• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengambail Alihan Tata Ruang Pantai Carita Kabupaten Pandeglang Untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Tsunami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Analisis Pengambail Alihan Tata Ruang Pantai Carita Kabupaten Pandeglang Untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Tsunami"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

349

Pengambilalihan Tata Ruang Wilayah Pesisir Untuk Mendukung Penanggulangan Bencana Tsunami Dan Implikasinya terhadap Ketahanan Wilayah (Studi Di Wilayah Pesisir Carita Kabupaten Pandeglang, Provinsi

Banten)

Anwar Kurniadi

Universitas Pertahanan Republik Indonesia Komplek IPSC Sentul, Bogor e-mail: anwarmoker68@gmail.com

Dikirim:27-9-2022;Direvisi; 22-12-2022; Diterima; 28-12-2022 ABSTRACT

The purpose of this study was to analyzed alternative solutions to the problem of the Pandeglang Regency Government rearranging the spatial layout of Carita Beach, through a study of disaster risk, supporting and inhibiting factors, as well as rational alternative reasons in order to took over the Carita beach layout to support regional security and national security. In this study using theories of disaster management, tsunami disaster, regional resilience and spatial planning.

This study used a qualitative method with a descriptive design to analyzed the spatial use conditions on the Carita coast and the risk of tsunami disaster and its implications for regional resilience. The number of informants was 10 people, consisting of Bappeda officials, BPBD officials, sub-district heads, village heads, the private sector, community leaders, and affected communities.

The results of the study showed that: 1) a disaster risk study showed that the tsunami disaster is a new threat to the resilience of the Pandeglang Regency area, so that there was a need for changes to regional regulations in the management of Carita’s coastal layout. 2) supporting factors were that the old regional regulations were no longer appropriate and unable to prevented tsunami disasters, took advantage of regional autonomy, and exploited loopholes in spatial regulations on the coast; while the inhibiting factors were the plan for the implementation of the Special Economic Zone (SEZ) on the Sunda coast, and different perceptions in the authority of Carita beach management with the Banten Provincial Government; 3) alternative reasons that could be used were the negative impact of the tsunami on the real area resilience sector which would endanger the defense and security of the state, promoting community participation in the Carita beach development program, and the local government had the authority to took decisive action against the use of spatial planning which was not appropriate. Takeover of the use of Carita Beach by the Pandeglang Regency Government. The conclusion was that the Pandeglang Regency Government still had the opportunity to obtained expropriation rights in the re-arrangement of the Carita Coastal Spatial Plan in accordance with applicable laws and the facts on the ground that the central government was unable to control it.

Keywords: Taking Over, Spatial Management, Coastal Area, Tsunami Disaster Management, Regional Resilience

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang menata ulang tata ruang di Wilayah Pesisir Carita, melalui kajian risiko bencana, faktor-faktor pendukung dan penghambat, serta alasan-alasan alternatif yang rasional agar dapat mengambil alih tata ruang Wilayah

JURNAL KETAHANAN NASIONAL

Vol. 28, No. 3, Desember 2022, Hal 349-371 DOI:http://dx.doi.org/ 10.22146/jkn.66364 ISSN:0853-9340(Print), ISSN:2527-9688(Online) Online sejak 28 Desember 2015 di :http://jurnal.ugm.ac.id/JKN

VOLUME 28 No. 3, Desember 2022 Halaman 349-371

(2)

Pesisir Carita untuk mendukung ketahanan daerah dan keamanan nasional. Penelitian ini menggunakan teori-teori penanggulangan bencana, bencana tsunami, ketahanan wilayah dan tata ruang.

Metode penelitian ini adalah kualitatif dengan disain deskriptif untuk menganalisis konsisi pemanfaatan tata ruang di Wilayah Pesisir Carita dan resiko bencana tsunami dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Jumlah informan sebanyak 10 orang terdiri dari pejabat Bappeda, pejabat BPBD, camat, kepala desa, swasta, tokoh masyarakat, dan masyarakat terdampak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kajian risiko bencana menunjukkan bahwa bencana tsunami menjadi ancaman baru terhadap ketahanan wilayah Kabupaten Pandeglang, sehingga perlu adanya perubahan peraturan daerah dalam pengelolaan tata ruang Wilayah Pesisir Carita; 2) faktor-faktor yang mendukung adalah peraturan daerah lama sudah tidak sesuai lagi dan tidak mampu mencegah bencana tsunami, memanfaatkan otonomi daerah, dan pemanfaatan celah dari peraturan tata ruang di wilayah pesisir, sedangkan faktor-faktor yang menghambat adalah rencana penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di wilayah pesisir Sunda, dan perbedaan persepsi dalam kewenangan pengelolaan wilayah pesisir Carita dengan Pemda Provinsi Banten; 3) alasan-alasan alternatif yang dapat di gunakan adalah dampak buruk bencana tsunami pada sektor ketahanan wilayah nyata yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengedapankan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan wilayah pesisir Carita, dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan tegas terhadap permanfaatan tata ruang yang tidak sesuai. pengambilalihan pemanfaatan wilayah pesisir Carita oleh Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Kesimpulannya adalah Pemerintah Kabupaten Pandeglang masih punya kesempatan untuk mendapatkan hak pengambilalihan dalam penataan ulang Tata Ruang Wilayah Pesisir Carita sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan fakta di lapangan pemerintah pusat tidak mampu mengendalikannya.

Kata Kunci: Pengambilalihan, Pengelolaan Tata Ruang, Wilayah Pesisir, Penanggulangan Bencana Tsunami, Ketahanan Wilayah

PENGANTAR

Menurut Kumaat (2007), pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam menata wilayah pesisir dengan mengedepankan faktor-faktor budaya masyarakat. Kondisi ini sebenarnya berkembang pada masyarakat yang ada di pesisir Pantai Sunda Kabupaten Pandeglang. Masyarakat sebagian besar mau terlibat dalam perencanaan ulang tata kelola Wilayah Pesisir Carita setelah dilanda bencana tsunami tahun 2018 (Lihat Gambar 1). Tradisi lain yang harus diperhatikan adalah masukan dari para tokoh masyarakat yang dihormati, dalam hal ini adalah tokoh agama Islam.

Bila yang terlibat dalam proses perencanaan ulang tata kelola Pantai Carita, maka banyak yang merasa memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan keputusan pemerintah daerah dengan baik.

Konsep perencanaan tata ruang yang sudah dibuat belum tentu sesuai dengan yang ada di lapangan. Sebenarnya peraturan yang berhubungan dengan pemanfaatan

tata ruang pesisir pantai akan membedakan mana lokasi untuk zona preservasi, zone konservasi, dan zona pemanfaatan intensif (Clark, 1976 dalam Kumaat, 2007). Semua akan berjalan baik bila diikuti pengawasan yang kuat pada saat pengembang mengajukan proposal pemanfaatan lokasi pesisir pantai.

Pemerintah akan menganalisis manfaat untuk pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya, serta dampak yang akan muncul bila disetujui.

Dampak akan dilihat juga dari risiko bencana, ketahanan wilayah, pertahanan negara dan keamanan nasional.

Gambaran dampak buruk bencana tsunami di Pantai Carita Selat Sunda yang terjadi pada tanggal 22 Desember 2018 meliputi lima kabupaten yaitu Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, Tanggamus, dan Pesawaran. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2019) memberitakan korban akibat tsunami tersebut adalah 437 korban jiwa, 1.459 korban luka, dan 159 orang hilang.

Khususnya untuk Kabupaten Pandeglang

(3)

351 sendiri telah mencatat jumlah korban yaitu

sebanyak 207 orang meninggal dunia, 755 orang menderita luka-luka, 7 orang dinyatakan hilang, dan 11.453 orang mengungsi. Jumlah kerusakan fisik meliputi 611 unit rumah rusak berat dan sedang, 69 hotel dan vila rusak berat dan sedang, 60 warung makan dan toko rusak, 350 perahu atau kapal kecil rusak berat dan sedang, dan 71 unit kendaraan rusak berat (BNPB, 2019).

