kepentingan umum (lahan yang ditujukan atau direncanakan sebagai ruang terbuka dengan akses dan penggunaan secara umum oleh masyarakat); serta (3) ruang terbuka publik (lahan yang dimiliki secara publik untuk penggunaan rekreasi masyarakat baik aktif ataupun pasif).

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Keterlibatan Masyarakat dalam Pemilihan Lokasi Perencanaan

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat (community development) sangat bergantung pada peran Pemerintah dan masyarakat, dimana keduanya harus mampu menciptakan sinergi. Tanpa melibatkan masyarakat, Pemerintah tidak akan dapat mencapai hasil pembangunan

(5)

secara optimal. Pembangunan hanya akan melahirkan produk-produk baru yang kurang berarti bagi masyarakat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya, tanpa peran yang optimal dari Pemerintah, pembangunan akan berjalan secara tidak teratur dan tidak terarah yang akhirnya akan menimbulkan permasalahan baru. Selain memerlukan keterlibatan masyarakat, pembangunan juga membutuhkan strategi yang tepat agar dapat lebih efisien dari segi pembiayaan dan efektif dari segi hasil. Pemilihan strategi pembangunan ini penting karena akan menentukan dimana peran pemerintah dan dimana peran masyarakat, sehingga kedua pihak mampu berperan secara optimal dan sinergis.

Pembangunan melalui partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya untuk memberdayakan potensi masyarakat dalam merencanakan pembangunan yang berkaitan dengan potensi sumberdaya lokal berdasarkan kajian musyawarah, yaitu peningkatan aspirasi berupa keinginan dan kebutuhan nyata yang ada dalam masyarakat, peningkatan motivasi dan peranserta kelompok masyarakat dalam proses pembangunan, dan peningkatan rasa memiliki pada kelompok masyarakat terhadap program kegiatan yang telah disusun. Didalam perencanaan kebutuhan RTNH salah satu metode didalam memfasilitasi prakarsa masyarakat adalah dengan melakukan salah satu teknik perencanaan partisipatif, yaitu participatory research and development (PRD) yakni suatu upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menggali informasi dari masyarakat melalui forum focus group discussion (FGD). FGD adalah suatu metode kualitatif yang bertujuan untuk memperoleh informasi mendalam pada konsep, persepsi, dan gagasan pada suatu topik.

Rencana pengembangan lokasi RTNH diarahkan di pusat kota Tidore Kepulauan, yaitu Kecamatan Pulau Tidore dengan beberapa alternatif penentuan lokasi. Lokasi diarahkan di Kecamatan Pulau Tidore karena lokasi ini mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan jumlah penduduk yang terbanyak menempati pulau ini. serta merupakan Ibukota dari Kota Tidore Kepulauan. Dalam penentuan lokasi RTNH menggunakan beberapa kriteria yang diusulkan, yaitu:

1. Urgensi terhadap perubahan wajah kota, dengan kriteria:

• Kondisi saat ini sangat tidak teratur (semrawut).

• Kondisi saat ini berpotensi menjadi tidak teratur.

• Kondisi saat ini dalam kondisi teratur.

2. Kesesuaian dengan kebijakan pembangunan dan pengembangan kota, dengan kriteria:

• Pembangunan sangat mendukung visi dan misi kota.

• Pembangunan cukup mendukung visi dan misi kota.

• Pembangunan belum mendukung visi dan misi kota.

(6)

3. Kesesuaian dengan prioritas pembangunan wilayah, dengan kriteria:

• Lokasi menjadi prioritas pembangunan wilayah.

• Lokasi belum menjadi prioritas pembangunan wilayah.

4. Potensi kawasan dalam menumbuhkan perekonomian wilayah, dengan kriteria

• Lokasi perencanaan sangat berpotensi menumbuhkan perekonomian masyarakat.

• Lokasi perencanaan tidak berpotensi menumbuhkan perekonomian masyarakat.

Dalam pemilihan lokasi perencanaan tersebut terdapat 4 (empat) alternatif lokasi kawasan yang berpotensi untuk direncanakan. Lokasi dimaksud adalah:

1. Daerah reklamasi Pantai Tugulafa.

2. Ruang terbuka (open space) di sekitar Kantor Dinas Tata Ruang dan Kebersihan.

3. Hutan Mangrove di Pantai Tugulufa Soasio.

4. Pantai Rum Bali Bunga di Kecamatan Tidore Utara.

Tabel 1.

