Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Oleh: Jely Agri Famela
Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ABSTRACT
The implementation of De-radicalization Program by National Counter Terrorism Agency (NCTA) is expected to be able to overcome terrorism in Indonesia. This research will talk about De-radicalization Program which is already implemented by National Counter Terrorism Agency in Indonesia but with a lot of pros and cons upon its implementation. This research uses several conceptual frameworks such as terrorism, de-radicalization, and counter-radicalization. This is a qualitative study using descriptive-explanative analysis. The information used in this research was collected through deep interview from the informants. The research finds that there is a gap between de-radicalization concept and the implementation of de-radicalization program in the field. NCTA also had a lot of obstacles during its implementation. A lot of pros and cons upon De-radicalization program of NCTA was indicated to its effectiveness to counter terrorism in Indonesia.
Keywords: Terrorism, De-radicalization, Counter-Radicalization
Aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, terhitung sejak peristiwa Bom Bali I pada 2002 telah menimbulkan efek negatif terhadap stabilitas keamanan, politik dan ekonomi nasional. Keresahan muncul di tengah-tengah masyarakat Indonesia maupun Warga Negara Asing yang sedang berada di Indonesia karena target dan modus operandi terorisme yang dilakukan secara acak, sehingga setiap orang memiliki potensi untuk menjadi korban. Sulitnya pendeteksian dini terhadap waktu dan tempat terjadinya aksi terorisme semakin memberikan ancaman nyata bagi Indonesia (Ruth, 2011: 6).
Merujuk kepada pemikiran Martha Crenshaw (2005), aksi teror yang terjadi di Indonesia, terhitung sejak Bom Bali I merupakan bentuk baru dari terorisme (new terrorism). Crenshaw lebih lanjut menjelaskan bahwa new terrorism adalah suatu aksi teror yang masih tetap berpegang pada paradigma yang sama dengan bentuk terorisme pada masa lalu, namun dalam cara yang lebih berbeda seiring dengan perkembangan zaman. Cara yang berbeda disini dilihat dari modus operandi teroris dalam melakukan aksi terorisme (Crenshaw,2005 dalam Golose, 2009: 9).
Terorisme akhirnya menuntut penanggulangan segera bagi negara-negara yang
untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, beberapa negara seperti Arab Saudi, Yaman, Mesir, Singapura, Malaysia, Kolombia, Al-Jazair, Tajikistan dan Indonesia memanfaatkan program deradikalisasi sebagai bentuk reaksi sosial formal terhadap kejahatan terorisme di negara masing-masing. Indonesia pasca Bom Bali I tahun 2002 mulai memberikan reaksi sosial formal atas kejahatan terorisme ini. Terbukti dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 sebagai badan penyusun kebijakan, strategi, dan program nasional dibidang penanggulangan terorisme. Di bawah koordinasi BNPT, pemerintah Indonesia mewujudkan deradikalisasi sebagai sebuah kebijakan dalam menanggulangi masalah terorisme di Indonesia (BNPT, 2010).
Program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT khususnya Direktorat Deradikalisasi diharapkan dapat menyelesaikan masalah terorisme yang dihadapi oleh Indonesia. Namun, dalam kenyataannya terdapat berbagai reaksi masyarakat yang masih belum memahami program ini. Ansyaad Mbai sebagai ketua BNPT mengakui bahwa pelaksanaan program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT memang masih belum berhasil meredam pikiran atau tindakan radikal di masyarakat sekarang ini.
Kelompok teroris masih tetap eksis dan mengancam masyarakat Indonesia (Kompas, 10/09/2012).
Hal ini kemudian berindikasi pada munculnya pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan program deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh karena itu peneliti melakukan penelitian ini untuk mendeskripsikan pelaksanaan program deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya Direktorat Deradikalisasi dalam menanggulangi terorisme di Indonesia, dan membahas pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan deradikalisasi yang sudah dilakukan oleh BNPT.
Tinjauan Teoritis
Golose mendefinisikan deradikalisasi sebagai suatu bentuk upaya menetralisir
paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi,
agama, sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau ter-ekspose paham radikal
dan/atau pro-kekerasan. (Golose, 2009: 63). Johnston menyatakan bahwa deradikalisasi
digunakan untuk mengubah ataupun mengembalikan ideologi seseorang dari radikal
kepada ajaran agama yang benar. Hal tersebut diwujudkan melalui rehabilitasi di lapas agar napi teroris dapat diterima kembali oleh masyarakatnya (Johnston, 2009:9). Rabasa, Pettyjohn, Ghez, dan Boucek juga mengartikan konsep deradikalisasi sebagai proses menetralisir ideologi seseorang,mengubahnya dari radikal menjadi tidak radikal, tidak hanya terbatas pada tataran perubahan perilaku (Rabasa, Pettyjohn, Ghez, Boucek, 2010:6-7). Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa deradikalisasi bergerak pada tataran ideologi.
