PERAN MASYARAKAT DEKSO
DALAM PERANG JAWA 1825 -1830
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Sejarah
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh
Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro
NIM 084314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PERAN MASYARAKAT DEKSO
DALAM PERANG JAWA 1825 -1830
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Sejarah
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh
Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro
NIM 084314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTTO
Luwih Begja Uwong kang Eling lan Waspada Ing Jaman Edan.
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibu tercinta Serta secara khusus untuk Masyarakat Dekso dan sekitarnya
yang masih menjaga semangat Pangeran Diponegoro menegakkan kehidupan
yang bebas dan merdeka. Dan semangat menegakkan Budaya Jawa sebagai warisan leluhur yang adi luhung dalam kehidupan jaman modern ini.
Semoga langkah kecil yang dilakukan oleh mereka menjadi sebuah gerak kesadaran besar sebagai benteng budaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PERAN MASYARAKAT DEKSO
DALAM PERANG JAWA 1825 -1830
Oleh : Norbetus Gilang Pradipta Kuncoro
ABSTRAK
Penelitian in terutama untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, Apa yang melatarbelakangi Masyarakat Dekso berperan aktif dalam Perang Jawa. Kedua, Bagaimana peran Masyarkat Dekso dalam Perang Jawa. Ketiga, Sejauh mana pengaruh pemilihan Dekso sebagai markas besar terhadap keberlangsungan Perang Jawa.
Penelitian in merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi dokumen, wawancara mendalam serta mencari peninggalan Perang Jawa yang berada di Wilayah Dekso dan Sekitarnya. Menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi dan psikologi. Analisa dilakukan dengan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori dan satuan uraian serta intepretasi terhadap data yang berhasil dikumpulkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Masyarakat Dekso dalam Perang Jawa karena adanya kondisi yang tidak menguntungkan bagi masyarakat yang secara keseluruhan mempunyai matapencaharian yang sama yaitu sebagai penggarap sawah. Kondisi itu muncul karena kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemimpin mereka tidak memihak kepada rakyat namun menguntungkan bagi pihak kolonial, Belanda.
Kondisi yang sama juga dirasakan oleh Pangeran Diponegoro sebagai pengobar semangat melawan ketidakadilan yang ada di masyarakat. Sang Pangeran mampu menangkap apa yang diinginkan oleh rakyat Dekso dan mewujudkan dalam perjuangan selama 5 tahun (1825-1830). Faktor kedekataan emosional antara rakyat Dekso dan Pangeran Diponegoro juga menjadi faktor utama yang memicu masyarakat untuk ambil bagian dalam Perang Jawa dan menjadikan Dekso sebagai salah satu markas Perang Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
THE ROLES OF DEKSO SOCIETY
IN THE JAVA WAR 1825 – 1830
By : Norbertus Gilang Pradipta Kuncoro
ABSTRACT
The main goal of this research is to answers three questions. First, what is the reason, Dekso Society take a role in the Java War. Second, How the role of Dekso Society in the Java War. Third, how far the effect Dekso as headquarter to Java War.
This study belongs to a qualitative research. The study uses documents, interview and finding of Java War in Dekso and surroundings. This study uses sosiological, antropological and psychological approaches. This study is run by a process in organising and compiling the data. The writer compiles the data based on models, categories and interpretation of compiled data.
The result of this study shows the roles of Dekso People during Java War. The people had to be labores to work in rice field. This condition was caused by policy from their foreman who did not support them but colony, The Dutch.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERSETUJUAN... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR PETA DAN DENAH ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah... 4
C. Rumusan Masalah ... 5
D. Tujuan Penelitian ... 5
E. Manfaat Penelitian ... 5
F. Tinjauan Pustaka ... 6
G. Kerangka Teoritis... 8
H. Metode Penelitian ... 9
I. Kerangka Penulisan ... 11
BAB II MASYARAKAT DEKSO DALAM PERANG JAWA A. Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa ... 14
1. Kondisi Geografis ... 15
2. Pemerintahan ... 16
3. Ekonomi... 18
4. Sosial... 20
5. Budaya ... 21
B. Pandangan Masyarakat Dekso ... 22
1. Pengaruh Ulama Kulon Progo ... 22
2. Pembentukan Pandangan Masyarakat ... 23
3. Gerakan Masyarakat Dekso ... 25
C. Peran Masyarakat Dekso... 27
xiii
B. Tragedi Kemanusiaan ... 35
1. Wabah Penyakit ... 35
2. Bencana Alam... 36
C. Keamanan Pedesaan Jawa... 38
D. Munculnya Ratu Adil... 39
1. Ratu Adil... 39
2. Pemahaman Peran Ratu Adil ... 41
3. Harapan Pada Ratu Adil ... 43
E. Dekso Salah Satu Markas Perang Jawa ... 44
F. Perang Jawa Di Barat Yogyakarta ... 47
BAB IV PERANG JAWA DI DEKSO A. Koordinasi Prajurit... 51
1. Kyai Mojo dan Sentot Prawiradirja ... 54
2. Nyi Ageng Serang... 57
3. Perbekalan dan Persenjataan... 58
B. Pertempuran Dekso ... 63
1. Rencana Pengepungan ... 65
2. Pengepungan ... 66
3. Janji Setia... 69
4. Strategi Belanda Dalam Perang Jawa Di Dekso ... 71
a. Stelsel Benteng... 72
b. Runtuhnya Markas Dekso... 74
C. Pengaruh Perang Jawa Terhadap Masyarakat Dekso ... 77
BAB V PENUTUP ……….. 81
DAFTAR PUSTAKA ………... 86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR PETA DAN DENAH
Peta 1 Peta Kulon Progo 89
Peta 2 Peta Yogyakarta 90
Peta 3 Peta Pendirian Benteng Belanda Dalam Perang Jawa 91
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Benteng Belanda Dalam Perang Jawa 93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Perang Jawa 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perang Jawa ( 1825 – 1830 ) merupakan perang besar yang melibatkan
berbagai pihak diantaranya pihak Kasultanan Yogyakarta termasuk didalamnya para bangsawan dan masyarakat Kasultanan Yogyakarta. Perang Jawa memperlihatkan adanya pertentangan dalam Kasultanan Yogyakarta antara pro
dan anti Belanda. Kemunculan pertentangan ini mulai muncul sejak Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua
bagian yaitu Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta1. Perjanjian ini merupakan tindak lanjut dari perlawanan Pangeran Mangkubumi terhadap Belanda dan sebagai alasan Belanda agar dapat segera menghentikan perlawanan
Pangeran Mangkubumi ketika masa Kerajaan Mataram.
Perjanjian Giyanti merupakan salah satu bentuk pertentangan pribumi
dengan Belanda dan masih banyak lagi perlawanan yang dilakukan pribumi. Semangat yang sama, juga diusung oleh Pangeran Diponegoro terutama setelah Belanda masuk dalam lingkup keraton dan ikut mempengaruhi kehidupan
Kasultanan Yogyakarta. Semakin lama Kasultanan Yogyakarta hidup dengan pengaruh Belanda. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri oleh Pangeran
1
P.J. Suwarno, 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 52.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Diponegoro.Kasultanan Yogyakarta semakin lama tidak memihak pada rakyat namun lebih menguntungkan para pejabat sekaligus Belanda. Kondisi seperti ini
memunculkan ketidakpuasan bagi pihak anti kolonial secara khusus Pangeran Diponegoro.
Topik Perang Jawa dipilih karena merupakan peristiwa besar dalam Sejarah Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dari peristiwa ini dapat dilihat semangat anti penjajahan serta sebagai salah satu tonggak pergerakan
nasional dikemudian hari. Pangeran Diponegoro menunjukkan bahwa orang – orang pribumi tidak bisa terus menerus hidup dalam kesengsaraan, seperti halnya
ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa dan pajak sewa tanah. Kedua sistem itu diambil sebagai pembanding dan penggambaran kesengsaraan rakyat. Rakyat diharuskan untuk bekerja keras sesuai dengan aturan Belanda namun tidak
bisa menikmati sepenuhnya hasil dari tanah mereka karena sebagian besar hasil tanah mereka harus diserahkan kepada Belanda. Puncak dari amarah dimunculkan
lewat perjuangan sehingga Pangeran Diponegoro memutuskan untuk mengembara di luar Kasultanan Yogyakarta menyiapkan perlawanan terhadap Belanda.
