perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
SERAT DEWA RUCI
(Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)
S K R I P S I
Oleh :
EDWIN
K44O6019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
SERAT DEWA RUCI
(Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I)
Oleh :
EDWIN K 4406019
S K R I P S I
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Edwin. SERAT DEWA RUCI (Studi Pemikiran Tasawauf Yasadipura I). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Biografi Yasadipura I, (2) Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa, (3) Pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis primer dan sumber tertulis sekunder berupa buku-buku, jurnal, surat kabar. dan internet. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Tehnik analisis data dengan menggunakan analis historis dan kritik sastra. Prosedur penelitian dengan melalui empat tahap kegiatan yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Suasana kehidupan istana dan pesantren terlihat berpengaruh pada sosok kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Semasa hidupnya mengabdi pada 3 raja (Paku Buwana II s/d Paku Buwana IV). Banyak karya sastra yang telah dihasilkan baik yang berupa gubahan, terjemahan, maupun karangannya sendiri. (2) Dalam konteks religi masyarakat Jawa, Serat Dewa Ruci merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelas. Bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan kesepuhan menganganggap isi Serat Dewa Ruci cukup berbobot untuk digunakan sebagai bahan renungan perihal hakikat
kehidupan, yaitu kawruh sangkan paraning dumadi atau dari mana dan kemana
tujuan hidup manusia itu.(3) Pemikiran Yasadipura I tidak terlepas dari pengaruh tradisi kejawen dan pesantren. Pemikiran sinkretik Yasadipura I salah satunya tercermin di dalam Serat Dewa Ruci. Sufisme yang dirumuskan Yasadipura I dalam
Serat Dewa Ruci terbagi dalam empat tingkatan yaitu: syariat, tarekat, hakikat, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Edwin. Serat Dewa Ruci (A Study Tasawuf Thought of Yasadipura I). Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Januari 2011.
The purpose of this research are to described: 1) The biography of Yasadipura I, 2) Relation of Serat Dewa Ruci and Javanesse religion, 3) Tasawuf thought of Yasadipura I in the Serat Dewa Ruci.
This research uses historical method. Source data uses primary written text source and secondary written text source such as journal, newspaper, and internet. Data collecting uses document study and book study. Data analysis technique uses historical analysis and literature criticism. Research procedure divided into 4 ways: heuristics, critics, interpretations, and historiography.
Based on the result of research, it can be concluded: 1) Yasadipura I is the 8th
descendent from king of Pajang Hadi wijaya. He is a son of Tumenggung Padmanegara who is a mayor/district attorney under Paku Buwana II conqueror. Situation internal lives in the castle and Islamic boarders is affecting Yasadipura I personality and philosophy. He worked under 3 kings in his life (Paku Buwana II – Paku Buwana IV). He made a lot of works such as oeuvres, translations, or his own literature works. 2) In the context of Javanese religion, book of Serat Dewa Ruci is the best representation for Javanese mystical idea. It contained the philosophy of Javanese lives based on the form of spiritual or mystical well synchronized. For Javanese, especially for internal lives in the castle consider contains of Serat Dewa Ruci can be considered as the material for reflecting about nature of life, that is
kawruh sangkan paraning dumadi (where human is from and where is the destination
of human lives). 3) Yasadipura I philosophy is still in kejawen (the mysticism
associated with the Javanese view of the world) and Islamic boarders scope. One of the Yasadipura I synch philosophy can be found in the Serat Dewa Ruci. Sufism
maintained by Yasadipura I in Serat Dewa Ruci divided into 4 stage, that is: syariat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
M O T T O
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
(Serat Wedhatama Pupuh Pocung bait I)
Man’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk orang-orang yang sangat berarti dan memberi
arti dalam kehidupan penulis.
Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah
SWT karya sederhana ini kupersembahkan
untuk:
1. Bapak dan Ibu tercinta,
2. Mas Yohannes
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas
dari bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Atas jasa yang telah
diberikan maka perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui
permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan ijin
atas penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd, selaku Pembimbing I yang telah mengukir
landasan pemikiran penulis serta tak henti-hentinya memberi dukungan, doa,
bimbingan dan sumbangan pemikiran sehingga tergugah untuk segera
menyelesaikan studi ini.
