• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN TINGKAT KOGNITIF PEMAIN FUTSAL DI SMA HARAPAN 1 MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN TINGKAT KOGNITIF PEMAIN FUTSAL DI SMA HARAPAN 1 MEDAN SKRIPSI"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN TINGKAT KOGNITIF PEMAIN FUTSAL DI SMA HARAPAN 1 MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

MUHAMMAD REZA HASAN 150100137

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

GAMBARAN TINGKAT KOGNITIF PEMAIN FUTSAL DI SMA HARAPAN 1 MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

MUHAMMAD REZA HASAN 150100137

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

KATA PENGANTAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1. Bidang Penelitian ... 4

1.4.2. Bidang Kesehatan Klinis ... 4

1.4.3. Kepada Masyarakat ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi ... 5

2.2. Epidemiologi ... 5

2.3. Etiologi ... 5

2.4. Klasifikasi ... 5

2.5. Patofisiologi ... 6

2.5.1. Ionic flux dan glutamate release ... 6

2.5.2. Krisis Energi ... 7

2.5.3. Cytoskeletal Damage... 8

2.5.4. Axonal Dysfunction ... 8

2.5.5. Gangguan Neurotransmiter ... 9

2.5.6. Inflamasi ... 10

2.5.7. Kematian Sel ... 10

2.6. Gejala ... 11

2.6.1. Fisik ... 11

2.6.1.1. Sakit Kepala ... 11

2.6.1.2. Nyeri Leher ... 11

2.6.1.3. Pusing dan Gangguan Keseimbangan ... 12

2.6.1.4. Penglihatan Kabur... 12

(5)

2.6.1.5. Gangguan Tidur ... 12

2.6.2. Kognitif ... 13

2.6.2.1. Gangguan Memori ... 13

2.6.2.2. Kelelahan ... 13

2.6.3. Depresi dan Cemas ... 13

2.7. Diagnosis ... 14

2.7.1. Test Imaging ... 14

2.7.2. Tes Keseimbangan ... 14

2.7.3. Tes Neuropsikologis ... 14

2.7.4. Tes Neurokognitif menggunakan addenbrooke ... 14

2.7.5. Auditory Reaction Time dan Visual Raction Time ... 15

2.8. Diagnosis Banding ... 15

2.9. Penatalaksanaan ... 16

2.9.1. Penatalaksanaan Farmakologi ... 16

2.9.2. Penatalaksanaan Non-Farmakologi ... 16

2.10. Komplikasi ... 16

2.11. Prognosis ... 17

2.12. Kerangka Teori... 18

2.13. Kerangka Konsep ... 19

2.14. Hipotesis ... 19

2.14.1 Mayor ... 19

2.14.2 Minor ... 19

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 20

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian ... 20

3.3.1. Populasi ... 20

3.3.1.1. Populasi Umum... 20

3.3.1.2. Populasi Terjangkau ... 20

3.3.2. Subjek ... 20

3.4. Cara Kerja ... 21

3.5. Definisi Operasional ... 23

3.6. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian ... 25

4.1.1 Karakteristik Responden ... 25

4.1.2 Kejadian Concussion ... 26

4.1.3 Perbedaan kognitif antara kelompok futsal dengan non-futsal ... 26

4.1.3.1 Uji Normalitas Parameter Fungsi Kognitif ... 27

4.2. Pembahasan ... 30

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 32 5.2. Saran ... 32 DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN

(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Waktu Neurometabolik Concussion ... 7

Gambar 2.2 Diagram Proses terjadinya Biological Seluler Akut Setelah Concussion ... 9

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian ... 18

Gambar 2.4 Kerangka Konsep ... 19

Gambar 4.1 Responden Pada Penelitian Ini ... 25

Gambar 4.2 Distribusi Nilai VRT (A), ART (B), Skor Addenbrooke (C) Dan Nilai Raport (D) Pada Kelompok Futsal dan Non-Futsal ... 28

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala ... 6

Tabel 2.2 Tingkat Keparahan Concussion Menurut 3 Studi ... 6

Tabel 2.3 Terapi Farmakologi... 15

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 23

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 26

Tabel 4.2 Uji Normalitas Parameter Fungsi Kognitif ... 27

Tabel 4.2.1 Perbedaan Kognitif Antara Kelompok Futsal dan Non-Futsal ... 29

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Biodata Penulis Lampiran B. Surat Pernyataan Lampiran C. Informed Consent

Lampiran D. Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran E. Kuesioner Concussion

Lampiran F. Tes Uji Addenbrooke

Lampiran G. Surat Izin Survey Awal Penelitian Lampiran H. Ethical Clearance Penelitian Lampiran I. Surat Izin Penelitian

Lampiran J. Surat Selesai Penelitian Lampiran K . Data Induk Penelitian

Lampiran L. Tabel Perhitungan Aplikasi SPSS

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AChEI : Acetylcholinesterase inhibitor

ADP : Adenosin Diphosphate

ANAM : The Automated Neurophysiological Assessment Metrics ART : Auditory Reaction Test

ATP : Adenosin Triphosphate

BEES : Balance Error Scoring System

BPPV : Benign Paroxymal Positional Vertigo

cAMP : Cyclic Adenosin Monophosphate

CNS : Central Nervous System

CTE : Chronic Traumatic Encephalopathy

CT-Scan : Computed Tomography-Scan

GABA : Asam-aminobutyric

GAD67 : Monoclonal Anti-Glutamic Acid Decarboxylase 67

GCS : Glasgow Coma Scale

imPACT : Immediate Post-Concussion Assessment and Cognitive Testing

IMT : Indeks Masa Tubuh

LOC : Lost of Consciousness

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NMDA : N-metil-D-aspartat

PCSS : Post Concussion Symptom Scale

PTA : Post Traumatic Amnesia

R : Reseptor

SMA : Siswa Menengah Atas

VRT : Visual Reaction Test

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang: Sepak bola merupakan salah satu olahraga yang paling populer saat ini. Saat bermain sepak bola, terdapat peningkatan risiko terjadinya concussion. Concussion berulang sendiri rawan menyebabkan gangguan suasana perasaan, kognitif, dan dementia. Siswa sekolah menengah atas merupakan populasi yang masih sangat memerlukan fungsi kognitif, mengingat fungsi terpenting yang harus mereka penuhi adalah belajar Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui apakah ada perbedaan kognitif antara pelajar SMA yang rutin bermain sepakbola dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain sepakbola Metode: Penelitian ini bersifat uji potong lintang yang melibatkan seluruh peserta klub futsal di SMA Harapan 1 Medan. Penilaian fungsi kognitif dilakukan dengan menilai skoring Addenbrooke, Auditory Reaction Time, Visual Reaction Time, dan nilai raport. Sebagai pembanding, dipilih subjek dalam jumlah sama yang tidak rutin bermain sepakbola. Perbedaan rerata dinilai dengan uji beda (t-berpasangan jika distribusi normal dan Mann Whitney u Test jika distribusi tidak normal) dengan kemaknaan <0,05. Hasil: Uji Mann- Whitney pada skor Addenbrooke dengan hasil p=0,641, skor Auditory Reaction Time dengan hasil p=0,929 dan skor Visual Reaction Time dengan hasil p=935. Uji t berpasangan pada nilai raport dengan hasil p=0,730. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna skor Addenbrooke, ART, VRT, dan nilai raport dari siswa yang mengikuti kegiatan futsal dengan yang tidak mengikuti kegiatan futsal di SMA Harapan 1 Medan.

Kata kunci: Sepakbola, SMA, Kognitif.