Pertama kalinya Belanda menghadapi pemberontakan sosial yang
didukung oleh rakyat mencakup sebagian besar Pulau Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur serta wilayah pesisir sehingga disebut sebagai Perang Jawa2. Banyak
kerugian yang harus ditanggung Belanda untuk menghadapi perlawanan yang begitu hebat. Perlawanan Pangeran Diponegoro pada awalnya berhasil mengajak
2
Peter Carey, 1986, Asal Usul Perang Jawa Pemberontakan Sepoy dan Lukisan
3
15 pangeran dari 29 pangeran dan 41 bupati dari 88 bupati yang ada di lingkungan Kasultanan Yogyakarta termasuk wilayah dibawah Keraton dan wilayah
Mancanegara untuk bergabung melawan pemerintah kolonial yang berada dalam lingkup keraton3. Perjuangan Pangeran Diponegoro terjadi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dengan titik pusat peperangan di Yogyakarta4. Dengan lingkup perjuangan yang luas maka perjuangan Pangeran Diponegoro disebut sebagai Perang Jawa. Perjuangan ini selalu berpindah – pindah tempat dan menghindari
pertempuran terbuka dengan musuh karena tidak seimbang dalam persenjataan. Maka muncul markas besar di Selarong dan Dekso. Kemunculan kedua tempat ini
merupakan indikasi taktik perang gerilya. Dekso menjadi penting karena menjadi Markas Besar Perang Jawa selain Selarong. Ketika Markas Besar di Selarong diketahui oleh Belanda maka Pangeran Diponegoro menjadikan beberapa wilayah
di Perbukitan Menoreh sebagai markas salah satunya adalah Dekso.
Topik pembahasan dalam penelitian ini adalah Peran Masyarakat Dekso
Dalam Perang Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk merekonstruksi Peran Masyarakat Dekso yang terlibat dalam Perang Jawa sehingga perjuangan tetap berlanjut. Penelitian ini akan melihat sejauh mana Masyarakat Dekso memberikan
kontribusi untuk Perang Jawa. Beberapa alasan diidentifikasi oleh dalam bagian identifikasi masalah di bawah ini.
3
Iwan Santosa, 2011, Legiun Mangkunegaran (1808-1942), Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 140.
4
Ricklefs,M.C., 2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi, hlm. 255.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B.
Identifikasi Masalah
Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah Dekso yang digunakan sebagai
markas dalam Perang Jawa tahun 1825 – 1830. Diangkatnya Dekso sebagai pokok bahasan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
1. Belum ada tulisan yang membahas tentang Dekso dalam Perang Jawa
secara mendalam. Dalam berbagai tulisan tentang Perang Jawa hanya disebutkan secara singkat digunakannya Dekso sebagai markas besar
dalam Perang Jawa setelah markas besar Selarong. Pembahasan secara mendalam diharapkan dapat muncul dalam penelitian ini.
2. Sumber tertulis yang menyatakan Dekso digunakan sebagai markas
besar Perang Jawa tidak banyak. Bukti Dekso digunakan sebagai markas besar memang masih diperdebatkan karena ada bukti – bukti
konkret yang bisa dijadikan sebagai fakta bahwa Dekso pernah digunakan sebagai salah satu markas besar Perang Jawa. Sehingga sampai saat ini belum ditemukan bukti yang memperkuat bahwa
Dekso memang benar digunakan sebagai salah satu markas besar Perang Jawa.
5
C.
Rumusan Masalah
1. Mengapa Masyarakat Dekso berperan aktif dalam Perang Jawa ?
2. Bagaimana peran Masyarakat Dekso dalam Perang Jawa ?
3. Sejauh manakah pengaruh pemilihan wilayah Dekso sebagai markas besar terhadap keberlangsungan Perang Jawa ?
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ecara akademis sebagai syarat
mendapatkan gelar sarjana sejarah Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma.
Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan untuk bidang sejarah karena belum ada penelitian mengenai peran masyarakat Dekso ketika berlangsungnya Perang Jawa dalam kurun waktu 1825 - 1830.
E.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan memberikan
informasi dan pengetahuan baru tentang sejarah pedesaan.
Secara praktisdiharapkan penelitian ini memberikan tambahan data untuk
penelitian lebih lanjut berkaitan dengan Perang Jawa dan perjuangan Pangeran Diponegoro.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F.
Tinjauan Pustaka
Perang Diponegoro yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa (
1825-1830 ) salah satu peristiwa yang menentukan sejarah Pulau Jawa. Ini merupakan peristiwa besar dalam sejarah Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Secara khusus penelitian ini merekonstruksi kembali Perang Jawa ( 1825-1830 ) khususnya di Dekso. Dalam beberapa buku yang telah ditulis oleh
beberapa peneliti sangat sedikit sekali membahas peran Dekso sebagai basis kekuatan utama Pangeran Diponegoro selain Gua Selarong. Dalam buku Heru Basuki yang berjudul Dakwah Dinasti Mataram Dalam Perang Diponegoro
menuliskan bahwa kejadian – kejadian Perang Diponegoro dari sisi perjuangan bangsa, nasionalisme, militer dan sosial kultural telah banyak dibahas oleh para
sejarawan Indonesia sedangkan yang dirasa kurang adalah pembahasan Diponegoro dari sisi peran ulama. Sejarah panjang dakwah yang dimulai dari masuknya Islam ke Tanah Jawa, sumbangan Wali Songo dalam usaha penyebaran
Islam, sumbangan para raja – raja Jawa dan sumbangan golongan para wali dan raja terhadap pembentukan karakter, tata nilai dan kultural masyarakat Mataram.
Dalam buku ini dibahas tentang dakwah Pangeran Diponegoro selama dia menjadi santri di Tegalrejo dan kemudian melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ditunggangi Belanda5. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai medan
perang di wilayah Dekso. Peneliti menjelaskan bahwa Dekso berada di sebelah barat Kali Progo. Di sana Pangeran Diponegoro memindahkan pusat
5
Heru Basuki, 2007, Dakwah Dinasti Mataram Dalam Perang Diponegoro, Kyai
7
pergerakannya. Keputusan dipindahkannya pusat kekuatan ke Dekso adalah keinginan untuk menggerakkan rakyat sebelah utara dan barat kota Yogyakarta
karena posisi Dekso memang sangat baik. Pembahasan tentang Dekso dalam buku ini tidak mendetail dan hanya menjadi sub bab. Jadi dalam buku ini, pembahasan
Dekso merupakan pelengkap dalam lingkup pembahasan yang luas.
Dalam buku Saleh A. Djamhari yang berjudul Strategi Menjinakan Diponegoro Stelsel Benteng 1827-1830 menjelaskan bahwa di daerah Mataram Utara perlawanan sulit untuk diatasi. Perlawanan tidak mereda sekalipun beberapa desa telah dibakar. Pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Pangeran
Pakuningrat, Pangeran Bei, Pangeran Sumonegoro, Tumenggung Urawan dan Pangeran Joyokusumo menguasai tiga daerah segitiga yaitu Bligo-Samigaluh-Dekso hingga perbatasan Mataram-Kedu. Daerah itu dianggap strategis sebagai
medan perang. Pasukan Pangeran Diponegoro berusaha menjadikan daerah itu sebagai pangkalan pasukan dan pertahanan. Sedangkan dalam buku yang ditulis
Peter Carey yang berjudul Asal Usul Perang Jawa Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh menjelaskan bagaiman meletusnya perjuangan Pangeran Diponegoro yang menggunakan konsep Ratu Adil di berbagai daerah di
Yogyakarta. Sedikit sekali tulisannya yang menyebutkan daerah Dekso sebagai pusat kekuatan Pangeran Diponegoro setelah Selarong. Wilayah Dekso disebut
sebagai salah satu markas namun tidak membahas secara mendetail.
Pokok bahasan dalam tulisan ini adalah Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa. Ini merupakan penelitian baru yang belum diteliti oleh sejarawan
lain. Sebagian besar penulis hanya menyinggung sedikit tentang wilayah Dekso
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan daerah sekitarnya tetapi belum dilakukan penelitian secara mendalam.Penelitian ini tidak hanya membahas Dekso yang digunakan sebagai
markas besar Perang Jawa namun lebih pada Peran Masyarakat Dekso untuk mendukung berlangsungnya Perang Jawa. Sehingga penelitian in merupakan topik
penelitian baru dan berbeda dengan penelitian sejarawan yang sudah ada.
G.
