• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Oleh: Jely Agri Famela

Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRACT

The implementation of De-radicalization Program by National Counter Terrorism Agency (NCTA) is expected to be able to overcome terrorism in Indonesia. This research will talk about De-radicalization Program which is already implemented by National Counter Terrorism Agency in Indonesia but with a lot of pros and cons upon its implementation. This research uses several conceptual frameworks such as terrorism, de-radicalization, and counter-radicalization. This is a qualitative study using descriptive-explanative analysis. The information used in this research was collected through deep interview from the informants. The research finds that there is a gap between de-radicalization concept and the implementation of de-radicalization program in the field. NCTA also had a lot of obstacles during its implementation. A lot of pros and cons upon De-radicalization program of NCTA was indicated to its effectiveness to counter terrorism in Indonesia.

Keywords: Terrorism, De-radicalization, Counter-Radicalization

Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, terhitung sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 telah menimbulkan efek negatif terhadap stabilitas keamanan, politik dan ekonomi nasional. Keresahan muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia maupun Warga Negara Asing yang sedang berada di Indonesia karena target dan modus operandi terorisme yang dilakukan secara acak, sehingga setiap orang memiliki potensi untuk menjadi korban. Sulitnya pendeteksian dini terhadap waktu dan tempat terjadinya aksi terorisme semakin memberikan ancaman nyata bagi Indonesia (Ruth, 2011: 6).

Merujuk kepada pemikiran Martha Crenshaw (2005), aksi teror yang terjadi di Indonesia, terhitung sejak Bom Bali I merupakan bentuk baru dari terorisme (new terrorism). Crenshaw lebih lanjut menjelaskan bahwa new terrorism adalah suatu aksi teror yang masih tetap berpegang pada paradigma yang sama dengan bentuk terorisme pada masa lalu, namun dalam cara yang lebih berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Cara yang berbeda disini dilihat dari modus operandi teroris dalam melakukan aksi terorisme (Crenshaw,2005 dalam Golose, 2009: 9).

Terorisme akhirnya menuntut penanggulangan segera bagi negara-negara yang

(2)

untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, beberapa negara seperti Arab Saudi, Yaman, Mesir, Singapura, Malaysia, Kolombia, Al-Jazair, Tajikistan dan Indonesia memanfaatkan program deradikalisasi sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan terorisme di negara masing-masing. Indonesia pasca Bom Bali I tahun 2002 mulai memberikan reaksi sosial formal atas kejahatan terorisme ini. Terbukti dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 sebagai badan penyusun kebijakan, strategi, dan program nasional dibidang penanggulangan terorisme. Di bawah koordinasi BNPT, pemerintah Indonesia mewujudkan deradikalisasi sebagai sebuah kebijakan dalam menanggulangi masalah terorisme di Indonesia (BNPT, 2010).

Program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT khususnya Direktorat Deradikalisasi diharapkan dapat menyelesaikan masalah terorisme yang dihadapi oleh Indonesia. Namun, dalam kenyataannya terdapat berbagai reaksi masyarakat yang masih belum memahami program ini. Ansyaad Mbai sebagai ketua BNPT mengakui bahwa pelaksanaan program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT memang masih belum berhasil meredam pikiran atau tindakan radikal di masyarakat sekarang ini.

Kelompok teroris masih tetap eksis dan mengancam masyarakat Indonesia (Kompas, 10/09/2012).

Hal ini kemudian berindikasi pada munculnya pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan program deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian ini untuk mendeskripsikan pelaksanaan program deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya Direktorat Deradikalisasi dalam menanggulangi terorisme di Indonesia, dan membahas pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh BNPT.

Tinjauan Teoritis

Golose mendefinisikan deradikalisasi sebagai suatu bentuk upaya menetralisir

paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi,

agama, sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau ter-ekspose paham radikal

dan/atau pro-kekerasan. (Golose, 2009: 63). Johnston menyatakan bahwa deradikalisasi

digunakan untuk mengubah ataupun mengembalikan ideologi seseorang dari radikal

(3)

kepada ajaran agama yang benar. Hal tersebut diwujudkan melalui rehabilitasi di lapas agar napi teroris dapat diterima kembali oleh masyarakatnya (Johnston, 2009:9). Rabasa, Pettyjohn, Ghez, dan Boucek juga mengartikan konsep deradikalisasi sebagai proses menetralisir ideologi seseorang,mengubahnya dari radikal menjadi tidak radikal, tidak hanya terbatas pada tataran perubahan perilaku (Rabasa, Pettyjohn, Ghez, Boucek, 2010:6-7). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa deradikalisasi bergerak pada tataran ideologi.