(12)

ABSTRACT

Background: Football is one of the most popular sports today. When playing soccer, there is an increased risk of concussion. Recurrent concussion usually cause disturbances in mood, cognitive, and dementia. High school students are a population that still desperately needs cognitive functions, considering that the most important function they must fulfill is learning. Purposes: To find out whether there are cognitive differences between high school students who routinely play football with high school students who do not routinely play football. Methode: This study is a cross- sectional test involving all futsal club participants at SMP Harapan 1 Medan. Assessment of cognitive function is done by assessing Addenbrooke's scoring, Auditory Reaction Time, Visual Reaction Time, and report cards. As a comparison, the same number of subjects who do not regularly play football is chosen. Mean differences were assessed by different tests (t-paired if the distribution is normal and Mann Whitney u Test if the distribution is not normal) with significance

<0.05.Result: Mann-Whitney test on Addenbrooke scores with results p = 0.641, Auditory Reaction Time score with results p = 0.929 and Visual Reaction Time score with results p = 935. Paired t test at report cards with results p = 0.730. Conclussion: There were no significant differences in Addenbrooke scores, ART, VRT and report cards from students who participated in futsal activities with those who did not take part in futsal activities at Harapan 1 High School Medan.

Keywords: Soccer,High School, Cognitive.

(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul

“Hubungan Cedera Kepala Berulang dengan Tingkat Kognitif pada Pemain Futsal SMA Harapan 1 Medan” sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran.

Penyusunan penelitian ini dapat diselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Andre Marolop Pangihutan Siahaan, M.Ked(BS), Sp, BS , selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak ide, kritik, dan saran kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. Beby Syofiani Hasibuan, M.Ked (Ped), Sp.A, selaku Ketua Penguji yang telah memberikan nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Dr. dr. Lambok Siahaan, MKT, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan nasihat-nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Orangtua penulis tercinta, dr. Hasmui, SpM dan dr. Marlina yang telah memberikan semangat, doa, dan dukungan kepada peneliti.

6. Kakak penulis, Amanda Rizka yang selalu memberikan motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Guru-guru SMA Harapan 1 Medan dan juga murid-murid yang ikut serta dalam membantu proses penelitian.

8. Sahabat-sahabat peneliti, Saraya Srg., Fatur Reyhan., Zaza., Juha Naufal., Alfredo Fransiscus., Ahmad Syukran., Haikal Farhat., Naufal Firdaus., Putri Wulandari., Roza Ramli., Casvin., Alicia., Michelle., Samuel Sembiring., Surya Wijaya., Andrew Sunarto., Aflah., Agri Borneo., Afdal., Hafiz., Donny., serta abangda Harmen Reza yang telah memberikan semangat, kritik, dan saran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

(14)

9. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 7 Desember 2018

Peneliti

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benturan kepala saat bermain sepak bola merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, baik saat menyundul bola maupun saat kontak tubuh antarpemain. Dalam sebuah survei yang dilakukan pada 222 pemain sepak bola professional, dilaporkan bahwa benturan kepala terjadi dengan sangat variatif, mulai empat kali sampai 125 kali dalam dua minggu. Laporan lain menunjukkan bahwa 30% pemain sepak bola melakukan sundulan lebih dari 1000 kali dalam satu tahun (Hawkes, 2017).

Benturan pada kepala tersebut menyebabkan gangguan sistem saraf pusat. Dua puluh persen kasus akan menyebabkan gejala sedang hinggs berat, seperti nyeri kepala berat, hoyong, sampai hilangnya kesadaran. Semakin banyak sundulan dilakukan, semakin rentan seseorang mengalami gejala tersebut. Pada beberapa kasus, gejala ini juga disertai dengan gangguan elektrofisiologi dan kerusakan struktur mikroskopis otak (Di Virgilio et al, 2016).

Hal ini menjadi masalah besar akibat fakta epidemiologis dari sepak bola. Sepak bola saat ini merupakan olahraga yang paling populer di seluruh dunia. The International Federation of Football Association (FIFA) pada tahun 2006 memperkirakan terdapat sekitar 270 juta orang yang aktif bermain sepak bola pada 204 negara (FIFA, 2007). Beberapa ahli berpendapat bahwa sepakbola merupakan olahraga yang bersifat global yang berkaitan dengan politik, ekonomi, serta sosial budaya (Waalkes, 2016).

Concussion merupakan bentuk cedera kepala yang paling sering terjadi. Pada pelajar sekolah menengah, concussion dilaporkan terjadi dengan insiden 5,3 per 10.000 paparan pada pelajar pria dan 9,2 per 10.000 paparan pada pelajar wanita (Comstock et al, 2015). Beberapa penelitian telah membuktikan adanya daya akselerasi yang bermakna saat menyundul bola yang menyebabkan gangguan white matter dan gangguan klinis, seperti kognitif, psikologis, dan gangguan postural (Giza dan Hovda, 2014).

(16)

Concussion merupakan cedera otak, yang diakibatkan oleh benturan, baik pada kepala, wajah, leher, atau bagian tubuh lain, yang ditandai dengan gangguan neurologis dalam jangka waktu singkat yang akan menghilang dengan sendirinya.

Gejala klinis setelah terjadinya concussion dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1) Gejala somatic seperti sakit kepala, kesadaran berkabut, dan gangguan emosional (labil); 2) Gejala gangguan fisik seperti kehilangan kesadaran dan amnesia; 3) Tingkah laku berubah; 4) Gangguan kognitif; 5) Gangguan tidur (insomnia). Pada tingkat mikroskopis, akan terjadi perubahan patologis saraf yang bersifat reversible (McCrory et al, 2012).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa cedera biomekanik menghasilkan fluks ionic, yaitu lepasan kalium disertai masukan natrium dan kalsium serta pelepasan glutamat secara bebas. Dalam upaya untuk mengembalikan homeostasis ionik dan seluler tersebut, dibutuhkan ATP (Adenosin Triphosphate) dalam jumlah lebih banyak untuk mengaktivasi pompa-pompa ionik membran. Hal ini semakin diperberat oleh masukan kalsium intraseluler yang dapat menyebabkan disfungsi mitokondria, yang pada akhirnya memperburuk krisis energi sel. Selain gangguan energi akut, keadaan reaksi redoks intraseluler berubah. Seluruh gangguan ion dan metabolisme seluler ini dapat bertahan hingga tujuh hingga sepuluh hari (Giza dan Hovda, 2014). Jika dalam periode pemulihan ini terjadi concussion berikutnya, hal ini akan menyebabkan terjadinya efek kumulatif karena otak masih rentan terhadap cedera berikutnya. Kejadian ini pada akhirnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya gangguan fungsional yang progresif (Blennow et al, 2016). Gangguan fungsional yang terjadi dapat berupa gangguan suasana perasaan, kognitif, maupun dementia dini (Montenigro et al, 2015).

Bagaimana pun telah disimpulkan bahwa mekanisme pada saat cedera membentuk respon neurobehavioural akut, kerusakan otak struktural, dan gejala neuropatologis yang dipicu oleh trauma pada saraf. Hasil ini menunjukkan bahwa cedera kepala yang disebabkan benturan kepala, tidak bergantung pada tanda-tanda concussive. Hal ini dapat menyebabkan cedera otak traumatis serta patologis awal dan kerusakan fungsional yang dapat menyebabkan chronic traumatic

(17)

encephalopathy (CTE). Hasil ini juga menjelaskan asal-usul concussion dan hubungan dengan cedera otak traumatis dan setelah kejadiannya (Tagge et al, 2018) Fungsi kognitif merupakan suatu proses mental, saat terjadi pemrosesan dari input eksternal maupun internal, meliputi transformasi, reduksi, penggabungan, dan penyimpanan, sampai akhirnya digunakan kembali. Dalam proses kognitif, diperlukan keterlibatan sejumlah fungsi yang kompleks, seperti persepsi, atensi, penyimpanan memori, proses mengingat kembali, pemecahan masalah, dan eksekusi. Proses ini sangatlah penting dalam hal pembelajaran. Pembelajaran sendiri merupakan fungsi utama yang terjadi di sekolah (Brandimonte, Bruno dan Collina, 2006).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan itu, muncul pertanyaan penelitian:

“Apakah ada perbedaan fungsi kognitif pada pelajar SMA yang rutin bermain futsal jika dibandingkan dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal?”

