KELAS : C KELOMPOK : 6
NAMA (NIM) :1. Afnan Nada Khairunnisa (H0919002) 2. Alifah Rifdah Rosyidah (H0919003) 3. Anisatun Lathifah (H0919012) 4. Arin Savitri (H0919018) 5. Diana Puspita Sari (H0919036) 6. Karina Anastasya Putri (H0919057)
Inaktivasi Termal pada Dada Ayam Fillet Kemasan Retort Pouch
A. AYAM FILLET
Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung protein hewani yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan bagi manusia. Daging ayam sangat disukai oleh masyarakat, karena daging ayam mudah dimasak dan diolah. Selain itu, daging ayam juga memiliki rasa yang enak dan dapat diterima semua golongan masyarakat serta harga yang relatif lebih murah dibandingkan daging lainnya (Aprianda dkk., 2016). Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang baik karena mengandung asam amino esensial yang lengkap dan dalam jumlah perbandingan yang seimbang. Menurut Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (2010) daging ayam memiliki kandungan protein sebesar 18,20 gram, lemak sebesar 25 gram, serta memiliki kalori sebesar 404 Kkal per 100 gram daging ayam. Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang berkualitas tinggi, mengandung asam amino essensial yang lengkap dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ) yang tinggi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Dada ayam menjadi favorit bagi banyak orang karena memiliki potongan yang lebih besar dan daging yang lebih banyak jika dibandingkan dengan bagian ayam lainnya.
Dalam satu potong atau sekitar 100 gram dada ayam filet tanpa kulit yang telah dimasak, terdapat sekitar 150 kalori dan beragam nutrisi, diantaranya 25 gram protein; 3,2 gram lemak; 450 miligram natrium; 0,5 miligram zat besi; 0,7 miligram zinc; 5-10 miligram kalsium; 23 mikrogram selenium; dan 330 miligram kalium. Sekitar 80 persen kalori dalam dada ayam berasal dari protein dan hanya 20 persen yang berasal dari lemak. Jika
dibandingkan dengan bagian ayam lain, dada ayam memiliki kandungan protein dan kalori lebih tinggi, bahkan mencapai 3 kali lebih banyak. Selain itu, dada ayam sama sekali tidak mengandung karbohidrat, gula, maupun serat. Dada ayam juga mengandung beragam nutrisi lain, seperti vitamin A, vitamin B, folat, kolin, tembaga, dan fosfor. Selain itu, daging ayam lebih diminati oleh konsumen karena mudah dicerna, dapat diterima oleh mayoritas orang (Yashoda et al. 2001), dan memiliki harga yang relatif murah (Cohen et al. 2007).
Daging ayam merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Hal ini disebabkan daging ayam yang mengandung air, kaya nitrogen serta pH yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (Abustam dan Hikma, 2007). Selain itu, penanganannya yang kurang baik dapat memberikan peluang bagi pertumbuhan mikroba pembusuk maupun patogen dan berdampak pada menurunnya kualitas serta daya simpan fillet ayam. Proses pemanasan dapat mengurangi bahkan membunuh mikroorganisme yang tidak dikehendaki, sehingga dapat mengurangi potensi keracunan makanan akibat kerja mikroorganisme dan dapat meningkatkan daya simpannya. Diantaranya yaitu Salmonella dan Listeria monocytogenes yang merupakan patogen bawaan makanan yang signifikan yang terdapat pada produk daging mentah dan di lingkungan pemrosesan (Murphy et al., 2004). Komponen nutrisi pada daging harus dipertahankan atau diminimalisir kehilangannya akibat proses panas. Pemanasan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan susut masak (jumlah cairan daging yang keluar) yang besar sehingga dapat menurunkan kualitas daging. Menurut Jaelani et al (2014), dikatakan bahwa susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot.
B. RANCANGAN PROSES PANAS
Rancangan inovasi pada produk yang diproses dengan perlakuan termal adalah ayam fillet menggunakan kemasan retort pouch. Daging ayam yang digunakan adalah bagian dada ayam. Produk ayam fillet membutuhkan proses pemanasan agar memiliki umur simpan yang lama. Pemanasan ini dapat menginaktivasi mikroba patogen yang terdapat dalam ayam fillet. Untuk menginaktivasi mikroba patogen, maka dilakukan inovasi berupa pemanasan ayam fillet pada suhu 70°C selama 5 detik. Proses pemanasan dapat menginaktivasi mikroba patogen, diantaranya adalah Salmonella dan L.
monocytogenes.Selanjutnya, produk ayam fillet ini pada umumnya menggunakan plastik sebagai kemasan. Plastik merupakan salah satu jenis kemasan yang tidak tahan dengan pemanasan. selain itu, kandungan plastik yang terkena pemanasan juga dapat terurai dan pastinya dapat mencemari produk. oleh karena itu dilakukan inovasi berupa penggunaan kemasan berupa retort pouch. Retort pouch adalah kemasan fleksibel berbentuk pouch atau kantong yang digunakan untuk mengemas pangan.
Proses termal pada rancangan inovasi kali ini diawali dengan mempersiapkan dada ayam yang akan di fillet. Selanjutnya dilakukan pencucian untuk membersihkan daging dari kotoran maupun sisa darah. Kemudian dilakukan pemisahan daging dari tulang dan kulitnya. Setelah itu dikemas menggunakan retort pouch. Tahap selanjutnya adalah inaktivasi termal dengan menempatkan sampel di dalam rak kawat baja. Kemudian direndam dalam penangas air panas bersirkulasi yang dipertahankan pada suhu 70°C.
