MAGISTER MANAJEMEN RUMAHSAKIT
M O D U L 8.0
PENGANTAR REGULASI
PELAYANAN KESEHATAN
Fasilitator :
dr. Adi Utarini, MSc, MPH., Ph.D
MAGISTER MANAJEMEN RUMAHSAKIT
Gedung IKM Lt. 2 Jln Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta 55281 Telp. dan Fax. (0274) 581679, 551408
e-mail : mmr@yogya.wasantara.net.id
2
Modul 8.0
Perkembangan Regulasi Pelayanan Kesehatan dan mata kuliah Regulasi dan Etika Rumah Sakit
Adi Utarini (Adi_Utarini@yahoo.co.uk)
BAGIAN 1: PERAN REGULATOR PEMERINTAH
Peran pemerintah
Menurut Laporan Pembangunan Bank Dunia (1997) berjudul State in Changing World, peran negara mempunyai 3 tingkatan, yaitu (1) peran minimal; (2) peran menengah; dan (3) peran sebagai pelaku kegiatan. Pada peran minimal, pemerintah bertugas untuk menyediakan pelayanan publik murni, misalnya pertahanan, tata hukum dan perundangan, hak cipta, manajemen ekonomi mikro dan kesehatan masyarakat.
Disamping itu, pemerintah harus meningkatkan program untuk mengatasi kemiskinan, melindungi orang miskin dan mengatasi bencana. Pada peran yang lebih meningkat maka dalam kegiatan mengatasi kegagalan pasar, pemerintah harus melakukan berbagai hal misalnya menjamin pendidikan dasar, melindungi lingkungan hidup, mengatur monopoli, mengatasi berbagai hal yang terkait dengan tidak seimbangnya informasi, sampai menyediakan jaminan sosial. Pada tingkat peran pemerintah sebagai pelaku kegiatan, maka ada beberapa kegiatan seperti mengkoordinasi sector swasta supaya tidak terjadi kegagalan pasar dan melakukan kegiatan untuk mengatasi ketidakmerataan dengan tindakan redistribusi.
Pembahasan peran pemerintah saat ini tidak dapat dipisahkan dari konsep good- governance. Governance menurut UNDP adalah:
the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises the mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their difference…
3
Dalam konteks good governance, dimanakah peran pemerintah di sector kesehatan?
Kovner (1995) menyatakan bahwa peran pemerintah ada tiga, yaitu (1) Regulator; (2) Pemberi biaya; dan (3) Pelaksana atau Pelaku kegiatan. Di dalam sector kesehatan terdapat berbagai lembaga pemerintah yang beroperasi. Peran sebagai pelaksana dilakukan misalnya oleh rumahsakit pemerintah pusat atau daerah. Peran sebagai pemberi biaya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Peran sebagai regulator pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan di pemerintah pusat ataupun Dinas Kesehatan propinsi dan kabupaten/kota.
Laporan WHO1 (2000) berjudul Health Systems Performance membedakan peran pemerintah sebagai pengarah (stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan regulasi) dan yang diregulasi (pelaku pelayanan kesehatan).
Peran pengarah mencakup 3 aspek utama:
1. Menetapkan, melaksanakan dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan;
2. Menjamin keseimbangan antar berbagai key player dalam sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan dan pasien); dan
3. Menetapkan perencanaan stratejik bagi keseluruhan sistem kesehatan.
Fungsi stewardship ini dapat dibagi dalam 6 subfungsi, yaitu perancangan sistem keseluruhan, penilaian kinerja, penetapan prioritas, advokasi intersektoral, regulasi dan perlindungan konsumen. Tidak seluruh subfungsi ini dapat dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi pemerintah harus menjamin bahwa fungsi tersebut ada, dilakukan oleh pihak tertentu dan berjalan. Selain itu, regulasi hanya merupakan satu dari 6 subfungsi dalam stewardship. Tabel 1 berikut ini menjabarkan lebih lanjutkan perbedaan antara peran sebagai pengarah, regulator dan yang diregulasi (pelaksana), dengan penekanan pada mutu pelayanan.
1 World Health Organization. WHO 2000 report: health systems performance. Geneva, WHO; 2000.
4 Tabel 1. Perbedaan peran pemerintah sebagai lembaga pengarah, regulator dan
pelaksana di bidang mutu pelayanan (Modifikasi Bossert2) Pemerintah sebagai
Pengarah Pemerintah sebagai
Regulator Pemerintah sebagai Pelaksana Peran Menetapkan kebijakan
untuk lembaga regulator dan lembaga penyedia pelayanan
Melakukan
pengawasan/regulasi Mengelola institusi pelayanan publik
Tujuan Menjamin tercapainya indikator mutu kesehatan wilayah dengan menetapkan kebijakan regulasi mutu
Menjamin bahwa lembaga penyedia pelayanan di suatu wilayah memberikan
pelayanan yang bermutu
Efisiensi dan survival institusi pelayanan publik dengan
pelayanan yang bermutu Unit
analisis Fokus pada wilayah Fokus pada berbagai jenis fasilitas pelayanan
kesehatan modern dan tradisional, milik
pemerintah dan swasta di suatu wilayah
Fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, terutama Puskesmas dan rumahsakit.
Konse-
kuensi Mengembangkan kebijakan
sistem regulasi wilayah Melaksanakan regulasi
mutu penyedia pelayanan Bersaing dengan swasta Persya-
ratan Mempunyai sistem informasi kesehatan pelayanan publik dan swasta yang terintegrasi Mengembangkan standar institusi dan standar
pelayanan sesuai kebutuhan wilayah (optimal)
Merupakan lembaga yang diakui oleh pemerintah dan mempunyai kredibilitas dalam melaksanakan regulasi mutu
Mempunyai surveyor- surveyor yang handal dan objektif
Sistem manajemen organisasi yang baik
Regulasi didefinisikan sebagai “suatu aturan yang bersifat otoritatif tentang suatu prosedur secara rinci …”. Meregulasi dapat diartikan pula sebagai “to govern or direct according to rule… to bring under control of law or constituted authority. Regulasi dapat bersifat deskriptif ataupun preskriptif, meskipun sebagian besar regulasi bertujuan
2 Bossert T, Hsiao W, Barrera M, Alarcon L, Leo M, Casares C. Transformation of ministries of health in the era of health reform: the case of Colombia. Health Policy and Planning 1998; 13(1): 59-77.
5
untuk preskriptif, yaitu merubah ke arah suatu perilaku tertentu. Menurut Brennan dan Berwick (1996)3 regulasi diperlukan dengan tujuan:
1. Mencegah biaya yang sangat tinggi. Contoh yang klasik adalah kewajiban penggunaan helmet pada pengendara sepeda motor untuk mencegah terjadinya fraktur kepala yang berakibat fatal dan memakan biaya yang tinggi.
2. Keterbatasan informasi yang dimiliki oleh konsumen. Hal ini terjadi dalam hal hubungan antara penyedia pelayanan kesehatan dan pasien. Informasi yang dimiliki oleh pasien sangat terbatas bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh penyedia pelayanan, sehingga pasien menjadi powerless dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
3. Moral hazard, yaitu mencegah over-utilisasi penggunaan fasilitas kesehatan pada mereka yang ditanggung oleh asuransi kesehatan;
4. Kelangkaan. Misalnya pada kasus langkanya dokter di suatu wilayah tertentu.
5. Monopoli. Hal-hal yang bersifat monopolistik sangat merugikan pengguna, oleh karena pengguna tidak mempunyai alternatif lain, sehingga tidak diperoleh mutu yang terbaik dengan harga yang cenderung tinggi.
6. Mengutamakan kesejahteraan/keselamatan publik. Pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan yang bersifat “more good than harm“. Filosofi bahwa pelayanan kesehatan bertujuan untuk menolong sesama umat manusia harus ditimbang dengan prinsip keselamatan publik yang harus diutamakan.
Mengacu pada PP no. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, khususnya bidang kesehatan, kebijakan desentralisasi juga secara tegas menempatkan lembaga Departemen Kesehatan lebih ke posisi sebagai pengarah (oversight). Delapan dari 11 kewenangan pemerintah berkaitan dengan penetapan pedoman, standar, persyaratan dan kebijakan. Pemerintah dalam hal ini (Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan Propinsi maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) diharapkan menjadi lembaga regulasi (baik sebagai penetap kebijakan ataupun turut serta sebagai pelaksana/regulator bersama pihak lain) yang mampu menciptakan regulasi mutu yang memacu perbaikan mutu secara berkelanjutan melalui pengembangan sistem mutu di tingkat lembaga ataupun wilayah.
3 Brennan TA and Berwick DM. (1996). New rules: Regulation, markets and the Quality of American Health Care. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Tingkat maturitas regulasi
Soderlund N, Tangcharoensathien V. Health sector regulation – understanding the range of responses from Government. Health Policy and Planning 2000; 15(4): 347-348.
Pendekatan dalam regulasi: social versus ekonomi dan improvement vs compliance
Kumaranayake L, Lake S, Mujinja P, Hongoro C, Mpembeni R. How do countries regulate the health sector? Evidence from Tanzania and Zimbabwe. Health policy and planning 2000; 15(4): 357-367.
Variabel apa? Pada tingkat apa? Bagaimana meregulasinya?
Market entry Legislasi/hukum
Kuantitas Input Etika, codes of conduct
Kualitas Insentif
Harga Organisasi Regulasi insentif
Distribusi
Nilai kompetisi Pasar
BAGIAN 2: AKTIVITAS DAN CAKUPAN REGULASI PELAYANAN
Secara umum aktivitas regulasi mutu bertujuan untuk mencapai perbaikan mutu yang berkelanjutan sehingga dapat memberikan pelayanan yang aman kepada masyarakat (patient/community safety). Aktivitas regulasi mutu secara umum terdiri dari sertifikasi, lisensi dan akreditasi (Tabel 2). Ketiga hal tersebut perlu dibedakan secara tegas, untuk kemudian dipetakan lembaga mana yang melakukan aktivitas tersebut.
Definisi aktivitas regulasi
Terlebih dahulu akan dikemukakan definisi dan pemahaman mengenai sertifikasi dan perbedaannya dengan lisensi dan akreditasi sebagai bagian dari fungsi regulasi pelayanan kesehatan. Secara umum aktivitas regulasi pelayanan kesehatan bertujuan untuk dapat memberikan pelayanan yang aman kepada masyarakat (patient safety) serta mencapai perbaikan mutu yang berkelanjutan. Lisensi, sertifikasi dan akreditasi merupakan tiga cara utama dalam aktivitas regulasi pelayanan kesehatan. Ketiga istilah
6
7 tersebut seringkali dianggap sama artinya dan digunakan secara bergantian (interchangeable), sehingga membingungkan kita semua.
Definisi istilah sertifikasi yang komprehensif adalah definisi menurut Rooney &
Ostenberg, 19994. Lisensi adalah suatu proses pemberian ijin oleh pemerintah kepada praktisi individual atau lembaga pelayanan kesehatan untuk melaksanakan atau terlibat dalam suatu profesi/pekerjaan. Regulasi lisensi pada umumnya dikembangkan untuk menjamin bahwa organisasi atau individu tenaga kesehatan tersebut dapat memenuhi standar minimal untuk melindungi kesehatan dan keselamatan publik. Pemberian lisensi kepada individu tenaga kesehatan umumnya diberikan setelah melalui suatu bentuk ujian tertentu atau bukti menyelesaikan pendidikan tertentu, serta dapat diperbaharui secara periodik melalui pembayaran fee dan/atau bukti mengikuti pengembangan profesi berkelanjutan atau bukti kompetensi profesional. Pemberian lisensi kepada lembaga pelayanan diberikan setelah kunjungan inspeksi yang menetapkan apakah telah dipenuhi standard kesehatan dan keselamatan. Monitoring lisensi merupakan persyaratan yang harus selalu dipenuhi oleh lembaga pelayanan kesehatan untuk tetap memberikan pelayanan. Akreditasi adalah suatu proses penilaian dan pengakuan yang dilakukan oleh badan yang diakui (biasanya LSM) yang menyatakan bahwa lembaga pelayanan kesehatan telah memenuhi standard yang telah ditetapkan dan dipublikasikan. Standard akreditasi dianggap sebagai standard yang optimal dan dapat dicapai (achievable), dan dirancang untuk memacu upaya peningkatan mutu di lembaga tersebut. Keputusan akreditasi ditetapkan setelah kunjungan periodik oleh tim yang terdiri dari peer-reviewers, biasanya setiap 2-3 tahun.
Akreditasi seringkali merupakan proses sukarela sehingga lembaga pelayanan dapat memilih untuk berpartisipasi atau tidak, dan bukan proses yang diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan. Sertifikasi adalah suatu proses evaluasi dan pengakuan oleh pemerintah ataupun LSM bahwa seseorang atau sebuah lembaga telah memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu. Meskipun istilah akreditasi dan sertifikasi seringkali digunakan secara bergantian, namun akreditasi pada umumnya hanya diterapkan pada lembaga, sedangkan sertifikasi dapat diterapkan ada individu dan lembaga. Sertifikasi individu berarti bahwa individu tersebut mempunyai tambahan pendidikan dan pelatihan serta mempunyai kompetensi di bidang spesialisasi tertentu selain persyaratan
4 Rooney AL, Ostenberg PR van. Licensing, accreditation and certification: approaches to health services quality. Quality assurance methodology refinement series. Quality Assurance Project, Bethesda MD, USA.
8 minimal atau persyaratan yang ditetapkan untuk lisensi. Dengan demikian sertifikasi bukan merupakan pengganti dari lisensi. Sertifikasi lembaga atau bagian dari lembaga berarti bahwa lembaga tersebut mempunyai pelayanan, teknologi ataupun kemampuan tambahan bila dibandingkan dengan lembaga serupa.
Tabel 2. Ciri utama akreditasi, lisensi dan sertifikasi (Roa & Rooney5)
LISENSI SERTIFIKASI AKREDITASI
Standard Minimal Maksimal Maksimal
Tujuan Melindungi safety dan meminimalkan risiko
Melakukan pengembangan
profesional yang up-to- date
Memacu upaya perbaikan secara kontinyu
Sasaran Individu dan lembaga
pelayanan Individu, pelayanan dan
lembaga pelayanan Lembaga pelayanan dan pelayanan
Sifat Wajib Sukarela Tergantung sistem
Persyaratan Bagian dari regulasi untuk menjamin standar/kompetensi minimum, kunjungan ke lembaga
Evaluasi persyaratan yang ditetapkan, pendidikan /pelatihan tambahan, dan kompetensi di bidang tertentu (untuk individu), atau menunjukkan bahwa lembaga mempunyai pelayanan, teknologi atau kapasitas khusus
Kepatuhan terhadap standard, on-site evaluation;
kepatuhan tersebut tidak diharuskan oleh hukum dan/atau regulasi tertentu
Pelaksana Pemerintah dan/atau lembaga yang
ditunjuk
Konsil/Organisasi Profesi Tergantung sistem:
pemerintah atau LSM
Contoh Lisensi dokter, lisensi bidan, lisensi dokter gigi; lisensi rumah sakit, apotek, laboratorium, puskesmas, RB, BP
ATLS/ACLS, Case manager certification, Certification Program for Healthcare Quality Professionals (CPHQ), ISO 9000
Akreditasi rumah sakit, akreditasi baby/mother friendly hospital, akreditasi pelayanan medik dasar
Perbedaan utama antara ketiga istilah tersebut terutama terletak pada prosesnya (yaitu bersifat sukarela atau wajib) dan standar yang digunakan (yaitu standar minimal atau optimal). Lisensi bersifat wajib dan menggunakan standar minimal (kompetensi dasar), oleh karenanya dilakukan oleh pemerintah (atau bersama non-pemerintah), sedangkan
5 Roa DV, Rooney A. Improving health services delivery with accreditation, licensure and certification. QA Brief 1999; 8(2):4-10.
9 sertifikasi dan akreditasi bersifat sukarela dengan standar yang optimal serta dilaksanakan oleh organisasi non-pemerintah. Sebagai contoh di Amerika, Department of Regulation di Illnois Dept of Health melakukan lisensi dengan memberikan ijin dan melakukan monitoring mutu pelayanan bagi rumah sakit dan lembaga pelayanan lainnya, sedangkan JCAHO (badan akreditasi independen di Amerika) bersama dua badan lainnya melakukan akreditasi yang bersifat sukarela. Tabel berikut merangkum ciri-ciri utama akreditasi dan lisensi.
Tabel 3. Perbedaan antara survei perijinan dan akreditasi RS di Illinois, USA
Survei Lisensi RS (Pemerintah, tingkat Propinsi)
Survei Akreditasi RS (JCAHO, badan independen)
Komposisi tim Gizi, lingkungan/sanitarian, arsitektur, yg berkaitan dengan std fisik (bangunan, listrik)
Registered Nurse, administrator rumahsakit, dokter
Jadwal
kunjungan Tidak diberitahukan sebelumnya Tergantung pada temuan pada saat survei
Jadwal direncanakan dan disepakati, serta kegiatan terstruktur
Dasar penilaian Regulasi, aturan Standar akreditasi Sifat penilaian Penyelidikan, investigative Konsultatif
Objektif Kolegial
Fokus penilaian Kepatuhan terhadap persyaratan
yang ditetapkan dalam regulasi Peningkatan kinerja lembaga pelayanan dan edukasi Standar Prioritas: Hak pasien,
pengendalian infeksi, pelayanan bedah, dan lingkungan fisik
Standar terdiri dari: standar yang bersifat patient-centered dan manajemen organisasi, disertai dengan data indicator klinik lembaga
Cakupan regulasi pelayanan
Secara umum cakupan regulasi pelayanan kesehatan dapat dilihat dari berbagai aspek, menurut:
• Aktivitas regulasinya: lisensi, sertifikasi dan akreditasi
• Tingkat sasaran yang akan diregulasi: lembaga, pelayanan dan individu tenaga kesehatan
• Spektrum pelayanan kesehatan: mulai dari spektrum tradisional, komplementer hingga moderen
• Pihak yang melaksanakan regulasi: internal dan eksternal lembaga pelayanan.
10 Cakupan regulasi pelayanan berdasarkan aktivitas regulasinya, telah dibahas pada definisi aktivitas regulasi. Apabila cakupan ini dikombinasikan dengan tingkat sasaran yang akan diregulasi (yaitu lembaga, pelayanan ataukah individu tenaga kesehatan), maka aplikasinya dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 4. Aplikasi aktivitas dan sasaran regulasi pelayanan Proses Individu Sebagian
fungsi/pelayanan Lembaga Regulasi eksternal
Akreditasi Akreditasi
tenaga dokter* Akreditasi RS Sayang Ibu dan Bayi
Akreditasi pelayanan medik dasar**
Akreditasi rumah sakit
Lisensi Lisensi dokter,
dokter keluarga Lisensi praktek
mandiri/kelompok, RB, BP
Lisensi perawat Lisensi klinik 24 jam
Lisensi bidan Lisensi klinik fisioterapi dan
klinik lain Lisensi dokter
spesialis Lisensi berbagai jenis RS:
umum, kanker, jiwa, lepra, wanita
Sertifikasi ATLS/ACLS Pusat unggulan Stroke Sertifikasi rumah sakit: ISO Perawat
spesialis Pusat unggulan Diabetes Pusat unggulan Geriatri Teknologi alat, obat Regulasi
internal Kredential Indikator klinik Indikator kinerja mutu RS Appraisal
system*** Audit klinik Infeksi nosokomial
* Baru mulai di Amerika; ** Dalam fase desain; *** Secara berkala, kepala SMF melakukan appraisal terhadap dokter yang bekerja di suatu instalasi/pelayanan. Sistem ini baru dikembangkan di Inggris oleh British Association of Medical Managers.
Kembali kepada ketiga peran pemerintah (regulasi, pemberi biaya dan pelaksana), apabila pemerintah mengambil peran sebagai pengarah, maka Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten-Kota akan mengembangkan regulasi yang terkait dengan berbagai lembaga penyedia pelayanan. Akan tetapi, apabila peran Dinas Kesehatan yang diambil adalah sebagai pelaksana yang langsung menangani manajemen internal suatu lembaga
pelayanan (sehingga lembaga pelayanan tersebut tidak mempunyai otonomi dalam manajemennya), maka harus dikembangkan pula aktivitas regulasi yang secara internal dilakukan oleh lembaga penyedia pelayanan. Sebagai contoh, rumah sakit mempunyai komite medik dengan berbagai tim/panitia, misalnya panitia mutu, panitia audit medik, dll, yang merupakan salah satu aktivitas regulasi internal. Tujuan regulasi internal lembaga pelayanan adalah agar lembaga pelayanan tersebut tetap dapat menjamin mutunya dan melakukan perbaikan mutu, serta dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam aktivitas regulasi eksternal (seperti halnya akreditasi, lisensi, sertifikasi). Berikut adalah keterkaitan antara perijinan, akreditasi, standar pelayanan dan SOP, pada lembaga pelayanan rumahsakit (Koentjoro, 2000)6.
Tenaga Profesi Standar (eksternal)
Pelayanan Rumah Sakit (minimal)
Standar (eksternal) Sistem Manajemen Mutu
pada Pelayanan Rumah
Sakit (optimal)
Generik
Spesifik
Perizinan
Organisasi Profesi Standar-standar
Klinik
Professional guideline Clinical Procedures
Standard of care
Standard of practice
Standard of governance
Standar pelayanan umum
Standar pelayanan klinis
Standar administrasi dan manajemen Pelayanan Rumah
Sakit Standar Internal
(achievable)Tenaga Profesi Standar (eksternal)
Pelayanan Rumah Sakit (minimal)
Standar (eksternal) Sistem Manajemen Mutu
pada Pelayanan Rumah
Sakit (optimal)
Generik
Spesifik
Perizinan
Organisasi Profesi Standar-standar
Klinik
Professional guideline Clinical Procedures
Standard of care
Standard of practice
Standard of governance
Standar pelayanan umum
Standar pelayanan klinis
Standar administrasi dan manajemen Pelayanan Rumah
Sakit Standar Internal
(achievable)
Gambar 1. Aplikasi berbagai aktivitas regulasi di suatu lembaga pelayanan
Regulasi pelayanan semakin rumit ketika kita mempertimbangkan variasi spektrum pelayanan kesehatan, mulai dari tradisional, komplementari hingga pelayanan moderen.
Suatu pelayanan secara mudah dapat dikategorikan moderen apabila mempunyai ikatan
11
6 Koentjoro, T. (2000). Materi kuliah manajemen mutu, Magister Manajemen Rumahsakit UGM.
profesi, sistem pendidikan yang jelas, buku-buku teks, serta mempunyai standar-standar pelayanan. Secara kaku, memang pengelompokkan tersebut tidak mudah disusun mengingat beragam pelayanan tradisional dan komplementer yang ada. Mills (2001)7 mencoba mengklasifikasikan pelayanan yang ada di Inggris menjadi sebagai berikut:
Di lain pihak, utilisasi pelayanan tersebut cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara lain. Di negara maju seperti Australia proporsinya dari pembelanjaan kesehatan adalah 48%, Canada 70%, Amerika 42%, Belgium 38%, dan Perancis 75%. Pembelanjaan untuk pengobatan tradisional di Malaysia per tahunnya US$ 500 juta, sedangkan untuk pengobatan moderen Barat US$ 300 juta. Di negara- negara lain pembelanjaannya mencapai US$ 2700 juta di Amerika, US$80 juta di Australia, US$2400 di Canada, dan US$2300 di Inggris.
12
7 Mills SY. Regulation in complementary and alternative medicine. BMJ 2001; 322: 158-160.
13 BAGIAN 3: MODEL DAN EFEKTIVITAS REGULASI PELAYANAN
Skenario
Setelah desentralisasi, peran regulasi banyak yang didesentralisasikan ke Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten-Kota. Hal ini tertuang dalam PP 8/2003 dan PP 25/2000. Peran ini semakin penting di daerah-daerah yang pelayanan swastanya berkembang pesat (misalnya DIJ, Bali, Riau). Untuk mengembangkan peran ini, renungkan pertanyaan berikut ini:
1. Dalam organisasi Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten-Kota, bagian mana dari struktur tersebut yang menangani peran regulasi pelayanan?
2. Peran tersebut didukung oleh berapa sumber daya manusia dan apa kualifikasi mereka?
3. Apa jenis kegiatan yang dilakukan serta berapa anggaran yang diajukan untuk mendukung peran tersebut?
4. Bagaimana pendataan mengenai berbagai jenis lembaga pelayanan swasta yang ada di wilayah tersebut?
5. Apakah regulasi yang dikembangkan efektif?
Isu:
Berdasarkan atas jawaban pertanyaan tersebut, bagaimana model pengembangan regulasi yang dapat dikembangkan oleh Dinas Kesehatan?
Pemikiran pengembangan infrastruktur regulasi didasari pada berbagai pertimbangan sebagai dampak desentralisasi:
• Fungsi-fungsi pengawasan mutu tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat didesentralisasikan ke daerah atau ke lembaga swasta yang mampu. Dalam ini diperlukan lembaga-lembaga lama dan baru di masyarakat yang akan bekerja sama dengan pemerintah dalam melakukan berbagai aktivitas regulasi tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan. Kewenangan regulasi yang dimiliki pada tingkat tertentu (misalnya perijinan sebagian besar sarana pelayanan kesehatan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) seharusnya diperkuat sistemnya (misalnya lisensi praktek swasta di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota), baik dari segi standar yang digunakan, pelaksana regulasinya, ataupun sistem pemantauannya.
14
• Diperlukan tenaga-tenaga yang harus mempunyai ketrampilan baru dalam pengawasan mutu tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan. Selama ini fungsi pelayanan terhadap mutu tenaga dan fasilitas pelayanan kesehatan tidak dilakukan secara maksimal. Akibatnya kekurangan tenaga yang memahami dan trampil dalam melakukan pengawasan terhadap mutu tenaga pelayanan kesehatan.
Sebagai ilustrasi, di kabupaten Sleman terdapat 600 jumlah berbagai jenis lembaga pelayanan baik pemerintah ataupun swasta yang harus diregulasi. Jumlah lembaga ini tentunya mempunyai konsekuensi yang besar terhadap ketersediaan tenaga- tenaga yang harus dilatih untuk memberikan ijin sarana pelayanan (lisensi) dan melakukan monitoring mutu. Sementara di lain pihak tenaga yang tersedia juga mempunyai tanggungjawab sebagai pelaksana berbagai program kesehatan di wilayah tersebut.
• Adanya kesadaran dari tenaga kesehatan mengenai perlunya pengembangan mutu tenaga. Dengan adanya kebijakan desentralisasi dan UU perlindungan konsumen, kesadaran lembaga pelayanan kesehatan seperti rumah sakit sebagai lembaga usaha yang sosial akan memberikan arah untuk bersaing secara sehat. Para tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan dituntut untuk mengembangkan kemampuan diri agar mampu memberi pelayanan yang bermutu.
Dari berbagai hal tersebut di atas maka perlu dipikirkan pengembangan model regulasi dan infrastruktur yang dapat dikembangkan di masa mendatang dengan berbagai pemikiran dan masukan stakeholder terkait baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa alternatif yang mungkin dikembangkan adalah sebagai berikut, yang dihasilkan dari proses konsultasi di propinsi DIJ:
Model 1. Pemerintah sebagai pengarah sekaligus pelaksana regulasi
Kebijakan mengenai regulasi serta pelaksana regulasinya dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintah juga masih berperan sebagai pelaksana pelayanan kesehatan (seperti hubungan antara Departemen Kesehatan dengan rumahsakit vertikal). Dalam model ini pemerintah melakukan berbagai peran sekaligus (peran ganda atau lebih). Model ini adalah model pra-desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan di Indonesia.
Model 1
Dinas Kesehatan / Depkes
Regulasi: Akreditasi
KARS BANRS
Oversight : PEMERINTAH SWASTA (INDEPENDEN) ( Regulator )
Oversight : PEMERINTAH SWASTA (INDEPENDEN) ( Regulator )
Contoh:
(1) Lembaga akreditasi rumahsakit (KARS) yang strukturnya berada di bawah Departemen Kesehatan. Salah satu kelemahan model seperti ini adalah bahwa akreditasi dirancukan dengan lisensi dan monitoring mutu. Akreditasi yang seharusnya bersifat sukarela dan bertujuan untuk mencapai standar yang optimal dan memacu perbaikan mutu, berubah menjadi cenderung bersifat wajib dan bertujuan untuk mencapai standar minimal atau monitoring.
(2) (Eks) Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan mengembangkan akreditasi bagi institusi pendidikan kesehatan (Politeknik Kesehatan) (fungsi regulasi), akan tetapi juga banyak melakukan fungsi sebagai pelaksana Poltekkes (misalnya menentukan jadwal ujian seleksi, menentukan sebagian besar kurikulum, menandatangani sertifikat/ijazah kelulusan, menyusun soal ujian, dsb.). Dengan demikian, penilaian dalam akreditasi sulit dilakukan secara murni oleh karena banyak fungsi-fungsi manajemen yang masih dilakukan secara terpusat oleh Pusdiknakes.
Model 2. Pemerintah bekerja sama dengan lembaga lain (non-pemerintah) sebagai regulator
Kebijakan regulasi tetap diambil oleh pemerintah, akan tetapi pelaksanaan dan pemantauan kegiatan regulasi dapat dilakukan oleh pihak/badan lain yang diakui oleh pemerintah.
15
M odel 2
Dinas Kesehatan / Depkes
Regulasi: Akreditasi
Oversight : PEMERINTAH SW ASTA (INDEPENDEN) ( Regulator )
Oversight : PEMERINTAH SWASTA (INDEPENDEN) ( Regulator )
KARS Lembaga Lain
ISO, EFQM, ACHS, dll
Contoh:
(1) Departemen Kesehatan menetapkan standar akreditasi rumahsakit. Dinas Kesehatan Propinsi menetapkan kebijakan bahwa seluruh rumah sakit di wilayahnya harus diakreditasi (secara umum, atau pada tingkat tertentu misalnya memenuhi 5 standard akreditasi KARS, atau untuk memenuhi persyaratan tertentu misalnya terkait dengan asuransi). Namun demikian, terdapat pengawas-pengawas di lapangan/regulator (atau ibaratnya wasit) yang dapat berasal dari beberapa lembaga yang diakui untuk melaksanakan fungsi regulasi tersebut. Dengan demikian rumah sakit dapat memilih apakah akan mengikuti akreditasi 5 pelayanan oleh KARS-BANRS, atau ISO atau oleh lembaga akreditasi di negara lain.
(2) Lisensi tenaga dokter yang di masa mendatang dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
Model ini mempunyai keuntungan apabila telah berkembang berbagai lembaga yang melakukan akreditasi, sehingga akreditasi tidak menjadi monopoli satu lembaga tertentu. Sebagai contoh di Australia juga terdapat setidaknya 2 lembaga yang melakukan akreditasi, yaitu ACHS (the Australian Council on Healthcare Standards) dan QIC (the Quality Management Council). Demikian pula di Amerika, terdapat lembaga JCAHO (the Joint Commission of American Healthcare Organizations), American Osteopathic Association, dan Commission of Accreditation of Rehabilitation Facilities.
Dengan diberlakukannya AFTA 2003, berarti semakin terbuka pula kesempatan bagi rumahsakit untuk mengikuti akreditasi yang ditawarkan oleh berbagai lembaga/negara dan juga bagi lembaga akreditasi asing untuk beroperasi di Indonesia.
16
Model 3. Model transisi
Pemerintah berperan sebagai penetap kebijakan regulasi, akan tetapi pelaksanaan regulasinya bekerja sama dengan suatu konsil mutu (atau lembaga lain yang serupa).
Konsil atau lembaga ini terdiri dari berbagai unsur stakeholder serta dapat berada di tingkat Kabupaten/Kota atau di tingkat Propinsi, tergantung pada ketersediaan SDM, pembiayaan konsil (dibiayai pemerintah, biaya mandiri, ataukah awalnya dibiayai pemerintah kemudian mandiri), dan peran yang akan dilakukan. Model ini merupakan alternatif bagi infrastruktur pasca desentralisasi, mengingat bahwa: (1) Pada saat ini Departemen Kesehatan/Dinas Kesehatan sendiri belum menetapkan secara jelas peran yang akan diambil, sehingga peran pengarah dan pelaksana regulasi masih menjadi satu;
dan (2) Belum tersedia lembaga-lembaga yang diakui oleh pemerintah sebagai pelaksana regulasi, kecuali KARS-BANRS (untuk akreditasi). Model lisensi tenaga kesehatan juga belum dikembangkan sedemikian serupa sehingga mampu menilai kompetensi minimal tenaga kesehatan sebagai persyaratan dasar untuk memberikan pelayanan yang aman (safe). Konsil Kedokteran juga masih dalam tahapan pembahasan di tingkat Pusat.
Keuntungan model ini juga memberikan kesempatan bagi pengembangan infrastruktur regulasi di tingkat Kabupaten-Kota ataupun Propinsi, dengan struktur yang berbeda tergantung pada kondisi masing-masing (misalnya perkembangan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan) dan ketersediaan SDM (misalnya jumlah tenaga fungsional dan kualifikasinya). Dinas Kesehatan dapat membentuk konsil yang terdiri dari para stakeholder di bidang kesehatan (pemerintah daerah, Dinas kesehatan, lembaga pelayanan, organisasi profesi, institusi pendidikan, masyarakat, lembaga asuransi) untuk melakukan monitoring mutu dan kegiatan regulasi lainnya.
Model 3
PEMDA Dinas Kesehatan
Pengend alian Peny.
YanMed
Bindal Litbangkes
Promosi Regulasi:
- Akreditasi
Board of Health
Perwakilan dari Stakeholder
Quality Council
Indikator Klinik
Monitoring Standar
Auditor Medik
RS RSKIA Puskesmas RB/BP Apotik Farmasi
Gizi Lab.
Praktek Swasta
Akreditasi Lisensi ---
Pemerintah ( Governant Acc. ) Semi-Kuasi Pemerintah/Swasta (Public Acc)
---
17
18 Efektivitas regulasi
Hongoro C, Kumaranayake L. Do they work? Regulating for-profit providers in Zimbabwe. Health Policy and Planning 2000; 15 (4): 368-377.
Soderlund N, Mendoza-Arana P, Goudge J (eds). 2003. The new public/private mix in health: exploring the changing landscape. Geneva: Alliance for Health Policy and Systems Research.