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui perbedaan fungsi kognitif antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui perbedaan skor Addenbrooke antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

2. Untuk mengetahui perbedaan skor rerata Auditory Reaction Time (ART) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

3. Untuk mengetahui perbedaan skor rerata Visual Reaction Time (VRT) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

(18)

4. Untuk mengetahui perbedaan rerata nilai rapor antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai hubungan concussion dengan tingkat kognitif.

1.4.2 Bidang kesehatan klinis

Untuk mendapatkan hasil hubungan penurunan tingkat kognitif dengan benturan kepala ringan berulang, agar dapat mencegah terjadinya komplikasi dari concussion.

1.4.3 Kepada Peneliti

Meningkatkan pengetahuan mengenai cedera kepala berulang dengan tingkat kognitif, sehingga dapat memberikan edukasi 
 pada pasien yang mengalami cedera kepala.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Concussion merupakan cedera otak, yang diakibatkan oleh benturan, baik pada kepala, wajah, leher, atau bagian tubuh lain, yang ditandai dengan gangguan neurologis dalam jangka waktu singkat yang akan menghilang dengan sendirinya (McCrory et al, 2012).

2.2 Epidemiologi

Diperkirakan 732.805 concussion (636.053 baru, 96.752 berulang) terjadi pada atlet SMA Amerika Serikat yang berpartisipasi dalam sembilan olahraga yang dipelajari. Cedera concussion dilaporkan pada 10,5% dari semua cedera. American Football menyumbang hampir separuh dari semua kejadian concussion yang dilaporkan (48,5%) lalu sepak bola perempuan (17,7%), sepak bola laki-laki (12,2%) dan bola basket perempuan (6,3%). Dari semua gegar otak yang dilaporkan, 13,2% terjadi secara berulang (Castile, Collins dan Mellvain, 2011).

2.3 Etiologi

Etiologi concussion terjadi dikarenakan adanya benturan di kepala dan juga sebagai kriteria diagnosa yang ditemukan. Terjadinya guncangan otak disebabkan oleh kepala dan juga leher tidak seimbang. Struktur yang terlibat adalah corpus callosum, internal capsule dan fornix dan sering menyebabkan cedera axonal.

Penyebab concussion yang sering terjadi:1) kecelakaan bermotor; 2) olahraga; 3) perkelahian Fisik; 4) terjatuh; (Faul et al, 2010).

2.4 Klasifikasi

Cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu cedera kepala ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat kesadaran, durasi hilangnya kesadaran, serta ada tidaknya post traumatic amnesia (tabel 1) (Bodin dan Yeates, 2010).

(20)

Tabel 2.1 Klasifikasi Cedera Kepala

Ringan Sedang Berat

GCS=13-15 GCS= 9-12 GCS ≤ 8

PTA ≤ 1 jam PTA= 1-24 Jam PTA ≥ 1 hari

LOC< 30 menit LOC= 30 menit-24 jam LOC > 24 jam

GCS (Glasgow Coma Scale), LOC (Lost of Consciousness), PTA (Post Traumatic Amnesia), PCSS (Post Concussion Symptom Scale).

Istilah concussion sendiri sering digunakan bergantian dengan cedera kepala ringan, yaitu saat tingkat kesadaran 14 sampai 15. Concussion sendiri kemudian dapat diklasifikasikan menjadi tiga (tabel 2) berdasarkan gejala klinis, ada tidaknya hilangnya kesadaran, serta ada tidaknya post traumatic amnesia (Bodin dan Yeates, 2010).

Tabel 2.2 Tingkat Keparahan Concussion Menurut 3 Studi

Grade 1 Grade 2 Grade 3

Colorado Medical - Kebingungan tanpa amnesia

-Kebingungan dengan amnesia

- Terjadi LOC

- Tidak terjadi LOC - Tidak Terjadi LOC American

Academy of Neurology

-Kebingungan Sementara

-Tidak Terjadi LOC

-Kebingungan Sementara

-Tidak Terjadi LOC

-Terjadi LOC

- Gejala atau status mental tidak berubah selama 15 menit

-Gejala atau status mental tidak berubah lebih dari 15 menit Cantu-revised -Tidak terjadi LOC

-PTA/PCSS < 30 menit

-Terjadi LOC < 1 menit

-PTA> 30 menit <7 hari

-Hilang kesadaran >

1 menit -PTA ≥ 24 jam -PCSS > 7 hari

GCS (Glasgow Coma Scale), LOC (Lost of Consciousness), PTA (Post Traumatic Amnesia), PCSS (Post Concussion Symptom Scale).

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Ionic flux dan glutamate release

Studi awal menjelaskan bahwa cedera biomekanik menghasilkan fluks ionik dan pelepasan glutamat secara bebas. Lepasan kalium disertai masuknya natrium dan kalsium, terjadi karena mekanoporation membran lipid pada sel. Fluks ion awal dan depolarisasi kemudian dapat memicu tegangan ion, menciptakan keadaan yang menyebar yang dapat menyebabkan gangguan concussion yang sangat akut (Katayama, Becker dan Tamura, 1990).

(21)

2.5.2 Krisis energi

Dalam upaya untuk mengembalikan homeostasis ionik dan seluler, dibutuhkan ATP dalam jumlah lebih banyak untuk mengaktivasi pompa-pompa ionic membran yang dapat menyebabkan hiperglikolisis, pengurangan pemakaian dari cadangan energi intraseluler, dan peningkatan ADP (Adenosin Diphosphate). Peningkatan kebutuhan energi ini terjadi dalam suatu keadaan aliran darah ke otak berkurang yang dapat menghasilkan ketidakseimbangan antara pasokan energi dan yang dibutuhkan. Hal ini semakin diperberat oleh masukan kalsium intraseluler yang dapat menyebabkan disfungsi mitokondria, yang pada akhirnya memperburuk krisis energi sel.

Gangguan energi akut dapat menyebabkan keadaan redoks intraseluler berubah. Hal ini dapat memperburuk yang disebabkan oleh radikal bebas yang merusak jalur metabolisme yang dapat memicu gangguan yang lebih lama dan berhubungan terhadap kerentanan terhadap cedera berulang, yang sangat relevan untuk concussion terkait olahraga. Setelah periode awal hiperglikolisis dan pelepasan metabolik, tingkat gangguan metabolisme glukosa dapat bertahan tujuh sampai sepuluh hari dan dapat berhubungan dengan gangguan perilaku. Durasi periode hipometabolisme ini bervariasi sesuai dengan usia, untuk usia yang lebih muda menunjukkan periode yang lebih pendek (tiga hari). Perubahan posttraumatic dalam metabolisme dapat dimediasi oleh perubahan ekspresi gen dan regulasi enzim (Tavazzi et al, 2007).

(22)

Gambar 2.1Waktu Neurometabolik Concussion

2.5.3 Cytoskeletal damage

Benturan biomekanik yang diterima neuron dan glia dapat merusak komponen mikrostruktur yang kompleks, termasuk dendritic arbors, axons, dan pemprosesan astrocytic. Setelah fluks kalsium intra-aksonal, neurofilamen dapat difosforilasi dan terganggu, mengakibatkan hilangnya integritas struktural pada akson.

Gangguan mikrotubulus karena peregangan akson dapat mengganggu transportasi akson, berpotensi mengisolasi sinaps, mengurangi neurotransmisi normal, dan dalam kasus yang parah, menyebabkan terputusnya akson. Fluks kalsium intra- aksonik menghasilkan kerusakan proteolitik pada spektra subkolesterol dan komponen sitoskeletal lainnya. Studi terbaru menunjukkan bahwa cytoskeletal anchor points di membran sel, yang diperantarai melalui protein seperti integrin, dapat menjadi target molekuler utama cedera traumatik pada neuron dan sel vaskular (Alford et al, 2011).

