• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rada 12345 OK

N/A
N/A
Usman Gumanty

Academic year: 2022

Membagikan "Rada 12345 OK"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman bawang daun (Allium fistulosum Linn.) merupakan salah satu tanaman yang dikembangkan secara intensif dan komersial di kalangan petani sayur. Untuk pemasaran bawang daun tidak hanya dalam negeri tetapi juga di pasar luar negeri. Di Indonesia dikenal dengan nama loncang atau muncang. Bawang daun digunakan sebagai bahan masak dikarenakan memberikan aroma yang harum serta rasa yang nikmat. Potensi dari bawang daun sendiri layak dikembangkan dalam skala agribisnis. Peluang bisnis bawang daun cukup baik karena banyak dibutuhkan oleh masyarakat, terutama pada bahan sayuran, dan bumbu penyedap masakan. Permintaan bawang daun selalu meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diberbagai Negara. Terutama pada perusahaan makanan instan yang menggunakan bawang daun untuk bumbu bahan penyedap rasa pada makanan (Sutrisna et al., 2003).

Manfaat lain dari bawang daun yaitu untuk kesehatan dan sebagai obat.

Bawang daun bermanfaat untuk peningkatan kesehatan kulit, rambut, pencernaan dan kesehatan lainnya, serta memiliki kandungan zat besi, tinggi akan kalium, baik untuk kesehatan jantung, rendah kalori, serta mampu mengobati infeksi dan luka dalam tubuh (Bagus et al., 2005).

Produksi bawang daun dapat mencapai antara 10 - 15 ton.ha-1. dengan harga rata-rata sekitar Rp 6.000 per ikatnya. Produksi bawang daun dari 2015 hingga 2019 sebagai berikut yaitu pada tahun 2015 bawang daun menghasilkan 512,486 ton pertahun. Pada tahun 2016 produksi bawang daun naik menjadi 537, 921 ton pertahun. Ditahun 2017 bawang daun mengalami penurunan hasil menjadi 510,476 ton pertahunnya. Pada tahun 2018 - 2019 mengalami kenaikan menjadi 573,216 – 590,596 ton pertahun. Setiap tahunnya petani mengalami peningkatan dalam memproduksi bawang daun yaitu sebanyak 3,03 % (BPS et al., 2019).

Peningkatan pada produksi bawang daun pertahunnya tidak selalu baik, ada juga dari faktor yang disebabkan oleh penyakit tanaman. Hal tersebut membuat petani akan mengalami gagal panen serta bangkrut dengan harga yang makin meningkat yang dapat meruntuhkan prospek pertumbuhan ekonomi. Terutama pada

(2)

serangan penyakit tanaman dari awalnya penanaman benih hingga pascapanen.

Semakin besar permintaan maka semakin besar peningkatan produksi. Selain pentingnya kuantitas, kualitas daun bawang yang lebih penting. Kurangnya kualitas pada bawang daun akan sangat merugikan petani. Faktor tersebut dipengaruhi oleh alat pertanian yang sudah terkontaminasi dengan penyakit, adanya vektor yang membawa penyakit, aliran air hujan dan penyiraman serta tanaman yang sakit di dekat tanaman yang sehat (Bagus et al., 2005).

Penurunan produksi pada tanaman bawang daun salah satunya disebabkan oleh penyakit tanaman terutama pada penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Collectotrichum gloeosporioides. Kerugian yang disebabkan oleh Collectotrichum gloeosporioides mencapai 22,591 ton pertahun. Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik yang dapat merugikan manusia dan lingkungan, adapun pengendalian alami yaitu salah satunya menggunakan Rhizobakteria yang terdapat di perakaran tanaman atau yang sering disebut dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) salah satunya dari akar bambu.

PGPR merupakan bakteri-bakteri yang terdapat di perakaran tanaman yang bersifat biopestisida menghambat atau mengendalikan penyakit tanaman. Selain dapat mengendalikan penyakit pada tanaman, PGPR juga dapat merangsang pertumbuhan dan menjadi nutrisi pada tanaman.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:

1. Apakah Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) mampu menurunkan intensitas serangan cendawan Collectotrichum gloeosporioides pada tanaman bawang daun.

2. Pada konsentrasi berapakah Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) efektif dalam menurunkan serangan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides ) pada tanaman bawang daun.

3. Apakah Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun.

(3)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui apakah pemberian Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) berpengaruh terhadap intensitas serangan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides) pada tanaman bawang daun.

2. Mengetahui pada konsentrasi berapa Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) yang efektif untuk menurunkan serangan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides) pada tanaman bawang daun.

3. Mengetahui pengaruh Plant Growth Promothing Rizhobacteria (PGPR) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun.

1.4. Hipotesis Penelitian

1. Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) memiliki kemampuan menurunkan intensitas serangan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides) pada tanaman bawang daun.

2. Terdapat konsentrasi Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) yang efektif untuk menurunkan serangan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides) pada tanaman bawang daun.

3. Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun.

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bawang Daun (Allium porrum L.)

Pada mulanya, bawang daun tumbuh secara liar. Kemudian, secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dibudidayakan sebagai bahan sayur (daun dan batang) dan bahan obat (akar, batang dan daun).

Bawang daun diduga berasal dari benua Asia yang memiliki iklim panas (tropis), terutama kawasan Asia Tenggara (Cina dan Jepang). Budidaya bawang daun di Indonesia mulanya hanya terpusat di pulau Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur), terutama di dataran tinggi (pegunungan) yang berhawa sejuk (dingin), seperti Cipanas, Pacet (Cianjur), Lembang (Bandung) dan Malang (Jawa Timur) (Cahyono, 2005). Daun daun (Allium porrum Linn) adalah jenis sayuran dari kelompok bawang yang biasanya sering digunakan dalam berbagai jenis masakan.

Tanaman ini mengandung saponin, tanin dan minyak atsiri yang bermanfaat untuk meredakan perut kembung. Pemasaran produksi bawang daun segar tidak hanya untuk pasar dalam negeri melainkan juga pasar luar negeri (Sutrisna et al, 2003).

Bawang daun memiliki ciri batang berukuran besar, daun berbentuk panjang pipih seperti pita, berpelepah panjang dan liat, warna daun hijau ukuran daun lebih besar dari ukuran daun bawang merah, aroma daun cukup harum dan sedap, batang semu berwarna putih dan beraroma tajam, dan tanaman tida membentuk umbi (Cahyono, 2005). Dalam sistematika tumbuhan (taksonomi), bawang daun (Allium porrum Linn) menurut United States Department of agriculture, (2014) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobiont Division : Magnoliophyta Class : Liliopsida Subclass : Liliidae Ordes : Liliales Family : Liliaceae Genus : Allium

Species : Allium porrum Linn.

(5)

Menurut Cahyono (2005), bawang daun termasuk jenis tanaman sayuran daun semusim (berumur pendek). Tanaman ini berbentuk rumput atau rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 60 cm atau lebih. Bawang daun selalu menumbuhkan anakan-anakan baru sehingga membentuk rumpun. Bawang daun memiliki ciri batang berukuran besar, daun berbentuk panjang pipih seperti pita, berpelepah panjang dan liat, warna daun hijau ukuran daun lebih besar dari ukuran daun bawang merah, aroma daun cukup harum dan sedap, batang semu berwarna putih dan beraroma tajam, dan tanaman tidak membentuk umbi (Cahyono, 2005).

Morfologi tanaman bawang daun menurut Cahyono (2005) adalah sebagai berikut.

1. Akar

Bawang daun memiliki akar serabut dan perakarannya cukup dangkal, antara 8-20 cm. Perakaran bawang daun tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, mudah menyerap air, dan kedalaman tanah cukup dalam.

2. Batang

Daun bawang memiliki 2 macam batang, yaitu batang sejati dan batang semu.

Batang sejati berukuran angat pendek dan berada di bawah tanah. Batang semu bawang daun tampak dipermukaan tanah terbentuk dari pelepah-pelepah daun yang saling membungkus.

3. Daun

Daun tanaman bawang daun berbentuk bulat, memanjang, berlubang menyerupai pipa, dan bagian unjungna runcing. Daun berwarna hijau muda hingga hijau tua dan permukaan daun halus. Bagian daun merupakan bagian tanaman bawang daun yang dikonsumsi.

4. Bunga

Bunga bawang daun termasuk bunga sempurna dimana benang sari dan putik terdapat dalam satu bunga. Bunga secara keseluruhan berbentuk payung majemuk dan berwarna putih. Bunga bawang daun terdiri dari 6 buah mahkota bunga, 6 buah benang sari, 1 buah plasenta, tangkai bunga, kelopak bunga, dan bakal buah.

Penyerbukan pada bawang daun yaitu penyerbukan silang yan dibantu oleh serangga seperti lebah dan peyerbukan sendiri.

