• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemaknaan Gonjong Rumah Gadang Berdasarkan Sudut Pandang Semotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pemaknaan Gonjong Rumah Gadang Berdasarkan Sudut Pandang Semotika"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Pemaknaan Gonjong Rumah Gadang Berdasarkan Sudut Pandang Semotika

Andri Nur Oesman, Gunawan Tjahjono

1. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

E-mail: andri.noaxix@gmail.com

Abstrak

Masyarakat Minangkabau yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia mengalami penurunan rasa kepercayaan diri akan identitas. Untuk meningkatkannya, perlu pemahaman lebih terhadap unsur budaya. Gonjong sebagai salah satu elemen arsitektur sekaligus merupakan unsur budaya menjadi hal yang tepat untuk dipahami.

Pemahaman dilakukan dengan pencarian pemaknaan gonjong yang merupakan bentuk atap yang digunakan pada Rumah Gadang. Pemaknaan gonjong dibahas berdasasarkan teori semiotika. Dalam semiotika terdapat proses semiosis abadi yaitu perkembangan pemaknaan yang terjadi terus menerus. Pembahasan perkembangan pemaknaan dalam semiotika membutuhkan latar belakang kebudayaan masyarakat yang mengalami. Dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Minangkabau, pengaruh Islam yang sangat kuat menimbulkan banyak pergeseran pemaknaan. Pergeseran makna yang sudah tertanam berkembang pada perkembangan pemaknaan ke arah expression atau bentuk penanda, yaitu gonjong.

Interpretation of Gonjong of Rumah Gadang Based on Semiotic Perspective

Abstract

The Minangkabau people which spreaded all around Indonesia is having a self confidence deficiency of identity.

To overcome this, the Minangkabau needs a deeper understanding about their cultural elements. One of cultural elements, which also acts as architectural element, that is important to be understood is Gonjong. The understanding of gonjong is received by doing research on interpretation of gonjong as the roof of Rumah Gadang. Theory of semiotics is used to find the interpretation of gonjong. The theory of semiotics explains about the infinite process of semiosis which means the continuous evolution of interpretation. This evolution of interpretation have to be discussed along with the cultural background of the civilization. In the case of Minangkabau‟s cultural development, the strong influence of Islam creates many shiftings of meanings. The shifting of meanings is developed into “expression” or the form of the sign, which is gonjong.

Keywords: gonjong; rumah gadang; semiotics.

Pendahuluan

Propinsi Sumatera Barat sebagai tanah kelahiran kelompok etnis Minangkabau menjadi titik awal persebaran ke seluruh Indonesia hingga ke negara-negara seberang. Persebaran ini terjadi berkat budaya merantau yang telah turun temurun ditanamkan pada setiap orang Minang. Meski memiliki kuantitas yang besar namun keberadaan orang Minang cukup sulit dideteksi di ranah rantau. Seolah nilai-nilai budaya Minang kurang tertanam sehingga rasa

(2)

percaya diri akan etnis sendiri kurang atau bahkan tidak ada. Isu krisis identitas ini dapat ditanggulangi dengan mendalami pemaknaan terhadap unsur budaya. Seperti kutipan dari A.A. Navis,

“…dan secara sadar mencoba menerangkan apa makna yang sesungguhnya dari dasar nilai itu. Dengan kata lain mereka bukan saja tidak membiarkan diri terlarut dan terkulai dalam keberlakuan dasar nilai kultural, tetapi bahkan juga ingin merangkul lebih keras. Mereka sebagai peserta semakin sadar, bahwa nilai dasar yang dimiliki itu merupakan sesuatu yang berharga untuk selalu dipelihara.” (Navis, 1984)

Begitu banyak unsur kebudayaan yang menjadi keunikan Minangkabau yang bisa diangkat untuk menanggulangi krisis identitas yang terjadi. Salah satunya gonjong, sebuah elemen budaya yang sekaligus merupakan salah satu elemen karya arsitektur. Hampir seluruh bangunan selain rumah tinggal di wilayah Sumatera Barat kini menggunakan gonjong sebagai bentuk atap. Padahal bangunan di bawahnya bukanlah rumah gadang. Hal ini sangat terlihat terutama pada bangunan-bangunan pemerintahan. Tidak hanya di wilayah sumatera barat saja, di luar itu pun bangunan yang membawa nama Minang atau Padang selalu menampilkan gonjong pada bagian bangunannya, baik itu terbangun sebagai atap, hanya

„tertempel‟ di salah satu bagian bangunan, atau bahkan hanya gambar dari atap bergonjong tersebut. Namun, meskipun digunakan sebagai simbol, penggunaan tersebut terasa hanya sebagai kebiasaan. Sebagai unsur budaya, pemaknaan yang dangkal—bahkan tidak ada—dan minimnya pembahasan tentang unsur budaya ini, berakibat pada munculnya krisis kepercayaan diri akan identitas.