2.5.4 Axonal dysfunction

Akson terbukti sangat rentan terhadap peregangan biomekanik. Studi awal menunjukkan peningkatan permeabilitas aksolemmal setelah uji coba terhadap concussion. Seperti disebutkan di atas, kerusakan pada neurofilamen dan mikrotubulus menyebabkan disfungsi aksonal dan berpotensi mengalami

(23)

pemutusan. Meskipun pemutusan akson dianggap selalu menyebabkan kematian sel-sel saraf, namun setelah dilakukan penelitian telah menunjukkan bahwa axotomy perisomatic dapat terjadi dengan atrofi ataupun penyusutan neuron tanpa kematian sel. Disebutkan bahwa neuron yang mengalami kerusakan yang sangat berat, tidak mampu berfungsi normal. Beberapa cedera yang dapat menyebabkan peregangan akson menunjukkan pemulihan kembali, namun di berbagai situasi, kerusakan aksonal akan berlangsung lama. Selain itu, penelitian terbaru menggunakan cairan yang berpusat di atas traktus white matter corpus callosum menunjukkan bahwa akson unmyelinated lebih rentan terhadap cedera dan menunjukkan kerusakan yang lebih daripada serat myelin. Studi terbaru dari concussion berulang di otak telah menunjukkan kerusakan white matter dan gangguan kognitif (Longhi et al, 2005).

2.5.5 Gangguan neurotransmiter

Perubahan neurotransmiter dan penghambatan ligan telah dilaporkan setelah terjadinya concussion. Perubahan dalam komposisi subunit glutamat (N-metil-D- aspartat [NMDA]) reseptor (R) dan fungsi otak yang sudah matang atau yang belum matang. Konsekuensi fungsional dari perubahan subunit NMDAR telah dilaporkan mengalami gangguan elektrofisiologi, dan memori. Telah dilaporkan, perubahan NMDAR telah dikaitkan dengan perubahan fungsional, termasuk perubahan fluks kalsium. Aktivasi pada gen awal dan fosforilasi atau aktivasi sinyal molekul transduksi seperti kalsium atau kinodulin-dependent protein kinase II yang berhubungan dengan sinyal ekstraseluler protein yang mengikat elemen respon cAMP(Cyclic Adenosin Monophosphate), dan faktor penurunan otak. Perubahan molekul dalam otak setelah terjadinya concussion dapat mengakibatkan perubahan keseimbangan neurotransmiter yang melibatkan asam-aminobutyric (GABA) dan reseptornya. Dalam penelitian baru pasca concussion untuk mengetahui efek kerentanan pasca concussion menghasilkan rasa cemas, gangguan stres pasca trauma, penurunan tingkat GAD67 (Monoclonal Anti-Glutamic Acid Decarboxylase), penurunan enzim biosintesis untuk GABA melibatkan struktur di amygdala (Reger et al, 2011).

(24)

Gambar 2.2 Diagram Proses Terjadinya Biological Seluler Akut Setelah Concussion

2.5.6 Inflamasi

Dalam studi concussion, perubahan pada inflammatory marker yang terjadi dapat menyebabkan concussion yang lebih parah. Setelah terjadi concussion menyebabkan aktivasi dan infiltrasi mikroglia. Studi yang lebih baru menunjukkan bahwa peradangan juga dipicu oleh benturan ringan. Penelitian Microarray melaporkan bahwa terjadinya peningkatan regulasi sitokin dan gen inflamasi setelah terjadinya concussion. Aktivasi mikroglia dengan atau tanpa paparan, telah dikaitkan dengan kerusakan substansia nigra dan berimplikasi pada peningkatan risiko parkinson setelah concussion. Perubahan neuro-inflamasi serupa juga telah dilaporkan tanpa adanya defisit perilaku. Sebuah teori yang terkait pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor kekebalan terhadap stres oksidatif dan cedera seluler yang potensial disebut "immunoexcitotoxicity" (Blaylock dan Maroon, 2011).

2.5.7 Kematian sel

Pada laporan concussion menunjukkan sedikitnya kematian sel. Namun, dampak dari concussion secara berulang menyebabkan gangguan fungsional dibandingkan concussion tunggal. Adanya peningkatan bahwa mungkin ada perubahan struktural jangka panjang, meskipun penelitian melaporkan cedera

(25)

aksonal kronis dan atrofi pada neuron. Namun atrofi serebral dan hippokampus telah dijelaskan, seperti halnya kehilangan fungsi kronis pada neuron dopaminergik pada substansia nigra. Dari cedera yang telah dijelaskan, menunjukkan defisit kognitif (Gurkoff, Giza dan Hovda, 2006).

2.6 Gejala

Gejala concussion dibagi tiga: fisik, kognitif, dan emosional. Gejala-gejala ini termasuk sakit kepala, sakit leher, gangguan penglihatan, penurunan tingkat kognitif, dan perubahan emosional. Dapat terlihat setelah mengalami cedera dan biasanya akan pulih dalam tiga bulan pertama. Namun, beberapa gejala dapat bertahan selama beberapa bulan sesudahnya (Junn, Bell dan Shenouda, 2015).

2.6.1 Fisik

2.6.1.1 Sakit kepala

Sakit kepala adalah salah satu gejala paling umum yang dilaporkan setelah mengalami concussion. Prevalensi kejadian tersebut berkisar antara 30% dan 50%, tetapi kejadian dapat tertunda sehingga gejala dapat timbul satu tahun berikutnya pada 58% kejadian. Sakit kepala pasca trauma digolongkan sebagai secondary headache (Lucas, Hoffman dan Bell, 2013).

2.6.1.2 Nyeri leher

Nyeri leher juga dapat terjadi dengan atau tanpa sakit kepala. Evaluasi harus dilakukan untuk kemungkinan terjadinya cervical radiculopathy. Tes Spurling adalah tes provokatif yang paling spesifik untuk cervical radiculopathy dan dapat dilakukan pemeriksaan sensorik dan motorik. Adanya nyeri leher dengan perubahan neurologis seperti kelainan motorik dan sensorik atau asimetri refleks (hiporefleksia pada sisi yang terkena) membutuhkan rujukan elektrodiagnostik atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) (Wainner et al, 2003).

(26)

2.6.1.3 Pusing dan gangguan keseimbangan

Pusing sering terjadi pada pasien yang mengalami concussion dangan tingkat keparahan tergantung pada penyebabnya. Pusing dapat disebabkan oleh disfungsi sentral atau perifer dan dapat menyebabkan sensasi mual. Ada sejumlah tes klinis untuk mengkarakterisasi keluhan pusing setelah diperiksa. Ini termasuk tes Dix- Hallpike untuk benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) dan pengujian untuk hipotensi ortostatik, nistagmus, dan gerakan mata yang terganggu (Reneker, Clay dan Cook, 2014).

McCrea telah meneliti gangguan keseimbangan pada atlet perguruan tinggi yang menderita concussion terkait olahraga dan mencatat gejala antara tiga sampai sepuluh hari yang diukur dengan Balance Error Scoring System (BESS). BESS telah digunakan secara luas untuk evaluasi cedera terkait concussion dan olahraga.

BESS berfungsi untuk mengukur gangguan keseimbangan yang lebih signifikan (Bell, Guskiewicz dan Clark, 2011).

2.6.1.4 Penglihatan kabur

Penglihatan kabur adalah gejala umum setelah concussion, tetapi prevalensi bervariasi. Penglihatan kabur yang dapat menyebabkan kesulitan dalam membaca dapat disebabkan oleh ketidakmampuan akomodatif. Keadaan dapat menjadi lebih buruk dengan kelelahan yang diakibatkan aktivitas fisik yang berlebihan dan juga konsumsi alkohol (Fox, 2005).

2.6.1.5 Gangguan tidur

Keluhan tentang gangguan tidur dan kelelahan adalah kejadian umum yang terjadi setelah concussion. Namun beragam temuan yang dilaporkan. Sebagian besar penelitian berfokus pada concussion yang mengakibatkan 60% pasien mengeluh kesulitan tidur. Selain itu, satu studi mendokumentasikan bahwa dua dari tiga yang dirawat di unit rehabilitasi rawat inap memiliki gangguan circadian rhythm. Menariknya, satu studi kecil dari atlet yang berhubungan dengan concussion menunjukkan bahwa parameter polysomnographic tidur tidak normal, aktivitas otak selama terjaga menunjukkan peningkatan delta dan penurunan aktivitas alfa (Gosselin et al, 2009).

