• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penatalaksanaan gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari Juli 2012 kajian dosis dan kemungkinan interaksi obat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penatalaksanaan gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari Juli 2012 kajian dosis dan kemungkinan interaksi obat"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PENATALAKSANAANGANGGUANSALURANPERNAPASAN DIRUMAHSAKITPANTIRINIYOGYAKARTA

PERIODEJANUARI-JULI2012

KAJIANDOSISDANKEMUNGKINANINTERAKSIOBAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Serevino Leonardo Ambuk

NIM : 078114001

Oleh:

Maria Fransiska Ambuk

NIM : 098114112

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

PENATALAKSANAANGANGGUANSALURANPERNAPASAN DIRUMAHSAKITPANTIRINIYOGYAKARTA

PERIODEJANUARI-JULI2012

KAJIANDOSISDANKEMUNGKINANINTERAKSIOBAT

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh:

Serevino Leonardo Ambuk

NIM : 078114001

Oleh:

Maria Fransiska Ambuk

NIM : 098114112

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Aku yang membentuk nasibku sendiri,

Sehingga yang kuupayakan adalah

pembentuk kualitas hidupku”

(

Mario Teguh)

Kupersembahkan karya ini untuk:

Yesus, Orang Tua, Saudara,

(6)
(7)
(8)

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas penyertaan-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Penatalaksanaan

Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Januari - Juli 2012, Kajian Dosis dan Kemungkinan Interaksi Obat”

yang disusun sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana

Farmasi (S. Farm) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tentunya tidak

terlepas dari segala dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Direktur Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta, dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR,

yang telah memberikan ijin menggunakan Rumah Sakit Panti Rini sebagai

tempat untuk menjalankan penelitian.

3. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk bergabung dalam penelitian

ini dan bimbingan yang telah diberikan selama ini.

4. Ibu Aris Widayati, M. Si., Ph.D, Apt. dan dr. Fenty, M. Kes., Sp.PK selaku

dosen penguji atas kesediaannya menjadi dosen penguji serta bimbingan dan

saran yang diberikan.

5. Kepala Sub Seksi Farmasi (Y. Betty Husadani S. Farm., Apt.), Kepala Seksi

(9)

ix

Seksi Keperawatan (Sr. Lucia Utami, CB), Kepala Sub Seksi Rawat Inap

(Suster A. M. Siti Listiyani) beserta staf, serta Bagian Sekretariat dan

Personalia (Yoseph Ardianto) beserta staf, atas bantuan dan dukungan selama

penelitian

6. Segenap dosen yang telah memberikan ilmu selama penulis menempuh

pendidikan di Fakultas Farmasi Sanata Dharma, Yogyakarta.

7. Bapa Tomas Ambuk dan mama Bernadetha Dugis yang telah membesarkan,

mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan doa yang tulus serta

pengorbanan tanpa henti kepada penulis.

8. Kakak-kakakku tersayang Yosep Fandinas Ambuk dan Serevino Leonardo

Ambuk yang telah mengayomi penulis serta menjadi motivator dan inspirator

penulis dalam menyusun penelitian.

9. Bergita Jemimun “Kumbang” yang telah mendukung, memberi semangat,

dan doa ketika peneliti dalam keadaan sulit.

10.Regina Arningsari Ewo Pati, Maria Rosari Quincy Pang, dan Silvia Agustina

atas kerjasama, suka dan duka yang dilalui bersama.

11. Suster “Custer” Novita, Devi Ipin, Mache Febria, Endang Milkon, dan

Nangning umed, yang telah menjadi sahabat terbaik, tempat curahan hati, dan

supporter setia penulis.

12.Teman-teman FKK B 2009 dan Farmasi 2009 yang telah memberi semangat

dan dukungan selama penyusunan skripsi.

13.Semua pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, atas

(10)

x

Penulis menyadari penelitian ini masih belum sempurna mengingat

keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga tulisan ini dapat

berguna demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

PRAKATA ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xx

ABSTRACT ... xxi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 8

(12)

xii

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saluran Pernapasan ... 9

B. Gangguan Saluran Pernapasan ... 13

1. Asma ... 13

a. Definisi ... 13

b. Etiologi ... 13

c. Patofisiologi ... 13

d. Manifestasi Klinis ... 14

e. Penatalaksanaan ... 14

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ... 16

a. Definisi ... 16

b. Etiologi ... 16

c. Patofisiologi ... 16

d. Manifestasi Klinis ... 17

e. Penatalaksanaan ... 17

3. Pneumonia ... 19

a. Definisi ... 19

b. Etiologi ... 20

c. Patofisiologi ... 20

d. Manifestasi Klinis ... 20

e. Manajemen Terapi ... 21

4. Tuberkulosis ... 22

a. Definisi ... 22

(13)

xiii

c. Patofisiologi ... 22

d. Manifestasi Klinis ... 23

e. Penatalaksanaan ... 23

C. Pharmaceutical Care ... 26

D. Drug Therapy Problems ... 26

E. Dosis ... 28

F. Interaksi Obat ... 29

G. Keterangan Empiris... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31

B. Variabel Penelitian ... 31

C. Definisi Operasional ... 31

D. Subyek Penelitian ... 32

E. Bahan Penelitian ... 33

F. Alat Penelitian ... 33

G. Tata Cara Penelitian ... 33

H. Tata Cara Analisis Data ... 35

I. Kesulitan Penelitian ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit panti Rini Yogyakarta ... 37

1. Golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan ... 37

(14)

xiv

B. Evaluasi Pengobatan pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan Periode

Januari - Juli 2012 ... 41

1. Dosis terlalu tinggi ... 41

2. Interaksi obat ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan ... 46

B. Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 48

LAMPIRAN ... 51

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Dosis golongan beta-2 agonis secara oral dan inhalasi ... 15

Tabel II. Dosis kortikosteroid inhalasi ... 15

Tabel III. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis

Tetap untuk Kategori 1 ... 24

Tabel IV. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis

Tetap untuk Kategori 2 ... 24

Tabel V. Dosis Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap untuk

sisipan ... 25

Tabel VI. Penyebab-penyebab Drug Related Problems ... 27

Tabel VII. Tingkat signifikasi interaksi obat ... 29

Tabel VIII. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien

yang menggunakan obat gangguan saluran pernapasan di

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli

2012 ... .38

Tabel IX. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien

yang menggunakan obat lain selain gangguan saluran

pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode

Januari - Juli 2012 ... 39

Tabel X. Kasus dosis terlalu tinggi pada Pasien yang menggunakan

obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini

(16)