Dari hal-hal tersebut timbul pertanyaan apakah penggunaan gonjong sebagai salah satu elemen karya arsitektur masih memiliki fungsi selain fungsi simbol yang selama ini terjadi.

Sehingga pembangunan gonjong pada suatu bangunan memiliki fungsi lebih ketika diimplementasikan pada bangunan di masa kini. Kalaupun ternyata gonjong hanya memiliki fungsi simbolik, perlu dikaji lebih lanjut makna sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh para leluhur Minang melalui gonjong pada Rumah Gadang. Dengan demikian gonjong tidak hanya bermakna sebagai simbol etnis Minang semata, namun terdapat kandungan nilai yang lebih fundamental yang dapat menguatkan identitas Minang tersebut

(3)

Berakar pada pemaknaan tersebut, rasa kepercayaan diri akan identitas yang meningkat akan memperbaiki paradigma yang selama ini salah terhadap kelompok etnis Minangkabau. Dan bagi ranah arsitektur, pemaknaan simbol kebudayaan akan memerkaya kepustakaan arsitektur tradisional di Indonesia. Hal ini akan menjadi dasar penguatan identitas diri dan rasa bangga sebagai warga Indonesia yang memiliki keragaman kelompok etnis kebudayaan.

Untuk memfokuskan penelitian dan analisis, penulisan ini dibataskan pada pembahasan mengenai perkembangan kebudayaan serta kebudayaan Minangkabau yang dipahami saat ini sebagai latar belakang analisis teks yang membahas gonjong sebagai salah satu elemen Rumah Gadang. Analisis teks kemudian dibandingkan dengan pemaknaan dan implementasi gonjong pada beberapa bangunan masa kini di Sumatera Barat sebagai wilayah asal Minangkabau.

Dalam pembahasan pemaknaan, teori semiotika atau teori tentang tanda dijadikan landasan penelitian. Untuk itu, dilakukan penelaahan literatur terkait pembahasan semiotika. Mulai dari semiotika secara umum hingga semiotika dalam analisis arsitektur. Kemudian, untuk melihat bagaimana perkembangan pemaknaan, dilakukan penelaahan literatur terkait pembahasan perkembangan kebudayaan dan kebudayaan Minangkabau itu sendiri.

Tinjauan Teoritis

Semiotika secara harafiah berarti ilmu tentang tanda, berasal dari kata bahasa Yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Sedangkan menurut kamus online Merriam-Webster, semiotika adalah,

“A general philosophical theory of signs and symbols that deals especially with their function in both artificially constructed and natural languages and comprises syntactics, semantics, and pragmatics.” (Terjemahan bebas: suatu teori filsafat umum tentang tanda dan simbol yang terutama membahas tentang fungsinya dalam bahasa yang terbangun secara artifisial dan bahasa natural dan terdiri dari sintaktik, semantik, dan pragmatik.)

Teori semiotika yang digunakan dalam tulisan ini dibatasi dalam dua aliran studi tentang semiotik. Yang pertama yaitu semiotika menurut Ferdinand de Saussure (semiologi) yang menggunakan paham strukturalis dalam pemaknaan tanda. Menurutnya, dalam semiologi,

(4)

tanda sebagai pertemuan bentuk dan makna yang ia sebut sebagai signifiant dan signifié.

Sedangkan yang kedua yaitu semiotika menurut Charles Sanders Peirce yang menyebutkan bahwa tanda dalam semiotika merupakan suatu proses, “sesuatu” yang mewakili sesuatu.

Dalam proses ini terdapat tiga tahapan di dalamnya,1 1) pencerapan aspek konkrit tanda melalui pancaindra (representamen), 2) mengaitkan secara spontan representamen dengan yang ada di dalam kognisi manusia (object), 3) proses penafsiran object sesuai dengan keinginan manusia yang memaknai (interpretant). Semiosis dapat berlanjut melalui interpretant yang menjadi representamen baru (Hoed, 2014). Pemikirannya ini dibedakan dari paham de Saussure sebagai paham pragmatis.

Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu pengembang teori semiotika strukturalis oleh Saussure. Barthes mengembangkan strukturalisme melalui kajian tentang konotasi, yakni bagaimana makna dapat “berkembang” sesuai dengan aktivitas kognitif pemakai tanda.

Untuk menyederhanakan, ia menyebutkan bahwa tanda terdiri dari expression dan contenu.

Expression (selanjutnya disebut E) merupakan istilah yang ia gunakan yang merujuk pada penanda (signifiant) dan memiliki arti ungkapan, sedangkan contenu (selanjutnya disebut C) merupakan istilah untuk petanda (signifié) yang berarti isi. Pengembangan yang dilakukan Barthes terutama terlihat pada hubungan atau relasi (relation, R) dari E dan C. R pada de Saussure bersifat tetap, sedangkan Barthes menyatakan bahwa hubungan antara E dan C tersebut dapat berkembang.