(27)

2.6.2 Kognitif

2.6.2.1 Gangguan memori

Gangguan memori adalah salah satu keluhan yang paling umum setelah terjadinya concussion. Sebagian besar tes untuk evaluasi concussion seperti Acute Concussion Evaluation, ANAM (The Automated Neurophysiological Assessment Metrics), Concussion Symptom Inventory, ImPACT (Immediate Post-Concussion Assessment and Cognitive Testing), Neurobehavioral Symptom Inventory, dan Rivermead Post Concussion Symptom Questionnaire sudah termasuk pertanyaan tentang gangguan memori. Gangguan memori setelah terjadinya concussion melibatkan memori kerja. Memori kerja mengacu pada kemampuan untuk menyimpan sementara dan menyaring informasi yang relevan untuk proses kognitif. Kecepatan pemrosesan yang lambat, juga dapat terlihat setelah terjadinya concussion, dan dapat menyebabkan gangguan dalam memori kerja (Cicerone, 2002).

2.6.2.2 Kelelahan

Keluhan tentang kelelahan cukup umum terjadi setelah concussion meskipun mekanisme kelelahan tidak sepenuhnya berhubungan dengan gangguan tidur. Telah dilaporkan beberapa individu dengan concussion mengeluhkan kelelahan mental atau beberapa orang disebut sebagai "kelelahan patologis" atau kelelahan yang tidak terkait dengan tenaga dan tidak membaik dengan istirahat. Kelelahan telah ditemukan hingga 28% dari individu dengan concussion hingga tiga bulan postinjury (Mollayeva et al, 2014).

2.6.3 Depresi dan cemas

Tingkat depresi diketahui meningkat setelah komplikasi concussion, dengan 53% mengalami depresi pada tahun pertama concussion. Namun, setelah mengalami concussion, tingkat depresi akan menurun tanpa adanya komplikasi, dan telah dilaporkan sakit kepala setelah concussion, hanya 15% melaporkan gejala depresi yang signifikan (3/4 dari kelompok ini mengalami sakit kepala dan depresi) (Silverberg et al, 2014).

(28)

2.7 Diagnosis

Mendiagnosis concussion adalah diagnosis klinis yang idealnya dibuat oleh penyedia layanan kesehatan berlisensi yang sering menerima laporan gejala cedera ini. Tidak ada tes tunggal yang dapat digunakan untuk menentukan apakah concussion telah terjadi. Setiap atlet yang diduga mengalami concussion harus segera dikeluarkan dari permainan. Gejala concussion bertingkat. Tanda dan gejala dapat langsung muncul atau tidak muncul selama beberapa menit atau jam setelah cedera (West dan Marion, 2014).

2.7.1 Test imaging

Tidak direkomendasikan untuk melakukan CT-Scan (Computed Tomography- scan) kepala tetapi perlu dipertimbangkan apakah ada kecurigaan mengalami pendarahan intrakranial atau kontusio (West dan Marion, 2014).

2.7.2 Tes keseimbangan

Pengujian keseimbangan atau stabilitas postural, berguna untuk menilai keseimbangan secara objektif setelah concussion dan memiliki spesifisitas tinggi, tetapi tidak terlalu sensitif. Alat penilaian BESS sering digunakan (West dan Marion, 2014).

2.7.3 Tes neuropsikologis

Evaluasi neuropsikologis, dengan tes neuropsikologis menggunakan komputer untuk mendeteksi defisit kognitif setelah mengalami concussion. Tes neuropsikologis membutuhkan seorang neuropsikolog atau psikolog untuk interpretasi kontekstual yang tepat (West dan Marion, 2014).

2.7.4 Tes neurokognitif menggunakan Addenbrooke

Uji kognitif dengan menggunakan tes addenbrooke untuk mengevaluasi penurunan tingkat kognitif, yang dimana akan sembuh pada pasien yang mengalami concussion. Secara umum akan berpengaruh pada memori, tingkat perhatian dan konsentrasi. Uji tes Addenbrooke telah dilaporkan memiliki kepekaan dan

(29)

spesifisitas yang sangat baik untuk diagnosis gangguan kognitif ataupun dimensia pada skor kurang dari 88/100 dan 82/100. Gangguan jangka panjang untuk beberapa pasien concussion, masih banyak yang belum dilaporkan. Studi yang diteliti oleh Hence bagian neurofisiologi, telah mengidentifikasi tentang penurunan kognitif pada concussion (Kannan, Chandramohan, dan Kannan, 2017).

2.7.5 Auditory reaction time dan visual reaction time

Melakukan uji ART dan VST sangat penting untuk mengetahui adanya keterbelakangan mental dari individu dan faktor penting bagi individu yang mengalami keterbelakangan mental untuk beradaptasi di lingkungan. Tes ini dapat menguntungkan ataupun tidak menguntungkan. Keterbelakangan mental dapat ber efek pada waktu reaksi respon motorik. Seperti yang kita tahu bahwa kerterbelakangan mental adalah masalah di cerebral. Hasil dari keterbelakangan mental dapat mempengaruhi waktu reaksi (Mahmood, Bozkurt dan Abdulrahman, 2018)

2.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding concussion termasuk cedera intrakranial seperti kontusio, perdarahan, atau edema. Pada akhirnya, diagnosis penunjang concussion dapat dilakukan hanya untuk mengesampingkan cedera otak yang lebih serius. Dengan demikian, diagnostik yang umum untuk trauma kepala adalah dengan melakukan computed tomography (CT) imaging, suatu tes yang sangat sensitif dan spesifik untuk mendeteksi pendarahan epidural, subdural, dan pendarahan subarakhnoid.

(Brody, Frush dan Huda, 2007)

(30)

2.9. Penatalaksanaan

2.9.1 Penatalaksanaan farmakologi

Penatalaksanaan farmakologi berdasarkan gejala.

Tabel 2.3 Terapi Farmakologi (Burke, Fralick dan Nejatbakhshn, 2015)

Nama Obat Gejala Golongan

Amitriptyline Sakit Kepala Antidepresan

Metoclopramide Sakit Kepala Anti-emetic

Gabapentin Insomnia Anti-epileptic

Melatonin Insomnia Supplement

Armodafinil Kelelahan Neurostimulant

OSU6162 Kelelahan Belum diketahui

Valproate Mood Anti-epileptic

Donepezil Memori/Kognitif AChEI

Resveratrol Memori/Kognitif Supplement

Ondansetron Tidak dijelakan Anti-emetic

AChEI (Acetylcholinesterase inhibitor)

2.9.2 Penatalaksanaan Non-farmakologi

Concussion adalah cedera otak yang mengakibatkan perubahan fungsi otak yang disebabkan oleh kekuatan traumatik. Pada permasalahan awal patofisiologi concussion mengakibatkan perubahan metabolisme dan krisis energi. Pengobatan yang dianjurkan untuk concussion adalah istirahat fisik maupun kognitif.

Memungkinkan untuk normalisasi metabolisme dan koreksi krisis energi. Setelah pulih, penderita concussion perlu pemantauan untuk kembali beraktivitas tanpa adanya gejala tambahan dan harus mengikuti kembali persyaratan untuk kembali berolahraga dengan aman (Wright, 2014).

2.10 Komplikasi

Efek berkepanjangan concussion dapat menyebabkan kelebihan kalsium fluks dalam mitokondria dan menyebabkan penurunan kapasitas oksidatif yang dapat mengakibatkan periode subakut. Kembali bermain sebelum pemulihan penuh dari concussion merupakan faktor risiko terjadinya concussion yang lebih lama atau lebih buruk. Hubungan antara satu atau lebih concussion dapat menyebabkan degeneratif kronis seperti Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE) (West dan Marion, 2012). Jenis komplikasi gejala pasca concussion dini telah dikaitkan

(31)

dengan perkembangan penyakit. Sedangkan pada post concussion syndrome akut dianggap sebagai gangguan neurologis. Selain gejala khas post concussion syndrome (sakit kepala, kelelahan, konsentrasi yang buruk, pendengaran terganggu dan sensitif terhadap cahaya), berbagai gejala psikologis dan fisiologis dapat mempersulit pemulihan spontan (Snell, Macleod dan Anderson, 2016).

