• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

223 IDEALISME KEDUDUKAN PANCASILA DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: ANTARA KELSEN DAN NAWIASKY PADA ILMU

PERUNDANG-UNDANGAN Ricca Anggraeni1 Email: cha2_khan@yahoo.com

Abstrak:

Pancasila have placing as a source from all of sources in legal former. The consequences from the placing is all of legal forming in all legal norm shall refer to Pancasila. Just only in the place of Pancasila, often stumbles with the norm that’s always abstract, thus legal former feel free to interpreting. In the interpretation, place of Pancasila as a source of all legal norm former which making legal norm that have a forming contain interests from the legal former, even the legal form tester-remebering Aptrialis Akbar case-. This is one of them is happen, because the Pancasila have a place as Staatsfundamentalnorm which close, its meaning id with unifying tool of the nation as a hegemoni, not as a grundnorm. As a Grundnorm, Pancasila will be placing as ideal norm which everyone agreed, regardless of important and other elements.

Kata Kunci: Pancasila, Perundang-undangan, Grundnorm, Staatsfundamentalnorm.

PENDAHULUAN

Berdasarkan data dari rekapitulasi perkara pengujian undang-undang di Mahkamah

Konstitusi, sampai pada tahun 2016, jumlah perkara yang diputus oleh Mahkamah

Konstitusi mengenai judicial review ialah sebanyak 861 (delapan enam puluh satu).2 Dari jumlah 861 (delapan ratus enam puluh satu) perkara, jenis Undang-Undang yang paling banyak diajukan permohonan pengujiannya ialah Undang-Undang di bidang politik, yaitu sebanyak 10 (sepuluh) permohonan. Jumlah terbanyak kedua ialah Undang-Undang di bidang anggaran, yaitu sebanyak 6 (enam) permohonan. Selanjutnya ialah Undang-Undang di bidang pendidikan berjumlah 2 (dua) permohonan. Kemudian, ada 1 (satu) permohonan terkait Undang-Undang di bidang ekonomi dan peradilan.3 Belum lagi jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam

1 Penulis ialah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, dan saat ini sedang menempuh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.

2 www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.rekapPUU, Laporan Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang, diakses pada tanggal 26 Februari 2016.

3 Rachmad Firman Maulana, dkk., Ed. Amalia Puri Handayani, (2013), Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Hlm. 23-25.

(2)

224 Negeri. Berdasarkan daftar perda yang dibatalkan Kementerian Dalam Negeri4 pada tahun 2016, jumlah yang dibatalkan menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia.

Jumlah judicial review atas Undang-Undang dan Perda yang semakin meningkat menimbulkan kekhawatiran dalam ranah Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara. Kekhawatiran itu dikarenakan Undang-Undang dan Perda merupakan aturan operasional untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa. Di dalam sistem hukum civil law, Undang-undang menjadi penentu dalam kehidupan bangsa Indonesia, sedangkan Perda dengan dianutnya asas otonomi daerah, pun menjadi penggerak roda kehidupan masyarakat di daerah. Dengan adanya judicial review, maka Undang-Undang dan Perda yang dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku akan berakibat secara hukum terhadap seluruh kehidupan berbangsa. Artinya, kemapanan untuk berkeadilan dan berkesejahteraan akan sulit dicapai, karena aturannya terlalu dinamis. Belum lagi jika menilik pada jumlah anggaran yang telah dikeluarkan untuk membentuk Undang- Undang dan Perda. Jumlah uang negara yang digelontorkan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan sangat besar, namun, hasil dari peraturan perundang- undangan yang dicapai tidak maksimal, karena belum lama berlaku sudah diajukan judicial review.

Peraturan perundang-undangan yang semakin menurun kualitasnya sangat dipertanyakan sebab musababnya. Salah satu diantara penyebab itu ialah sumber daya manusia yang menempati Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki kualitas untuk membentuk peraturan perundang-undangan. Meskipun pada perjalanannya, politik hukum peraturan perundang-undangan dan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur melalui Undang-Undang. Saat ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Namun, itu tidak banyak mengubah kualitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan.

4 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut Peraturan Daerah yang diberikan oleh Pasal 243. Putusan ini dikeluarkan setelah ada permohonan uji materi ke MK tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Putusan MK itu bernomor perkara 137/PUU-XIII/2015. Imanuel Nicolas Manafe, Presiden Hormati Putusan

MK Terkait Wewenang Mendagri Mencabut Perda,

https://www.google.co.id/nasional.kompas.com.read.2017/04/07, diakses pada tanggal 26 April 2017.