Dalam pemaknaan, tidak hanya terjadi suatu pemaknaan denotasi yaitu pemaknaan langsung yang dikenal secara umum. Denotasi ia sebut sebagai sistem pertama (système primaire), yang kemudian terjadi pengembangan pemaknaan oleh pemakai tanda yang terdiri dari dua bentuk pengembangan yaitu ke arah E dan ke arah C. Pengembangan pemaknaan ini disebut sebagai sistem kedua (système secondarie). Pengembangan ke arah E apabila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang sama. Sedangkan pengembangan ke arah C apabila pemakai tanda memberikan makna yang berbeda untuk bentuk yang sama.

Pemberian makna khusus ini disebut konotasi dan mungkin akan berbeda makna yang timbul pada setiap individu atau kelompok masyarakat. Perbedaan ini muncul terkait dengan kognisi dan pengaruh kebudayaan pada tiap manusia dalam suatu kelompok masyarakat (Barthes, 1975; Hoed, 2014).

1 Ketiga elemen tersebut yang membuat teori semiotika Peirce disebut sebagai trikotomis atau triadik (Hoed, 2014)

(5)

Meskipun ketiga aliran ini memiliki paham yang sedikit berbeda dan memiliki sistem yang juga berbeda, namun pada dasarnya teori semiotika mereka berdasar pada adanya pemberi tanda dan penerima tanda. Berdasarkan dua teori awal dari Saussure dan Peirce, terdapat pengembangan studi tentang semiotika yang kemudian digunakan untuk menganalisis teks.

Pengembangan semiotika oleh Barthes yang mengungkapkan pemaknaan dapat berkembang.

Pemaknaan tanda dari kedua sisi tersebut dapat menghasilkan pemaknaan-pemaknaan baru sehingga semiotika sebagai proses pemaknaan merupakan proses yang tidak akan berhenti.

Pengaruh kebudayaan, sebagai konteks pemahaman tanda, yang terus berubah akan terus menciptakan pemaknaan-pemaknaan baru akan suatu tanda. Perubahan ini yang akan dilihat demi mendapatkan pemaknaan awal akan apa gonjong itu sebenarnya.

Hasil Studi Literatur Tentang Perkembangan Kebudayaan

Dengan semiotik sebagai dasar teori, seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, dibutuhkan pembahasan konteks sebagai pengantar tanda (ground) dari pengirim (addresser) untuk dapat dimaknai oleh yang penerima (addressee) (Eco, 1976, dalam Zoest, 1991).

Untuk itu Minangkabau akan dilihat dari perkembangan kebudayaan dan kewilayahannya secara makro, unsur nonfisik dari Minangkabau seperti keseharian dan aturan-aturan, hingga benda paling dekat dengan gonjong itu sendiri yaitu Rumah Gadang.

Kebudayaan di wilayah Minangkabau dibawa oleh masyarakat yang tersebar dan berkembang di wilayah Austronesia. Berdasarkan teori Bellwood (1975, dalam Waterson, 1990) dan analisis antropologi Waterson (1990) masyarakat Austronesia berasal dari selatan Cina dan bermigrasi melalui Filipina menuju wilayah Indonesia. Hingga ketika sampai dan berkembang di wilayah Sumatera Tengah, masyarakat sudah membawa budaya pengagungan kerbau dan penyakralan kapal yang diimplementasikan pada bentuk atap (Waterson, 1990).

Hal ini yang dicurigai menjadi cikal bakal pemakaian bentuk gonjong, yang memiliki bentuk seperti tanduk kerbau dan siluet kapal.

Masyarakat di wilayah Sumatera Tengah selanjutnya berkembang dan masuk pada masa kerajaan Minangkabau. Hingga kemudian ajaran Islam masuk dan diikuti pendudukan bangsa Belanda. Pada masa kerajaan hal yang paling utama adalah perkembangan bentuk gonjong

(6)

pada Rumah Gadang berkat pendefinisian dan perluasan wilayah Minangkabau. Sedangkan pada masa Islam dan Belanda, terjadi perkembangan pada pemaknaan yaitu pergeseran pemaknaan tanda dan simbol-simbol dari masa pra-Islam. Merujuk pada teori semiotika Barthes, masa kerajaan terjadi perkembangan pemaknaan ke arah expression. Sedangkan pada masa Islam dan Belanda, terjadi perkembangan pemaknaan ke arah contenu.

Kebudayaan Minangkabau terus berkembang hingga kini dikenal sebagai kebudayaan yang memegang falsafah alam takambang jadi guru (alam terkembang dijadikan guru) dan menjunjung tinggi kehormatan wanita berkat sistem matrilineal atau pedoman garis keturunan ibu. Kedua hal ini juga berpengaruh pada pemahaman akan Rumah Gadang yang diajarkan pada masyarakat Minang kini.