Arab Saudi sebagai salah satu negara yang mempraktikan deradikalisasi sebagai program kontra-teror menyatakan bahwa masalah terorisme yang terjadi di negara mereka karena pemahaman nilai-nilai agama Islam yang salah. Pemerintahan Arab Saudi menyadari bahwa untuk menanggulangi pergerakan terorisme ini tidak bisa dilakukan dengan cara yang militeristik, tetapi mengembalikan ideologi radikal para teroris menjadi cara berpikir menurut Islam yang benar (Boucek, 2008:1-4). Oleh karena itu, Arab Saudi menggunakan re-edukasi dan rehabilitasi terhadap napi teroris sebagai pendekatan deradikalisasi mereka. (Bjorgo dan Horgan, 2008:212).

Yaman juga menggunakan deradikalisasi sebagai program kontra-teror negaranya. Yaman memilih cara berdialog untuk mengembalikan rasionalitas teroris terhadap ajaran Islam. Hal ini disesuaikan dengan masalah radikalisme yang dihadapi oleh Yaman, yaitu pergerakan teroris yang muncul dari bawaan orang-orang yang telah berjuang di Afganistan. Presiden Ali Abdullah Saleh pada September 2002 membuat sebuah komite untuk mengatasi masalah terorisme di negara mereka, komite tersebut bernama Committee for Religious Dialogue (Taarnby, 2005 dalam Golose, 2009:78)

Mesir juga menggunakan program deradikalisasi yang tidak jauh berbeda dengan Arab Saudi, yaitu melawan terorisme dari dalam penjara dan penerbitan buku anti-teror yang ditulis oleh napi maupun mantan napi teroris (Brachman, 2007:12).

Sementara Singapura menanggulangi terorisme dengan memanfaatkan partisipasi

masyarakat di dalam program deradikalisasi mereka. Singapura membentuk sebuah

organisasi masyarakat dengan nama Religious Rehabilitation Group (RRG) pada tahun

2003. Selain itu, pada awal Januari 2004, RRG membentuk Religious Rehabilitation

Counselor (RRC) sebagai lembaga konseling agama bagi para napi anggota JI (Jamaah

Islamiyah). Program penanggulangan terorisme di Singapura tidak hanya fokus pada

(4)

rehabilitasi dan konseling, tetapi juga program pendidikan yang berbasis kemasyarakatan (Feisal, 2007:10).

Selain Arab Saudi, Yaman, Mesir dan Singapura, Negara lain seperti Malaysia, Kolombia, Al-Jazair dan Tajikistan juga mempraktikan deradikalisasi. Malaysia memiliki dasar hukum Internal security Act (ISA), Act 82. Aturan tersebut mengekang pergerakan terorisme di Malaysia, mengingat hukuman yang dijatuhkan sangat berat bagi pelanggarnya (Bjorgo dan Horgan, 2008:179).. Al-Jazair melaksanakan deradikalisasi terhadap Army Islamic Salvation (AIS) (Ashour, 2008:8). Sedangkan Tajikistan melakukan program deradikalisasi melalui jalur dialog antar kelompok religious maupun sekuler (Bjorgo dan Horgan, 2008:178-179).

Dari beberapa kajian jurnal internasional serta penelitian terdahulu, konsep deradikalisasi berkembang menjadi sebuah program penanggulangan terorisme di berbagai negara. Deradikalisasi yang diwujudkan dalam suatu program memiliki kesamaan karakteristik di beberapa negara. Persamaan program tersebut dirangkum oleh Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) menjadi sebelas, yakni: (a) pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum, (b) pelaksanaan program khusus dalam penjara, (c) program pendidikan, (d) pengembangan dialog lintas budaya, (e) pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi, (f) kerja sama global dalam penanggulangan terorisme, (g) pengawasan terhadap cyber terrorism, (h) perbaikan perangkat perundang-undangan, (i) program rehabilitasi, (j) pengembangan dan penyebaran informasi baik regional, dan (k) pelatihan serta kualifikasi para agen yang terlibat di dalam melaksanakan kebijakan kontra radikalisasi (CTITF, 2008: 5).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Creswell

penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang

sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar, foto,

rekaman video dan lain-lain. (Creswell, 2010: 18). Dalam penelitian ini, peneliti

melakukan teknik wawancara secara mendalam dengan informan untuk mengumpulkan

data yang relevan dan valid mengenai pelaksanaan deradikalisasi yang dilakukan oleh