(3)

225 Apabila merujuk secara ideal dan linier, yang memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah lembaga pendidikan tinggi hukum. Di dalam pendidikan tinggi hukum, bahkan sejak tahun 1990-an telah mulai diperkenalkan mata kuliah ilmu pengetahuan perundang-undangan yang terdiri dari ilmu perundang-undangan dan teori perundang-undangan. Pada mata kuliah ini diajarkan proses, metode dan teknik pembentukan peraturan perundang-undangan. bahkan di teori perundang-undangan, diajarkan mengenai prinsip, asas atau doktrin dalam pembentukan peraturan perundang- undangan.

Namun sepertinya, mata kuliah tersebut belum berdaya dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Kekurangberdayaan itu mungkin dikarenakan adanya misleading dalam memahami teori norma hukum dalam konsep Hans Kelsen dan Hans Nawiasky di konteks Indonesia. Misleading pemahaman itu membawa konsekuensi pada pembentukan norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus berdasar dan bersumber pada Pancasila. Ketika membentuk norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan, pembentuknya hanya sekedar memahami bahwa harus bersumber pada Pancasila, tanpa memilah kedudukan Pancasila sebagai Grundnorm ataukah Staatsfundamentalnorm, ataukah berkedudukan sebagai keduanya. Padahal secara konsep antara Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm berbeda. Dikarenakan demikian, maka secara fungsi dan peran pun akan berbeda.

Berdasarkan uraian tersebut, menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah apakah di dalam pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-undangan, Grundnorm yang dikemukakan oleh Hans Kelsen memiliki konsep yang sama dengan Staatsfundamentalnorm yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky? Jika tidak, apakah kekeliruan dalam mendudukkan Pancasila antara konsep Hans Kelsen dengan Hans Nawiasky di dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia akan berpengaruh secara normatif dalam pembentukan peraturan perundang-undangan?

(4)

226 PEMBAHASAN

A. Antara Konsep Grundnorm yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan Staatsfundamentalnorm yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky dalam

pengajaran mata kuliah Ilmu Perundang-undangan

Ilmu Perundang-undangan ialah mata kuliah wajib pada program studi ilmu hukum sejak diperkenalkan pertama kali oleh Hamid S. Attamimi pada tahun 1975 dengan nama “Keterampilan Perundang-undangan”. Pada tahun 1982, mata kuliah itu mulai tumbuh dan dikembangkan dengan nama baru yaitu “Ilmu Perundang-undangan”.

Dalam menumbuhkembangkan Ilmu Perundang-undangan, Hamid S. Attamimi lebih condong untuk menggunakan wawasan dari Burkhard Krems yang membagi ilmu pengetahuan perundang-undangan (gesetzgebungswissenschaft) menjadi 2 (dua) yaitu ilmu perundang-undangan (gesetzgebungslehre) dan teori perundang-undangan (gesetzgebungstheorie).

Ilmu perundang-undangan merupakan suatu ilmu yang bersifat normatif dengan berorientasikan kepada melakukan perbuatan untuk melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya proses perancangan dan penyusunan peraturan perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan kemudian dibagi lagi menjadi 3 (tiga) disiplin yaitu proses, metode dan teknik. Sedangkan teori perundang- undangan ialah mata kuliah yang bersifat kognitif dengan berorientasi pada pemahaman untuk mencari kejelasan dan kejernihan makna.5

Secara sederhana, ilmu perundang-undangan sesungguhnya merupakan suatu ilmu yang ditujukan untuk memahami proses pembentukan peraturan perundang-undangan sekaligus hasil dari proses pembentukan peraturan itu. Artinya, ilmu perundang- undangan merupakan suatu mata kuliah yang komprehensif dalam memahami peraturan perundang-undangan, karena tidak hanya pada hasilnya tetapi dimulai dari proses pembentukannya.