(6)

5. Buah

Buah bawang daun berbentuk bulat, terbagi atas tiga ruang, berukuran kecil dan berwarna hijau muda. Satu buah bawang daun terdiri dari 6 biji yang berukuran sangat kecil.

6. Biji

Biji bawang daun yang masih muda berwarna putih dan setelah tua berwarna hitam, berukuran sangat kecil, berbentuk bulat agak pipih, dan berkeping satu. Biji tersebut dapat dijadikan sebagai bahan perbanyakan tanaman secara generatif.

7. Umbi

Bawang daun (Allium porrum Linn.) merupakan salah satu jenis sayuran yang berpotensi dikembangkan secara intensif dan komersial. Bawang daun di Jawa Tengah merupakan salah satu produk tanaman sayuran yang diunggulkan. Luas areal panen bawang daun di Indonesia pada tahun 2013 seluas 57,264 Ha, pada taun 2014 seluas 58,362 Ha (BPS, 2014). Pemasaran bawang daun segar tidak hanya untuk di dalam negeri tetapi juga pasar luar negeri. Pertumbuhan produksi bawang daun selama periode 2009-2011 mengalami penurunan, yaitu dari 549,365 ton menjadi 526,774 ton. Periode tahun 2012-2014 mengalami penurunan, yaitu dari 596,805 ton menjadi 584,624 ton (BPS, 2014).

2.2. Fungi Penyebab Penyakit pada Bawang Daun

Klasifikasi dari Collectotrichum gloeosporioides menyebabkan penyakit antraknosa pada tanaman bawang daun menurut Dwidjoseputro (1978) yaitu:

Kingdom : Fungi Divisi : Mycota Subdivisi : Eumycotyna Class : Deuteromyces Ordo : Melanconiales Famili : Melanconiceae Genus : Collectotrichum

Spesies : Collectotrichum gloeosporioides.

Cendawan ini terdiri dari beberapa septa, inter dan intraseluler hifa. Aservulus dan stroma pada batang terbentuk hemispirakel dan memiliki ukuran 70-120 µm.

(7)

Collectotrichum gleosporiodes. Hidup pada suhu 20 oC– 30 oC dan dengan mudah menginfeksi. Penyebaran septa dari berwarna coklat gelap sampai coklat muda, serta terdiri dari beberapa septa yang berukuran kurang lebih 150 µm. Terlihat dari massa konidia berwarna kemerah-merahan atau seperti ikan salmon. Konidia berada pada ujung konidiofor. Konidia berbentuk lilin, uniseluler dengan ukuran 17-28 x 3-4 µm (Singh, 2001). Morfologi dari Collectotrichum gloeosporioides dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Collectotrichum gloeosporioides Sumber : google.com

Collectotrichum gloeosporioides mempunyai konidia hialin, bentuknya silinder yang pada ujungnya berbentuk tumpul, terkadang agak jorong dengan ujung yang berntuknya bulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, memiliki ukuran 9-24 x 3-6 µm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid, bernentuk silinder, hialin berwarna agak kecoklatan (Semangun, 2008).

Konidia yang diproduksi merupakan hasil pembelahan sel secara mitosis dan hasil pembelahan tersebut identic dengan sel induk. Produksi dari konidia biasanya dalam jumlah besar dan merupakan suatu bentukan dari jamur untuk mempertahankan diri dari keadaan luar atau kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Keberadaan konidia pada suatu tempat atau area pada umumnya merupakan suatu indicator adanya perkembangan penyakit pada tanaman budidaya dan konidia ini dapa diproduksi secara terus-menerus dalam waktu yang cukup panjang (Yudiarti, 2007).

(8)

Cendawan Collectotrichum gloeosporioides menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila terkena percikan air hujan.

Konidia sangat ringan dan dapat menyebar serta terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga pengakit mampu tersebar luas dalam waktu yang singkat.

Konidia mungkin juga disebarkan oleh serangga.

2.3. Gejala Serangan

Gejala awal yang terjadi pada tanaman bawang daun yaitu terlihat bercak berwarna putih pada daun, selanjutnya berbentuk seperti lekukan kedalam, berlubang dan patah karena terkulai tepat pada bercak tersebut. Infeksi yang lama- kelamaan semakin berlanjut menyebabkan koloni konidia akan berwarna merah muda, yang kemudian di lanjutkan warna coklat muda dan kecoklat tua hingga akhitnya kehitam-hitaman. Dalam kondisi kelembaban udara yang tinggi terutama pada musim penghujan, konidia berkembang dengan cepat membentuk miselia yang tumbuh menjalar dari helaian daun masuk menembus sampai ke umbi. Pada penyebaran dipermukaan tanah muncul berwana putih dan dapat menginfeksi inang disekitar tanaman. Umbi kemudian membusuk, daun mengering dan sebaran serangan yang bersifat sporadic tersebut pada hamparan tanaman akan terlihat gejala botak-botak di beberapa tempat (Anonim, 2005). Penyakit daun bawang yang terserang antraknosa yang disebabkan oleh Collectotrichum gloeosporioides dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Daun Bawang yang Terserang Collectotrichum gloeosporioides

Sumber : Google.com

(9)

2.4. Siklus Hidup Collectotrichum gloeosporioides

Siklus hidup cendawan ini tersebar karena bantuan angin atau hujan lebat, Jika jatuh pada sasaran tanaman inang maka konidia akan berkecambah dengan membentuk apresorium. Apresorium merupakan hifa berbentuk tabung pendek, jika kontak dengan epidermis, bagian ujungnya akan melebar membenruk semacam sel bersudut, berdinding tebal, dan berwarna coklat. Terdapat pembentukan apresoria atau haustoria yaitu inisiasi infeksi dan sangat terangsang oleh kerentanan inang dan kondisi mikroklimat seperti kelembaban udara, temperature udara, serta substrat yang cocok untuk cendawa tersebut. Intensitas serangan berkurang pada kondisi kemarau, sistem drainase yang baik serta pertanaman yang terkendali dari OPT (Anonim, 2005).

2.5. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Sebagai Biopestisida Plant Griwth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan salah satu cara pengendalian yang ramah lingkungan. Pengendalian hayati yang dapat dikembangkan menggunakan rhizobakteri. Bakteri yang terdapat pada PGPR mempunyai kemampuan antagonis terhadap patogen tanaman melalui beberapa cara yaitu dari produksi antibiotik, siderofor, enzim kitinase, β-1, 3-glicanase, sianida, parasi-tisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung ekologi, menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik (Ahktar et al., 2012).

PGPR dapat menekan pertumbuhan patogen melalui mekanisme induksi ketahanan dan antagonisme terhadap patogen. PGPR dari genus Bacillus polymyxa, Pseudomonas fluoresces dan Rhizobium diketahui mampu menginduksi ketahanan tanaman dan berperan sebagai PGPR antagonis (Beneduzi et al., 2012). Bakteri PGPR mampu mengikat nitrogen bebas dari alam atau istilahnya fikasi nitrogen bebas. Nitrogen bebas diubah menjadi amonia kemudian disalurkan ke tanaman.

Bakteri akar ini juga mampu menyediakan beragam mineral yang dibutuhkan tanaman seperti besi, fosfor, atau belerang. PGPR juga memacu peningkatan hormon tanaman. Peningkatan hormon tanaman inilah yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (catatan kaki). Induksi ketahanan pada suatu tanaman oleh PGPR terjadi melalui beberapa mekanisme diantaranya

(10)

mempengaruhi respon fisiologis, biokimia, aktivitas enzim dan peningkatan kandungan senyawa penghambat perkembangan patogen (Agrios, 2005).

2.5.1. Bakteri Bacillus polymyxa 2.5.2. Bakteri Pseudomonas fluoresces

Pseudomonas fluoresces termasuk ke dalam bakteri yang dapat ditemukan di mana saja, sering kali ditemukan pada bagian tanaman (permukaan daun dan akar) dan sisa tanaman yang membusuk, tanah dan air sisa makanan yang membusuk, serta kotoran hewan (Supriati, 2005).

Pseudomonas spp biasanya merupakan jasad penghuni tanah, sisa-sisa tanaman dan rizosfer. Sebagian besar P. fluoresces adalah penghuni rizosfer, secara agresif mengkoloni akar dan biasa disebut dengan rhizobacteria. Kemampuan P. fluoresces dalam mengkoloni akar terdapat pada tajuk tanaman yaitu filosfer (Agrios, 1987).

Pseodomonas spp memiliki kemampuan tumbuh pada kisaran suhu 35o-37o C (Cook dan Baker, 1996). Kisaran suhu pertumbuhan optimal 25o-30o C dengan suhu pertumbuhan minimum 4o C dan maksimum 41o C (Machmud et al., 2002).

