• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL PERKULIAHAN. Perpajakan. Pengantar Perpajakan. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 01

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODUL PERKULIAHAN. Perpajakan. Pengantar Perpajakan. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 01"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

Perpajakan

Pengantar Perpajakan

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Ekonomi dan Bisnis Manajemen

01

31052 Minarnita Yanti Verawati Bakara, SE, MSi, BKP.

Abstract Kompetensi

Pengantar perpajakan memberikan informasi berkaitan dengan pengertian pajak dan hukum pajak, fungsi pajak, asas dan dasar teori pemungutan pajak, serta sistem jenis dan tarif pajak.

Mampu menjelaskan tentang

Pengantar Perpajakan dan Memahami Pengertian dan Konsep serta Perhitungan Perpajakan Indonesia berupa Pengantar Perpajakan

(2)

Pembahasan

I. Pengertian dan Fungsi Pajak

I.1. Pengantar I.1.A. Definisi Pajak

Untuk dapat memahami mengapa pajak harus dibayar diperlukan pemahaman mendasar tentang pengertian pajak. Bentuk pemungutan pajak yang dahulu dikenal dengan upeti sudah lama ada. Dalam menjalankan pemerintahan suatu negara mendapatkan sumber pembiayaannya salah satunya adalah dari pajak.

Adapun definisi pajak menurut para ahli antara lain:

a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan (1990):

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum

Yang disempurnakan menjadi:

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak Rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment

b. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani, yang pernah menjabat sebagai Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam, Pemimpin International Bureau of Fiscal Documentation di Amsterdam:

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan

c. Menurut S. I. Djajadiningrat:

Pajak adalah Sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah, dapat dipaksakan tidak ada jasa timbal balik secara langsung memelihara kesejahteraan secara umum

(3)

d. Menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets:

Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah

e. Menurut Dr. N. J. Feldmann:

Pajak adalah Prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma–norma yang ditetapkannya secara umum) tanpa adanya kontraprestasi semata – mata digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum

Sedangkan menurut Pasal 1 UU KUP: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari berbagai definisi yang berb eda tersebut di atas yang diberikan oleh para pakar maupun menurut Undang-Undang KUP terkandung kesamaan ciri unsur pengertian pajak

1. Diatur Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan (dengan kekuatan) Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya

2. Kontribusi Wajib (membayar uang). Iuran dari rakyat kepada negara: iuran tersebut berupa uang (bukan barang). Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan.

3. Bersifat Memaksa. Sifatnya dapat dipaksakan, berarti pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya sanksi

4. Tidak ada balas jasa timbal (kontrapretasi) secara langsung dapat ditunjuk dari Negara. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual secara langsung oleh pemerintah.

5. Terutang oleh Orang atau Badan 6. Digunakan untuk Keperluan Negara

7. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah berupa pengeluaran belanja rutin pemerintah maupun pengeluaran pembangunan untuk membiayai rumah tangga negara yaitu pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai public investment

8. Untuk Kemakmuran Rakyat

9. Selain tujuan yang bersifat anggaran, pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter yaitu fungsi mengatur

(4)

I.1.B. Perkembangan Perpajakan di Indonesia

a. Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku sejak Poklamasi s.d. 1983 Pasal II (Aturan Peralihan) UUD. 1945 jo Undang-Undang No. 4 Tahun 1952 antara lain menyatakan bahwa sejak 1 Januari 1951, semua Undang-Undang, Undang-Undang Darurat dan Ordonasi tentang Pajak yang dikeluarkan sebelum pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia.

Pajak-pajak negara lainnya yang tidak disebutkan dalam Undang-undang No 4 Tahun 1952 diumumkan secara tersendiri seperti Pajak Perseroan 1925 (Lembaran Negara 1952 No.