5. Drs. Tri Yunianto, M. Hum. selaku Pembimbing II sekaligus yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan.
6. Drs. Herimanto M. Pd, M. Si, selaku Pembimbing Akademik, yang telah banyak
memberi bimbingan dan pengarahan selama penulis menuntut studi di Program
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Bapak-Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
8. Drs. Supardjo, M. Hum, selaku Kepala Yayasan Sastra yang telah memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9. Bapak dan Ibu yang tak pernah sepi dan berhenti dalam doa.
10.Saint of My Life, yang selalu menuntunku disaat ku tak tau arah, yang memberi
semangat dan motivasi disetiap inci langkahku, yang selalu memberi inspirasi
disaat pemikiranku kering.
11.Mas Yohannes (Mahasiswa Pendidikan Sejarah Angkatan 2002) terima kasih atas
wacana, diskusi, serta rangsangan berpikirnya selama proses penulisan skripsi
ini.
12.Captain Jack, Seruan pesan yang termuat dalam lagu “PAHLAWAN”
menyadarkanku bahwa dalam hidup “Tak ada penolong, Tak ada penyelamat,
Kita adalah Pahlawan bagi diri kita”.
13.“Deary Depresiku” dan “Tembok Ratapanku”, yang sekian lama menjadi media
keluh kesahku saat aku menemukan monolog yang tak terjawab dalam proses
penulisan skripsi ini.
14.Bala Kurawa Pendidikan Sejarah Angkatan 2006, letupan semangat kalian adalah
limpahan energi positif yang merangsang dan menggugahku untuk segera
menyelesaikan studi ini.
15.Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebut satu persatu. Semoga amal
kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati , mengharapkan sumbang
saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya.
Surakarta, Januari 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 46
A. Riwayat Hidup dan Karya R.Ng. Yasadipura I ... 46
1. ... Riwayat Hidup Yasadipura I ... 46
2. ... Karya Yasadipura I ... 52
B. Serat Dewa Ruci dalam konteks Religi Masyarakat Jawa .. 54
1. Esensei Serat Dewa Ruci ... 54
2. Konversi Serat Dewa Ruci ... 56
3. Historitas dan Latar Belakang Terciptanya Serat Dewa Ruci... 63
4. Perbandingan Kitab Nawaruci dengan Serat Dewa Ruci 68 5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa ... 71
C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I ... 77
1. ... Orang-Orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I ... 77
2. ... Pengaru h Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen ... 80
3. ... Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci ... 82
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 113
A. Kesimpulan ... 113
B. Implikasi... 115
C. Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA ... 117
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1 Naskah Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I ... 121
LAMPIRAN 3 Silsilah Yasadipura I ... 164
LAMPIRAN 4 Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 165
LAMPIRAN 5 Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out ... 166
LAMPIRAN 6 Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tentang Ijin Menyusun Skripsi ... 167
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses masuknya Islam merupakan suatu proses yang sangat penting di dalam
sejarah bangsa Indonesia. Khususnya dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa memiliki
sejarah yang cukup lama. Mengenai kapan, mengapa, dan bagaimana Islam masuk ke
Jawa belum dapat diketahui secara pasti. Minimnya peninggalan tertulis dan sumber
yang tidak informatiflah yang menyebababkan timbulnya perbedaan pendapat di
kalangan pakar (sejarawan). Menurut B.J.O Schrieke, proses Islamisasi di Pulau Jawa
diperkirakan mulai pada tahun 1416 M. Pendapatnya ini didasarkan pada berita
Ma-Huan (seorang muslim Cina) yang ditulis dalam buku berjudul Ying-yai Sheng-Lan
(peninjauan tentang pantai-pantai Samudra) ditulis pada tahun 1451M. Dalam
laporannya disebutkan tentang orang-orang Islam dari Barat (Arab, Persia, Gujarat)
atau Cina (sudah memeluk Islam). Hal ini dibuktikan dengan adanya daerah-daerah
pesisir, terutama di dekat pelabuhan, telah terjadi Islamisasi dan terbentuknya
masyatarakat muslim dari berbagai ras. Sedangkan menurut J.P.Moquette,
kedatangan Islam di Jawa lebih awal, ini dibuktikan dengan penemuan prasasti batu
nisan seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik, yang berangka
tahun 475 H, atau 1082 M. Dari keterangan itu diindikasikan bahwa proses Islamisasi
telah meluas di daerah Jawa Timur pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya.