2.5.3. Taksonomi Pseudomonas flouresces

Klasifikasi Pseudomonas fluoresces menurut Flugge (1886), yaitu:

Domain : Bacteria Phylum : Proteotbacteria

Class : Gammaproteobacteria Ordo : Pseudomonadales Famili : Pseudomonasdaceae Genus : Pseudomonas

Spesies : Pseudomonas fluoresces

Bakteri P. fluoresces memiliki bentuk batang lurus atau melengkung, ukuran tiap sel bakteri 0,5-0,1 1µm x 1,5-4,0 µm. Bakteri tidak memiliki spora dan beraeksi negatif terhadap pewarnaan gram. P. fluoresces terbagi dalam beberapa kelompok yaitu sub-kelompok berpendarfluo (fluoresces) yang dapat mengeluarkan pigmen pheazine (Hasanuddin, 2003).

(11)

2.5.4. Bakteri Rhizobium

Bakteri Rhizobium adalah salah satu contoh kelompok bakteri yang mampu menyediakan hara bagi tanaman. Rhizobium hanya dapat memfiksasi nitrogen atmosfer bila berada di dalam bintil akar dari mitra legumnya. Peranan Rhizobium terhadap pertumbuhan tanaman khususnya berkaitan dengan ketersediaan nitrogen bagi tanaman inangnya. Rhizobium mampu mengikat nitrogen bebas yang berada yang berada di udara menjadi ammonia (NH3) yang akan diubah menjadi asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa nitrogen yang diperlukan tanaman untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan bakteri Rhizobium sendiri memperoleh karbohidrat sebagai sumber energy dari tanaman inang.

2.5.5. Taksonomi Rhizobium

Klasifikasi bakteri Rhizobium menurut Frank (1889), yaitu:

Kingdom : Bakteria Filum : Proteobacteria Class : Alphaproteobacteria Ordo : Rhizobiales

Famili : Rhozhoblaceae Genus : Rhizobium Spesies : Rhizobium

Surtiningsih, et al. (2009) menjelaskan karakerisik bakeri Rhizobium secara makroskopis adalah warna koloni putih susu, tidak ransparan, bentuk koloni sirkuler, konveks, semitranslusen, diameter 2 – 4 mm dalam waktu 3 – 5 hari pada agar khamir-manitol-gara, mineral. Secara mikroskopis sel bakeri Rhizonium berbentuk bang, aerobik, gram negatif dengan ukuran 0,5 – 0,9 x 1,2 – 3 µm, bersifat motif pada media cair. Umumnya memiliki satu flagella polar atau subpolar. Pertumbuhan optimum dari bakteri tersebut dibutuhkan temperatur 25o – 30o C, pH 6 – 7.

(12)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Pada penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September – Desember 2021 bertempatan di Laboratorium Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya. Uji efektifitas PGPR terhadap Collectotrichum gloeosporioides pada tanaman daun bawang dilakukan di rumah plastik Peat Techno Park (PTP) Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang akan digunakan yaitu autokaf, laminar air flow, shaker, erlenmeyer, cawan petri, gelas ukur, beaker glass, pinset, jarum ose, silet, gunting, ember, cangkul, karung, panci, sendok, jerigen, timbangan digital, dan corong. Pada bahan yang akan digunakan yaitu media PDA, media NA, isolat cendawan Collectotrichum gloeosporioides, isolat bakteri endofit, akar bambu dan tanah perakaran bambu, gula merah, terasi, bekatul, polybag, tanah gambut pedalaman, aquades, urea, dolomit, dan air steril.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial yang terdiri 5 perlakuan konsentrasi PGPR (Plant Growth Promoting Rizhobacteria) diulang sebanyak 4 kali sehingga mendapatkan 20 satuan percobaan termasuk kontrol.

Adapun perlakuan yang akan diuji tersebut yaitu:

F0 : Kontrol (tanpa perlakuan) F1 : PGPR 10 ml.L-1

F2 : PGPR 15 ml.L-1 F3 : PGPR 20 ml.L-1 F4 : PGPR 25 ml.L-1

Model linear yang digunakan dalam rancangan penelitian ini menurut Yitnosumarto (1993) adalah sebagai berikut :

Yij = μ + i + ԑij

(13)

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pada perlakuan pengaruh konstrasi PGPR ke-i dan ulangan ke-j

μ = rataan umum

i = pengaruh perlakuan ke-i

ԑij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j 3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Eksplorasi dan Pembuatan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

1. Eksplorasi Akar Bambu

Eksplorasi bertujuan untuk mendapatkan bakteri endofit yang akan digunakan dalam pembuatan biopestisida. Akar bambu yang akan digunakan berlokasi di jalan Tjilik Riwut km 16 Palangka Raya, Kecamatan Jekan Raya Provinsi Kalimantan Tengah. Bahan yang akan digunakan merupakan akar bambu beserta tanah disekitar perakaran sebanyak 500 g yang diambil menggunakan cangkul sedalam 20 cm dari permukaan tanah, kemudian selanjutnya dibawa untuk tahap pembuatan PGPR.

2. Pembuatan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR)

Prosedur pembuatan PGPR yang pertama yaitu potong-potong akar bambu yang bertujuan agar bakteri endofit yang terdapat pada akar bambu dapat terlepas dengan mudah. Perendaman akar bambu menggunakan air sebanyak 5 L selama 4 malam untuk melepaskan mikroba yang ada di akar bambu beserta tanah di sekitar perakaran. Prosedur yang kedua setelah akar bambu direndam selama 2 malam, selanjutnya merebus 5 L air sampai mendidih dan masukkan gula merah 200 g, terasi 100 g serta bekatul 125 g sambil diaduk hingga semua bahan tercampur rata, kemudian dinginkan. Selanjutnya bahan yang sudah dingin disaring dan dipindahkan ke dalam baskom, kemudian campurkan dalam satu wadah dengan takaran 2,5 L bahan PGPR dan 2,5 L air rendaman akar bambu, setelah tercampur masukkan kedalam jerigen ukuran 5 L. PGPR difermentasikan selama 14 hari.

Setiap hari tutup jerigen dibuka selama 1 menit untuk membuang gas fermentasi PGPR dan ditutup kembali, kemudian jerigen PGPR digojok sebanyak 5 kali dan diulang setiap hari sampai 14 hari fermentasi PGPR. PGPR yang sudah siap

(14)

digunakan memiliki ciri-ciri yaitu warnanya menjadi merah muda dan memiliki aroma asam seperti bau tapai. Lama penyimpanan PGPR hingga 3-4 bulan (BPTPH, 2020).

3.4.2. Isolasi Cendawan Collectotrichum gloeosporioides

Potongan isolat

Alkohol Alkohol Aquades Aquades tissue PDA cendawan I II I II

pemurnian isolat

Gambar 3. Metode Isolasi Cendawan Collectotrichum gloeosporioides Cendawan C. gloeosporioides dimurnikan dengan cara memotong daun bawang yang terkena antraknosa dengan ukuran 1 x 1 cm. Potongan bawang disterilkan menggunakan alkohol 70 % sebanyak 2 kali (alkohol I dan II) dan bilas sebanyak 2 kali (aquades I dan II) menggunakan air steril kemudian dikeringkan dengan tisu steril. Potongan bawang daun yang sudah steril dimasukkan ke dalam media Potato Dextroxe Agar (PDA) dan menginkubasi selama 3-4 hari. Cendawan yang sudah tumbuh selama 4 hari dimurnikan kembali pada media PDA baru dan diinkubasi selama 3 sampai 4 hari (Gambar 3).

3.4.3. Isolasi Bakteri Endofit Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR)

Gambar 4. Metode Isolasi Bakteri Endofit

Sumber : Pemanfaatan Bakteri Antagonis Terhadap Pengendalian Jamur Patogen Fusarium Oxysporum Dan Phytopthora Capsici Secara In Vitro

PDA 1 PDA 2

(15)

Cara kerja yang dilakukan dalam mengisolasi bakteri dari Plant Growth Promothing Rhizhobacteria (PGPR) yang telah dibuat diawal dengan pengenceran bertingkat. PGPR yang akan diteliti diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam erlemeyer yang telah berisi air steril 90 ml. Setelah PGPR dan air steril dicampurkan dikocok di atas sheaker selama 15 menit dengan tujuan agar produk dan air steril serta bakteri di dalam PGPR dapat tercampur dengan sempurna. Dari PGPR dilakukan pengenceran bertingkat. Untuk PGPR disiapkan 4 tabung reaksi berisi air steril sebanyak 9 ml. Kemudian dilakukan pengenceran bertingkat. Dari pengenceran awal diambil 1 ml lalu dimasukkan pada tabung reaksi yang pertama disheaker sebentar lalu diberi nama A1, kemudian dari A1 diambil kembali 1 ml dan dituangkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya disheaker sebentar dan diberi nama A2, dari A2 diambil kembali 1 ml dan dimasukkan ke test cube selanjutnya lalu disheaker sebentar dan diberi nama A3, dari A3 diambil kembali 1 ml dan dimasukkan ke dalam test cube selanjutnya disheaker sebentar dan diberi nama A4.