Setelah 5 detik, sampel diangkat dan dilakukan pendinginan dalam penangas berisi air dingin.
Dada Ayam
Pemisahan daging dari tulang dan kulit
Pengemasan menggunakan Retort Pouch disertai proses vakum
Pencucian
Dada ayam fillet kemasan Retort Pouch
Gambar 1.1 Diagram Alir Pembuatan Ayam Fillet
Dada ayam fillet kemasan
Penempatan sampel di dalam rak kawat baja
Perendaman dalam penangas air panas bersirkulasi yang dipertahankan pada suhu 70°C
Penarikan sampel pada waktu 5 detik.
Pendinginan dalam penangas air es
Gambar 1.2 Proses Inaktivasi Termal
Berdasarkan jurnal Murphy, et al. (2002), perlakuan termal terbaik untuk inaktivasi Salmonella dan L. monocytogenes pada daging ayam adalah dengan menggunakan suhu 70°C selama 5 detik. Dengan penggunaan suhu tersebut akan menghasilkan nilai D dan nilai z merupakan nilai terendah dibandingkan dengan perlakuan pada suhu lainnya. Hasil
tersebut dapat diartikan jika proses inaktivasi Salmonella dan L. monocytogenes pada daging ayam menggunakan suhu 70°C lebih cepat dibandingkan dengan suhu lainnya.
Nilai D yang rendah menunjukkan ketahanan panas yang lebih rendah dari bakteri Salmonella dan L. monocytogenes pada daging ayam dan begitu pula sebaliknya. Nilai z yang rendah menunjukkan kenaikan suhu yang diperlukan untuk peningkatan satu nilai D lebih rendah atau bakteri Salmonella dan L. monocytogenes pada daging ayam lebih tidak toleran terhadap suhu tersebut. Nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk mereduksi mikroba sebesar satu siklus log pada suhu tertentu. Sedangkan nilai z adalah perubahan suhu yang menyebabkan reduksi mikroba sebesar satu nilai D (Sukasih, et al., 2009).
Berdasarkan penjelasan terkait proses perancangan di atas, maka dada ayam fillet kemasan retort pouch dapat dijadikan inovasi baru untuk mendapatkan produk dada ayam fillet dengan tingkat pertumbuhan dan aktivitas mikroba rendah serta dengan tetap mempertahankan mutu sensorisnya. Dengan pemberian kemasan retort pouch akan memungkinkan dada ayam fillet untuk melalui proses termal. Proses termal terpilih yaitu dengan penginaktivasian secara termal melalui perebusan dada ayam fillet kemasan retort pouch pada suhu 70°C. Pemrosesan termal tersebut memberi pengaruh terhadap perpanjangan keawetan produk pangan, pencegahan pertumbuhan mikroba pembusuk dan patogen, perbaikan mutu sensori, pelunakan produk, peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat, serta menghancurkan kontaminan-kontaminan yang tidak dibutuhkan (Kurniadi, 2019). Pemilihan pengemasan retort pouch dibandingkan dengan pengemasan lain seperti kaleng memberi keuntungan lebih yaitu proses pemasakan menjadi lebih singkat menjadi sekitar 50%, tekstur yang dihasilkan terasa lebih alami, dan kandungan gizinya lebih terjaga (Muriyati, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E. dan Hikma. M. Ali 2007. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Daging.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Aprianda Winda, Rochadi Tawaf, Marina Sulistyati. 2016. Pola Konsumsi Daging Ayam Broiler Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Dan Pendapatan Kelompok Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
Cohen N, Ennaji H, Bouchrif B, Hassar M, Karib H. 2007. Comparative Study of Microbiological Quality of Raw Poultry Meat at Various Seasons and for Different Slaughtering Processes in Casablanca (Morocco). The Journal of Applied Poultry Research 16(4):502-508. doi:10.3382/japr.2006-00061.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan. 2010. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara, Jakarta.
Jaelani, Achmad, Siti Dharmawati dan Wanda. 2014. Berbagai Lama Penyimpanan Daging Ayam Broiler Segar Dalam Kemasan Plastik Pada Lemari Es (Suhu 4˚C) dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik. ZIRAA’AH, 39(3): 119-128.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.
Murniyati, M. 2009. Penggunaan retort pouch untuk produk pangan siap saji. Squalen Bulletin of Marine and Fisheries Postharvest and Biotechnology, 4(2): 55-60.
Murphy, R. Y., L. K. Duncan, E. R. Johnson, M. D. Davis, andJ. N. Smith. 2002. Thermal inactivation D- and z-values of Salmonella serotypes and Listeria innocua in chicken patties,chicken tenders, franks, beef patties, and blended beef and turkey patties. J. Food Prot. 65:53–60.
Sukasih, E., Prabawati, S., dan Hidayat, T. 2009. Optimasi Kecukupan Panas pada Pasteurisasi Santan dan Pengaruhnya pada Mutu Santan yang Dihasilkan. Jurnal Pascapanen, 6(1): 34- 42
Yashoda K, Sachindra N, Sakhare P, RAO DN. 2001. Microbiological quality of broiler chicken carcasses processed hygienically in a small scale poultry processing unit. Journal of food quality 24(3):249-259.