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam menanggulangi terorisme di

Indonesia, agar tahap berikutnya dapat dilakukan analisis mendalam terhadap

pelaksanaan deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

(5)

Analisis Hasil

Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) melihat deradikalisasi sebagai suatu kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang yang telah terpengaruh paham-paham radikal, program ini dimaksudkan agar orang-orang tersebut mampu kembali terintegrasi dengan masyarakat atau setidaknya meredakan niat mereka agar tidak melakukan tindakan kejahatan (CTITF, 2008: 5). Sama seperti CTITF, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melihat deradikalisasi lebih dari sebuah konsep, deradikalisasi juga sebuah program untuk menanggulangi terorisme. Seperti Mesir, Arab Saudi maupun Yaman, Indonesia juga menggunakan deradikalisasi sebagai sebuah program untuk mengatasi masalah terorisme di negara ini.

Seperti yang disampaikan oleh Golose (2009), input program deradikalisasi di Indonesia terdiri dari dua input atau target dari program deradikalisasi, yaitu input positif dan input netral. Input positif terdiri dari orang-orang yang menganut paham radikal dan terorisme. Kemudian input netral adalah bagian dari masyarakat umum yang rentan terhadap pendekatan gerakan radikal atau teroris dan anggota masyarakat yang belum memiliki sikap atau kesadaran terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Kedua input ini akhirnya disesuaikan dengan program deradikalisasi BNPT (Golose, 2009:123).

Gambar 1. Program Deradikalisasi Badan Nasioanl Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Sumber: Olahan Peneliti Program

Deradikalisas i BNPT

Program Anti- Radikalisasi

Sosialisasi→Pelaksanaan FGD, seminar ke sekolah, pesantren

dan universitas, Workshop kurikulum pendidikan agama,

dan pembuatan TOT Anti- Radikalisasi.

Pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah-

daerah.

Program Deradikalisasi

Menggunakan empat pendekatan:

Rehabilitasi→Reedukasi→Res osialisasi→reintegrasi

(6)

Merujuk pada gambar di atas, program deradikalisasi BNPT dilaksanakan sesuai dengan target program, masyarakat umum dan napi teroris. Program anti-radikalisasi dibagi menjadi dua model kegiatan. Pertama, sosialisasi melalui kegiatan seminar, FGD maupun workshop kurikulum pendidikan agama. Kedua, pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) sebagai perwakilan BNPT di daerah- daerah. Sementara program deradikalisasi itu sendiri dilakukan di lapas yang menampung terorisme melalui empat pendekatan, yaitu rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan reintegrasi.

Untuk Program Anti-Radikalisasi, Direktorat Deradikalisasi BNPT melalui sub- direktorat penangkalan menyusun berbagai program untuk mengatasi munculnya kader- kader teroris dari penyebaran propaganda radikal tersebut. Berikut adalah beberapa program anti-radikalisasi yang sudah dilakukan oleh BNPT.

1. Sosialisasi. Program pencegahan berupa sosialisasi dilakukan melalui pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD), seminar ke sekolah-sekolah, pesantren dan universitas, Workshop kurikulum pendidikan agama dan TOT Anti-Radikalisasi.

a) Focus Group Discussion (FGD) merupakan kegiatan anti-radikalisasi BNPT yang dilakukan melalui diskusi maupun debat akademik. Salah satu contoh kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang sudah dilakukan oleh BNPT adalah Debat Akademik, yaitu “Antara Deradikalisasi dan Disengagement” pada Oktober 2011. Kegiatan ini bekerja sama dengan Universitas Indonesia.

b) Seminar yang dilakukan ke sekolah-sekolah, universitas maupun pesantren juga identik dengan topik anti-radikalisme. Dalam pelaksanaan program Anti-Radikalisasi, BNPT tidak melakukannya sendirian, tetapi berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti universitas, pesantren, sekolah dan LSM.

c) Workshop kurikulum agama dan TOT Anti-Radikalisasi merupakan program yang dilakukan melalui koordinasi dengan institusi pemerintahan lainnya, khususnya departemen pendidikan dan MUI.