Dampak risiko bencana akan ditandai oleh hasil kajian risiko bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terhadap berbagai jenis bencana yang akan mengancam dan sangat memiliki potensi terjadi dalam waktu dekat. Gelombang tsunami dapat terjadi di wilayah Kabupaten Pandeglang karena mempunyai sumber pembangkit tsunami yaitu gempa bumi dari zona penunjaman di bagian selatan yang berjarak sekitar 250 km dan aktivitas Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda (Lihat Gambar 2).

Di samping itu, dari peta isoseismal gempa bumi Lebak_banten menunjukkan adanya zona penunjaman lempeng di bagian

barat Pulau Sumatera, juga terdapat jalur patahan aktif dan rentetan gunung api aktif dari ujung utara Pulau Sumatera sampai daerah Selat Sunda. Pulau Sumatera terpotong oleh patahan aktif Sumatera (Semangka) sepanjang 1.650 km dan merupakan patahan aktif terpanjang yang terdapat di Indonesia.

Posisi daerah patahan yang menyebabkan terjadinya gempa bumi di sekitar pesisir pantai Selat Sunda. Pada Gambar 2 ditunjukkan peta isoseismal gempa bumi di Lebak-Banten pada tanggal 09 April 2018 dengan kekuatan 5.0 SR, kedalaman 10 Km, dan lokasi 7.08 LS – 105.5 BT. Gempa ini akan berpengaruh terhadap terjadinya tsunami di Selat Sunda, sehingga setiap gempa bumi yang ada di Selat Sunda, pihak Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan memantau sampai tidak terjadi tsunami. Dari hasil pantauan BMKG akan diteruskan ke pihak BPBD Kabupaten Pandeglang bila akan muncul tanda-tanda terjadinya bencana tsunami (Lihat Gambar 3).

Menurut Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,

Gambar 1

Jumlah Korban Tsunami Selat Sunda Tahun 2018

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2019.

(4)

Gambar 2

Peta Isoseismal Gempa Bumi Lebak-Banten 09 April 2018

Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika, 2019.

Gambar 3

Peta Zonasi Ancaman Tsunami Indonesia

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012.

mengharapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar memperhatikan aspek pertahanan negara dalam melaksanakan pembangunan dan ikut serta dalam mensosialisasikan pentingnya nilai-nilai

pertahanan negara kepada masyarakat.

Adanya penerapan kawasan strategi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007, yang memiliki visi dalam penataan ruang wilayahnya

(5)

353 pemerintah memprioritaskan kedaulatan

negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Masyarakat juga harus diberikan pemahaman kemungkinan adanya ancaman yang mungkin timbul

Salah satu ancaman non militer yang bisa mengganggu ketahanan negara adalah adanya bencana alam seperti tsunami yang ada di Wilayah Pesisir Carita Kabupaten Pandeglang tahun 2018. Kondisi ancaman tsunami akan selalu ada ke depannya, sehingga perlu antisipasi baik dilakukan secara struktural maupun non struktural. Bentuk struktural dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana, sedangkan dalam bentuk non struktural seperti pembuatan kebijakan yang berpihak kepada penanggulangan bencana tsunami.

Adanya perkembangan lingkungan tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Pandeglang akan menyesuaikan dengan datangnya bencana tsunami di masa yang akan datang. Salah satu letak permasalahan utama adalah status pengelolaan wilayah Pesisir Sunda terutama Wilayah Pesisir Carita yang masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat. Adanya bencana tsunami tahun 2018 menjadi pemicu bagi pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk membuat peraturan daerah tata kelola pantai yang mengakomodasi kepentingan ketahanan wilayah, pertahanan negara dan mengantisipasi korban bencana tsunami di masa mendatang (Makmur, 2014).

Untuk itu, pemerintah Kabupaten Pandeglang akan merubah Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penataan Ruang untuk Tahun 2011-2031. Penataan ruang yang paling perlu mendapat perhatian adalah Wilayah Pesisir Carita dimana pola

pembangunan lokasi rekreasi yang nempel dengan pantai. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ini didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Intinya pemanfaatan pantai harus memperhatikan zona terlarang sekitar 500 meter dari pantai yang bebas dari bangunan, dan zona pemanfaatan untuk pantai bagi rekreasi atau zona ekonomi dan pemanfaatan panataan untuk perlindungan dari bencana.

Di samping itu, adanya penerapan lokasi wisata Pantai Carita dari segi pendapatan, menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima investor lebih banyak daripada pemerintah daerah. Dengan adanya korban yang banyak pada bencana tsunami 2018, maka ada keinginan dari pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk mengelola Wilayah Pesisir Carita agar sesuai dengan tata ruang yang mampu mencegah banyaknya korban tsunami lagi (BNPB, 2012). Hal ini merupakan salah satu tindakan mengurangi risiko bencana yang terbaik, yaitu melakukan kesiapsiagaan.

Wilayah pesisir pantai memiliki level kesulitan sendiri dalam melakukan pelatihan kesiapsiagaan (Stough dan Kang, 2015; IFRC, 2012; Madan dan Routray, 2015).

Akan tetapi, niat baik Pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang dalam penataan ulang Wilayah Pesisir Carita, terkendala beberapa hal, yaitu adanya resisitensi para investor untuk mengeluarkan beaya perubahan posisi dan bentuk bangunan vila atau hotel yang sudah berdiri, dan adanya beberapa produk peraturan perundang-undangan dan peraturan turunannya, yang bisa penghambatnya. Peraturan tersebut berhubungan dengan kewenangan mengelola

(6)

lokasi pantai dan pelaksanaan yang ada di pantai sepanjang Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Cilegon yang belum seragam. Bila tidak segera diberikan pemecahan masalah tata ruang, maka dampak buruk dari bencana tsunami di masa mendatang tidak bisa dihindari (Lihat Gambar 4).

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa ada beberapa peraturan pemerintah pusat yang memiliki potensi menjadi penghalang pembuatan tata kelola ruang Wilayah Pesisir Carita dan sekitarnya. Berkaitan dengan hal ini, masih butuh pembuktian yang lebih mendalam tentang kebenaran antara peraturan yang ada dengan pelaksanaan di lapangan Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji peraturan perundang-undangan yang mana saja yang memungkinkan pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang untuk mengambil alih untuk pengelolaan tata ruang Wilayah Pesisir Carita dari kewenangan Pemerintah Pusat maupun Pemeritah Provinsi Banten.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis alternatif pemecahan masalah Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang menata ulang tata ruang di Wilayah Pesisir Carita. Tujuan penelitian didapat melalui proses analisis yang meliputi mengkaji segi pelaksanaan kajian risiko bencana, faktor- faktor pendukung dan penghambat, serta alasan-alasan alternatif yang rasional agar dapat mengambil alih tata ruang Wilayah Pesisir Carita untuk mendukung ketahanan wilayah dan keamanan nasional.

Manfaat penelitian ini diharapkan: (1).

Secara teoritis yaitu menambah teori baru dalam pemecahan masalah tata ruang dalam pencegahan bencana tsunami, menemukan trend baru penggabungan pemanfaatan pesisir pantai antara investasi dan pencegahan bencana, dan menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya; (2). Secara praktis yaitu menjadi rujukan bagi pemerintah daerah yang lain dengan kasus serupa dalam pemecahan

Gambar 4

Peta Wilayah Penelitian Terdampak Tsunami

Sumber : BPBD Kabupaten Pandeglang Tahun 2019

(7)

355 masalah tata ruang wilayah pesisir dan

bencana alam.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan desain deskriptif.

Diharapkan dengan metode penelitian kualitatif akan mampu untuk mengeksplorasi dan memahami makna sosial yang masyarakat dan pemerintah daerah dalam hal ini menata ulang tata kelola pesisir pantai saat ini untuk mencegah dampak buruk tsunami di masa mendatang (Creswell, 2016).