Kerangka Teoretis
Kajian sejarah yang bersifat naratif tidak hanya sekedar memaparkan peristiwa masa lampau yang hanya mengandalkan common sense saja namun juga membutuhkan pendekatan dari ilmu – ilmu sosial lain6. Berkaitan dengan
pembahasan topik Perang Jawa yang secara khusus mengkaji tentang peran masyarakat dalam sebuah perang. Oleh karena itu, pendekatan sosiologis dan
psikologis akan digunakan untuk membahas peran masyarakat.
Terkait dengan pembahasan peran masyarakat maka diperlukan penjelasan tentang peran terlebih dahulu. Peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu
(KBBI) dijelaskan bahwa peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat7. Penjelasan lain tentang
peran dalam kamus Oxford yaitu role isthe fuction or position that has or is expected to have in an organization, in society or in an relationship8. Peran dalam
6
Sartono Kartodirjo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 121.
7
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 854.
8
A S Hornby, Oxford Advanced Learn’s Dictionary of Current English Sixth
9
ilmu psikologi diartikan sebagai suatu rangkaian tindakan – tindakan yang khas yang dilakukan oleh pribadi dalam situasi interaksi9. Masih berkaitan dengan
peran, dalam drama dilihat sebagai karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seorang aktor dalam sebuah pementasan drama10. Lebih lanjut lagi, dalam
ilmu sosiologi peran diartikan sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakterisasi (posisi) dalam struktur sosial11. Banyak teori yang memberikan penjelasan mengenai peran.
Teori yang digunakan untuk mengkaji topik penelitian ini adalah teori peran dalam ilmu sosiologi. Peran adalah rangkaian tindakan yang dibawakan
seseorang ketika menduduki posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat. Konsep peran selalu dikaitkan dengan posisi. Posisi pada dasarnya adalah suatu unit dalam struktur sosial. Dengan adanya posisi seseorang dalam masyarakat
maka akan bersinggungan dengan peran yang dijalankan ketika berada dalam posisi struktur sosial di masyarakat. Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus
adalah peran Masyarakat Desko dalam Perang Jawa, didalam masyarakat tersebut terdapat individu – individu diantaranya penguasa lokal di Dekso dan para ulama.
H.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu metode dalam penelitian kualitatif. Penelitian studi kasus
9
Soemadi Soejabrata, 1969, Pengantar Psychologi Sosial Djilid I, Yogyakarta: Fakultas Psychologi UGM, Yogyakarta, hlm. 31.
10
Edy Suhardono, 1994, Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 3.
11
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memiliki empat ciri12. Pertama, yaitu partikularistik yang memaparkan bahwa penelitian studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program khusus, atau
fenomena-fenomena dari kejadian tertentu. Kedua, yaitu ciri deskriptif dimana hasil akhir dari metode ini merupakan deskripsi detail dari topik yang diteliti.
Ketiga yaitu heuristik yang memaparkan apabila metode studi kasus berfungsi untuk membantu khalayak dalam memahami apa yang sedang diteliti, makna, interpretasi, hingga perspektif baru. Ciri terakhir yaitu induktif, yang memaparkan
bahwa studi kasus berangkat dari fakta dan data lapangan, kemudian disimpulkan ke dalam tataran konsep dan teori tertentu. Langkah dalam metode penelitian ini
sebagai berikut:
1. Teknik Pengumpulan Data
Terdapat dua data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu
data primer dan data sekunder. Untuk memperoleh data primer, menggunakan teknik pengumpulan informasi tertulis dari
dokumen-dokumen terkait yaitu Babad Diponegoro. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengumpulkan data berupa wawancara dengan narasumber.
2. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data dalam pola, kategori dan satuan uraian sehingga dapat ditemukan
12
11
tema13. Penelitian ini akan menggunakan analisis data kualitatif dengan tahapan pertama yaitu menelaah seluruh data yang tersedia dari dokumen
– dokumen terkait dan hasil wawancara, kedua yaitu reduksi data bertujuan untuk menyeleksi data – data yang diperoleh dan disesuaikan
dengan penelitian, ketiga adalah mengkategorikan data – data dalam konteks yang sama, satu pokok bahasan yang sama. Tahap keempat adalah mengklarifikasi data untuk menemukan keabsahan data yang didapatkan
setelah melakukan tahap ini maka tahap selanjutnya adalah mengkaitkan data – data yang saling berhubungan sehingga dapat ditemukan alur
cerita14. 3. Historiografi
Historiografi merupakan tahap terakhir adalah merekonstruksi
peristiwa sejarah. Data – data yang relevan dirangkai menjadi satu kesatuan untuk menggambarkan peristiwa masa lampau mendekati
peristiwa sesungguhnya15, dalam hal ini adalah Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa.
I.
Kerangka Penulisan
Penulisan hasil penelitian ini direncanakan akan dibuat dalam lima bab, yang detailnya sebagai berikut:
13
LexyMoleong, 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 103.
14
Ibid.,hlm. 247.
15
Louis Gottschalk, 2008, Mengerti Sejarah, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hlm. 39.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
• BAB I memaparkan tentang latar belakang topik pembahasan dalam
penelitian ini, rumusan masalah yang mencakup tiga masalah yang akan di jawab dalam pokok bahasan karya ilmiah ini. Pendahuluan juga berisi mengenai tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan kerangka penulisan.
• BAB II memaparkan mengenai kondisi wilayah Dekso semasa Perang
Jawa, terbagi menjadi dua pokok bahasan utama yaitu Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa dan Pandangan Masyarakat Dekso.
• BAB III menjelaskan tentang kondisi Masyarakat Dekso yang terbagi
menjadi 6 pokok bahasan yaitu Kebijakan Pajak, Tragedi Kemanusiaan,
Keamanan Pedesaan Jawa, Munculnya Ratu Adil, Dekso Sebagai Salah Satu Markas Perang Jawa dan Perang Jawa di Barat Yogyakarta.
• BAB IV menjelaskan mengenai Perang Jawa yang terjadi di Dekso
dengan mengambil dua pokok bahasan yaitu Koordinasi Prajurit dan
Pertempuran Di Dekso.
• BAB V merupakan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan serta
13
BAB II
MASYARAKAT DEKSO
DALAM PERANG JAWA
Beberapa tahun sebelum tahun 1825 banyak persiapan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya. Dia sudah merancang bentuk
bentuk pertahanan dan strategi perang termasuk memilih tempat untuk digunakan sebagai benteng pertahanan serta cara bagaimana memobilisasi masyarakat untuk
terlibat dalam perang. Langkah – langkah awal diambil oleh Pangeran Diponegoro dengan mengadakan pertemuan dengan beberapa pejabat Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan awal untuk membahas perjuangan banyak dilakukan di Tegal Rejo.
Pertemuan dengan Bupati Karanganyar, Bagelen yaitu Joyodiningrat pada 29 Oktober 1824 sebagai bukti persiapan serius dilakukan oleh Pangeran
Diponegoro1. Pertemuan ini membahas tentang dua opsi yaitu segera mengangkat senjata atau bersabar menunggu waktu yang tepat. Pertemuan dengan pangeran – pangeran di Yogyakarta juga mulai sering dilakukan, selain itu Pangeran
Diponegoro juga memobilisasi Masyarakat Yogyakarta secara khusus memobilisasi rakyat yang berada di tanah kekuasaan Pangeran Diponegoro. Cara
untuk memobilisasi Masyarakat Yogyakarta yaitu dengan membebaskan pajak
1
Peter Carey, 2012, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa 1785 - 1855 Jilid 2, Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.
695.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada bulan – bulan sebelum meletusnya Perang Jawa, 20 Juli 18252. Cara ini diambil supaya rakyat ikut bergabung dalam Perang Jawa sehingga hasil dari
pajak yang tidak dibayarkan digunakan untuk membeli senjata dan perbekalan. Di Wilayah Pajang, Surakarta pada tanggal 16 Juli sejumlah besar pendukung
bersenjata telah berkumpul3. Hal semacam ini juga diberlakukan untuk tanah kekuasaan lainnya. Tidak terkecuali juga bahwa Pangeran Diponegoro menjalin hubungan dengan wong durjono4, para bandit pedesaan, para ulama dan rakyat.
Titik utama yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro adalah kekuatan pedesaan.
A.
Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa
1. Kondisi Geografis
Dekso berada kurang lebih 30 km dari Kasultanan Yogyakarta. Jarak ini
cukup jauh dari pusat pemerintahan dan berada di Wilayah Kulon Progo yang masuk dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta. Wilayah Dekso berdekatan dengan Perbukitan Menoreh. Daerah Kulon Progo juga dipisahkan Kali Progo yang
membentang cukup lebar, curah air konstan baik saat musim kemarau, memisahkan daerah Minggir dengan Dekso. Batas – batas wilayah Dekso sebagai
berikut:
Batas Utara : Bligo, Kalibawang
2
Ibid., hlm. 698.
3
Ibid., hlm. 699.
4
15
Batas Selatan : Girimulyo, Nanggulan
Batas Barat : Samigaluh, Perbukitan Menoreh
Batas Timur : Kali Progo, Minggir5
Melihat batas wilayah yang ada dapat disimpulkan bahwa wilayah Dekso berada di daerah yang terisolasi. Dekso berada di depan Perbukitan Menoreh dan Kali Progo yang membentang sebagai pemisah sehingga mempersulit musuh
untuk menyerang. Kali Progo membentang cukup jauh sampai di Samudra Hindia, memisahkan wilayah Kulon Progo dari Bligo-Magelang sampai wilayah
Purworejo. Ada dua hal penting yang menjadikan Dekso ideal sebagai markas besar perjuangan Pangeran Diponegoro yaitu Kali Progo dan letaknya yang jauh dari pusat pemerintahan Yogyakarta. Kali Progo sangat vital karena akan
memberikan hambatan bagi serdadu kolonial untuk mendekati Pangeran Diponegoro. Kali Progo sangat lebar dengan arus yang deras, ini menjadi benteng
utama kaum pejuang. Selain menjadi benteng yang kuat, Kali Progo juga dapat digunakan sebagai tempat pelarian seandainya posisi kaum pejuang terdesak oleh Belanda jika sewaktu – waktu mereka bisa menemukan markas besar Dekso. Hal
kedua adalah posisi Dekso jauh dari pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta6. Posisi ini menguntungkan pejuang untuk berkonsentrasi menyusun strategi untuk
terus menghidupkan perjuangan. Dengan jarak yang jauh dan belum diketahui oleh pihak kolonial maka serangan terhadap Belanda akan mudah digalang
5
Lihat Peta 1, hlm. 89.
6
Lihat Peta 2, hlm. 90.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sehingga sewaktu – waktu dapat memberikan serangan mendadak kepada Belanda. Segala kemungkinan sudah dipersiapkan termasuk tempat pelarian
dengan memanfaatkan Perbukitan Menoreh.
Markas besar dalam suatu perjuangan merupakan hal yang sangat vital
karena dalam perang gerilya membutuhkan penyusunan strategi supaya perjuangan tetap hidup. Posisi markas yang jauh dan terpencil memang selalu dipilih oleh pejuang gerilya karena akan memudahkan kaum pejuang untuk tetap
bersembunyi dan juga mengendalikan perjuangan. Dekso masuk dalam kualifikasi yang ideal digunakan sebagai markas besar untuk melaksanakan perang gerilya.
2. Pemerintahan
Dekso sebelum Perang Jawa tahun 1825 -1830 merupakan bagian dari
wilayah Kulon Progo, masuk dalam wilayah administratif Kasultanan Yogyakarta yang disebut vorstenlanden7. Tahun 1820-an wilayah Kulonprogo masih terbagi
menjadi 2 yaitu Kulon Progo yang beribukota di Sentolo kemudian pindah ke Pengasih milik Kasultanan Yogyakarta dan Adikarto yang beribukota di Wates merupakan tanah milik Kadipaten Pakualaman8. Sebelum Perang Diponegoro di
daerah negaragung9, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo. Pada waktu itu
7
Sejak tahun 1799 digunakan istilah vorstenlanden untuk menyebut daerah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta.
8
Wawancara dengan Bapak Sadil, pada tanggal 27 Maret 2012 jam 11.00wib bertempat di Banjarsari, Kalibawang, Kulon Progo.
9
17
roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat10.
Dekso termasuk dalam wilayah negaragung. Pemerintahan di Dekso dijalankan berdasarkan penguasa atas tanah, biasanya adalah pejabat keraton yang
mendapatkan tanah lungguh. Struktur pemerintahan yang penting dalam urusan penataan pajak tanah meliputi demang, bekel dan sikep11. Dalam kenyataannya, pemegang hak atas tanah jabatan bermukim di keraton dan menyerahkan penataan
tanah jabatannya kepada para pemungut pajak setempat atau bekel dibawah pengawasan demang. Para pemungut pajak ini bertanggung jawab atas suatu desa
atau bagian desa beserta tanah – tanah pertanian yang luas12. Bekel pada abad kedelapanbelas memegang peranan yang penting dalam penguasaan atas tanah. Sikep sendiri merupakan petani pemilik sawah dan pekarangan, bertanggung jawab dalam sistem penguasaan tanah paling bawah dan bertanggung jawab dalam pembayaran pajak13.
Pejabat pemerintahan yang ada di Dekso masuk dalam tanah jabatan Pangeran Diponegoro sehingga perangkat desa yang ada bertanggung jawab langsung kepadanya. Namun yang perlu menjadi catatan adalah bentuk
pemerintahan yang belum begitu jelas dibandingkan saat ini sangat mudah terjadi
10
http://www.kulonprogokab.go.id/v21/Sejarah_hal 7 (diakses tanggal 5 Oktober 2012).
11
Lihat Denah I, hlm. 92.
12
Peter Carey, 2011, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa 1785 - 1855 Jilid 1, Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.
17.
13
Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920, Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 40.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penyelewangan hak atas tanah. Terkadang banyak tanah yang tidak tergarap dan menjadi lahan mati karena tidak jelasnya kepemilikan tanah.
Pada tanggal 17 April 1947 bentuk pemerintahan di Kulon Progo mengalami perubahan. Pemerintahan dijalankan oleh seorang Bupati yang
berkedudukan di Wates membawahi beberapa kecamatan – kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Kalibawang. Kalibawang memeliki beberapa kelurahan yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu Banjarharjo, Banjararum, Banjarasri
dan Banjaroyo. Kelurahan Banjararum membawahi 5 dusun yang terdiri dari Dusun Dagen, Semaken, Kedondong, Ngipik dan Dekso.
3. Ekonomi
Kondisi ekonomi masyarakat Dekso yang berada di tanah negaragung
seperti halnya dengan tanah yang lain merupakan daerah pertanian yang digunakan sebagai tanah lungguh dari pejabat kasultanan. Sebagian besar masyarakatnya merupakan petani desa yang berada di Perbukitan Menoreh.
Kebanyakan pengamat masa itu sepakat bahwa setiap desa berdiri sendiri dengan jumlah penduduk 50 sampai 200 jiwa14. Masyarakat desa pada umumnya
memiliki sawah dan kebun pekarangan sehingga satu – satunya kegiatan mereka adalah bertani mengerjakan tanah jabatan milik Kasultanan Yogyakarta. Kadang keberedaan air tidak stabil kecuali dalam musim penghujan namun mereka tetap
dapat menggarap sebagian kecil sawah. Saat musim kemarau datang maka petani penggarap hanya mengandalkan sumur – sumur kecil, dekat dengan area
14
19
persawahan. Masyarakat desa hidup dengan mengandalkan sawah yang mereka garap. Di negaragung, lahan sawah tidak sebanding dengan jumlah orang yang
tinggal. Dengan kondisi seperti itu maka tidak mengherankan jika kondisi ekonomi rakyat desa memprihatinkan, mereka hanya memakai pakaian seadanya.
Selain itu penderitaan rakyat desa juga tercermin dari pambayaran pajak yang mereka tanggung dan terlindas oleh golongan sikep, suatu golongan tani penggarap yang jumlahnya kecil namun berpengaruh. Golongan sikep memegang
hak atas lahan yang ditanami oleh desa secara bersama – sama.