83).

b. Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku sejak 1983

UU No. 6 Tahun 1983 terakhir diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

UU No. 7 Tahun 1983 terakhir diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

UU No. 8 Tahun 1983 terakhir diubah dengan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

UU No. 12 Tahun 1985 terakhir diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

UU No. 19 Tahun 1997 terakhir diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

UU No. 20 Tahun 2000 tentang perubahan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

I.2. Pungutan Lain

Terdapat beberapa jenis pungutan yang ada di Indonesia yaitu: Pajak, Retribusi, Sumbangan dan Penerimaan Negara bukan pajak. Adapun perbedaan pajak dengan jenis pungutan lain selain pajak tersebut adalah:

a. Retribusi

Berbeda dengan pajak, umumnya retribusi berhubungan langsung dengan kembalinya prestasi (memiliki kontra prestasi secara langsung) karena pembayarannya ditujukan hanya untuk mendapatkan suatu prestasi tertentu dari pemerintah, seperti iuran kebersihan, karcis masuk tol, karcis masuk terminal, kartu langganan, karcis parkir, iuran IMB, dan lain-lain.

(5)

Pengertian Retribusi di Indonesia memiliki dasar Hukum UU.No 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperbaharui dengan UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu dalam pasal 1 angka 26 UU tersebut menyatakan bahwa Retribusi daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Dalam retribusi unsur paksaan bersifat ekonomis sedangkan dalam pajak bersifat pidana.

b. Sumbangan

Sumbangan berbeda dari retribusi. Berbeda dengan Retribusi, sumbangan seperti halnya pajak maka pemberi sumbangan tidak memperoleh kontraprestasi secara langsung tetapi siapa pihak penerima sumbangan yaitu yang merasakan imbalan atau manfaat secara langsung akan dapat diketahui.

I.3. Fungsi Pajak

Adapun fungsi pajak bagi keberlangsungan pembangunan dalam suatu negara antara lain:

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Merupakan salah satu peran utama pajak dimana fungsi pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran belanja pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak merupakan sumber penerimaan APBN dari dalam negeri karena letak fungsi penerimaan ada di sektor public, sehingga pajak adalah merupakan suatu alat/ sumber untuk memasukkan uang sebanyak – banyaknya ke kas negara untuk membiayai pengeluaran Negara.

2. Fungsi Mengatur (Regulatoir)

Salah satu peran utama lainnya dari pajak, fungsi pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan-kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.

3. Fungsi Redistribusi

Dalam peran yang lebih luas, fungsi pajak adalah untuk tujuan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat, yang terlihat dari adanya lapiran tarif dalam pengenaan pajak yaitu dengan adanya tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat lapisan penghasilan yang lebih tinggi

4. Fungsi Demokrasi

Merupakan penjelmaan wujud sistem gotong royong termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan yang dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat khususnya pembayar pajak

(6)

5. Fiscal Policy

Fungsi ini merupakan fungsi tidak langsung dari pajak sehingga pajak dapat menyalurkan private saving ke arah sektor – sektor produktif dan mencegah pengeluaran–pengeluaran yang menghambat pembangunan atau yang mubazir dalam berbagai bentuk

II. Asas dan Dasar Pemungutan Pajak

II.1. Asas Pemungutan Pajak

Asas-asas pemungutan pajak diperlukan dalam pemilihan alternatif pemungutan agar tercapai tujuan pemungutan pajak dan agar terdapat keserasian antara pemungutan pajak dengan tujuan dan asasnya. Asas pemungutan pajak menurut Adam Smith dalam buku An Inquiri into the Natura and Causes of the Wealth of Nations melahirnya The Four Maxims yang menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas:

1. Equality

Pemungutan pajak harus bersifat Final, Adil dan Merata, dimana pengenaan pajak kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil maksudnya adalah bahwa tiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaatnya.