Pengumpulan data dilakukan untuk mendapat data primer lewat wawancara dengan 5 orang pejabat BPBP beserta staf, 2 orang pejabat Bappeda perencanaan sarana dan prasarana, 1 orang camat, 1 orang kepala desa, 3 orang tokoh masyarakat, dan 7 orang masyarakat yang terdampak. Untuk memperkuat pengumpulan data, maka peneliti melakukan observasi langsung ke lokasi pesisir pantai, serta melakukan pengambilan data-data dokumentasi. Adapun data sekunder didapat dari dokumen laporan, tulisan, dan power point pejabat BPBD dan Bappeda, dan didukung dari jurnal dan buku serta peraturan yang terkait.

Analisis data menggunakan teori Miles, Huberman, dan Saldana (2014) terdiri dari:

a) pengumpulan data sesuai dengan indikator atau tema-tema yang dicari (data collecting);

b) kondensasi data untuk pemilihan, pemilahan

dan penyederhanaan data agar memudahkan dalam penyajian data (data condensation);

c) penyajian data sesuai kategorisasi untuk mencari hubungan antar indikator yang ada sehingga memudahkan menarik kesimpulan (data display); d) membuat kesimpulan, dengan mempertimbangkan konsistensi data sebagai pemecahan masalah sebelum penarikan kesimpulan terakhir (conclussion drawing/verification). Tahapan analisis data pada penelitian ini mengikuti model interaktif menurut Miles, Huberman, dan Saldana (2014), seperti Gambar 5.

PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian terdiri dari kajian risiko bencana, faktor-faktor pendukung, faktor-faktor penghambat, dan alasan alternatif pemecahan masalah tata kelola ruang wilayah pesisir Carita.

Kajian Risiko Bencana Kabupaten Pandeglang.

Perkembangan konsep keamanan nasional dalam era kontemporer seperti saat ini tidak hanya membahas ancaman militer, akan tetapi merambah ancaman non militer. Semua konsep keamanan nasional akan menuju untuk kepentingan nasional dan tujuan nasional.

Adanya ancaman militer dan non militer, perlu dihadapi dengan sisitem pertahanan Gambar 5

Proses Analisis Data Kualitatif

Sumber: Miles, Huberman, dan Saldana, 2014.

PEMBAHASAN

Pembahasan dalam penelitian terdiri dari kajian risiko bencana, faktor-faktor pendukung, faktor-faktor penghambat, dan alasan alternatif pemecahan masalah tata kelola ruang wilayah pesisir Carita.

Kajian Risiko Bencana Kabupaten Pandeglang.

Perkembangan konsep keamanan nasional dalam era kontemporer seperti saat ini tidak hanya membahas ancaman militer, akan tetapi merambah ancaman non militer. Semua konsep keamanan nasional akan menuju untuk kepentingan nasional dan tujuan nasional. Adanya ancaman militer dan non militer, perlu dihadapi dengan sisitem pertahanan hibrid. Untuk perlu dibentuk upaya-upaya untuk mempertahankan kondisi keamanan nasional, dengan melalui keamananan individu, keamanan publik dan keamanan negara. Upaya sebagai bentuk pertahanan akan menghasilkan output atau tujuan antara. Bila tujuan antara tercapai (ouput), maka akan mudah mencapai tujuan nasional berupa keamanan nasional. Keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan secara menyeluruh dengan empat dimensi, yaitu dimensi pertahanan negara, dimensi stabilitas dalam negeri, dimensi ketertiban publik, dan dimensi keamanan insani.

Data Collection Data Display

Data Condensation

Conclusions/

Drawing/Verifying Gambar 5

Proses Analisis Data Kualitatif

Sumber: Miles, Huberman, dan Saldana, 2014.

(8)

hibrid. Untuk perlu dibentuk upaya-upaya untuk mempertahankan kondisi keamanan nasional, dengan melalui keamananan individu, keamanan publik dan keamanan negara. Upaya sebagai bentuk pertahanan akan menghasilkan output atau tujuan antara.

Bila tujuan antara tercapai (ouput), maka akan mudah mencapai tujuan nasional berupa keamanan nasional. Keamanan nasional merupakan perwujudan konsep keamanan secara menyeluruh dengan empat dimensi, yaitu dimensi pertahanan negara, dimensi stabilitas dalam negeri, dimensi ketertiban publik, dan dimensi keamanan insani.

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa pertahanan negara merupakan usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan

terhadap keutuhan bangsa dan negara. Kegiatan penanggulangan bencana dapat dikatakan merupakan usaha dalam mempertahankan keselamatan bangsa dan negara Indonesia, yang diwujudkan dengan pengabdian warga negara untuk kepentingan pertahanan negara dalam menanggulangi dan memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam, atau bencana lainnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai keamanan nasional dapat diartikan sebagai hasil (out come) dari upaya melakukan pertahanan (Lihat Gambar 6).

Bencana merupakan salah satu bentuk ancaman non militer terhadap pertahanan negara dan keamanan nasional. Bencana tsunami sebagai salah satu bencana mayor yang selalu mengakibatkan dampak buruk berupa korban jiwa, sarana dan prasarana, dan lingkungan. Pengelolaan dalam pemanfaatan

Gambar 6 Jenis-Jenis Ancaman

Sumber: Buku Putih Kementerian Pertahanan, 2015.

(9)

357 pantai yang tidak sesuai dengan peruntukan,

menjadi penyebab utama sampai saat ini.

Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyebutkan bahwa penataan ruang dan wilayah saat ini yang dilakukan pemerintah daerah, harus memperhatikan aspek mitigasi bencana.

Adanya dampak yang merugikan yang besar dari bencana tsunami Wilayah Pesisir Carita tahun 2018, menjadi asal mula keinginan pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang akan pentingnya merubah fungsi dari pemanfaatan pantai agar lebih memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang akan melakukan kegiatan kajian risiko bencana berdasarkan potensi bencana yang ada.

Berkaitan dengan hal ini, BPBD memanfaatkan konsep penanggulangan paradigma baru yaitu mengurangi risiko bencana. Untuk itu BPBD Kabupaten Pandeglang harus juga mampu (1). Menyeleraskan rencana penanggulangan bencana dari pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), termasuk anggaran biayanya; (2).

Melakukan kelembagaan yang kuat di daerah baik tingkat kabupaten maupun tingkat provinsi; dan (3). Mengedepankan partisipasi masyarakat.

Prioritas BPBD Kabupaten Pandeglang dalam pengelolaan tata ruang Wilayah Pesisir Carita adalah melakukan kegiatan kajian risiko bencana yang hasilnya untuk menata ulang peraturan daerah lama. Apabila membahas kajian risiko bencana, maka akan mengharuskan menggunakan konsep penanggulangan bencana.

Konsep penanggulangan bencana dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 meliputi tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana, tujuan dan tahapan kegiatannya yang

berisi perencanaan dan pendanaan serta peran lembaga kebencanaan dengan kewenangan menjalankan fungsi koordinasi, komando dan pelaksanaannya. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah yang meliputi (1). Pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (2). Perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (3).

Penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;

(4). Pemulihan kondisi dari dampak bencana;

(5). Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam APBN yang memadai; (6).

Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; (7).

Pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari dampak dan ancaman.

Kajian risiko bencana dilakukan dengan melakukan identifikasi, klasifikasi dan evaluasi risiko melalui tahapan sebagai berikut (Lihat Gambar 7).

Pertama, pengkajian bahaya, yaitu cara memahami unsur-unsur bahaya yang memiliki risiko bagi daerah dan masyarakat.

Kedua, pengkajian kerentanan, yaitu menganalisis kondisi dan karakteristik masyarakat dan lokasi kehidupan masyarakat dan faktor-faktor yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat saat bencana datang.

Faktor-faktor kerentanan meliputi fisik (sarana dan prasarana), sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Ketiga, pengkajian kapasitas, yaitu mengidentifikasi status kemampuan individu, masyarakat, lembaga pemerintah atau non pemerintah dan stakeholder lain dengan menggunakan sumber daya yang ada untuk melakukan tindakan pencegahan, mitigasi, dan penanganan darurat.