xvi

Tabel XI. Kasus interaksi obat pada pasien yang menggunakan obat

gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekam Medis Kasus 1 ... 52

Lampiran 2. Rekam Medis Kasus 2 ... 54

Lampiran 3. Rekam Medis Kasus 3 ... 56

Lampiran 4. Rekam Medis Kasus 4 ... 58

Lampiran 5. Rekam Medis Kasus 5 ... 60

Lampiran 6. Rekam Medis Kasus 6 ... 62

Lampiran 7. Rekam Medis Kasus 7 ... 64

Lampiran 8. Rekam Medis Kasus 8 ... 66

Lampiran 9. Rekam Medis Kasus 9 ... 68

Lampiran 10. Rekam Medis Kasus 10 ... 70

Lampiran 11. Rekam Medis Kasus 11 ... 72

Lampiran 12. Rekam Medis Kasus 12 ... 74

Lampiran 13. Rekam Medis Kasus 13 ... 76

Lampiran 14. Rekam Medis Kasus 14 ... 78

Lampiran 15. Rekam Medis Kasus 15 ... 80

Lampiran 16. Rekam Medis Kasus 16 ... 84

Lampiran 17. Rekam Medis Kasus 17 ... 86

Lampiran 18. Rekam Medis Kasus 18a ... 88

Lampiran 19. Rekam Medis Kasus 18b ... 90

Lampiran 20. Rekam Medis Kasus 19 ... 92

Lampiran 21. Rekam Medis Kasus 20 ... 94

(19)

xix

Lampiran 23. Rekam Medis Kasus 22 ... 98

Lampiran 24. Rekam Medis Kasus 23 ... 100

Lampiran 25. Rekam Medis Kasus 24 ... 102

Lampiran 26. Rekam Medis Kasus 25 ... 104

Lampiran 27. Rekam Medis Kasus 26 ... 106

Lampiran 28. Rekam Medis Kasus 27 ... 108

Lampiran 29. Rekam Medis Kasus 28 ... 110

Lampiran 30. Rekam Medis Kasus 29 ... 111

Lampiran 31. Rekam Medis Kasus 30 ... 113

Lampiran 32. Rekam Medis Kasus 31 ... 114

Lampiran 33. Rekam Medis Kasus 32 ... 116

Lampiran 34. Rekam Medis Kasus 33 ... 117

Lampiran 35. Rekam Medis Kasus 34 ... 119

Lampiran 36. Rekam Medis Kasus 35a ... 121

Lampiran 37. Rekam Medis Kasus 35b ... 123

Lampiran 38. Rekam Medis Kasus 35c ... 125

Lampiran 39. Rekam Medis Kasus 36a ... 127

Lampiran 40. Rekam Medis Kasus 36b ... 129

Lampiran 41. Rekam Medis Kasus 37 ... 131

Lampiran 42. Rekam Medis Kasus 38 ... 134

Lampiran 43. Rekam Medis Kasus 39 ... 136

Lampiran 44. Komposisi Obat Dagang ... 139

(20)

xx

INTISARI

Bernapas merupakan aktivitas yang penting bagi manusia. Jika terjadi gangguan pada saluran pernapasan, akan timbul berbagai penyakit, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguan saluran pernapasan yang sering terjadi di masyarakat adalah asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis (TB). Oleh karena itu, perlu dilakukan penatalaksanaan agar dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup sehingga pasien dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari serta terhindar dari risiko kematian.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan mengenai dosis dan interaksi obat. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari sampai Juli 2012. Data diperoleh dari lembar medik pasien selama dirawat di Rumah Sakit, kemudian dievaluasi berdasarkan referensi, yaitu Drug Information Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s

Drug Interaction, dan MIMS Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 39 kasus yang memenuhi kriteria inklusi. Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien gangguan saluran pernapasan, yaitu 37 kasus. Ceftriaxone merupakan jenis antibiotika yang banyak dipakai. Ditemukan kejadian dosis terlalu tinggi sebanyak 3 kasus untuk obat cefixim, amlodipin, klopidogrel, dan ondansetron, serta kejadian interaksi obat sebanyak 17 kasus.

(21)

xxi

ABSTRACT

Respiratory disorders vary from mild to severe. Respiratory disorders that frequently occur in society are asthma, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), pneumonia, and tuberculosis (TB). Therefore, management of respiratory disorders is needed to improve and maintain the quality of life of the patients in order to allow them to normal life without any obstacles in performing daily activities and avoid the risk of death.

This research was non experimental. The design of the research was explorative-descriptive research with retrospective. The purpose of this study was to evaluate the treatment of respiratory disorders in patients focusing on dosage and drug interactions. Data were collected at Panti Rini Hospital Yogyakarta in the period of January to July 2012. Data were taken from medical record of the hospitalized patients, and then were evaluated using the Drug Information

Handbook, Drug Interaction Fact, Stockley’s Drug Interaction, and MIMS

Indonesia.

The results show that there are 39 cases that met the inclusion criteria. Antibiotics are a class of drugs most widely used in patients with respiratory disorders. Ceftriaxone is the most antibiotic used in this study. There are 4 cases with the dose was too high and 17 cases whith drug interactions

(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Menurut Ikawati (2007) bernapas merupakan proses inspirasi dan

ekspirasi. Aktivitas ini penting bagi manusia karena tubuh memerlukan suplai

oksigen yang cukup untuk proses metabolisme. Jika terjadi gangguan pada saluran

pernapasan, pertukaran gas akan terganggu dan akan menimbulkan berbagai

penyakit, mulai dari yang ringan sampai yang berat. Gangguan saluran pernapasan

yang sering terjadi di masyarakat adalah asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK), pneumonia, dan tuberkulosis (TB).

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007,

tuberkulosis menempati urutan pertama penyakit menular penyebab kematian di

perkotaan maupun di pedesaan. Tuberkulosis paru klinis tersebar di seluruh

Indonesia dengan prevalensi 0,99%, dan di provinsi DI Yogyakarta adalah 1,58%.

Pada penyakit pneumonia, prevalensi di Indonesia adalah 2,13%, dan untuk

Provinsi DI Yogyakarta adalah 1,81%. Untuk penyakit asma di Indonesia

ditemukan prevalensi sebesar 3,5%, dan di provinsi DI Yogyakarta adalah 3,5%.

Sedangkan menurut Depkes RI (2004) PPOK menempati urutan pertama

penyumbang angka kesakitan (35%) pada tahun 2004.

Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2005),

diperlukan suatu pelayanan kesehatan yang terpadu dalam penatalaksanaan

(23)

satu tenaga kesehatan sudah seharusnya berperan dari aspek pelayanan

kefarmasiannya dengan menerapkan Pharmaceutical Care. Konsep

pharmaceutical care merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien

untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang rasional, baik sebelum,

selama, maupun sesudah penggunaan obat. Dengan diterapkannya pharmaceutical

care, diharapkan kejadian DRPs (Drug Related Problems) dapat dihindari. Drug

Related Problems terdiri dari tujuh kategori, dua di antaranya adalah dosis terlalu

tinggi dan interaksi obat.

Kejadian interaksi obat cukup besar terjadi terutama pada pasien yang

mengkonsumsi banyak macam obat. Dari hasil penelitian yang dilakukan di salah

satu Rumah Sakit Pendidikan di Yogyakarta, ditemukan kejadian interaksi obat

terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan. Pada pasien rawat

inap ditemukan 125 kejadian interaksi (48 interaksi obat-obat dan 77 interaksi

obat-makanan), sedangkan pada rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri

dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan

(Rahmawati, dkk, 2006). Kejadian interaksi seperti ini dapat meningkatkan

toksisitas atau menurunnya efek terapi sehingga pasien tidak cepat sembuh

sebagaimana seharusnya dan terkadang dapat menimbulkan gangguan serius yang

menimbulkan kematian.