2.11 Prognosis

Meskipun pemulihan fungsional meningkat selama tiga bulan, pasien concussion membutuhkan waktu satu bulan atau lebih untuk kembali beraktifitas.

Ketika kembali beraktifitas, pasien concussion telah melaporkan bahwa mereka mengeluarkan upaya yang lebih besar dan menjadi cepat lelah setelah cedera.

Prognosis untuk pemulihan dari concussion telah ditinjau oleh International Collaborating Group on Mild Traumatic Brain Injury Prognosis. Defisit kognitif yang mempengaruhi perhatian, kecepatan pemrosesan, dan memori sering muncul selama minggu pertama hingga satu bulan. Meskipun pemulihan yang baik sekitar 80 sampai 85% pasien dalam tiga sampai enam bulan setelah concussion (tergantung pada definisi kasus, interval follow up, ukuran hasil, dan kelompok perbandingan). Beberapa studi yang lebih dari enam bulan, membuktikan bahwa defisit kognitif hasilnya adalah lemah. Penelitian longitudinal yang dirancang dengan hati-hati diperlukan untuk mengkarakterisasi waktu untuk pemulihan kognitif.

Kelainan patologis yang ditemukan dalam tes imaging berpengaruh pada prediksi hasil pada pasien dengan skor GCS 13 sampai 15. Sebagai contoh, pada pasien dengan skor GCS 13 sampai 15, kelainan pada intrakranial terdeteksi oleh CT Scan dalam 24 jam setelah cedera (concussion dengan komplikasi), seperti lesi parenkim, intraserebral dan perdarahan ekstra-aksial, pembengkakan otak, dan fraktur depresi atau basilar, menghasilkan dengan hasil yang lebih buruk, dibandingkan dengan pasien yang tidak terdeteksi patologis intrakranial oleh CT scan (concussion tanpa komplikasi). Hasil studi tentang prognosis concussion diperlukan temuan CT positif sebagai indikasi yang membuktikan hasil yang buruk (Levin dan Diaz-Arrastia, 2015).

(32)

2.12. Kerangka teori

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian Concussion

-Ionic Flux and Glutamate Release -Krisis Energi

- Cytoskeletal Damage -Axonal Dysfunction -Gangguan Neurotransmiter -Inflamasi

-Kematian Sel

-Fisik -Kognitif

-Depresi dan Cemas

-Farmakologi -Non Farmakologi -Tes Imaging (CT Scan)

-Tes Keseimbangan -Tes Neuropsikologis -Tes Neurokognitif (Addenbrooke) -ART dan VRT -Concussion

dengan komplikasi indikasi buruk -Concussion tanpa komplikasi indikasi baik

Trauma

(33)

2.13. Kerangka konsep

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

2.14. Hipotesis

2.14.1 Hipotesis Mayor

Terdapat perbedaan fungsi kognitif antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

2.14.2. Hipotesis Minor

1. Terdapat perbedaan skor Addenbrooke antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

2. Terdapat perbedaan skor rerata Auditory Reaction Time (ART) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

3. Terdapat perbedaan skor rerata Visual Reaction Time (VRT) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

4. Terdapat perbedaan rerata nilai raport antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan uji potong lintang, yang akan melihat apakah ada perbedaan tingkat kognitif antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data penelitian ini dilakukan di SMA Harapan 1 Medan, dan dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2018.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi

3.3.1.1. Populasi umum

Populasi umum penelitian ini adalah seluruh pelajar sekolah menengah atas yang rutin bermain sepak bola dalam klub futsal.

3.3.1.2. Populasi terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pelajar SMA Harapan 1 Medan yang rutin bermain sepak bola dalam klub futsal.

3.3.2. Subjek

Subjek penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemilihan subjek peneltian dilakukan dengan cara total sampling.

Kriteria Inklusi:

a. Bermain sepak bola secara rutin setidaknya satu tahun terakhir.

b. Riwayat concussion, setidaknya satu kali.

c. Riwayat benturan kepala saat menyundul bola atau saat berbenturan badan dengan pemain sepak bola lain setidaknya dua kali sebulan.

d. Bersedia mengikuti penelitian.

(35)

Kriteria Eksklusi:

a. Memiliki riwayat penyakit susunan saraf pusat sebelumnya.

b. Murid pindahan.

c. Obesitas dengan IMT ≥ 30.

d. Memiliki gangguan penglihatan yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

e. Memiliki gangguan pendengaran yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

f. Tidak hadir pada waktu penelitian.

g. Memiliki riwayat tinggal kelas.

3.4. Cara kerja

1. Penelitian diawali permintaan review untuk kelayakan etik dari komite etik penelitian kesehatan FK USU.

2. Peneliti kemudian melakukan survey di SMA Harapan 1 Medan sehubungan jumlah subjek penelitian. Kelompok yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh anggota klub futsal SMA Harapan 1 Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengukuran berat badan diukur menggunakan timbangan berat badan dan tinggi badan diukur dengan menggunakan microtoise, dan untuk pengukuran IMT menggunakan rumus: 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝐾𝑔)

[𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)]2.

3. Sebagai pembanding, diambil pelajar SMA Harapan 1 yang tidak rutin bermain sepak bola. Pemilihan subjek yang menjadi kontrol dilakukan dengan metode cluster random sampling. Dari antara seluruh kelas X, XI, dan XII di SMA Harapan, dilakukan pemilihan acak lima kelas dengan metode undi. Kemudian, dengan metode yang sama (menggunakan nomor absen), dilakukan pemilihan subjek secara acak juga dengan metode undi.

4. Peneliti meminta persetujuan dari subjek penelitian.

5. Penilaian kognitif dilakukan dengan menggunakan Uji Kognitif Addenbrooke Versi A (2005). Selain itu, dilakukan pemeriksaan Visual Reaction Test dan Auditory Reaction Test. Saat melakukan tes, semua subjek dipersilahkan duduk dengan nyaman di kursi dan termotivasi untuk

(36)

mendapatkan hasil yang lebih baik. Begitu stimulus dirasakan oleh subjek, mereka diminta untuk merespon dengan menekan spacebar dengan jari telunjuk dari tangan dominan.

o Uji Kognitif Addenbrooke dilakukan dengan melakukan wawancara tiap sampel, dan dinilai berdasarkan poin-poin yang tertera di kuesioner. Poin maksimal dari tes Addenbrooke adalah 100. Hasil yang dilaporkan adalah poin yang didapat oleh sampel (Mioshi, Dawson dan Mitchell, 2006).

o Pemeriksaan Auditory Reaction Test dilakukan menggunakan laptop dan earphone. Menggunakan aplikasi inquisit5. Dilakukan penilaian kecepatan respon subjek penelitian terhadap bunyi sebanyak dua kali.

Waktu yang dilaporkan adalah rerata waktunya (Van Den Berg dan Nelly, 2006).

o Pemeriksaan Visual Reaction Test dilakukan menggunakan laptop.

Menggunakan inquisit5 dilakukan penilaian kecepatan respon subjek penelitian terhadap perubahan tampilan layar. Penilaian dilakukan sebanyak dua kali dan waktu yang dilaporkan adalah rerata waktu keduanya (Van Den Berg dan Nelly, 2006).

Nilai raport didapat dari Kepala Sekolah SMA Harapan 1 Medan.