(10)

K e e m p a t , p e n g k a j i a n d a n Pemeringkatan Risiko, yaitu mengemas hasil pengkahian bahaya, kerentanan dan kapasitas untuk menentukan skala prioritas tindakan yang dibuat dalam bentuk rencana kerja dan rekomendasi dalam mencegah risiko bencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian risiko bencana, mengikuti langkah-langkah sebagai berikut ini.

Pertama, metodologi pengkajian risiko bencana. Pelaksanaan kegiatan pengkajian risiko bencana akan menggambarkan kebijakan daerah dalam penanggulangan bencana yang disusun berdasarkan komponen bahaya, kerentanan dan kapasitas. Komponen bahaya berisi kemungkinan kejadian bencana yang akan terjadi dan besaran dampak yang timbul bila bencana benar-benar terjadi. Komponen kerentanan disusun berdasarkan indeks penduduk terpapar dan indeks kerugian.

Indeks penduduk terpapar tergambarkan dari kondisi sosial-budaya wilayah, sedangkan

indeks kerugian tergambarkan dari kondisi ekonomi, fisik, dan lingkungan.

Kompononen kapasitas disusun berdasarkan indeks kapasitas dan indeks kesiapsiagaan. Indeks kapasitas merupakan k o m p o n e n y a n g m e n g g a m b a r k a n kelembagaan, peringatan dini, pendidikan, mitigasi dan kesiapsiagaan wilayah. Indeks kesiapsiagaan menggambarkan pengetahuam, mobilisasi, rencana, evakuasi dan kebijakan.

Hasil dari pengkajian risiko bencana terdiri dari 3 bagian yaitu Dokumen Kajian Risiko Bencana, Peta Risiko Bencana, dan Peta Multi Risiko. Peta risiko didapatkan dari penggabungan peta bahaya, peta kerentanan, dan peta kapasitas. Sedangkan peta multi risiko didapatkan dari penggabungan peta risiko masing-masing bencana.

Mekanisme penyusunan peta risiko bencana saling terkait dengan mekanisme penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB). Hasil pengkajian risiko bencana terdiri dari 2 jenis, yaitu peta risiko bencana

Gambar 7

Metode Pengkajian Risiko Bencana

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

(11)

359 dan dokumen kajian risiko bencana. Peta

risiko bencana akan menjadi landasan dalam penentuan tingkat risiko bencana, dimana juga dijadikan sebagai salah satu komponen capaian dokumen kajian risiko bencana. Dokumen kajian risiko bencana harus menyajikan kebijakan minimum penanggulangan bencana daerah yang ditujukan untuk mengurangi jumlah penduduk terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.

Kedua, penilaian bahaya. Analisis potensi bencana dilakukan untuk menentukan indeks bahaya dari masing-masing wilayah dengan memperkirakan seberapa luas bahaya yang akan terjadi. Penilaian indeks bahaya dikelompokkan dalam kelas bahaya rendah, sedang, dan tinggi.

Kelas rendah bernilai indeks 0 sampai 0,333, sedang bernilai indeks 0,334 sampai 0,666, dan tinggi bernilai indeks 0,667-1. Kelas nilai indeks nanti juga akan menghasilkan juga luas ha bahaya di suatu daerah. Tingkat bahaya terhadap bencana di Kabupaten Pandeglang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Tingkat Bahaya Kabupaten Pandeglang

No Jenis Bahaya Indeks

Bahaya Tingkat Bahaya

1 Banjir 0,89 Tinggi

2 Kebakaran Hutan Dan Lahan 0,34 Sedang

3 Kekeringan 0,69 Tinggi

4 Epidemi Dan Wabah Penyakit 0,01 Rendah

5 Cuaca Ekstrim 0,77 Tinggi

6 Tanah Longsor 0,68 Tinggi

7 Gelombang Ekstrim Dan Abrasi 0,40 Sedang 8 Kegagalan Teknologi 0,33 Rendah

9 Gempabumi 0,69 Tinggi

10 Tsunami 1,00 Tinggi

11 Konflik Sosial 0,33 Rendah

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

Merujuk pada Tabel 1 menunjukkan hasil penilaian tingkat bahaya terhadap terjadinya bencana yang tertinggi di Kabupaten Pandeglang Tsunami (1,0), sedangkan yang terendah adalah

konflik sosial dan kegagalan teknologi (0,33).

Dengan demikian dalam penataan ruang Pesisir Pantai Carita dapat memasukkan bencana tsunami sebagai prioritas.

Ketiga, penilaian kerentanan. Kerentanan dapat terbagi ke dalam beberapa kategori yaitu kerentanan sosial, kerentanan lingkungan, kerentanan fisik, dan kerentanan ekonomi.

Kerentanan itu sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan daerah untuk menghadapi potensi bencana yang mungkin terjadi di wilayahnya. Aspek sosial, lingkungan, fisik dan ekonomi memiliki sensitivitas yang berbeda-beda sesuai jenis bencananya.

Pengkajian kerentanan berdasarkan aspek tersebut akan dikelompokkan ke dalam indeks penduduk terpapar dan indeks kerugian.

Indeks penduduk terpapar merupakan pengkajian kerentanan ditinjau dari aspek sosial dan budaya. Indeks penduduk terpapar melibatkan data kepadatan penduduk dan penduduk kelompok rentan, yaitu jumlah penduduk miskin, jumlah penduduk cacat, kelompok umur lansia dan balita, serta sex ratio. Penghitungan nilai indeks kerugian berdasarkan aspek ekonomi, fisik dan lingkungan. Indeks kerugian dibagi menjadi dua kelompok yaitu indeks kerugian lingkungan berdasarkan aspek lingkungan dan indeks kerugian rupiah berdasarkan aspek ekonomi dan fisik. Indeks kerugian lingkungan menggunakan parameter penutup lahan seperti hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, rawa dan semak belukar.

Indeks kerugian rupiah berdasarkan aspek fisik menggunakan data rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis sebagai parameter.

Rangkuman per bencana dari hasil indeks penduduk terpapar, kerugian rupiah, dan kerusakan lingkungan serta tingkat kerentanan Kabupaten Pandeglang pada Tabel 2.

(12)

Berdasarkan Tabel 2 dapat ditunjukkan bahwa pengkajian kerentanan sesuai dengan parameter indeks di Kabupaten Pandeglang untuk penduduk yang terpapar, kerugian dalama rupiah, kerusakan lingkungan dan tingkat kerentanan adalah kekeringan. Hal ini dimaklumi kekeringan paling berbahaya karena kalau musim kemarau bisa memudahkan terjadinya karhutla dan konflik sosial serta epidemi dan wabah penyakit dalam jangka menengah.

Bencana tsunami mengakibatkan kerugian dan kerusakan lingkungan yang tinggi walaupun kadang penduduk yang terpapar rendah.

Keempat, penilaian kapasitas. Kapasitas merupakan kemampuan individu maupun

kelompok dalam rangka menghadapi bahaya atau bencana. Aspek kemampuan berisi kebijakan, kesiapsiagaan, dan partisipasi masyarakat. Penilaian kemampuan dilakukan pada sumberdaya orang perorang, rumah tangga, atau kelompok untuk mengatasi suatu bahaya yang datang atau bertahan dari dampak sebuah potensi bencana. Pengukurannya dapat dilakukan berdasarkan aspek kebijakan, kesiapsiagaan, dan peran serta masyarakat.

