• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN DI POLIKLINIK RAWAT JALAN RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN DI POLIKLINIK RAWAT JALAN RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN SKRIPSI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NAUFAL FIRDAUS 150100181

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN DI POLIKLINIK RAWAT JALAN

RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NAUFAL FIRDAUS 150100181

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Komunikasi Dokter Pasien di PoliKlinik Rawat Jalan Rumah Sakit H.

Adam Malik Medan” dapat diselesaikan.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Ir. Budi Susanto M.Si, dan Ibunda Murni S.Kep, atas dukungan moril, materil, kasih sayang, dan doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Skripsi ini dapat diselesaikan atas dukungan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. DR. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. T. Ibnu Alferraly M.Ked(PA), Sp.PA, D.Bioeth selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga, serta memberikan arahan, masukan, dan motivasi selama proses bimbingan skripsi ini.

3. Dr. dr. Rozaimah Z. Hamid MS. Sp.FK dan dr. Tetty Aman Nasution, M.Med. SC Prof. selaku Ketua Penguji dan Anggota Penguji yang telah memberikan saran dan nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. dr. Yunilda Andriyani, M.KT, Sp.ParK selaku dosen penasehat akademik penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5. Instalasi Penelitian dan Pengembangan RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman Angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang memberi berbagai dukungan selama penyusunan skripsi ini.

7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak mungkin penulis ucapkan satu persatu.

(5)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis memohan maaf atas kekurangan dan kesalahan selama proses penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan.

Medan, 14 Desember 2018

Naufal Firdaus

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Daftar Singkatan ... ix

Abstrak ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Dokter Pasien ... 4

2.1.1 Definisi Komunikasi ... 4

2.1.2 Fungsi Komunikasi ... 5

2.1.3 Pola Komunikasi ... 6

2.1.4 Komunikasi efektif ... 7

2.2 Profesionalisme Dokter ... 11

2.2.1 Definisi Profesionalisme Dokter ... 11

2.2.2 Profesionalisme Kedokteran di Indonesia ... 12

2.3 Etika Kedokteran ... 13

2.3.1 Definisi Kedokteran ... 12

2.4 Kaidah Dasar Bioetika ... 13

2.4.1 Definisi Kaidah Dasar Bioetika ... 13

2.4.2 Prinsip Kaidah Dasar Bioetika ... 14

2.5 Keselamatan Pasien ... 16

2.5.1 Definisi ... 16

2.6 Kerangka Teori ... 18

2.7 Kerangka Konsep ... 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 19

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 19

3.4 Definisi Operasional ... 21 3.4.1 Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Komunikasi Dokter

(7)

Pasien ... 21

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 21

3.5.1 Uji Validitas dan Realibilitas ... 21

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 22

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 23

4.2 Deskripsi Karakteristik Sampel... 23

4.3 Distribusi Penilaian Pasien Terhadap Profesionalisme Dokter ... 25

4.4 Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Poliknlinik ... 25

4.5 Hasil Analisis Statistik ... 26

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 36 LAMPIRAN

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Teori ... 18 Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... 18

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 Gambaran karakteristik responden ... 24 Tabel 4.2 Distribusi penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi

Dokter-pasien ... 25 Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan poliklinik ... 25 Tabel 4.4 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi

dokter-pasien berdasarkan jenis kelamin ... 26 Tabel 4.5 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komuikasi

dokter-pasien berdasarkan usia ... 26 Tabel 4.6 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi

dokter-pasien berdasarkan tingkat pendidikan ... 27 Tabel 4.7 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi

dokter-pasien berdasarkan pekerjaan ... 28 Tabel 4.8 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi

dokter-pasien berdasarkan jumlah kunjungan ... 29 Tabel 4.9 Gambaran Penilaian Kepuasan Pasien terhadap Komunikasi

Dokter-Pasien di Unit Rawat Jalan RSUP Haji Adam Malik Medan ... 30

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Biodata Penulis Lampiran B : Lembar Penjelasan Lampiran C : Informed Consent

Lampiran D : Surat Keterangan Validasi Isi Lampiran E : Kuesioner Penelitian

Lampiran F : Surat Izin Penelitian

Lampiran G : Izin Penelitian RSUP H. Adam Malik Lampiran H : Izin Penelitian Instalasi Rawat Jalan Lampiran I : Tabel Perhitungan Aplikasi SPSS

(11)

DAFTAR SINGKATAN

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia FHSAs : Family Health Service Administration’s HDP : Hubungan Dokter Pasien

KTD : Kejadian Tidak Diharapkan PHC : Primary Health Care SHC : Secondary Health Care

SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional US : United States

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang. Hubungan dokter dan pasien merupakan refleksi dari suatu sikap profesionalisme dokter dan merupakan pusat dari pelayanan kesehatan yang berkualitas.Hal ini menunjukkan bahwa profesionalisme dokter merupakan suatu hal yang sangat penting bagi profesi dokter. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi dasar untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan proses perawatan yang terbaik, baik dalam menjelaskan tujuan pengobatan maupun mendiskusikan proses perawatan pasien dengan profesional lain yang terlibat. Tingkat kepuasan pasien dapat berpengaruh pada hasil pengobatan yang nantinya akan dijalankan.

Tujuan Penelitian. Mengetahui tingkat kepuasan pasien tentang perilaku profesional dokter terutama dalam hal komunikasi dokter-pasien. Metode. Penelitian ini bersifat analitik dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional) di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan melihat data primer yang didapat menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Besar sampel adalah 100 orang yang dipilih menggunakan consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan program komputer SPSS. Hasil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa RSUP Haji Adam Malik Medan memiliki tingkat kepuasan pada kategori “Puas” dengan 67% (67 orang) merasa puas dan 33% (33 orang) merasa sangat puas

Kata Kunci :komunikasi, tingkat kepuasan, dokter-pasien.

(13)

ABSTRACT

Background. The relationship between doctors and patients is a reflection of a professional attitude of doctors and is the center of quality health services. This shows that the professionalism of doctors is very important for the medical profession. In health services, communication is the basis for ensuring that patients get the best treatment process, both in explaining treatment goals and discussing patient care processes with other professionals involved. The level of patient satisfaction can have an effect on the outcome of the treatment that will be carried out later.