Rumah Gadang merupakan istilah yang digunakan pada bangunan rumah tradisional bagi etnis Minang. Secara bahasa, Rumah Gadang berarti rumah yang besar, baik dari segi ukuran maupun dari segi fungsi. Sebagai kelompok etnis yang menganut sistem matrilineal, harta pusaka dan gelar suku diturunkan melalui garis keturunan ibu, demikian halnya dengan rumah gadang. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Indonesia, rumah gadang berupa rumah komunal sehingga yang tinggal dan mengisi rumah ini tidak hanya keluarga inti.

Sebagai „rumah yang besar‟, Rumah Gadang dimiliki oleh keluarga saparuik (merupakan satuan keluarga yang berasal dari satu nenek, Rumah Gadang Minangkabau, Museum Adityawarman, 1981) yang kemudian diturunkan pada perempuan di generasi berikutnya.

Meski merupakan rumah tinggal yang dimiliki keluarga saparuik, yang tinggal di dalam rumah hanya kaum perempuan saja bersama masing-masing keluarga intinya jika telah menikah. Sedangkan kaum laki-laki yang belum menikah biasanya tinggal di surau2. Selain sebagai rumah tinggal, Rumah Gadang juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyelesaikan perselisihan. Sebagai sebuah struktur permusyawaratan, keluarga saparuik yang mendiami sebuah rumah gadang dikepalai oleh seorang Tungganai (merupakan mamak tertua dalam keluarga saparuik, Rumah Gadang Minangkabau, Museum Adityawarman, 1981).

2 Masjid atau tempat ibadah milik kaum.

(7)

Analisis Semiotika Terhadap Gonjong Rumah Gadang

Dalam penelitian semiotika, dilakukan pengambilan data kualitatif yang dianggap sebagai

„teks‟. Teks yang dijadikan data yaitu data verbal yang terdiri dari teks auditif dan teks tertulis; dan data non-verbal yang terdiri dari teks visual. Begitu pula dalam menganalisa karya arsitektur, bangunan dan berbagai elemen di dalamnya dianggap sebagai suatu teks.

Dalam kasus analisis gonjong, terdapat dua jenis teks yang bisa dibandingkan. Yang pertama yaitu teks tertulis yang mendeskripsikan Rumah Gadang mulai dari pembangunan hingga bagian-bagian nya. Yang kedua yaitu teks visual yakni komposisi gonjong dari rekaman foto dan studi lapangan.

Berbagai hal di Minangkabau dijelaskan melalui petatah petitih yang disampaikan secara turun-temurun melalui lisan, salah satunya adalah penjelasan tentang karya arsitektur Rumah Gadang. Dalam petatah-petitih tersebut tergambarkan bagian-bagian rumah gadang hingga cara membangunnya meskipun dengan bahasa yang tidak gamblang. Dalam salah satu koleksi museum Adityawarman, Padang, ditunjukkan sebagian petatah-petitih yang menjelaskan Rumah Gadang. Dalam tulisan ini hanya bagian awal dari keseluruhan teks yang akan dianalisis. Bagian awal ini terdiri dari beberapa bait, yang pertama yaitu:

Rumah gadang sambilan ruang Salanja kudo balari

Sapakiak budak maimbau Nan salitak kuciang malompek

Bait ini menjelaskan secara umum ukuran rumah gadang. Dalam petatah ini disebutkan Rumah Gadang terdiri dari sembilan ruang. Ruang merupakan ruangan-ruangan yang terbentuk di antara tiang rumah yang tersusun di sepanjang bagian memanjang dari rumah.

Sembilan ruang pada petatah ini hanya untuk menunjukkan bahwa ruang-ruang yang terbentuk berjumlah ganjil karena pada kenyataannya Rumah Gadang ada yang mencapai 17 ruang. Bahkan seorang prajurit Kolonial Belanda pada tahun 1871 menemukan rumah yang

(8)

terdiri dari 21 ruang3. Ruang-ruang yang berjumlah ganjil ini semuanya difungsikan sebagai biliak atau kamar tidur anak perempuan yang sudah bersuami kecuali bagian tengah yang menjadi akses ke belakang rumah.

Panjangnya Rumah Gadang yang disebutkan dalam bait ini dianalogikan dengan salanja kuda berlari. Dra. Izati (2002: 18) mengungkapkan bahwa baris ini mengungkapkan Rumah Gadang yang kebesarannya seolah membuat kuda dapat berlari di atasnya. Sapakiak budak maimbau menunjukkan rumah yang besarnya sejauh teriakan panggilan seorang anak.

Namun meski besar, panggilan seorang anak tetap dapat dicapai di seluruh bagian rumah karena memang anak merupakan salah satu bagian terpenting dalam keluarga.

