• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi genetik kuda lokal di Sulawesi Utara sebagai sumber bibit kuda Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi genetik kuda lokal di Sulawesi Utara sebagai sumber bibit kuda Indonesia"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI GENETIK KUDA LOKAL DI SULAWESI UTARA

SEBAGAI SUMBER BIBIT KUDA INDONESIA

BEN JUVARDA TAKAENDENGAN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Potensi Genetik Kuda Lokal di Sulawesi Utara sebagai Sumber Bibit Kuda Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Ben Juvarda Takaendengan

(3)

ABSTRACT

BEN JUVARDA TAKAENDENGAN. Genetic Ability of North Sulawesi Local Horse to be Indonesian Horse Stock. Under direction of RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI and SRI ADIANI.

The study was carried out in five experiments. The first experiment was to study the characterization of morphology, phenotype variability and genetic distance of 193 mares and 309 stallions of North Sulawesi local horse. The results show that Tomohon population had higher body weights and body measurements (P<0.05) than those of from three other areas (Manado, Minsel, and Minahasa). The hip width is the most discriminant variable to determine the differences among Minahasa local horse population. The results support establishment of strategy to promote the use and development of local adapted horse resources. The second research was to analysis of local horse coat color pattern in North Sulawesi. The most coat color in the four areas is bay, chestnut, bay-cream, chestnut-cream, roan, black, white and spotted. The dominant coat color is bay and chestnut. Genetic distance analyses results indicate that the horse from Manado, Minahasa and Minahasa Selatan are clustered in one group and separated to Tomohon population with the genetic distance between the two clusters was 0.002244. The genetic distance of the horse from Manado and Minahasa was 0.000164. On the other hand, the genetic distance of the horse from Manado and Minahasa group and Amurang was 0.001006. The objective of third research was to estimate the polymorphisms of the Alb, PAlb, Tf, PTf-1,

PTf-2, and Hgb in North Sulawesi's native horses. This study used PAGE method to identify protein. Genotyping was performed on 148 samples of horse blood from Manado, Tomohon, South Minahasa and Minahasa. The result showed that the highest allele frequency was found in locus for PTf-1 allele A was equal to 1,0 and the lowest allele frequency was found in locus for

PTf-1 allele B. Alb locus were in Hardy-Weinberg equilibrium. Hgb type ά was found in two

types (type 1 & 2) with consecutive genotype frequencies were 0.51 and 0.49 respectively. The populations of horses in Tomohon have a far relationship with the population in the area of South Minahasa, Minahasa, and Manado. Horse blood protein polymorphisms were found for Alb,

PAlb, Tf and Hgb. The fourth study was to estimate the repeatability of racing-speed and ability to maintain the running speed traits in Indonesian racehorses. Results showed that the racing-speed of 2 y.o male and female Indonesian racehorses are different (P<0.05). Mean of fastest racing-speed was shown by the group of above 4 y.o. Estimates of speed repeatability range from moderate to high (0,28 to 0,74); was highest for the group of 4 y.o and lowest for the group of 3 y.o. Estimated repeatability of ability to maintain a running speed horse which ran at decreased speed and increased speed were ranged from moderate to high (0.77 & 0.34), respectively. These results indicate that a moderate level of genetic progress might be possible for racing performance of Indonesian racehorse if selection is based on the phenotypic values of the horses, particularly on racing-speed and maintain a running speed horses. The last study was to reach the specification of social economic of horse breeder in North Sulawesi and to estimate the association between social-economic structure and the degree of knowledge of people. The results show that the social-economic condition of the local breeder was dominated by farmers which have knowledge were equal to high school degree. The typical of these results showed that the possible strategy to increase the people knowledge was required.

(4)

BEN JUVARDA TAKAENDENGAN. Potensi genetik kuda lokal Sulawesi Utara sebagai Sumber Bibit Kuda Indonesia. Dibimbing oleh RONNY RACHMAN NOOR, CECE SUMANTRI dan SRI ADIANI.

Penelitian ini dilakukan dalam lima kajian. Penelitian pertama untuk mempelajari karakterisasi morfologi, keragaman genetik dan jarak genetik kuda lokal Sulawesi Utara. Tujuan penelitian adalah mendapatkan keragaman morfometri dari kuda lokal di Minahasa. Bobot badan dan ukuran tubuh diperoleh dari 193 kuda betina dan 309 kuda jantan dewasa. Analisis multivarian digunakan untuk mendeskripsikan baik bentuk maupun ukuran tubuh dari empat sub-populasi kuda di Sulawesi Utara yaitu, Tomohon, Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa. Metode statistic yang digunkkan adalah general linear model (PROCGLM), analisis diskriminan (PROCDISCRIM) dan analisis komponen utama (PROCPRINCOMP) dari paket statistik SAS versi 9.2 dan MEGA 4 untuk membuat konstruksi filogenitas. Hasil menunjukkan bahwa sub-populasi di Tomohon memiliki ukuran tubuh dan bobot badan lebih tinggi (P<0.05) dari ketiga sub-populasidi ketiga daerah lainnya (Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa). Lebar pinggul adalah peubah pembeda paling utama yang membedakan kuda lokal di Sulwesi Utara. Hasil ini mendukung strategi pemberdayaan dalam rangka memperkenalkan pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya ternak kuda lokal. Penelitian kedua adalah menganalisis karakteristik pola warna bulu kuda lokal Sulawesi Utara dengan tujuan untuk mendapatkan keragaman fenotip dan genotip dari pola warna bulu kuda Sulawesi Utara. Penelitian ini dilakukan di empat lokasi di Sulawesi Utara (Tomohon, Manado, Minahasa Selatan dan Minahasa). Analisis jarak genetik didasarkan pada penampilan warna bulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa warna bulu yang terdapat pada keempat daerah tersebut adalah bay, chestnut, bay-cream, chestnut-cream, roan, black, white dan spotted. Warna bulu dominan adalah bay dan chestnut. Jarak genetik menunjukkan bahwa kuda dari Manado, Minahasa dan Minahasa Selatan tergabung dalam satu kelompok gen dan terpisah jauh dengan populasi kuda di Tomohon dengan jarak 0.002244. Jarak genetik kuda Manado dari kuda Minahasa adalah 0.000164. Sedangkan jarak genetik kuda Manado dan Minahasa dengan kuda Minahasa Selatan adalah 0.001006. Jarak genetik yang dekat menunjukkan kedekatan genetik antara dua populasi. Penelitian ketiga bertujuan untuk menduga polimorfisme dari lokus Albumin, Post Albumin,

(5)

kecepatan lari pada kuda pacu di Sulawesi Utara, dimana penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan kuda pacu Indonesia melalui program seleksi. Sifat kecepatan kuda diperoleh pada kelompok kuda usia 2, 3, 4, dan lebih dari 4 tahun, sedangkan data untuk sifat kemampuan mempertahankan kecepatana dilakukan pada kelompok jarak berbeda (1200, 1400 & 1600 m; 800, 1200, 1400 & 1600 m) pada setiap lomba yang diperoleh dari data catatan perlombaan pacuan kuda yang diselenggarakan oleh PORDASI (persatuan olahraga berkuda Indonesia) dari 1998–2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan kuda pada umur 2 tahun berbeda nyata (P<0.05). Rataan kecepatan lari tertinggi terdapat pada kelompok usia diatas empat tahun. Nilai pendugaan repitabiltas untuk sifat kecepatan lari berkisar dari sedang sampai tinggi (0,28 to 0,74) dimana nilai tertinggi terdapat pada kelompok empat tahun dan terendah pada kelompok tiga tahun. Kelompok jantan dua tahun menunjukkan nilai repitabiliotas lebih tinggi deibandingkan kelompok lainnya. Pendugaan nilai repitabilitas dari saifat kemampuan mempertahankan kecepatan berada pada kisaran sedang sampai tinggi (0,77 and 0,34). Kuda pacu yang mengalami penurunan kecepatan lari dapat dikembangkan sebagai kuda pacu untuk lari jarak pendek atau kuda tipe sprint, sedangkan yang dapat meningkat kecepatannya di anjurkan dijadikan kuda pacu tipe jarak jauh atau tipe endurance. Penelitian pendugaan nilai heritabilitas menggambarkan tingkatan kemajuan genetik kategori sedang dapat dilakukan terhadap kuda pacu Indonesia apabila didasarkan pada sifat kecepatan lari dan sifat mempertahankan kecepatan berlari. Penelitian terakhir dilakukan untuk mendapatkan spesifikasi kondisi sosial ekonomi para peternak kuda di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan lembar pertanyaan dan dianalisis secara deskriptif untuk menduga adanya keterkaitan antara struktur sosial ekonomi masyarakat peternak dengan tingkatan pengetahuan beternak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi peternak kuda di Sulawesi Utara didominasi oleh para petani dengan tingkat pengetahuan setara lulusan sekolah menengah atas. Secara tipikal, penelitian ini menggambarkan kemungkinan diperlukan suatu perencanaan dalam meningkatkkan pengetahuan petani peternak.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

POTENSI GENETIK KUDA LOKAL DI SULAWESI UTARA SEBAGAI SUMBER BIBIT KUDA INDONESIA

BEN JUVARDA TAKAENDENGAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Nama : BEN JUVARDA TAKAENDENGAN

Nomor Pokok : D161070031

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRurSc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri MAgrSc Dr. drh. Sri Adiani Anggota Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr NIP. 19620504 198703 2 002 NIP. 19650814 199002 1 001

(9)

PRAKATA

Segala puji syukur hanya bagimu Tuhan Yang Mahakuasa atas segala berkat dan

rahmatNya sehingga penulisan hasil penelitian disertasi dengan judul “Potensi genetik kuda lokal di Sulawesi Utara sebagai sumber bibit kuda Indonesia” dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat dalam penyelesaian program pendidikan doktoral pada program studi Ilmu Teknologi Peternakan (ITP), Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor MRurSc; Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri MAgrSc dan Dr. drh. Sri Adiani selaku komisi pembimbing atas semua arahan dan masukan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Pollung Siagian MS, Prof Dr. Ir. Ahmad Thohari DEA, Prof Dr Kusuma Diwyanto, Dr. Ir. Kartiarso MSc dan Dr drh. Frederick D Rotinsulu yang telah banyak memberikan saran dan memperluas wawasan keilmuan kepada Penulis selama pendidikan.