Keberadaan sawah merupakan penghasil beras untuk menunjang
kehidupan Masyarakat Dekso terkadang juga masyarakat desa menghasilkan kain tenun sekedar untuk pakaian mereka sehari - hari. Selain beras dan tenun, Dekso juga disebut sebagai penghasil mesiu yang digunakan untuk keperluan alat perang,
bedil dan meriam. Peralatan perang yang didapatkan dari hasil rampasan dari Belanda kemudian digunakan oleh pasukan Pangeran Diponegoro. Mesiu – mesiu
yang di butuhkan untuk keperluan perang didapatkan dari desa – desa di Kulonprogo meliputi Dusun Into - Into dekat Kali Progo, desa Geger Samigaluh dan Dekso15. Berkaitan dengan pembuatan mesiu ada salah satu ulama dari Kulon
Progo yang memiliki keahlian dalam bidang mesiu yaitu Haji Amattahir16. Dekso tidak hanya menghasilkan mesiu namun juga peluru meriam yang berasal dari
timah untuk keperluan artileri pasukan Pangeran Diponegoro. Pasokan mesiu dan
15
Peter Carey, op. cit., hlm. 717.
16
Ulama kepercayaan HB II kemudian diangkat sebagai Demang Desa Samen. Dikenal juga sebagai pengikut Pangeran Diponegoro dan terdaftar sebagai pemilik tanah di Jatingarang, Nanggulan, Kulon Progo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peluru meriam terus mengalir karena sangat dibutuhkan untuk mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, petani Dekso menjual hasil pertanian mereka ke pasar17. Dalam catatan Belanda tahun 1926 tentang Kulon
Progo, masyarakat yang berada di pedalaman Perbukitan Menoreh biasa berkumpul pada hari pasaran kliwon di Pasar Dekso untuk menjual hasil panen mereka. Berkumpulnya petani juga memberikan efek penting bagi jalur
komunikasi antar penduduk di sekitar wilayah Dekso.
4. Sosial
Petani merupakan profesi utama masyarakat Dekso pada waktu Perang Jawa berlangsung. Lahan - lahan pertanian berada di dataran tinggi dan pengairan
tidak lancer, mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber irigasi bagi lahan – lahan pertanian. Selain petani terdapat juga ulama yang berperan dalam bidang keagamaan, berkedudukan di atas petani. Terdapat juga pejabat pemerintah yang
ditunjuk untuk mengawasi tanah lungguh. Golongan terendah ditempati oleh petani penggarap atau buruh tani, mereka merupakan petani yang tidak
mempunyai lahan dan dipekerjakan sebagai penggarap lahan18.
Golongan atas di isi oleh para ulama dan pejabat termasuk bekel. Golongan menengah di isi oleh golongan sikep dan golongan petani yang
17
Wawancara dengan Bapak Sadil, pada tanggal 27 Maret 2012 jam 11.00wib bertempat di Banjarsari, Kalibawang, Kulon Progo.
18
21
mempunyai lahan garap sendiri dan golongan terakhir di isi oleh golongan buruh tani. Golongan petani di Dekso merupakan golongan homogen yang mempunyai
kesetiaan tinggi terhadap pemimpin. Mereka rata – rata tidak mempunyai lahan garap sendiri dan mendapatkan penghasilan ketika musim tanam tiba.
5. Budaya
Kondisi sosial ekonomi Masyarakat Dekso yang terbelakang dengan penghasilan rendah dan kehidupan tradisional memberikan dampak pada
kehidupan aspek budaya mereka. Hal utama dalam pikiran masyarakat adalah bertani, memenuhi kebutuhan hidup dan berusaha keluar dari beban yang berat akibat penindasan pihak kolonial, Belanda termasuk penarikan pajak atas
pertanian. Tentu dengan rendahnya tingkat pendidikan maka sejalan pula dengan kebudayaan yang dihasilkan. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh
Masyarakat Dekso namun juga oleh sebagian besar Masyarakat Indonesia waktu itu.
Budaya yang lazim dimiliki oleh Masyarakat Indonesia khususnya
Masyarakat Dekso pada abad ke-18 adalah kepercayaan animisme dan dinamisme19. Masyarakat mengeramatkan beberapa tempat tertentu, mempercayai adanya gaib atau makhluk halus dan adanya kekuatan magis yang terdapat pada
19
Animisme merupakan kepercayaan yang menyatakan bahwa benda hidup dan mati mempunyai roh atau jiwa sedangkan dinamisme adalah kepercayaan yang menyatakan bahwa benda baik hidup atau mati mempunyai kekuatan gaib dan dianggap suci.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
benda – benda tertentu yaitu keris dan tombak20. Dengan adanya kepercayaan seperti ini maka tidak mengherankan jika masyarakat sering memberi sesaji pada
pohon – pohon besar terutama pohon beringin yang banyak tumbuh di wilayah Dekso, ditambah pula dengan membersihkan benda – benda yang dianggap
memiliki kekuatan gaib seperti keris dan tombak. Tempat – tempat tertentu kadang juga dianggap wingit, dalam Bahasa Indonesia berarti angker. Sejalan dengan kepercayaan yang ada maka tidak mengherankan ketika masyarakat
mempercayai bahwa Pangeran Diponegoro mempunyai kekuatan gaib dan akan membawa kemakmuran bagi masyarakat Dekso dan Mataram pada umumnya.
Jadi, tidak dapat dipungkiri lagi ketika Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa sampai wilayah Kulon Progo dapat mengambil hati rakyat karena masyarakat di sana memiliki kepercayaan bahwa Dia akan membawa pencerahan
bagi kehidupan rakyat jelata.
B.
Memobilisasi Masyarakat Dekso
1. Pengaruh Ulama Kulon Progo
Pada abad kedelapanbelas, pengaruh Islam di Wilayah Kasultanan Yogyakarta begitu kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Pengaruh yang kuat ini
sangat membantu dalam perjuangan Pangeran Diponegoro, khususnya di Wilayah Jawa Tengah Selatan. Bagi Masyarakat Dekso, Islam begitu akrab dalam kehidupan sehari – hari mereka. Hal ini terbukti dengan keberadaan beberapa
ulama di sekitar Kulon Progo. Ulama ini nantinya akan berperan beberapa tahun
20
23
sebelum meletusnya Perang Jawa. Berkaitan dengan ulama, Haji Abdulkodir21 dipercaya oleh Pangeran Diponegoro memegang wilayah Dekso sebagai seorang
yang pandai dalam hukum islam. Untuk memperkuat penyebaran agama islam, para ulama senior bertempat tinggal di Clereng dan Nanggulan, Kulon Progo
sebelah selatan Dekso. Diantara beberapa ulama itu adalah Haji Amattahir22, Syekh Haji Barmawi, Kiai Margewuh, Kiai Ondotaruno dan Kiai Wonopeti23. Beberapa kiai ini memiliki hubungan dekat dengan Pangeran Diponegoro dan
berperan dalam keberlangsungan Perang Jawa.
Adanya kedekatan Pangeran Diponegoro dengan beberapa kiai di Kulon
Progo dan juga kedekatan dengan pejabat pemerintahan yang ada disana maka akan mempermudah penggunaan wilayah Kulon Progo sebagai daerah perjuangan Perang Jawa.
2. Pembentukan Pandangan Masyarakat
Perjuangan Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya dalam Perang Jawa
memiliki banyak faktor pendukung yang menyebabkan kuatnya dukungan rakyat. Kedudukan Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perang sangat kokoh. Faktor
yang mengangkat kedudukan ini adalah Pangeran Diponegoro adalah pemimpin
21
Pemimpin Resimen Bulkiyo.
22
Memiliki nama lain Joyomenggolo dan Kiai Muhammadahir merupakan pengikut Diponegoro dan ahli mesiu.
23
Peter Carey, 2012, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa 1785 - 1855 Jilid 3, Apendiks VIIb, Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia, hlm. 937.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
unsur – unsur sosial yang menderita dan tertindas, sebagian besar merupakan pengikutnya.
Kondisi seperti itu akan memicu terwujud orang dengan personal influence yang potensial dan dikenal dengan sebutan key person. Pemahaman tentang key person berkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pemikiran dan tingkah laku seseorang dan kewenangan diartikan sebagai hak untuk mempengaruhi dan
mengendalikan orang lain. Berkaitan dengan wewenang maka perlu disebut pembagian wewenang menurut Max Webber ( 1864 – 1922 ) dalam tiga macam
wewenang yaitu tradisional, kharismatik dan rasional legal24. Konsepsi tentang key person merupakan bagian penting bagi tercapai penguasaan terhadap pikiran rakyat dan bagaimana mempengaruhi rakyat. Dengan kata lain yaitu pembentukan
kharisma pemimpin. Inilah yang dilakukan Pangeran Diponegoro. Pembentukan kharisma benar – benar dilakukan secara serius oleh Pangeran Diponegoro
sehingga rakyat dia dapat mempengaruhi rakyat untuk ikut ambil bagian dalam Perang Jawa. Disinilah kepandaian Pangeran Diponegoro dan pengikutnya atau dengan kata lain disebut Conspiracy of Silenceyang dijalankannya telah berhasil
sebelum perang meletus. Konsep kepemimpinan yang diusung oleh Pangeran Diponegoro disebut kekuasaan pemimpin tradisional. Dengan penjelasan diatas,
Pangeran Diponegoro mewujudkan diri sebagai seorang pemimpin sehingga Dia mampu menggalang pengikut dan perjuangannya didukung oleh sebagian besar warga masyarakat secara khusus masyarakat Dekso.