Pasien yang menerima obat dalam jumlah lebih banyak dibandingkan

dosis terapinya dapat meningkatkan risiko efek toksik dan bisa membahayakan

pasien. Hal tersebut akan memperlama waktu rawat inap dan menghambat

(24)

paling sering terjadi pada resep dokter adalah over dose yaitu sebesar 66,6% dari

42 resep. Masalah utama DRP dosis terlalu tinggi ini dapat disebabkan karena

kelemahan tenaga kesehatan terutama farmasi klinis dalam memonitor

penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan.

Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta merupakan rumah sakit swasta yang

yang dimiliki oleh Yayasan Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rini memiliki

pelayanan dasar, umum, gigi, dan pelayanan medik spesialistik, yaitu Spesialis

Penyakit Dalam, Bedah, Penyakit Anak, serta Kebidanan dan Kandungan.

Berdasarkan informasi dari pihak Rumah Sakit Panti Rini bagian Pelayanan

Medik dan Penunjang Medik, penyakit gangguan saluran pernapasan, seperti

asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) masuk dalam 10 besar

penyakit yang sering terjadi pada tahun 2011. Oleh karena itu, peneliti melakukan

penelitian di Rumah Sakit Panti Rini mengenai penggunaan obat pada pasien

gangguan saluran pernapasan dengan kajian dosis terlalu tinggi dan kemungkinan

interaksi obat, sebagai salah satu usaha penulis untuk memonitor penggunaan obat

pada pasien gangguan saluran pernapasan. Penelitian ini hasilnya diharapkan

dapat diaplikasi pada pelaksanaan pharmaceutical care di rumah sakit sehingga

patient safety bisa terwujud.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, permasalahan yang diteliti adalah:

(25)

2. Apakah ditemukan regimen dosis yang terlalu tinggi yang diberikan pada

pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit periode Januari - Juli

2012?

3. Apakah terjadi kemungkinan interaksi antar obat-obat yang diberikan pada

pasien gangguan saluran pernapasan?

C. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran pustaka yang dilakukan, penelitian ini belum

pernah dilakukan. Akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan

masalah penatalaksanaan pada pasien gangguan saluran pernapasan yang telah

dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut:

1. Pola Penggunaan Obat Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada Pasien Geriatri

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari - Desember

2003, oleh: Arifah pada tahun 2004. Metode dan hasil Pengumpulan data

dalam penelitian ini dilakukan secara retrospektif dan dianalisis dengan

metode deskriptif. Hasil yang didapat adalah pemakaian golongan obat

bronkodilator (100%), kortikosteroid (71%), antibiotik (59%), mukolitik

(63%), ekspektoran (7%), antitusif (15%). Penggunaan obat PPOK pada

pasien geriatri rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih periode Januari -

Desember 2003 sudah sesuai dengan standar pelayanan medis PPOK,

Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di Indonesia, dilihat dari pemilihan

obat dan kesesuaian dosis kortikosteroid (98%) dan antibiotik (90%),

(26)

bronkodilator diberikan secara kombinasi, sehingga diperlukan pengaturan

dosis, yaitu diturunkan di bawah dosis lazim.

2. Evaluasi Penggunaan Kombinasi Antibiotik pada Pasien Pneumonia Pediatrik

Rawat Inap di RSUD Sleman Yogyakarta Periode Tahun 2006, oleh:

Utmiyannah tahun 2007. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif evaluatif

dengan metode pengumpulan data secara retrospektif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dari 86 kasus terdapat 54 kasus (62,79%) sesuai dan 32

kasus (37,21%) yang tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Medik RSUD

Sleman tahun 2005, sedangkan berdasarkan jurnal American Family Physician

(2004), diketahui sebanyak 79 kasus (91,86%) sesuai dan 7 kasus (8,14%)

tidak sesuai antara jenis bakteri dengan antibiotik.

3. Evaluasi Pola Penggunaan Anti Tuberkulosis di Instalasi Rawat Inap RS Dr.

Sardjito Yogyakarta Periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2007, oleh

Risdania pada tahun 2008. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang

dilakukan degan metode retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dari 79 pasien tuberkulosis, yang menggunakan OAT-kombipak sebanyak 29

pasien dan OAT-FDC sebanyak 42 pasien. Kesesuaian jenis obat anti

tuberkulosis sebanyaka 63 kasus (88,73%) dan kesesuaian dosis obat anti

tuberkulosis sebanyak 48 kasus (67,61%). Lama perawatan rata-rata pasien di

RS Dr. Sardjito Yogyakarta periode 1 Januari 2006 - 31 Desember 2007 untuk

pasien tuberkulosis tanpa penyakit penyerta adalah 9,91 hari dengan hasil

pengobatan adalah sembuh sebanyak 4,35% pasien, 82,60% membaik, 8,70%

(27)

4. Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors dan Drug Therapy

Problems pada Pasien RS Bethesda Yogyakarta Periode Agustus 2008 (Kajian

Penggunaan Obat Saluran Pernapasan), oleh: Tandiose pada tahun 2008.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian non eksperimental, dengan

rancangan penelitian eksploratif deskriptif yang bersifat prospektif. Jumlah

kasus yang menerima obat saluran pernapasan di Rumah Sakit Bethesda

adalah adalah 22 kasus. DTP dan ME yang terjadi, dosis terlalu tinggi 4 kasus,

dosis terlalu rendah 12 kasus, ADR 5 kasus, interaksi obat 8 kasus,

complience 6 kasus, potensi administration error 3 kasus, pemberian diluar

instruksi dokter 1 kasus dan kegagalan mengecek instruksi 3 kasus.

5. Evaluasi Drug Therapy Problems pada Pengobatan Pasien Stroke di Unit

Stroke Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas Periode Januari - Juni 2009

(Kajian Obat Pencernaan dan Pernapasan), oleh: Septiana pada tahun 2009.

Rancangan penelitiannya adalah deskriptif analitik yang bersifat retrospektif.

Dari hasil penelitian ini ditemukan 24 kasus stroke pada Rumah Sakit Umum

Daerah Banyumas. Identifikasi DRPs penggunaan obat pencernaan dan

pernapasan diperoleh 24 kasus, yang terdiri dari 23 kasus dosis kurang, 2

kasus dosis berlebih, serta 1 kasus efek samping dan interaksi obat.

6. Pola Penggunaan Obat Asma pada Pasien Asma Dewasa Rawat Inap di

Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yogyakarta Periode Januari - Desember

2010, oleh: Husan tahun 2011. Penelitian ini menggunakan rancangan non

eksperimental (deskriptif) dengan metode pengumpulan data secara

(28)

kriteria inklusi adalah 54 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah

kasus yang mengalami tepat indikasi sebesar 98,0%, jumlah kasus yang

mengalami tepat obat sebesar 93,0%, jumlah kasus yang mengalami tepat

pasien sebesar 94%, dan jumlah kasus yang mengalami tepat dosis sebesar

98,0%. Frekuensi lama perawatan pasien paling banyak pada kisaran 1-5

(88,7%). Frekuensi keadaan pulang pasien paling banyak adalah membaik

(54,8%).