Dari A3 dan A4 masing-masing diambil 0,5 ml dan dituangkan ke dalam media PDA yang telah disiapkan (Gambar 1) (Haryani et al., 2011).

3.4.4. Uji antagonisme Bakteri Endofit Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR)

Cendawan Bakteri

Gambar 5. Metode Uji Antagonisme

Uji antagonisme dapat dilihat pada Gambar 5 dilakukan dengan pembuatan jarak untuk bakteri endofit dan cendawan pada media Nutrient Agar (NA).

Kemudian media bakteri endofit dilubangi menggunakan bor gabus, dan pada media cendawan juga. Inokulasi bakteri endofit dan cendawan pada media yang sudah diberi jarak dan tanda. Inkubasi selama 24-48 jam (Haryani et al., 2011).

5 cm

(16)

3.4.5. Persiapan Media Tanam

Persiapan media tanam yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wadah media menggunakan polybag ukuran 30 x 30 cm. Tanah yang digunakan pada media tanaman bawang daun yaitu tanah gambut pedalaman yang diambil dari daerah Kelampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya dengan kedalaman 0 – 20 cm dengan tingkat kematangan hemik, kemudian tanah gambut dikering anginkan selama 7 hari setelah itu diayak. Tanah Gambut disterilkan dengan cara dikukus, tanah gambut dibungkus dengan plastic tahan panas, dan kukus pada temperature 121 oC selama 3 jam. Sterilisasi pada media tanam bertujuan untuk mematikan mikroorganisme lain agar tidak mengganggu penelitian. Tanah gambut yang sudah steril dimasukkan ke dalam polybag sebanyak 2,5 kg kemudian dicampurkan dengan pupuk kandang kotoran ayam sebanyak 15 t ha-1 atau 59,5 g polybag-1 dan kapur dolomit sebanyak 4 t ha-1 atau 23,8 g polybag-1 perhitungan dosis disajikan pada lampiran 2, kemudian diberi label perlakuan dan disusun pada rak yang terbuat dari kayu di rumah plastik di Peat Techno Park (PTP) Universitas Palangka Raya.

3.4.6. Penyemaian Benih

Benih daun bawang yang digunakan pada penelitian ini yaitu varietas Fragrant yang diproduksi oleh PT Known – You Seed Indonesia yang memiliki umur panen 76 HST dengan potensi hasil tinggi tanaman 60 cm dan berat rata-rata 300 gram tanaman-1 serta memiliki kemurnian benih 98 % dan daya kecambah 80%.

Penyemaian dilakukan di dalam pot tray dengan ukuran 57 x 26 x 6 cm yang mempunyai 40 lubang. Pada media semai digunakan tanah subur yang di dalamnya terkandung sekam padi dan pupuk kandang ayam. Tanah yang sudah tercampur kemudian di sterilisasi menggunakan autoclave selama 30 menit. Setelah itu dinginkan tanah dan masukkan tanah ke dalam pot tray sebanyak lubang yang terdapat pada pot tray. Semai benih di dalam pot tray pada tiap lubangnya diberi 2 benih daun bawang. Perawatan pada persemaian dengan menyiram semaian di pagi dan sore hari selama 40 hari sampai daun bawang memiliki daun atau tunas dan beberapa helai daun. Penyiraman di tambahkan dengan cairan nutria AB mix yang berfungsi untuk membantu pertumbuhan bawang daun.

(17)

3.4.7. Penanaman Bibit ke Polybag

Setelah bibit berumur 40 hari hingga tunas terlihat memiliki 5 helai daun, bibit daun bawang dapat dipindahkan ke dalam polybag yang telah tersedia dengan pembuatan lubang tanam pada tiap polybag sedalam 10 cm dari permukaan tanah.

Pada setiap polybag ditanam 2 bibit daun bawang. Pemindahan bibit daun bawang dilakukan pada sore hari agar mengurangi penguapan. Tanah yang digunakan merupakan media yang sudah sudah diberi perlakukan di awal.

3.4.8. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan yaitu meliputi:

1. Penyiraman dilakukan setiap pukul 5 sore hari menggunakan gelas aqua yang berukuran 220 ml tanaman-1 untuk memenuhi kebutuhan air pada tanaman.

Penyiraman yang berlebihan dapat menyebabkan busuk akar sehingga tanaman menjadi layu dan mati. Selain itu juga akan mendorong pertumbuhan cendawan dan bakteri yang dapat menyerang tanaman. Sebaliknya, pengairan yang kurang juga menyebabkan pertumbuhan bawang daun lambat, daun cepat tua dan kerontokkan bunga.

2. Penyulaman dilakukan ketika tanaman daun bawang daun mati sehingga harus diganti dengan yang baru. Bibit sulaman yang digunakan yaitu berumur sama dengan tanaman bawang daun pada saat disemai.

3. Pembersihan gulma pada media tanam yang dilakukan menggunakan tenaga manual dengan mencabut gulma disekitar tanaman agar tidak terjadi persaingan unsur hara.

3.4.9. Inokulasi Cendawan Collectotrichum gloeosporioides pada Tanaman Bawang Daun

Inokulasi dilakukan dengan cara di semprot dan dioles pada tanaman yang berumur 7 HST yang telah dilukai dengan cara pertama menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk menginokulasi yaitu jarum, kapas, gelas kecil, cattonbud, aquades, dan cendawan C. gloeosporioides. Alat yang digunakan harus dalam keadaan steril agar tidak terkontaminasi dengan cendawan lain selain

(18)

cendawan C. gloeosporioides. Kedua, isolat cendawan C. gloeosporioides ditimbang sebanyak 2 g dan diencerkan pada 10 ml aquades di tabung reaksi dan digojok selama 30 detik, dilakukan sebanyak 20 kali untuk disemprotkan pada tiap tanaman bawang daun. Setelah itu untuk yang dioles pada tanaman bawang daun pada satu cawan petri yang berisi cendawan C. gloeosporioides di encerkan dengan 10 ml aquades. Sebelum melakukan inokulasi, lukai terlebih dahulu daun yang akan diinokulasi. Setiap daun dilukai dua bagian yaitu ujung daun dan bagian tengah daun masing-masing sebanyak 10 tusuk menggunakan jarum yang sudah steril.

kemudian disemprotkan pada tanaman per 10 ml dan dioleskan juga pada tiap rumpun daun yang sudah dilukai. Tanaman diinkubasi selama 14 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari dari hari pertama inkubasi cendawan pada tanaman hingga munculnya gejala awal penyakit pada tanaman bawang daun.

3.4.10. Aplikasi Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR)

Pengaplikasian PGPR pada tanaman bawang daun diaplikasikan 14 hari setelah inokulasi (HSI) dilakukan 1 kali seminggu selama 5 minggu, dengan perlakuan di awal (F0, F1, F2, F3, dan F4) dan diaplikasikan dengan menggunakan teknik aplikasi semprot pada bagian daun serta permukaan tanah sebanyak 10 ml tanaman-

1. Kegiatan aplikasi dilakukan dengan menggunakan hand spayer.

3.4.11. Panen

Tanaman daun bawang siap dipanen setelah berumur 76 HST. Ciri-ciri daun bawang daun yang sudah siap dipanen yaitu dilihat dari daunnya yang memiliki rumpun yang banyak dan sebagian dari warna daun telah menguning. Tanaman bawang daun dipanen dengan cara mencabut batang tanaman sampai akar secara berhati-hati.

3.5. Variabel Pengamatan

3.5.1. Uji Daya Hambat Bakteri Endofit Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) akar bambu

Pengamatan dilihat dari bakteri endofit yang menghambat pertumbuhan antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides). Zona hambat di ukur dari sisi vertikal dan dan horizontal menggunakan penggaris setiap 2 hari sekali selama 14

(19)

hari. Daya hambat (DH) dapat diukur menggunakan rumus menurut Ningsih et al., (2016) :

DH = r1−r2

r1 x 100 %

Keterangan:

DH = Daya Hambat (%)

r1 = jari-jari koloni jamur patogen yang menjauhi koloni bakteri antagonis.

r2 = jari-jari koloni jamur patogen yang mendekati koloni bakteri antagonis.