Namun, koordinasi yang dilakukan oleh BNPT dengan institusi

(7)

pemerintahan terkait sampai dengan saat sekarang ini masih terbatas pada pembuatan MOU maupun sebatas rapat koordinasi saja.

2. Pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT). FKPT dibentuk sebagai perwakilan BNPT di setiap provinsi di Indonesia. Terhitung sampai dengan April 2013, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, BNPT sudah meresmikan sebanyak 20 FKPT di daerah. FKPT melibatkan unsur masyarakat dan pemerintahan daerah. Unsur pemerintahan daerah yang dimaksud terdiri dari, Pemda itu sendiri, Kesbangpol, Polda, Kodam, DPRD, dan Kejati.

Sementara unsur masyarakat terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh wanita, tokoh adat dan tokoh pemuda.

Sementara itu, program deradikalisasi BNPT ditujukan bagi napi teroris maupun mantan napi teroris yang memang sudah radikal dan melakukan tindakan kekerasan yang melanggar hukum. Program deradikalisasi yang dilakukan di bawah koordinasi sub-direktorat Reahabilitasi&Resosialisasi ini memiliki empat pendekatan dalam proses pelaksanaanya, keempat pendekatan tersebut adalah, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Keempat pendekatan ini seperti anak tangga yang dilakukan secara berurutan, mulai dari rehabilitasi, dilanjutkan dengan reedukasi, kemudian resosialisasi dan terakhir reintegrasi.

Rehabilitasi dilakukan untuk menetralisir ideologi radikal napi teroris yang

membuat mereka melakukan tindakan kekerasan. Setelah rehabilitasi dilakukan, maka

proses selanjutnya adalah mengisi kembali ajaran-ajaran agama yang benar, agar para

napi teroris tidak lagi radikal dan menyebarkan propaganda radikal yang kemudian

memunculkan tindakan kekerasan. Setelah reedukasi dilakukan, napi teroris berada pada

tahap resosialisasi, yaitu mempersiapkan para napi teroris untuk kembali ke lingkungan

masyarakat. Pada tahap terakhir, dilakukan reintegrasi, yaitu tahap untuk membuat para

napi teroris dapat di terima di lingkungan masyarakat. Mantan napi teroris yang sudah

keluar dari penjara juga tetap diawasi dan diajak berdiskusi agar mereka tidak mudah

kembali pada ideologi radikal dan melakukan residivis.

(8)

Tabel 1 Empat Pendekatan Program Deradikalisi BNPT

No Jenis Program Deskripsi

1. Rehabilitasi Rehabilitasi terhadap napi teroris:

a. BNPT berkoordinasi dengan lapas-lapas menyusun agenda untuk melaksanakan diskusi agama antara napi teroris dengan pembicara yang merupakan ustad, ulama maupun mantan petinggi teroris.

Terkadang BNPT juga mendatangkan pembicara dari luar negri, seperti Mesir, Afganistan dan Arab Saudi. Selai itu BNPT juga mewadahi napi teroris maupun mantan napi teroris yang menurut mereka sudah berhasil melalui program deradikalisasi untuk menerbitkan buku.

Analisis peneliti: Program ini sudah berjalan cukup baik, tetapi BNPT harus menjadikan program ini berjalan secara rutin dan berkelanjutan.

b. Pemisahan ruang tahanan antara napi teroris dengan napi kriminal lainnya.

Analisis peneliti: Program ini belum di implementasikan di seluruh lapas yang menampung napi teroris di Indonesia.

2. Reedukasi Reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris:

a. Reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris melalui dakwah agama oleh ustad-ustad.

Analisis peneliti: Dalam hal ini BNPT

(9)

perlu mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris dengan departemen agama maupun pendidikan.

Hal ini dibutuhkan untuk pelaksanaan reedukasi yang lebih kondusif.

3. Resosialisasi a. Kegiatan wirausaha di lapas oleh napi teroris, dilakukan untuk persiapan resosialisasi kepada masyarakat umum.

Analisis peneliti: Program ini sudah dilaksanakan, tetapi masih memerlukan pengawasan agar keuntungan dari kegiatan wirausaha ini tidak disalahgunakan.

4. Reintegrasi a. Kegiatan reintegrasi berjalan seiringan dengan resosialisasi.

Analisis peneliti: BNPT harus

memperhatikan kembali program deradikalisasinya. Khususnya bidang reintegrasi dan resosialisasi yang memegang peranan penting dalam angka residivis, terkait pengembalian napi teroris ke masyarakat.