Tiangnyo basandi batu Sandi banamo alue adaik Tonggak banamo kasandaran Tonggak gaharu lantai candano Atok ijuak dindiang baukie Cando bintanyo bakilauan Gonjongnyo rabuang mambacuik Bubuangnyo burak ka tabang Tuturannyo labah mangirok

Elemen-elemen Rumah Gadang secara garis besar disebutkan dalam bait kedua ini. Rumah Gadang memiliki tiang (kolom) yang bersendi batu. Kalimat ini menyebutkan secara harfiah bahwa kolom Rumah Gadang tidak langsung bersentuhan dengan tanah melainkan diletakkan di atas batu membentuk suatu perletakan. Sehingga konstruksi Rumah Gadang pada dasarnya merupakan konstruksi yang tahan goncangan berkat perletakan batu tersebut. Sebagai sebuah petatah adat, diselipkan simbolisasi bahwa sendi yang menopang kolom pada Rumah Gadang disebut sebagai alue adaik yang berarti sendi tersebut seperti adat yang menjaga kekokohan Rumah Gadang dari goncangan.

3 Catatan prajurit Kolonial Belanda tersebut menyebutkan rumah yang terdiri dari 20 biliak (Tjahjono, 2003).

Biliak merupakan salah satu bentuk penggunaan ruang yakni sebagai kamar tidur. Sehingga disimpulkan jumlah ruang menjadi paling sedikit 21 (karena jumlah ruang yang selalu ganjil).

(9)

Tonggak yang merupakan sebutan untuk kolom di bagian dalam rumah dalam petatah ini disebutkan memiliki fungsi sebagai tempat bersandar di dalam rumah. Karena memang Rumah Gadang sebagai rumah komunal tidak memiliki banyak perabotan. Sehingga kolom- kolom yang bersifat kokoh sebagai penopang rumah juga memiliki sifat lembut sebagai tempat bersandar orang di dalam rumah.

Bagian terakhir bait ini menyebutkan selimut rumah yaitu atok baijuak dindiang baukie yang secara harfiah berarti memiliki “atap yang berijuk dan dinding yang berukir”. Dan dilanjutkan dengan disebutkannya gonjong sebagai bentuk atap dengan bubungan (puncak) yang seperti burak (buraq)4 yang akan terbang.

Sapantun karo bajuntai Paran bagamba ula ngiang Bagaluik rupo ukie cino Batatah jo aie ameh Salo manyalo aie perak Taralinyo gadiang balariek

Bait beriktunya menyebutkan ukiran-ukiran yang menghiasi Rumah Gadang. Diawali dengan kisah pantun dalam ukiran karo bajuntai (kera berjuntai) dengan paran yang bergambar ula ngiang (ular ngiang). Ukiran tersebut bersaling-silang dengan ukiran berbentuk ukie cino (ukiran cina) yang bertatahkan aie ameh (air emas) dan diselingi oleh aie perak (air perak).

Dan terdapat ukiran gadiang balariek (gading berlarik) pada bagian tarali.

Bangunan gajah maharam Anjuang batingkek ba alun-alun Katampek paranginan puti Limpapeh rumah nan gadang Sumarak di dalam kampuang Hiasan dalam nagari

4 makhluk yang dikisahkan sebagai tunggangan Nabi Muhammad SAW ketika perjalanan ke langit dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.

(10)

Pada bait ini, bentuk bangunan Rumah Gadang secara umum disebutkan berupa gajah maharam. Yang memiliki anjuang (anjung) yang bertingkat beralun-alun. Sebagai tempat bersantai puteri yang merupakan limpapeh dari Rumah Gadang. Penyebutan puti (puteri) juga sebagai analogi terhadap Rumah Gadang yang memberikan keindahan dan kemeriahan dalam kampuang (kampung) dan juga sebagai hiasan dalam nagari (negeri).

(11)

Gambar 1. Teks Tertulis Pepatah Adat Lengkap Tentang Rumah Gadang (Sumber: Koleksi Museum Adityawarman, Kota Padang (telah diolah kembali)

(12)

Dari penjabaran teks tertulis tentang Rumah Gadang ini, secara umum digunakan untuk menggambarkan kebesaran Rumah Gadang dengan kemegahannya dan „kebesarannya‟ dalam kehidupan sosial. Hal ini tampak pada elemen-elemen rumah yang dianalogikan dengan fungsi adat. Seperti sendi batu sebagai tempat topangan tiang rumah yang dianalogikan sebagai alue adaik (alur adat). Seperti itu pula Rumah Gadang dalam masyarakat, sebagai tempat yang akan mempertahankan adat. Tempat berdiskusi dan menyelesaikan perkara dalam rangka mempertahankan adat dalam kehidupan bermasyarakat