Nilai daya hambat dikategorikan sebagai berikut menurut Sakul et al., 2020:

DH ≥ 20 mm = sangat kuat DH 10 – 20 mm = kuat

DH 5 – 10 mm = sedang DH < 5 mm = lemah

3.5.2. Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa

Pengamatan perkembangan penyakit Antraknosa mulai diamati setelah 14 hari inokulasi cendawan C. gloeosporioides, dan dilakukan setiap 1 minggu sekali selama 5 minggu pada tanaman. Intensitas penyakit dapat dihitung menggunakan rumus menurut Sastrahidayat (2011) yaitu:

IP = ∑ (ni x vi)

Z x N x 100 % Keterangan :

IP = intensitas penyakit (%) n = jumlah skor yang sama v = nilai skor

Z = nilai skor tertinggi

N = jumlah daun yang diamati i = 0, 1, 2, 3, …. , n

Semua daun diamati gejalanya dengan menggunakan kategori sebagai berikut (Sastrahidayat, 2011):

1 = tidak bergejala

2= Daun menguning (hanya indikasi tanaman sakit) 3 = Gejala ringan, pada daun terjadi nekrosis <20%

4 = Gejala sedang, pada daun terjadi nekrosis 21 - 45%

(20)

5 = Gejala meluas, pada daun terjadi nekrosis >45%

6 = Gejala ringan, pada daun terjadi nekrosis <20%; dan adanya nekrosis pada petiole dan batang sepanjang <3 mm

7 = Gejala sedang, pada daun terjadi nekrosis 21 - 45%; dan adanya nekrosis pada petiole dan batang sepanjang 3 – 5 mm

8 = gejala meluas, pada daun terjadi nekrosis >45%; dan adanya nekrosis pada petiole dan batang sepanjang >5 mm

9 = tanaman mati.

3.5.3. Uji efektifitas Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) pada Penyakit Antraknosa

Pengamatan efektifitas PGPR untuk menekan penyakit Antraknosa yang sebabkan oleh cendawan Colectotrichum gloeosporioides dengan kategori efektifitas > 50 % baik, dapat dihitung menggunakan rumus menurut Laba (2012) sebagai berikut:

Ep = Ca−Ta

Ca x 100 % Keterangan :

Ep = efektivitas pengendalian (%) Ca = intensitas penyakit pada control Ta = intensitas serangan pada perlakuan 3.5.4. Jumlah Daun per Rumpun

Pengamatan jumlah daun per rumpun pada tanaman daun bawang daun dilakukan 1 kali pada minggu terakhir menjelang panen. Jumlah daun yang diamati dengan menghitung jumlah daun tanaman daun bawang daun yang muncul.

3.5.5. Jumlah Daun yang Terserang Antraknosa

Jumlah daun per rumpun merupakan rata-rata jumlah daun tiap rumpun tanaman sampel yang dihitung dari daun yang sudah terpisah dari ujung batang sampai dengan daun yang masih berwarna hijau. Pengamatan jumlah daun bawang daun yang terserang antraknosa dilakukan pada 2 HSI diamati 2 hari sekali selama

(21)

14 hari. Daun tanaman bawang daun yang terserang antraknosa merupakan rata- rata jumlah serangan penyakit pada tanaman setiap petak percobaan.

3.5.6. Tingkat Kemasaman Tanah (pH)

Tingkat kemasaman tanah merupakan indikator untuk mengetahui tingkat keasaman tanah. Pengukuran kemasaman tanah menggunakan pH meter untuk mengetahui tingkat ke asaman media tanah yang digunakan pada penelitian.

Pengukuran dilakukan sebelum tanam dan setelah tanam.

3.5.7. Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman merupakan rata-rata dari tinggi tanaman persampel setiap petak percobaan. Pengukuran dilakukan dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tunas tanaman bawang daun. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 1 minggu sekali selama 5 minggu dimulai dari 1 minggu setelah tanam.

3.5.8. Berat Basah Tanaman (g tanaman-1)

Berat basah tanaman didapat dari penimbangan bobot pertanaman setelah panen pada saat akhir pengamatan menggunakan timbangan digital.

3.5.9. Berat Kering Tanaman (g tanaman-1)

Berat kering tanaman didapat setelah dioven 1 x 24 jam dengan suhu 105 oC, kemudian ditimbang menggunakan tinbangan digital.

3.6. Analisis Data

Data hasil pengamatan akan dianalisis menggunakan uji analisis ragam pada taraf α = 5 % dan 1 %. Apabila berpengaruh nyata akan dilanjutkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) α = 5 %.

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Daya Hambat Bakteri Endofit Plant Growth Promothing Rhizobacteria pada Penyakit Antraknosa (Collectotrichum gloeosporioides)

Sebelum dilakukan uji daya hambat isolat bakteri endofit PGPR pada isolat Collectotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa, maka kedua isolat tersebut di isolasi di ambil di alam.

Isolat cendawan C. gloeosporioides merupakan hasil isolasi dari bagian tanaman bawang daun yaitu batang dan tangkai daun yang bergejala antraknosa yang di ambil dari per tanaman petani di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya. Hasil pengamatan makroskopis memiliki ciri-ciri, yaitu koloni miselium pertumbuhan awalnya berwarna putih kemudian semakin tua berubah warna menjadi krem atau abu-abu, hifa kasar dan berserabut serta tepinya bergerigi. Sesuai pendapat Rangkuti, Wiyono dan Widodo (2017) bahwa koloni C. gloeosporioides berwarna koloni tampak atas krem atau abu-abu, dengan warna koloni tampak bawah cokelat dengan cincin konsentris. Adapun pengamatan mikroskopis C. gloeosporioides memiliki hifa mempunyai konidia hialin, bentuknya silinder yang pada ujungnya berbentuk tumpul, terkadang agak jorong dengan ujung yang berntuknya bulat dan pangkal yang sempit terpancung, dan tidak bersekat. C. gloeosporioides mempunyai konidia hialin, bentuknya silinder yang pada ujungnya berbentuk tumpul, terkadang agak jorong dengan ujung yang berntuknya bulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, memiliki ukuran 9-24 x 3-6 µm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid, bernentuk silinder, hialin berwarna agak kecoklatan (Semangun, 2008).

Gambar 6. Hasil isolasi dan foto mikroskopis Cendawan Collectotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa pada tanaman bawang daun (A = koloni miselium umur 5 hsi, B = koloni miselium umur 14 hsi dan C =makro dan mikro konidia pembesaran 400x)

A B C

(23)

Isolat bakteri endofit PGPR yang diambil di rizosfer akar bambu dengan bentuk bakteri berbentuk batang (bacillus), memiliki kemampuan bergerak/motilitas dapat dilihat di bawang mikroskop dengan pembesaran 1000x (Gambar 7). Menurut Banna dan Hartati (2018), bakteri endofit dan rizosfer tanaman bambu memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai sumberdaya hayati bagi pertanian, hal ini disebabkan karena kemampuannya sebagai pemacu pertumbuhan, biokontrol dan tahan terhadap penyakit. Adapun mekanisme penghambatan fitopatogen oleh bakteri endofit dilakukan melalui kompetisi antara bakteri dan patogen untuk memperoleh substrat pertumbuhan, produksi senyawa antibiotik dan antifungal, produksi enzim ekstraselular berupa kitinase untuk melisiskan sel patogen dan degradasi asam fusarat yang dihasilkan oleh jamur patogen, serta produksi komponen volatil yang berperan sebagai molekul penanda interaksi antara sel tanaman dan mikroba.

Gambar 7. Hasil isolasi dan foto mikroskopis bakteri endofit PGPR dari rizosfer akar bambu (A = goresan isolat bakteri di cawan petri dan B = sel bakteri berbentuk bacillus pembesaran 1000x)

Hasil pengukuran dan perhitungan uji bakteri endofit PGPR dari rizosfer akar bambu terhadap isolat patogen cendawan C. gloeosporioides hasil isolasi dari bagian tanaman bawang daun pada media NA umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hari setelah inokulasi (his) dapat dilihat pada Lampiran 3a dan 3b dan didokumentasikan pada Gambar 8. Adapun kemampuan daya hambat isolat bakteri endofit PGPR terhadap isolat cendawan C, gloeosporioides penyebab penyakit Antraknosa secara invitro pada media NA umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hsi disajikan pada Gambar 9.

A B

(24)

(2 hsi) (4 hsi) (6 hsi) (8 hsi)

(10 hsi) (12 hsi) (14 hsi)

Gambar 8. Penampakan hasil uji in vitro isolat bakteri endofit PGPR (1) terhadap isolat cendawan C. gloeosporioides (2) umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hsi.

Gambar 9. Daya hambat (%) isolat bakteri endofit PGPR terhadap isolat cendawan Collectotrichum gloeosporioides penyebab penyakit Antraknosa secara invitro umur 2, 4, 6, 8, 10, 12 dan 14 hsi.