Purposes. Knowing the level of patient satisfaction about the professional behavior of doctors, especially in terms of doctor-patient communication. Methods. This research is analytical with cross sectional design in Haji Adam Malik General Hospital, Medan. This research was conducted by looking at the primary data obtained using a questionnaire filled out by respondents. The sample size was 100 people selected using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Data was then analyzed using the SPSS computer program. Results. The results of this study indicate that Haji Adam Malik General Hospital Medan has a level of satisfaction in the

"Satisfied" category with 67% (67 people) feeling satisfied and 33% (33 people) feeling very satisfied

Keywords: communication, level of satisfaction, doctor-patient.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hubungan dokter dan pasien merupakan refleksi dari suatu sikap profesionalisme dokter dan merupakan pusat dari pelayanan kesehatan yang berkualitas.Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012 menyebutkan bahwa profesionalitas luhur merupakan pondasi pertama kompetensi dokter di Indonesia. Profesionalitas merupakan kemampuan untuk bertindak profesional.

Hal ini menunjukkan bahwa profesionalisme merupakan suatu hal yang sangat penting bagi profesi dokter. Walaupun profesionalisme sangat penting bagi profesi dokter, tampaknya sebagian besar dokter sulit untukmemahami konsepnya. Dalam kaitannya dengan profesionalisme, Koizumi, S., 2005 menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap dokter merupakan hal yang sangat penting. Kepercayaan tersebut dipengaruhi oleh sikap yang ditunjukkan oleh dokter berdasarkan nilai-nilai profesionalisme (Spandorfer J, et al2010).

Dapat dikatakan bahwa profesionalisme merupakan penentu kualitas hubungan dokter dan pasien. Dari penelitian yang sama juga dikatakan bahwa hubungan dokter dan pasien yang baik akan menurunkan keinginan pasien untuk melakukan tuntutan malapraktik (Moore, Adier, Robertson, 2000). Walaupun profesionalisme merupakan inti penting dalam dunia kedokteran (Spandorfer J, et al. 2010), profesionalisme cukup sulit dinilai. Penilaian yang rendah terhadap profesionalisme dokter diberikan oleh pasien dengan latarpendidikan yang tinggi dan pasien usia muda, karena umumnya pasien tersebut memiliki sikap kritis dan memiliki ekspektasi yang tinggi. Hal ini menunjukkanbahwa ada hubugan latar belakang pasien dengan cara pasien menilai profesionalisme dokter.

Komunikasi merupakan kebutuhan dasar (kodrat/asal) manusia sebagai prasyarat mutlak bagi perkembangan manusia, baik sebagai individu, kelompok, maupun bermasyarakat. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi dasar untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan proses perawatan yang terbaik,

(15)

baikdalam menjelaskan tujuan pengobatan maupun mendiskusikan proses perawatan pasien dengan profesional lain yang terlibat. Seringkali komunikasi berlangsung dalam situasi yang tingkat stressnya tinggi dan harus dilakukan segera sehingga sering meningkatkan terjadi miskomunikasi antara dokter dan pasien (Rachmania,2011). Data yang dikumpulkan oleh Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization menunjukkan bahwa komunikasi yang buruk memberikan kontribusi pada hampir 70% dari KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang mengakibatkan kematian atau cidera yang serius yang dilaporkan di US pada tahun 2005 (The Joint Commission, 2008). Penelitian observasional terhadap 48 kasus bedah yang dilakukan Lingard et.al., (2004) berhasil mengidentifikasi 421 masalah komunikasi, dan hampir sepertiganya diklasifikasikan sebagai “failures”. Observasi terhadap 10 tindakanoperasi yang dilakukan oleh Christian et.al., juga menunjukkan adanya kesalahan komunikasi di kesepuluh operasi yang diobservasi (Christian, 2006).Publikasi di Amerika Serikat tahun 2011 menunjukkan bahwa 1 diantara 200 orang menghadapi risiko kesalahan pelayanan di rumah sakit, dibandingkan dengan risiko naik pesawat terbang yang hanya 1 per 2.000.000 sehingga dapat dikatakan bahwa risiko mendapatkan kesalahan pelayanan di rumah sakit lebih tinggi (Depkes RI, 2006).

Jenis kesalahan pelayanan yang tersering adalah kesalahan pengobatan, kesalahan operasi dan prosedur serta infeksi nosokomial (Classen et al., 2011).

Pelaksanaan Keselamatan Pasien menjadi suatu sistem yang harus ada di semua rumah sakit di dunia begitu juga di Indonesia. Masyarakat sudah jeli untuk melihat rumah sakit mana yang pantas dijadikan sebagai tempat mencari pertolongan pelayanan kesehatan. Terpenuhinya harapan masyarakat terhadap mutu pelayanan rumah sakit merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Mutu pelayanan yang kurang baik berisiko meningkatkan kesalahan- kesalahan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan pemborosan waktu dan sumber daya. Penelitian ini meneliti tentang tingkat kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter dengan pasien yang di lakukan di poliklinik rawat jalan Rumah Sait H. Adam Malik Medan dengan partisipan pasien yang berobat ke dokter umum dan pasien dokter spesialis.

(16)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ditemukan adalah:

Bagaimanakah tingkat kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter dengan pasien di Poliklinik Rawat Jalan RSUP H. Adam Malik Medan?.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui informasi yang dapat dipercaya mengenai penilaian pasien terhadap dokter di poliklinik rawat jalan RumahSakit H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mengetahui tingkat kepuasan pasien tentang perilaku profesional dokter terutama dalam hal komunikasi dokter-pasien di Poliklinik Rawat Jalan RSUP H.

Adam Malik Medan.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Memberi masukan kepada tenaga dokter bagaimana tingkat profesionalisme dokter pada umumnya dan dokter yang bertugas khususnya dalam hal komunikasi dokter-pasien demi meningkatkan tingkat kefahaman pasien tentang penyakit yang di deritanya, sehingga dapat mengawal keselamatan pasien pada umumnya.

2. Memberikan masukan kepada pihak pimpinan rumah sakit perlunya dilakukan peningkatan mutu komunikasi dokter-pasien melalui mekanisme pelatihan.