Arab Saudi sebagai salah satu negara yang mempraktikan deradikalisasi sebagai program kontra-teror menyatakan bahwa masalah terorisme yang terjadi di negara mereka karena pemahaman nilai-nilai agama Islam yang salah. Pemerintahan Arab Saudi menyadari bahwa untuk menanggulangi pergerakan terorisme ini tidak bisa dilakukan dengan cara yang militeristik, tetapi mengembalikan ideologi radikal para teroris menjadi cara berpikir menurut Islam yang benar (Boucek, 2008:1-4). Oleh karena itu, Arab Saudi menggunakan re-edukasi dan rehabilitasi terhadap napi teroris sebagai pendekatan deradikalisasi mereka. (Bjorgo dan Horgan, 2008:212).
Yaman juga menggunakan deradikalisasi sebagai program kontra-teror negaranya. Yaman memilih cara berdialog untuk mengembalikan rasionalitas teroris terhadap ajaran Islam. Hal ini disesuaikan dengan masalah radikalisme yang dihadapi oleh Yaman, yaitu pergerakan teroris yang muncul dari bawaan orang-orang yang telah berjuang di Afganistan. Presiden Ali Abdullah Saleh pada September 2002 membuat sebuah komite untuk mengatasi masalah terorisme di negara mereka, komite tersebut bernama Committee for Religious Dialogue (Taarnby, 2005 dalam Golose, 2009:78)
Mesir juga menggunakan program deradikalisasi yang tidak jauh berbeda dengan Arab Saudi, yaitu melawan terorisme dari dalam penjara dan penerbitan buku anti-teror yang ditulis oleh napi maupun mantan napi teroris (Brachman, 2007:12).
Sementara Singapura menanggulangi terorisme dengan memanfaatkan partisipasi
masyarakat di dalam program deradikalisasi mereka. Singapura membentuk sebuah
organisasi masyarakat dengan nama Religious Rehabilitation Group (RRG) pada tahun
2003. Selain itu, pada awal Januari 2004, RRG membentuk Religious Rehabilitation
Counselor (RRC) sebagai lembaga konseling agama bagi para napi anggota JI (Jamaah
Islamiyah). Program penanggulangan terorisme di Singapura tidak hanya fokus pada
rehabilitasi dan konseling, tetapi juga program pendidikan yang berbasis kemasyarakatan (Feisal, 2007:10).
Selain Arab Saudi, Yaman, Mesir dan Singapura, Negara lain seperti Malaysia, Kolombia, Al-Jazair dan Tajikistan juga mempraktikan deradikalisasi. Malaysia memiliki dasar hukum Internal security Act (ISA), Act 82. Aturan tersebut mengekang pergerakan terorisme di Malaysia, mengingat hukuman yang dijatuhkan sangat berat bagi pelanggarnya (Bjorgo dan Horgan, 2008:179).. Al-Jazair melaksanakan deradikalisasi terhadap Army Islamic Salvation (AIS) (Ashour, 2008:8). Sedangkan Tajikistan melakukan program deradikalisasi melalui jalur dialog antar kelompok religious maupun sekuler (Bjorgo dan Horgan, 2008:178-179).