7. DRPs Kategori Tepat Dosis dan Tepat Indikasi pada Pasien Rawat inap

dengan Diagnosis Tuberkulosis di RSUD Tidar Magelang Periode Januari -

Desember 2009, oleh: Purwaningtyas pada tahun 2011. Penelitian ini

menggunakan rancangan penelitian non eksperimental dan bersifat deskriptif.

Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dengan mencatat rekam

medik pasien. Pasien yang memenuhi criteria inklusi sebanyak 24 orang. Hasil

identifikasi diperoleh bahwa pada DRP kategori dosis tidak ditemukan DRP

yang disebabkan oleh dosis terlalu tinggi dan DRP dalam hal dosis terlalu

rendah sebesar 1,27%, sedangkan pada DRP kategori tepat indikasi ditemukan

DRP membutuhkan terapi tambahan sebesar 2,54% dan terapi tidak perlu

sebesar 4,24%.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada pada

subyek, waktu, dan tempat penelitian, yaitu pasien dengan gangguan saluran

pernapasan periode Januari - Juli 2012 di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti

(29)

saluran pernapasan yaitu aspek keamanan yang meliputi dosis dan kemungkinan

interaksi obat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran,

informasi, dan referensi bagi para tenaga kesehatan, khususnya farmasis, untuk

menjalankan perannya dengan lebih meningkatkan pelayanan terapi obat yang

benar dan berkualitas di seluruh rumah sakit, khususnya di Rumah Sakit Panti

Rini Yogyakarta, sehingga patient safety bisa terwujud.

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengidentifikasi pola penggunaan obat pada pasien gangguan saluran

pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012.

2. Untuk mengidentifikasi dosis obat terlalu tinggi yang diberikan pada pasien

saluran gangguan pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode

Januari - Juli 2012.

3. Untuk mengidentifikasi ada tidaknya interaksi yang terjadi pada obat-obat

yang diberikan pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit

(30)

9

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan

Menurut Somantri (2007) bernapas adalah perpindahan oksigen (O2) dari

udara menuju ke sel-sel tubuh dan keluarnya karbondioksida (CO2) dari sel-sel

menuju udara bebas. Saluran pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu saluran

pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah.

Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan (Somantri, 2007)

Saluran pernapasan bagian atas terdiri atas:

1. Lubang hidung (cavum nasalis)

Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai

penyaring kasar terhadap benda asing yang masuk. Hidung berfungsi sebagai

(31)

pelindung dan penyaring udara, indra penciuman, dan reseptor suara (Somantri,

2007).

2. Sinus parasinalis

Sinus parasinalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.

Sinus berfungsi untuk membantu menghangatkan dan humidifikasi, meringankan

berat tulang tengkorak, serta mengatur bunyi suara manusia dengan ruang

resonansi (Somantri, 2007).

3. Faring

Faring adalah tabung muskular berukuran 12,5 cm yang merentang dari

bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus.

a. Nasofaring, terdiri dari dua tuba eustachius (auditorik) dan amandel faring

b. Orofaring, terdiri dari uvula dan amandel palatinum

c. Laringofaring mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang merupakan

gerbang untuk sistem respiratorik selanjutnya.

(Pearce, 2009).

4. Laring

Laring terletak di depan bagian terendah faring yang memisahkannya dari

kolumna vertebra, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan

masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan

yang diikat bersama oleh ligament dan membran. Pita suara terletak didalam

laring, berjalan dari tulang rawan tiroid di sebelah depan sampai di kedua tulang

(32)

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri atas:

1. Saluran udara konduktif:

a. Trakea

Trakea dilapisis selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan

sel cangkir. Silia ini bergerak menuju ke atas laring sehingga debu dan

butir-butir halus lainnya yang masuk dapat dikeluarkan (Pearce, 2009).

b. Bronkus dan bronkiolus

Cabang bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih

vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing

lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronkus

sebelah kiri. Bronkus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkiolus,

yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago

menyebabkan bronkiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat

mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus atau

lubang kecil yang terletak antar alveoli yang berfungsi untuk mencegah kolaps

alveoli (Somantri, 2007).

2. Saluran respiratorius terminal

a. Alveoli

Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan

paru-paru. Parenkim tersebut mengandung berjuta-juta unit alveolus. Alveoli

merupakan kantong udara yang berukuran sangat kecil dan merupakan akhir

dari bronkiolus respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2

(33)

b. Paru-paru

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernapasan utama. Paru-paru

mengisi rongga dada, terletak di sebelah kanan dan kiri dan di tengah

dipisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya

yang terletak di dalam mediastinum. Paru-paru dibagi menjadi beberapa

belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan

paru-pari kiri 2 lobus (Pearce, 2009).

c. Dada, diafragma, dan pleura

Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru, jantung, dan

pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri atas dua belas pasang

tulang iga (costae) (Somantri, 2007).

Diafragma terletak di bawah rongga dada. Pengaturan saraf diafragma

(Nervus Phrenicus) terdapat pada susunan syaraf spinal pada tingkat C3,

sehingga jika terjadi kecelakaan pada saraf C3 akan menyebabkan gangguan

ventilasi (Somantri, 2007).

Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru.

Pleura ada dua macam, yaitu pleura parietal dan pleura visceral (Somantri,

2007).

d. Sirkulasi pulmoner

Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah, yaitu arteri bronkhialis

dan arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah teroksigenasi

dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme

(34)

B. Gangguan Saluran Pernapasan 1. Asma

a. Definisi

Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran nafas, yang ditandai

dengan bronkokonstriksi, inflamasi, dan respon yang berlebihan terhadap

rangsang. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma, antara lain:

udara dingin, obat- obatan, stress, olahraga (Ikawati, 2007).

b. Etiologi

Berdasarkan faktor pemicunya, asma dibagi menjadi dua, yaitu asma

ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma ekstrinsik

mengacu pada asma yang disebabkan oleh alergen, yang biasanya terjadi pada

anak-anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi. Asma

intrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar

mekanisme imunitas, dan umumnya dijumpai pada orang dewasa. Beberapa

faktor yang dapat memicu terjadinya asma, antara lain: udara dingin,

obat-obatan, stress, dan olahraga (Ikawati, 2007).

c. Patofisiologi

Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari

meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan

dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu

pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator

inflamasi, yaitu histamin, leukotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil.

(35)

dahak yang kental, dan gangguan fungsi mukosiliar. Sedangkan pada asma

non-atopik, mekanismenya bukan melalui sel mast tetapi melalui stimulasi

pada jalur refleks parasimpatik yang melepaskan asetilkolin, dan kemudian

mengkontraksi otot polos bronkus (Ikawati, 2007).

d. Manifestasi klinis

Manifestasi asma mudah dijelaskan oleh adanya peradangan dan

obstruksi saluran napas. Gejalanya adalah batuk, mengi (wheezing), dispnea

dan rasa sesak di dada, takipnea dan takikardia, pulsus paradoksus,

hipoksemia, hiperkapnia dan asidosi respiratorik, hiperresponsivitas bronkus

(McPhee dan Ganong, 2011).

e. Penatalaksanaan

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan

dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal

tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol)

(Depkes RI, 2009). Terapi non-farmakologi yang bisa diberikan adalah:

edukasi pasien, banyak minum air, kontrol secara teratur, dan pola hidup sehat

dengan berhenti merokok, kegiatan fisik (senam) (Binfar, 2007).