Pada akhirnya di kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Ilmu perundang-undangan menjadi mata kuliah wajib sedangkan teori perundang-undangan merupakan mata kuliah pilihan. Itupun tidak semua Pendidikan Tinggi Hukum memiliki mata kuliah Ilmu Perundang-undangan dan Teori Perundang-undangan sebagai mata

5 Maria Farida Indrati S, (2007), Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, Hlm. xxi.

(5)

227 kuliah pilihan, seperti di Universitas Ngurah Rai6. Ada juga yang menempatkan Ilmu Perundang-undangan menjadi dua bagian, seperti di Universitas Indonesia.7

Berdasarkan itu, maka Ilmu perundang-undangan menjadi mata kuliah wajib fakultas dan diajarkan lebih dahulu dibandingkan dengan teori perundang-undangan, karena memang ilmu perundang-undangan merupakan ilmu yang berfokus pada pembentukan norma. Berbeda dengan teori perundang-undangan yang mempelajari asas, doktrin atau pandangan ahli hukum atau dapat juga disebut sebagai ajaran hukum umum yang digunakan dalam pembentukan norma. Namun, apapun itu, mata kuliah dalam cabang ilmu pengetahuan perundang-undangan ini harus dipahami secara komprehensif, mengingat Indonesia merupakan negara yang sangat dipengaruhi oleh aliran positivism hukum atau legisme yaitu suatu aliran yang memandang hukum hanya sebagai peraturan perundang-undangan atau yang hanya bertumpu pada hukum tertulis.8

Oleh karena itu, mata kuliah ilmu perundang-undangan sesungguhnya dapat menjadikan mahasiswa memiliki kemampuan untuk memahami norma hukum. Dengan kemampuan itu, mahasiswa dapat memahami pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik dan berkualitas sehingga pada ujungnya dapat menghasilkan peraturan yang baik dan berkualitas pula.

Sebagai mata kuliah yang berorientasi pada kemampuan mahasiswa untuk memahami norma hukum, di dalam Ilmu Perundang-undangan diajarkan mengenai teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu The Pure Theory of Law berusaha untuk mencapai hasilnya melalui analisis hukum positif, dan untuk itu didasarkan pada tatanan hukum positif atau pada perbandingan isi dari sejumlah tatanan hukum. Dalam hal ini, “ilmu hukum memiliki kemampuan untuk merekonstruksi berbagai norma hukum umum dan individual” menjadi sebuah tatanan hukum, sehingga hukum yang ada tersebut dapat dipahami sebagai keseluruhan.9 Sebagai sebuah keseluruhan, terdapat sistem di dalamnya, dan sebuah norma menjadi bagian sistem tertentu hanya berasal

6 Universitas Ngurah Rai, Jadwal Mata Kuliah di Semester Genap dan Ganjil di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai, http://www.fh.unr.ac.id/id/JADWAL-KULIAH-SEMESTER- GANJILTAHUN-AKADEMIK-2013-2014, diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

7 Bahan Kuliah, FHUI Guide, http://bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/bahankuliah/download/25, diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

8 Adjie Samekto, (2013), Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing, Hlm.

68-69.

9 Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, (2014), Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta: Genta Publishing, Hlm. 23-26.

(6)

228 dari fakta bahwa keabsahan norma bisa dirunut kembali sampai ke norma dasar yang menyusun sistem tersebut. Norma dasar itulah yang diistilahkan dengan Grundnorm oleh Hans Kelsen.

Membangun konsepnya tersebut, bahwa hukum merupakan suatu tatanan hukum, Kelsen kemudian menunjuk Stufentbaulehre milik Merkl. Berdasarkan itu, Kelsen menjelaskan bahwa berbagai norma yang ada direkonstruksi menjadi satu kesatuan sistem. Kesatuan sistem hukum itu terdiri dari beragam norma yang tersusun secara hierarki dari tingkatan yang tertinggi hingga terendah. Keabsahan norma yang tingkatannya lebih rendah didasarkan pada norma lain yang lebih tinggi, demikian seterusnya hingga berakhir pada norma yang tertinggi, yaitu norma dasar, Grundnorm.

Grundnorm inilah yang memberikan kesadaran, mengarahkan serta mengklarifikasi dan dimaksudkan sebagai sebuah keharusan konseptual dalam bentuk norma tertinggi yang diandaikan sebagai sah. Grundnorm lah yang dianggap sebagai pemberi otoritas yang mendasari keabsahan hukum positif. Di dalam Grundnorm pula tertambat makna ought, yang disalurkan melalui beragam norma hukum yang ada di dalam sistem tertentu, sehingga menjadi satu kesatuan sistem.10

Grundnorm merupakan realitas ideal yang diidentikkan dengan keadilan, dan untuk memenuhi keadilan itu, di dalam pembentukan norma hukum harus bias ideologi dengan efek yang sangat jelas dari segi politik. Oleh karena itu, Grundnorm tidak melayani kepentingan politik siapapun dengan memberikan alat-alat ideologis baik untuk melegitimasi maupun membatalkan kelompok sosial yang ada, karena semua ideologi pada dasarnya berdasarkan kehendak bukan kognisi.