Dari beberapa kajian jurnal internasional serta penelitian terdahulu, konsep deradikalisasi berkembang menjadi sebuah program penanggulangan terorisme di berbagai negara. Deradikalisasi yang diwujudkan dalam suatu program memiliki kesamaan karakteristik di beberapa negara. Persamaan program tersebut dirangkum oleh Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) menjadi sebelas, yakni: (a) pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum, (b) pelaksanaan program khusus dalam penjara, (c) program pendidikan, (d) pengembangan dialog lintas budaya, (e) pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi, (f) kerja sama global dalam penanggulangan terorisme, (g) pengawasan terhadap cyber terrorism, (h) perbaikan perangkat perundang-undangan, (i) program rehabilitasi, (j) pengembangan dan penyebaran informasi baik regional, dan (k) pelatihan serta kualifikasi para agen yang terlibat di dalam melaksanakan kebijakan kontra radikalisasi (CTITF, 2008: 5).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Creswell
penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang
sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara , catatan lapangan, gambar, foto,
rekaman video dan lain-lain. (Creswell, 2010: 18). Dalam penelitian ini, peneliti
melakukan teknik wawancara secara mendalam dengan informan untuk mengumpulkan
data yang relevan dan valid mengenai pelaksanaan deradikalisasi yang dilakukan oleh
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dalam menanggulangi terorisme di
Indonesia, agar tahap berikutnya dapat dilakukan analisis mendalam terhadap
pelaksanaan deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Analisis Hasil
Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) melihat deradikalisasi sebagai suatu kebijakan yang ditujukan kepada orang-orang yang telah terpengaruh paham-paham radikal, program ini dimaksudkan agar orang-orang tersebut mampu kembali terintegrasi dengan masyarakat atau setidaknya meredakan niat mereka agar tidak melakukan tindakan kejahatan (CTITF, 2008: 5). Sama seperti CTITF, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melihat deradikalisasi lebih dari sebuah konsep, deradikalisasi juga sebuah program untuk menanggulangi terorisme. Seperti Mesir, Arab Saudi maupun Yaman, Indonesia juga menggunakan deradikalisasi sebagai sebuah program untuk mengatasi masalah terorisme di negara ini.
Seperti yang disampaikan oleh Golose (2009), input program deradikalisasi di Indonesia terdiri dari dua input atau target dari program deradikalisasi, yaitu input positif dan input netral. Input positif terdiri dari orang-orang yang menganut paham radikal dan terorisme. Kemudian input netral adalah bagian dari masyarakat umum yang rentan terhadap pendekatan gerakan radikal atau teroris dan anggota masyarakat yang belum memiliki sikap atau kesadaran terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Kedua input ini akhirnya disesuaikan dengan program deradikalisasi BNPT (Golose, 2009:123).
Gambar 1. Program Deradikalisasi Badan Nasioanl Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Sumber: Olahan Peneliti Program
Deradikalisas i BNPT
Program Anti- Radikalisasi
Sosialisasi→Pelaksanaan FGD, seminar ke sekolah, pesantren
dan universitas, Workshop kurikulum pendidikan agama,
dan pembuatan TOT Anti- Radikalisasi.
Pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) di daerah-
daerah.
Program Deradikalisasi
Menggunakan empat pendekatan:
Rehabilitasi→Reedukasi→Res osialisasi→reintegrasi
Merujuk pada gambar di atas, program deradikalisasi BNPT dilaksanakan sesuai dengan target program, masyarakat umum dan napi teroris. Program anti-radikalisasi dibagi menjadi dua model kegiatan. Pertama, sosialisasi melalui kegiatan seminar, FGD maupun workshop kurikulum pendidikan agama. Kedua, pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) sebagai perwakilan BNPT di daerah- daerah. Sementara program deradikalisasi itu sendiri dilakukan di lapas yang menampung terorisme melalui empat pendekatan, yaitu rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan reintegrasi.
Untuk Program Anti-Radikalisasi, Direktorat Deradikalisasi BNPT melalui sub- direktorat penangkalan menyusun berbagai program untuk mengatasi munculnya kader- kader teroris dari penyebaran propaganda radikal tersebut. Berikut adalah beberapa program anti-radikalisasi yang sudah dilakukan oleh BNPT.
1. Sosialisasi. Program pencegahan berupa sosialisasi dilakukan melalui pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD), seminar ke sekolah-sekolah, pesantren dan universitas, Workshop kurikulum pendidikan agama dan TOT Anti-Radikalisasi.
a) Focus Group Discussion (FGD) merupakan kegiatan anti-radikalisasi BNPT yang dilakukan melalui diskusi maupun debat akademik. Salah satu contoh kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang sudah dilakukan oleh BNPT adalah Debat Akademik, yaitu “Antara Deradikalisasi dan Disengagement” pada Oktober 2011. Kegiatan ini bekerja sama dengan Universitas Indonesia.
b) Seminar yang dilakukan ke sekolah-sekolah, universitas maupun pesantren juga identik dengan topik anti-radikalisme. Dalam pelaksanaan program Anti-Radikalisasi, BNPT tidak melakukannya sendirian, tetapi berkoordinasi dengan berbagai pihak seperti universitas, pesantren, sekolah dan LSM.
c) Workshop kurikulum agama dan TOT Anti-Radikalisasi merupakan program yang dilakukan melalui koordinasi dengan institusi pemerintahan lainnya, khususnya departemen pendidikan dan MUI.