Visualisasi Kondisi Kawasan Alternatif Perencanaan

Alternatif Lokasi Visualisasi Lokasi Alternatif Perencanaan

Kawasan Pantai Tugulafa

Kawasan Open Space di sekitar Kantor Dinas Tata Ruang &

Kebersihan

Kawasan Hutan Mangrove di Pantai Tugulafa

(7)

Alternatif Lokasi Visualisasi Lokasi Alternatif Perencanaan

Kawasan Pantai Rum Bali Bunga

Sumber : Hasil Survey

Dari hasil FGD terpilih kawasan yang prioritas untuk direncanakan sebagai kawasan RTNH di Kota Tidore Kepulauan, yaitu kawasan hutan mangrove yang akan diintegrasikan dengan kawasan Pantai Tugulafa.

Hasil Keterlibatan Masyarakat dalam Mendesain Lokasi Pilihan

Didalam kegiatan FGD tersebut masyarakat melakukan proses merancang atau mendisain Lokasi RTNH. Masing-masing kelompok berdiskusi dan merancang RTNH di lokasi pengembangan RTNH yang sudah disepakati bersama.

Gambar 1.

Diskusi Kelompok yang Difasilitasi oleh Peneliti

Gambar 2.

Proses Desain Kelompok I

(8)

Gambar 3.

Proses Desain Kelompok II

Gambar 4.

Proses Desain Kelompok III

Setelah selesai mendesain/merancang, maka setiap kelompok mempresentasikan karyanya. Presentasi ini hanya untuk dipaparkan saja dan dilakukan diskusi, lalu menetapkan grand design yang nantinya akan dapat digunakan untuk merancang wilayah tersebut.

Dari hasil diskusi Kelompok I dapat disimpulkan bahwa kelompok I ingin mengidentifikasi penggunaan lahan yang ada di lokasi perencanaan.

Setelah itu, mereka merencanakan sisa kawasan hutan mangrove yang masih ada sebagai tempat wisata yang bernuansa alam bagi masyarakat Kota Tidore Kepulauan. Di lokasi bakau mereka menginginkan adanya jembatan dan jalan-jalan yang bisa digunakan untuk menyusuri kawasan tersebut, serta taman bermain anak-anak. Dengan demikian, anak-anak bisa

Hasil Disain Kelompok I

(9)

bermain sambil belajar apa manfaat hutan mangrove, sehingga mereka bisa turut menjaga kelestarian hutan bakau.

Gambar 5.

Hasil Desain Kelompok I

Hasil dari Kelompok II merekomendasikan desain kawasan hutan mangrove dapat digunakan sebagai mangrove beach resort, sehingga diharapkan dapat menambah penghasilan daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, dan juga dapat memberikan peluang kerja kepada masyarakat sekitar lokasi perencanaan. Dengan demikian, konsep yang ditawarkan adalah adanya cottage yang berupa tempat istirahat dan juga gazebo, jogging track, jalan-jalan dari material yang bersahabat dengan alam, sehingga tidak merusak fungsi dan manfaat kawasan hutan mangrove tersebut.

Hasil Desain Kelompok II

Gambar 6.

Hasil Desain Kelompok II

(10)

Kelompok III merekomendasikan beberapa hal penting di dalam pelestraian hutan mangrove, yaitu sebagai daerah tangkapan air serta melindungi wilayah sekitar dari abrasi dan angin. Disamping itu, juga merekomedasikan harus dibangun suatu garis batas yang jelas, sehingga tidak tercampur dengan kawasan terbangun agar lebih mudah dalam perencanaannya. Diharapkan juga ada suatu tambatan perahu dekat lokasi perencanaan serta tempat untuk memancing buat penduduk setempat.

Hasil Desain Kelompok III

Gambar 7.