Meskipun digadang-gadang bahwa teori yang disampaikan oleh Hans Kelsen ini dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky dengan theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung nya, namun ada hal essensial yang membedakan antara teori yang disampaikan oleh Kelsen dengan Nawiasky. Di dalam theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung yang disampaikan oleh Hans Nawiasky, norma hukum yang dibentuk, diposisikan sebagai tata susunan yang berhierarki di dalam suatu negara.

Norma hukum yang dibentuk itu berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm). Norma fundamental negara

10 Ibid., hlm. 64-65.

(7)

229 (Staatsfundamentalnorm) ini tidak dapat dianggap sama begitu saja dengan Grundnorm yang dimaksud oleh Hans Kelsen dalam teorinya. Hal itu dikarenakan, Kelsen sama sekali tidak mengkaitkan teorinya dengan negara, melainkan berbicara tentang norma secara umum. Staatsfundamentalnorm tidak dapat dipandang sebagai standar nilai bagi keabsahan norma secara obyektif, karena lebih berfungsi sebagai pemberi arah dan tujuan bagi tatanan norma hukum di bawahnya. Dengan demikian, Staatsfundaentalnorm lebih bermakna sebagai ideologi yang memberikan “kekuatan”

kepada norma-norma di bawahnya agar ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pasalnya demikian, karena Staatsfundamentalnorm merupakan kesepakatan yang membangun kepercayaan politik untuk menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, ditegaskan melalui bukunya Maria Farida Indrati bahwa Staatsfundamentalnorm bisa berubah dan tidak permanen yang disebabkan oleh kudeta, perang atau revolusi.11 Dengan demikian, Staatsfundamentalnorm lebih identik dengan ideologi suatu negara di bandingkan dengan realitas ideal yang diidentikkan dengan keadilan. Sebagai sebuah ideologi, maka dasarnya ialah kehendak bukan kognisi.

Sedangkan, Grundnorm dalam teorinya Kelsen, ialah bangunan sebagai basis untuk menjadikan hukum sebagai satu obyek kognisi ilmiah, sehingga diupayakan untuk tidak terkontaminasi oleh segala sesuatu yang bukan menjadi obyek kognisi ilmu hukum.12

B. Pengaruh Secara Normatif Kekeliruan Mendudukkan Pancasila Sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm Di Dalam Sistem Peraturan

Perundang-undangan Di Indonesia

Konsep yang tidak sama antara Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm terkadang tidak dipahami secara serius oleh peminat di Ilmu Perundang-undangan, sehingga kerap sekali menganggap Grundnorm dengan Staatsfundamentalnorm itu sama, yaitu istilah untuk norma dasar. Anggapan yang keliru ini, kelihatannya secara sepintas tidak memiliki dampak atau konsekuensi apapun di dalam sistem norma hukum atau tatanan norma hukum, tetapi ketika itu diletakkan dalam konteks negara, akan terlihat itu berdampak.

Di Indonesia, secara sembarangan selalu saja mendudukkan Pancasila sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm. Dua embanan itu seperti tidak bermasalah, tetapi apabila dianalisis secara doktrinal ditambah dengan data hasil realitas, akan

11 Maria Farida Indrati, Op.Cit., Hlm. 45-48.

12 Ibid., hlm. 38-39.

(8)

230 terlihat bahwa tatanan norma hukum di dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang sangat mengkhawatirkan sangat dimungkinkan karena mendudukkan Pancasila secara sembarangan sebagai dua embanan itu.

Pancasila sejak ditetapkan sebagai dasar dari Negara Republik Indonesia pada tanggal 01 Juni 1945 telah mengalami pasang surut penerapannya. Pada tahun 1966 melalui Lampiran I Penjelasan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Perundangan RI dan Skema Kekuasaan DiDalam Negara Republik Indonesia, menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Upaya itu dilanjutkan melalui Pasal 1 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan yang juga menyatakan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, lalu diteruskan oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang mencabut keberlakuan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, dan saat ini terus dipancangkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum oleh Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dengan demikian, Pancasila telah sedemikian rupa didudukkan dalam fungsinya yang multitafsir, entah sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm, atau keduanya.