2. Certainty

Penetapan pajak tidak sewenang – wenang sehingga wajib pajak harus mengetahui dengan jelas dan pasti besar pajak terutang, kapan harus dibayar dan batas waktu pembayaran 3. Convenience

Asas ini menyatakan bahwa membayar pajak disesuaikan dengan saat – saat yang tidak menyulitkan wajib pajak yaitu saat wajib pajak memperoleh penghasilan (pay as you earn) 4. Economy

Biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban wajib pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin

Sehingga agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan dan perlawanan maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Pemungutan pajak harus adil dimana pengertian adil dalam perundang-undangan adalah pengenaan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing sedangkan adil dalam pelaksanaannya mengandung pengertian memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran dan pengajuan banding. (syarat keadilan)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)

3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian, kegiatan produksi dan perdagangan(syarat ekonomis)

(7)

4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)

5. Pemungutan pajak harus mempunyai sistem yang sederhana

Meskipun keadilan relatif namun asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan pajak dan pelaksanaannya harus dipegang teguh. Adapun jenis dari asas keadilan adalah sebagai berikut:

a. Benefit Principle & Ability Principle

Menurut Richard A. Musgrave dan Peggy B Musgrave dalam buku Public Finance in Theory and Practice dalam pemungutan pajak ada dua macam asas keadilan yaitu:

1. Benefit Principle: Tiap wajib pajak harus membayar sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah (pendekatan Revenue and Expenditure Approach)

2. Ability Principle: Pajak sebaiknya dibebankan kepada Wajib Pajak berdasarkan kemampuan membayar

b. Keadilan Horizontal dan Keadilan Vertikal

1. Keadilan Horizontal bila beban pajaknya sama untuk semua wajib pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan. Menurut Dr. Mansyury, agar pajak penghasilan sesuai dengan azaz keadilan maka diperlukan syarat keadilan horisontal yaitu:

a. Definisi Penghasilan: semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk dalam definisi penghasilan

b. Globality: seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran kemampuan membayar sehingga penghasilan dijumlahkan sebagai satu objek pajak

c. Net Income, Ability to pay: jumlah neto setelah dikurangi dengan semua biaya yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan

d. Personal exemption: pengurangan diberikan kepada wajib pajak orang pribadi berupa PTKP (penghasilan tidak kena pajak)

e. Equal treatment for the equals: pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama diartikan bahwa seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan

2. Keadilan Vertikal bila orang dalam keadaan ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama. Syarat keadilan vertikal menurut Dr. Mansyury agar pajak penghasilan sesuai dengan asas keadilan:

a. Unequal Treatment for the equals: besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh penghasilan tambahan kemampuan ekonomis (bukan perbedaan jenis atau sumber penghasilan)

b. Progression: wajib pajak yang penghasilannya besar harus membayar pajak yang besar dengan prosentase tarif besar

Asas pemungutan pajak lainnya adalah asas menurut falsafah hukum, asas yuridis dan asas ekonomis:

(8)

1. Asas menurut falsafah hukum: hukum pajak harus berdasarkan keadilan sehingga keadilanlah sebagai asas pemungutan pajak

2. Asas yuridis: agar adil, hukum pajak harus memberikan jaminan hukum bagi negara atau warganya sehingga pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang dimana di Indonesia landasan hukum pemungutan pajak adalah UUD 1945

3. Asas ekonomis: negara menghendaki kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat sehingga pemungutan pajak harus diusahakan tidak menghambat kelancaran ekonomi

II.2. Dasar Teori Pemungutan Pajak

Berikut adalah beberapa teori yang menjadi dasar bagi negara untuk mempunyai hak dalam memungut pajak. Teori tersebut menjelaskan dan memberikan justifikasi pemberan hak kepada negara untuk memungut pajak.

1. Teori Asuransi :

Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi. Premi Asuransi dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha melindungi orang dari segala kepentingan misalnya keselamatan atau keamanan harta bendanya. Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak rakyatnya sehingga masyarakat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai premi asuransi kepada Negara karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

Teori ini menyamakan pembayaran premi dengan pembayaran pajak. Dalam kenyataanya menyamakan pajak dengan premi tidaklah tepat sebab jika masyarakat mengalami kerugian maka negara tidak dapat memberikan penggantian layaknya perusahaan asuransi.