Kajian ini diukur pada aspek kelembagaaan berdasarkan kuesioner dari Perka BNPB No 3 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Kapasitas dalam Penanggulangan Bencana dan survei kesiapsiagaan masyarakat untuk

Tabel 2

Kelas Kerentanan Kabupaten Pandeglang

No Jenis Bahaya Penduduk

Terpapar Kerugian Rupiah Kerusakan

Lingkungan Tingkat Kerentanan Indeks Kelas Indeks Kelas Indeks Kelas Indeks Kelas

1. Banjir 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,333 Rendah 0,50 Sedang

2. Kebakaran Hutan dan Lahan 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,45 Sedang

3. Kekeringan 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,74 Tinggi

4. Epidemi dan Wabah Penyakit 0,333 Rendah 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,59 Sedang

5. Cuaca Ekstrim 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi - - 0,51 Sedang

6. Tanah Longsor 0,333 Rendah 1,00 Tinggi 0,333 Rendah 0,55 Sedang

7. Gelombang Ekstrim & Abrasi 0,333 Rendah 1,00 Tinggi 0,333 Rendah 0,55 Sedang 8.. Kegagalan Teknologi 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,55 Sedang

9. Gempabumi 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi - - 0,51 Sedang

10. Tsunami 0,333 Rendah 1,00 Tinggi 1,00 Tinggi 0,55 Sedang

11. Konflik Sosial 0,333 Rendah 1,00 Tinggi 0,333 Rendah 0.62 Sedang Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

Tabel 3

Tingkat Kapasitas Kabupaten Pandeglang

No Jenis

Bahaya Indeks Kapasitas Indeks Kesiapsiagaan Tingkat Kapasitas Daerah

Indeks Kelas Indeks Kelas Indeks Kelas

1. Banjir 0,456 Sedang 0,114 Rendah 0,380 Sedang

2. Kebakaran Hutan dan Lahan 0,456 Sedang 0,082 Rendah 0,380 Sedang

3. Kekeringan 0,456 Sedang 0,115 Rendah 0,380 Sedang

4. Epidemi dan Wabah Penyakit 0,456 Sedang 0,087 Rendah 0,380 Sedang

5. Cuaca Ekstrim 0,456 Sedang 0,101 Rendah 0,380 Sedang

6. Tanah Longsor 0,456 Sedang 0,1 Rendah 0,380 Sedang

7. Gelombang Esktrim dan Abrasi 0,456 Sedang 0,091 Rendah 0,380 Sedang

8. Kegagalan Teknologi 0,456 Sedang 0,080 Rendah 0,380 Sedang

9. Gempabumi 0,456 Sedang 0,113 Rendah 0,380 Sedang

10. Tsunami 0,456 Sedang 0,090 Rendah 0,380 Sedang

11. Konflik Sosial 0,456 Sedang 0,085 Rendah 0,380 Sedang

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

(13)

361 Kabupaten Pandeglang, sebagaimana disajikan

dalam Tabel 3.

Kelima, penilaian risiko bencana. Proses penyusunan peta risiko bencana dibuat untuk setiap jenis bahaya bencana yang ada pada suatu kawasan. Metode perhitungan dan data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai indeks akan berbeda untuk setiap jenis bahaya. Kebutuhan data dan metode perhitungan indeks-indeks tersebut dijelaskan lebih rinci pada penjelasan sebelumnya yang menghasilkan peta risiko bencana Kabupaten Pandeglang, sebagaimana disajikan dalam Gambar 8.

B e r d a s ar k a n G am b ar 8 , d a p at disimpulkan bahwa peta risiko bencana merupakan gabungan dari peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas untuk masing masing jenis bencana. Penyusunan Peta Risiko Bencana dapat dilakukan dengan melakukan overlay Peta Bahaya, Peta Kerentanan dan Peta

Kapasitas. Peta Risiko setiap bencana yang berpotensi di Kabupaten Pandeglang disusun untuk tiap-tiap bencana yang mengancam. Peta kerentanan baru dapat disusun setelah peta bahaya selesai. Peta Risiko telah dipersiapkan berdasarkan grid indeks atas peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas. Selain itu juga dihasilkan gabungan dari seluruh potensi bahaya ke dalam sebuah peta multi bahaya. Manfaat penilaian risiko bencana adalah mengestimasi tingkat kerusakan yang disebabkan bencana tsunami dan kerusakan lingkungan agar bisa mencegahnya (Setiawan, 2012; Susanto dan Putranto, 2016; Wibawa, dkk., 2013).

Keenam, bencana prioritas. Berdasarkan kajian risiko bencana dan analisis kecenderungan kejadian bencana di Kabupaten Pandeglang pembatasan kewenangan daerah merupakan komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan

Gambar 8

Metode Pemetaan Risiko Bencana

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

(14)

penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Oleh karena itu penggabungan antara analisis kecenderungan bahaya, analisis kajian risiko, beserta kewenangan pemerintah Kabupaten Pandeglang menghasilkan bencana-bencana prioritas yang perlu ditanggulangi secara cepat di Kabupaten Pandeglang. Tabel 4 menunjukkan bahwa tsunami dan banjir serta cuaca mendapat prioritas pertama dalam penanganan bencana di Kabupaten Pandeglang.

Temuan tentang kajian risiko bencana menunjukkan bahwa ada perubahan ancaman bencana baru terhadap ketahanan wilayah Kabupaten Pandeglang yaitu bencana tsunami.

Oleh karena itu, bencana tsunami dapat dijadikan prioritas utama dalam pengelolaan tata ruang Wilayah Pesisir Carita untuk mencegah dampak lebih buruk daripada kejadian tahun 2018. Cara yang digunakan adalah dengan merubah peraturan daerah lama yang selama memprioritaskan kekeringan, akan digeser dengan bencana tsunami.

Faktor Pendukung Dan Penghambat Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Dengan adanya penentuan kecenderungan terjadinya bencana dan prioritas bencana yang menunjukkan bahwa bencana tsunami yang mendapat prioritas perhatian utama, maka tentunya pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang harus membuat peraturan daerah

yang baru. Peraturan daerah yang mendukung perubahan tata ruang Wilayah Pesisir Carita yang nyata-nyata memiliki dampak yang merugikan saat datangnya bencana tsunami tahun 2018. Walaupun demikian, tentunya tujuan baik dengan merubah kebijakan dengana membuat peraturan daerah baru yang jelas-jelas berisi prioritas penanganan bencana tsunami, belum tentu mudah dilakukan.

Perubahan kebijakan tata ruang ada hubungannya dengan penetapan zona konservasi dan peruntukan yang lainnya. Demikian juga dalam pemanfaatan zona tersebut, apa sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kalau dilihat di lapangan, pemanfataan pesisir pantai masih tidak sesuai dengan syarat-syarat mendirikan bangunan di tepi pesisir pantai untuk kegiatan rekreasi. Di samping itu, perlu juga memperhatikan pertimbangan secara hirarki perundang-undangan yang berlaku, pelibatan tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah, serta tidak meninggalkan kearifan lokal masyarakat Pandeglang.

Oleh karena itu, ada beberapa faktor pendukung dan faktor penghambat yang dapat diidentifikasi dalam pengusulan perubahan penataan tata ruang baru di Wilayah Pesisir Carita.

Pertama, faktor pendukung . Faktor yang mendukung penataan ruang kembali di Wilayah Pesisir Carita terdiri dari 3 (tiga) hal, sebagai berikut.

Tabel 4

Matrik Penentuan Bencana Prioritas BENCANA PRIORITAS

TINGKAT RISIKO RENDAH SEDANG TINGGI

KECENDERUNGAN

MENURUN - - Kekeringan

TETAP Epidemi dan Wabah Penyakit,

Gelombang Ekstrim dan Abrasi, Gempabumi, Letusan Gunungapi, Kebakaran Hutan dan Lahan, Kegagalan Teknologi, Konflik Sosial, Tanah Longsor,

Tsunami

MENINGKAT - Banjir, Cuaca Ekstrim, -

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

(15)

363 (1). Untuk memperkuat alasan penataan

ulang dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang, maka perlu merevisi Perda Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang Tahun 2011-2031. Muatan Perda ini dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan serta tantangan pembangunan wilayah Kabupaten Pandeglang, terutama untuk mengakomodasi pencegahan bencana tsunami.

Kondisi ini diperkuat dari hasil penelitian dosen ITB dan dosen tahun 2017 bahwa ada ketidakcocokan RTRW lama hampir 18,23%

antara peraturan daerah kabupaten nomor 3 tahun 2011 dengan kondisi di lapangan. Ditinjau dari segi peraturan, adanya selisih di atas 10%

sudah wajar apabila peraturan harus disesuaikan atau dirubah.