Pendapat J.P. Moquette didasarkan atas peninggalan paling kuno sejarah yang
menyebutkan telah ada bukti (orang) Islam di Jawa. Demikian pula sejak akhir abad
ke 11 hingga abad ke 13 banyak sekali dijumpai peninggalan kepurbakalaan yang
berbau Islam, disini dibuktikan dengan penemuan makam di Troloyo, Trowulan, dan
Gresik (Dhanu Priyo Prabowo, 2003: 10-11).
Menurut Ricklefs (1995 : 3) ada dua proses kemungkinan Islam masuk ke
Jawa. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan
kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia (Arab, India, Cina) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka
sudah menjadi orang Jawa.
Koentjaraningrat (1983:48) lebih condong pada pendapat atau kemungkinan
yang ke dua bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui kerajaan yang baru muncul di
pantai barat jazirah Melayu yaitu kerajaan Malaka. Dalam abad ke-14, ketika
kekuasaan Majapahit menurun, maka rute perdagangan yang melalui kepulauan
Nusantara dikuasai Malaka. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh
pedagang-pedagang dari Gujarat serta dari Persia. Sambil berdagang, para pedagang-pedagang ini
memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat.
Ada juga hipotesa lain yang tentang masuknya Islam ke Jawa. Menurut A.H.
John, dikatakan bahwa Islam masuk ke Jawa berkat usaha agen-agen sufi yang datang
ke Indonesia. Mereka adalah adalah para wali yang terhimpun dalam satu lembaga
dakwah yang terkenal dengan Wali Sanga. Mereka bukan saja pembuka babak baru
Islam di Jawa, tetapi mereka juga menguasai zaman berikutnya yang kemudian
dikenal dengan zaman kewalen (zaman wali). (Abdurahman Mas’ud (2004 : 48).
Berbeda dengan penyebaran Islam di luar Jawa yang relatif cepat, di Jawa
Islam menghadapi suasana kompleks dan halus yang dipertahankan oleh para
penguasa/raja. Oleh karena itu perkembangan Islam di tanah Jawa menghadapi dua
jenis lingkungan kebudayaan. Pertama, budaya petani lapisan bawah yang merupakan
bagian terbesar yang masih dipengaruhi oleh animisme –dinamisme. Kedua, tradisi
Istana yang merupakan tradisi agung yang merupakan unsur filsafat Hindhu-Budha
yang diperhalus budaya lapisan atas (Zaini Muchtarom, 1997 : 20-21).
Pada tahap awal kedatangan Islam di Jawa, penyebaran Islam tidak mampu
menembus benteng kerajaan Hindhu yang kejawen. Penyebaran Islam harus
merangkak dari kalangan bawah, yaitu daerah-daerah pedesaan sepanjang pesisir
yang ada pada akhirnya melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren.
Watak penetrasi dakwah Islam yang damai dan. mengajarkan nilai persamaan
(equality) menjadi pemicu Islam mudah diterima oleh masyarakat kecil, dengan jalan
tersebut Islam mulai perlahan-lahan merembes wilayah-wilayah pesisir lainnya dan
pedalaman. Pada tahap ini para wali memegang peranan penting di dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Peran Wali Sanga semakin terlihat dominan sekali dalam proses pembentukan
negara Islam pasca Majapahit. Dengan bedirinya Kerajaan Demak para wali mencoba
membentuk struktur kekuasaan kerajaan agar lebih kuat dengan jalan membangun
sebuah masjid Agung. Dan tahap selanjutnya para wali membangun Masjid Agung
Demak, oleh para wali peran masjid disini sebagai pusat kekuasaan bagi Negara baru
(Demak) dan dalam proses Islamisasi dapat digunakan sebagai sosialisasi media
dakwah.