Meskipun tidak jelas siapa yang memulai dan menulis pepatah adat ini, namun jelas bahwa teks ini dibuat oleh dan untuk orang Minang. Banyak tanda-tanda yang beranalogi pada unsur alam. Sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau yaitu alam takambang jadi guru. Konteks pada teks ini terlihat pada adanya kata-kata burak (buraq) sebagai analogi puncak atap (bubuang). Seperti yang sudah dijelaskan, buraq ada dalam kisah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad. Berarti teks ini dibuat setelah Islam masuk dalam masyarakat Minangkabau. Hal ini menjadi jawaban dari fungsi referensi sekaligus fungsi emotif dan konatif. Karena pengalamat (addresser) adalah orang atau kelompok yang paling tidak mendapat pengaruh yang kuat dari Islam. Demikian halnya yang dialamati (addressee).

Karena menurut saya, teks ini merupakan suatu referensi tertulis akan Rumah Gadang.

Sehingga pengalamat harus menyadari pesan yang ia berikan harus dapat diterima dengan benar oleh yang dialamati. Sehingga dapat disimpulkan, paling tidak yang dialamati merupakan pihak yang mendapat pengaruh kuat Islam.

Yang menarik adalah, penjelasan akan gonjong tidak dibahas dengan mendetail. Jika melirik sejarah kebudayaan masyarakat, gonjong merupakan bentuk simbolisasi tanduk kerbau yang merupakan hewan yang disakralkan masyarakat pra-Islam. Masuknya Islam menggeser makna penyakralan kerbau menjadi simbol kemenangan masyarakat Minang yang ada dalam kisah adu kerbau ketika kerajaan Minangkabau didatangi salah satu kerajaan Hindu-Jawa.

Sehingga yang terjelaskan dalam teks ini hanyalah bagaimana gonjong menjadi salah satu elemen Rumah Gadang yang menunjukkan kemegahan dan kesejahteraan kaum yang memiliki rumah.

(13)

Selanjutnya teks visual yang dianalisis terdiri dari empat bangunan yang dibagi menjadi dua kelompok. Pertama yaitu bangunan yang dibangun sekitar awal 1900-an atau pra- kemerdekaan dan kedua bangunan yang dibangun sekitar awal 2000-an.

Gambar 2. Diagram Perbandingan Bentuk Gonjong pada Rumah Gadang di Awal Abad ke-20 M. Rumah

Keluarga Bu Upik (atas) dan Bu Eda (bawah) (Sumber: ilustrasi pribadi, 2014)

Sebagai rumah yang dibangun pada awal abad ke-20 M, meskipun terletak di daerah yang berbeda (Solok dan Payakumbuh), kedua rumah ini memiliki bentuk gonjong yang mirip.

Terutama jika dilihat dari segi proporsi, gonjong terlihat lebih „langsing‟ dibandingkan gonjong yang dibangun di masa sekarang. Dari segi pemaknaan pun, kedua narasumber memiliki kognisi yang sama akan gonjong. Gonjong menurut mereka hanya berarti melambangkan kerbau. Ini berarti yang dipahami hanyalah hubungan tanda dengan acuannya yang berupa symbol. Jika melirik teori Eco (1990) yang menyebutkan bahwa proses semiosis dapat berhenti ketika seseorang (atau kaum) dibatasi oleh aturan budaya (prinsip-prinsip supra-individual). Aturan budaya yang menghambat kemungkinan berakar dari masuknya

(14)

Islam yang secara berangsur-angsur menghilangkan berbagai pemaknaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun dalam kasus ini, masyarakat bukan sama sekali tidak mengenali tanda. Yang terjadi adalah pergeseran pemaknaan. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Islam menanamkan ajarannya pada masyarakat Minang dengan pelan-pelan menggeser makna dari tanda-tanda yang tidak sesuai. Pergeseran makna semakin terlihat pada kasus berikutnya yaitu pada bangunan pasca-kemerdekaan.

Bentuk gonjong pada Rumah Gadang ataupun pengaplikasian atap bagonjong pada bangunan di masa kini mengalami perubahan. Jika melirik semiotika Barthes (1975), yang terjadi adalah perkembangan pemaknaan ke arah expression. Dengan pemaknaan yang menunjukkan kemegahan, status sosial, dan simbolisasi tanduk kerbau, bentuk gonjong pada bangunan masa kini terlihat semakin berlebihan dibandingkan gonjong pada bangunan-bangunan rumah di masa sebelum kemerdekaan.

Gambar 4.6 Diagram Perbandingan Bangunan 1990-an Akhir, Gedung Kantor (Atas) dan Bangunan Rumah Tinggal (Bawah)

(Sumber: ilustrasi pribadi, 2014)

(15)

Seperti yang terlihat pada diagram, perbandingan e:c membuat gonjong pada bangunan baru ini terlihat pepat. Membangun gonjong yang besar, meski untuk mengimbangi ukuran bangunan yang juga besar, menunjukkan kemegahan dan kedudukan sosial yang tinggi.