Menurut U.S. Departement of Health and Human Service (2011) terapi

farmakologi asma diklasifikasikan menjadi:

1) Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk

merelaksasi otot-otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk

bernafas, memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi

(36)

(bronkodilator). Berikut adalah aturan dosis golongan beta-2 agonis yang

sering diberikan pada pasien:

Tabel I. Dosis golongan beta-2 agonis secara oral dan inhalasi (Ikawati, 2007)

Obat Dosis

dinaikkan 5mg 3 x sehari

3-7 th: ½-1 sdk takar, 2-3 x sehari.

7-15 th: 1-2 sdm (2,5 mg) 2 x sehari

2) Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati

inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi udem dan mukus berlebih,

memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk

membantu mencegah timbulnya serangan asma (asthma attack).

Contohnya: kortikosteroid bentuk inhalasi. Berikut adalah aturan dosis

yang sering dipakai pada pasien:

Tabel II. Dosis kortikosteroid inhalasi (Ikawati, 2007)

Obat Dosis

Budesonid 200 mcg, 2 x sehari, asma ringan: 200 mcg sehari. Asma berat: dinaikkan hingga 1 mg 2 x sehari.

(37)

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

a. Definisi

PPOK adalah keadaan penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran

udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini

biasanya progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang

abnormal dari paru terhadap partikel berbahaya (Rubenstein, Wayne, dan

Bradley, 2005).

b. Etiologi

Ada beberapa faktor risiko utama berkembangnya penyakit ini, yang

dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor

paparan lingkungan antara lain: merokok (penyebab utama), polusi udara.

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host antara lain: usia, adanya

gangguan fungsi paru yang sudah terjadi, predisposisi genetik, yaitu defisiensi

α1 antitripsin (AAT) (Ikawati, 2007).

c. Patofisiologi

Menurut Ikawati (2007) terdapat dua gangguan yang sering terjadi

pada PPOK, yaitu:

1) Bronkitis kronis: secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi

dari inhalasi iritan, yaitu dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi

terus-menerus seperti asap rokok atau polutan dapat menyebabkan respon

yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini. Asap rokok menghambat

pembersihan mukosiliar (mucociliary clereance). Hiperplasia dan

(38)

saluran nafas. Di samping itu, iritasi asap rokok juga menyebabkan

inflamasi bronkiolus dan alveoli. Akibatnya makrofag dan neutrofil

berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat kerusakan epitel. Bersama

dengan adanya produksi mukus yang berlebih, terjadi sumbatan bronkiolus

dan alveoli

2) Emfisema: terjadi kerusakan dinding dalam asinus (bronkiolus, duktus

alveolus, dan kantong alveolar) yaitu bagian paru-paru yang bertanggung

jawab dalam pertukaran gas. Alveolus mengalami pembesaran dan

kehilangan elastisitas untuk mengerut (recoil). Akibatnya pertukaran O2

dan CO2 terganggu.

d. Manifestasi klinis

Gejala yang timbul adalah peningkatan volume sputum, sesak nafas

yang progresif, dada terasa sesak (chest tightness), sputum yang purulen,

lemah, lesu, mudah lelah (McPhee dan Ganong, 2011).

e. Penatalaksanaan

Menurut WHO (2006), penatalaksanaan PPOK terdiri dari empat

komponen utama, yaitu: pemantauan dan assessment penyakit, mengurangi

faktor risiko, penatalaksaan PPOK yang stabil, dan penatalaksanaan

eksaserbasi akut PPOK. Tujuan terapi pada PPOK stabil adalah memperbaiki

keadaan obstruktif kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut,

menurunkan kecepatan peningkatan penyakit, meningkatkan keadaan fisik dan

(39)

pada eksaserbasi akut adalah untuk memelihara fungsi pernafasan dan

memperpanjang survival.

Terapi non-farmakologi yang dapat diberikan pada pasien adalah

berhenti merokok atau menjauhi asap rokok, olahraga ringan, edukasi

(Rubenstein, Wayne, dan Bradley, 2005). Sedangkan terapi farmakologinya

adalah:

1) Bronkodilator

Bronkodilator ini diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga

jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada

penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting)

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Macam-macam bronkodilator:

a) Golongan antikolinergik: terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang

stabil. Mekanisme kerjanya adalah menghambat reseptor kolinergik

pada otot bronkial untuk mengatasi bronkokonstriksi. Contoh:

ipratropium bromide (Ikawati, 2007).

b) Golongan agonis β2: merupakan bronkodilator dan meningkatkan

pembersihan mukosiliar (mucociliary clereance) (Ikawati, 2007).

c) Kombinasi antikolinergik dan agonis β2: kombinasi kedua golongan

obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya

(40)

obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

d) Golongan metilksantin: digunakan jika pasien intoleran terhadap

bronkodilator lainnya. Contohnya adalah teofilin, aminofilin dalam

bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,

terutama pada derajat sedang dan berat (Ikawati, 2007).

2) Antiiflamasi: digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral

atau injeksi intravena, berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3) Antibiotik: diapakai untuk mengatasi eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada

eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. Antibiotik hanya

diberikan bila terdapat infeksi. Contoh antibiotik yang digunakan adalah

amoksisilin, makrolida, asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

4) Mukolitik: tidak diberikan secara rutin, hanya digunakan sebagai

pengobatan simptomatik bila tedapat dahak (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

3. Pneumonia

a. Definisi

Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkiol dan alveoli yang

dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan

(41)

b. Etiologi

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, seperti

bakteri, virus, mycoplasma, Chlamydia, dan jamur. Sebagian besar kasus

pneumonia disebabkan oleh virus, dimana penyebab tersering adalah

respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza, influenza, dan adenovirus.

Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah

Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus,

dan Mycoplasmapneumonia (Binfar, 2005).

c. Patofisiologi

Pneumonia dimulai dengan infeksi dalam alveoli, membran paru

mengalami peradangan dan berlobang-lobang sehingga cairan dan bahkan sel

darah merah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian, alveoli yang

terinfeksi secara progresif terisi dengan cairan dan infeksi menyebar melalui

perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus. Akhirnya,

kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi “berkonsolidasi”, yang

berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel (Guyton dan Hall, 2008).

d. Manifestasi klinis

Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah

demam, tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum

baik dari jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri

dada, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada sebelah

(42)

e. Manajemen Terapi

Outcome yang ingin dicapai dalam pengobatan pneumonia adalah

eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia. Penatalaksanaan pneumonia

yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu

dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika

spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri patogen

diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit

sesuai patogen. Pilihan antibiotika yang disarankan adalah golongan

makrolida (eritromisin, claritromisin, azitromisin), doksisiklin,

fluoroquinolon. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten

terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivat

fluoroquinolon terbaru (Binfar, 2005).