Hasil Desain Kelompok III

Grand Design Pengembangan Kawasan Terbuka Non Hijau

Dari hasil sketsa desain masyarakat tersebut, setelah dilakukan proses analisis, mediasi, perancangan, dan pengukuran lahan, maka ada beberapa alternatif grand design sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat, yaitu sebagai berikut:

Kawasan hutan mangrove dijadikan sebagai sarana rekreasi berwawasan lingkungan (mangrove ecopark). Jalan-jalan setapak yang berbentuk jembatan-jembatan dirancang melintas di tengah hutan mangrove hingga ke hutan nipah. Kawasan dilengkapi dengan gazebo (sabua) di setiap titik yang telah ditentukan, dimana pengunjung yang akan melintas di kawasan mangrove ecopark ini dapat beristirahat sejenak di gazebo (sabua) yang telah tersedia.

RTNH Sebagai Sarana Rekreasi

(11)

Gambar 8.

Grand Design RTNH Sebagai Sarana Rekreasi

Dibangun plaza yang direncanakan sebagai area interaksi bagi masyarakat sekitar kawasan. Plaza ini dilengkapi dengan area tempat duduk serta arena bermain dan jogging track

RTNH Sebagai Sarana Interaktif Antar Komunitas

Gambar 9.

Grand Design RTNH Sebagai Sarana Interaksi Antar Komunitas

(12)

Posisi lokasi RTNH merupakan etalase bagi Kota Tidore Kepulauan, dimana wajah Kota Tidore Kepulauan dapat dilihat dari kondisi mangrove ini.

Oleh karena itu, penataan yang sekaligus mengkonservasi kawasan ini menjadi upaya yang cukup strategis.

RTNH Sebagai Pemberi Nilai Tambah Estetika Kota

Gambar 10.

Grand Design RTNH Sebagai Penambah Estetika Kota

Kawasan magrove ini, selain sebagai sarana rekreatif, juga sebagai sarana pendidikan, dimana masyarakat dapat mengenal jenis-jenis mangrove yang ada dan kawasan ini.

RTNH Sebagai Sarana Pendidikan

Gambar 11.

Grand Design RTNH Sebagai Sarana Pendidikan

(13)

KESIMPULAN

Kesimpulan dari FGD bersama masyarakat Kota Tidore Kepulauan menghasilkan adanya dukungan masyarakat untuk melestarikan hutan bakau (mangrove) yang ada di wilayah Pantai Tugulufa. Selain itu, mereka juga mengharapkan agar ide-ide dalam mengembangkan kawasan tersebut dapat ditampung dalam perencanaan khususnya dalam RTNH Kota Tidore Kepulauan. Mereka akan bahu membahu menjaga kelestarian bakau dan menginginkan agar hasil ataupun gagasan mereka dapat dituangkan dalam perencanaan dan pembangunan kawasan tersebut. Proses partisipasi masyarakat tersebut diharapkan dapat diterapkan juga untuk wilayah lain, sehingga masyarakat dapat turut berperanserta membangun dan merancang wilayahnya sendiri.

Pustaka Acuan

Budirahardjo, Eko. 1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Bandung: Penerbit Alumni.

Carmona, et al. 2003. Public Space Urban Space: The Dimension of Urban Design.

London: Architectural Press.

Darmawan, Edy. 2005. Analisa Ruang Publik: Arsitektur Kota. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen PU. 2009. Penyediaan

Pemanfaatan Ruang terbuka Non Hijau di wilayah kota/Kawasan Perkotaan.

Hakim, Rustam dan Hadi Utomo. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap: Prinsip Unsur dan Aplikasi Desain. Jakarta: Bumi Aksara.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman dan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.

Referensi

Dokumen terkait

b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa lembaga

The system consists of the member-level primary, secondary, and tertiary manufacturing processes databases, which are viable for various materials, production

Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang

Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam ritual setiap tarekat yang ada adalah bahwa hampir mayoritas ritual tarekat mencitrakan Tuhan dalam bentuk atau citra laki-laki dan

Dalam pembangunan jaringan jalan disuatu daerah harus melibatkan masyarakat yang ada di daerah tersebut karena motiasi dan partisipasi aktif masyarakat sangat membantu

Tingkat kepuasan pengguna jasa layanan dalam penelitian ini mencakup aspek kualitas informasi, kualitas sistem, kualitas pelayanan, kepuasan pengguna, dan loyalitas pengguna

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

dilihat dari data hasil matering selama 1 tahun di tahun 2015, dimana data yang dihasilkan dari data 1 bulan dari januari sampai desember 2015, untuk nilai temperatur