Dalam sistem primer Barthes (1975) pemaknaan denotasi yang terjadi sebagai respon bentuk gonjong yang besar adalah gonjong besar untuk mengimbangi bangunan yang besar.

Terutama pada bangunan pertama yakni gedung perkantoran. Namun ketika pemaknaan sudah memasuki sistem sekunder, pemaknaan konotasi yang dipengaruhi oleh kognisi manusia dan signifying orders atau aturan-aturan supra-individual, membentuk pemaknaan bahwa pemilik bangunan memiliki ego yang besar untuk menunjukkan kekayaan dan kedudukan sosialnya. Berdasarkan sejarahnya, gonjong Rumah Gadang memang ditujukan untuk memperlihatkan kedudukan sosial dan kekayaan keluarga yang menghuninya.

Berdasarkan sudut pandang semiotika Peirce dan Barthes, konotasi ini akan terus melalui proses-proses semiosis hingga pemaknaannya menjadi mitos dan melekat mantap pada kognisi masyarakat. Hal ini yang berdampak pada masa sekarang, bagaimana gonjong dimaknai. Atau paling tidak dalam kasus ini, masyarakat (orang luar) yang memaknainya seperti demikian. Karena sebagai bangunan yang sudah tidak dihuni, tidak diketahui bagaimana pemiliknya memaknai hal tersebut.

Konteks sebagai bagian dari fungsi referensi terlihat bagaimana masyarakat yang sudah banyak dipengaruhi berbagai kebudayaan. Pemikiran yang lebih terbuka dan pergeseran pemaknaan membuat pengalamat lebih bebas menciptakan bentuk atap bagonjong. Karena terjadi perkembangan ke arah E menurut teori Barthes (1975) dan C yang ada dalam kognisi masyarakatnya adalah makna yang sudah bergeser berkat masuknya Islam yaitu sebagai simbolisasi kesejahteraan dan kemenangan. Dengan demikian, bentuk gonjong semakin berkembang dengan tetap berpedoman pada makna yang sudah bergeser tersebut.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dan analisis yang sudah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya, gonjong sulit dideteksi fungsinya secara arsitektural. Namun semiotika yang dijadikan landasan cukup menjelaskan perkembangan pemaknaan berkat penjelasan sejarah perkembangan kebudayaan Minangkabau. Meski demikian tulisan ini belum mampu

(16)

menjelaskan makna sebenarnya atau makna awal dari penggunaan gonjong sebagai atap.

Karena tidak adanya data yang handal yang dapat menunjukkan kapan sebenarnya atap bagonjong itu pertama kali digunakan.

Dari analisis teks pepatah adat tentang Rumah Gadang, terlihat masyarakat Minang sebagai pengirim (addresser) sekaligus sebagai penerima (addressee) merupakan penganut Islam yang kuat. Karena terlihat signifiers yang ditunjukkan dalam teks berkaitan dengan simbol- simbol dalam kebudayaan Islam. Tidak terlihat tanda-tanda yang menunjukkan bekas kerajaan Hindu dan Budha. Merujuk pada Barthes (1975), expression yang diungkapkan terlihat netral karena mengambil analogi-analogi alam tanpa mengagungkan salah satu unsur.

Karena dari sisi Islam, pengagungan hal selain Allah SWT sebagai pencipta adalah salah satu bentuk dosa. Kaum Padri yang berperan dalam pemurnian Islam terlihat sangat berhasil mencapai tujuannya. Seperti yang dijelaskan Hoed (2014) bahwa dalam pergeseran pemaknaan ini, semiosis getok tular telah terjadi.

Gonjong pada teks tertulis tidak begitu dibahas. Ia hanya dijelaskan sebagai salah satu elemen yang menunjukkan kemegahan dan kemewahan Rumah Gadang, yang jika ditafsirkan lebih lanjut berkaitan dengan status sosial keluarga yang mendiaminnya. Berdasarkan teori perkembangan proses semiosis Barthes (1975), saya berkesimpulan bahwa terjadi suatu bentuk penggeseran makna ke arah contenu. Seperti halnya teks secara keseluruhan, ajaran Islam berperan kuat dalam pembentukan kognisi masyarakat yang mengembangkan pemaknaan tersebut. Sehingga untuk menghindari bentuk penyakralan kerbau, pemaknaan digeser dengan menggadang-gadangkan kisah kemenangan Minang dalam adu kerbau dahulu.