Media dakwah Wali Sanga pada waktu itu sangat intens dengan menggunakan
ajaran tasawuf. Hal ini dikarenakan mengingat latar belakang sosiologis masyarakat
Jawa yang masih lengket dengan agama dan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut
lagi sikap toleran tanpa mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, menunjukkan
pendekatan yang dilakukan oleh Wali Sanga tergolong brilian. Oleh sebab itu ajaran
Islam masuk ke Jawa mudah diterima karena pendekatan-pedekatan yang dilakukan
Wali Sanga tidak njlimet dan menyatu dalam kehidupan masyarakat.
Upaya Islamisasi yang ditempuh oleh Wali Sanga sesungguhnya merupakan
ekpresi Islam kultural yang merupakan proses yang tak berujung yang membutuhkan
waktu yang demikian panjang, proses gradual, dan berhasil dalam wujud satu tatanan
kehidupan masyarakat yang saling damai berdampingan atau peaceful coexisten.
Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekakan
kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58). Itu
terlihat dalam model dakwahnya, pengislaman itu terjadi secara damai karena metode
yang digunakan oleh para Wali dalam berdakwah sangat akomodatif dan lentur, yakni
menggunakan unsur-unsur budaya lama, tapi secara langsung memasukkan nilai-nilai
Islam ke dalam unsur-unsur lama..
Berkembangnya ajaran tasawuf di Jawa secara intens dimungkinkan karena
ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan
masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising
Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat
Jawa merupakan inti terdalam yang menjiwai dan mewarnai seluruh apek kehidupan
kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu
kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti
mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik
(mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan
Tuhan (manunggaling kawula gusti)
Perkembangan Islam di Jawa dalam proses seiring diikuti mengalirnya
kesusastraan Islam dari Aceh terutama pada abad 16 dan 17. Adanya hubungan yang
sangat signifikan, Islamisasi pada saat itu mendorong berkembangannya sastra Islam
Melayu. Sastra Melayu Islam yang berkembang merupakan mercusuar pemikiran
intelektual. Proses Islamisasi Jawa sendiri semakin intens ketika mendapat pengaruh
sastra Melayu Islam, dan kemudian melahirkan kepustakaan Islam Jawa. Mengalirnya
kepustakaan Islam, ternyata dengan cepat mempengaruhi perkembangan tradisi dan
kepustakaan Jawa.
Kepustakaan Islam Jawa ini berkembang dengan pesat ketika runtuhnya
kerajaan Majapahit atau munculnya kerajaan Islam Demak yang pada waktu itu dari
pihak Wali Sanga dengan basis pesantrennya. Pengaruh kepustakaan Islam
menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa
dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan yang isinya mempertemukan ajaran
Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat, suluk dan wirid. Kepustakaan Jawa yang
memuat ajaran-ajaran Islam, Simuh namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh,
1988:9)
Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik
(tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk
mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman
Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah
atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi
inti ajaran yang sangat dihargai (Simuh, 2004 : 37).
Dalam perkembangannya sastra Jawa pesantren tidak sesubur pertumbuhan
sastra Islam Kejawen. Hal ini dikarenakan yang berkembang di Jawa adalah paham
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
penerus ilmu-ilmu yang telah ada. Sastra Jawa Islam yamg tertua yaitu buku Bonang,
yang didalamnya unsur gaya pesantren sangat kental sekali.
Kepustakaan Islam Kejawen berkembang cukup intens ketika pusat-pusat
pemerintahan berpindah ke daerah pedalaman. Berdirinya kerajaan Mataram Islam
ternyata lebih menyuburkan perkembangan kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan
istana sendiri berkepentingan mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur
ajaran Islam. Kepentingan itu adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja.
Terutama dalam bidang sastra yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan
menunjukan kebesaran para raja.
Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut
Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada
masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation, sekaligus
menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini berarti Istana
dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik. Sebagai seorang
raja besar, Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan
budaya, sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Beliau benar-benar
bertindak sebagai narendra binanthara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil
paramarta, memayu hayuning bawana. Dalam rangka membangun koalisi permanen,
dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan Tradisi
Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun
Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka atau yang
lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan
sendirinya makin menyuburkan kepustakaan mistik Islam Kejawen. Selain itu,
merupakan dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan
Jawa. Sultan Agung kecuali sebagai raja, juga mendapatkan julukan sebagai pujangga
besar. Karya-karya Sultan Agung misalnya Sastra Gendhing, Kitab Nitipraja, dan
Serat Pangracutan.
Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam
Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam. Dari
Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan
riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).
Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan
Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi
yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi
empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura
Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang
berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik
dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra, seni,
budaya yang bermutan etika dan mistisme (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan
dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut
G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu
masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru) (Simuh, 1998 : 25).
Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno ke
dalam bahasa Jawa Baru. Kemudian diikuti dengan penyusunan karya-karya baru,
memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah
unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil
dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian
diperhalus dalam gubahan pujangga-pujangga istana. Kepustakaan pesisir yang
timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh
unsur-unsur ke-Islaman.
Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana mempunyai perhatian yang
besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan dan berbagai cabang kesenian.
Disini peran priyayi di kraton yang memilki wawasan yang sangat luas, terbuka,
dinamis dan cepat menerima dan mengolah unsur-unsur budaya dari manapun
datangnya, peran ini semakin nyata dalam birokrasi kraton terdapat pujangga yang
sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.
Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang
pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu keluarga yaitu: Yasadipura I,
Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Keberadaan Yasadipura I memberikan kesan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pujangga istana, Yasadipura I adalah founding father (pioner) munculnya
kesusastraan Jawa baru, sehingga Yasadipura I menjadi tokoh fenomenal dalam dunia
kepujanggaan Surakarta (Dhanu Priyo Prabowo, 2003:24).
Menurut Arief Furchan dan Agus Maimun (2005: 12), seseorang bisa
dianggap tokoh, paling tidak mempunyai empat indikator, yaitu berhasil dalam
bidangnya, mempunyai karya-karya monumental, mempunyai pengaruh dalam
masyarakat, dan ketokohannya diakui secara mutawatir. Dalam posisi ini Yasadipura
I sudah memiliki keempat aspek tersebut. Yasadipura I berhasil dalam bidang
kebudayaan Jawa. Beliau berhasil mengembangkan kebudayaan Jawa melalui wahyu
kepujanggannya, mengenai karya monumentalnya disini banyak diwariskan kepada
generasi penerus selanjutnya berupa karya tulisnya. Ketokohan Yasadipura I juga
mempunyai pegaruh yang dominan terutama bagi masyarakat Jawa, segala
pemikirannya maupun aktifitasnya dijadikan rujukan dan panutan dalam masyarakat
sesuai dengan bidannya. Selain itu ketokohannya diakui secara mutawatir, artinya
dengan adanya kekurangan dan kelebihannya, sebagian masyarakat memberi
apresiasi yang positif terutama hasil karyanya.
Yasadipura tidak saja sosok yang punya ide-ide yang cerdas tetapi
pemikirannya atau gagasannya telah menjadi rujukan banyak orang. Dalam pola
pemikirannya, Yasadipura I tidak lepas dari budaya Jawa dan unsur Islam
(pesantren). Seperti halnya pujangga kraton Surakarta lainnya yang umumnya
berlatar belakang santri, Yasadipura I biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari
pesantren yang kemudian dipadukan dengan unsur Javanisme yang berbau mistis, dan
hal itu terlihat dari berbagai hasil karyanya. Salah satu karya monumentalnya yang
bernafaskan ajaran tasawuf yang mempertemukan tradisi Jawa- Hindhu dengan
unsur Islam yaitu Serat Dewa Ruci.