24
25
3. Gerakan Masyarakat Dekso
Pengukuhan Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perjuangan yang
berlandaskan unsur sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama diperkuat dengan gelar Erucakra yang merupakan gelar ratu adil Pangeran Diponegoro ketika ia masih berada di Selarong pada tanggal 1 sura 1753 Tahun Jawa atau 15 Agustus
1825 Masehi25. Pengambilan gelar ini dengan sangat jelas memberikan petunjuk bahwa Pangeran Diponegoro melihat dirinya sebagai raja yang adil, sebuah
peranan yang amat cocok bagi kepribadian Pangeran Diponeogoro yang penuh dengan renungan – renungan dan kharismatik26. Dengan cara ini dia telah berhasil membangkitkan rasa kesetiaan di kalangan penduduk khususnya Jawa Tengah,
walaupun banyak diantara pengikutnya tidak pernah bertemu langsung dengan pemimpinnya. Sebuah aspek lain dari ratu adil yang menjadi daya tarik yang
begitu kuat bagi kelompok masyarakat keagamaan dan dikembangkan oleh Pangeran Diponegoro adalah akan mengangkat dirinya sendiri sebagai pangatur agama di Pulau Jawa atau paneteg panatagama. Hal ini pernah dilakukan oleh
para wali untuk menjalankan kekuasaan Islam di Tanah Jawa abad ke-15 dan 16. Benih – benih perjuangan yang diusung oleh Pangeran Diponegoro
disebarluaskan ke seluruh penjuru Jawa, secara khusus di wilayah Kulon Progo. Pengangkatan Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin perjuangan sekaligus ratu adil memberikan dampak positif bagi dukungan masyarakat. Dukungan di wilayah
25
Wawancara dengan Bapak Gunawan tanggal 25 Juni 2012 jam 09.00wib bertempat di Kalirejo, Samigaluh, Kulon Progo.
26
Peter Carey, 2004, Asal Usul Perang Jawa Pemberontakan Sepoy dan Lukisan
Raden Saleh, Yogyakarta: LkiS, hlm. 41.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kulon Progo begitu kuat. Dukungan kuat dari Masyarakat Dekso tidak terlepas dari adanya pemimpin – pemimpin lokal disana. Para ulama seperti yang sudah
dibahas diatas memberikan dampak besar bagi peran masyarakat. Wujud nyata dari keinginan masyarakat adalah gerakan sosial dalam wujud Perang Jawa yang
dipimpin oleh Pangeran Diponegoro27.
Masyarakat Dekso dalam Perang Jawa merupakan sebuah pengantar untuk masuk lebih dalam mengenai pembahasan peran Masyarakat Dekso dalam Perang
Jawa. Peran masyarakat yang mencurahkan segala tenaga, pikiran dan harta demi terwujudnya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Keinginan masyarakat
dapat dibaca oleh Pangeran Diponegoro. Gerakan ini kemudian terorganisasi dengan baik menjadi gerakan besar, menjadi gerakan sosial terpusat. Arah gerakan masyarakat semakin terarah karena adanya wadah yang tepat. Terdapat
kejelasan hubungan antara pemimpin dan pengikutnya dan pada hasil perjuangan. Perjuangan ini merupakan gebrakan terhadap sebuah tatanan lama di Jawa,
dimana kehidupan sosial masyarakat tidak memberikan kenyamanan kepada rakyat dan hanya menimbulkan penderitaan yang kian hari kian parah. Masyarakat Dekso memberikan sumbangan besar pada sebuah gerakan yang kelak disebut
sebagai Perang Jawa.
27
27
C.
Peran Masyarakat Dekso
Berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan Masyarakat Dekso serta
pandangan masyarakat secara jelas mempertegas keinginan Masyarakat Dekso untuk ikut ambil bagian dalam Perang Jawa. Keinginan masyarakat ini tidak terlepas dari pola hubungan paternalistik28 yang terjalin erat antara Masyarakat
Dekso dengan pemimpin lokal yang ada di Kulon Progo. Masyarakat sangat menghormati pemimpin lokal yang ada, apa yang dikehendaki oleh pemimpin
maka akan dijalankan juga oleh masyarakat yang dipimpinnya. Tokoh – tokoh masyarkakat yang ada di Dekso dan sekitarnya seperti ulama dan penguasa tanah serta adanya pemimpin – pemimpin pasukan yang ditempatkan oleh Pangeran
Diponegoro di Wilayah Dekso dan sekitarnya. Keberadaan pemimpin lokal memegang peranan vital namun terdapat faktor lain yang memicu peran
Masyarakat Dekso ambil bagian dalam Perang Jawa.
Peran masyarakat nampak ketika masyarakat tidak memberikan hasil panen beberapa saat sebelum Perang Jawa berkobar dan menggunakan hasil panen
tersebut untuk membeli peralatan yang dibutuhkan dalam perang29. Selain itu, Masyarakat Dekso juga merupakan penghasil mesiu yang digunakan untuk
keperluan alat perang. Sekelompok kecil Masyarakat Dekso yang menjadi jawara digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebagai penjaga Kali Progo30. Kali Progo menjadi obyek vital karena merupakan benteng utama bagi pertahanan pasukan
28
Hubungan paternalistik adalah hubungan yang menyerupai hubungan orangtua dengan anaknya. Dalam hubungan ini terdapat juga kepatuhan dari anak terhadap orangtua.
29
Peter Carey, op. cit., hlm. 714.
30
Ibid., hlm. 715.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang ada di daerah Dekso dan Kulon Progo. Masyarakat juga berperan sebagai pemasok pangan bagi pasukan Diponegoro ketika berperang. Hal ini akan
memudahkan pemasok pangan karena masyarakat sudah tentu mengetahui jalur – jalur aman untuk memasok pangan31. Pasokan pangan kepada prajurit di medan
perang harus lancar karena pangan merupakan kebutuhan utama bagi prajurit dalam bertahan di medan perang. Di tengah kesibukan masyarakat dalam berperang mereka juga berperan sebagai prajurit tambahan sebagai contoh ketika
masyarakat bekerja area persawahan dan ladang mereka berpakaian biasa layaknya petani namun pada saat serangan terjadi para petani tersebut beralih
menjadi prajurit yang membantu pasukan Diponegoro32. Dan saat kondisi kembali normal mereka kembali menggarap sawah mereka. Inilah sebuah kamuflase yang banyak dilakukan oleh para petani di Dekso dalam membantu Perang Jawa dan
berfungsi efektif.
Dengan tegas Masyarakat Dekso mendukung Perang Jawa yang
dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro. Hal ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat di sana. Kesatuan masyarakat yang kuat dan loyalitas kepada pemimpin mereka begitu kuat33.
31
Ibid., hlm. 717.
32
Ibid., hlm. 716.
33
29
BAB III
MENANTI PERUBAHAN
Kondisi masyarakat pada awal Perang Jawa tidak stabil karena semakin berat beban yang harus ditanggung oleh rakyat yang diakibatkan semakin meluasnya pengaruh Belanda pada kehidupan rakyat. Tanam paksa semakin
memberatkan rakyat ditambah dengan beban pajak tanah yang harus dibayarkan sementara pejabat – pejabat pribumi sendiri hanya memperkaya diri dan
menghamburkan kekayaan mereka dengan pergi ke tempat pelacuran dan menghisap candu. Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan sosial antara rakyat dengan pejabat pemerintahan.
Sistem pajak di wilayah Yogyakarta masa itu sangatlah kompleks terdiri dari empat macam pajak yang dibebankan kepada rakyat. Pajak yang pertama
adalah pajeg yaitu pajak tetap atas hasil tanah yang biasanya diserahkan dalam bentuk bahan mentah. Nilai dari pajak ini begitu besar sedangkan tiga pajak lain nilainya lebih kecil yang terdiri dari pacumpleng, kerigaji dan pegaweyan1.