3. Memberikan masukkan kepada institusi pendidikan dokter tentang pentingnya pembelajaran komunikasi dokter-pasien dalam membangun profesionalisme dokter demi mencegah terjadinya malpraktik.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KOMUNIKASI DOKTER PASIEN 2.1.1. Definisi Komunikasi

Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan dari seseorang yang dibagi kepada orang lain. Berkomunikasi berarti membantu menyampaikan pesan untuk kemudian diketahui dan pahami bersama. Pesan dalam komunikasi digunakan dalam memilih dan pengambilan keputusan.Komunikasi kesehatan merupakan proses komunikasi yang melibatkan pesan kesehatan, unsur-unsur atau peserta komunikasi. Dalam komunikasi kesehatan berbagai peserta yang terlibat dalam proses kesehatan antara dokter, pasien, perawat, profesional kesehatan, atau orang lain. Pesan khusus dikirim dalam komunikasi kesehatan atau jumlah peserta yang terbatas dengan menggunakan konteks komunikasi antarpribadi sebaliknya menggunakan konteks komunikasi massa dalam rangka mempromosikan kesehatan kepada masyarakat luas yang lebih baik, dan cara yang berbeda adalah upaya meningkatkan keterampilan kemampuan komunikasi kesehatan (Arianto, 2012). Komunikasi Dokter Pasien merupakan landasan yang penting dalam proses diagnosis, terapi maupun pencegahan penyakit. Komunikasi terjadi melalui penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Pesan merupakan suatu arti (ideas dan feeling) yang diperoleh seseorang dari orang lain, suatu kegiatan, ruangan atau apa saja yang berhubungan dengan orang tersebut. Komunikasi Dokter Pasien harus dijaga dan dipelihara oleh kedua belah pihak supaya terjalin dengan baik dalam rangka memperoleh meaning tersebut. Selain itu, dokter umum juga memiliki wewenang untuk merujuk pasien ke spesialis di klinik praktik maupun di SHC (Secondary Health Care). Dalam beberapa kasus di PHC (Primary Health Care) banyak dijumpai dokter yang salah merujuk pasien karena kekeliruan dalam mendiagnosa penyakit sehingga menimbulkan tuntutan hukum.

Semua hal ini dapat bermula dari adanya hambatan dalam komunikasi Dokter Pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Societyof Intemal

(18)

medicine komunikasi Dokter Pasien yang baik temyata berhasil menurunkan angka keluhan dan tuntutan hukum terhadap dokter (Djauzi, S., & Supartondo, 2004).

2.1.2. Fungsi Komunikasi

William I. Gorden dalam Mulyana Deddy (2007) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi tiga, yaitu:

1. Sebagai Komunikasi Sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan-hubungan orang lain, melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

2. Sebagai Komunikasi Ritual

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebagai rites of passage. Mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (shalat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual, mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, Negara, ideologi, atau agama mereka.

3. Sebagai Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu:

(19)

menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut, studi komunikasi membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama.

2.1.3. Pola Komunikasi

Dalam komunikasi dikenal pola-pola tertentu sebagai manifestasi perilaku manusia dalam berkomunikasi. Ditinjau dari pola yang dilakukan, ada beberapa jenis yang dikemukakan. Beberapa sarjana Amerika membagi pola komunikasi menjadi lima, yakni komunikasi antar pribadi (interpersonal communication), komunikasi kelompok kecil (small group communication), komunikasi organisasi (organizational communication), komunikasi massa (mass communication) dan komunikasi publik (public communication) (Nuruddin, 2010).

Pola-pola komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi dengan Diri Sendiri

Menurut Hafied Changara (2010) dalam buku ilmu Komunikasi, terjadinya proses komunikasi ini karena adanya seseorang yang menginterpretasikan sebuah objek dan dipikirkannya. Objek tersebut bisa berwujud benda, informasi, alam, peristiwa, pengalaman, atau fakta yang dianggap berarti bagi manusia. Berbagai objek tersebut bisa terjadi pada diri sendiri dan di luar manusia. Kemudian objek itu diberi arti, diinterpretasikan berdasarkan pengalaman yang berpengaruh pada sikap dan perilaku dirinya.

Ada tanda-tanda umum, dimana komunikasi dengan diri sendiri dapat dibedakan, yaitu; 1) keputusan merupakan hasil berpikir atau hasil usaha intelektual; 2) keputusan selalu melibatkan pilihan dari berbagai alternatif;

3) keputusan selalu melibatkan tindakan nyata, walaupun pelaksanaannya boleh ditangguhkan atau dilupakan (Jalaludin, R, 2009).

2. Komunikasi Kelompok

(20)

Sesuatu dikatakan komunikasi kelompok karena, pertama, proses komunikasi hal mana pesan-pesan yang disampaikan oleh seorang kepada khalayak dalam jumlah yang lebih besar pada tatap muka. Kedua, komunikasi berlangsung kontinyu dan bisa dibedakan mana sumber dan mana penerima. Hal ini menyebabkan komunikasi sangat terbatas sehingga umpan baliknya juga tidak leluasa karena waktu terbatas dan khalayak relatif besar. Ketiga, pesan yang disampaikan terencana (dipersiapkan) dan bukan spontanitas untuk segmen khalayak tertentu (Effendy, 2009).

3. Komunikasi Massa

Para ahli komunikasi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa. Para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Sehubungan dengan itu, dalam berbagai literatur sering dijumpai istilah mass communications (pakai s) selain mass communication (tanpa s). Arti mass communicationssama dengan mass media atau dalam bahasa Indonesia media massa. Sedangkan yang dimaksud dengan mass communication adalah proses, yakni proses komunikasi melalui media massa (Effendy, 2009).

2.1.4. Komunikasi efektif

Komunikasi kesehatan melibatkan dokter, pasien, dan keluarga adalah komunikasi yang tidak dapat dihindari dalam kegiatan kesehatan atau klinikal.

Pasien datang berobat menyampaikan keluhannya, didengar, dan ditanggapi oleh dokter sebagai respon dari keluhan tersebut. Seorang pasien yang datang berobat memiliki harapan akan kesembuhan penyakitnya, sedangkan seorang dokter mempunyai kewajiban memberikan pengobatan sebaik mungkin (Arianto, 2012).

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus

(21)

diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya.

Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998). Komunikasi efektif dokter dan pasien dalam proses terapi berkaitan dengan Keselamatan Pasien yaitu melibatkan pasien dan keluarga dalam Informed Consent, kompetensi budaya (Cultural Competence), dan menyampaikan insiden pada pasien (Open Disclosure) (NHS, 2012; APSEF, 2011).