2. Teori Kepentingan :

Negara yang melindungi kepentingan harta dan jiwa warganegara dengan memperhatikan pembagian beban yang dipungut dari masyarakat dimana pembebanan didasarkan pada kepentingan masing-masing. Pengeluaran negara untuk melindungi dibebankan pada rakyat melalui pajak. Warganegara yang memiliki harta lebih banyak, bayar pajak lebih besar; yang miskin bayar pajak lebih kecil untuk melindungi kepentingan sehingga pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan kepada kepentingan masing-masing.

3. Teori Daya Pikul :

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa yang diberikan negara pada rakyat berupa perlindungan jiwa dan harta benda sehingga untuk kepentingan perlindungan, rakyat membayar pajak menurut gaya pikulnya dengan ukuran besar penghasilan dan pengeluaran seseorang. Kekuatan gaya pikul untuk membayar pajak baru terpenuhi setelah kebutuhan primernya terpenuhi sehingga bagi yang berpenghasilan dibawah PTKP berarti gaya pikulnya tidak ada sehingga tidak wajib membayar pajak. Berpangkal pada asas keadilan, bahwa setiap orang dikenakan pajak dengan bobot yang sama. Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya sehingga pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing- masing yang diukur menggunakan pendekatan:

a. Unsur objektif: melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki seseorang

(9)

b. Unsur subjektif: memperhatikan besarnya kebutuhan materil yang harus dipenuhi

4. Teori Bakti :

Merupakan teori kewajiban pajak mutlak dimana negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak. Dilain pihak masyarakat menyadari bahwa bayar pajak sebagai suatu kewajiban, tanda baktinya kepada Negara karena negara yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakat sehingga dasar hukum pajak terletak pada hubungan masyarakat dengan negara.

5. Teori Daya Beli :

Dalam teori ini pajak lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur agar masyarakat tetap eksis dan penyelenggaraan kepentingan masyarakat yang dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau Negara karena pembayaran pajak dimaksudkanuntuk memelihara masyarakatnya. Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak sehingga memungut pajak berarti menarik daya beli dari masyarakat untuk negara yang kemudian disalurkan kembali ke masyarakan oleh negara dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan rakyat.

III. Tinjauan Aspek Hukum

III.1. Kedudukan Hukum Pajak

Berdasarkan Pasal 23A ayat (2) Amandemen UUD 1945 yang berbunyi “Segala pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur berdasarkan undang- Undang” maka Pengenaan dan Pemungutan Pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang – undang dan segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat harus ditetapkan dengan UU melalui persetujuan DPR.

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya sedangkan hukum perdata mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya seperti terlihat dari definisi hukum pajak yaitu:

Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat luas melalui Kas Negara, sehingga hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan wajib pajak. Oleh karena itu hukum pajak merupakan bagian dari Hukum Publik yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (Wajib Pajak).

Menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H. hukum pajak yang disebut juga hukum fiskal, adalah keseluruhan dan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah, untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui Kas Negara, sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur

(10)

hubungan-hubungan hukum antar negara dan orang-orang atau badan-badan (Hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak).

Hukum Pajak merupakan suatu bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang didalamnya termuat juga anasir-anasir Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan lain- lain.

III.1.1. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum lainnya

A. HUBUNGAN SERTA PENGARUH HUKUM PAJAK TERHADAP HUKUM PERDATA a. Hukum Pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak atas dasar peristiwa

(kematian, kelahiran), keadaan (kekayaan), perbuatan (jual beli, sewa menyewa) yang diatur dalam Hukum Perdata karenanya hukum pajak Memuat Unsur Hukum Perdata seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak, dll.

b. Ketentuan dalam Hukum Pajak mengenyampingkan ketentuan dalam Hukum Perdata (Lex specialis derogat lex generale)

B. HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA

a. Terdapat sanksi pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam UU Pajak

b. Hukum pajak memuat unsur-unsur hukum tata negara dan hukum pidana

c. Hukum pajak memuat unsur Hukum Pidana dan Peradilan seperti yang termuat dalam UU.No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