Sumber: Olahan Peneliti

Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Yang Sudah Dilakukan Oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Meskipun BNPT sudah melakukan tugas mereka dalam koordinasi dan implementasi program deradikalisasi, ternyata masih terdapat pro dan kontra di masyarakat umum terkait dengan pelaksanaan program tersebut. Kontraversial terhadap program deradikalisasi BNPT ini memunculkan isu-isu negartif mengenai BNPT sendiri.

Hal ini menunjukan kontroversial terhadap program deradikalisasi tidak hanya terpaku

pada implementasi program saja, tetapi lebih dalam pada tataran prinsip yang dipegang

(10)

oleh kelompok teroris. Melihat hal tersebut, maka penjelasan terhadap isu pro maupun kontra terkait program deradikalisasi menjadi penting untuk ditelaah.

Beredarnya pro dan kontra terkait pelaksanaan program deradikalisasi ini memunculkan reaksi berbagai pihak. Menurut Direktur Deradikalisasi, kontroversial terkait implementasi deradikalisasi kebanyakan muncul dari kalangan radikal juga. Rasa tidak puas dan tidak mendapat keadilan membuat kelompok radikal berusaha menolak program pemerintah untuk deradikalisasi. Sebagai pihak yang berada dalam posisi pemerintah sebagai pelaksana program deradikalisasi, BNPT melihat bahwa teroris adalah kelompok orang yang merasa tidak adil terhadap kebijakan pemerintah. Namun bila ditelusuri lebih dalam, fokus deradikalisasi terhadap kelompok teroris memang tepat dilakukan melalui rehabilitasi di lapas. Tetapi BNPT tidak menyadari isu sensitif terkait pelaksaan program deradikalisasi bagi kelompok radikal yang bukan teroris.

Kondisi Negara Indonesia yang membebaskan setiap warga negara untuk beraspirasi dan berpendapat menyebabkan berbagai bentuk propaganda menjadi hal yang sah, termasuk propaganda radikal. Sekarang ini hukum Indonesia memperbolehkan warga negaranya untuk bebas berpikir dan berpendapat, namun tidak untuk tindakan anarkis. Dalam hal ini, terorisme adalah propaganda radikal yang menggunakan anarkisme dalam mewujudkan tujuannya. Sangat jelas bahwa hal ini melanggar hukum dan wajib untuk ditangani. Sementara propaganda radikal yang berkembang di masyarakat juga ada yang tidak menggunakan kekerasan.

Negara lain seperti Malaysia memiliki aturan hukum yang kuat untuk melarang warga negaranya melakukan propaganda radikal, sehingga permasalahan terorisme yang mungkin terjadi dapat dideteksi secara dini. Malaysia memiliki dasar hukum Internal Security Act (ISA), Act 82. Aturan tersebut mengekang pergerakan terorisme di Malaysia, mengingat hukuman yang dijatuhkan sangat berat bagi pelanggarnya (Bjorgo dan Horgan, 2008:179).

Sementara Indonesia dalam program deradikalisasinya memiliki dua target

utama, yaitu napi teroris dan masyarakat umum. Untuk melakukan program

deradikalisasi terhadap napi maupun eks-napi teroris, BNPT dapat menggunakan

wewenangnya untuk melakukan koordinasi dengan lapas dalam rehabilitasi ideologi

radikal yang dimiliki oleh napi teroris. Namun, untuk masyarakat umum sebagai target

program deradikalisasi, Indonesia tidak memiliki ruang gerak untuk melarang

(11)

propaganda radikal. Hal ini dikarenakan UUD 1945 pasal 28 membebaskan masyarakat untuk berserikat dan mengutarakan pemikirannya. Mengingat propaganda radikal non- kekerasan tidak bisa disentuh dengan mudah oleh BNPT, maka ketika BNPT menyerukan program anti-radikalisasinya, yang muncul adalah kontraversial terhadap program deradikalisasi BNPT yang bias bagi kelompok radikal.

Dengan kebebasan berserikat dan berpikir yang ada dalam pasal 28 UUD 1945 tersebut menyebabkan kelompok radikal kontra terhadap program deradikalisasi BNPT.