6,7 % 10,5%

27,4 % 29,2%

33,4%

46,2%

61,6%

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0

2 4 6 8 10 12 14

% Daya hambat

umur (hari setelah inokulasi/hsi)

1 2

(25)

Dari Gambar 8, diketahui aktivitas penghambatan isolat bakteri PGPR terhadap isolat cendawan C. gloeosporioides dimulai umur 8 hsi dan berlanjut 10

hsi, 12 hsi dan 14 hsi dimana hifa dan miselium cendawan patogen C. gloeosporioides terdesak mundur akibat invasi dan hambatan isolat bakteri

PGPR. Hal ini diperlihatkan pada Gambar 9, daya hambat isolat bakteri PGPR meningkat dari 29,2 % (8 hsi) menjadi 33,4 % (10 hsi), 46,2 % (12 hsi) dan 61,6 % (14 hsi). Mekanisme penghambatan hifa jamur oleh bakteri endofit ditandai dengan terjadinya lisis pada permukaan sel hifa (Rakholiya dan Khunt, 2015 dalam Banna dan Hartati, 2018). Menurut Prastya, dkk (2014), kategori daya hambat yang kuat yaitu > 40%; sedang (40%<x>30%), lemah (<30%), dan tidak memiliki kemampuan (0%). Berdasarkan hal tersebut, kemapuan bakteri endofit PGPR dalam menghambat patogen cendawan C. gloeosporioides secara in vitro tergolong kuat utamanya pada 12 hsi (46,2%) dan 14 hsi (61,6%).

Menurut Lodewyckx et al. (2002 dalam Yulianti, 2013), endofit yang berperan sebagai agen pengendali hayati terdiri atas golongan bakteri, jamur, dan aktinomisetes. Kelompok bakteri endofit antara lain dari genus Bacillus, Pseudomonas, dan Burkholderia. Bakteri-bakteri tersebut dikenal menghasilkan antibiotik, antikanker, antijamur, antivirus, senyawa volatil, bahkan insektisida.

4.2. Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa

Data intensitas serangan cendawan C. gloeosporioides akibat pemberian bakteri endofit PGPR pada tanaman bawang daun umur 1, 2, 3, 4 dan 5 MST dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan hasil analisis ragam dapat dilihat pada

Lampiran 5. Hasil analisis ragam intensitas serangan cendawan jamur C. gloeosporioides akibat pemberian bakteri endofit PGPR pada tanaman bawang

daun menunjukkan berpengaruh nyata pada umur 2, 3, 4, dan 5 MST, hanya umur 1 MST yang tidak. Nilai rata-rata dan hasil uji BNJ 5% terhadap nilai rata-rata intensitas serangan penyakit antraknosa pada tanaman bawang daun yang berpengaruh nyata akibat pemberian bakteri endofit PGPR disajikan pada Tabel 2.

(26)

Tabel 2. Rata-rata intensitas serangan penyakit Antraknosa (%) pada tanaman bawang daun akibat pemberian bakteri endofit PGPR

Perlakuan PGPR

Intensitas Penyakit (%) per minggu ke-

1 2 3 4 5

F0 (kontrol) 19,10 22,13 b 24,93 b 27,63 b 36,58 b F1 (10 ml.L-1) 18,25 19,20 ab 24,58 ab 25,30 ab 31,70 ab F2 (15 ml.L-1) 18,05 19,83 ab 20,30 ab 22,60 ab 24,33 ab F3 (20 ml.L-1) 17,93 18,80 ab 21,45 ab 21,33 ab 21,40 a F4 (25 ml.L-1) 14,98 15,23 a 15,95 a 16,13 a 20,70 a

BNJ 5% - 5,92 8,63 9,82 14,27

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada umur yang sama, tidak berbeda nyata menurut BNJ 5%

Berdasarkan Tabel 2, diketahui rata-rata intensitas serangan penyakit antraknosa pada tanaman bawang daun akibat pemberian bakteri endofit PGPR yang berpengaruh nyata, menunjukkan pemberian PGPR konsentrasi 25 ml.L-1 (F4) umur 2, 3, dan 4 MST dan bersama konsentrasi 20 ml.L-1 (F3) umur 5 MST mampu menekan intensitas serangan penyakit antraknosa yang lebih rendah yaitu masing- masing sebesar 20,7% dan 21,40% dan berbeda nyata utamanya dibandingkan tanpa diberi PGPR (kontrol) dengan intensitas serangan sebesar 36,58%, namun tidak berbeda nyata dibandingkan pemberian PGPR dengan konsentrasi yang lebih rendah 15 ml.L-1 (F2) sebesar 24,33 % dan 10 ml.L-1 (F1) sebesar 31,70%. Dari hal ini diketahui pula bahwa terjadi penekanan intensitas serangan penyakit antraknosa

yang lebih rendah seiring dengan peningkatan konsentrasi pemberian PGPR dari 10 ml.L-1 menjadi 15, 20 sampai 25 ml.L-1.

Adanya penurunan intensitas serangan penyakit antraknosa seiring dengan peningkatan konsentrasi pemberian PGPR sampai 25 ml.L-1 menunjukkan adanya kemampuan dari bakteri endofit PGPR yang diaplikasikan pada tanaman bawang daun mampu berperan untuk mengurangi intensitas serangan patogen penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan C. gloeosporioides (Gambar 10).

Sesuai pernyataan Yulianti (2013) bahwa keberadaan bakteri endofit dapat menghambat pekembangan patogen karena adanya siderofor atau senyawa metabolit yang beracun bagi patogen, atau terjadinya kompetisi ruang dan nutrisi, mereduksi produksi toksin yang dihasilkan oleh patogen sehingga dapat menginduksi ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Menurut Weller

(27)

(1988, dalam Budi, Mariana dan Fachruzi, 2011) mekanisme pertahanan tanaman dapat diinduksi/dipacu oleh adanya agens antagonis yang bersifat endofit.

Gambar 10. Intensitas serangan cendawan C. gloeosporioides penyebab penyakit antraknosa pada tanaman bawang daun (a = skor 2, b = skor 5 dan c = skor 9)

4.3. Uji Efektifitas Plant Growth Promothing Rhizobacteria (PGPR) pada Penyakit Antraknosa

Berdasarkan nilai rata-rata intensitas serangan penyakit Antraknosa (%) pada tanaman bawang daun akibat pemberian bakteri endofit PGPR (Tabel 2), dapat dihitung tingkat efektifitas bakteri endofit PGPR dalam mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan C. gloeosporioides (Tabel 3). Tingkat efektifitas PGPR dalam pengendalian penyakit antraknosa (%) oleh C. gloeosporioides pada tanaman bawang daun ini lebih jelas disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 11.

Tabel 3. Tingkat efektifitas PGPR dalam pengendalian penyakit antraknosa (%) oleh C. gloeosporioides pada tanaman bawang daun

Perlakuan PGPR

Efektifitas PGPR Terhadap Penyakit Antraknosa (%) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Rata-rata

F1 (10 ml.L-1) 4,45 13,22 1,40 8,42 13,33 8,16

F2 (15 ml.L-1) 5,50 10,40 18,56 18,19 33,49 17,23

F3 (20 ml.L-1) 6,15 15,03 13,94 22,81 41,49 19,88

F4 (25 ml.L-1) 21,60 31,19 36,01 41,63 43,40 34,76

Dari Gambar 11 jelas terlihat tingkat efektifitas PGPR dalam mengendalikan penyakit antraknosa oleh C. gloeosporioides pada tanaman bawang

a

b c

(28)

daun, khususnya diperlihatkan oleh pemberian PGPR konsentrasi 25 ml.L-1 (F4) yang secara konsisten dibanding konsentrasi yang lebih rendah yaitu 20, 15 dan 10

ml.L-1 (F3, F2 dan F1) dalam mengendalikan penyakit antraknosa oleh C. gloeosporioides pada tanaman bawang daun. Tingkat konsistensi perlakuan F4

terlihat meningkat keefektifannya dari umur 1, 2, 3, 4, dan 5 MST dengan tingkat efektifitas pengendalian penyakit antraknosa yang meningkat secara progresif dari 21,60%, 31,19%, 36,01%, 41,63% dan 43,40% dengan rata-rata tingkat efektifitas sebesar 34,76% dan ini lebih tinggi dibandingkan perlakuan F3, F2 dan F1 dengan rata-rata tingkat efektifitas yang lebih rendah yaitu 19,88%, 17,88% dan 8,16%.

Gambar 11. Grafik tingkat efektifitas PGPR dalam pengendalian penyakit antraknosa (%) oleh C. gloeosporioides pada tanaman bawang daun Kemampuan bakteri endofit sebagai pengendali hayati bagi patogen penyakit tanaman disampaikan oleh Lodewyckx et al. (2002 dalam Yulianti, 2013), bahwa endofit yang berperan sebagai agen pengendali hayati terdiri atas golongan bakteri, jamur, dan aktinomisetes. Kelompok bakteri endofit antara lain dari genus Bacillus, Pseudomonas, dan Burkholderia. Bakteri-bakteri tersebut dikenal menghasilkan antibiotik, antikanker, antijamur, antivirus, senyawa volatil, bahkan insektisida.