Eritromisin dan makrolida lainnya memiliki potensi untuk berinteraksi

dengan sejumlah besar obat melalui mekanisme sitokrom P450, khususnya

CYP1A2 dan CYP3A4, yang terjadi di hati. Bila berinteraksi dengan

astemizol, cisapride, dan terfenadine, dapat mengakibatkan efek buruk, seperti

aritmia ventrikel. Interaksi ini sering terjadi pada obat eritromisin dan

troleandomycin, sedangkan golongan makrolida lain, seperti azitromisin dan

dirithromycin menimbulkan interaksi yang tidak berarti. Selain itu, makrolida

juga meningkatkan kadar digoksin dalam serum melalui penghambatan

(43)

4. Tuberkulosis (TB)

a. Definisi

Menurut Washington State Department of Health (2009) tuberkulosis

adalah penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium Tuberculosis atau

basillus tuberkel.

b. Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar menyerang paru-paru.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang,

dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang

sulit ditembus zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang

paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus,

yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi

dahak secara mikroskopis, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA)

(Binfar, 2005).

c. Patofisiologi

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk

atau bersin, menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet. Orang dapat

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah

kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman

tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui peredaran

darah, saluran limfa, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke

(44)

d. Manifestasi klinis

Gejala sistemik atau gejala umum yang sering terjadi adalah:

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan

malam hari disertai keringat malam.

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

(Werdhani, 2002).

e. Penatalaksanaan

Menurut Depkes RI (2006) pengobatan TB bertujuan untuk

menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan,

memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman

terhadap OAT. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid (H), Rifampisin

(R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), dan Etambutol (E). Saat ini telah

tersedia Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT - KDT), yang

terdiri dari 4KDT dan 2KDT. Dalam obat 4KDT, mengandung 75 mg

Isoniazid, 150 mg Rifampisin, 400 mg Pirazinamid, dan 275 mg Etambutol.

Sedangkan 2KDT mengandung 150 mg Isoniazid dan 150 mg Rifampisin.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu:

1) Tahap awal (intensif). Pada tahap ini pasien mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

(45)

2) Tahap Lanjutan. Pada tahap ini pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Kategori 1: diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB

paru BTA negatif, foto toraks positif, dan untuk pasien TB ekstra paru

Tabel III. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap untuk kategori 1 (Depkes, 2006)

Berat Badan (kg) Tahap Intensif: tiap hari selama 56 hari

Tahap Lanjutan: Keterangan: KDT = Kombinasi Dosis Tetap

2) Kategori 2: diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan

pengobatan setelah default (terputus)

Tabel IV. Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap untuk kategori 2 (Depkes, 2006)

Berat

Badan (kg) Tahap Intensif: tiap hari

Tahap Lanjutan: 3 kali seminggu Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

(46)

3) OAT Sisipan. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk

tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 28 hari.

Tabel V. Dosis Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap untuk sisipan (Depkes, 2006)

Berat Badan (kg) Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari 30 - 37 2 tab 4KDT

38 - 54 3 tab 4KDT 55 - 70 4 tab 4KDT

≥ 71 5 tab 4KDT Keterangan: KDT = Kombinasi Dosis Tetap

Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome

P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan

yang dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin

perlu ditingkatkan selama pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu

setelah Rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi diantaranya:

protease inhibitor, antibiotika makrolid, warfarin, siklosporin, fenitoin,

digoxin, alprazolam, diazepam, triazolam dan beberapa obat lainnya.

Rifampisin juga berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat

menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. (Depkes RI, 2006).

Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,

tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian Isoniazide

bersamaan dengan obat-obat tertentu mengakibatkan meningkatnya

konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis. Antikonvulsan

seperti fenitoin dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh

(47)

C. Pharmaceutical Care

Menurut Cipolle and Strand (2004) pharmaceutical care merupakan suatu

praktek yang dilakukan dengan tanggung jawab kepada kebutuhan yang

berhubungan dengan obat yang diberikan pada pasien dan diselenggarakan

berdasarkan komitmen tanggung jawab tersebut. Dalam menjalani pharmaceutical

care, perlu dilakukan penilaian terhadap hal-hal berikut:

1. Obat yang tepat: semua obat yang diterima pasien sudah sesuai indikasi dan

memberikan manfaat bagi kondisi medis pasien.

2. Obat yang efektif: obat yang diberikan pada pasien merupakan obat yang

paling efektif dan dosis yang diberikan sudah tepat untuk mencapai tujuan

terapi.

3. Obat yang aman: tidak terjadi adverse drug reactions dan tidak ada

tanda-tanda toksisitas obat.

4. Compliance: pasien bersedia menjalani terapi sesuai dengan aturan.

D. Drug Therapy Problems

Drug Therapy Problems adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang

dialami pasien selama proses terapi obat, sehingga mengganggu tujuan terapi

yang diinginkan. Identifikasi drugtherapy problems merupakan fokus penentuan

dan keputusan akhir yang dibuat dalam tahapan proses pelayanan pasien (Cipolle

and Strand, 2004).

Drug Related Problems (DRPs) ada dua yaitu aktual dan potensial.

(48)

tidak selalu terjadi dengan segera dalam prakteknya. Drug Related Problems

(DRPs) aktual adalah suatu masalah yang telah terjadi dan farmasis wajib

mengambil tindakan untuk memperbaikinya. Sedangkan potensial, karena risiko

yang sedang berkembang jika farmasistidak turun tangan (Rovers, et al., 2003).

Tabel VI. Penyebab-penyebab Drug Related Problems (Cipolle and Strand, 2004)

No Jenis DRPs Contoh Penyebab DRPs 1 Terapi obat yang

tidak diperlukan

(unnecessary

drug therapy)

Ada indikasi obat yang sudah tidak tepat saat itu.

Penggunaan obat lebih dari satu dengan kondisi dapat menggunakan terapi tunggal.

Kondisi pasien lebih baik diterapi non-farmakologis (tanpa obat).

Terapi efek samping akibat suatu obat yang sebenarnya dapat digantikan dengan yang lebih aman.

2 Perlu tambahan terapi obat (need

for additional

drug therapy)

Munculnya kondisi medis baru yang membutuhkan tambahan obat baru.

Terapi untuk mencegah timbulnya risiko atau kondisi medis yang baru atau terapi profilaksis.

Kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek sedatif . 3 Obat yang tidak

efektif

(ineffective drug)

Obat yang digunakan tidak efektif atau bukan yang paling efektif.

Kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat. Bentuk sediaan obat tidak sesuai.

Obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami. 4 Dosis terlalu

rendah (dosage

too low)

Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk mendapatkan respon yang diinginkan.

Interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan .

Interaksi obat menurunkan jumlah zat adiktif yang tersedia

Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.

5 Reaksi obat yang tidak dikehendaki

(adverse drug

reaction)

Pasien memiliki reaksi alergi atau idiosikrasi terhadap obat.

Pasien teridentifikasi memiliki risiko terhadap obat tersebut.

Bioavailabilitas obat diubah oleh interaksi dengan obat lain atau makanan.

Efek obat diubah oleh karena adanya induksi atau inhibisi enzim, serta pergeseran tempat ikatan.