Serat Dewa Ruci yang digubah Yasadipura I pada masa awal kraton
Surakarta, secara historis berkaitan dengan kitab Nawaruci karya Empu Siwamurti
pada jaman akhir kerajaan Majapahit. Kitab Nawaruci merupakan karya sastra mistik
Jawa yang terpengaruh ajaran agama Hindhu, kemudian oleh Yasadipura I digubah
sedemikian rupa dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (Purwadi, 2002:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Sampai sekarang Serat Dewa Ruci masih sangat populer di kalangan
masyarakat Jawa. Popularitas Serat Dewa Ruci dalam masyarakat Jawa dapat
diketahui melalui variasi naskah tertulis yang banyak disalin. Banyaknya variasi
naskah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup responsif dan apresiatif.
Kecuali dalam bentuk naskah, lakon Dewa Ruci merupakan lakon favorit. Lakon
Dewa Ruci termasuk lakon utama yang terlintas dalam pikiran, ketika masalah
kebatinan dalam wayang disebut. Selain itu keistimewaan Serat Dewa Ruci terletak
pada ajarannya. Dalam Serat Dewa Ruci tersebut terdapat ajaran tertinggi dalam
hidup yaitu manunggaling kawula gusti yang merupakan konsepsi hubungan tertinggi
manusia dengan Tuhan yang menjadi pijakan menuju insan kamil (manusia
sempurna). Sufisme yang dirumuskasn Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci
memperlihatkan intregitas ajaran syariat, hakikat, tarekat, dan makrifat.
Berdasar latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji dan
meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan skripsi dengan
judul “Serat Dewa Ruci ( Studi pemikiran Tasawuf Yasadipura I)”.
B. Rumusan Masalah
Kupasan atau analisis tuntas terhadap suatu objek, diperlukan rumusan
permasalahan yang akan dibahas, agar pendekatan beserta pembahasannya lebih
fokus dan jelas arah pembicaraannya. Adapun permasalahan yang akan dibahas
dalam ini skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi R.Ng Yasadipura I?
2. Bagaimana isi Serat Dewa Ruci dalam konteks religi masyarakat Jawa?
3. Bagaimana pemikiran tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk menjawab rumusan masalah di atas:
1. Mendiskripsikan biografi R.Ng Yasadipura I.
2. Mengetahui isi Serat Dewa Ruci dalam konteks kehidupan religi masyarakat
Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Menambah khasanah pengetahuan ilmiah yakni memberikan sumbangan tentang
pengaruh Serat Dewa Ruci (Studi Pemikiran Tasawuf Yasadipura I).
b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis khusunya
dan pembaca umumnya tentang sufisme.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis atau aplikasi, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Pendidikan Program
Sejarah Fakultas Keguruan dan Pendidikan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret.
b. Dengan penelitian ini diharapkan, memberi isyarat persuasif kepada pembaca
agar selalu eling waspada dan bersahaja, mengendalikan diri mengurangi
kenikmatan badaniah duniawi, bersedia Lara Lapa Tapa Brata dan bersyukur
meskipun berkesempitan untuk mencapai tujuan kehidupan yang Khusnul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Kebudayaan akan mengalami suatu perubahan. Perubahan kebudayaan
tersebut merupakan gerak dari manusia yang hidup dalam masyarakat, sebagai wadah
kebudayaan yang bersangkutan. Gerak manusia terjadi oleh adanya hubungan antar
manusia dalam suatu masyarakat. Gerak dan perubahan berasal dari pengalaman
baru, pengetahuan baru, tehnologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup
dan kebiasaan dari situasi baru. Sikap mental dari nilai budaya turut dikembangkan
guna keseimbangan dan integrasi baru. “Perubahan kebudayaan yang intensif terjadi
karena akulturasi dan asimilasi’’ (Sidi Gazalba, 1969: 321).
Menurut Soerjono Soekanto (1982: 186) akulturasi merupakan proses dimana
suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu, dihadapkan unsur-unsur
dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan dihilangkannya kepribadian
kebudayaan itu sendiri. Menurut Sidi Gazalba (1969) akulturasi adalah proses yang
terjadi manakala sekelompok manusia pendukung kebudayaan, kontak dengan
unsur-unsur kebudayaan asing, kemudian dalam waktu lama diadaptasi oleh sekelompok itu
ke dalam kebudayaan”. Dengan demikian dalam akulturasi itu terdapat unsur pemberi
dan penerima. Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah perpaduan
kebudayaan yang terjadi apabila suatu kelompok manusia dengan satu kebudayaan
tertentu dihadapkan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang berbeda sehingga
unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam
kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri. Sedangkan
menurut Sachari akulturasi budaya pada dasarnya merupakan pertemuan wahana atau
area dua kebudayaan, dan masing-masing menerima nilai-nilai bawaanya.