Pacumpleng merupakan pajak yang dibebankan kepada rumah tangga sikep, biasanya dibayarkan dalam bentuk segulung benang katun. Kerigaji merupakan
pajak dalam bentuk pemeliharaan jalan di wilayah kerajaan yang bisa diganti dengan uang yang bernilai tetap sebanyak satu ringgit Spanyol. Sedangkan
1
Peter Carey, 2011, Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan
Lama di Jawa 1785 - 1855 Jilid 1, Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.
66.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pegaweyan merupakan pajak dalam bentuk tugas rodi. Kesemua pajak ini merupakan pajak yang dibebankan kepada rakyat di wilayah Keraton Yogyakarta.
Keempat jenis pajak ini merupakan jenis pajak yang dibebankan kepada rakyat di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Ketika rakyat harus membayarkan
pajak, biasanya mereka akan berjalan jauh dari daerah asal ke Keraton Yogyakarta2. Sebagai contoh ketika Garebeg Maulud para pekerja dipekerjakan untuk memperbaiki benteng Belanda dan bangunan lain milik pemerintah jajahan.
Masa tinggal di ibu kota kerajan tidak bisa ditentukan sehingga terkadang mereka terlambat untuk kembali ke daerah asal pada waktu panen padi sehingga berakibat
buruk terhadap hasil pertanian. Perlu digaris bawahi, bahwa pajak tidak hanya diberikan kepada Kasultnan Yogyakarta namun juga kepada pemerintah Belanda.
Sebuah peristiwa akibat begitu beratnya beban pajak yang harus
ditanggung rakyat yaitu pemberontakan Raden Ronggo Prawirodirjo III di Madiun pada November – Desember 1810 menggugah dukungan besar dari rakyat
karena pemberontakan tersebut merupakan gerakan daerah yang secara bersama ditujukan baik kepada Pakubuwono IV maupun Belanda3. Madiun merupakan daerah yang berada di Wilayah Timur atau mancanegara dengan beban pajak
yang lebih berat dibandingkan dengan pajak di wilayah negaragung. Hal ini bisa terjadi karena para bupati dan bawahan mereka bertempat tinggal di daerah
kekuasaan masing – masing sedangkan para penguasa tanah jabatan di wilayah negaragung bertempat tinggal di ibu kota kerajaan. Karena hal inilah, mengapa
2
Ibid., hlm. 66.
3
31
beban pajak rakyat di wilayah negaragung tidak begiu berat dibandingkan rakyat yang berada di wilayah mancanegara.
Dekso merupakan daerah yang masuk dalam wilayah negaragung memiliki beban pajak sesuai dengan yang disebutkan diatas. Meskipun jika
dibandingkan dengan wilayah lain, beban pajak tidak begitu berat namun rakyat tetap hidup dalam penderitaan karena mereka kadang tidak bisa menikmati jerih payah dari hasil pertanian mereka sendiri. Lahan pertanian di Dekso sebagian
besar berada di dataran tinggi dengan intensitas pasokan air yang tidak tetap sementara padi yang ditanam membutuhkan pasokan air yang banyak. Terkadang
petani memanfaatkan air dari sumur – sumur yang dibuat di dekat area persawahan, ada pula yang memanfaatkan air hujan. Dengan kondisi seperti ini maka hasil pertanian tidak bisa optimal sementara beban pajak tetap. Sehingga
berimbas pada pemenuhan kebutuhan sehari - hari masyarakat. Winter, seorang peneliti pada jaman itu memaparkan keadaan masyarakat bahwa kuli di Jawa
sering tidur di alam terbuka pada malam hari ketika sedang bekerja memikul barang di jalan raya, dan bahkan bila tidak ada pekerjaan, mereka hanya kembali ke gubug reyot. Tempat tidur mereka biasanya hanya tikar anyaman daun kelapa
yang diletakan di atas lantai tanah. Sepasang pakaian seadanya yang terdiri dari tutup kepala, kemeja dan celana kolor yang merupakan kain berbahan kasar. Itu
saja pakaian mereka, bila semua di cuci di suatu sungai, mereka berbaring di bawah terik matahari sampai pakaian kering. Winter, menganggap, kuli panggul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lebih berada daripada penghuni gunung yang miskin di daerah – daerah pedalaman yang berbukit dengan pakaian hanya sehelai cawat4.
Begitu melaratnya kehidupan rakyat mengakibatkan munculnya kecemburuan sosial. Kecemburuan yang diakibatkan adanya jarak antara pejabat
dan rakyat, kondisi ini diperparah dengan pemerintah pribumi tidak memperhatikan keadaan mereka.
A.
Kebijakan Pajak
Akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 benar benar memberikan tekanan yang begitu berat kepada rakyat yaitu ketika Keraton Yogykarta melakukan suatu
praktik pancas, dalam arti harafiah adalah potong seluruhnya. Ini adalah kebijakan baru dimana ukuran jung kerajaan diperkecil sementara kewajiban
pajak tetap sama5.
Latar belakang munculnya kebijakan baru ini adalah tidak adanya survei yang mendetail dan menyeluruh mengenai luas tanah di Jawa Tengah, termasuk
perkembangan sawah di Jawa Tengah Selatan pada akhir abad ke sembilan belas. Dalam istilah pertanian yaitu survei kadaster, suatu kegiatan pencatatan luas
sawah di wilayah keraton. Pihak keraton selalu menolak adanya survei ini karena mereka takut Belanda akan mengambil alih semua tanah yang baru dibuka sejak adanya survei kadaster pertama pada tahun 1773. Data – data statistik mengenai
luas tanah sebenanrnya yang dimiliki Kasultanan Yogyakarta tidak jelas
4
Ibid., hlm. 53.
5
Peter Carey, 1986, Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan
33
jumlahnya sehingga berdampak pada ruwetnya administrasi keraton, pemberian tanah kepada pejabat keraton dan daftar pembayaran pendapatan campur baur
dengan dokumen – dokumen lain. Kekacauan seperti ini sudah terjadi semenjak Sultan kedua bertahta dan berlanjut kepada penerusnya. Dokumen dan kearsipan
keraton tidak tertata dengan rapi sehingga menimbulkan keruwetan yang muncul dalam pemerintahan keraton. Pencatatan kekayaan dan keuangan keraton mulai sedikit tertata memasuki abad kedua puluh. Pencatatan ini dilakukan dibawah
pengawasan seorang akuntan Yahudi bernama J.L. Israel yang diangkat sebagai pegawai keraton atas saran Residen Belanda, J.H. Liefrink (1908-1913)6.
Menanggapi situasi yang semacam ini, Sultan kedua mengharuskan penguasa tanah jabatan untuk melaporkan secara benar luas tanah yang mereka terima. Untuk segera mendapatkan laporan yang pasti mengenai luas tanah yang
dimiliki Kasultanan Yogyakarta, Sultan juga menggunakan jasa para surveior desa atau dikenal dengan nama abdi dalem priksa dhusun7. Tugas mereka adalah mengawasi pemungutan pajak agar mereka tidak terlalu banyak mengambil lahan. Nampaknya Sultan tidak sabar untuk menerima hasil laporan dari para petugasnya mengenai jumlah tanah keraton dan akhirnya pada tahun 1802, Sultan mengambil
kebijakan untuk menentukan ukuran baru di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta baik di negaragung dan wilayah timur. Kebijakan ini dikenal dengan
nama pancas.
6
Peter Carey, op.cit., hlm. 73.
7
Ibid., hlm. 75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perubahan pancas sama dengan penurunan nilai mata uang yang telah menggugah perlawanan para penerima tanah jabatan karena besaran pajak yang
tetap sementara luas tanah mereka diperkecil sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kasultanan Yogyakarta. Sebagai contoh, lahan – lahan di wilayah
Nanggulan di kawasan Kulon Progo yang diperintah langsung oleh Belanda, para abdi dalem priksa dhusun menemukan kesenjangan besar dalam ukuran jung dengan pajeg yang harus dibayarkan. Meskipun pancas baru telah ditetapkan
namun dalam pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik sehingga memperparah masalah pertanian pada tingkat desa dan dalam jangka waktu yang panjang
menyiapkan lahan bagi perlawanan desa yang luas di Jawa Tengah Selatan yang menyertai Perang Jawa tahun 1825.