Menurut Resti, Sulyanti dan Reflin (2018), bakteri endofit dapat berperan sebagai agen biokontrol, menekan perkembangan patogen, beberapa jenis

4,45

13,22

1,40

8,42

13,33 5,50

10,40

18,56

18,19

33,49

6,15

15,03 13,94 22,81

41,49

21,60

31,19

36,01

41,63 43,40

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00

1 2 3 4 5

% Efektifitas PGPR

F1 F2 F3 F4

Umur

(29)

nematoda dan serangga melalui mekanisme langsung ataupun tidak langsung.

Mekanisme langsung dengan cara menghasilkan senyawa antimikroba, siderophor dan enzim litik, berkompetisi dalam memperoleh zat besi, nutrisi dan ruang, serta parasitisme. Secara tidak langsung melalui mekanisme induksi ketahanan sistemik pada tanaman inang. Induksi ketahanan sistemik (Induced Systemic Resistance = ISR) adalah interaksi bakteri tertentu dengan akar yang memungkinkan tanaman tersebut mengembangkan ketahanan terhadap patogen potensial.

Bakteri endofit sebagai agen biokontrol memiliki kelebihan dibandingkan agen biokontrol lainnya karena keberadaannya dalam jaringan tanaman, sehingga mampu bertahan terhadap tekanan biotik dan abiotik (Hallman et al. 1997 dalam Resti dkk., 2018).

4.4. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Bawang Daun 4.4.1. Tinggi Tanaman

Data tinggi tanaman pada tanaman bawang daun umur 1, 2, 3, 4 dan 5 MST akibat pemberian PGPR dapat dilihat pada Lampiran 7, sedangkan hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis ragam tinggi tanaman bawang daun akibat pemberian PGPR menunjukkan berpengaruh nyata hanya pada umur 2 MST, dan tidak berpengaruh nyata pada umur 1, 3, 4, dan 5 MST. Nilai rata-rata dan hasil uji BNJ 5% terhadap tinggi tanaman bawang daun yang berpengaruh nyata akibat pemberian bakteri endofit PGPR disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Tinggi tanaman (cm) bawang daun akibat pemberian PGPR

Perlakuan PGPR

Tinggi Tanaman (cm) per minggu ke-

1 2 3 4 5

F0 (kontrol) 8,1 21,7 a 33,9 40,7 47,4

F1 (10 ml.L-1) 7,9 25,9 b 36,3 44,8 47,9

F2 (15 ml.L-1) 8,0 30,8 c 34,5 43,4 49,1

F3 (20 ml.L-1) 8,1 30,8 c 35,9 46,8 51,5

F4 (25 ml.L-1) 8,6 31,0 c 39,5 46,8 53,0

BNJ 5% - 1,71 - - -

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada umur yang sama, tidak berbeda nyata menurut BNJ 5%

Berdasarkan Tabel 4, hasil uji BNJ 5% terhadap tinggi tanaman bawang daun akibat pemberian bakteri endofit PGPR yang berpengaruh nyata pada umur 2

(30)

MST menunjukkan bahwa pemberian 25 ml.L-1 (F4) memperlihatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi dan ini berbeda nyata dibandingkan tanpa diberi PGPR (kontrol) bahkan terhadap pemberian 10 ml.L-1 (F1), namun tidak berbeda nyata terhadap pemberian 20 dan 15 ml.l-1 (F3 dan F2). Walaupun tidak berpengaruh nyata pemberian PGPR pada tanaman bawang daun umur berikut (3, 4 dan 5 MST), namun terlihat adanya kecenderungan perlakuan F4 memperlihatkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menujukkan pemberian bakteri endofit PGPR dengan konsentrasi yang tepat dapat memacu pertumbuhan tanaman, sesuai pernyataan Pappas et al. (2018, dalam Saputri dkk., 2019) bahwa keunggulan endofit selain mengatasi patogen biotik dan abiotik dengan mengubah ketahanan tanaman, juga mendukung pertumbuhan tanaman.

Ryan et al., (2007 dalam Kurniawan, 2018) menyatakan bakteri endofit dapat membantu dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan peningkatan serapan mineral, fiksasi nitrogen dan metabolisme lainnya. Gadiho et al., (2010 dalam Kurniawan, 2018) bakteri endofit yang berpotensi sebagai pemacu tumbuh tanaman menghasilkan siderofor, phospat, dan senyawa hormon.

4.4.2. Jumlah Daun

Data jumlah daun bawang daun 5 MST akibat pemberian PGPR dapat dilihat pada Lampiran 9a, sedangkan hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 9b. Hasil analisis ragam jumlah daun bawang daun akibat pemberian PGPR menunjukkan berpengaruh nyata. Nilai rata-rata dan hasil uji BNJ 5%

terhadap jumlah daun bawang daun akibat pemberian bakteri endofit PGPR disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah daun (helai) bawang daun sebelum panen akibat pemberian PGPR

Perlakuan PGPR Jumlah Daun (helai)

F0 (kontrol) 11,0 a

F1 (10 ml.L-1) 11,3 ab

F2 (15 ml.L-1) 17,5 bc

F3 (20 ml.L-1) 18,8 c

F4 (25 ml.L-1) 20,5 c

BNJ 5% 6,12

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada umur yang sama, tidak berbeda nyata menurut BNJ 5%

(31)

Hasil uji BNJ 5% terhadap jumlah daun bawang daun sebelum panen akibat pemberian bakteri endofit PGPR menunjukkan bahwa pemberian 25 ml.L-1 (F4) memperlihatkan jumlah daun yang lebih banyak yaitu rata-rata 20,5 helai dan ini berbeda nyata dibandingkan tanpa diberi PGPR (kontrol) dengan rata-rata jumlah daun hanya 11,0 helai bahkan terhadap pemberian 10 ml.L-1 (F1) dengan rata-rata 11,3 helai, namun perlakuan F4 ini tidak berbeda nyata terhadap pemberian 20 dan 15 ml.l-1 (F3 dan F2) dengan rata-rata masing-masing 18,8 helai dan 17,5 helai.

Adanya penambahan jumlah daun tanaman bawang daun yang lebih baik akibat pemberian bakteri endofit PGPR berakibat terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan karena dengan jumlah daun yang lebih banyak akan menyebabkan luas daun tanaman juga bertambah, luas daun berhubungan langsung terhadap peningkatan fotosintesis tanaman dengan hasil akhir akumulasi karbohidrat (fotosintat) pada tanaman juga lebih banyak untuk digunakan pertumbuhan selanjutnya dan juga peningkatan biomassa (bobot) tanaman. Fitter dan Hay (1991 dalam Darmawan, 2015), menyatakan bahwa daun merupakan salah satu organ penting dalam tanaman. Daun merupakan alat yang digunakan untuk fotosintesis, hasil dari fotosintesis atau fotosintat digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman yang mempunyai luas daun dan lebih efesien dalam penyerapan sinar matahari yang bermanfaat dalam proses fotosintesis dengan demikian akan mempengaruhi bobot tanaman.

4.4.3. pH Tanah

Data hasil pengukuran pH tanah tanah gambut yang digunakan dalam percobaan sebelum dan setelah diberi dolomit dan pupuk kandang dapat dilihat pada Lampiran 11, sedangkan nilai rata-rata hasil pengukurannya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. pH tanah tanah gambut yang digunakan dalam peenelitian sebelum dan setelah diberi dolomit dan pupuk kandang

Sampel Tanah

Derajat Keasaman (pH) Sebelum diberi dolomit

dan pupuk kandang

Setelah diberi dolomit dan pupuk kandang

Tanah Gambut 3,89 6,56

(32)

Terjadinya perubahan pH tanah gambut yang digunakan dalam penelitian dari rata-rata 3,89 sebelum diberi dolomit dan pupuk kandang, menjadi rata-rata 6,56 setelah diberi dolomit dan pupuk kandang menjadi faktor utama yang berpengaruh dalam mendukung pertumbuhan tanaman bawang daun yang lebih.

Menurut Krisnohadi (2011, dalam Dewi, 2015) bahwa tingkat kemasaman tanah (pH) dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh perakaran tanaman dimana setiap unsur hara di dalam tanah ketersediaannya secara maksimal dijumpai pada kisaran tertentu. Secara teoritis pH yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman antara 6,0 – 7,0, karena pada kisaran pH tersebut ketersediaan unsur-unsur hara tanaman terdapat dalam jumlah besar, karena pada kisaran pH ini kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air sehingga mudah diserap akar tanaman.

Demikian pula mikroorganisme tanah akan menunjukan aktivitas terbesar pada kisaran pH ini. Anonim (2021) juga menyampaikan bahwa anah dengan pH netral berada pada angka 6,5 hingga 7,8 dan ini meruapakan pH ideal untuk kandungan senyawa organik, mikroorganisme, unsur hara dan mineral dalam kondisi yang optimal.