(49)

Lanjutan Tabel VI

No Jenis DRPs Contoh Penyebab DRPs 6 Dosis terlalu

tinggi (dosage

too high)

Dosis terlalu tinggi.

Konsentrasi obat dalam darah di atas rentang terapi yang diharapkan.

Akumulasi obat karena terapi jangka panjang.. 7 Kepatuhan pasien

(compliance)

Pasien gagal menerima obat yang sesuai karena

medication error.

Pasien tidak mematuhi aturan yang ditetapkan baik dengan sengaja maupun karena tidak mengerti.

Pasien tidak mampu menebus obat karena masalah biaya.

Keterangan: DRPs = Drug Related Problems

E. Dosis

Menurut Joenoes (2004) dosis adalah sejumlah obat yang memberikan

efek terapetik pada penderita dewasa; juga disebut dosis lazim atau dosis

medicinalis terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi

keracunan, dinyatakan sebagai dosis toxica. Dosis toksik ini dapat sampai

mengakibatkan kematian, disebut sebagai dosis letalis.

Macam-macam dosis:

1. Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat

menyembuhkan

2. Dosis maksimal adalah dosis yang terbesar yang dapat diberikan kepada

orang dewasa untuk pemakaian sekali dan sehari tanpa membahayakan

(Joenoes, 2004).

Salah satu rencana terapi yang perlu diperhatikan adalah menyeleksi

regimen yang tepat. Sasarannya di sini adalah menetapkan dosis, frekuensi, rute,

(50)

dapat ditetapkan dosis berbeda untuk tiap indikasi. Faktor lain seperti umur,

tinggi, bobot, dan status penyakit atau terapi obat bersamaan dapat mempengaruhi

regimen dewasa harian. Kerusakan fungsi ginjal atau hati terutama penting

apabila menyeleksi suatu dosis. Tambahan pula, obat- obatan dengan indeks terapi

yang sempit, dosis selalu diukur secara farmakokinetik untuk mengoptimasikan

efikasi dan mengurangi toksisitas (Siregar, 2006).

F. Interaksi Obat

Menurut Hayes (2006) interaksi obat didefinisikan sebagai kerja atau efek

obat yang berubah, atau mengalami modifikasi sebagai akibat interaksi dengan

satu obat atau lebih. Ini tidak boleh dikacaukan dengan reaksi obat yang tidak

diinginkan, yang dapat berkisar dari yang sifatnya ringan sampai kepada efek

toksik yang berat, termasuk reaksi hipersensitivitas dan anafilaksis.

Tabel VII. Tingkat signifikasi interaksi obat (Tatro, 2001)

Tingkat Signifikasi Keparahan Pelaporan 1 Berat (mayor) Terbukti 2 Sedang (moderat) Terbukti 3 Ringan (minor) Terbukti 4 Berat atau sedang (mayor atau moderat) Mungkin terjadi

5 Ringan (minor) Mungkin terjadi Tidak ada (any) Tidak terjadi

Menurut Tatro (2001) interaksi obat dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan waktu munculnya efek dari interaksi obat (onset):

a. Cepat (rapid) jika efek dari interaksi obat muncul dalam 24 jam setelah

penggunaan obat

b. Tertunda (delayed) jika efek dari interaksi obat muncul dalam beberapa

(51)

2. Berdasarkan tingkat keparahan efek yang timbul akibat interaksi obat:

a. Utama (mayor) jika menimbulkan kerusakan pada tubuh yang menetap

atau dapat menyebabkan kematian

b. Sedang (moderat) jika menyebabkan semakin memburuknya kondisi

pasien

c. Kecil (minor) jika hanya memberikan efek yang kecil

G. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

keamanan penatalaksanaan pada pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta, dalam aspek keamanan kajian yang akan dievaluasi

(52)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian Penatalaksanaan Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit

Panti Rini Yogyakarta Periode Januari - Juli 2012 Kajian Dosis dan Kemungkinan

Interaksi Obat ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan

rancangan deskriptif evaluatif. Penelitian ini bersifat non eksperimental karena

tidak ada perlakuan pada subyek penelitian (Praktiknya, 2001) dengan rancangan

penelitian deskriptif evaluatif karena bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif

terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian mengevaluasi data dari

rekam medik (Notoatmodjo, 2005).

Penelitian ini menggunakan data retrospektif, yang diperoleh dengan

melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar rekam medis

pasien asma bronkial, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis.

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah profil penggunaan obat gangguan saluran

pernapasan, dosis obat, dan interaksi obat.

C. Definisi Operasional

1. Profil penggunaan obat gangguan saluran pernapasan meliputi golongan dan

(53)

2. Dosis obat dalam penelitian ini terkait adanya dosis terlalu tinggi pada

penggunaan obat gangguan saluran pernapasan.

3. Interaksi obat yang dilihat dalam penelitian ini adalah interaksi yang terjadi

antar obat yang diterima pasien selama menjalani terapi.

D. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini adalah pasien dengan

diagnosis asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), pneumonia, dan

tuberkulosis di Rumah Sakit Panti Rini, Yogyakarta periode Januari - Juli 2012.

1. Kriteria inklusi subyek:

a. Pasien rawat inap yang menerima terapi obat gangguan saluran

pernapasan: asma, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis, selama periode

Januari - Juli 2012.

b. Mempunyai catatan rekam medik lengkap yang mencakup usia, jenis

kelamin, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan

penggunaan obat, hasil laboratorium, dan lama perawatan.

2. Kriteria eksklusi subyek:

a. Pasien dengan rekam mediknya tidak ditemukan.

b. Pasien yang meninggal dunia.

Selama periode Januari - Juli 2012, terdapat 43 pasien yang dirawat inap di

Rumah Sakit Panti Rini. Dari 43 pasien, data yang diambil sebanyak 39 pasien

dengan 43 kasus karena memenuhi kriteria inklusi, sedangkan 4 pasien lainnya

(54)

Dari 39 pasien, didapat jumlah kasus asma adalah 13 kasus, PPOK 27

kasus, pneumonia 2 kasus, dan tuberkulosis 1 kasus.

E. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah kartu rekam medik, dalam hal ini

dibutuhkan data nomor rekam medik, jenis kelamin, usia, diagnosis utama, hasil

pemeriksaan laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan

penggunaan obat, lama perawatan, dan lembar resume pasien yang menerima obat

gangguan saluran pernapasan di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli

2012.

F. Alat Penelitian

Alat-alat yang dipakai pada penelitian ini adalah Drug Information

Handbook 20th edition, MIMS Petunjuk Konsultasi Edisi 10: 2010/2011, Drug

Interaction Facts, Stockley’s Drug Interaction 9th edition, dan drug interaction

checker pada Medscape.

G. Tata Cara Penelitian

Jalannya penelitian meliputi tiga tahap, yaitu tahap orientasi, tahap

pengambilan data, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Orientasi

Tahap orientasi diawali dengan studi pustaka mengenai penyakit asma,

(55)

menentukan permasalahan dan cara menganalisis masalah tersebut. Selanjutnya

dilakukan pencarian informasi mengenai kemungkinan dapat tidaknya melakukan

penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta dan mengurus perizinan untuk

mendapatkan izin penelitian. Tahapan berikutnya mempelajari teknik

pengambilan data yang sesuai agar tidak menggangu pekerjaan petugas kesehatan.