Begitu berat beban yang harus ditanggung rakyat pada kurun waktu abad
kedelapan belas sampai akhir abad kesembilan belas. Tinggi pajeg yang ditetapkan oleh Keraton Yogyakarta atas tanah – tanah yang berada di wilayah
keraton khususnya Jawa Tengah Selatan telah menimbulkan suatu kondisi yang benar – benar bertolak belakang dengan keadaan alam yang subur. Rakyat diharuskan membayar pajak yang tinggi sementara mereka tidak bisa menikmati
sepenuhnya hasil panen dan kerja keras mereka. Kondisi ini diperparah lagi dengan digantinya kerja rodi dengan pajak uang. Sementara itu, kekacauan
35
kemsikinan dan wabah penyakit yang banyak merenggut nyawa (wabah kolera tahun 1821)8.
Inilah dunia dimana Pangeran Diponegoro dilahirkan, dunia yang penuh dengan kesenjangan sosial yang tinggi dan jurang kemiskinan yang mengancam
rakyat. Inilah suatu masyarakat dimana sikep yang makmur bisa mengumpulkan harta kekayaan dan seorang buruh tani tidak mempunyai apa – apa kecuali pakaian rombeng yang menempel ditubuhnya9. Tanah yang subur tidak
mendatangkan kemakmuran bagi penduduk yang sebagian besar adalah petani. Kemakmuran hanya datang bagi mereka yang dekat dengan pejabat keraton dan
pemerintah kolonial. Tidak mengherankan jika rakyat tidak suka terhadap pemimpin yang ada dan mereka mengharapkan adanya perubahan bagi kehidupan mereka. Nampaknya hal ini dipahami betul oleh Pangeran Diponegoro, yang
muncul sebagai pembawa terang dan kemakmuran bagi penduduk di Jawa Tengah Selatan. Kelahirannya telah diramalkan oleh banyak orang dan kedatangannya
diibaratkan Ratu Adil Jawa.
B.
Tragedi Kemanusiaan
1. Wabah Penyakit
Krisis pangan pada kurun waktu 1820an telah menyebabkan penurunan gizi dan kelaparan di pulau jawa. Krisis pangan ini diperparah dengan adanya kekeringan, gagal panen dan peperangan. Kelaparan yang terbatas di berbagai
8
Wawancara dengan Bapak Gunawan tanggal 25 Juni 2012 jam 09.00wib bertempat di Kalirejo, Samigaluh, Kulon Progo.
9
Peter Carey, op.cit., hlm. 76.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tempat di Jawa adalah akibat merosotnya upaya pertanian selama tiga dasawarsa abad kesembilan belas. Kemerosotan ini menyebabkan kesehatan dan pola makan
penduduk di Jawa Tengah Selatan sangat merosot. Dalam tahun 1820-an konsumsi penduduk Jawa Tengah Selatan adalah makanan kelas dua berupa umbi
– umbian, jagung dan ketela. Berdasarkan kondisi ini maka tidak mengherankan jika kekebalan penduduk untuk menghadapi penyakit menurun dan wabah penyakit tidak dapat dicegah.
Wabah penyakit yang muncul dalam kurun waktu 1820-an adalah penyakit cacar. Menuru laporan Raffles dalam buku The History of Java memaparkan
bahwa penyakit serius yang menimbulkan kematian di Jawa adalah pokken atau cacar, yang begitu menular dikalangan bayi dan anak – anak sehingga dijuluki penyakit anak oleh orang Jawa. Laporan Belanda tentang Kedu pada tahyun 1823
mencatat bahwa dua perlima penduduk yang 330.000 jiwa berusia di bawah dua belas tahun, dua pertiga jumlah anak – anak ini terkena penyakit cacar dan
penyakit lain yang sejenis. Sebanyak 45 persen jumlah kematian di Kedu tampaknya terdiri dari anak – anak10.
2. Bencana Alam
Peristiwa dahsyat terjadi setelah pengangkatan Sultan kelima dan 3 tahun sebelum meletusnya Perang Jawa. Kejadian dahsyat terjadi pada tanggal 28 dan
30 Desember 1822 ketika terjadi Gunung Merapi meletus begitu dahsyat. Tanggal
10
37
28 Desember, dini hari pukul dua menurut laporan Belanda setelah serentetan gempa, Gunung Merapi meletus. Pada pagi hari, tanggal 29 Desember aliran lahar
membara meluap menuruni gunung di sisinya disertai dengan kepulan asap beserta hujan abu dan pasir yang menjangkau wilayah yang begitu luas. Baru pada
tanggal 3 Januari 1823, Gunung Merapi kembali tenang.
Letusan dahsyat Gunung Merapi ternyata menimbulkan kerusakan besar akibat aliran lahar yang menyapu setiap jalur sungai yang dilewati. Mayat – mayat
hanyut di Sungai Progo dan terseret begitu jauh sampai dekat muara sungai yang mengalir ke Samudra Hindia11. Letusan juga berdampak pada lahan pertanian di
wilayah Jawa Tengah Selatan walaupun tidak begitu parah. Namun cukup untuk membuat harga beras naik pada akhir Bulan Januari. Pasokan beras pada bulan pertama setelah letusan Gunung Merapi juga menipis sehingga rakyat harus
menghemat bahan pangan dan kadang mengganti dengan bahan pangan lain. Selain kerusakan fisik akibat letusan ini, peristiwa tersebut hampir pasti
memunculkan harapan rakyat akan Ratu Adil menjelang pecahnya Perang Jawa. kedatangan Ratu Adil seperti yang diramalkan dalam ragam ramalan Joyoboyo, terlebih dahulu ditandai dengan peristiwa - peristiwa dalam skala besar. Sebelum
letusan ini telah terjadi wabah kolera yang banyak merenggut nyawa penduduk Jawa Tengah Selatan, ditambah pula dengan tinggi harga pangan, pajeg yang
memberatkan rakyat dan tidak terjaminnya keamanan di Pedesaan. Peristiwa skala besar ini tentunya akan mudah dikaitkan dengan masa kacau sebelum kedatangan Ratu Adil. Selain itu, kepercayaan masyarakat Jawa Tengah Selatan yang
11
Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempercayai berbagai ramalan – ramalan akan datangnya jaman perubahan. Sehingga pecahnya Perang Jawa pada tahun 1825 benar - benar mendapatkan
dukungan rakyat dan secara tulus mereka mendukung Pangeran Diponegoro sebagai pembawa perubahan bagi masyarakat khususnya Jawa Tengah Selatan.
Kepercayaan inilah yang tertanam dalam benak setiap penduduk Jawa Tengah Selatan, tatkala Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa dan dukungan rakyat menjadi senjata utama dalam mengarungi perjuangan selama 5 tahun
mendatang.
C.
Keamanan Pedesaan Jawa
Tekanan hidup yang semakin meningkat seiring tidak menentunya kondisi kehidupan di pedesaan Jawa berakibat menurunnya tingkat kemakmuran
penduduk di Jawa. Keamanan di Pedesaan Jawa pun tidak terjamin dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan oleh para jawara dan jago di pedesaan jawa. Anggota jago dan jawara kebanyakan adalah buruh tani yang beralih profesi
setelah meninggalkan desa mereka. Buruh tani beralih ke dunia kejahatan karena pertanian tidak menguntungkan bagi mereka, terlalu banyak pajak yang harus di
penuhi.
Kekacauan keamanan di pedesaan jawa benar – benar menghambat kemakmuran di negaragung pada masa itu. Pengacau keamanan bergabung dan
membentuk gerombolan – gerombolan garong yang menghantui desa. Mereka dipimpin oleh tokoh setempat yang disegani, dikenal sebagai jago atau ayam laga
39
Perang Jawa mereka diangkat oleh Diponegoro menjadi komandan tentara di wilayah masing – masing.
Sejumlah desa yang letaknya strategis di sepanjang jalan raya, tempat penyeberangan sungai dan daerah perbatasan dimana banyak kesempatan untuk
berbuat kejahatan dijadikan markas garong. Misalnya Desa Tempel di daerah Sleman yang dilewati jalan raya pos Yogya – Magelang menjadi lahan operasi garong. Mereka menjarah dan merebut barang – barang yang melewati markas
mereka. Petani di desa jawa tengah selatan juga tidak luput dari aksi para garong, mereka seringkali merebut hasil pertanian penduduk dan meneror tanah pertanian.
Demikian juga halnya denga