Kondisi ini bila diobservasi di lapangan menunjukkan bahwa penataan tata ruang pesisir pantai di Wilayah Pesisir Carita masih kurang optimal. Hal ini disebabkan pengembangan kawasan budi saya untuk mendukung pemantapan sistem agopolitan, minapolitan, dan industri berbasis pada pertanian dan ekowisata tidak seimbang. Ada kesan kurang memperhatikan kelestarian alam, seperti kurangnya pengawasan ketat terhadap kawasan konservasi pantai. Selain itu, kurang memperhatikan konsep pencegahan bencana, seperti jarak bangunan yang nempel bibir pantai. Oleh karena itu, kondisi yang ada tidak memiliki kesan sistem pencegahan bencana yang tepat, seperti mitigasi dan kesiapsiagaan.

Untuk level kesiapsiagaan masyarakat pantai masih kurang sehingga perlu ditingkatkan (Solihuddin dkk., 2020). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk diadakan perubahan tata ruang yang kurang baik, adalah hampir 80

% bangunan yang berada di bibir Pantai Carita roboh diterjang gelombang tsunami.

(2). Adanya Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, terutama Pasal 13 ayat (4) d. memberikan kewenangan pemerintah daerah/kota untuk memanfaatkan penggunaan sumber dayanya lebih efisien bagi masyarakat. Pasal ini memberikan kewenangan yang cukup kuat bagi kepala daerah Kabupaten Pandeglang untuk mengatur tata ruang Wilayah Pesisir Carita sesuai dengan visi dan misinya.

Hal ini tidak semudah dengan yang di atas kertas. Keadaan sampai saat ini, pemerintah Provinsi Banten juga masih mengupayakan agar pengelolaan daerah pesisir pantai yang merupakan kekuasaan wilayah provinsi bisa ditegakkan. Akan tetapi keadaan perijinan bangunan Wilayah Pesisir Carita yang dari diberikan pemerintah pusat, maka membutuhkan waktu lebih untuk berunding.

(3). Pemerintah Daerah memanfaatan celah yang ada di Pasal 13 ayat Undang-Undang RI No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Pasal ini memberikan kesempatan kepala daearah untuk menjabarkan pengelalaan tata ruang sesuai kebutuhan dan prioritas daerahnya masing-masing. Perundang-undangan Tata Ruang Wilayah Nasional sebagai sebuah kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang.

Karena kebutuhan pembangunan strategis dari Pemda Kabupaten Pandeglang, memungkinkan untuk peninjauan ulang (PK) setelah RTRW lama berjalan 3-5 tahun. Kebutuhan revisi RTRW untuk daerah Wilayah Pesisir Carita dan sekitarnya sebagai kawasan penyangga untuk pelebaran lokasi wisata agar memperhatikan pendapatan daerah dan pencegahan bencana tsunami.

Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang

(16)

memiliki kewenangan sudah sangat mendukung untuk adanya perubahan perda tata ruang di wilayah pesisir terutama Wilayah Pesisir Carita yang disebabkan oleh perda yang sudah tidak mampu mengakomodasi adanya pencegahan bencana tsunami, masuknya investor baru, pemanfaatan pantai yang efisien dan adanya ketidaktepatan RTRW lama hasil penelitiannya.

Kedua, faktor penghambat . Adapun faktor yang menghambat dalam penataan ruang kembali di Wilayah Pesisir Carita teridir dari 2 (dua) hal sebagai berikut.

(1). Adanya rencana strategis dari pemerintah pusat yang akan menjadikan Wilayah Pesisir Carita dan sekitarnya sebagai pusat pariwisata sebagai alternatif seperti Pulau Bali di Selat Sunda. Rencana KEK untuk Wilayah Pesisir Carita dan sekitarnya akan mengikuti program KEK Pantai Tanjung Lesung. Rencana dari pemerintah akan membangun jalan tol dari Serang ke Labuan sampai Tanjung Lesung, pembuatan Bandara Udara baru yang akan dibuat di Panimbang selatan, pembangunan kereta api dari Rangkas Bitung ke Labuan, dan pengembangan pelabuhan Labuan yang mampu disinggahi kapal yang menjadi tempat destinasi pariwasata laut, serta pembuatan tol baru dari Serang menuju Labuan. Kondisi ini memaksa Pemerintah Kabupaten Pandeglang harus mengikuti program pemerintah pusat sehingga akan menjadi penghambat bagi pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita sampai Wilayah Pesisir Tanjung Lesung untuk menata ulang.

(2). Pemerintah Provinsi Banten sudah mengeluarkan Perda sejak Tahun 2011, yaitu Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030.

Perda provinsi ini memungkinkan Pemda Provinsi Banten memiliki hak untuk mengelola semua wilayah pesisir yang ada di Selat Sunda, sehingga semua kabupaten di Provinsi Banten tidak punya hak untuk mengelola pantai Selat Sunda. Kemungkinan terjadinya perbedaan persepsi dalam pemanfaatan pengelolaan daerah pesisir Laut Sunda, dikawatirkan merembet ke Wilayah Pesisir Carita. Walaupun kenyataan di lapangan pemda provinsi selama ini memberikan kewenangan kepada Pemda Kabupaten Pandeglang. Akan tetapi ada beberapa pemda kabupaten yang memanfaatkan pantainya untuk keperluan industri. Ini sebenarnya masih ada celah pemberian kewenangan Pemda Banten yang seharusnya bisa diseragamkan. Dari segi sosiologis sesuai kenyataan di lapangan, Wilayah Pesisir Carita masih bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kemanfaatan Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang (Sobur, 2004).

Alternatif Solusi Bagi Pemda Kabupaten Pandeglang

Berdasarkan analisis faktor pendukung dan faktor penghambat, terlihat sangat jelas bahwa kemungkinan perubahan pengelolaan tata ruang pesisir pantai baru masih ada peluang. Niat baik adalah akan menjadi lokomotif pembangunan yang menguntungkan Pemda Kabupaten Pandeglang dan masyarakat sekitarnya. Adapun alternatif agar Pemda Kabupaten Pandeglang dapat mengelola ulang pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita dan sekitarnya agar dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat sekaligus pencegahan bencana tsunami adalah dengan memanfaatkan beberapa Undang-Undang dan peraturan terkait. Alternatif-alternatif alasan berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang terkait sebagai bahan rujukan, sebagai berikut.

(17)

365 Pertama, dampak buruk sektor

pertahanan dan keamanan negara. Terjadinya bencana tsunami tahun 2018 telah menimbulkan adanya jumlah korban meninggal dan cedera, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, dan dampak sosial ekonomi yang dirasakan masyarakat. Adanya bencana berarti pemerintah daerah perlu dilakukan menaikkan kapasitas masyarakat dan menurunkan kerentanan (Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009). Salah satu cara meningkatkan kapasitas adalah mendesain ulang tata ruang pesisir pantai. Akan tetapi dengan adanya dampak buruk dari bencana tsunami merupakan bukti bahwa penataan tata ruang pantai yang lama belum menerapkan prinsip-prinsip penataan ruang laut dan pulau- pulau kecil yang benar yang sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, terutama tentang hal-hal berikut ini.

(1). Peran serta masyarakat dan pelaku pembangunan, bila tidak menerima aspiratif masyarakat maka tidak diakui dan tidak diterima serta tidak ditaati oleh pelaku pembangunan, sehingga peraturan tersebut harus diubah.

(2). Kompensasi masyarakat belum dipenuhi dengan benar, misalnya segi fisik saja dipenuhi dengan mengambil tanahnya, tapi mental dan sosial-ekonominya belum tuntas.

(3). Zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif tidak diperhatikan, yang dibuktikan dengan pemanfaatan zona preservasi untuk lokasi wisata yang bangunannya nempel di tepi pantai sehingga tanpa ada proteksi terhadap bencana; seharusnya membedakan adanya zona lain seperti zone konservasi atau penyangga ekosistem dan zone insentif untuk pembangunan yang berkesinambungan.