III.1.2. Tugas Hukum Pajak

a. Menelaah keadaan – keadaan dalam masyarakat (dihubungkan dengan pengenaan pajak)

b. Merumuskan dalam peraturan – peraturan hukum

c. Menafsirkan peraturan – peraturan hukum dengan mempertimbangkan latar belakang ekonomis dari keadaan – keadaan dalam masyarakat

(11)

III.2. Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formil

Ada 2 macam hukum pajak, yaitu:

1. Hukum Pajak Materiil adalah Hukum Pajak yang memuat norma norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, berapa besarnya pajak atau dapat dikatakan pula segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Yang termasuk hukum pajak materiil adalah: UU Pajak Penghasilan dan UU Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan atas Barang Mewah

2. Hukum Pajak Formal adalah Hukum Pajak yang memuat peraturan peraturan (umum) mengenai bentuk atau tata cara mewujudkan agar Hukum Pajak Material menjadi kenyataan / dapat dilaksanakan, antara lain:

1. Tata cara penetapan utang pajak

2. Hak – hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak tentang keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.

3. Kewajiban Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan / pencatatan 4. Hak Wajib Pajak mengajukan keberatan dan banding

Hukum pajak formal ini memuat cara-cara pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, cara- cara pembukuan, cara-cara pemeriksaan, cara-cara penagihan, hak dan kewajiban Wajib Pajak, cara-cara penyidikan, macam-macam sanksi, dan lain-lain.

Yang termasuk hukum pajak formal adalah: UU. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), UU. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) dan UU.

Pengadilan Pajak

(12)

Yang termasuk gabungan Hukum Formal dan Hukum Material adalah: UU. Pajak Bumi dan Bangunan, UU. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dan UU. Bea Materai

III.3. Penafsiran Dalam Hukum Pajak

Penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, menegaskan baik dalam arti memperluas ataupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi. Analogi tidak dipergunakan dalam penafsiran Undang-undang pajak.

Diperlukan cara atau upaya penafsiran (interpretasi) untuk memahami peraturan yang tidak dapat dimengerti secara jelas atau kurang jelas. Hakim adalah pihak yang berwenang memutuskan penafsiran suatu peraturan bila suatu peraturan menimbulkan berbagai penafsiran bagi pembacanya misalnya bila terjadi sengketa yang diajukan ke pengadilan namun keputusan hakim hanya bagi pihak yang bersengketa saja bukan untuk umum.

Penafsiran dalam hukum perdata juga dapat digunakan dalam hukum publik termasuk hukum pajak, diantaranya:

1. Penafsiran Historis: Penafsiran UU dengan melihat sejarah dibuatnya UU tersebut yang dapat diketahui dari dokumen pada waktu proses dibuatnya undang-undang tersebut. Dengan penafsiran historis dapat diketahui maksud penyusun suatu undang-undang

2. Penafsiran Sosiologis: Penafsiran atas ketentuan UU yang disesuaikan dengan kehidupan masyarakat yang selalu berkembang sehingga perlu penyesuaian antara undang-undang dengan perkembangan kehidupan masyarakat

3. Penafsiran Sistematik: Penafsiran ketentuan dengan mengaitkannya dengan ketentuan (pasal-pasal) lain dalam UU tersebut atau dari UU lainnya sehingga ketentuan yang tidak jelas dapat diketahui dengan melihat atau mengkaitkannya dengan pasal lainnya.

4. Penafsiran Otentik: Penafsiran ketentuan dalam UU dengan melihat yang telah dijelaskan dalam UU tersebut seperti misalnya dalam pasal mengenai ketentuan umum terdapat terminologi untuk menjelaskan hal-hal yang dianggap perlu.