Berbagai pihak yang telah banyak membantu selama berlangsungnya studi, khususnya kepada Dr. Ir. Rarah R. Maheswari, DEA selaku ketua program studi Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendiknas sebagai pemberi bantuan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dan bantuan penelitian Hibah Doktor, pimpinan Universitas Sam Ratulangi dan Fakultas Peternakan Manado atas kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan, Pemerintah Daerah Sulawesi Utara, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan Pemerintah Kota Manado atas bantuan pendidikan dan fasilitas tempat tinggal selama menempuh studi di Bogor serta Dekan Sekolah Pascasarjana IPB atas pendidikan terbaik yang diterima Penulis untuk mengembangkan pengetahuan.

(10)

Semua karya ini Penulis persembahkan bagi Istri dan anak-anakku: Dr. Grace Esther Caroline Korompis MHSM, Mel Dickson Benjamin Takaendengan dan Naomi Varine Takaendengan atas segala pengorbanan dan kesetiaan menemani dan mendukung Penulis selama studi S3 di Bogor.

Tiada gading yang tak retak, kiranya segala kekurangan dan kesalahan yang Penulis perbuat baik disengaja maupun tidak selama studi sampai selesai disertasi ini dapat dimaafkan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan berkat dan anugerahNya bagi kita sekalian.

Sekian dan Terima Kasih!

Bogor, Juli 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Ben Juvarda Takaendengan dilahirkan di Manado, Sulawesi Utara pada tanggal 3 Juni 1967 dari pasangan Prof. Drs. JDP Takaendengan(Alm) dan Nontje I. Wenas sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Menikah dengan dr. Grace E.C. Korompis MHSM dan dikaruniai dengan dua orang putra-putri Mel Dickson Benjamin (4 Tahun) dan Naomi Varine (2 Tahun). Pendidikan sarjana ditempuh pada Fakultas Peternakan Jurusan Produksi dan Teknologi Ternak, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Lulus pada tahun 1990 dan diangkat menjadi staf pengajar

Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi sejak tahun 1993 sampai sekarang. Tahun 1995 mendapatkan beasiswa magister pada Program Magister Sains (S2) di Program Ilmu Peternakan

(12)

Halaman DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Ruang Lingkup Penelitian... 5

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Bangsa Kuda di Dunia dan di Indonesia ... 7

Bangsa Kuda di Indonesia ... 9

Pelestarian Sumber Daya Genetik Bangsa Kuda Indonesia ... 11

Sifat Kuantitatif dan Kualitatif ... 12

Karakter Morfologi, Penanda Biokimia dan Immunogenetik ... 15

Polimorfisme Protein Darah ... 16

Keragaman Genetik ... 17

MATERI DAN METODE Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian... 21

KARAKTERISASI MORFOLOGI, KERAGAMAN FENOTIP DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan ... 23

2. Materi dan Metode ... 24

3. Hasil dan Pembahasan ... 28

4. Simpulan ... 34

KARAKTERISASI DAN KERAGAMAN POLA WARNA, CORAK TUBUH DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan ... 35

2. Materi dan Metode ... 35

3. Hasil dan Pembahasan ... 37

(13)

KERAGAMAN DAN JARAK GENETIK KUDA LOKAL BERDASARKAN ANALISIS ELEKTROFORESIS PROTEN DARAH

1. Pendahuluan ... 45

2. Materi dan Metode ... 45

3. Hasil dan Pembahasan ... 49

4. Simpulan ... 54

PENDUGAAN REPITABILITAS SIFAT KECEPATAN DAN KETAHANAN LARI PADA KUDA PACU DI SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan ... 55

2. Materi dan Metode ... 56

3. Hasil dan Pembahasan ... 58

4. Simpulan ... 68

STRUKTUR SOSIO-EKONOMI PETERNAK KUDA DI SULAWESI UTARA 1. Pendahuluan ... 71

2. Materi dan Metode ... 71

3. Hasil dan Pembahasan ... 72

4. Simpulan ... 78

PEMBAHASAN UMUM ... 79

SIMPULAN UMUM ………...85

SARAN ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(14)

Halaman

Tabel 1 Karakteristik Kuda Lokal Indonesia……….. 10

Tabel 2 Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaan antar bangsa kuda, nilai total keragaman gen (HT), koefisien diferensiasi gen (GST) dan rataan

keragaman gen (HS)……….. 19

Tabel 3 Deskripsi morfometrik kuda lokal berdasarkan kelompok jenis kelamin

dan lokasi……….. 29

Tabel 4 Total struktur kanonikal peubah bobot badan dan ukuran tubuh kuda lokal

Sulawesi Utara………... 30

Tabel 5 Nilai Eigen dan ragam total kedua faktor pengukuran tubuh kuda lokal

Sulawesi Utara……… 31

Tabel 6 Matriks jarak genetik antar kelompok populasi kuda di Sulawesi Utara 33

Tabel 7 Lokus warna bulu kuda………. 36

Tabel 8 Distribusi geografi dan frekuensi fenotipik warna bulu kuda lokal

Sulawesi Utara……… 38

Tabel 9 Genotipik warna bulu kuda Sulawesi Utara………. 39

Tabel 10 Frekuensi gen warna bulu kuda Sulawesi Utara……….. 40

Tabel 11 Matriks jarak genetik pola warna bulu antara kuda lokal di Tomohon,

Manado, Kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan………. 40

Tabel 12 Frekuensi corak kaki (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara… 42

Tabel 13 Frekuensi corak kepala (%) pada sub-populasi kuda di Sulawesi Utara 42

Tabel 14a Frekuensi genotip lokus Albumin dan Post Albumin kuda lokal Sulawesi

Utara……… 48

Tabel 14b Frekuensi genotip lokus Transferin dan Hemoglobin Alfa kuda lokal

Sulawesi Utara……… 50

Tabel 15a Frekuensi alel pada lokus Alb, PAlb dan Tf pada kuda lokal Sulawesi

Utara……… 52

Tabel 15b Frekuensi alel pada lokus PTf-1 dan PTf-2 pada kuda lokal Sulawesi

(15)

Tabel 16 Heterozigositas kuda lokal Sulawesi Utara………. 52

Tabel 17 Keseimbangan Hardy-Weinberg berdasarkan uji Khi Kuadrat (χ2)………. 53

Tabel 18 Jarak genetik lokus Alb, PAlb, Tf, PTf-1 dan PTf-2……… 53

Tabel 19 Tabel analisis ragam……….. 57

Tabel 20 Rataan kecepatan lari (m/dtk) kuda pacu Indonesia jantan dan betina pada

berbagai kelompok umur……….. 58

Tabel 21 Nilai dan sifat kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan

betina pada berbagai kelompok umur……….. 60 Tabel 22 Nilai repitabilitas kecepatan lari kuda pacu Indonesia jantan dan

betina pada berbagai kelompok umur………. 61

Tabel 23 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan

1600 meter……….. 63

Tabel 24 Rataan nilai percepatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400

dan 1600 meter……… 64

Tabel 25 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 1200, 1400 dan

1600 meter……….. 65

Tabel 26 Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1200, 1400

dan 1600 meter……… 66

Tabel 27 Nilai repitabilitas kemampuan kuda pacu dalam mempertahankan

kecepatan berlari pada selisih jarak yang berbeda……….. 67 Tabel 28 Karakteristik peternak/pemelihara kuda di Sulawesi Utara………… 73 Tabel 29 Skala pengetahuan peternak kuda dalam berbagai aspek peternakan

di kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan kota Tomohon…….. 74 Tabel 30 Potensi pengembangan usaha peternakan berdasarkan pertimbangan

tingkat pengetahuan masyarakat di empat lokasi di Sulawesi

(16)

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran……… 6 Gambar 2. Filogeni kuda domestik Equus caballus diantara

pyla mamalia lainnya……….. 7

Gambar 3. Kuda Przewalski yang merupakan cikal bakal

kuda modern…..………... 8

Gambar 4. Berbagai bentuk pemanfaatan ternak kuda, seperti untuk tunggangan, menarik delman dan

mengangkut beban……….. 9

Gambar 5. Bangsa kuda di Indonesia………….………….. 9 Gambar 6. Pengambilan sampel darah kuda………. 21

Gambar 7. Sketsa ukuran tubuh kuda……… 25

Gambar 8. Penyebaran populasi kuda di Sulawesi Utara

berdasarkan ukuran fenotipik……….. 32 Gambar 9. Dendogram jarak Euclidean tingkat kesamaan

ukuran tubuh pada empat sub-populasi kuda di Sulawesi Utara berdasarkan metode

diskriminan…... 33 Gambar 10. Dendogram jarak Mahalanobis tingkat

kesamaan pola warna bulu pada empat sub-populasi kuda lokal di Sulawesi Utara

berdasarkan metode diskriminan… ……… 41 Gambar 11. Contoh pola pita Alb, PAlb, Tf, 1 dan

PTf-2 berdasarkan teknik PAGE……….………….. 50 Gambar 12 Rekonstruksi pola pita PTf-1, PTf-2 Tf, PAlb

dan Alb berdasarkan teknik PAGE…………... 50 Gambar 13 Contoh pola pita hemoglobin α……….……….. 51 Gambar 14 Rekonstruksi pola pita hemoglobin α ………… 51 Gambar 15. Dendogram pohon genetik berdasarkan metode

UPMGA………..