(37)

3.5. Definisi operasional

Adapun definisi operasional dari variabel yang diteliti adalah:

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil

Ukur

Skala Ukur Concussion Cedera otak, yang diakibatkan oleh benturan, baik

pada kepala, wajah, leher, atau bagian tubuh lain, yang ditandai dengan gangguan neurologis dalam jangka waktu singkat yang akan menghilang dengan sendirinya

Wawancara Kuesioner Ya/Tid ak

Nomin al

Nilai Uji Kognitif Addenbrook e

Skor pemeriksaan uji kognitif Addenbrooke

Penilaian langsung

Uji Kognitif Addenbrooke

Nilai 0- 100

Interval

Visual Reaction Test

Waktu yang dibutuhkan subjek penelitian untuk memberikan respon terhadap perubahan visual

Penilaian langsung

Visual Reaction Test

Detik Rasio

Auditory Reaction Test

Waktu yang dibutuhkan subjek penelitian untuk memberikan respon terhadap suara yang timbul

Penilaian langsung

Auditory Reaction Test

Detik Rasio

Nilai Raport Nilai kumulatif mata pelajaran yang dilaporkan oleh sekolah pada setiap semester

Permintaan data kepada sekolah

Raport Nilai

rerata

Interval

(38)

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data numerik dilaporkan dalam bentuk rerata dan standar deviasi jika distribusi normal. Jika tidak normal, data numerik akan dilaporkan dalam bentuk kuartil.

Sementara itu, data kategorik dilaporkan dalam bentuk frekuensi dan persentase, Uji normalitas dilakukan dengan metode Saphiro-Wilik atau Kolmogorov- Smirnof, bergantung pada jumlah subjek penelitian, dengan kemaknaan <0,05. Jika distribusi normal, perbedaan rerata dinilai dengan menggunakan uji t-berpasangan dengan nilai kepercayaan 95%. Sebaliknya, jika distribusi tidak normal, perbedaan rerata dinilai dengan menggunakan Mann-Whitney U-Test dengan interval kepercayaan 95%, juga dengan kemaknaan <0,05. Data diolah secara komputerisasi.

(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Harapan 1 Medan di Jalan Imam Bonjol No.32, J A. T I, Medan Maimun, J A T I, Medan Maimun, Kota Medan, Sumatera Utara 20151, Indonesia. Sekolah swasta yang berdiri pada 4 Februari 1967 ini dibangun di atas tanah seluas 2000 ha dengan memiliki 35 total jumlah guru, dengan kepala sekolah yang menjabat pada saat ini adalah Drs. Anwar.

4.1.1 Karakteristik responden

Responden yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah anggota klub futsal SMA Harapan 1 Medan. Terdapat 38 orang yang menjadi anggota klub ini. Di antara 38 orang tersebut, 3 orang tidak setuju untuk mengikuti penelitian, 1 orang sakit pada saat penelitian dilakukan, dan 4 orang tidak hadir pada saat penelitian berlangsung. Akibatnya, jumlah total responden penelitian ini adalah 30 orang (gambar 4.1).

Gambar 4.1 Responden pada penelitian ini

Anggota klub futsal (38 orang)

Total Responden (30 orang)

3 Orang tidak setuju 1 Orang Sakit 4 Orang tidak hadir

Siswa SMA Harapan 1 Medan yang tidak mengikuti kegiatan futsal

Total Responden (30 Orang)

Dilakukan pemiilihan secara random

(40)

Sebagai pembanding, dilakukan pemilihan 30 orang pelajar yang tidak rutin bermain futsal. Terdapat perbedaan berat badan yang bermakna antara kelompok futsal dengan kelompok non-futsal (p=0,05). Sementara itu, tidak terdapat perbedaan tinggi badan dan indeks massa tubuh yang bermakna antara kedua kelompok (tabel 4.1).

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Futsal (n=30) (xSD)

Non-futsal (n=30) (xSD)

p

Tinggi badan (cm)

170,73  4,45 172,63  4,87 0,12

Berat badan (kg) 61,07  10,25 66,57  11 0,05*

IMT (kg/m2) 20,91  3,13 22,32  3,43 0,1

*bermakna; Uji t-berpasangan, signifikan jika p<0.05; IMT: Indeks massa tubuh 4.1.2 Kejadian Concussion

Seluruh subjek pada kelompok futsal pernah mengalami sakit kepala setelah menyundul saat bermain futsal. Tidak ada laporan mengenai pitam, penurunan kesadaran, maupun defisit neurologi lain setelah menyundul.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Gejala Concussion

Karakteristik Frekuensi Presentase(%)

Nyeri Kepala 30 100

Hoyong 30 100

4.1.3 Perbedaan kognitif antara kelompok futsal dengan kelompok non- futsal

Dalam penelitian ini, terdapat empat parameter sehubungan fungsi kognitif, yaitu Auditory Reaction Test (ART), Visual Reaction Test (VRT), Addenbrooke, dan nilai raport.

(41)

4.1.3.1 Uji normalitas parameter fungsi kognitif

Karena jumlah subjek dalam setiap kelompok adalah tiga puluh orang, uji Saphiro Wilik digunakan untuk menguji normalitas distribusi data. Terlihat bahwa distribusi nilai VRT dan ART pada kelompok pemain futsal tidak normal (p<0,05).

Sementara itu, distribusi nilai Addenbrooke kelompok nonfutsal juga tidak normal (p<0,05). Distribusi parameter lain terlihat normal (tabel 4.2).

Tabel 4.3 Uji Normalitas Parameter Fungsi Kognitif

*bermakna; Uji Saphiro Wilik, bermakna jika p<0,05. VRT: Visual Reaction Time, ART: Auditory Reaction Time.

Selanjutnya, dilakukan analisis distribusi data terhadap parameter dengan distribusi yang tidak normal. Terdapat beberapa subjek penelitian yang menjadi outlier pada parameter ART kelompok futsal, yaitu subjek dengan nomor 7 (844,07 ms) dan 10 (662,45 ms). Median ART kelompok futsal adalah 264,55 ms dengan rentang 200,65 ms – 844,07 ms (gambar 4.2B). Pada parameter Addenbrooke kelompok futsal, subjek yang menjadi outlier adalah nomor 17 (Skor 69) dan 26 (Skor 63).

Futsal (n=30) Nonfutsal (n=30)

VRT 0,016* 0,117

ART 0,0001* 0,079

Addenbrooke 0,113 0,010*

Nilai Raport 0,293 0,111

(42)

Rerata Addenbrooke kelompok futsal adalah 82,27  7,06. Pada parameter Addenbrooke kelompok nonfutsal, subjek yang menjadi outlier adalah nomor 39 (Skor 64). Median skor Addenbrooke kelompok nonfutsal adalah 83,50 dengan rentang 64-90 (gambar 4.3B).

A B

D C

Gambar 4.2. Distribusi nilai VRT (A), ART (B), skor Addenbrooke (C) dan nilai Raport (D) pada kelompok futsal dan nonfutsal.

(43)

4.4 Perbedaan kognitif antara kelompok futsal dengan kelompok non-futsal

x  SD Median Min Max P value

VRT (ms)

Futsal* 359,92  85,20

345 258 561,85

0,935 Nonfutsal 356,13 

72,38

360,73 248 501,95

ART (ms)

Futsal* 314,10  139,42

264,55 200,65 844,07

0,929 Nonfutsal 280,55 

58,63

268,73 190,75 442

Addenbrooke.

Futsal 82,27  7,06

83,50 63 94

0,641 Nonfutsal* 81,07 

7,20

83,50 64 90

Raport

Futsal 86,19  4,48

86,57 78 95

0,730a Nonfutsal 85,79 

4,39

86,07 79 93

*Distribusit tidak normal aUji t-berpasangan bUji Mann-Whitney. VRT: Visual Reaction time; ART: Auditory Reaction Time; ms: milisekon.

Berdasarkan perbedaan kognitif antara kelompok futsal dengan kelompok non- futsal. Distribusi Addenbrooke pada kelompok futsal didapatkan median 83,50 dengan rentang 63-94, sedangkan pada kelompok non-futsal didapatkan nilai median 83,50 dengan rentang 64-90. Nilai distribusi ART pada kelompok futsal didapatkan median 264,55 dengan rentang 200,65-844,07, sedangkan pada kelompok non-futsal didapatkan nilai median 268,73 dengan rentang 190,75-442.