5. Penafsiran Tata Bahasa: Penafsiran ketentuan dalam UU berdasarkan bunyi kata- kata secara keseluruhan dalam kalimat-kalimat yang disusun sehingga bila kata-kata dalam kalimat suatu pasal sudah jelas maksudnya maka tidak boleh digunakan cara penafsiran lainnya.

6. Penafsiran Analogis: Penafsiran ketentuan dengan cara memberi kiasan pada kata- kata yang tercantum dalam UU sehingga suatu peristiwa yang sesungguhnya tidak termasuk dalam ketentuan menjadi termasuk berdasarkan analog yang dibuat.

Penafsiran ini tidak diperbolehkan dalam hukum pajak karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

7. Penafsiran A Contrario: Penafsiran ketentuan UU didasarkan pada perlawanan pengertian antara masalah dan dihadapi dengan masalah yang diatur dalam UU.

Penafsiran ini juga tidak diperbolehkan dalam hukum pajak karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

(13)

Menafsirkan undang-undang termasuk peraturan perpajakan bukanlah hal yang sederhana sehingga sering terjadi perbedaan interpretasi peraturan antara wajib pajak dengan petugas pajak yang dapat menghambat proses restitusi dan berpotensi merugikan wajib pajak maupun negara. Karena kompleksitas peraturan pajak dari segi kalkulasi dan ketepatan interpretasi atas pasal dan ayat peraturan maka sering timbul banyak argumen yang berbeda.

Dikenal dua metode interpretasi dalam dunia hukum yang keduanya harus seimbang, yaitu metode yang bertumpu pada teks peraturan atau legalitas hukum (rechtmatigheid) dan metode interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid).

III.4. Perlawanan Terhadap Pajak

Perlawanan masyarakat terhadap pungutan pajak sering terjadi karena keengganan masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan dan karena pajak bersifat memaksa.

Perlawanan tersebut dapat berupa:

a. perlawanan pasif yaitu hambatan yang mempersulit pemungutan pajak yang berhubungan erat dengan struktur ekonomi suatu Negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan teknik pemungutan pajak itu sendiri.

b. perlawanan aktif yang secara nyata terlihat pada usaha dan perbuatan secara langsung kepada Pemerintah (fiskus). Cara – cara perlawanan aktif adalah:

penghindaran diri dari pajak (tax avoidance) meski masih dalam kerangka peraturan perpajakan, pengelakan diri dari pajak (tax evasion) dengan cara yang melanggar undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak atau mengurangi pajak, dan melalaikan pajak dengan menolak membayar pajak dan menolak memenuhi formalitas yang harus dipenuhi.

IV. Sistem, Jenis dan Tarif Pajak

IV.1. Pembagian Jenis Pajak

Pajak yang diberlakukan di Indonesia diklasifikasikan menjadi:

1. Menurut Sifatnya

a. Pajak Langsung: pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung yang dipikul sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan, misal: pajak penghasilan. Dan bila ditinjau dari segi Administratif, berkohir dan dikenakan secara berulang-ulang pada waktu tertentu (periodik) misalnya setiap tahun, sedangkan dari segi ekonomis, pajak harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain

b. Pajak Tidak Langsung: pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain, misal: Pajak Pertambahan Nilai. Dan bila ditinjau dari segi Administratif, tidak berkohir dan tidak dikenakan secara periodik (berulang-ulang), tetapi dikenakan hanya bila terjadi hal-hal, atau peristiwa-peristiwa yang dikenakan pajak, sedangkan dari segi ekonomis pajak dapat dilimpahkan kepada orang lain

(14)

2. Menurut Sasaran/Obyeknya

a. Pajak Subyektif: pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak sebagai subjek pajak baru kemudian dicari syarat objektifnya; untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang obyektif yang berhubungan dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya pikulnya.

Contoh: PPh.

b. Pajak Obyektif: pajak yang pertama-tama melihat obyeknya yang selain dari pada benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, kemudian dicari subyeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subyek ini berkediaman di Indonesia atau tidak. Contoh: PPN & PPnBM.