2. Tahap Pengambilan Data

Pada tahap pengambilan data, dibagi menjadi dua, yaitu pengumpulan data

dan penelusuran informasi.

a. Pengumpulan data:

Pada proses ini subyek penelitian ditentukan berdasarkan kriteria inklusi

selama periode waktu Januari - Juli 2012. Data diambil dari catatan rekam medik

yang meliputi: nama pasien, nomor RM, jenis kelamin, umur, tanggal masuk,

anamnesis, diagnosa, tanda vital, hasil laboratorium, nama obat serta dosis dan

cara pemberian.

b. Penelusuran informasi:

Pada proses ini dilakukan penelusuran informasi pada pihak perawat yang

bertugas di instalasi rawat inap RS Panti Rini. Hasil informasi yang diperoleh

digunakan sebagai penunjang untuk membantu dalam evaluasi kemungkinan

interaksi obat dengan diketahuinya waktu minum obat. Penelusuran informasi

juga dilakukan pada pihak apoteker untuk mengetahui obat-obat gangguan saluran

(56)

3. Tahap Pengolahan Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, yaitu tabel nama obat,

dosis, cara pemakaian, tanggal pemberian obat, dan waktu penggunaan obat oleh

pasien gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.

Data-data yang didapat dievaluasi dosis terlalu tinggi dan interaksi antar obat yang

diterima pasien.

H. Tata Cara Analisis Data

Data penelitian yang diperoleh dianalisis untuk melihat profil penggunaan

obat pada pasien penyakit asma, PPOK, pneumonia, dan tuberkulosis, serta

dilakukan evaluasi mengenai pengobatan yang diterima pasien. Untuk melihat

profil penggunaan obat pada pasien, akan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan yang diterima pasien.

2. Golongan dan jumlah obat lain selain gangguan saluran pernapasan yang

diberikan pada pasien.

Hasil dari pengelompokan obat ini akan disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian

dilakukan evaluasi pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan

mengenai dosis terlalu tinggi dan interaksi antar obat yang diterima pasien dengan

menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan).

I. Kesulitan Penelitian

Dalam proses pengambilan data, peneliti mengalami beberapa kesulitan,

(57)

prospektif. Saat penelitian dilakukan, terjadi beberapa kendala dalam pengambilan

data, yaitu keterbatasan waktu dan keterbatasan jumlah pasien. Selain itu peneliti

juga tidak bisa mengamati secara langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah

sakit, sehingga peneliti harus mengubah metode penelitian menjadi retrospektif.

Pada metode retrospektif terdapat beberapa kekurangan, yaitu peneliti

tidak bisa mengamati langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah sakit. Selain

itu, peneliti juga tidak bisa berkomunikasi dengan dokter mengenai pilihan terapi

yang diberikan pada pasien, sehingga peneliti hanya melakukan evaluasi

pengobatan pasien berdasarkan data yang ada di rekam medik.

Selain itu, peneliti kurang berpengalaman dalam membaca catatan rekam

medik pasien dan membaca tulisan dokter maupun perawat yang tertera didalam

catatan rekam medis tersebut. Untuk mengatasi kesulitan ini, peneliti bertanya

(58)

37

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian mengenai Penatalaksanan Gangguan Saluran

Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Periode Januari - Juli 2012, Kajian Dosis

dan Kemungkinan Interaksi Obat, terdapat 39 pasien rawat inap yang menderita

gangguan saluran pernapasan, dengan jumlah kasus sebanyak 43. Hasil dan

pembahasan penelitian ini akan dibahas menjadi dua bagian, yaitu: profil

penggunaan obat pada pasien gangguan saluran pernapasan dan evaluasi

pengobatan pada pasien gangguan saluran pernapasan. Pada profil penggunaan

obat, akan dibahas golongan dan jumlah obat gangguan saluran pernapasan serta

golongan dan jumlah obat lain yang digunakan pada pengobatan pasien gangguan

saluran pernapasan, sedangkan evaluasi pengobatan pasien akan dilakukan dengan

metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan).

A. Profil Penggunaan Obat pada Pasien Gangguan Saluran Pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

1. Golongan dan jumlah obat saluran pernapasan

Setiap obat saluran pernapasan yang digunakan oleh pasien di Rumah

Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari - Juli 2012 dibagi menjadi sepuluh

kelompok, yaitu: ekspektoran, mukolitik, antihistamin, nasal dekongestan,

kortikosteroid, bronkodilator, derivat xantin, antibiotik, obat anti TB (OAT), dan

(59)

Tabel VIII. Pengelompokkan berdasarkan golongan obat kasus pasien yang menggunakan obat gangguan saluran pernapasan di Rumah Sakit Panti Rini

Yogyakarta periode Januari - Juli 2012

No Golongan obat Nama obat Jumlah kasus

1. Antibiotik Ceftriaxone Levofloksasin 2. Kortikosteroid Metilprednisolon

Deksametason 4. Bronkodilator Procaterol HCl

hemihydrates

Salbutamol

6

22 5. Kombinasi Flutikason propionate

dan salbutamol Ipratropiun HBr dan salbutamol

13

3

6. Ekspektoran Carbocisteine

Gliceryl guaiacolat (GG)

8 4 7. Antihistamin Cetirizin HCl

Cyproheptadin HCl

5 1 8. Derivat xantin Aminofilin

Teofilin

4 1 9. Nasal dekongestan Pseudoefedrin HCl 2 10. Obat Anti TB (OAT) 4FDC 1

Total 172

Kasus yang paling banyak menggunakan obat gangguan saluran

pernapasan berasal dari golongan obat antibiotika, yaitu 37 kasus. Antibiotika

ceftriaxone paling banyak diberikan pada pasien, yaitu sebanyak 12 kasus.

Pemberian antibiotika ini disebabkan oleh banyaknya pasien yang mengalami

Gambar

Tabel XI.
Gambar 1. Anatomi  saluran pernapasan ....................................................
Gambar 1. Anatomi  saluran pernapasan (Somantri, 2007)
Tabel I. Dosis golongan beta-2 agonis secara oral dan inhalasi (Ikawati, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seleksi massa (dalam pemuliaan tanaman) atau seleksi individu (dalam pemuliaan hewan) adalah salah satu metode seleksi yang tertua untuk memilih bahan tanam yang

Maka dari itu dapat di simpulkan bahwasanya Al- Qur’an merupakan kalam allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara mutawatir

Pengendalian laju produk- si Brown gas dilakukan dengan pengaturan arus melalui Pulse Width Modulation (PWM). Setelah melalui uji karakteristik, sistem suplai Brown

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Berdasarkan data hasil post test kemampuan membuktikan konsep Aljabar Abstrak yang dianalisis dengan menggunakan Independent Samples T Test melalui software SPSS

[r]

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja

Salah satu fokus yang telah diberi perhatian oleh KPPM adalah semua JPN, PPD dan sekolah perlu memastikan guru berada dalam bilik darjah (guru mata pelajaran atau guru