1. Memberikan Informed Consent

Proses Informed Consent adalah barometer untuk mengetahui sejauh mana keterlibatan pasien dalam proses terapi. Informed Consent tidak hanya sebatas tanda tangan pasien dan keluarganya, tetapi merupakan suatu proses untuk memberikan kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk mempertimbangkan semua pilihan dan risiko yang terkait dengan pengobatan pasien.Sayangnya keterbatasan waktu dan kebiasaan petugas untuk mendapatkan Informed Consent dengan cepat membuat proses ini seringkali diabaikan.

Ada dua bagian utama dari informed consent, yaitu:

a. Bagian yang menginformasikan pasien mengenai:

- Pemberian informasi oleh praktisi kesehatan.

(22)

- Penangkapan informasi oleh pasien.

b. Bagian yang memungkinkan pasien mengambil keputusan:

- Pengambilan keputusan oleh pasien dengan bebas dan tidak terpaksa - Kompetensi kultural

Banyak pihak yang memperdebatkan sejauh mana dan jenis informasi apa saja yang harus disampaikan pada pasien dan sejauh mana informasi itu harus dimengerti pasien sebelum seorang pasien dikatakan telah menerima informasi dengan baik. Dokter selalu dianjurkan untuk menggunakan evidence-based medicine. Penelitian-penelitian yang menunjukkan kemungkinan keberhasilan dan kegagalan pengobatan telah tersedia untuk sebagian besar pengobatan. Informasi- informasi ini harus disampaikan pada pasien, bahkan lebih baik jika tersedia dalam bentuk media cetak dan bisa diberikan pada pasien untuk membantu membuat keputusan. Informasi yang harus diberikan pada pasien antara lain:

a. Diagnosis: meliputi prosedur diagnosis dan hasil pemeriksaannya. Jika tindakan medis dilakukan untuk melakukan diagnosis, maka prosedur diagnosis harus dijelaskan.

b. Tingkat kepastian diagnosis: Ilmu kedokteran adalah ilmu yang tingkat ketidakpastiannya tinggi, dengan semakin banyak gejala yang muncul, maka diagnosis bisa berubah atau bisa semakin pasti.

c. Risiko terapi: pasien perlu mengetahui efek samping terapi, komplikasi akibat terapi atau tindakan medis, outcome yang mungkin memperngaruhi kesehatan mental pasien, latar belakang dari risiko terapi, konsekuensi jika tidak dilakukan terapi. Pasien juga perlu tahu pilihan terapi yang tersedia, tidak hanya jenis terapi yang dipilih dokternya. Pasien juga perlu tahu jenis terapi pilihan, hasil yang diharapkan, kapan terapi harus dimulai, lama terapi dan biaya yang dibutuhkan.

d. Manfaat terapi dan risiko jika tidak dilakukan terapi: sebagian terapi prognosisnya buruk, sehingga pilihan untuk tidak memberikan terapi akan lebih baik.

(23)

e. Perkiraan waktu pemulihan: jenis terapi atau tindakan medis yang dipilih mungkin akan mempengaruhi kehidupan pasien, seperti pekerjaan, jarak tempat pengobatan dari rumah pasien jika harus sering kontrol.

f. Nama, jabatan, kualifikasi, dan pengalaman tenaga kesehatan yang memberikan terapi dan perawatan: pasien perlu mengetahui apakah tenaga kesehatan yang akan memberikan terapi atau melakukan tindakan medis cukup berpengalaman. Jika tidak maka dibutuhkan supervisi dari seniornya dan informasi tentang supervisi ini juga harus diberikan pada pasien.

g. Ketersediaan dan biaya perawatan setelah keluar dari rumah sakit: pasien mungkin masih membutuhkan perawatan di rumah setelah keluar dari rumah sakit. Maka informasi ketersediaan tenaga kesehatan di sekitar rumahnya dan perkiraan biaya perawatan sampai pulih juga harus disampaikan.

2. Kompetensi Budaya (Culture Competence)

Menurut Australian Patient Safety Education Framework (APSEF), kompetensi budaya adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pengetahuan, keahlian, dan sikap yang harus dimiliki semua tenaga kesehatan supaya dapat memberikan pelayanan kesehatan yang tepat dan adekuat pada semua orang dengan tetap menghargai budaya lokal. Tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi budaya mampu untuk:

a. Memahami dan menerima perbedaan budaya b. Memahami nilai budaya yang dipercaya seseorang

c. Memahami bahwa individu dengan latar belakang budaya yang berbeda akan berkomunikasi, berperilaku, menginterpretasi masalah dan memecahkan masalah dengan cara yang berbeda pula.

d. Memahami bahwa kepercayaan terhadap budaya tertentu akan mempengaruhi pasien dalam menilai kesehatannya, mencari kesehatan, berinteraksi dengan tenaga kesehatan dan kepatuhan terhadap pengobatan.

(24)

e. Menyesuaikan cara bekerja dengan budaya setempat, sehingga bisa diterima oleh pasien dan masyarakat setempat

3. Menyampaikan Insiden pada Pasien (Open Disclosure)

Salah satu prinsip komunikasi yang baik adalah jujur dan tidak menutupi kesalahan. Setiap insiden yang terjadi dalam proses pelayanan kesehatan haruslah dijelaskan dan didiskusikan secara terbuka pada pasien. Di beberapa negara, seperti di Australia menyampaikan insiden pada pasien sudah menjadi kebijakan nasional. Menurut Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, dalam proses penyampaian insiden pada pasien, dokter harus meminta maaf atas insiden yang telah terjadi, memberitahukan rencana perubahan terapi (jika ada), memberitahukan perkembangan hasil investigasi mengenai terjadinya insiden, dan memberitahukan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencegah insiden serupa di masa yang akan datang.

2.2. PROFESIONALISME DOKTER 2.2.1. Definisi Profesionalisme Dokter

Profesionalisme merupakan suatu kelompok yang memiliki kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Suatu profesi disatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama serta memiliki keahlian yang tertutup dari orang lain (Bertens K. 1993.). Orang yang bergabung dengan kelompok profesi memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak dimiliki kebanyakan orang lain. Anggota profesi ini diatur oleh kode etik dan menyatakankomitmen terhadap kemampuan, integritas dan moral, altruism, dan dukungandemi kesejahteraan masyarakat. (Cruess S.R & Cruess R.L., 2012)Profesi, profesional, dan profesionalisme memiliki pengertian yang umumdan dapat digunakan untuk profesi lain. Karena hal tersebut, maka istilah“profesionalisme kedokteran (medical professionalism)” telah dikembangkan dandigunakan agar memiliki pengertian yang spesifik dalam praktik kedokteran(Cruess S.R. & Cruess R.L., 2009).

(25)

2.2.2. Profesionalisme Kedokteran di Indonesia

Profesionalisme menjadi bagian dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pada tahun 2012. Pasal mengenai profesionalisme terdapat pada pasal delapan Kode Etik Kedokteran Indonesia (2012) dengan bunyi “ Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih saying (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia”. Di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012, profesionalisme dokter terdapat pada area kompetensi satu yaitu “Profesionalitas yang luhur”.

Hal tersebut sesuai dengan amanat yang tersirat di dalam peraturan perudang- undangan, antara lain:

 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang PraktikKedokteran.

 Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

 Undang-undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),

 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BadanPenyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Berdasarkan telaah yang dilakukan oleh peneliti, tidak semua peraturan perundang-undangan yang disebutkan di atas secara gamblang membahas profesionalisme dokter. Konsep profesionalisme sangat jelas digambarkan melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jika dilihat dari keseluruhan undang-undang yang dicantumkan di atas, dokter merupakan bagian dari sistem kesehatan nasional yang dibentuk pemerintah demi kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan teori kontrak sosial yang telah dijelaskan sebelumnya. Konsep profesionalisme yang berkaitan tentang pasien juga cukup tergambarkan melalui Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Gambaran tersebut terlihat dari pasal 32 yang menjelaskan tentang hak pasien yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari profesionalisme.

(26)

2.3 ETIKA KEDOKTERAN

2.3.1 Definisi Etika Kedokteran

Etika kedokteran (medical ethics) adalah etika keprofesian seorang dokter.

Pendidikan etika pada institusi kedokteran berfokus pada pendidikan akhlak, moral, dan etika (Taher, 2003). Etika kedokteran merupakan salah satu komponen penting dalam praktek, karena etika kedokteran adalah dasar dari hubungan antara dokter dan pasien. Prinsip-prinsip etika seperti menjaga kerahasiaan pasien, tujuan yang jelas dan menghargai orang lain terkadang menjadi sulit diterapkan saat seorang dokter menghadapi keadaankeadaan khusus, seperti penolakan dan ketidaksetujuan dari pihak pasien, keluarga ataupun tenaga kesehatan lain tidak setuju dengan keputusan yang dibuatnya. Oleh sebab itulah, etika berhubungan erat dengan profesionalisme (Sagiran, 2006). Profesionalisme berarti seseorang berperilaku sesuai dengan standar profesi yang ada dan terlihat hubungan yang mendukung masyarakat menjadi percaya kepada dokter. Perilaku profesional terdiri atas elemen-elemen altruism, honesty, responsibility, respect, accountability, leadership, caring and compassion, excellence, dan scholarship (Van, 2005).

2.4 KAIDAH DASAR BIOETIKA

2.4.1 Definisi Kaidah Dasar Bioetika

Etika kedokteran berkaitan erat dengan bioetika (etika biomedis), tetapi kedua hal ini tidaklah sama. Etika kedokteran membahas permasalahan yang dapat timbul saat praktik kedokteran sedangkan bioetika membahas permasalahan moral yang ada dalam perkembangan ilmu pengetahuan biologis secara umum (Sagiran, 2006).

Kaidah dasar bioetika dapat disebut juga sebagai kaidah dasar moral (moral principle atau principle-based ethics atau ethical guidelines) merupakan acuan tertinggi moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang menuntun suatu tindakan kemanusiaan (Lo, 2005). Kaidah ini berfungsi sebagai kerangka analisis

(27)

yang mengekspresikan nilainilai dan aturan secara moral dan dapat digunakan sebagai penuntun etika profesional. Terdapat empat kaidah yang menjalankan fungsi tersebut yaitu autonomy, beneficience, non-maleficence dan justice (Beauchamp et al., 1994). Bioetika diartikan juga sebagai studi interdisipliner tentang problemproblem yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik pada skala mikro maupun makro, dan dampaknya terhadap masyarakat luas serta sistem nilainya kini dan masa mendatang (Bertens, 2009).

2.4.2 Prinsip Kaidah Dasar Bioetika

Sesuai dengan keputusan Konsil Kedokteran Indonesia (2012), praktik kedokteran Indonesia mengadopsi prisip etika kedokteran barat yang mengacu pada kaidah dasar bioetika atau kaidah dasar moral. Berdasarkan Beauchamp et al (1994) terdapat empat kaidah dasar bioetika yaitu:

1. Respect for autonomy (menghormati otonomi pasien) Respect for autonomy berkaitan dengan rasa hormat pada martabat manusia yang memiliki berbagai karakteristik. Manusia pada dasarnya memiliki nilai dan berhak untuk meminta. Prinsip kaidah ini tidak berlaku untuk individu yang belum dapat memutuskan secara sendiri seperti pada bayi, orang yang bunuh diri dengan tidak rasional dan orang yang ketergantungan dengan obat-obatan.

2. Beneficence (berbuat baik) Prinsip kaidah ini tidak hanya menuntut manusia untuk memperlakukan orang lain sebagai makhluk yang otonom dan tidak menyakitinya. Secara umum, kaidah ini bertujuan untuk membantu orang lain lebih dari kepentingan dan minat mereka. Dasar prinsip ini juga berkaitan dengan keseimbangan antara keuntungan dan kerugian.

3. Non-maleficence (tidak merugikan orang lain). Kaidah ini untuk melindungi seseorang yang tidak mampu atau cacat atau juga orang yang non-otonomi. Prinsipnya terdapat keharusan untuk tidak melukai orang

(28)

lain yang lebih kuat dibandingkan keharusan untuk berbuat baik. Non- maleficence menuntut untuk tidak menyakiti orang lain.

4. Justice (keadilan). Teori ini berkaitan erat dengan sikap adil seseorang pada orang lain, seperti memberikan pertolongan terlebih dahulu kepada seseorang berdasarkan derajat keparahan penyakit.

Pada praktiknya, beberapa prinsip yang ada dapat dibersamakan. Tetapi pada saat kondisi tertentu, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan tersebut disebut dengan prima facie (Purwadianto, 2004). Dalam konteks beneficence, prinsip prima facienya adalah sesuatu yang (berubah menjadi atau dalam keadaan) umum. Artinya ketika kondisi pasien merupakan kondisi yang wajar dan berlaku pada banyak pasien lainnya, dokter akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Juga dalam hal ini dokter telah melakukan kalkulasi dimana kebaikan yang akan dialami pasiennya akan lebih banyak dibandingkan dengan kerugiannya (Purwadianto, 2004). Dalam konteks non-maleficence, prinsip prima facie adalah ketika pasien (berubah menjadi atau dalam keadaan) gawat darurat dimana diperlukan suatu intervensi medik dalam rangka penyelamatan nyawanya. Dapat pula dalam konteks ketika menghadapi pasien yang rentan, mudah dimarjinalisasikan dan berasal dari kelompok anakanak atau orang uzur ataupun juga kelompok perempuan (Purwadianto, 2004). Dalam konteks autonomy, prima facie tampak muncul (berubah menjadi atau dalam keadaan) pada sosok pasien yang berpendidikan, pencari nafkah, dewasa dan berkepribadian matang.

Sementara justice tampak prima facienya pada (berubah menjadi atau dalam keadaan) konteks membahas hak orang lain selain diri pasien itu sendiri. Hak orang lain ini khususnya mereka yang sama atau setara dalam mengalami gangguan kesehatan. di luar diri pasien, serta membahas hak-hak sosial masyarakat atau komunitas sekitar pasien (Purwadianto, 2004).

(29)

2.5. KESELAMATAN PASIEN 2.5.1. Definisi

Keselamatan Pasien adalah prinsip dasar dari perawatan kesehatan.

Keselamatan pasien menurut Sunaryo (2009) adalah ada tidak adanya kesalahan atau bebas dari cidera karena kecelakaan. Keselamatan pasien di rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien pelaporan dan analisis insiden. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan pencegahan terjadiya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2011).Proses tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cidera akibat dari tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya (Depkes R.I, 2008).

Menurut Depkes RI (2006), tujuan Keselamatan Pasien adalah sebagai berikut:

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat 3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kerjadian tidak di harapkan.

Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commission on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia (Depkes RI, 2006).

Standar keselamatan pasien terdiri dari tujuh standar yaitu : 1. Hak pasien

(30)

2. Mendidik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

4. Pengunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Tujuan Keselamatan Pasien menurut Departemen Kesehatan R.I (2006) adalah:

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2. Meningkatkan akuntanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat 3. Menurunkan kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan

Sasaran Keselamatan Pasien menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I (2011) adalah :

1. Ketepatan identifikasi pasien.

2. Peningkatan komunikasi efektif.

3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai.

4. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi.

5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

6. Pengurangan pasien risiko jatuh.

(31)

2.6. KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Kerangka Teori

2.7. KERANGKA KONSEP

Variable Dependen Variabel Independen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Komunikasi Dokter-Pasien

Fungsi Komunikasi Pola Komunikasi

Komunikasi Efektif Dokter- Pasien

Etika Kedokteran Sikap Profesionalisme Dokter

Tingkat Kepuasan

Pasien Komunikasi

Dokter Pasien

Krpuasan Pasien

Kaidah Dasar Bioetika

(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross-sectional.

Peneliti memilih desain cross-sectional karena subyek hanya diamati satu kali dan pengukuran variabel dilakukan pada saat pengamatan. Rancangan ini diharapkan mampu menggambarkan penilaian pasien terhadap profesionalisme dokter di unit rawat jalan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian akan dilaksanakan pada Agustus 2018 sampai dengan Oktober 2018 yang bertempat di unit rawat jalan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit dengan akreditasi A yang menjadi pusat rujukan untuk Provinsi Sumatera Utara.

Poliklinik rawat jalan yang dipilih oleh peneliti adalah sebagai berikut :

 Poliklinik Paru

 Poliklinik THT

 Poliklinik Penyakit Dalam

3.3. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi penelitian ini adalah pasien yang berkunjung ke poliklinik rawat jalan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan pada bulan Agustus 2018 sampai Oktober 2018.

(33)

Jumlah sampel minimal didapatkan dengan menggunakan rumus:

n = jumlah sampel

= nilai z berdasarkan tingkat kemaknaan α. Tingkat kemaknaan yang dipilih adalah 0,5

P = proporsi keadaan yang akan dicari. Proporsi yang digunakan adalah 0,5.

Q = (1-P), didapatkan hasil 0,5.

d = tingkat ketepatan absolut yang ditetapkan yaitu 10%

Dengan jumlah sampel minimal tersebut, maka peneliti menetapkansampel sebanyak 100. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutivesamplingdengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut.

Kriteria inklusi

 Pasien rawat jalan di poliklinik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

 Berusia >18 tahun, dibuktikan denga Kartu Tanda Penduduk.

 Memahami Bahasa Indonesia.

 Pasien dalam keadaan sadar dan bersedia dijadikan subyek penelitian.

Kriteria ekslusi

 Pasien berusia < 18 tahun.

 Pasien mengalami gangguan mental.

 Pasien tidak bersedia.

(34)

3.4. DEFINISI OPERASIONAL

3.4.1. Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Komunikasi Dokter Pasien

a. Definisi Operasional :Penilaian seorang pasien terhadap komunikasi yang di berikan dokter kepada pasien.

b. Alat ukur : Kuesioner

c. Cara ukur : Pengisian Kuesioner

d. Hasil pengukuran : Sangat Puas (76-100%), Puas (51-75%), Cukup Puas (25-50%) Kurang Puas (<25%)

e. Skala ukur : Ordinal

3.5. METODE PENGUMPULAN DATA

Jenis data yang digunakan adalah data primer. Setiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi akan dijadikan sampel sampai jumlah sampel mencukupi. Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner. Kuesioner yang digunakan memiliki sembilan pernyataan yang mencakup aspek profesionalisme yang dapat dinilai oleh pasien.

Pasien diminta untuk memberikan nilai dari setiap pertanyaan yang diberikan dalam skala :

 Kurang Puas diberi nilai 1

 Cukup Puas diberi nilai 2

 Puas diberi nilai 3

 Sangat puas diberi nilai 4

Karakteristik pasien, yang meliputi umur, jenis kelamin, dan pendidikan, pekerjaan, dan jumlah kunjungan ditanyakan langsung kepada pasien ketikadiwawancarai.

3.5.1. Uji Validitas dan reliabilitas

Uji validitas konstruk digunakan untuk menguji apakah semua pernyataan tersebut memiliki korelasi walaupun telah diterjemahkan. Untuk menguji validitas digunakan pengolahan statistika koefisien korelasi pruduct moment dari Pearson dengan bantuan perangkat lunak SPSS. Pengujian dilakukan dengan sampel

(35)

sebanyak 20. Hasil korelasi dikatakan bermakna apabila nilai r hitung>nilai r tabel. Pada hasil pengujian didapatkan bahwa seluruh pertanyaan valid pada tingkat kemaknaan 1%, dimana r hitung> nilai r tabel (0,444) Uji reliabilitas dilanjutkan untuk menilai apakah hasil pengukuran dapat diandalkan. Pengujian dilakukan dengan perhitungan statistika Alpha Cronbachdengan bantuan SPSS.

Dari hasil uji realibilitas, semua pertanyaan pengetahuan yang valid adalah reliable dengan alpha= 0, atau sangat reliabel.

3.6. PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

Peneliti menggunakan aplikasi statistik SPSS untuk mengolah data. Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik deskriptif. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik subyek penelitian, mean, dan distribusi frekuensi data. Untuk memperdetil gambaran variable berdasarkan karakteristik subyek penelitian, dilakukan pula analisis statistic inferensial dengan analisis varians satu arah Kruskal-Wallis. Penilaian dari sepuluh kategori data akan dijadikan menjadi satu rata-rata tunggal dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu kurang puas, puas, dan sangatpuas.

(36)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan Kategori Kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 2233/Menkes/SK/XI/2011.

Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk Wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi.

4.2. DESKRIPSI KARAKTERISTIK SAMPEL

Proses pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus- Oktober 2018 di instalasi rawat jalan RSUP Haji Adam Malik Medan. Besar sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien di poliklinik rawat jalan Penyakit Dalam, Telinga Hidung & Tenggorokan dan Paru yaitu sebanyak 100 orang.

Karakteristik yang diamati untuk setiap sampel adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan serta jumlah kunjungan.

(37)

Tabel 4.1 Gambaran karakteristik responden

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa 52% (52 orang) pasien berjenis kelamin laki-laki dan pasien berjenis kelamin perempuan sebanyak 48% (48 orang). Rentang usia 30-44 tahun merupakan kelompok usia terbanyak (41%) disusul dengan kelompok 45-60 tahun sebesar 36% (36 orang). Berdasarkan pendidikan, data didominasi oleh pasien dengan pendidikan SMA yaitu sebesar 46% (46 orang) dan paling sedikit yang tidak sekolah yaitu sebesar 3% (3 orang).

Gambaran pekerjaan pasien didominasi oleh pasien wiraswasta yaitu sebesar 56%

(56 orang) dan paling sedikit dengan pekerjaan pensiunan yaitu sebesar 4% (4 orang). Sebagian besar sampel (71%) telah berkunjung lebih dari dua kali.

Kategori N (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 52 52

Perempuan 48 48

Usia

18-29 tahun 13 13

30-44 tahun 41 41

45-60 tahun 36 36

> 60 tahun 10 10

Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah 3 3

SD 6 6

SMP 14 14

SMA 46 46

Perguruan TInggi 31 31

Pekerjaan

PNS 14 14

Wiraswasta 56 56

Mahasiswa 5 5

Pensiunan 4 4

Tidak Bekerja 17 17

Jumlah Kunjungan

Sekali 12 12

Dua Kali 17 17

Lebih dari Dua Kali 71 71

(38)

4.3. DISTRIBUSI PENILAIAN KEPUASAN PASIEN TERHADAP KOMUNIKASI DOKTER-PASIEN

Tabel 4.2 Distribusi penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien

Penilaian N (%)

Kurang Puas 4 4

Cukup Puas 11 11

Puas 67 67

Sangat Puas 18 18

Total 100 100

Didapatkan dua kategori penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien, yaitu puas dan sangat puas. Berdasarkan tabel 4.2 diatas, pasien dengan penilaian kurang puas terhadap komunikasi dokter-pasien lebih banyak ditemukan yaitu sebesar 4% (4 orang), penilaian cukup puas terhadap komunikasi dokter-pasien yaitu sebesar 11% (11 orang), penilaian puas terhadap komunikasi dokter-pasien sebesar 67% (67 orang) dan penilinaian sangat puas sebesar 18%

(18 orang).

4.4. DISTRIBUSI FREKUENSI PASIEN BERDASARKAN POLIKLINIK

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pasien berdasarkan poliklinik

Poliklinik N (%)

Paru 35 35

Penyakit Dalam 50 50

THT 15 15

Total 100 100

Setengah (50%) dari total sampel merupakan pasien yang memeriksakan diri di poliklinik penyakit dalam RSUP H. Adam Malik Medan yaitu sebanyak 50 orang. Sisanya merupakan pasien yang memeriksakan diri di poliklinik paru yaitu sebesar 35% (35 orang) dan pasien yang memeriksakan diri di poliklinik telinga, hidung dan tenggorokan yaitu sebesar 15% (15 orang).

(39)

4.5. HASIL ANALISIS STATISTIK

Tabel 4.4 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkanjenis kelamin

Jenis Kelamin

Penilaian

Total p- value Kurang

Puas

Cukup

Puas Puas Sangat

Puas

n (%) n (%) n (%) n (%) N

Laki-laki 3 3 5 5 30 30 7 7 52

2,555

Perempuan 1 1 6 6 37 37 11 11 48

Total 4 4 11 11 67 67 18 18 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi square, didapatkan nilai p value = 2,530 (p > 0,05). Nilai ini menunjukkan terdapat hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin pasien dengan penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Notosutardjo (1999) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia, jeniskelamin, pendidikan, penghasilan dan juga penghasilan pasien terhadap kepuasan.Teori pembentukan sikap juga menyatakan bahwa antara jenis kelamin laki-lakidan perempuan tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal kemampuan memecahkan masalah, menganalisis, memimpin, memotivasi, kepemimpinan, kemampuan, belajar, kemampuan sosial, produktivitas dan kemampuan kerja.

Tabel 4.5 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komuikasi dokter-pasien berdasarkan usia

Usia

Penilaian

Total p- value Kurang

Puas

Cukup

Puas Puas Sangat Puas

N (%) N (%) N (%) N (%) N

18-29 0 0 0 0 10 10 3 3 13

0,705

30-44 1 1 6 6 26 26 8 8 41

45-60 3 3 5 5 23 23 6 6 37

> 60 0 0 0 0 8 8 1 1 9

Total 4 4 11 11 67 67 18 18 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis, didapatkan nilai p value = 0,705 (p > 0,05). Nilai ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia pasien dengan penilaian kepuasan pasien terhadap

(40)

komunikasi dokter-pasien. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukansebelumnya di Manado. Gunarsa (2008) mengungkapkan bahwa bertambahnyaumur seseorang dapat berpengaruh secara emosional, dimana sebagian jumlah orang usia tua dengan penyakit kronik lebih cepat menerima keadaan keterbatasanfisik dari pada orang yang lebih muda. Hal ini karena orang usia tua umumnya lebih bersifat terbuka, sehingga pasien usia tua tuntutan dan harapannya lebih rendah dari pasien usia muda. Hal ini yang menyebabkan pasien usia tua lebihcepat puas daripada pasien usia muda.

Menurut pendapat Resmisari (2008) bahwa pasien berumur lebih banyak merasa puas dibandingkan dengan pasien yang berumur muda. Hal ini disebabkan karena seringnya pasien berumur memanfaatkan waktu yang ada untuk bertanya kepada petugas mengenai keadaannya, hasilnya kebutuhan akan pengetahuan dan pemahaman terhadap kesehatan dapat terpenuhi. Sedangkan kelompok umur usia produktif cenderung lebih banyak menuntut dan berharap lebih banyak terhadap kemampuan pelayanan dasar dan cenderung mengkritik.

Tabel 4.6 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan

Penilaian

Total p- value Kurang

Puas

Cukup

Puas Puas Sangat

Puas

N (%) N (%) N (%) N (%) N

Tidak sekolah 0 0 0 0 3 3 0 0 3

0,310

SD 0 0 1 1 3 3 2 2 6

SMP 1 1 4 4 8 8 1 1 14

SMA 1 1 3 3 36 36 6 6 46

Perguruan

tinggi 2 2 3 3 17 17 9 9 31

Total 4 4 11 11 67 67 18 18 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis, didapatkan nilai p value = 0,310 (p > 0,05). Nilai ini menunjukkan terdapat hubungan yang tidak bermakna antara usia pasien dengan penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien.

(41)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Lumenta (1989) menyatakan bahwa semakin tinggi taraf pendidikan masyarakat semakin banyak tuntutan masyarakat maka semakin banyak tuntutan dan harapan mereka, baik pada pelayanan kesehatan maupun pada masalah yang berkaitan sehari-hari. Hal ini dapat dipengaruhi oleh distribusi data yang tidak normal pada pasien berdasarkan tingkat pendidikan sehingga hubungan menjadi tidak bermakna.

Tabel 4.7 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan pekerjaan

Tingkat Pekerjaan

Penilaian

Total p- value Kurang

Puas

Cukup

Puas Puas Sangat

Puas

n (%) n (%) n (%) N (%) N

PNS 2 2 1 1 9 9 2 2 14

0,268 Pegawai

Swasta 2 2 7 7 36 36 11 11 56

Wiraswasta 0 0 3 3 4 4 1 1 5

Mahasiswa 0 0 0 0 4 4 0 0 4

Tidak

Bekerja 0 0 0 0 12 12 2 2 17

Lainnya 0 0 0 0 2 2 2 2 4

Total 4 4 11 11 67 67 18 18 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis, didapatkan nilai p value = 0,268 (p> 0,05). Nilai ini menunjukkan terdapat hubungan yang tidak bermakna antara pekerjaan pasien dengan penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien.

Hal ini terjadi karena apapun pekerjaan seseorang, setiap pasien pasti memiliki ekspektasi yang sama akan pelayanan dan fasilitas yang didapat pada saat berobat. Sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa dokter melakukankomunikasi yang baik dengan tidak membedakan antara pasien satu dengan yang lain sehingga baik pasien bekerja maupun tidak bekerja dapat merasakan kepuasan yang sama (Hidayati, et. al, 2014).

(42)

Tabel 4.8 Sebaran penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien berdasarkan jumlah kunjungan

Jumlah Kunjungan

Penilaian

Total

p-value Kurang

Puas

Cukup

Puas Puas Sangat Puas

N (%) N (%) N (%) N (%) N

Sekali 2 2 3 3 7 7 3 3 15

0,300

Dua kali 2 2 4 4 6 6 6 6 18

Lebih dari dua

kali 0 0 4 4 54 54 8 8 67

Total 4 4 11 11 67 67 18 18 100

Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Kruskal Wallis, didapatkan nilai p value = 0,300 (p > 0,05). Nilai ini menunjukkan terdapat hubungan yang tidak bermakna antara jumlah kunjungan pasien dengan penilaian kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien.

Hal ini terjadi mungkin dikarenakan adanya perbedaan yang terdapat pada cara komunikasi kepada tiap-tiap pasien berbeda. Setiap dokter memiliki pendekatan komunikasi yang berbeda-beda dan juga durasi komunikasi terhadap pasien yang berbeda-beda pula. Faktor faktor tersebut dapat mempengaruhi kepuasan pasien terhadap komunikasi dokter-pasien.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan pelaksanaan pekerjaan Rehabilitasi Ruang Kelas MIN Peureulak Kabupaten Aceh Timur yang telah memasuki tahap Pembuktian Kualifikasi untuk itu kami

Kompetensi Keahlian : Perbankan Syariah.. MATA

karenanya Panitia tidak dapat menerima dalih Saudara tidak dapat naiir t&lt;arena tidak mengetahui dan/atau terlambat membaca undangan ini. Demikian untuk menjadi

Ketua Panitia Pengadaan

Deskripsi Mata Kuliah : Matakuliah ini membahas tentang: penerapan hasil penemuan IPA dalam teknologi; penerapan fisika, biologi, dan kimia, dalam kehidupan

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti memperoleh data mengenai sertifikasi guru yang diprogramkan oleh pemerintah terhadap kinerja guru di SDN Ciawi 1 dan

Kemampuan tumbuh kembali hutan mangrove Cikiperan Cilacap sangat baik, meskipun ada beberapa jenis dalam kondisi kritis.. Dengan melihat kondisi hutan mangrove

Hasil penelitian juga menolak atau bertentangan dengan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh: Dayton (2003), Baidoun(2003), Munizu (2003), dan