Nilai distribusi VRT pada kelompok futsal didapatkan median 345 dengan rentang 258-561,85, sedangkan pada kelompok non-futsal didapatkan nilai median 360,73 dengan rentang 248-501,95. Nilai distribusi Raport pada kelompok futsal didapatkan mean 86,19 dan standard deviasi 4,48, sedangkan pada kelompok non- futsal didapatkan nilai mean 85,79 dan standard deviasi 4,39. Berikut hasil dari

(44)

penilaian dari uji kognitif pada SMA Harapan 1 Medan (Tabel 4.2.1).

4.2 Pembahasan

Telah dilakukan sebuah penelitian mengenai gambaran tingkat kognitif pada pemain futsal di SMA Harapan 1 Medan. Akhir-akhir ini, cedera kepala ringan berulang banyak mendapat perhatian karena berhubungan dengan degenerasi otak dini dengan manifestasi klinis tertentu. Pemilihan pemain futsal sebagai subjek penelitian didasarkan pada asumsi bahwa cedera kepala ringan berulang banyak terjadi pada pemain futsal, terutama saat menyundul.

Saat ini, sangkaan concussion ditegakkan jika terdapat setidaknya satu dari beberapa gejala berikut, yaitu nyeri kepala, penurunan kesadaran, bingung, hoyong, mual, dan muntah. Belum ada pemeriksaan penunjang, baik radiologi maupun laboratorium yang telah tervalidasi untuk menegakkan diagnosis kejadian ini.

Dalam penelitian ini, gejala terkait concussion yang paling banyak dilaporkan adalah nyeri kepala, yaitu pada seluruh subjek pada kelompok futsal. Kegiatan menyundul bola memang sering dikaitkan dengan concussion. Sebuah penelitian melaporkan peningkatan resiko concussion sampai 3,7 kali pada kelompok pemain sepakbola yang sering menyundul bola (Snell et al., 2016).

Kami tidak menemukan perbedaan kognitif yang bermakna antara kelompok yang futsal dengan kelompok nonfutsal, baik pada parameter nilai raport, skor Addenbrooke, ART, dan VRT. Meskipun demikian, terlihat bahwa 2 subjek penelitian menjadi outliers pada parameter ART (4.2B). Nilai outliers ini masih mungkin terjadi akibat kegiatan futsal. Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam skala yang lebih besar untuk memastikan hal tersebut.

Berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan penulis, penelitian ini merupakan penelitian pertama mengenai perbedaan parameter kognitif pada pemain futsal usia remaja, meskipun ini hanya merupakan sebuah penelitian pendahuluan.

(45)

Kelemahan terbesar penelitian ini:

1. Dalam hal metodologi, menentukan besarnya subjek menggunakan total sampling tidak menggunakan rumus. Akibatnya, sangat mungkin terjadi kekurangan jumlah subjek.

2. Pemeriksaan pengelihatan dan pendengaran hanya dilakukan anamnesis, tidak dilakukannya pemeriksaan fisik.

3. Kondisi tempat pada saat melakukan pengambilan data tidak kondusif sehingga fokus pada saat pengambilan data ART dan VRT dapat terganggu.

4. Data mengenai concussion didapatkan berdasarkan retrospective, sehingga recall bias sangat rawan terjadi.

5. Tidak dilakukan penilaian mengenai frekuensi dan interval waktu antar benturan kepala. Hal ini menyebabkan hubungan antar skor ART yang rendah pada kelompok futsal dengan kejadian benturan kepala tidak dapat dinilai.

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian Gambaran tingkat kognitif pemain futsal di SMA Harapan 1 Medan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,641) skor Addenbrooke antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

2. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,929) skor rerata Auditory Reaction Time (ART) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

3. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=935) skor rerata Visual Reaction Time (VRT) antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

4. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,730) rerata nilai raport antara pelajar SMA yang rutin bermain futsal dengan pelajar SMA yang tidak rutin bermain futsal.

5.2. Saran

Dari penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa saran berikut:

1. Dalam penelitian selanjutnya menggunakan perhitungan statistik dalam penentuan jumlah minimal subjek penelitian.

2. Situasi tempat pengambilan data agar lebih kondusif.

3. Perhitungan status dan jumlah concussion yang lebih tepat serta mengetahui rentan interval waktu antara benturan setiap subjek.

4. Sebaiknya pemeriksaan pendengaran maupun pengelihatan dilakukan dengan pemeriksaan fisik bukan hanya pemeriksaan anamnesis

5. Sebaiknya penelitian dilakukan dengan prospective sehinggal recall bias dapat terhindari.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Alford, P, W., Dabiri, B, E., Goss, J, A., Hemphill, M, A., Brigham, M, D., dan Parker, K, K. (2011).‘Blast-induced phenotypic switching in cerebral vasospasm’. Proc Natl Acad Sci U S A. 108(31):12705-12710. 


Bell, D, R., Guskiewicz, K, M., Clark, M, A., Padua, D, A. (2011). ‘Systematic review of the balance error scoring system’. Sports Health. 3(3): 287–95.

Blaylock, R, L., dan Maroon, J. (2011). ‘Immunoexcitotoxicity as a central mechanism in chronic traumatic encephalopathy a unifying hypothesis’. Surg Neurol Int. 2:107.

Blennow, K., Brody, D, L., Kochanek, P, M., Levin, H., McKee, A., Ribbers, G.M., Yaffe, K., dan Zetterberg, H., 2016. ‘Traumatic brain injuries’. Nature reviews Disease primers, 2, p.16084.

Bodin, D., dan Yeates, K, O. (2010). ‘Traumatic Brain Injury’. In R. J. Shaw & D.

DeMaso (Eds.), ‘Textbook of pediatric psychosomatic medicine’.

Washington, DC: American Psychiatric Publishing.

Brandimonte, M.A., Bruno, N., Collina, S. Cognition. Dalam: P. Pawlik and G.

d’Ydewalle (Eds.) ‘Psychological Concepts: An International Historical Perspective’. Hove, UK: Psychology Press, 2006.

Brody, A, S., Frush, D, P., Huda, W., Brent, R, L. (2007) ‘American Academy of Pediatrics Section on Radiology’. Radiation risk to children from computed tomography. Pediatrics. 120:677-682.

Broglio, S.P., Sosnoff, J.J., Shin, S., He, X., Alcaraz, C., dan Zimmerman, J. (2009).

‘Head impacts during high school football: A biomechanical assessment’. J Athl Train, 44, 342–349.

Burke, M.J., Fralick, M., Nejatbakhsh, N., Tartaglia, M,C., dan Tator, C.H. (2015).

‘In search of evidence-based treatment for concussion: characteristics of current clinical trials’. Brain injury, 29(3), pp.300-305.

Castile, L., Collins, C, L., McIlvain, N, M., dan Comstock, R, D. (2011). ‘The epidemiology of new versus recurrent sports concussions among high school athletes 2005–2010’. Br J Sports Med, pp.bjsports.

Cicerone, K, D. (2002) ‘Remediation of "working attention" in mild traumatic brain injury’. Brain Inj. 16(3):185–95.

Comstock, R. D., Currie, D. W., Pierpoint, L. A., Grubenhoff, J. A., dan Fields, S.

K. (2015). ‘An Evidence-Based Discussion of Heading the Ball and Concussions in High School Soccer’. JAMA Pediatrics, 169(9), 830–8.

http://doi.org/10.1001/jamapediatrics.2015.1062

Di Virgilio, et al. (2016). Evidence for Acute Electrophysiological and Cognitive Changes Following Routine Soccer Heading. EBioMedicine, 13(C), 66–71.

http://doi.org/10.1016/j.ebiom.2016.10.029

Faul, M et al. (2010) ‘Traumatic brain injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths 2002-2006’. Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control.

Gambar

Gambar 2.1Waktu Neurometabolik Concussion
Gambar 2.2 Diagram Proses Terjadinya Biological Seluler Akut  Setelah Concussion
Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian Concussion
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Adapun penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Musik Klasik Terhadap Daya Ingat Jangka Pendek Pada Siswa/I Kelas XI IPA SMA Harapan 1 Medan Tahun 2019” ini diajukan