Kedudukan Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan memiliki pengaruh terhadap pembentukan norma hukum di Indonesia, sekaligus mempengaruhi konsep tatanannya. Sebabnya ialah, ketika didudukkan sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm, maka akan ditemukan suatu legalisasi ketika memasukkan kepentingan secara politis atau anasir-anasir lain di dalam pembentukan hukum, sehingga tentang keadilan akan terkontaminasi begitu saja dengan soal-soal kepentingan yang bersumber pada ideologi.13 sumber hukum, Pancasila akan dianggap sebagai norma tertinggi atau dasar yang menjadi sumber keabsahan bagi norma-norma di bawahnya.

13 Ideologi sendiri secara konsep diartikan sebagai ide, gagasan yang diakui kebenarannya oleh suatu bangsa karena dianggap sebagai kepercayaan politik yang kokoh sebagai hasil kesepakatan bersama sebagai landasan dan arah dalam menentukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Soeprapto, (2013), Pancasila, Jakarta: Konstitusi Press, Hlm. 48.

(9)

231 Pemosisian Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan menimbulkan misleading seperti yang telah dikemukakan di awal dalam pembentukan norma hukum di Indonesia. Ketika Pancasila sebagai Grundnorm, Pancasila menjadi realitas ideal yang digunakan untuk mengungkap nilai yang sesuai dalam sebuah norma. Dengan kata lain, Pancasila merupakan hulu dari suatu norma sekaligus menjadi alat pertimbangan untuk menilai dalam menentukan sah atau tidaknya suatu norma. Sahnya suatu norma itulah yang disebut dengan adil. Oleh karenanya Pancasila sebagai Grundnorm menjadi penentu dalam menentukan adil atau tidaknya suatu norma.

Berbeda dengan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm. Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm ditempatkan sebagai norma tertinggi yang menjadi batu uji bagi seluruh tatanan norma hukum di Indonesia. Batu uji itulah yang dipercayai sebagai landasan dan arah dalam menentukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara oleh kesepakatan bersama. Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm menjadi pengikat hegemoni dari suatu bangsa untuk mematuhi penguasa dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang dibuat oleh penguasa.

Jadi, ketika Pancasila diposisikan sebagai Grundnorm, seharusnya secara ideal norma hukum yang ada di bawahnya merupakan norma hukum yang adil-bila itu sah, sehingga norma hukum menjadi sesuatu yang “seharusnya” yang diandaikan oleh seluruh bangsa Indonesia untuk mengatur suatu perilaku. Sedangkan, ketika Pancasila diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm, norma hukum yang dihasilkannya-karena bersumber padanya- berwarna kepentingan dari pemerintah atau rezim penguasa pada suatu negara, karena itu bisa menjadi alat bagi pemerintah atau penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Melalui itu pula, norma hukum dapat diciptakan untuk menghilangkan sebagian kelompok yang tidak inginkan oleh pemerintah atau penguasa.

Jadi, pemosisian Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm akan membentuk pola persaingan antara hukum dengan politik. Itu membawa hasil bahwa undang-undang yang terbentuk mengindikasikan diboncengnya kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terutama ialah pemilik modal atau kapitalis. Contohnya dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air dan Koperasi yang akhirnya dibatalkan melalui proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Serta, undang-undang yang tidak efektif dan berkualitas, sehingga harus berakhir di meja judicial review seperti yang

(10)

232 terjadi pada 861 (delapan ratus enam puluh satu) undang-undang, baik itu Undang- Undang di bidang politik, Undang-Undang di bidang anggaran, Undang-Undang di bidang pendidikan, dan Undang-Undang di bidang ekonomi serta peradilan.14 Ditambah dengan jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang pada tahun 2016, menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia.

Realitas tersebut menarik untuk mendeskripsikan bahwa misleading inilah yang membawa pengaruh dalam penderivasian nilai-nilainya di dalam norma hukum peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketika Pancasila diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm, Pancasila memberikan kepercayaan bagi seluruh bangsa, bahwa nilainya merupakan petunjuk arah dan tujuan bagi bangsa Indonesia. Namun, pengimplementasian ideologi itu sangat bergantung pada jiwa legislator yang mengalirkan melalui norma hukum undang-undang. Hal ini dikarenakan, ideologi dapat menjadi alat untuk melayani kepentingan yang dikehendaki atau bahkan yang tidak dikehendaki. Artinya, legislator dapat saja menggunakan Pancasila untuk melayani kepentingan-kepentingan segelintir pihak melalui norma hukum. Terlebih pada saat ini, Pancasila nilai-nilainya telah terdegradasi dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga sulit diterjemahkan dalam lingkungan strategis dan menghadapi masalah yang lebih konkrit. Pancasila dirasakan luntur sebagai identitas bangsa, bahkan tergerus oleh ideologi lain, seperti liberalism.

Apabila berkaca secara ideal pada pembentukan peraturan perundang-undangan, ketika Pancasila ditempatkan atau diposisikan sebagai Staatsfundamentalnorm konsekuensinya ialah bahwa produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan akan berisi kehendak, kepentingan yang dikehendaki oleh penguasa atau bahkan menegasikan kepentingan yang tidak dikehendaki oleh penguasa. Oleh karena itu, dapatlah ditunjuk bahwa undang-undang yang pada akhirnya berujung pada meja judicial review, karena kehendak dan kepentingan-kepentingan yang dibonceng begitu memihak, bahkan pada ideologi atau kepentingan kapitalis atau pemilik modal yang isi norma hukumnya bahkan menghilangkan atau melanggar kepentingan-kepentingan orang banyak seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi.

14 Rachmad Firman Maulana, dkk., Ed. Amalia Puri Handayani, (2013), Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Hlm. 23-25.

(11)

233 Secara kontras ingin dinyatakan bahwa ketika Pancasila diposisikan sebagai Grundnorm, maka Pancasila akan menjadi suatu realitas ideal yang berisi keadilan tanpa ada kesudian untuk melayani kepentingan siappun. Pancasila sebagai Grundnorm, artinya hanya berfungsi sebagai pemberi keabsahan –an sich- kepada norma-norma hukum yang berada di bawahnya. Isinya hanya sebagai pengandaian sesuatu itu “ada”

dan sesuatu yang “seharusnya”. Oleh karena itu, undang-undang yang dihasilkan pun akan lebih mendistribusikan keadilan, sehingga lah tidak perlu membaca norma hukum atau memahami norma hukum itu menggunakan anasir-anasir lain yang dikhawatirkan akan menghilangkan keidealannya itu. Grundnorm sekilas memang dipandang kaku, karena Grundnorm memang menginginkan penjabaran norma-norma hukum di bawahnya itu sah. Keabsahan suatu norma hukum itu ialah keadilan. Jadi, norma hukum tidak akan sah apabila materi muatannya tidak mengandung suatu keadilan, dan bila itu tidak sah, itu bukanlah hukum. Jadi, sangat tidak dimungkinkan untuk me-nir-kan persaingan antara politik dengan hukum apabila Pancasila tetap ditempatkan sebagai Grundnorm sekaligus Staatsfundamentalnorm.

Kesimpulan

Sebagai mata kuliah yang berorientasi pada kemampuan mahasiswa untuk memahami norma hukum, di dalam Ilmu Perundang-undangan diajarkan mengenai teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky. Teori norma hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu The Pure Theory of Law yang dikembangkan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky dengan theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung nya, memiliki hal essensial yang membedakan satu sama lain. Di dalam theorie vom stufenaufbau der rechtsordnung yang disampaikan oleh Hans Nawiasky, norma hukum yang dibentuk, diposisikan sebagai tata susunan yang berhierarki di dalam suatu negara yang berdasar dan bersumber pada norma hukum yang lebih tinggi begitu seterusnya sampai pada norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm).

Staatsfundamentalnorm ini tidak dapat dianggap sama begitu saja dengan Grundnorm yang dimaksud oleh Hans Kelsen dalam teorinya. Hal itu dikarenakan, Kelsen sama sekali tidak mengkaitkan teorinya dengan negara, melainkan berbicara tentang norma secara umum. Staatsfundaentalnorm lebih bermakna sebagai ideologi yang memberikan

(12)

234

“kekuatan” kepada norma-norma di bawahnya agar ditaati oleh masyarakat dalam kehidupan bernegara. Pasalnya demikian, karena Staatsfundamentalnorm merupakan kesepakatan yang membangun kepercayaan politik untuk menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pengaruh Secara Normatif Kekeliruan Mendudukkan Pancasila Sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm Di Dalam Sistem Peraturan Perundang- undangan Di Indonesia Itu membawa hasil bahwa undang-undang yang terbentuk mengindikasikan diboncengnya kepentingan-kepentingan golongan tertentu, terutama ialah pemilik modal atau kapitalis. Contohnya dalam Undang-Undang tentang Sumber Daya Air dan Koperasi yang akhirnya dibatalkan melalui proses judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Serta, undang-undang yang tidak efektif dan berkualitas, sehingga harus berakhir di meja judicial review seperti yang terjadi pada 861 (delapan ratus enam puluh satu) undang-undang, baik itu Undang-Undang di bidang politik, Undang-Undang di bidang anggaran, Undang-Undang di bidang pendidikan, dan Undang-Undang di bidang ekonomi serta peradilan. Ditambah dengan jumlah peraturan daerah (perda) yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri yang pada tahun 2016, menembus angka 1765 (seribu tujuh ratus enam puluh lima) dari 34 provinsi di Indonesia. Sebabnya ialah, ketika didudukkan sebagai Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm, maka akan ditemukan suatu legalisasi ketika memasukkan kepentingan secara politis atau anasir-anasir lain di dalam pembentukan hukum, sehingga tentang keadilan akan terkontaminasi begitu saja dengan soal-soal kepentingan yang bersumber pada ideologi. Pemosisian Pancasila sebagai Grundnorm sekaligus sebagai Staatsfundamentalnorm akan menimbulkan misleading. Ketika Pancasila sebagai Grundnorm, Pancasila menjadi realitas ideal yang digunakan untuk mengungkap nilai yang sesuai dalam sebuah norma. Berbeda dengan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm yang dapat berwarna kepentingan dari pemerintah atau rezim penguasa pada suatu negara, karena itu bisa menjadi alat bagi pemerintah atau penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.

(13)

235 Daftar Pustaka

Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono. (2014). Paradigma Rasional Dalam Ilmu Hukum: Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen Yogyakarta: Genta Publishing.

Indrati S, Maria Farida. (2007). Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.

Maulana, Rachmad Firman. dkk. Ed. Amalia Puri Handayani. (2013). Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.

Soeprapto. (2013). Pancasila. Jakarta: Konstitusi Press.

Samekto, Adjie. (2013). Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Bandar Lampung: Indepth Publishing.

Maulana, Firman Rachmad dkk., Ed. Amalia Puri Handayani. (2013). Fondasi Tahun Politik: Catatan Kinerja DPR 2012. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.

Website

Manafe, Imanuel Nicolas. Presiden Hormati Putusan MK Terkait Wewenang Mendagri

Mencabut Perda.

https://www.google.co.id/nasional.kompas.com.read.2017/04/07. diakses pada tanggal 26 April 2017.

www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.rekapPUU. Laporan Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang. diakses pada tanggal 26 Februari 2016.

Universitas Ngurah Rai. Jadwal Mata Kuliah di Semester Genap dan Ganjil di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai. http://www.fh.unr.ac.id/id/JADWAL- KULIAH-SEMESTER-GANJILTAHUN-AKADEMIK-2013-2014. diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

FHUI. Bahan Kuliah. FHUI Guide.

http://bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/bahankuliah/download/25. diakses pada tanggal 23 Januari 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Jika orang memanjakan syahwat dapat terjerumus pada glamourism dan hedonis, maka orang yang selalu mengikuti dorongan hawa nafsunya pasti akan terjerumus pada

[r]

R2 Berbunga penuh Bunga terbuka penuh pada satu atau dua buku paling atas pada batang utama dengan daun yang telah terbuka penuh.. R3 Mulai berpolong Polong telah

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa runtun waktu erupsi Gunung Merapi pada tahun 1780 hingga tahun 2000 memiliki karakteristik stokastik acak dengan cacah erupsi sebagai

Pasien mengatakan susah untuk tidur karena tidak mendengarkan radio, aktivitas yang sering dilakukan pasien menjelang tidur. Keluarga pasien

Hampir semua penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kualitas yang baik dengan level of evidence yang tinggi, oleh karena itu hasil penelitian

Pada siklus I, data hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas siswa yang tergolong baik adalah 23,81%. Dalam keadaan semacam ini tentu sulit bagi siswa untuk dapat

Sebagaiman penegasan Tuan, Siregar dalam Naing.N (2011) menunjukkan bahwa manusia merupakan gambaran kosmos, hal yang sama pada konsep Komunitas local (Kaili) dan