Kondisi pH yang meningkat yang mendekati netral 6,56 akibat pemberian dolomit dan pupuk kandang ini akan berdampak terhadap pemberian bakteri endofit PGPR dalam aktivitasnya menekan serangan patogen C. gloeosporioides pada tanaman bawang daun dan juga dapat memacu pertumbuhan tanaman itu sendiri.

Sesuai hasil penelitian Rizki (2016), bahwa pada pH 6,5 – 7,5 bakteri endofit Bacillus secara invitro membentuk zona hambat yang optimum di sekeliling bakteri uji (patogen) Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Menurut Schlegel dan Schmidt, (1994, dalam Rizki, 2016), adanya zona hambat yang terbentuk disekeliling bakteri menandakan adanya kemampuan isolat bakteri endofitik menghasilkan metabolit sekunder berupa senyawa antibiotika yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji.

4.4.4. Produksi Tanaman

Data hasil panen bawang daun berupa berat segar saat panen dan berat kering setelah panen akibat pemberian PGPR dapat dilihat pada Lampiran 10a, sedangkan hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 10b. Hasil analisis

(33)

ragam berat segar bawang daun akibat pemberian PGPR menunjukkan berpengaruh nyata, namun tidak berpengaruh nyata pada berat kering. Nilai rata-rata dan hasil uji BNJ 5% terhadap berat segar dan berat kering bawang daun yang berpengaruh nyata akibat pemberian bakteri endofit PGPR disajikan pada Tabel 7.

Berdasarkan Tabel 7, hasil uji BNJ 5% terhadap berat segar tanaman bawang daun saat yang berpengaruh nyata akibat pemberian bakteri endofit PGPR menunjukkan bahwa pemberian 25 ml.L-1 (F4) memperlihatkan berat segar panen yang lebih tinggi yaitu rata-rata 32,57 gram dan ini berbeda nyata dibandingkan tanpa diberi PGPR (kontrol) dengan rata-rata berat segar terendah yaitu 21,21 gram.

Namun perlakuan F4 ini tidak berbeda nyata terhadap pemberian konsentrasi PGPR lainnya yaitu 20, 15 dan 10 ml.L-1 (F3, F2 dan F1) dengan rata-rata berat segar saat panen masing-masing 31, 65 gram, 30,00 gram dan 27,67 gram.

Tabel 7. Hasil panen bawang daun (g) akibat pemberian PGPR

Perlakuan PGPR

Hasil panen bawang daun (g) Berat segar Berat kering

F0 (kontrol) 21,21 a 2,57

F1 (10 ml.L-1) 27,67 ab 3,46

F2 (15 ml.L-1) 30,00 ab 3,60

F3 (20 ml.L-1) 31,65 b 3,75

F4 (25 ml.L-1) 32,57 b 4,41

BNJ 5% 9,74 -

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada umur yang sama, tidak berbeda nyata menurut BNJ 5%

Tanaman bawang daun merupakan salah satu jenis tanaman sayuran hasil panen utamanya adalah bagian daun sehingga proses pertumbuhan tanaman bawang daun yang harus terpenuhi suplai unsur haranya sampai pada fase vegetatif saja.

Dari hasil panen bawang daun secara nyata dapat meningkatkan hasil berat segar tanaman dengan adanya pemberian bakteri endofit PGPR dibandingkan kontrol (Tabel 7), yaitu terjadi peningkatan hasil panen berat segar sebesar 30% – 54%.

Adanya peningkatan hasil panen berat segar tanaman bawang daun mencapai 30% - 54% dibandingkan tanpa diberi PGPR (kontrol) tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya peran PGPR dalam memacu pertumbuhan tanaman bawang daun. Menurut Munif, Wiyono dan Suwarno (2012), sebagai pemacu

(34)

pertumbuhan tanaman bakteri endofit dapat berperan sebagai pupuk hayati, rhizoremediators , phytostimulators dan melindungi tanaman dari cekaman abiotik dan stress (Induced Systemic Tolerance = induksi toleransi sistemik). Bakteri endofit membantu ketersediaan hara bagi inangnya melalui fiksasi nitrogen dan kemampuan melarutkan fosfat, menyediakan unsur Fe melalui siderophor, dan menghasilkan fitohormon seperti IAA, giberelin dan sitokinin.

Mekanisme peningkatan pertumbuhan tanaman oleh bakteri endofit dapat terjadi melalui beberapa cara di antaranya melarutkan senyawa fosfat, fiksasi nitrogen (Thakuria et al., 2004) merangsang pertumbuhan akar lateral dan menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auxin dan sitokinin (Khalid et al., 2004).

Fosfat merupakan unsur mikro penting yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Beberapa bakteri endofit diketahui dapat melarutkan fosfat, sehingga fosfat menjadi tersedia dan mudah diserap oleh tanaman (Resti, dkk., 2018). Menurut Vasudevan et al., (2002), bakteri endofit dapat merangsang tanaman untuk membentuk akar lateral. Jumlah akar yang meningkat dapat memperluas penyerapan unsur hara. Di samping dapat meningkatkan ketersediaan beberapa nutrisi, bakteri endofit dapat meningkatkan hormon pertumbuhan seperti auksin (indol asetic acid).

Ryan et al. (2008) melaporkan beberapa bakteri dapat merangsang pertumbuhan langsung melalui sintesa senyawa yang membantu penyerapan nutrien dari lingkungannya termasuk sintesa indol asetat dan giberelin. Salah satu mekanismenya adalah dengan menghasilkan hormon pertumbuhan seperti indole- 3-acetic acid (IAA) dan senyawa auksin yang salah satunya berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman. Selain senyawa IAA, bakteri endofit juga dapat menghasilkan sitokinin seperti dihydrozeatin (DHZR), isopentenyl adenosine (IPA) dan transzeatin ribose (ZR) yang diduga berperanan dalam memacu pertumbuhan tanaman.

(35)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pemberian bakteri endofit PGPR berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan antraknosa (C. gloeosporioides) pada tanaman bawang daun umur 2, 3, 4, dan 5 MST.

2. Konsentrasi pemberian bakteri endofit PGPR yang efektif untuk menurunkan serangan antraknosa (C. gloeosporioides) pada tanaman bawang daun adalah 25 ml.L-1.

3. Pengaruh nyata pemberian bakteri endofit PGPR terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman bawang daun (tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot segar saat panen).

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disarankan sebagai berikut : 1. Dalam budidaya tanaman bawang daun dan menekan adanya serangan

penyakit antraknosa disarankan untuk pemberian bakteri endofit PGPR pada konsentrasi 25 ml.L-1.

2. Perlu melakukan penelitian lanjutan dengan terus melakukan eksplorasi mikroba endofit lainnya dan melakukan uji daya hambat secara in vitro maupun in vivo dalam perannya sebagai PGPR untuk mendapatkan peran optimalnya dalam menekan mikroba patogen maupun sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.

Gambar

Gambar 1. Collectotrichum gloeosporioides  Sumber : google.com
Gambar 2. Daun Bawang yang Terserang Collectotrichum  gloeosporioides
Gambar 3. Metode Isolasi Cendawan Collectotrichum gloeosporioides  Cendawan  C.  gloeosporioides  dimurnikan  dengan  cara  memotong  daun  bawang  yang  terkena  antraknosa  dengan  ukuran  1  x  1  cm
Gambar 5. Metode Uji Antagonisme
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

 Memberitahukan tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, dan KKM pada pertemuan yang berlangsung, Pembagian kelompok belajar, Menjelaskan mekanisme

Contoh yang akan disajikan untuk menggambarkan penggunaan rasio keuangan untuk analisis laporan keuangan adalah menggunakan Laporan Perusahaan Bartlett yang telah

Walaupun harga yang dikenakan oleh UniFi adalah tinggi untuk 10 mbps dan 20 mbps berbanding dengan Indihome, namun untuk 30 mbps, secara jelasnya dapat dilihat bahawa

Akan tetapi, berbagai riset tentang praktik pilkada selama satu dekade terakhir menemukan bahwa ranah kebebasan politik yang diimpikan tersebut ternyata telah 'dibajak'

Saat ini terdapat dua buah dermaga di kawasan Danau Buatan. Secara umum, dermaga berfungsi sebagai tempat berlabuh kendaraan air, tempat menaikkan dan menurunkan

Pengaruh yang ditimbulkan oleh tidak mampunya pengurus dalam mengatur waktu juga akan dapat berdampak didalam aktivitas belajar pengurus organisasi, dimana ketika

Pemanfaatan web berbasis sistem informasi geografis ini bertujuan untuk menyajikan lokasi serta profil taman kota yang mana nantinya akan dipadukan dengan kualitas taman kota

Pendidikan Agama Islam di sekolah atau madrasah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan,