• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP EROSI, SEDIMENTASI DAN DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI TANGKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP EROSI, SEDIMENTASI DAN DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI TANGKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP EROSI, SEDIMENTASI DAN DEBIT

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI TANGKA

Oleh :

MUHAMMAD DAHRI SYAHBANI R M111 10 276

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

ii

(3)

iii

ABSTRAK

Muhammad Dahri Syahbani R (M111 10 276). Dampak Perubahan Iklim terhadap Erosi, Sedimentasi dan Debit. Dibawah bimbingan Roland A Barkey dan Syamsu Rijal.

Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi secara signifikan mengenai pola cuaca yang dihitung berdasarkan angka statistik dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun lamanya. Perubahan iklim salah satunya adalah perubahan curah hujan.

Curah hujan di Indonesia bervariasi secara spasial dan temporal. Daerah Aliran Sungai Tangka yang memiliki potensi debit yang besar dan curah hujan yang tinggi. DAS Tangka mempunyai potensi menimbulkan terjadinya berbagai bencana alam. Bencana alam tersebut dapat berupa banjir dan tanah longsor. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 87% bencana yang terjadi di Indonesia pada tahun 2013 adalah bencana hidrometeorolgi, seperti banjir, longsor, kekeringan, Perubahan iklim yang terjadi dari waktu ke waktu yang semakin tidak menentu dapat mengakibatkan perubahan debit, tingkat sedimentasi dan erosi pada suatu DAS.

Perubahan debit, sedimentasi dan erosi dengan menggunakan model Soil and Water Assesment Tool (SWAT) dan modal CSIRO Mk 35 menggunakan software ArcSWAT diharapkan dapat menjelaskan perubahan yang kini terjadi dan proyeksi mendatang terhadap perubahan iklim yang terjadi pada DAS Tangka pada tahun 2033. Penelitian ini memberikan informasi mengenai jumlah erosi, sedimen, serta debit air dan pengaruh perubahan curah hujan terhadap erosi, sedimen dan debit air di DAS Tangka.

Perubahan Iklim berdampak pada perubahan curah hujan baik itu penurunan curah hujan. Perubahan curah hujan bervariasi yang mengakibatkan penurunan laju erosi, sedimen dan menurunkan nilai debit pada DAS Tangka.

Kata Kunci : Perubahan Iklim, Soil Water Assesment Tools. DAS Tangka, Erosi, Sedimentasi, Debit, Sistem Informasi Geografis

(4)

iv KATA PENGANTAR

Segala Puji kehadirat Allah SWT Sang pemilik yang memberikan ilmu dan pengetahuan sehingga terjadi proses berfikir dari tidak tahu menjadi tahu, tidak lupa juga memanjatkan Salam dan Shalawat kepada Baginda Rasul Muhammad SAW yang telah menggulung tikar-tikar kebodohan dan melebarkan permadani kebenaran.

Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya yang dengan judul “Dampak Perubahan Iklim terhadap Erosi, Sedimentasi dan Debit di Daerah Aliran Sungai Tangka”.

Ucapan Terima Kasih penulis ucapkan untuk stakeholder yang berperan dalam penyusunan, yang membatu selama di lapangan sampai dengan selesainya skripsi ini.

Terutama kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Roland A Barkey dan Dr Syamsu Rijal, S.Hut., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Ir. Baharuddin, Ibu Wahyuni S.Hut., M.Hut dan Ibu Syahida S.Hut., M.Si., Ph.D selaku dosen penguji atas segala masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

3. Munajat Nursaputra S.Hut, M.Sc dan Muh. Faisal S.Hut, M.Hut dalam memberikan arahan dan saran positif dalam penyusunan penelitian ini.

4. Kepada teman-teman yang membantu selama dilapangan Muhammad Sahid, Moh Rizki Darma dan Tarmizi.

5. Staf Fakultas Kehutanan terkhusus kepada Bapak Basri, Dominggus, Ibu Widya, dan Ibu Nanna telah banyak membantu penulis hingga menyelesaikan tugas akhir.

6. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2010 Fakultas Kehutanan Unhas.

7. Teman-teman, kakak dan adik di Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan, Dandy Suryadi Mahmud, Armin Ridha, Muhammad

(5)

v Fadhil Muis, Chairil A, Abkar, Chaeria Anila, Lisma, Dini Albertin Mandy, Marleny Dara, Lelhy Darma, Asrul Amar, Try Ardiansah, Muhammad Chairul, Daisy Puji Vicana, Muhammad Fajar Bahari, Muhammad Agung, Azhari Ramadhan, Ahmad Rifqi Makkasau, Muhammad Iradat, Khadija, A.Inggid, Arga Setiawan serta teman-teman yang lain yang tidak bisa disebukan namanya satu persatu oleh peneliti.

8. Orang Tua tercinta Bapak dan Mama Rusman Nur dan Nuraeni atas doa, kasih sayang, kerja keras, motivasi, semangat dan bimbingannya dalam mendidik dan membesarkan penulis.

9. Teman-teman Keluarga Mahasiwa Kehutanan Sylva Indonesia (PC.) Universitas Hasanuddin (Kemahut SI-Unhas), Keluarga Mahasiswa Kebumian Makassar dan Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW Unhas) atas kebersamaan, motivasi, dan dukungannya

Penulis

Muhammad Dahri Syahbani R

(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Blakang... 1

1.2. Tujuan dan Kegunaan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1. Iklim ... 3

2.1.1. Suhu atau Temperatur ... 4

2.1.2. Tekanan Udara ... 4

2.1.3. Angin ... 4

2.1.4. Kelembaban Udara ... 4

2.1.5. Curah Hujan ... 5

2.1.6. Penyinaran Matahari ... 5

2.2. Erosi ... 5

2.3. Sedimen ... 6

2.4. Debit Air ... 8

2.5. Daerah Aliran Sungai ... 8

2.6. Penggunaa/Tutupan Lahan ... 10

2.7. Sistem Informasi Geografis ... 14

(7)

vii

2.8. Soil and Water Asssesment Tool... 15

III. METODE PENELITIAN ... 18

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 18

3.2. Alat dan Bahan ... 19

3.2.1. Alat ... 19

3.2.2. Bahan ... 19

3.2.3. Sumber Data ... 19

3.3. Metode Pelaksaan Penelitian ... 20

3.3.1. Delinasi Batas Daerah Penelitian ... 20

3.3.2. Input Data SWAT ... 21

3.3.3. Simulasi Model SWAT ... 23

3.3.4. Analisis Output Data SWAT ... 23

3.3.5. Proyeksi Iklim Tahun 2033-an ... 24

IV. KEADAAN UMUM LOKASI ... 25

4.1. Letak dan Luas ... 25

4.2. Kondisi Fisik ... 26

4.2.1. Kelerengan ... 26

4.2.2. Jenis Tanah ... 28

4.2.3. Iklim dan Curah Hujan ... 30

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1. Penutupan Lahan... 31

5.2. Analisis Perubahan Curah Hujan ... 34

5.3. Analisis Erosi, Sedimentasi dan Debit ... 35

5.3.1. Erosi ... 35

5.3.2. Sedimen ... 37

5.3.3. Debit ... 38

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1. Kesimpulan ... 41

6.2. Saran ... 41

(8)

viii DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

Tabel 1. Klasifikasi Tutupan Lahan dengan 1 : 50 (SNI 7645, 2010) ...11

Tabel 2. Tabel Peta ...19

Tabel 3. Klasifikasi Penggunaan/Penutupan Lahan Model SWAT ...21

Tabel 4. Klasifikasi Jenis Tanah Model SWAT ...22

Tabel 5. Klasifikasi kelas kemiringan lereng DAS Tangka ...26

Tabel 6. Jenias Tanah DAS Tangka ...28

Tabel 7. Rata-Rata bulanan Curah Hujan pada DAS Tangka ...30

Tabel 8. Penutupan Lahan DAS Tangka ...31

Tabel 9. Confision Matriks Titik Pengecekan Masing-Masing Kelas Penutupan Lahan Tahun 2015 ...33

Tabel 10. Hasil Analisis Erosi pada DAS Tangka ...35

Tabel 11. Analisis Sedimen rata-rata bulanan pada DAS Tangka ...37

Tabel 12. Analisis Jumlah Debit rata-rata bulanan pada DAS Tangka ...39

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ... 18

Gambar 2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 20

Gambar 3. Peta Administrasi DAS Tangka ... 25

Gambar 4. Peta Kelerengan DAS Tangka ... 27

Gambar 5. Peta Jenis Tanah DAS Tangka... 29

Gambar 6. Peta Penutupan Lahan ... 32

Gambar 7. Grafik Perubahan curah hujan pada DAS Tangka ... 34

Gambar 8. Grafik laju Erosi rata-rata bulanan pada DAS Tangka . 36 Gambar 9. Grafik Sedimen pada DAS Tangka ... 38

Gambar 10. Grafik perubahan debit air pada DAS Tangka ... 39

(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

Lampiran 1. Penutupan Lahan DAS Tangka ... 46

Lampiran 2. Klasifikasi tutupan lahan Model SWAT ... 47

Lampiran 3. Hasil Groundcek lapangan tutupan lahan ... 48

Lampiran 4. Rata-rata curah hujan bulanan tahun 1994-2013 ... 55

Lampiran 5. Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2033-an ... 58

Lampiran 6. Rata-rata erosi bulanan tahun 1994-2013 ... 61

Lampiran 7. Rata-rata erosi bulanan tahun 2033-an ... 64

Lampiran 8. Rata-rata sedimen bulanan tahun 1994-2013 ... 67

Lampiran 9. Rata-rata sedimen bulanan tahun 2033-an ... 70

Lampiran 10. Rata-rata debit bulanan tahun 1994-2013 ... 73

Lampiran 11. Rata-rata debit bulanan tahun 2033-an ... 76

Lampiran 12. Klasifikasi jenis tanah DAS Tangka Model SWAT . 79

(11)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi secara signifikan mengenai pola cuaca yang dihitung berdasarkan angka statistik dalam rentang waktu puluhan hingga ratusan tahun lamanya. Perubahan iklim salah satunya adalah perubahan curah hujan, curah hujan di Indonesia bervariasi secara spasial dan temporal. Secara umum terdapat siklus tahunan dan setengah tahunan di dalam pola musiman curah hujan.

Perubahan iklim beserta dampaknya memiliki dinamika yang sangat tinggi.

Tidak dapat dipungkiri lagi, perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan dan ancaman terbesar bagi kehidupan saat ini. Berdasarkan pengalaman BMKG kenaikan suhu udara di wilayah Indonesia yang telah terjadi dalam kurun waktu 100 tahun terakhir ini berkisar 0,76°C serta senantiasa disertai kejadian-kejadian ekstrim yang menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebanyak 87% bencana yang terjadi di Indonesia pada tahun 2013 adalah bencana hidrometeorolgi, seperti banjir, longsor, kekeringan, dan lain-lain (IPCC, 2013).

Daerah Aliran Sungai Tangka yang memiliki potensi debit yang besar dan curah hujan yang tinggi. DAS Tangka mempunyai potensi menimbulkan terjadinya berbagai bencana alam. Bencana alam tersebut dapat berupa banjir dan tanah longsor. Banjir merupakan bencana alam yang sering dihadapi di DAS Tangka ditiap musim penghujan. Berdasarkan informasi dari sejumlah penduduk yang tinggal dan bermukim di DAS Tangka, beberapa kelurahan di Kabupaten Sinjai seperti Balangnipa dan Lappa serta kelurahan di Kabupaten Bone seperti Massangkae dan Mallahae adalah daerah yang biasa tergenangi air saat musim penghujan. Kejadian banjir ini, berlansung di tahun 2000 sampai tahun 2006. Pada tahun 2006, bencana banjir bandang terjadi di dalam kawasan DAS Tangka. Banjir bandang yang terjadi di DAS Tangka tahun 2006 tepatnya di kawasan hilir Kabupaten Sinjai yang mengakibatkan banyak kerugian dan

(12)

2 jatuhnya beberapa korban adalah salah satu bukti adanya masalah pada pengelolaan dan penggunaan lahan di DAS Tangka (Imran,dkk 2012).

Perubahan iklim yang terjadi dari waktu ke waktu yang semakin tidak menentu dapat mengakibatkan perubahan debit, tingkat sedimentasi dan erosi pada suatu DAS.

Jika iklim berubah bisa mengakibatkan perubahan pada alam seperti kenaikan permukaan air laut, kecepatan arus, erosi, pembentukan sedimen dan transportasi sedimen. Penelitian ini tentang hubungan dari debit, sedimentasi dan erosi dengan menggunakan model Soil and Water Assesment Tool (SWAT) diharapkan dapat menjelaskan perubahan yang kini terjadi dan proyeksi mendatang terhadap perubahan iklim yang terjadi pada DAS Tangka.

Berdasarkan kondisi tersebut penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan tingkat erosi, sedimen dan debit air dengan tahapan analisis menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan model Soil and Water Assesment Tool (SWAT) dan melihat pengaruh perubahan iklim terhadap erosi, sedimen dan debit air.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jumlah erosi, sedimen, serta debit airdan pengaruh perubahan curah hujan terhadap erosi, sedimen dan debit air di DAS Tangka.

1.2. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dilakukannya penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Menganalisis jumlah erosi, sedimen, serta debit air pada DAS Tangka.

2. Menganalisis perubahan curah hujan secara temporal terhadap erosi, sedimen dan debit air di DAS Tangka.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan rekomendasi untuk mendukung dalam berbagai upaya adaptasi perubahan iklim di DAS Tangka.

(13)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Iklim

Iklim adalah kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah. Kriteria cuaca suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria keseringan atau probabilitas nilai- nilai suatu atau lebih unsur iklim yang ditetapkan, seperti hujan, suhu dan angin. Atau bisa juga hanya terdiri dari hujan, suhu atau penguapan. Setiap daerah memiliki iklim yang berbeda (Aldrian, 2011).

Perubahan iklim merupakan perubahan kondisi iklim yang dapat diidentifikasi pola curah hujan dari perubahan nilai rata-rata dan/atau variabilitas unsur-unsurnya yang terjadi dalam periode waktu yang cukup lama, biasanya dekade atau lebih panjang (Bates et al 2008). Selain itu, perubahan iklim juga dapat dilihat dari perubahan kondisi alam sekitar. Perubahan ini meliputi melelehnya salju musim semi dan puncak debit yang lebih awal, melelehnya glasier gunung, penurunan gunung es di kutub selama musim panas serta meningkatnya frekuensi iklim ekstrim (IPCC, 2007).

Dinamika iklim dan siklus air di tanah, sungai dan danau, awan dan laut merupakan sistem yang terintegrasi dan saling berhubungan. Perubahan unsur-unsur iklim mempengaruhi sistem hidrologi. Perubahan iklim mengakibatkan dampak yang kompleks terhadap neraca, kebutuhan, ketersediaan dan kualitas air. Bahkan misalnya ketika curah hujan tidak berubah, peningkatan suhu mendorong peningkatan evaporasi sehingga kadar air di tanaman menurun. Interaksi yang kompleks antara suhu dan kebutuhan-ketersediaan air menunjukkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang bervariasi pada ekosistem (Field et al 2008).

Perubahan Iklim adalah berubahnya pola dan intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun) Perubahan iklim dapat merupakan perubahan kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya. Secara umum, perubahan iklim berlangsung dalam waktu yang lama (slow pace) dan berubah secara lambat (slow onset). Perubahan berbagai parameter iklim yang berlangsung perlahan

(14)

4 tersebut dikarenakan berbagai peristiwa ekstrim yang terjadi pada variabilitas iklim yang berlangsung secara terus menerus (Aldrian, 2011).

Pemanasan global beserta potensi perubahan sistem iklim di berbagai wilayah di masa depan. Iklim mempengaruhi semua aspek kehidupan, termasuk ketersediaan air, sehingga sangatlah perlu kita memahami keragaman iklim saat ini dan di masa depan serta dampaknya pada sumberdaya air. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat dapat mengantisipasi perubahan tersebut (CSIRO, 2012).

Charles (2012) dalam Iman (2014) menyatakan ada beberapa unsur yang mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim suatu daerah atau wilayah, yaitu :

2.1.1. Suhu atau Temperatur

Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau temperatur udara atau derajat panas disebut Thermometer. Biasanya pengukuran suhu atau temperatur udara dinyatakan dalam skala Celcius (C), Reamur (R), dan Fahrenheit (F). Udara timbul karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi.

2.1.2. Tekanan Udara

Selain suhu atau temperatur udara, unsur cuaca dan iklim yang lain adalah tekanan udara. Tekanan udara adalah suatu gaya yang timbul akibat adanya berat dari lapisan udara. Besarnya tekanan udara di setiap tempat pada suatu saat berubah-ubah.

Makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, makin rendah tekanan udaranya. Hal ini disebabkan karena makin berkurangnya udara yang menekan.

2.1.3. Angin

Angin merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim. Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah.

2.1.4. Kelembaban Udara

Unsur keempat yang dapat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di suatu tempat adalah kelembaban udara. Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang

(15)

5 terkandung dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau hygrometer.

2.1.5. Curah Hujan

Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain Gauge. Curah hujan diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan.

2.1.6. Penyinaran Matahari

Penyinaran matahari dapat mengubah suhu dipermukaan bumi. Banyaknya jumlah panas yang dapat diterima oleh permukaan bumi tergantung pada lamanya penyinaran, kemiringan sudut datang sinar matahari ke bumi, keadaan awan, dan juga keadaan bumi itu sendiri.

2.2. Erosi

Erosi adalah peristiwa berpindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian- bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan ditempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad, 2010). Sedangkan menurut Kartasapoetra et al. 1991 erosi adalah proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan manusia.

Erosi tanah merupakan proses penghancuran agregat-agregat tanah menjadi fraksi yang halus dan dipindahkan oleh air aliran permukaan dari tempat tejadi penghancuran tersebut ke tempat lain. Umumnya pemindahan tanah ini dari lereng bagian atas ke lereng bagian bawah. Selanjutnya ada juga bagian-bagian halus dari tanah tersebut diteruskan alur-alur sungai sehingga menjadi bahan sedimentasi yang akan mengendap pada dasar sungai terutama di daerah aliran lambat. Sebagai indikator melihat suatu daerah yang telah terjadi erosi salah satunya adalah warna air sungai yang merah kotor pada musim hujan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya bahan-bahan

(16)

6 sedimen dari tanah-tanah yang tererosi dari berbagai penggunaan lahan didaerah hulu pada daerah aliran sungai (DAS) (Aprisal dan Junaidi, 2010).

Kepekaan erosi tanah didefenisikan sebagai mudah tidaknya tanah untuk tererosi. Kepekaan erosi tanah merupakan fungsi dari sifat-sifat fisik tanah dan pengelolaannya (Banuwa, 2013). Berbagai jenis tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda. Kepekaan erosi tanah bergantung pada interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan terhadap erosi antara lain (1) kecepatan infiltrasi, permeabilitas dan kapasitas menahan air, dan (2) ketahanan struktur tanah terhadap dispersi dan pengikisan oleh jatuhnya air hujan dan aliran permukaan. Selain itu ada juga sifat-sifat tanah yang mempengaruhi erosi adalah tekstur, struktur, bahan organik, kedalaman, sifat lapisan tanah dan tingkat kesuburan tanah. (Hardiatmo, 2006).

2.3. Sedimen

Sedimen adalah hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya mengendap dibagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air, sungai, dan waduk. Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan tempat tertentu. Hasil sedimen biasanya diperoleh dari pengukuran sedimen terlarut dalam sungai (suspended sediment) atau dengan pengukuran langsung di dalam waduk, dengan kata lain bahwa sedimen merupakan pecahan, mineral, atau material organik yang ditransforkan dari berbagai sumber dan diendapkan oleh media udara, angin, es, atau oleh air dan juga termasuk didalamnya material yang diendapakan dari material yang melayang dalam air atau dalam bentuk larutan kimia (Asdak, 2010).

Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di tepi pantai

(17)

7 adalah pengendapan dari material-material yang diangkut oleh angin. Proses tersebut terjadi terus menerus, seperti batuan hasil pelapukan secara berangsur diangkut ke tempat lain oleh tenaga air, angin, dan gletser. Air mengalir di permukaan tanah atau sungai membawa batuan halus baik terapung, melayang atau digeser di dasar sungai menuju tempat yang lebih rendah. Hembusan angin juga bisa mengangkat debu, pasir, bahkan bahan material yang lebih besar. Makin kuat hembusan itu, makin besar pula daya angkutnya. pengendapan material batuan yang telah diangkut oleh tenaga air atau angin tadi membuat terjadinya sedimentasi (Soemarto,1995 dalam Alimuddin L., 2012).

Saud (2008) menyatakan Kapasitas angkutan sedimen pada penampang memanjang sungai adalah besaran sedimen yang lewat penampang tersebut dalam satuan waktu tertentu. Terjadinya penggerusan, pengendapan atau mengalami angkutan seimbang perlu diketahui kuantitas sedimen yang terangkut dalam proses tersebut. Sungai disebut dalam keadaan seimbang jika kapasitas sedimen yang masuk pada suatu penampang memanjang sungai sama dengan kapasitas sedimen yang keluar dalam satuan waktu tertentu. Pengendapan terjadi dimana kapasitas sedimen yang masuk lebih besar dari kapasitas sedimen seimbang dalam satuan waktu. Sedangkan penggerusan adalah suatu keadaan dimana kapasitas sedimen yang masuk lebih kecil dari kapasitas sedimen seimbang dalam satuan waktu.

Hasil sedimen tergantung pada besarnya erosi total di DAS/sub-DAS dantergantung pada transpor partikel-partikel tanah yang tererosi tersebut keluar dari daerah tangkapan air DAS/sub-DAS. Produksi sedimen umumnya mengacu kepada besarnya laju sedimen yang mengalir melewati satu titik pengamatan tertentu dalam suatu sistem DAS. Sebagian tanah tererosi akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki lereng dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karenanya, besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS/sub-DAS. Besarnya hasil sedimen dinyatakan sebagai volume atau berat sedimen per satuan daerah tangkapan air per satuan waktu (ton per km2 per tahun) (Rahim, 2006).

(18)

8 2.4. Debit Air

Arismunandar & Kuwahara (2004) menyatakan aliran sungai atau debit adalah jumlah air yang mengalir melalui suatu penampang sungai tertentu persatuan waktu.

Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik perdetik (m3/dt). Debit dipengaruhi oleh beberapa faktor : curah hujan, keadaan geologi, flora, temperatur, dan lain-lain, di sebelah hulu sungai. Debit selalu berubah dari musim ke musim dan dari hari ke hari. Kecenderungan karakteristik dan besarnya debit secara kasar dapat diketahui dengan pengamatan dalam jangka waktu yang lama (Arismunandar & Kuwahara, 2004).

Debit dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, oleh curah hujan, keadaan geologi, flora, temperatur, dan lain-lain, di sebelah hulu sungai. Debit selalu berubah dari musim ke musim dan dari hari ke hari. Kecenderungan karakteristik dan besarnya debit secara kasar dapat diketahui dengan pengamatan dalam jangka waktu yang lama (Arismunandar & Kuwahara, 2004).

Data debit atau aliran sungai merupakan informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Debit puncak (banjir) diperlukan untuk merancang bangunan pengendali banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan, terutama pada musim kemarau panjang. Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai (Asdak, 2010).

2.5. Daerah Aliran Sungai

Serief (1986) dalam Jauhari, (2012) menyatakan bahwa Daerah Aliran Sungai adalah suatu daerah atau wilayah dengan kemiringan lereng yang bervariasi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit atau yang dapat menampung seluruh curah hujan sepanjang tahun, menuju sungai utama yang kemudian dialirkan terus sampai ke laut sehingga merupakan kesatuan ekosistem wilayah tata air. Asdak, (2010) menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi

(19)

9 oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan kemudian mengalirkan ke laut melalui sungai utama. Begitu pula menurut Manan (1978) dalam Jauhari, (2012), DAS adalah suatu wilayah penerima air hujan yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung, dimana semua curah hujan yang jatuh diatasnya akan mengalir di sungai utama dan akhirnya bermuara kelaut. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) atau disebut juga catchment area.

Departemen Kehutanan (2009), DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Sementara Menurut Departemen Kehutanan (2000), DAS merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi suatu proses.

Daerah aliran sungai memiliki 3 komponen utama yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu: (1) suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit (2) hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem sungai; dan (3) sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal. Selanjutnya beberapa ahli DAS membuat suatu kesimpulan bahwa DAS merupakan: (1) suatu wilayah bentang lahan dengan batas topografi; (2) suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan (3) suatu wilayah kesatuan ekosistem (Kementerian Kehutanan, 2013).

Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 menyatakan Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis di dalam Sub-sub DAS (Kementerian Kehutanan, 2013).

(20)

10 2.6. Penggunaan/Tutupan lahan

Penggunaan lahan merupakan hubungan manusia dengan lingkungan biofisik.

Sebaliknya, karakteristik dan perubahan lingkungan biofisik mempengaruhi pengambilan keputusan dalam penggunaan lahan. Dengan deminkian, terjadi suatu keadaan yang kontinyu yang dihasilkan dari interaksi antara subsitem alam (biofisik) dan/atau subsistem manusia (sosial) dari lahan, sepanjang perubahan dari keadaaan alami (hutan, pertanian) ke keadaan berkembang (Baja, 2012).

Penutupan lahan memiliki kaitan dengan penggunaan terhadap suatu lahan merupakan hal yang nyata dari pengaruh aktivitas manusia terhadap sebagaian fisik permukaan bumi. Sehingga membahas klasifikasi penggunaan/penutupan lahan tidak terlepas dari makna tentang lahan sebagai sumber daya alam. Sumber daya alam sebagai kesatuan unsur-unsur lingkungan, baik fisik maupun biotik, yang diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan.

Tutupan lahan berupa hutan mempunyai kaitan dengan hidrologi. Salah satunya hutan sebagai penahan tanah yang mempunyai kelerengan tinggi, sehingga air hujan yang jatuh di daerah tersebut tertahan dan meresap ke dalam tanah untuk selanjutnya akan menjadi air tanah. Air tanah di daerah hulu merupakan cadangan air bagi sumber air sungai. Oleh karena itu hutan yang terjaga dengan baik akan memberikan manfaat berupa ketersediaan sumber-sumber air pada musim kemarau. Sebaliknya hutan yang gundul akan menjadi malapetaka bagi penduduk di hulu maupun di hilir. Pada musim hujan, air hujan yang jatuh di atas lahan yang gundul akan menggerus tanah yang kemiringannya tinggi. Sebagian besar air hujan akan menjadi aliran permukaan dan sedikit sekali infiltrasinya. Akibatnya adalah terjadi tanah longsor dan atau banjir bandang yang membawa kandungan lumpur (Asdak, 2010).

Perubahan tutupan lahan dari suatu wilayah berhutan menjadi tidak berhutan seperti halnya dijadikan lahan pertanian akan sangat mempengaruhi keadaan DAS.

Perubahan tutupan lahan akan mempengaruhi penurunan debit air sungai dapat terjadi akibat erosi. Selain akan meningkatnya kandungan zat padat tersuspensi (suspended solid) dalam air sungai sebagai akibat dari sedimentasi, juga akan diikuti oleh

(21)

11 meningkatnya kesuburan air dengan meningkatnya kandungan hara dalam air sungai.

Kebanyakan kawasan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian mempunyai kemiringan diatas 25%, sehingga bila tidak memperhatikan faktor konservasi tanah, seperti pengaturan pola tanam, pembuatan teras dan lain-lain, maka akan menyebabkan erosi pada daerah hulu dan sedimentasi pada daerah hilirnya yang berdampak pada peningkatan nilai TSS (Asdak, 2010).

SNI 7645 tahun 2010, Penutupan lahan adalah permukaan bumi yang terdapat diamati merupakan suatu hasil pengaturan, aktivitas, dan perlakukan manusia yang dilakukan pada jenis penutupan lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan, ataupun perawatan pada penutup lahan tersebut. Standar penutupan SNI disusun berdasarkan sistem klasifikasi penutup lahan UNFAO dan ISO 19144-1 Geografic information – Classification Systems – Part 1: Classification system structure. ISO 19144-1 merupakan standar internasional yang dikembangkan dari sistem klasifikasi penutupan lahan UNFAO.

Kelas penutupan lahan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu daerah bervegetasi dan daerah tak bervegetasi. Semua kelas penutupan lahan dalam kategori daerah bervegetasi diturunkan dari pendekatan konseptual struktur fisiognomi yang konsisten dari bentuk tumbuh, bentuk tutupan, tinggi tumbuhan, dan distribusi spasialnya. Sedangkan dalam kategori daerah tak bervegetasi, pendetailan kelas mengacu pada aspek permukaan tutupan, distribusi atau kepadatan, dan ketinggian atau kedalaman objek.

Tabel 1. Klasifikasi Tutupan Lahan dengan Skala 1:50.000 (SNI 7645, 2010)

Tutupan Lahan Keterangan Daerah

Bervegetasi

Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%) sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan lichens/mosses dari 25% jika tidak terdapat vegetasi lain.

Daerah Pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura.

Vegetasi alamiah telah dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan tanaman anthropogenik dan memerlukan campuran tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Antar masa tanam, area ini sering kali tanpa tutupan vegetasi. Seluruh yang ditanam dengan tujuan untuk dipanen, termasuk dalam kelas ini.

(22)

12

Tutupan Lahan Keterangan

Sawah irigasi Sawah yang diusahakan dengan pengairan dari irigasi.

Sawah tadah hujan

Sawah yang diusahakan dengan pengairan dari air hujan.

Sawah Lebak Sawah yang diusahakan dengan lingkungan rawa-rawa saat air rawa menyusut.

Sawah pasang surut

Sawah yang diusahakan di lingkungan yang terpengaruhi oleh air pasang dan surutnya air laut atau sungai.

Polder Sawah yang terdapat delta sungai yang pengairannya dipengaruhi air sungai.

Ladang Pertanian lahan kering yang ditanami tanaman semusim. Terpisah dengan halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah-pindah.

Tanaman berupa selain padi, tidak memerlukan pengairan secara ekstensif, vegetasinya bersifat artifisial dan memerlukan campuran tangan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

Perkebunan Lahan yang digunakan untuk kegiatan tanpa pergantian tanaman selama dua tahun.

Daerah bukan pertanian

Areal yang tidak diusahakan untuk budi daya tanaman pangan dan holtikultura.

Hutan lahan kering

Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang terdapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan, pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi.

Hutan Hutan lahan

kering primer

Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan atau hutan tropis dataran tinggi yang masih kompak dan belum mengalami intervensi manusia atau belum menampakkan bekas penebangan.

Hutan lahan kering sekunder

Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi yang telah mengalami intervensi manusia atau telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebangan).

Hutan lahan basah Hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah

berkarakteristik unik, yaitu: (1) dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir, (2) wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang

(23)

13

Tutupan Lahan Keterangan

dipengaruhi oleh pasang-surut untuk wilayah dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5) sebagian besar wilayah tertutup gambut.

Hutan lahan basah primer

hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut. Wilayah lahan basah

berkarakteristik unik, yaitu: (1) dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir, (2) wilayah berelevasi rendah, (3) tempat yang dipengaruhi oleh pasang-surut untuk wilayah dekat pantai, (4) wilayah dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan (5) sebagian besar wilayah tertutup gambut. Belum mengalami intervensi manusia.

Belukar Lahan kering yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi alamiah heterogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi oleh vegetasi rendah (alamiah).

Semak Lahan kering yang ditumbuhi berbagai jenis vegetasi alamiah homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi oleh vegetasi rendah (alamiah).

Padang rumput Areal terbuka yang didominasi oleh beragam jenis rumput heterogen.

Savana Areal yang terbuka yang didominasi oleh beragam jenis rumput, dan pepohonan yang tumbuh secara menyebar dan jarang. Padang alang-alang adalah areal terbuka yang didominasi oleh rumput jenis alang-alang.

Rumput rawa adalah rumput yang berhabitat di daerah yang tergenang air tawar atau payau secara permanen.

Daerah tak bervegetasi

Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari 4% selama lebih dari 10 bulan, atau daerah dengan liputan lichens/mosses kurang dari 25% jika tidak terdapat vegetasi berkayu atau herba.

Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah, semialamiah, maupun artifisial. Menurut karakteristik permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface.

Lahan terbangun Areal yang telah mengalami substitusi pentup lahan alamiah ataupun semialamiah dengan pentupan lahan buatan yang biasanya bersifat kedap air dan relatif permanen.

Permukiman Areal atau lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan.

Bangunan industri Areal yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri yang berupa kawasan industri atau perpustakaan.

(24)

14

Tutupan Lahan Keterangan

Jaringan jalan jaringan prasarana transportasi yang diperuntukkan lalu lintas kendaraan.

Bandara udara Bandar udara yang mempunyai fasilitas lengkap untuk penerbangan dalam dan luar negeri.

Pelabuhan laut Tempat yang digunakan sebagai tempat sandar dan berlabuhnya kapal laut beserta aktivitas penumpangnya dan bongkarmuat kargo.

Pertambangan Lahan terbuka sebagai akibat aktivitas pertambangan, dimana penutup lahan, batu ataupun material bumi lainnya dipindahkan oleh manusia.

Perairan Semua penampakan perairan termasuk laut, waduk, terumbu karang dan padang lamun. Danau adalah areal perairan yang bersifat natural, dengan penggenangan air yang dalam dan permanen serta penggenangan dangkal, termasuk fungsinya.

Waduk Areal perairan yang bersifat artifisial, dengan penggenangan air yang dalam dan permanen serta penggenangan dangkal, termasuk fungsinya.

Tambak aktivitas untuk perikanan maupun pembuatan garam yang tampak dengan pola pematang di sekitar pantai.

Rawa Genangan air tawar atau air payau yang luas dan permanen di daratan.

Sungai adalah tempat mengalirnya air yang bersifat natural.

Saluran irigasi Tempat mengalirnya air yang bersifat artifisial dan biasanya difungsikan untuk menunjang kegiatan pertanian atau perikanan yang melakukan manusia.

2.7. Sistem Informasi Geografis

Star and Estes (1990) dalam Baja (2012) Mendefinisikan GIS secara umum yaitu sebagai sistem berbasis komputer untuk menangkap (capture), menyimpan (store), memanggil kembali (retrieve), menganalisis, dan mendisplay data spasial, sehingga efektif dalam menangani permasalahan yang kompleks baik untuk kepentingan penelitian, perencanaan, pelaporan maupun untuk pengelolaan sumber daya dan lingkungan. Sedangkan menurut Burrough and McDonnell (1998) dalam Baja (2012) mendefinisikan GIS dari tiga sudut pandang : kotak alta (tool box), database, dan organisasi. Dengan demikian, GIS merupakan suatu sistem penunjang keputusan (decision support system).

(25)

15 Dari sisi fungsional, GIS dirancang untuk membantu dalam upaya meningkatkan pengetahuan ruang (spatial knowledge), karena teknologi ini mengelola data tereferensi dengan koordinat-koordinat spasial atau geografis. Sehingga, GIS dapat dikatakan sebagai suatu teknologijsistem database dengan kemampuan khusus untuk mereferensi data secara spasial, volume besar, dan tingkat kerumitan tinggi melalui sekumpulan pengoperasian untuk bekerja dengan data tersebut, termasuk memproduksi tampilan-tampilan kartografik yang menarik. Sehubungan dengan fungsi pemetaannya (domain kartograji), suatu GIS dapat dianggap sebagai suatu sistem pemetaan kelas tinggi, dan sekaligus merupakan suatu disiplin yang memadukan antara Hmu pengetahuan (science), teknologi, dan seni (art) (Baja, 2012).

2.8. Soil and Water Assesment Tool

Soil and Water Assessment Tool merupakan model terdistribusi yang terhubung dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan mengintegrasikan Spatial DSS (Decision Support System). Model SWAT dioperasikan pada interval waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan terhadap sumberdaya air, sedimen dan hasil agrochemical pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario tanah, penggunaan lahan dan pengelolaan berbeda (Pawitan, 2004).

SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS.

Tujuan awal pengembangan model ini adalah untuk mensimulasikan dampak pengelolaan lahan terhadap aliran dan sedimentasi dalam suatu DAS yang tidak memiliki sistem pengamatan dan pencatatan data. Saat ini model SWAT telah berkembang dengan pesat dengan aplikasi yang sangat beragam mulai dari simulasi hidrologi yang sangat sederhana, simulasi dampak perubahan tata guna lahan, simulasi dampak perubahan iklim bahkan sampai dengan simulasi untuk memprediksikan produktifitas suatu lahan pertanian. Menurut Arnold et al. (1998) dalam Ferijal, (2013) tujuan utama pengembangan model SWAT adalah untuk mensimulasikan dampak manajemen lahan terhadap hidrologi, sedimen dan zat kimia terlarut dalam suatu DAS yang luas yang didominasi oleh kegiatan pertanian dan tidak memiliki pencatatan data.

(26)

16 SWAT merupakan suatu model yang mampu mensimulasikan parameter- parameter hidrologi dalam jangka panjang dengan mempertimbangkan karakteristik fisik suatu DAS. Model ini pada awalnya membagi DAS menjadi beberapa Sub DAS yang kemudian setiap Sub DAS tersebut akan dibagi kembali menjadi beberapa unit respon hidrologi Hidrologic Response Unit berdasarkan tata guna lahan, jenis tanah dan kelas lereng. Dengan asumsi tidak ada hubungan antar HRU, model kemudian mensimulasikan proses hidrologi untuk setiap HRU menggunakan metode neraca air.

Simulasi neraca air tersebut meliputi parameter-parameter seperti kandungan air tanah, limpasan permukaan, evapotranspirasi, perkolasi, dan aliran bawah permukaan tanah yang kembali ke sungai (Neitsch et al., 2002).

Pembagian DAS mampu membuat model yang mencerminkan perbedaan evapotranspirasi untuk jenis tanaman dan tanah yang bervariasi. Aliran permukaan (surface runoff) diprediksi secara terpisah untuk masing-masing HRU dan dapat ditelusuri untuk memperoleh aliran permukaan total (total runoff) suatu DAS. Hal ini dapat meningkatkan keakuratan dan memberikan gambaran fisik yang lebih baik untuk neraca air (Ditjen. BP DAS dan Perhutanan Sosial, 2014).

Data masukan model untuk setiap HRU Sub DAS dikelompokan ke dalam beberapa kategori yaitu iklim, unit respon hidrolog HRU, genangan/daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase Sub DAS. HRU merupakan kelompok lahan dalam Sub DAS yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah dan pengolahan yang unik. Data yang dibutuhkan dalam model ini merupakan data harian. Paramater iklim yang digunakan dalam SWAT berupa hujan harian, temperatur udara maksimum dan minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, serta kelembaban (Adrionita, 2011).

Output SWAT terangkum dalam file-file yang terdiri dari file HRU, SUB dan RCH. File HRU berisikan output dari masing-masing HRU, sedangkan SUB berisikan output dari masing-masing sub DAS dan RCH merupakan output dari masing-masing sungai utama pada setiap sub DAS. Informasi output pada file SUB dan file HRU

Referensi

Dokumen terkait

رشانلل ةيبرعلا ةغللا باتكل روصلما سوماقلا ليلد ميمصت "ةليقع" ءارجإ دعب متي جنوبنت ناديم نيدلا ةيملاسلاا ةيئادتبلاا ةسردمب عبارلا لصفل ضو (

Proceedings of the Third International Conference on Computational Linguistics and Intelligent Text Processing.. Mohd Juzaiddin Ab

Pada hari ketiga, saya mencoba untuk mencari plugin yang memungkinkan untuk website tersebut menjadi multilingual karena website tersebut akan tersedia dalam 2 bahasa

Proses belajar pendidikan jasmani merupakan suatu peristiwa belajar yang dilakukan oleh seluruh siswa dan siswi di sekolah, di mana dalam pelaksanaannya diperlukan adanya suatu

 Jumlah tamu asing di Sulawesi Tengah pada bulan September 2012 sebanyak 342 orang, WNA dari Asia sebagai tamu asing terbanyak dengan jumlah 275 orang, disusul oleh

Kompleks ini merupakan tumpuan utama pelancong bagi mendapatkan informasi dan maklumat berkaitan TNTP. Kompleks ini dilengkapi dengan bilik galeri, kaunter

berbasis kontekstual diharapkan siswa dapat belajar bermakna, sebagaimana dengan teori yang dikemukakan oleh Ausubel, bahwa pembelajaran bermakna merupakan suatu proses

Penyelenggara Pemilu tidak boleh melanggar pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya yang dijamin dalam Pasal 18B UUD