Mereka merasa hasrat mereka untuk berserikat dibatasi dengan adalanya BNPT dan program deradikalisasi. BNPT menghalangi keinginan mereka untuk berpikir dan mengutarakan hasil pemikirannya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa kebebasan tersebut tidak menghalalkan tindakan kekerasan seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok teroris sebelumnya.

Hal ini menjadi dilemma tersendiri bagi BNPT yang tidak bisa membatasi keinginan seseorang untuk berserikat dan berpikir. BNPT hanya bisa mengklaim kelompok radikal yang melakukan tindakan anarkis. Sementara untuk pelaksanaan program, terutama pada bidang pencegahan membuat isu kontraversial bagi BNPT sendiri.

Kembali lagi pada penggunaan istilah deradikalisasi sebagai sebuah program.

Kelompok radikal tidak setuju dengan deradikalisasi BNPT yang menurut mereka bias.

Kontraversial terhadap program deradikalisasi dari kalangan radikal ini membuktikan bahwa BNPT belum mempertimbangkan permasalahan hukum Indonesia yang membebaskan rakyatnya untuk berserikat dan menyampaikan pikirannya. Begitu pula halnya dengan kelompok radikal, yang menjadi masalah adalah tindakan anarkisnya, bukan ideologi radikalnya.

Hal ini memang sebuah permasalahan yang perlu untuk segera di antisipasi, agar BNPT dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan dibentuknya BNPT.

Solusi terhadap kontraversial yang muncul dari kalangan radikal ini perlu ditanggapi

dengan segera, mengingat arah program deradikalisasi yang juga menyentuh masyarakat

umum. Penggunaan kata deradikalisasi yang sensitif, terutama bagi kelompok radikal

seharusnya menjadi perhatian bagi BNPT. Tidak menutup kemungkinan untuk

menggunakan kata-kata yang lebih bersahabat dan menyesuaikan dengan sistem sosial-

(12)

kultural bangsa Indonesia. Hal ini kemudian dapat membantu BNPT dalam mensosialisasikan programnya.

Selain kontraversial yang muncul disebabkan oleh kalangan radikal, ternyata pendapat kontra juga muncul dari masyarakat umum. Berdasarkan keterangan dari pimpinan dua LSM yang berpengalaman dengan masyarakat, yaitu Yayasan Prasasti Perdamaian dan Lazuardi Birru, pendapat kontra muncul dari masyarakat umum juga disebabkan oleh BNPT itu sendiri. Mereka kebanyakan tidak tahu mengenai BNPT, bagi mereka yang tahu pun tidak mengetahui secara jelas mengenai program deradikalisasi itu sendiri. Sosialisasi BNPT membuat masyarakat hanya tersugesti dari pemberitaan kinerja BNPT yang hanya terbatas pada penangkapan dan penyergapan saja. Sementara itu, dari sisi pencegahan dan penanggulangan yang merupakan kegiatan pokok dari program deradikalisasi tidak terlalu tersorot oleh media.

Nugroho yang merupakan Ketua Umum Lazuardi Birru mengatakan bahwa pihaknya mengetahui program BNPT yang melibatkan Nasir Abbas, mantan teroris lainnya dan pesantern dari keterangan Nasir Abbas sendiri, bukan dari BNPT dan bukan pula dari liputan media massa terkait pelaksanaan program deradikalisasi. Dari pernyataan tersebut peneliti melihat bahwa program deradikalisasi BNPT memang tidak diketahui oleh masyarakat luas. Ruang untuk publikasi kegiatan deradikalisasi BNPT, baik yang di lapas maupun untuk masyarakat umum masih minim di media massa.

Kita tahu bahwa peran media massa maupun media online sangat kuat dalam membentuk opini publik di era globalisasi ini. Begitu pula halnya dengan pebentukan opini publik terkait pro dan kontra terhadap pelaksanaan program deradikalisasi oleh BNPT. Kelompok teroris bahkan kelompok radikal sekalipun sangat gencar melakukan propaganda radikal melalui media online. Sementara BNPT sebaliknya, mereka tidak memiliki website yang berfungsi secara kondusif sebagai media publikasi utama program deradikalisasi. Selain itu, sikap tetutup BNPT membuat isu kontra lebih dominan dibandingkan dengan isu pro.

Hal ini dikonfirmasi oleh Direktur Deradikalisasi BNPT. Menurutnya

pemberitaan terhadap pelaksanaan program deradikalisasi di lapas yang terdiri dari

empat pendekatan tersebut tidak perlu diekspos. Pemberitaan kegiatan rehabilitasi

maupun reedukasi tidak perlu diketahui oleh masyarakat umum. Sementara untuk

program deradikalisasi ke masyarakat umum yang tergabung dalam kegiatan anti-

(13)

radikalisasi selalu di liput oleh media. Direktur Deradikalisasi BNPT menuturkan bahwa memang pemberitaan terhadap kegiatan semacam seminar, pembetukan FKPT di daerah ataupun workshop tidak diekspos media secara berlebihan, seperti yang dilakukan pada pemeritaan penangkapan maupun penyergapan. Namun, baru-baru ini BNPT berkoordinasi membuat sebuah website yang memberikan gambaran kegiatan BNPT, termasuk pembentukan FKPT di daerah-daerah.

Selain masalah sosialisasi, kontraversial juga timbul terkait pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum. Meskipun BNPT sudah bekerja sama dengan beberapa LSM dan tokoh masyarakat, namun ada juga beberapa LSM yang cukup berkompeten dalam penanggulangan terorisme di Indonesia tidak pernah bekerja sama dengan BNPT.

Yayasan Prasasti Perdamaian sebagai salah satu contoh. Bahkan Ketua Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui dengan jelas program deradikalisasi BNPT.

Diantara isu kontoversial terhadap pelaksanaan program deradikalisasi oleh BNPT, ada juga yang pro. Melihat keberhasilan negara-negara lain yang sudah melakukan program deradikalisasi dalam waktu yang cukup lama. Direktur Deradikalisasi BNPT menyatakan bahwa pihaknya optimis dalam menjalankan program deradikalisasi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal hanya membutuhkan waktu.

Singapura baru berhasil mempraktikan program deradikalisasi setelah sepuluh tahun.

Begitu pula dengan Arab Saudi yang harus membuat lima penjara khusus untuk pelaksanaan program deradikalisasi. Direktur deradikalisasi BNPT menyebutkan bahwa teroris adalah individu yang sudah puluhan tahun mendapat doktrin sehingga menjadi radikal, sementara program deradikalisasi di Indonesia baru berjalan satu setengah tahun menuju dua tahun.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis di atas, maka disimpulkan bahwa program

deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT berbeda dengan konsep deradikalisasi

umumnya. Berdasarkan konsep, deradikalisasi ditujukan kepada orang-orang yang

sudah radikal sebagai target, tetapi program deradikalisasi BNPT memiliki dua target,

yaitu napi teroris dan masyarakat umum. Pelaksanaan program deradikalisasi ini

kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra. Pendapat pro muncul dari kalangan

(14)

BNPT yang optimis melakukan program deradikalisasi. Sementara pendapat kontra menyatakan bahwa program deradikalisasi adalah program yang bias bagi kelompok radikal. Penggunaan kata deradikalisasi sendiri menjadi hal sensitif bagi kelompok radikal. Selain itu sosialisasi BNPT terhadap program deradikalisasi sendiri sangat minim.

Saran

Perlunya payung hukum yang jelas terhadap pelaksanaan deradikalisasi sebagai sebuah program penanggulangan terorisme di Indonesia. Selain itu, BNPT sebagai badan koordinasi penanggulangan terorisme juga membutuhkan payung hukum yang kuat dalam menindak dan melakukan program penangguulangan terorisme. Undang- Undang terkait terorisme juga perlu diperbarui, khususnya bagian propaganda radikal.

Hal ini harus diperjelas untuk membatasi ruang kelompok teroris melakukan aksi terorisnya yang berbentuk kekerasan dengan mengatasnamakan propaganda radikal.

Sosialisasi terhadap program deradikalisasi BNPT diharapkan lebih terbuka.

Sebaiknya BNPT transparan terhadap program deradikalisasinya, daripada hanya berfokus pada eksplorasi penangkapan yang hanya menimbulkan kontraversial.

Kepustakaan

Bjorgo T & Horgan J. (2009). Leaving Terrorism Behind: Individual and Collective Disengagement. London: Routledge

Creswell, John W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Cetakan 1 Edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Golose, Pertus Reinhard. (2009). Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian

Ruth, Madya Dhyah. (2011). Terorisme: Kapankah Usai ( Rekomendasi dan Catatan

Kritis untuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Jakarta: Lazuardi

Birru

(15)

Setara Institut. (2012). Dari Radikalisme Menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal Di Jawa Tengah & D.I Yogyakarta.

Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara

Ashour, Omar. (2007). Middle East Journal, Vol. 61, No. 4 (Autumn, 2007), pp. 596- 625: “Lions Tamed? An Inquiry into the Causes of De-Radicalization of Armed Islamist Movements:The Case of the Egyptian Islamic Group”

Boucek, Christopher. (2008). Carnegie PAPERS: “Saudi Arabia’s “Soft”

Counterterrorism Strategy: Prevention, Rehabilitation, and Aftercare”

EU Transnational Terrorism, Security and Rule of Law Reasearchers. (2008).

Transnational Terrorism, Security and Rule of Law: “The EU Counterradicalization Strategy Evaluating EU policies concerning causes of radicalization”

Horgan. J.. 2008. Deradicalization or Disengagement?: A process in need of clarity and a counterterrorism initiative in need of evaluation. Perspective on Terrorism.

Volume II, Issue 4, February 2008.

Johnston, Amanda K. (2009). Naval Post-Graduate School Master’s Thesis Publishing:

“ Assessing The Effectiveness Of Deradicalization Programs On Islamist Extemists”

Rabasa, Angel, Stacie L. Pettyjohn,, Jeremy J. Ghez and Christopher Boucek. (2010).

RAND National Security Research Division: “ Deradicalizing Islamist Extremists”

BNPT. 2010. Profil Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Jakarta:BNPT Brachman, Jarret. Leading Egyptian Jihadist Sayyid Imam Renounce violence. CTC

Sentinel. Diunduh dari situs

http://www.cicentre.com/Document/Vol1%20Iss1%20CTCSentinel- Dec%2007.pdf pada 15 Oktober 2012, pukul 22.04 WIB

Conter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF). First Report of the Working Group on Radicalisation and Extremism that Lead to Terrorism: Inventory of

State Programmes. Diakses dari situs

http://www.un.org/terrorism/pdfs/Report%20of%20the%20Working%20Group

%20-%20Workgroup%202.pdf pada tanggal 15 Oktober 2012, pukul 23:45

WIB.

(16)

Feisal, Mohamed bin Mohamed Hassan. The Roles Of Religious Rehabilitation Group

(RRG) in Singapur. RRG. Diakses dari situs

http://www.rrg.sg/edisi/data/The_roles_of_RRG.pdf pada tanggal 23 Agustus 2012, pukul 21:34 WIB

Kompas 10/09/2012. Ansyaad Akui Deradikalisasi Belum Berhasil.

http://nasional.kompas.com/read/2012/09/10/14482785/Ansyaad.Akui.Deradikal

isasi.Belum.Berhasil . Diunduh pada 20 Oktober 2012, pukul 13:46 WIB

Gambar

Gambar 1. Program Deradikalisasi Badan Nasioanl Penanggulangan Terorisme  (BNPT)
Tabel 1 Empat Pendekatan Program Deradikalisi BNPT

Referensi

Dokumen terkait

Berkelanjutan Pasar Apung Kondisi Pemerintah Semarang saat ini adalah adan anggaran untuk mengem pencapaian visi kawasan w kawasan BKB serta kekuran dalam mengelola

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusrizal (2011) yang menyatakan bahwa rata-rata biaya total pengobatan demam tifoid menggunakan kloramfenikol

10 jenis ikan yang di dapat pada saat penelitian di padang lamun pantai tongkaiana adalah umumnya penghuni daerah padang lamun dan ada juga ikan yang hanya

Rancangan skematik detail arsitektural khusus berupa fasad pada bangunan dengan menggunakan secondary skin yang diletakkan pada bagian sisi barat, dan timur bangunan.. Penggunaan

kuat geser untuk dinding bata merah yang diperkuat wiremesh dan PP-Band tidak significant dibandingkan dengan dinding batafoam perkuatan, sehingga material batafoam

Oleh karena itu, dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh nilai pH awal Medium Ekstrak Tauge (MET) terhadap kerapatan sel mikroalga Chlorella Beijerinck pada

j. Jika keadaan menunjukan bahwa suatu penerbangan yang diberi pemanduan sedang mengalami kegagalan komunikasi dengan kemungkinan akan menuju ke salah satu bandara

TEKNOLOGI PERAKITAN GEN TANAMAN UNTUK TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN DAN SALIN DALAM UPAYA..