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1a. Populasi kuda per propinsi tahun 2002 s/d 2006... 95

Lampiran 1b. Lampiran 1b. Populasi kuda di Sulawesi Utara……….... 96

Lampiran 2a. Peta Sulawesi Utara……….. 97

Lampiran 2b. Peta Kota Tomohon dan Kota Manado……… 98

Lampiran 2c. Peta Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Minahasa Selatan……….. 98

Lampiran 3a Penentuan umur kuda berdasarkan struktur gigi……….. 99

Lampiran 3b. Cara pengukuran morfometri/ ukuran tubuh kuda………..…… 100

Lampiran 3c. Timbangan ternak/ hewan lapangan digital………..……… 100

Lampiran 4a. Warna bulu pada kuda……….…………. 101

Lampiran 4b. Contoh model daftar tabulasi morfologi dan pola warna………..…… 102

Lampiran 5a. Peralatan analisis elektroforesis protein darah……….…. 103

Lampiran 5b. Genotyping pita protein darah dan hemoglobin……… 104

Lampiran 6a. Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan kuda pacu Indonesia antara jantan dan betina pada berbagai kelompok umur……….……… 106

Lampiran 6b. Rekapitulasi hasil uji-t kecepatan lari antara dua kelompok umur pada kuda pacu Indonesia jantan & betina……….. 106

Lampiran 6c Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan umur 2 tahun…. 107 Lampiran 6d. Analisis keragaman kecepatanl kuda pacu betina umur 2 tahun…….. 108

Lampiran 6e Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 3 tahun……….. 109

Lampiran 6f. Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur 4 tahun……… 110 Lampiran 6g. Analisis keragaman kecepatan lari kuda pacu jantan & betina umur >

(18)

Lampiran 7a. Rekapitulasi hasil uji-t nilai penurunan kecepatan & peningkatan

kecepatan antara jantan & betina……….. 112 Lampiran 7b. Analisis keragaman sifat peningkatan kecepatan berlari kuda pacu

Indonesia pada jarak 1200, 1400 dan 1600 meter……… 112 Lampiran 7c. Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu

Indonesia pada jarak 1200,1400 dan 1600 meter……… 113 Lampiran 7d. Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu

Indonesia pada jarak 800, 1200,1400 dan 1600 meter……….

114

Lampiran 7e. Rataan nilai perlambatan (detik) pada selisih jarak 800, 1000, 1200

dan 1400 meter………. 115

Lampiran 7f. Analisis keragaman sifat penurunan kecepatan berlari kuda pacu

(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kuda Equus caballus dikenal sebagai ternak tunggangan, pengangkut beban, penarik kereta, pacuan dan dijadikan simbol budaya atau melambangkan status sosial kemasyarakatan. Selain itu, kuda juga dipelihara sebagai penghasil susu, kulit dan daging. Populasi kuda di Indonesia adalah ± 400 ribu ekor yang tersebar di beberapa daerah seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi

Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (BPS 2010) (Lampiran 1a). Bangsa kuda di Indonesia saat ini umumnya adalah hasil persilangan kuda lokal (Sandelwood pony) dengan bangsa kuda Eropa, Arab atau kuda Thoroughbred (Walker 2008; FSI 2009).

Sulawesi Utara adalah salah satu dari beberapa daerah di Indonesia yang memiliki populasi kuda dengan berbagai macam pemanfaatan seperti untuk menarik bendi/ delman, tunggangan dan pacuan. Populasi kuda di Sulawesi saat ini diperkirakan ± 8000 ekor (Lampiran1b), hampir sepertiganya adalah tipe kuda pacuan dari jenis peranakan

Thoroughbred dan sisanya adalah kuda lokal (Equestrian Indonesia 2008; BPS 2010). Selain masuknya beberapa kuda yang dibawa pada masa penjajahan Belanda sebagai ternak tunggangan dan pacuan, sejarah asal-usul kuda di Indonesia dan secara khusus di Sulawesi Utara belum tercatat dengan jelas (Equestrian Indonesia 2008). Minimnya informasi tentang sejarah kuda di Indonesia dikarenakan kurangnya pencatatan dan hasil penelitian, sehingga potensi untuk mengembangkan mutu genetiknya sangat sulit dan masih jauh dari harapan. Upaya seleksi dan persilangan dilakukan hanya pada penampilan fisik ternak berdasarkan pengetahuan umum peternak dan bukan didasarkan pada catatan-catatan yang lengkap dan informasi yang akurat. Fertilitas, umur dan tipe bangsa, karakteristik genetik seperti bobot badan dan ukuran morfometrik, kecepatan lari, daya tahan berlari, kemampuan menarik beban, waktu kerja, dan pertumbuhan adalah sifat-sifat kuantitatif yang berkaitan dengan

fungsi produksi dan reproduksi kuda yang digunakan sebagai acuan dalam seleksi dan persilangan (Hintz 1980; Bowling & Ruvinsky 2004; Equestrian Indonesia 2008).

(20)

atau tunggangan menyebabkan usaha kearah peningkatan kemampuan genetik kuda lokal bukan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hanya sedikit data dan catatan silsilah yang tersimpan oleh pemelihara perorangan ataupun lembaga/organisasi berkuda, karena berkaitan dengan syarat dan kelengkapan administrasi dalam pembuatan akte kelahiran. Parameter yang diukur juga terbatas pada ukuran bobot dan panjang badan yang merupakan standar pencatatan kelahiran atau syarat dalam penentuan kelas lomba pacuan kuda. Oleh sebab itu, masih banyak data karakteristik morfologi yang perlu diukur dan diolah secara maksimal melalui suatu analisis dan kajian yang mendalam untuk dimanfaatkan sebagai informasi dasar dan bahan acuan dalam perbaikan mutu genetik kuda. Peran lembaga penelitian seperti universitas, pusat kajian dan asosiasi berkuda perlu melakukan terobosan berupa penelitian yang terarah dan terintegrasi satu dengan lainnya untuk menghasilkan suatu kajian dan produk kuda yang semakin baik dan berkualitas. Perbaikan sistim pencatatan perlu ditingkatkan agar diperoleh informasi lengkap yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian pengembangan ternak kuda. Karakterisasi sifat-sifat morfometri dan genetik kuda di Indonesia sangat mendesak untuk dilakukan mengingat faktor-faktor tersebut merupakan

dasar pengetahuan untuk melihat kondisi dan potensi hewan tersebut untuk dijadikan patokan dalam upaya peningkatan dan pengembangan mutu genetik kuda. Faktor lainnya yang menyebabkan perkembangan populasi kuda semakin terbatas adalah pengaruh pesatnya perkembangan kendaraan bermotor, sehingga kuda hanya dikenal sebagai alat transportasi di pinggiran kota atau di desa (FSI 2009).

Keberadaan kuda di Indonesia diduga merupakan hasil persilangan dari beberapa bangsa kuda Eropa dengan bangsa kuda lokal yang telah beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya dan mampu menghasilkan keturunan yang fertil, sehingga populasi tersebut dapat dikatakan telah terbukti mampu mengatasi cekaman lingkungan yang oleh Noor (2008) menyatakan bahwa ternak-ternak seperti inilah yang cocok untuk dikembangkan di Indonesia. Perubahan genetik hanya dapat terjadi apabila terdapat faktor-faktor yang mengganggu kestabilan dalam populasi seperti adanya mutasi, seleksi alam atau buatan, migrasi (percampuran bangsa) dan penghanyutan genetik secara acak, karenanya perubahan genetik yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui proses evolusi suatu populasi bangsa ternak (Hartl & Clark 1997).

(21)

3

frekuensi alel, frekuensi genotipe, sebaran gen dan asal-usul gen-gen dalam populasi. Diketahuinya frekuensi gen, komposisi alel dan tingkat keragaman maka asal-usul, kekerabatan dan jarak genetik dari populasi kuda dapat diketahui. Secara individu analisis kuantitatif seperti nilai pemuliaan, koefisien keragaman, heritabilitas, repitabilitas dan korelasi genetik, menurut Falconer (1996), dapat dipergunakan dalam penentuan kemampuan (sifat-sifat unggul) yang dimiliki seekor hewan untuk tujuan seleksi dan persilangan. Pendekatan ilmiah lainnya adalah dengan memanfaatkan penanda immunogenetik dan biokimia yang telah banyak dimanfaatkan dalam upaya pencatatan dan verifikasi keturunan dari kuda-kuda domestik (Cannet at al. 1984; Dawson et al. 1996). Hubungan antar sub-populasi kuda dapat diungkap dengan memanfaatkan teknologi pengujian sampel golongan darah dan polimorfisme protein darah (Hintz 1980; Bowling & Ruvinsky 2004).

Analisis keragaman merupakan metode penting untuk melihat perbedaan fenotip dan genotip yang disebabkan oleh adanya seleksi, persilangan, mutasi dan genetik drift, juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui jarak genetik dari beberapa bangsa kuda yang telah ada (Komenes 1999). Keragaman fenotip dapat diketahui melalui pengamatan baik secara

kualitatif visual tampilan luar seperti warna dan corak bulu pada kuda maupun secara kuantitatif yaitu dengan mengukur bagian-bagian tubuh atau morfometrik (Freeland 2005).

Pada kuda pacu, faktor kecepatan lari dan daya tahan berlari atau kemampuan mempertahankan kecepatan berlari adalah karakteristik genetik utama yang perlu mendapat perhatian khusus untuk ditingkatkan kapasitasnya. Sistem seleksi yang masih bersifat tradisional yaitu dalam menyeleksi dan menyilangkan ternak para pemelihara hanya mengandalkan pengamatan visual berdasarkan pengetahuan terbatas dan pengalaman mereka, perlu diperbaiki dan dirubah dengan berdasarkan pertimbangan genetik yang terarah seperti mengacu dari hasil pengukuran nilai heritabilitas/repitabilitas, pendugaan nilai pemuliaan (EBV) dan nilai kemampuan produksi (MPPA).

(22)

Tujuan

Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji keragaman fenotip dan genotip sifat-sifat kuantitatif melalui pengukuran karakteristik ukuran tubuh (morfometrik) dan sifat-sifat kualitatif seperti warna dan pola warna bulu pada populasi kuda lokal di Sulawesi Utara.

2. Menelusuri hubungan kekerabatan beberapa sub-populasi kuda di Sulawesi Utara melalui kajian jarak genetik berdasarkan penanda morfometrik, morfologi warna bulu dan protein darah.

3. Mengkaji dan mendapatkan informasi perihal potensi genetik kuda pacu di Minahasa melalui perhitungan nilai repitabilitas untuk sifat kecepatan dan sifat ketahanan (kemampuan) dalam mempertahankan kecepatan lari.

4. Membuat dasar-dasar peta (roadmap) sistem pengembangan sumberdaya genetik ternak kuda yang terkini didasarkan pada informasi fenotip dan genotip yang diperoleh dan

dikaitkan dengan latar belakang sosio-ekonomi masyarakat pemelihara kuda di Sulawesi Utara sebagai langkah awal dalam pengembangan mutu genetik kuda di Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan informasi potensi fenotip dan genotip terkini berdasarkan kajian yang lengkap untuk dijadikan informasi dasar dalam usaha meningkatkan kualitas ternak kuda dalam upaya penyediaan bibit kuda Indonesia yang unggul.

2. Dapat menjadi acuan dasar dalam menyusun perencanaan program pemuliaan ternak kuda yang tepat, terarah dan terintegrasi untuk tujuan konservasi sumberdaya genetik, produksi dan produktivitas, pengembangan pariwisata dan pemanfaatan energi alternatif.

(23)

5

Ruang Lingkup Penelitian

Populasi kuda (Equus caballus) di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 400 ribu ekor merupakan sumberdaya genetik hewan yang cukup besar sehingga perlu dijaga dan dikembangkan. Kuda tersebar hampir di seluruh kepulauan Nusantara (Lampiran 1a) dengan struktur populasi terbanyak (± 50%) berada di daerah-daerah seperti Sulawesi Selatan (±100 ribu ekor), Nusa Tenggara Timur (± 99 ribu ekor) dan Nusa Tenggara Barat (±77 ribu ekor) (BPS 2006). Sejumlah hampir 90 persen berasal dari bangsa kuda Sandel atau dikenal dengan kuda poni, sisanya merupakan hasil persilangan dengan berbagai bangsa kuda Eropa, beberapa diantaranya adalah persilangan dengan bangsa kuda Thoroughbred (FSI 2009).

Permasalahan yang menjadi alasan kajian ini adalah belum adanya data yang lengkap serta terperinci perihal karakteristik fenotip, genotip dan sejarah asal-usul kekerabatan

populasi kuda di Indonesia (Gambar 1). Beberapa populasi kuda saat ini diduga tidak memiliki informasi yang akurat perihal asal-usul bangsa dan kekerabatannya. Atas dasar masalah tersebut maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap populasi kuda di Sulawesi Utara (Lampiran 1b) yang meliputi inventarisasi karakteristik kualitatif dan kuantitatif, morfologi ukuran-ukuran tubuh (morfometrik), keragaman fenotipik dan genotipik, jarak genetik melalui analisis keragaman fenotipik dan genotipik polimorfisme protein darah. Analisis kuantitatif parameter kecepatan dan ketahanan lari dilakukan terhadap beberapa populasi kuda pacu. Semua parameter selanjutnya dikaitkan dengan pola pemeliharaan masyarakat meliputi sistem perkawinan, pengetahuan pemuliaan dan cara seleksi.

(24)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran

Populasi Kuda

Asal-usul, kekerabatan/ jarak genetik dan keragaman populasi

tidak jelas

Analisis Kuantitatif & Kualitatif Deskripsi morfometri Keragaman Fenotip Jarak Genetik Analisis Protein (Darah) Ragam Genot

ip

Jarak Genetik Filogeni Analisis Sos

ek

Struktur Keluarga Pendidikan & Pendapatan Pengetahuan & Tindakan Analisis Repitabilitas

Sifat Kecepatan & Ketahanan Berlari MPPA P e m e c a h a n M a s a l a h

Strategi Pemuliaan untuk Tujuan Pemanfaatan Secara Berkelanjutan dan Konservasi Sumberdaya Genetik Kuda Indonesia

(25)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Perkembangan Kuda

Kuda (Equus caballus) termasuk dalam famili Equidae yang berkerabat erat dengan keledai (Equus asinus), zebra (Equus zebra) dan hemione (Equus heminus). Berdasarkan catatan sejarah dan pertimbangan arkeolog menunjukkan bahwa kuda telah terpisah dengan filum mamalia lainnya sejak dahulu kala (Gambar 2) dan didomestikasi di daerah Eurasian, negara bagian Ukrania pada tahun 4000 SM yaitu hewan ini dimanfaatkan untuk tunggangan dan sumber daging (Vila et al. 2001). Terdapat juga beberapa daerah lain yang diduga telah mendomestikasi kuda seperti di Cina, Mesopotamia, Turkistan dan wilayah bagian Utara pegunungan Persia (FAO 2000; Walker 2008). Filogeni kuda domestik di antara beberapa mamalia lainnya di gambarkan dalam Gambar 2.

Gambar 2 Filogeni kuda domestik Equus caballus diantara pyla mamalia lainnya (FAO-AAAS 1994)

Tempat dan waktu pertama kali kuda didomestikasi masih menjadi perdebatan di antara para arkeologis. Pengetahuan terkini tentang domestikasi kuda berdasarkan analisis material purbakala (metode radiokarbon) menunjukkan di bagian Selatan Ukrania yang berusia 4200-3800 SM (Anthony et al. 1991), terdapat paling kurang dua subspesies dari kuda liar yaitu

Equus ferus ferus atau kuda Tarpan dan Equus ferus przewalski yang dikenal sebagai kuda

Mongolian (Gambar 3) (Bowling & Ruvinsky 2004). Kuda Tarpan terakhir dibunuh pada bulan Desember 1879, keturunan jenis ini masih dipelihara di kebun binatang Moskow

(26)

Gambar 3 Kuda Przewalski (kiri) adalah cikal bakal nenek moyang kuda modern (kanan)

Kuda Sumba/ Sandel pada abad ke-16 telah dimanfatkan sebagai hewan peliharaan para raja di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Timur (FSI 2009). Di pulau Jawa kuda menjadi simbol kemegahan para raja dan dipergunakan dalam peperangan yang kemudian berkembang menjadii olahraga tontonan. Kuda di Indonesia selain untuk olahraga, juga berperan sebagai alat transportasi, bekerja untuk menarik bajak di sawah selain kerbau dan sapi (Gambar 4). Olahraga ketangkasan, pacuan dan berburu dengan menggunakan kuda masih banyak ditemukan di daerah Nusa Tenggara Barat dan Timur. Pada zaman Belanda, olahraga berkuda dikenal rakyat melalui pacuan kuda, yang dilakukan pada hari-hari pasar atau pada perayaan ulang tahun ratu. Berawal dari kegiatan tersebut peternakan tradisional yang melahirkan kuda pacu lokal seperti kuda Batak, kuda Padang Mangatas, kuda Priangan, kuda Sumba, kuda Minahasa dan kuda Sandel mulai tumbuh. Daerah-daerah yang pada awalnya dikenal memiliki ternak kuda tradisional adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara. Lomba ketangkasan berkuda dikenalkan kemudian hari oleh para tentara Belanda berupa lomba

lompat rintangan (jumping) (FSI 2009).

(27)

9

Sulawesi Utara serta satu klub yang bernama SEKARDIU yang dibentuk dari korps Kavaleri Bandung dengan ketua umum pertama adalah Achmad Syam dari Bogor. Pada perkembangannya, PORDASI kemudian diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya organisasi induk berkuda di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Olahraga nomor: 016 tertanggal 28 Oktober 1966. Sejak itu PORDASI selalu aktif menyelenggarakan perlombaan-perlombaan, baik dalam lomba pacuan kuda maupun lomba ketangkasan berkuda (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009).

Gambar 4 Berbagai bentuk pemanfaatan ternak kuda (seperti untuk tunggangan, menarik delman dan mengangkut beban).

Bangsa Kuda di Indonesia

Beberapa kelompok populasi kuda di Indonesia (Gambar 5) berasal dari bangsa kuda jenis Thoroughbred yang digunakan untuk pacuan atau disilangkan dengan kuda lokal, populasi kuda lokal silangan dan kuda asli Sumba yang dikenal dengan kuda Sandel (FSI 2009). Karakteristik beberapa kuda lokal Indonesia diperlihatkan pada Tabel 1.

Gambar 5 Bangsa kuda di Indonesia: (dari kiri ke kanan) Thoroughbred, Kuda Pony/Sandel dan Kuda Silangan. Sumber: koleksi pribadi.

(28)

disilangkan dengan kuda poni lokal (grading-up) dengan maksud untuk memperbaiki sejumlah penampilannya. Nama "sandalwood" sendiri dikaitkan dengan kayu cendana yang pada sebelumnya merupakan komoditas ekspor dari pulau Sumba dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya (FSI 2009).

Tabel 1 Karakteristik Kuda Lokal Indonesia

Jenis Kuda

Tinggi Badan (cm)

Karakteristik

Kuda Sumba 127 Bentuk kepala lebih besar dibanding kaki, ukuran leher yang pendek, sifatnya jinak dan cerdas, konformasi badan kurang sempurna tetapi memiliki bagian punggung kuat.

Kuda Timor 122 Bentuk badan lurus dan leher pendek, bagian punggung lurus dengan bahu dan ekor yang tinggi, bagian tengkuk dan ekor penuh dengan bulu

Kuda Sandel 135 Tubuh kecil, bentuk kepala kecil dan bagus. Mata yang besar, bulu yang lembut dan berkilauan, mempunyai kecepitan yang baik dan sangat aktif dengan kuku kaki yang keras dan kuat.

Kuda Batak 132 Bentuk kepala bagus,bagian muka yang lurus, leher pendek dan lemah. Bagian punggung yang panjang dan sempit dengan kaki bagian belakang ramping, bagian rump tinggi, ekor dan tengkuk mempunvai rambut yang bagus, serta posisi ekor cukup tinggi sehingga sangat baik dalam pergerakan.

Kuda Jawa 127 Stamina yang baik dan tahan terhadap panas, ukuran tubuh lebih besar dibandingkan kuda poni lainnya dan jinak. Kaki dan persendiannya tidak berkembang dengan baik sehingga mempengaruhi kekuatannya. Kuda Padang 127 Kuku kaki keras dan bentuknya bagus, bagian tumit

lemah. Mempunyai konformasi yang baik, tetapi pertulangannya kecil.

Kuda Sulawesi 125 Daya tahan tubuh kuat, kaki tegap dan kuat dan bertemperamen stabil.

Kuda Flores 124 Bentuk badan kecil dan jinak.

Kuda Bima - Badan kecil, pinggang yang pendek dengan daya tahan tubuh baik dan memiliki langkah yang cepat.

(29)

11

Kuda Sandel memiliki postur tubuh lebih rendah bila dibandingkan kuda ras dari Australia atau Amerika. Tinggi punggung antara 130 - 142 cm, kaki dan kukunya yang kuat dengan leher besar, memiliki daya tahan (endurance) yang tinggi sehingga banyak dipakai sebagai kuda tarik, kuda tunggang dan bahkan kuda pacu. Memiliki warna bulu bervariasi dari hitam, putih, merah, dragem, hitam maid (brownish black), bopong (krem), abu-abu (dawuk), atau juga belang (plongko). Kuda ini sampai sekarang masih diternakkan di Pulau Sumba dan diperdagangkan ke pulau-pulau lain seperti Jawa, Madura dan Bali sebagai kuda tarik, kuda tunggang serta kuda pacu (Equestrian Indonesia 2008; FSI 2009).

Kuda Thoroughbred adalah bangsa kuda yang dibentuk dari induk-induk kuda bangsa lain yaitu: kuda darley arabian, kuda godolphin arabian dan kuda byerly turki (KHP 2008). Nama-nama tersebut diambil dari nama para pemilik kuda galur murni tersebut yaitu Thomas Darley, Lord Godolphin dan kapten Robert Byerly, ketiga kuda jantan tersebut dibawa ke Inggris dari wilayah Mediteranian Timur Tengah sekitar abad ke-17 yang disilangkan dengan kuda asli Eropa(Edward 1994).

Persilangan tersebut menghasilkan kuda yang memiliki kemampuan mengangkut beban sekaligus memiliki kecepatan lebih untuk jarak tempuh yang jauh dan kemudian berkembang

dalam ukuran yang lebih ramping, gagah dan menarik sebagai kuda pacuan. Melalui proses persilangan yang selektif selama lebih dari 250 tahun, tercipta kuda jantan dan betina terbaik dengan keunggulan yang super dan hebat sebagai kuda pacuan (FAO 2000).

Pelestarian Sumberdaya Genetik Bangsa Kuda Indonesia

Sedikitnya satu bangsa ternak asli punah setiap minggu dan lebih sepertiga bangsa-bangsa ternak asli di Eropa dalam keadaan terancam punah (FAO 2000). Lebih lanjut catatan dari FAO tahun 2001 menyatakan hilangnya bangsa-bangsa ternak ini lebih disebabkan oleh kecenderungan para peternak untuk mengembangkan bangsa ternak eksotik. Keadaan ini banyak terjadi pada petani peternak di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan India akibat adanya persilangan yang meluas (Sodhi et al. 2006). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar yang berlebihan, penerapan mekanisasi pertanian yang tidak tepat dan diversifikasi produk ternak menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya genetik ternak lokal besar-besaran melalui

(30)

sumberdaya genetik hewan demi kelangsungan ketersediaan sumber makanan asal hewan yang berkelanjutan (Subandriyo & Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006).

Konservasi sumberdaya genetik hewan lokal memainkan peranan penting dalam kelangsungan ketersediaan pangan dunia berdasarkan kenyataan bahwa; pertama, terdapat lebih dari pada 60% bangsa-bangsa ternak dunia berada di negara-negara berkembang; kedua, mempertahankan potensi genetik ternak asli/ lokal bukan merupakan hal yang menguntungkan bagi peternak; ketiga, tidak adanya program pengawasan yang ketat dan ketersediaan informasi yang akurat terhadap sebagian besar bangsa ternak asli dan keempat, masih kurangnya pengembangan potensi genetik terhadap bangsa-bangsa ternak lokal (FAO 2001). Tiga metode yang dianjurkan untuk dilakukan demi melestarikan plasma nutfah ternak adalah: (1) mempertahankan populasi; (2) penyimpanan material genetik beku dengan teknologi cryopreservation, seperti semen dan ‘oocyt’ (haploid/n) atau embryo beku

(diploid/2n); dan (3) penyimpanan material DNA (deoxyrybo nucleic acid) pada bank gen (Duryadi 2005; Allendorf & Luikart 2007).

Sifat Kuantitatif dan Kualitatif

Setiap sifat kuantitatif dan kualitatif yang diekspresikan seekor hewan atau ternak disebut fenotip. Fenotip (P) merupakan hasil keseluruhan pengaruh-pengaruh gen atau genotipe (G), lingkungan (E) dan adanya interaksi antara pengaruh genotipe dan lingkungan (GxE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Nozawa et al. 1981), pertumbuhan tanduk, tekstur dan panjang bulu (Wiley 1981; Warwick et al. 1995).

Sifat kuantitatif adalah sifat-sifat yang dapat diukur pada seekor ternak baik untuk sifat

produksi seperti ukuran morfologi tubuh, kecepatan lari, daya tahan kerja dan tenaga tarik juga untuk sifat reproduksi seperti lama kebuntingan, lama birahi dan produksi susu (Martojo, 1992). Menurut Warwick et al. (1995), sifat kuantitatif dipengaruhi oleh beberapa

(31)

13

Sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh satu atau beberapa pasang gen dan umumnya variasi sifatnya tidak kontinyu (Noor 2008). Warna tubuh ternak dianggap sebagai character displacement atau penciri sifat untuk membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya (Wiley 1981; Warwick et al. 1995; Noor 2008). Terdapat beberapa warna dasar pada kuda seperti black, bay dan chesnut (Hawcroft 1984; Bowling & Rivinsky 2004) yang diekspresikan melalui interaksi sekurangnya tiga pasang gen. Searle (1978), telah mendeskripsikan beberapa genotip warna bulu seperti: A-/B-/dd (bay), aa/B-/dd atau aa/B-/Dd (black), --/bb/dd (chesnut), A-/B-/Dd (bay-cream), --/bb/Dd (chesnut-cream), DD (ivory white atau pseudo-albino), Rr (roan, RR bersifat letal) dan S- (spotted). Lebih lanjut Hawcroft (1984) menjelaskan, bahwa warna-warna seperti white, grey, cream, dun, roan dan pied (totol) adalah hasil modifikasi dari warna dasar kuda. Hal tersebut diperkuat oleh Bowling dan Rivinsky (2004) yang menjelaskan, bahwa terjadinya keragaman pola warna bulu pada kuda seperti adanya dilusi, bercak putih dan totol-totol disebabkan adanya mutasi jauh sebelum kuda di domestikasi.

Pola warna pada kuda dan hewan mamalia lainnya terjadi akibat mutasi yang disebabkan proses kehidupan individu hewan tersebut yang diatur secara genetik. Proses

tersebut berupa spesialisasi dari sel-sel, jaringan-jaringan dan organ-organ tubuh hewan yang terjadi pada saat proses adaptasi hewan dengan lingkungan (Lamoreux et al. 2010). Lebih lanjut dinyatakan, terbentuknya pola warna bulu karena adanya pigmentasi pada kulit atau bagian rambut dan bulu yang disebabkan oleh pigmen melanin seperti warna merah atau kuning yang dibentuk oleh pheo-melanin, sedangkan warna hitam atau cokelat oleh eu -melanin. Bowling dan Ruvinsky (2004) menjelaskan, bahwa pembentukan warna-warna dasar pada kuda merupakan ekspresi dari alel-alel pada gen agouti (A), extension (E) dan

grey (G).

(32)

perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metoda yang digunakan dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer & Mackay 1996) sedangkan repitabilitas (r) merupakan suatu pengukuran kesamaan antara pengukuran suatu sifat yang diukur berkali-kali pada ternak yang sama selama ternak tersebut hidup (Noor 2008). Nilai repitabilitas suatu sifat akan ditentukan oleh keragaman komponen-komponen penyusunnya, yaitu komponen genetik yang terdiri atas gen aditif, dominan dan epistasis serta komponen lingkungan, baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat sementara. Pengaruh lingkungan permanen adalah semua pengaruh lingkungan yang bukan bersifat genetik, tetapi dapat mempengaruhi produktivitas seekor ternak selama hidupnya (Warwick et al. 1995). Ditambahkannya, bahwa adanya perbedaan nilai dugaan heritabilitas maupun repitabilitas disebabkan oleh (a) metoda analisis yang digunakan untuk menduga, (b) ekspresi genetik yang ada pada tiap bangsa hewan didalam populasi yang berbeda, (c) jumlah data yang digunakan dan (d) faktor koreksi untuk sifat non-genetik yang dibuat pada setiap data.

Besaran nilai heritabilitas dan repitabilitas berkisar antara nol sampai satu. Suatu sifat

dengan nilai nol adalah sifat yang semua keragamannya disebabkan pengaruh lingkungan, sedang nilai satu menunjukkan sifat kuantitatif yang semua keragamannya disebabkan oleh

faktor keturunan atau genetik (Warwick et al. 1995). Menurut Martojo (1992) nilai dugaan heritabilitas/ repitabilitas dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok, yaitu nilai heritabilitas 0.0 – 0.2 tergolong rendah, nilai heritabilitas 0.2 – 0.4 tergolong sedang dan nilai lebih dari pada 0.4 tergolong tinggi. Nilai heritabilitas untuk sifat kecepatan yang diukur berdasarkan catatan terbaik pada kuda jenis Thoroughbred dan Trotters dengan menggunakan analisis saudara tiri sebapak masing-masing adalah: 0.23 dan 0.25, sedangkan untuk daya tahan menarik beban pada kuda Jerman sebesar 0.29 (Hintz 1980).

(33)

15

Keterangan: r = Nilai repitabilitas suatu sifat; VA = variasi aditif;

VEt = variasi lingkungan tetap

VP = variasi fenotipik (variasi total).

Macijauskiene (2002) menyatakan, bahwa repitabilitas adalah ukuran kekuatan (konsistensi, reliabiliti) hubungan antara ukuran yang berulang-ulang (nilai fenotipik yang berulang-ulang) suatu sifat dalam populasi. Warwick et al. (1995) menyatakan, bahwa repitabilitas suatu sifat berguna dalam memperkirakan produktivitas ternak pada masa yang akan datang berdasarkan satu atau lebih catatan produksi. Noor (2008) menyatakan, bahwa nilai repitabilitas yang tinggi menandakan ternak tersebut mampu berproduksi dengan ukuran yang hampir sama untuk setiap tahunnya, ternak dinilai cenderung mendekati ukuran tertinggi atau terendah secara konstan, tidak terpengaruh jumlah rataan ukuran yang mungkin berubah. Nilai repitabilitas yang tinggi adalah bukti dari determinasi sifat yang diamati (Macrejowski & Zieba 1982).

Karakter Morfologi, Penanda Biokimia dan Immunogenetik

Sumber utama karakter dari mahluk hidup ditandai dari bentuk struktur morfologis hewan tersebut, dari yang sifatnya relatif sederhana sampai yang sangat rumit dan kompleks (Karthickeyan et al. 2006). Oleh sebab itu, karakter morfologis dapat dijadikan faktor pembeda setiap taxa makhluk hidup mulai dari tingkat phyla sampai spesies (Kh al i l et al .

1986). Sebagai penduga yang mewakili bentuk dan deskripsi khas dari bentuk tubuh, maka karakter morfologis sangat bermanfaat untuk menganalisis karakteristik banyak mahluk

hidup (Wiley 1981). Pengukuran panjang tulang-tulang menurut Salako dan Ngere (2002), mempunyai ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan pengukuran bobot badan. Mulliadi (1996) menambahkan, bahwa untuk ukuran-ukuran tubuh yang memiliki keragaman tinggi dapat memberikan petunjuk bahwa ukuran-ukuran tersebut dapat dijadikan kriteria untuk seleksi dalam upaya peningkatan sifat-sifat produksi.

(34)

suatu spesies dapat diperoleh dengan menggunakan penanda morfologis (Hill et al. 2002; Ouragh 2004). Sumber informasi genetik hewan dapat diperoleh melalui penafsiran dan pencatatan performa produksi dan reproduksi hewan. Karakter genetik yang kelihatan nyata ataupun tertutup oleh suatu individu hewan adalah merupakan pencerminan karakter genetik yang dimiliki oleh hewan tersebut(Lewin 2000). Jadi dengan kata lain semua informasi yang dapat diperoleh dari pengamatan satu individu dapat disebut sebagai penanda genetik hewan itu (Muladno 2006).

Polimorfisme Protein Darah

Polimorfisme adalah kondisi dimana alel-alel dalam populasi jumlahnya berbeda satu dengan lainnya atau variasi terjadi pada sifat-sifat tertentu (Feldhamer et al. 1999). Apabila pada suatu gen atau lokus terdapat banyak kombinasi alel yang ditunjukkan dengan besarnya nilai frekuensi alelnya, maka populasi tersebut akan disebut polimorfik. Suatu lokus dikatakan polimorfik jika nilai frekuensi alel ≤ 0.99. Apabila nilai frekuensi alel adalah 1.00 maka alel tersebut bersifat monomorfik dan bisa dikatakan bahwa seluruh individu dalam populasi tersebut memiliki gen yang sama atau homosigot pada satu alel (Falconer & Mackay 1996). Polimorfisme protein darah merupakan salah satu metode yang sangat berguna dalam menentukan asal-usul dan menghitung jarak genetik antar spesies, bangsa atau kelompok suatu populasi hewan (Warwick et al. 1995; Duryadi 2005). Menggunakan teknik elektroforesis yang mampu memisahkan dan membedakan jenis protein atau jenis enzim tertentu dalam suatu media gel pati atau akrilamid akan menghasilkan bentuk pola atau pita-pita tertentu dimana apabila pola yang terbentuk dalam posisi sama pada semua individu

yang diamati berarti gen tersebut sama atau tidak beragam (Freeland 2005). Menurut Nicholas (1996), apabila gel elektroforesis menghasilkan satu pita berarti homozigot, sedangkan heterozigot akan ditunjukkan dalam bentuk dua pita.

(35)

17

membantu dalam penentuan asal-usul, penyusunan hubungan filogenetik antara spesies, bangsa atau kelompok dalam spesies.

Studi polimorfisme untuk menduga variasi genetik dengan menggunakan metode elektroforesis protein darah pada lokus post transferin-1 (Tf1), post transferin-2 (Tf2), albumin (Alb) dan hemoglobin (Hb) telah banyak dilakukan pada ternak unggas, sapi dan beberapa hewan liar lainnya (Nozawa 1981;Noor et al. 2000; Cervini et al. 2006). Analisis protein darah pada populasi kuda Batak, kuda Padang, Kuda Noa Bosi dan populasi kuda di pulau Jawa pernah dilakukan terhadap 15 lokus protein darah untuk melihat keragaman genetik antara populasi-populasi kuda di Indonesia dan Malaysia dengan populasi kuda di Jepang. Hasilnya menunjukkan adanya proporsi polimorfis sebesar 23-34% dengan rataan heterozigositas sebesar 8-11%. Walaupun nilai polimorfis dan heterozigositas relatif rendah akan tetapi menurut Nozawa et al. (1981) keragaman genetiknya masih dalam level yang sama.

Keragaman Genetik

Perubahan pada frekuensi dan distribusi gen-gen diakibatkan adanya mutasi, proses seleksi alam atau buatan, perkawinan silang, migrasi dan bencana alam sehingga

menyebabkan hilangnya gen-gen tertentu atau penghanyutan genetik (random genetik drift) dapat menyebabkan terjadinya keragaman genetik dalam populasi (Liu 1998), kecuali pada populasi yang besar, frekuensi genotipik cenderung tidak berubah dari generasi ke generasi (Falconer & Mackay 1996). Bangsa ternak yang berkembang dalam berbagai sistem dan lingkungan yang ada saat ini telah menghasilkan berbagai kombinasi gen yang unik. Gen-gen ini tidak hanya menentukan kualitas sifat produksi dari masing-masing bangsa, tetapi juga kemampuan adaptasinya pada kondisi lokal termasuk makanan, ketersediaan air, iklim dan hama penyakit (FAO 2001).

(36)

mempengaruhi keberhasilan strategi pemuliaan untuk masa yang akan datang (FAO-AAAS 1994).

Keragaman genetik suatu populasi ternak menjadi modal dasar dalam mengaplikasikan teknologi pemuliaan untuk pemanfaatan atau produksi. Keragaman penampilan hewan merupakan refleksi informasi genetik yang dimilikinya seperti adanya perbedaan-perbedaan dalam kemampuan adaptasi, besar ukuran tubuh dan daya tahan terhadap penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini disebabkan selama proses domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing lingkungan lokal dan kebutuhan komunitas lokal sehingga dihasilkan bangsa berbeda (Muladno 2006). Adanya kemampuan adaptasi disebabkan hewan pada dasarnya memiliki kemampuan dalam menghasilkan lebih daripada satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan atau tingkah laku sebagai reaksi terhadap perubahan lingkungan, yang oleh Noor (2008) disebut sebagai pengaturan ekspresi gen.

Pengukuran keragaman genetik diantara populasi dapat dilakukan dengan

memanfaatkan data elektroforesis protein darah yaitu dengan mengamati nilai heterozigositas populasi (H) atau rataan persentase dari lokus heterosigot tiap individu (Avise 1994). Analisis data frekuensi alel dari sepuluh bangsa kuda dan lebih daripada 50 ribu ekor kuda domestik telah menggunakan 22 lokus golongan darah dan polimorfisme protein darah dalam menduga keragaman total gen (HT), koefisien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen (HS)

(Tabel 2). Nilai keragaman genetik (HT), yang tinggi akan menggambarkan terjadinya seleksi

dalam taraf polimorfisme lokus sedang sampai tinggi yang baik untuk membantu pengujian parental. Pengukuran (HS) dan (GST) ditujukan untuk menduga bagian-bagian keragaman

(37)

19

Table 2 Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaaan antar bangsa kuda, nilai total keragaman gen (HT), koefieien diferensiasi gen (GST) dan rataan keragaman gen

(HS)

Sumber Lokus Kromosom Alel-alel HT GST HS

Kelompok Darah AA EAC EAD EAK EAP EAQ EAU 20 U U 2 U 8 24 12 2 25 2 3 6 2 0.74 0.47 0.89 0.12 0.51 0.67 0.43 0.14 0.10 0.08 0.12 0.04 0.15 0.16 0.64 0.42 0.82 0.10 0.49 0.57 0.36

Protein AP

CA CAT HbA PGD PGM GPI U U U 13 2 5 10 2 6 3 5 3 3 5 0.08 0.14 0.36 0.53 0.29 0.20 0.09 0.02 0.07 0.16 0.12 0.11 0.03 0.13 0.07 0.13 0.30 0.47 0.26 0.20 0.08

Serum ALB

C3 ES GC PLG TF PI XK 3 7 3 3 31 16 24 10 3 5 12 2 2 15 25 4 0.45 0.45 0.50 0.16 0.33 0.77 0.88 0.17 0.09 0.06 0.12 0.06 0.12 0.10 0.09 0.10 0.41 0.42 0.44 0.15 0.29 0.69 0.80 0.16 Sumber: Tosaki et al. 1995; Bowling & Ruvinsky 2004.

Keterangan: EA(A,C,D,K,P,Q,U): erythrocyt antigen; AP: acid phosphatase; CA: carbonic anhydrase; CAT: catalase; HBA: haemoglobin alfa; PGD: phosphogluconat dehydrogenase; PGM: phosphoglucomutase; GPI: glucosephosphat isomerase; ALB:

[image:37.595.50.515.109.707.2]
(38)
(39)

21

MATERI DAN METODE

Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode purposive sampling dimana penentuan daerah dilakukan secara terukur berdasarkan pertimbangan jumlah populasi terbesar, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran secara acak.

Populasi sampel adalah populasi kuda lokal dan kuda pacu yang berada di empat kabupaten/ kota di Sulawesi Utara yang mewakili hampir 80% populasi kuda di Sulawesi Utara (Lampiran 2a). Total 505 ekor atau setara ± 10% dari populasi kuda dewasa di empat kabupaten/kota (Lampiran 2b & 2c) dengan rasio jantan/betina sama. Pemilihan lokasi dilakukan berdasarkan asumsi pada daerah-daerah tersebut terdapat populasi kuda dewasa jantan dan betina yang memenuhi kriteria yaitu kuda dewasa dengan umur 2-7 tahun berdasarkan pendugaan jumlah gigi (Lampiran 3a) dan telah lama dipelihara.

Pengamatan dan pengambilan data kualitatif (warna dan corak bulu) dan kuantitatif /morfometri (Lampiran 3b) hanya dilakukan pada empat kabupaten/kota yaitu: kabupaten

Minahasa sebanyak 372 ekor, kabupaten Minahasa Selatan sebanyak 33 ekor, kota Tomohon sebanyak 40 ekor dan kota Manado sebanyak 57 ekor. Sampel darah diambil pada bagian

vena jugularis (Gambar 6) atau daerah sekitar leher kuda dan dimasukkan kedalam dua tabung kolektor darah 10 ml, yang telah mengandung anti koagulan

ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) K3 sebagai pengawet untuk kemudian dibawa ke Laboratorium Molekuler Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.

Gambar 6. Pengambilan sampel darah kuda

Tahapan penelitian meliputi pengukuran morfometrik, pengambilan sampel darah dan

(40)
(41)

23

KARAKTERISASI MORFOLOGI, KERAGAMAN GENOTIP DAN

JARAK GENETIK KUDA LOKAL SULAWESI UTARA

Pendahuluan

Karakterisasi terhadap bangsa hewan atau ternak lokal adalah input yang sangat berharga terhadap pemanfaatan yang berkelanjutan dan pelestarian sumberdaya genetik hewan tersebut (Noor 2008). Klasifikasi dan pemanfaatan sumberdaya genetik hewan yang hanya hidup dan digunakan untuk berbagai kebutuhan diwilayah tersebut merupakan strategi paling tepat untuk diterapkan (FAO-AAAS 1994). Pengamatan terhadap ukuran tubuh digunakan untuk penentuan keragaman baik ukuran maupun bentuk tubuh terhadap populasi

ternak berukuran besar seperti kuda dan sering dipakai secara rutin sebagai parameter pengganti dalam menduga bobot hidup ternak (Komosa & Purzyc 2009), sedangkan analisis keragaman dan korelasi banyak digunakan dalam mengkarakterisasi hubungan sifat-sifat fenotip dan genetik (Flint & Woolliams 2008). Analisis komponen utama adalah bentuk modifikasi perhitungan yang dipakai saat karakterisasi secara fisik menunjukkan adanya hubungan yang erat antar parameter dengan berat hidup hewan yaitu terdapat beberapa indikator dari tipe dan fungsi ternak lokal yang telah berhasil diduga dengan memanfaatkan berbagai kombinasi pengukuran indek dan ukuran tubuh ternak baik secara konvensional maupun non-konvensional dan tidak terbatas hanya pada pendugaan bobot tubuh (Salako 2006). Analisis komponen utama sebagai salah satu alat ukur secara berurutan dapat mengelompokkan sifat-sifat yang kemungkinan paling diutamakan sebagai dasar seleksi atau dapat dipakai untuk mempelajari keterkaitan diantara ukuran-ukuran tubuh khususnya pada ternak besar seperti ternak kuda.

Pada saat ini, pengetahuan perihal keterkaitan antara ukuran proporsi tubuh ternak, khususnya pada ternak kuda masih sangat kurang. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji keragaman pada ukuran-ukuran tubuh kuda lokal di Minahasa berdasarkan berbagai aspek pengamatan seperti perbedaan jenis kelamin, umur dan kondisi sosio-geografis. Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan keterkaitan antar ukuran/ dimensi

(42)

Materi dan Metode

Data kuantitatif bobot badan dan ukuran tubuh atau morfometrik (Gambar 7) meliputi pengukuran: 1) bobot badan/ live weight (kg), diukur dengan menggunakan timbangan digital portable (Lampiran 3c); 2) lingkar dada/ chest girth (cm), diukur melingkar tepat di belakang

scapula dengan menggunakan pita ukur; 3) lebar dada/ chest width (cm), diukur jarak antara

tuberositas humeri sinister dan dexter dengan tongkat ukur; 4) dalam dada/ chest depth (cm), diukur jarak antara bagian tertinggi pundak sampai dasar dada dengan tongkat ukur; 5) tinggi pundak/ wither height (cm), diukur dari bagian tertinggi pundak/ processus spinalis melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur; 6) tinggi pinggul/hip height/rump height (cm), diukur dari bagian tertinggi pinggul sampai secara tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur; 7) lebar pinggul/ hip width/rump widht (cm), diukur pada kedua sisi pinggul dengan menggunakan tongkat ukur; 8) panjang badan/ body length (cm), diukur dari tuber ischii sampai tuberositas humeri, dengan menggunakan tongkat ukur; 9) panjang kaki depan/ foreleg length, diukur secara lateral dari

humeral tuberosity kebawah sampai feetlock joint; 10) lingkar paha/rump girth(cm), diukur

dari pangkal paha melalui vastus lateralis dengan menggunakan pita ukur; 11) panjang paha (cm)/ rump length, diukur dari pangkal ekor/ tuber ischii sampai tulang pinggul/ hip bone;

12) panjang leher (cm), diukur dari bagian rahang bawah sampai tuber ischii menggunakan tongkat ukur; 13) lebar kepala (cm), diukur jarak kedua tulang pipi dengan mistar ukur dan 14) panjang kepala (cm), diukur dari posisi bagian tengah kepala sampai ke bagian mulut, menggunakan pita ukur.

Hasil pengukuran bobot badan dan ukuran tubuh dalam bentuk datasheet Excel

(43)

25

[image:43.595.152.460.86.322.2]

Gambar 7 Sketsa ukuran tubuh kuda (Hawcroft 1983; Owen 2003)

Indeks morfologi akan dihitung dari nilai rataan ukuran-ukuran tubuh berdasarkan metode Alderson (1999) yaitu:

(44)

Analisis Komponen Utama (AKU) yang menurut Balding et al. (2007) merupakan metode yang tepat dalam mereduksi dimensi keragaman untuk mencari kombinasi linier maksimum pada kolom peubah (X) digunakan dengan tujuan mendapatkan representasi data yang paling akurat dari parameter yang diukur. Metode AKU juga digunakan untuk mendapatkan sedikit kombinasi dari parameter atau disebut komponen, yang dapat menjelaskan seluruh keragaman dari suatu pengamatan (Kirkwood 2005). Rumus analisis komponen utama adalah:

Yj = a

ij

X

1

+ a

2j

X

2

+a

3j

X

3

+ ... + a

1ij

X

11

Keterangan:

Yj = komponen utama ke j (j=1,2; 1= ukuran dan 2= bentuk tubuh)

X1,2,3 ... n = peubah ke 1,2,3 ... ke-n

a1j, 2ij, 3ij, ... nj = vektor eigen peubah ke 1,2,3,.. n dengan komponen utama ke-j

Hubungan asosiasi antar peubah yang akan diukur berdasarkan nilai koefisien korelasi (Kirkwood 2005) dengan rumus:

(45)

27

Rumus regresi adalah:

Keterangan: r = koefisien korelasi

x, X = peubah x, peubah bebas X y,Y = peubah y, peubah tidak bebas Y a = intersep

b = slope atau koefisien regresi

Analisis data kuantitatif bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh menggunakan uji t untuk membandingkan beberapa variable yang tidak sama antar populasi dengan metode

perbandingan dua rataan.

dengan persamaan ragam:

dan derajat bebas:

Keterangan : T = nilai t hitung

= rataan populasi pertama = rataan populasi kedua

n1 = jumlah individu pada kelompok pertama

n2 = jumlah individu pada kelompok kedua 2

= varian gabungan

12 = varian populasi pertama 22 = varian populasi kedua

(46)

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis deskriptif ukuran tubuh yang ditampilkan pada Tabel 3, secara umum menggambarkan bahwa kuda jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang hampir sama (P>0.05), namun jantan cenderung lebih tinggi dari betina. Kisaran TP secara umum menggambarkan kedekatan ukuran daripada bangsa kuda Poni (± 130 cm) dan sedikit lebih kecil dari kuda Sandel (130 s/d 143 cm) di usia dewasa (Bowling & Ruvinsky 2004; Equestrian Indonesia 2008). Kuda betina memiliki ukuran lebih panjang pada bagian tubuh dan kepala. Ukuran TPgl yang cenderung sama dengan TP menjelaskan bahwa secara

proporsional tubuh kuda berbentuk datar persegi saat berdiri yang mencirikan fungsi sebagai ternak tunggang atau tarik. Populasi kuda di kota Manado dan kabupaten Minahasa Selatan

memiliki bobot tubuh yang lebih ringan daripada populasi di kota Tomohon dan kabupaten Minahasa yaitu populasi kuda di Tomohon memiliki rataan berat badan tertinggi, sedangkan populasi di kabupaten Minahasa Selatan yang terendah. Perbedaan ini diduga lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, misalnya pakan (ketersediaan rumput), suhu yang panas (tepi pantai) dan kondisi peternak (sosial-ekonomi) yang juga menjelaskan adanya seleksi secara tidak langsung yang secara genetik mengarah pada pembentukkan bangsa kuda lokal yang baru. Kesamaan ukuran tubuh pada jantan dan betina juga pernah dilaporkan pada bangsa ternak besar lainnya seperti ternak sapi (Gilbert et al. 1993).

Ukuran dan bobot badan populasi kuda di Tomohon yang secara fenotip berbeda dengan kuda-kuda di tiga daerah lainnya, secara visual di lapangan dan hasil analisis data menunjukkan bahwa ukuran dan berat badan populasi kuda di kota Tomohon lebih didominasi oleh ukuran dan tipe bangsa kuda Thoroughbred yang banyak dipelihara untuk pacuan. Hal ini diperkuat dengan hasil analisis indeks morfologi yaitu WI dan CI pada populasi kuda di Tomohon memiliki indeks bobot paling tinggi dan secara kumulatif menggambarkan bahwa postur tubuh kuda di Tomohon lebih besar daripada populasi kuda lainnya. Hasil perhitungan indeks yang didasarkan pada pengukuran yang saling berkaitan erat antara bagian-bagian tubuh ternak menggambarkan kestabilan bentuk dari suatu bangsa ternak. Berdasarkan nilai CI, populasi kuda di Tomohon memiliki kaki dan tubuh lebih panjang yang mencirikan kuda pacuan, sedangkan populasi kuda di Manado dan Minahasa

(47)
[image:47.842.69.772.11

Gambar

Table 2 Lokus yang digunakan dalam analisis perbedaaan antar bangsa kuda, nilai total
Gambar 7  Sketsa ukuran tubuh kuda (Hawcroft 1983; Owen 2003)
Tabel 3 Deskripsi morfometrik kuda lokal berdasarkan jenis kelamin dan lokasi
Tabel 4 sebagai berikut:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Buku Bimbingan Akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu media pengarahan dari dosen pembimbing

Penelitia n ini berjudul “ Persepsi dan Pengetahuan Guru Terhadap Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas IV dalam KTSP Di UPTD Karangreja, Kabupaten Purbalingga

Sesuai hasil penelitian, pada indikator ini terdata sejumlah 50% subjek dari unsur siswa memilih skala 3 yang menyatakan bahwa ilustrasi yang disajikan pada Buku Sekolah

Tulisan ini lebih menyoroti fenomena lukisan yang banyak mengambil figur perempuan dalam kajian gender, untuk melihat apakah representasi perempuan dalam lukisan di bak truk

Pengujian dibagi dalam tiga tahapan pe- nelitian yaitu: Tahap 1) Teh daun murbei dan campuran teh hijau+teh daun murbei (rasio 1:1) dianalisa kandungan kimianya yang

Pengaruh Zuhud Dalam Pengelolaan Ekonomi Islam Sebuah.. Analisis Terhadap Pandangan

Dengan menggunakan 3 anak dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda sebagai informan yang berada di Banyuwangi, fokus perhatian dalam analisis ini adalah praktik

literatur yang ada, serta melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat al- Qur’an yang menjelaskan tentang zuhud dengan bantuan tafsir al-Mishba&gt;h karya M.. Quraish