3. Menurut Pemungutnya

a. Pajak Negara / Pajak Pusat: pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, contoh:

PPh, PPN & PPn BM, Bea Meterai

b. Pajak Daerah / Pajak Lokal: pajak yang dipungut oleh daerah Tingkat I, daerah Tingkat II (Kodya, Kabupaten), contoh: Pajak Reklame, Pajak Hotel dan Restoran, PBB, BPHTB.

IV.2. Cara Pemungutan Pajak 1. STELSEL PAJAK

Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 stelsel:

a. STELSEL NYATA (RIIL STELSEL): pengenaan pajak berdasarkan obyek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutan baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui. Merupakan sistem pengenaan pajak, yang didasarkan pada penghasilan yang sesungguhnya diperoleh dalam suatu tahun pajak. Kelebihan: pajak yang dikenakan lebih realistis.

Kelemahan: pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode setelah penghasilan riil diketahui.

b. STELSEL FIKTIF (FICTIVE STELSEL): pengenaan pajak berdasarkan suatu anggapan yang diatur Undang-undang, misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan:

pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu akhir tahun.

Kelemahan: pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.

Merupakan suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan pada suatu fiktif / anggapan. Bunyi suatu fiksi tergantung dari ketentuan undang-undang perpajakan yang bersangkutan.

c. STELSEL CAMPURAN: Kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan.

Merupakan suatu sistem pengenaan pajak yang didasarkan baik pada stelsel riil maupun stelsel fiktif. Pada awal tahun pajak menganut stelsel fiktif dan setelah akhir tahun pajak menganut stetsel riil. Pada awal tahun besarnya pajak dihitung

(15)

berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Jika pada akhir tahun besarnya pajak menurut kenyataan melebihi menurut anggapan maka wajib pajak harus menambah kekurangan, jika sebaliknya maka kelebihan pembayaran dapat direstitusi.

2. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:

a. OFFICIAL ASSESSMENT SYSTEM: sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus /aparatur pajak untuk menentukan besarnya jumlah pajak terutang dari wajib pajak. Cirinya: WP bersifat pasif, Utang pajak timbul setelah diterbitkan surat ketetapan pajak oleh fiskus, wewenang menentukan besar pajak terutang berada pada fiskus.

b. SELF ASSESSMENT SYSTEM: sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetapkan sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Dalam sistem ini wajib pajak diberi wewenang, Kepercayaan dan Tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar (4M). Cirinya:

wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri, wajib pajak aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dan fiskus tidak ikut campur tetapi hanya mengawasi.

c. WITHHOLDING SYSTEM: suatu sistem pemungutan pajak, dimana perhitungan pemotongan atau pemungutan dan pembayaran pajak yang terutang serta pelaporan pajak wewenangnya dipercayakan kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak) oleh Negara. Cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga selain fiskus dan wajib pajak.

PERPAJAKAN DI INDONESIA

(16)

IV.3. Yurisdiksi Pemungutan Pajak

Dalam memungut pajak, negara mempunyai batas kewenangan didasarkan atas tempat tinggal, kewarganegaraan atau sumber penghasilan sehingga pemungutan pajak tidak berulang-ulang dan memberatkan wajib pajak. Adapun 3 dasar yurisdiksi pemungutan pajak, yaitu:

1. Azas Tempat Tinggal (Domisili): Negara berhak memungut pajak atas semua penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal wajib pajak tanpa memperhatikan apakah ia sebagai warga negaranya atau warga negara asing. Wajib pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilannya yang diterima atau diperoleh berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 UU Pajak Penghasilan)

2. Azas Kebangsaan: Pengenaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Negara memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan dimana ia tinggal

3. Azas Sumber: Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu negara. Orang atau badan yang menerima / memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

IV.4. Tarif Pajak

Dalam penetapan tarif harus berdasarkan prinsip keadilan. Dalam perhitungan pajak terutang digunakan tarif pajak yaitu tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar).

a. Prosentase tarif pajak

Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam prosentase. Persentase Tarif dalam Pajak Penghasilan dibedakan atas:

(17)

1. TARIF MARGINAL: Persentase tarif berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak, contoh: tarif progresif dalam tarif PPh

2. TARIF EFEKTIF: Persentase tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu, contoh: DPP

b. Struktur tarif pajak

Ada 4 macam struktur taif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak, yaitu:

1. Tarif Proporsional/sebanding: tarif berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh: tarif 10%

untuk PPN, 0.5% untuk PBB dan 2.5% untuk BPHTB. Sering disebut tarif tunggal karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap.

2. Tarif Progresif: Prosentasenya menjadi lebih besar bila yang menjadi dasar pengenaan semakin besar. Contoh: tarif PPh untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki beberapa lapisan tarif. Memperhatikan kenaikan perentasi trarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:

- Progresif Progresif (kenaikan prosentase pajak semakin besar) - Progresif Tetap (kenaikan prosentase tetap)

- Progresif Degresif (kenaikan prosentase semakin kecil)

3. Tarif Degresif: Prosentasi tarif semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin besar

4. Tarif Tetap: Tarif berupa jumlah yang tetap sama besarnya terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh : Bea Materai menggunakan struktur tarif Rp. 3000 & Rp. 6000

5. Tarif Pajak Advalorem: Tarif dengan persentase tertentu atas harga barang atau nilai barang. Contoh : Tarif Bea Masuk 10% dari Nilai impor

6. Tarif Spesifik: Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis atau satuan jenis barang tertentu. Contoh: Tarif Bea Masuk yang jumlahnya tergantung atas jenis barang yang diimpor

IV.5. Utang Pajak

Ada 2 ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak, yaitu:

1. SECARA AJARAN FORMAL, merupakan ajaran yang diterapkan pada official assessment system dimana utang pajak timbul karena Surat Ketetapan Pajak

2. SECARA AJARAN MATERIAL, merupakan ajaran yang diterapkan pada self assessment system diman utang pajak timbul karena Undang – Undang

Beberapa hal yang menyebabkan hapusnya Utang Pajak:

1. PEMBAYARAN: Utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus karena pelunasan pembayaran ke kas negara

2. KOMPENSASI: terjadi bila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pemayaran pajak. Kelebihan pembayaran harus dikompensasikan dengan pembayaran pajak lainnya yang terutang

(18)

3. DALUWARSA: diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan penagihan pajak daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh bila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa

4. PEMBEBASAN: Keputusan keberatan / peninjauan kembali yang meniadakan atau membebaskan utang pajak

5. PENGHAPUSAN : sama seperti pembebasan tetapi diberikan karena keadaan keuangan WP

(19)

Daftar Pustaka

A. Teguh Hadi Wardoyo, Amin Subiyakto, Sapto W, Pajak Terapan Brevet A&B, Tangerang, Taxsys

B. Waluyo, Wirawan, Perpajakan Indonesia, Cetakan Terbaru, Jakarta, Salemba Empat C. UU No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berikut Peraturan Pelaksananya

D. UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

E. UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, berikut Peraturan Pelaksananya F. Mardiasmo, Perpajakan, Penerbit Andi

Referensi

Dokumen terkait

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang.. pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

Kita semakin menyadari sekarang jika berpikir positif dan berhenti mengkhawatirkan segala sesuatu adalah sesuatu yang penting kita lakukan dalam meraih suatu kerberhasilan,

Dilihat dari aspek kesehatannya, masyarakat yang menjadi sasaran dalam kesehatan mental ini dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan sebagai berikut; (a)

“Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yg bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang dengan tidak mendapatkan

Perilalu akan lebih bersifat individual ketimbang kolompok karena rendahnya kepaduan di lain pihak, Di lain pihak, mungkin terjadi kepaduan yang rendah dari suatu kelompok di

Menurut Selye (dikutip Taylor, Peplau, & Sears, 2010), stress adalah respons tubuh yang bersifat non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Stress sebagai reaksi normal