Kurang memanfaatkan penentuan sektor unggulan zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor unggulan dikembangkan karena kelebihannya sebagai penghasil devisa/pendapatan, menyerap banyak tenaga kerja, mudah dipasarkan dan masa hidupnya panjang.

(3). Tata ruang sistem wilayah aliran sungai kurang diperhatikan dengan bukti aliran sungai dari desa-desa terhambat dengan pembangunan lokasi wisata yang menempel ke pantai.

(4). Jarak antar zona preservasi dengan eksternalitas negatif kurang diperhatikan, yang dibuktikan dengan vila dan hotel yang nempel di bibir pantai akan memudahkan membuang sampah ke pantai.

(5). Musyawarah dan hak adat/ulayat kurang terlibat, karena pembangunan lokasi wisata jaman orde baru menjadi keputusan pemerintah pusat.

(6). Dampak terhadap ekonomi yang buruk dan kesulitan masyarakat dalam pemulihan akibat bencana tsunami akan mengancam pertahanan dan keamanan negara (Pasal 23 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014; Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2015).

Pemakaian Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangaan Bencana, untuk menegaskan lagi bahwa dengan adanya bangunan penginapan dan lokasi rekreasi yang menempel di pantai mengakibatkan dampak langsung kerugian besar baik jiwa, harta benda dan lingkungan, serta dampak lanjutan perekonomian masyarakat turun yang akan berlanjut pada dampak buruk pada sektor pertahanan dan keamanan negara. Untuk itu, Pemda Kabupaten Pandeglang punya hak untuk

(18)

menata ulang. Berdasarkan Gambar 9 terlihat saung untuk berdagang, yang penghasilannya tiap bulan antara 1 - 2 juta. Ini sebagai bukti yang menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat sekitar Pantai Carita masih jauh dari upah minimum regional. Dengan kata lain bahwa manfaat obyek wisata di daerah zona konservasi di samping merugikan lingkungan, juga kurang menguntungkan dari segi penghasilan masyarakat yang ada di sekitarnya

Kedua, partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Agar penyelenggaraan penataan ruang berjalan baik maka pemerintah pusat sebagai pembina pemerintah daerah, sedangkan pelaksanaan di lapangan diserahkan sepenuhnya kepada gubernur, bupati atau walikota. Pemerintah daerah memiliki kewenangan khusus untuk membuat tata ruang daerahnya masing-masing. Ini berarti Bupati Pendeglang mempunyai kewenangan untuk mengatur tata ruang Wilayah Pesisir

Carita. Adapun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Dengan adanya bencana tsunami tahun 2018 yang dampaknya merugikan banyak masyarakat, maka dapat dijadikan alasan bahwa pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita tidak melibatkan masyarakat dalam penataan ruang yang sudah berjalan. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Pasal 4 menjamin bahwa masyarakat memiliki hak dan kewajiban, ikut berperan dan ikut bertanggung jawab dalam penataan ruang. Ini sisi pertama yang bisa dijadikan alasan untuk memperjuangkan penataan ulang Wilayah Pesisir Carita.

Perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang menerapkan prosedural normatif tetapi kurang mengakomodasi kepentingan pelaku pembangunan (pemerintah, masyarakat, dan swasta) dalam proses penyusunan tata ruang, pada akhirnya susah untuk dilaksanakan di lapangan. Ini menunjukkan pola lama tidak aspiratif, sehingga tidak diakui dan tidak diterima serta tidak ditaati oleh pelaku

Gambar 9

Saung Penduduk Desa Sukajadi Untuk Berdagang Di Pantai Carita

Sumber: BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019.

(19)

367 pembangunan. Oleh karena itu, perlu peraturan

tersebut harus diubah dengan melibatkan atau mengakomodasi semua kepentingan dari semua pelaku pembangunan pada saat perencanaan (Mikkelsen, 2005).

Menggunakan alasan Undang-Undang RI Nomor 26 tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010, pemerintah Kabupaten Pandeglang berhak melakukan klaim bila pengembangan kawasan Pantai Carita merupakan program pemerintah pusat. Artinya menjadi bukti bahwa selama ini pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita tidak melibatkan partisipasi masyarakat.

Padahal cepat atau lambat BPBD selaku pihak pemerintah, akan membutuhkan masukan yang baik dari masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir agar siap dalam menghadapi bencana tsunami di masa mendatang (Siriporananon dan Visuthismajarn, 2018;

Indrayani dan Wasistiono, 2021). Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Pandeglang punya alasan untuk mengambil alih penataan ulang Wilayah Pesisir Carita.

Ketiga, pemerintah daerah berhak memberikan sanksi terhadap permanfaatan tata ruang yang tidak Sesuai. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan didukung dengan Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi, memungkin seorang gubernur untuk menggunakan kewenangan sesuai pasal 3 di bidang kelautan yaitu untuk menata dan mengelola perairan di wilayah laut propinsi, dan melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan propinsi. Dalam pemanfaatannya juga harus memperhatikan bidang lingkungan hidup agar pengendalian lingkungan hidup tidak tercemar dan tidak

melampui daya dukung lingkungan pesisir pantai (Heriyanto dan Subiandono, 2012).

Memanfaatkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperjelas dalam pelaksanaanya, dengan keluarnya Peraturan Menteri Negera Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah. Setiap pembangunan atau usaha harus mengikuti peraturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup misalnya harus memiliki surat ijin lingkungan seperti Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).

Hal ini ditujukan agar setiap usaha harus memperhatikan kemampuan daya dukung lingkungan dan menghindari terjadi kerusakan lingkungan (Sudiarta, 2006).

Adanya kerusakan akibat bencana tsunami menunjukkan telah terjadi kelalaian dalam pelaksanaan AMDAL atau memang belum memiliki surat ijin AMDAL pada saat pembangunan lokasi wisata. Hal ini didukung hasil wawancara dengan pejabat Bappeda Kabupaten Pandeglang dan masyarakat setempat bahwa pembangunan lokasi wisata Wilayah Pesisir Carita dilaksanakan tahun 1970-an. Dari pemberlakuan UU lingkungan hidup yang baru diterapkan tahun 2009, maka dapat diduga bahwa semua bangunan di Pantai Carita belum memiliki AMDAL.

Adapun tindakan yang harus diberikan adalah diberikan kesempatan para investor untuk mengurus baru perijinan AMDAL. Bila tidak mau mengurus perijinan maka perlu diterapkan sesuai dengan Pasal 79 pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab

(20)

usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Memanfaatkan Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009, terbukti bahwa pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita selama tidak memperhatikan prinsip-prinsip ijin lingkungan hidup, sehingga pemerintah kabupaten berhak untuk memberikan sanksi atau tindakan tegas misalnya dengan membekukan usaha wisata di Pantai Carita dan menata ulang tata ruang Wilayah Pesisir Carita.

Secara garis besar pengelolaan tata ruang Wilayah Pesisir Carita dari segi peruntukan sesuai zona sebenarnya kurang tepat. Hal ini disebabkan peruntukan area pesisir pantai adalah untuk konservasi sehingga mampu mendukung kelesatarian alam. Pemanfaatan tata ruang Wilayah Pesisir Carita untuk rekreasi atau peningkatan pendapatan daerah Kabupaten Pandeglang. Adapun beberapa tindakan yang dapat diambil akibat pengaruh BPBD dalam pengelolaan Wilayah Pesisir Carita yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pandeglang adalah (1). Memberi kesempatan para investor untuk memindahkan bangunan yang menempel di bibir pantai menjadi menjauh sekitar 100 meter menjauh dari pantai; (2). Memberikan insentif berupa bantuan kemudahan memperbaharui ijin rekreasi bagi yang mau merubah posisi bangunannya; dan (3). Berani tidak memberikan ijin pembangunan rekreasi baru yang proposalnya tidak sesuai persyaratan.