Namun, koordinasi yang dilakukan oleh BNPT dengan institusi
pemerintahan terkait sampai dengan saat sekarang ini masih terbatas pada pembuatan MOU maupun sebatas rapat koordinasi saja.
2. Pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT). FKPT dibentuk sebagai perwakilan BNPT di setiap provinsi di Indonesia. Terhitung sampai dengan April 2013, dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, BNPT sudah meresmikan sebanyak 20 FKPT di daerah. FKPT melibatkan unsur masyarakat dan pemerintahan daerah. Unsur pemerintahan daerah yang dimaksud terdiri dari, Pemda itu sendiri, Kesbangpol, Polda, Kodam, DPRD, dan Kejati.
Sementara unsur masyarakat terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh wanita, tokoh adat dan tokoh pemuda.
Sementara itu, program deradikalisasi BNPT ditujukan bagi napi teroris maupun mantan napi teroris yang memang sudah radikal dan melakukan tindakan kekerasan yang melanggar hukum. Program deradikalisasi yang dilakukan di bawah koordinasi sub-direktorat Reahabilitasi&Resosialisasi ini memiliki empat pendekatan dalam proses pelaksanaanya, keempat pendekatan tersebut adalah, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan reintegrasi. Keempat pendekatan ini seperti anak tangga yang dilakukan secara berurutan, mulai dari rehabilitasi, dilanjutkan dengan reedukasi, kemudian resosialisasi dan terakhir reintegrasi.
Rehabilitasi dilakukan untuk menetralisir ideologi radikal napi teroris yang
membuat mereka melakukan tindakan kekerasan. Setelah rehabilitasi dilakukan, maka
proses selanjutnya adalah mengisi kembali ajaran-ajaran agama yang benar, agar para
napi teroris tidak lagi radikal dan menyebarkan propaganda radikal yang kemudian
memunculkan tindakan kekerasan. Setelah reedukasi dilakukan, napi teroris berada pada
tahap resosialisasi, yaitu mempersiapkan para napi teroris untuk kembali ke lingkungan
masyarakat. Pada tahap terakhir, dilakukan reintegrasi, yaitu tahap untuk membuat para
napi teroris dapat di terima di lingkungan masyarakat. Mantan napi teroris yang sudah
keluar dari penjara juga tetap diawasi dan diajak berdiskusi agar mereka tidak mudah
kembali pada ideologi radikal dan melakukan residivis.
Tabel 1 Empat Pendekatan Program Deradikalisi BNPT
No Jenis Program Deskripsi
1. Rehabilitasi Rehabilitasi terhadap napi teroris:
a. BNPT berkoordinasi dengan lapas-lapas menyusun agenda untuk melaksanakan diskusi agama antara napi teroris dengan pembicara yang merupakan ustad, ulama maupun mantan petinggi teroris.
Terkadang BNPT juga mendatangkan pembicara dari luar negri, seperti Mesir, Afganistan dan Arab Saudi. Selai itu BNPT juga mewadahi napi teroris maupun mantan napi teroris yang menurut mereka sudah berhasil melalui program deradikalisasi untuk menerbitkan buku.
Analisis peneliti: Program ini sudah berjalan cukup baik, tetapi BNPT harus menjadikan program ini berjalan secara rutin dan berkelanjutan.
b. Pemisahan ruang tahanan antara napi teroris dengan napi kriminal lainnya.
Analisis peneliti: Program ini belum di implementasikan di seluruh lapas yang menampung napi teroris di Indonesia.
2. Reedukasi Reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris:
a. Reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris melalui dakwah agama oleh ustad-ustad.
Analisis peneliti: Dalam hal ini BNPT
perlu mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan reedukasi terhadap napi teroris dan mantan napi teroris dengan departemen agama maupun pendidikan.
Hal ini dibutuhkan untuk pelaksanaan reedukasi yang lebih kondusif.
3. Resosialisasi a. Kegiatan wirausaha di lapas oleh napi teroris, dilakukan untuk persiapan resosialisasi kepada masyarakat umum.
Analisis peneliti: Program ini sudah dilaksanakan, tetapi masih memerlukan pengawasan agar keuntungan dari kegiatan wirausaha ini tidak disalahgunakan.
4. Reintegrasi a. Kegiatan reintegrasi berjalan seiringan dengan resosialisasi.
Analisis peneliti: BNPT harus
memperhatikan kembali program deradikalisasinya. Khususnya bidang reintegrasi dan resosialisasi yang memegang peranan penting dalam angka residivis, terkait pengembalian napi teroris ke masyarakat.
Sumber: Olahan Peneliti