Berikutnya pada analisis teks visual pada studi lapangan, pemaknaan gonjong terus mengalami perkembangan. Teori semiotika Barthes (1975) yang membagi perkembangan proses semiosis ke arah expression (E) dan contenu (C) jika diaplikasikan pada yang terjadi dilapangan, telah terjadi proses semiosis yang berkembang ke arah E. Sehingga terjadi perubahan bentuk penanda berdasarkan petanda yang ada pada teks. Pemaknaan gonjong dari teks yang berupa penanda status sosial dan kesejahteraan keluarga, berkembang pada bentukan atau E. Dari bentuk gonjong yang simpel menjadi bentuk yang berlebih-lebihan seperti yang ada pada kasus di Kota Padang.

(17)

Jadi, penggunaan semiotika dalam pencarian makna dalam bidang arsitektur merupakan hal yang tepat. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan pembahasan perkembangan kebudayaan. Hal ini dikarenakan karya arsitektur sebagai tanda dan elemen budaya butuh latar belakang perkembangan kebudayaan itu sendiri untuk memaknainya. Pertanyaan tentang perkembangan pemaknaan gonjong pun dapat terjawab dengan berdasar pada teori semiotika dan pemahaman akan kronologi perkembangan kebudayaan. Memang masih banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam tulisan dan hasil penelitian ini. Sehingga tulisan ini dapat dijadikan basis penelitian lanjutan, baik dalam bidang ilmu arsitektur maupun ilmu semiotika itu sendiri.

Daftar Referensi

___________. (1970). Himpunan Prasaran dan Kertas Kerdja, Seminar Sedjarah dan Kebudajaan Minangkabau.

Padang: Pemerintah Daerah Kotamadya Padang

Azrial, Yulfian. (2008). Budaya Alam Minangkabau. Padang: Angkasa Raya Cobley, Paul. (1999). Introducing Semiotics. Cambridge: Icon Books

Delia, Ratna. (2007). Gonjong Sebagai Simbol Etnik dan Peleburannya dalam Modernitas Arsitektur Minangkabau. Depok: Universitas Indonesia

Hoed, Benny h. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu

Imelda, Vera, et al. (2003). Balai Adat Balairung Sari Kenagarian Tabek. Padang: Museum Adityawarman Izati, et al. (2002). Ruah Tuo Kampai Nan Panjang: Rumah Adat Tradisional Minangkabau. Padang: Museum

Adityawarman

Makmur, Erman, et al. (1981). Rumah Gadang Minangkabau. Padang: Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Barat

Navis, A. A. (1984). Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Gravity Press Ng, Cecilia dan James J. Fox. (2006). Inside Austronesian Houses. Canberra: ANU E Press

Reid, Anthony. (2003). Indonesian Heritage Vol. 3: Early Modern History. Archipelago Press Sebeok, Thomas A. (1994). An Introduction to Semiotics. London: Pinter Publishers

Soeroto, Myrtha. (2005). Pustaka Budaya dan Arsitektur: Minangkabau. Myrtle Publishing Tjahjono, Gunawan. (2003). Indonesian Heritage Vol. 6: Architecture. Archipelago Press

Waterson, Roxana. (1990). The Living House: An Anthropology of Architecture in South-East Asia. New York:

Oxford University Press

Zoest Aart, van. (1991). Serba-serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

REFERENSI ONLINE

Abidin, Masoed. (2008, Mei). Garinyiek Minangkabau. Diambil dari blog pribadi Buya H. Masoed Abidin:

http://buyamasoed.blogspot.com/2008/05/minangkabau-dan-sistim-kekerabatan.html

(18)

Couto, N. (2013, Juli). Nasbahry Gallery. Diambil dari blog pribadi Nasbahry Couto:

http://nasbahrygallery1.blogspot.com

Referensi

Dokumen terkait

(Jurusan Ekonomi Islam STIE Bakti Bangsa Pamekasan, Tlanakan Pamekasan, email: sahabatululalbab@gmail.com) Abstrak: Perjanjian Profit and Loss Sharing merupakan perjanjian

Kapitalisasi beban pinjaman tersebut dihentikan pada saat unit real estat tersebut secara substansial siap untuk digunakan sesuai dengan tujuannya atau jika bagian yang telah

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penanganan tingkat

Tak kutemukan dari mana suara itu datang, tetapi suara itu terus mengapung di udara, bergerak dari dalam rumah, melintasi halaman, ke luar, lalu melayang masuk ke halaman

Ketiga, berdasarkan hasil analisis inferensial, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara membaca pemahaman menggunakan model membaca total

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda Mann Whitney dengan menggunakan variabel dummy untuk melihat perbedaan tingkat pengetahuan pelaku UMKM mengenai

RAYA PUSPITEK KM.8 NO.99, SERPONG, TANGERANG SELATAN JL RAYA KOSAMBI TIMUR NO

Keuntungan dan kerugian aktuarial diakui sebagai pendapatan atau beban pada saat keuntungan dan kerugian aktuarial yang belum diakui secara kumulatif bersih untuk