Ketiga tindakan di atas merupakan tindakan yang terukur sekaligus yang tepat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir Carita ( Pal dkk., 2017; Moreno, 2018). Ditinjau dari segi ketahanan wilayah kondisi pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita saat ini adalah masih

dalam batas cukup mampu mempertahankan rasa aman bagi masyarakat. Walaupun dari konsisi ekonomi, sebagian besar masyarakat yang berada di Wilayah Pesisir Carita masih kurang, akan tetapi dari segi kemampuan sosial budaya masih kuat dalam menghadapi kondisi tata ruang pantai yang masih perlu perubahan. Dengan demikian menurut peneliti dapat dikatakan bahwa ketahanan wilayah Kabupaten Pandeglang masih mampu bertahan dan sedang menuju ke arah yang lebih baik.

SIMPULAN

Berdasar penjelasan tersebut di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

Pertama, Pemerintah Kabupaten Pandeglang, dalam upaya pengambilalihan tata ruang pantai untuk mendukung penanggulangan bencana tsunami yang implikasinya memperkuat ketahanan wilayah, harus melakukan kegiatan, yaitu (1). Kajian risiko bencana yang menunjukkan bahwa bencana tsunami menjadi ancaman baru terhadap ketahanan wilayah Kabupaten Pandeglang; (2). Mengkaji dan mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat agar dapat dipakai sebagai alat untuk memudahkan dalam mencari alternatif pengelolaan tata ruang yang baru;

dan (3). Menggunakan alasan-alasan alternatif seperti mengingatkan dampak buruk bencana tsunami pada sektor ketahanan wilayah nyata yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengedapankan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan Wilayah Pesisir Carita, dan pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan tegas terhadap permanfaatan tata ruang yang tidak sesuai.

Kedua, semua kegiatan tersebut ternyata dapat memudahkan pengambilalihan

(21)

369 pemanfaatan Wilayah Pesisir Carita oleh

Pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk mencapai ketahanan wilayah yang kuat dan mendukung keamanan nasional yang lebih kokoh.

DAFTAR PUSTAKA

BNPB, 2012, Menuju Indonesia Tangguh Menghadapi Tsunami. Jakarta: BNPB.

BMKG, 2019, Peta Isoseismal Gempabumi Lebak - Banten 09 April 2018, Diunduh dari:

,https://www.bmkg.go.id/berita/?p=peta- isoseismal-gempabumi-lebak-banten- 09-april-2018&lang=ID&tag=peta- i s o s e i s m a l h t t p s : / / w w w. b m k g . go.id/berita/?p=peta-isoseismal- gempabumi-lebak-banten-09-april- 2018&lang=ID&tag=peta-isoseismal>.

Tanggal 17 Mei 2019.

BNPB, 2019, Lima Kabupaten di Provinsi Banten dan Lampung Terdampak Terjangan Tsunami Selat Sunda, Diunduh dari: <http://poskotanews.

com/2018/12/24/lima-kabupaten- di-provinsi-banten-dan-lampung- terdampak-terjangan-tsunami-selat- sunda/>. Tanggal 09 September 2019.

BPBD Kabupaten Pandeglang, 2019, Dokumen Kajian Risiko Bencana Tahun 2014- 2018. Pandeglang: BPBD.

Creswell, John.W., 2016, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Heriyanto, N. M., dan E. Subiandono, 2012, Komposisi dan Struktur Tegakan, Biomasa, dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 9, No.

1, hh. 023-032.

Indrayani, E., dan S. Wasistiono, 2021, “The role of community protection institutions in disaster management at West Java, Indonesia,” J`amba: J. of Disaster Risk Studies, Vol.13, No.1, Article No.a943.

International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC), 2021,

“The road to resilience: Bridging relief and development for a more sustainable future,”

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2015, Buku Putih Pertahanan Indonesia.

Jakarta: Kemhan.

Kumaat, Joy, 2007, Pentingnya pengelolaan tata ruang wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, <https://jchkumaat.

wordpress.com/2007/02/18/pentingnya- pengelolaan-tata-ruang-wilayah-pesisir- dan-pulau-pulau-kecil/amp>, diakses pada tanggal 27 Januari 2019 pukul 08.00 WIB).

Madan, A., dan J. K. Routray, 2015,

“Institutional framework for preparedness and response to disaster management institutions from national to the local level in India with focus on Delhi,” Int.

J. of Disaster Risk Reduction,Vol.14, No.

4, hh. 545-555.

Makmur, Supriyatno, 2014, Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mikkelsen, Britha, 2005, Metode Partisipatoris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Miles, M.B., A.M. Huberman, dan J. Saldana, 2014, Qualitative Data Analysis: A Methods. Sage, London : Sourcebook..

Moreno, J., 2018, “The role of communities in coping with natural disasters: Lessons from the 2010 Chile Earthquake and Tsunami,” Procedia Engineering, Vol.212, hh. 1040-1045.

(22)

Pal, I., T. Ghosh, dan C. Ghosh, 2017,

“ I n s t i t u t i o n a l f r a m e w o r k a n d administrative systems for effective disaster risk governance–Perspectives of 2013 Cyclone Phailin in India,” Int.

J. of Disaster Risk Reduction, Vol.21, hh. 350-359.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Peraturan Menteri Negera Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup Dalam Penataan Ruang Wilayah.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2010-2030

Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Penataan Ruang untuk Tahun 2011-2031.

Setiawan, A.K., 2010, “Development of Preparedness School through Integrated Disaster Risk Reduction into Curriculum,” Proc. of National Conf.

School Safety, hh. 1-25.

Siriporananon, S., dan P. Visuthismajarn, 2028, “Key success factors of disaster management policy: A case study of the Asian city’s climate change resilience network in Hat Yai city, Thailand,”

Kasetsart J. of Social Sciences, Vol.39, No.2, hh. 269-276..

Sobur, A., 2004, Psikologi Umum, Yogyakarta:

Pustaka Setia

Solihuddin, T., H. L. Salim, S. Husrin, A.

Daulat, dan D. Purbani, 2020, “Sunda Strait Tsunami Impact In Banten Province And Its Mitigation Measures,” Jurnal Segara, Vol.16, No.1, hh. 15-28, doi:

10.15578/segara.v16i1.8611..

Stough, L.M. dan D. Kang, 2015, “The Sendai Framework for disaster risk reduction and persons with disabilities,” Int. J. of Disaster Risk Science, Vol.6, No.2, hh.

140-149.

Sudiarta, M., 2006, Ekowisata Hutan Mangrove : Wahana Pelestarian Alam dan Pendidikan Lingkungan. Jurnal Manajemen Pariwisata, Vol. 5, No. 1, hh.1-25.

Susanto, N., dan T. T. Putranto, 2016, “Analysis of the level of readiness of residents to face the

potential of landslide disaster in Semarang City,” Teknik, Vol.37, No.2, hh. 54-58.

Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangaan Bencana.

Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

(23)

371 Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Wibawa, I., M. Citra, dan N. Tika, 2013,

“The inflfluence of student mitigation and disaster resistance learning models,” Jurnal Pendidikan Dan Pengajaran,Vol.46, No.2, hh. 97-105.

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena yang terjadi di lapangan terkait variabel komunikasi yang penulis temukan, proses ketidakjelasan informasi yang di sampaikan oleh pelaksana kebijakan terhadap kelompok

Berdasarkan evaluasi oleh para ahliyang mencakup aspek materi, teknik, desain tampilan, dan program dengan hasil sangat baik, maka dapat disimpulkan bahwa

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:(1) Berdasarkan analisis deskriptif terhadap Variabel X

Belajar Matematika Siswa Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII SMPN 01.

Meskipun peningkatan faktor optis dengan kontak belakang Al:Ag dua kali lebih besar dibandingkan dengan kontak belakang Al ataupun Ag, namun pengaruh optisnya tidak berbeda jauh

Untuk semua bantuan yang telah diberikan oleh pihak-pihak di atas, Sehingga hadir karya yang berjudul ”Proses Penyelesaian Sengketa Aset Wakaf Dalam Masalah

[r]

Metode bulk merupakan metode untuk membentuk galur-galur homozigot dari populasi bersegregasi melalui selfing selama beberapa generasi tanpa seleksi. Selama tumbuh bercampur,