Didalam akulturasi selalu terjadi penggabungan (fusi budaya) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
budaya asalnya. Akulturasi adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi,
isolasi dan aborsi masa lampau dan masa depan. Ada empat syarat yang harus
dipenuhi supaya proses akulturasi dapat berjalan baik:
1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut (syarat penyewaan/ affinity)
2. Adanya nilai baru yang tecera akibat keserupaan tingkat dan corak buayanya
(syarat keseragaman/ homogenity)
3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau
hanya tampilan (syarat fungsi).
4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebuayaan asing yang datang
(syarat seleksi) (Sachari: 86-87).
Dalam proses akulturasi pada umumnya kebudayaan yang lebih tinggi
tingkatannya akan memimpin kebudayaan yang lebih rendah. Apabila proses tersebut
berjalan dengan baik akan menghasilkan integrasi dari unsur-unsur kebudayaan
sendiri dari masyarakat penerima. Unsur-unsur kebudayaan yang diterima terlebih
dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidak asli lagi seperti
semula. Unsur-unsur kebudayaan asing yang diterimakan, pengambilannya secara
adopsi dan adaptasi (Sidi Gazalba, 1969: 330). Adopsi yaitu pengambilan
mentah-mentah tanpa diubah, seperti adanya keadaan yang memberi. Hal ini merupakan
akulturasi yang tidak berhasil. Sedangkan adaptasi merupakan penyesuaian unsur
asing ke dalam jiwa atau kebudayaan penerima. Pengambilan secara adaptasi
merupakan proses akulturasi yang berjalan baik, di mana masyarakat penerima aktif
dalam proses itu. Unsur-unsur asing itu diintegrasikannya dalam kebudayaannya
sendiri, sehingga kepribadiannya tetap bertambah. Adaptasi ini akan memperkaya
kebudayaan penerima.
Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa akulturasi sama dengan
kontak budaya yaitu bertemunya dua kebudayaan yang berbeda melebur menjadi satu
menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat
kebudayaan aslinya.
b. Akulturasi Sastra Islam dan Sastra Jawa
Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sejarah negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan
nampak semakin bertambah. Di setiap penjuru nusantara ini, telah diisi dengan
berbagai rupa-rupa yang berbeda. Perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang
majemuk, membekaskan sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia
merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya dan agama.
Proses asimilasi atau akulturasi sering nampak dalam gerak-gerik praktis nuansa
kehidupan yang ada di dalam masyarakat Jawa.
Menurut Frans Magnis Suseno (1983: 1), kebudayaan Jawa memiliki ciri khas
tersendiri. Ciri khas tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri
dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Sifat khas
seperti ini memungkinkan unsur-unsur luar (agama dan kebudayaan) tidak begitu
kesulitan untuk masuk kedalamnya melalui sikretisme atau akulturasi. Awal tarikh
masehi tradisi Jawa mulai mengadakan asimilasi dan akulturasi dengan kebudayaan
Hindhu-Budha, demikian juga pada saat Islam masuk ke Jawa juga terjadi interaksi
dengan budaya Jawa. Dalam hal ini ada dua corak yang tampak dipermukaan, yakni
Islam mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dan Islam dipengaruhi oleh budaya
Jawa. Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan atau melahirkan
ciri yang khas sebagai budaya yang sinkkretik, yakni Islam Kejawen (agama Islam
yang bercorak Jawa) .
Kedatangan Islam memberi warna tersendiri bagi masyarakat Jawa. Islam
dihadirkan dengan wajah yang sinkretik, bersikap toleran, kompromis (akomodatif)
tehadap budaya lokal, dalam artian Islam tidak mengeliminasi semua bentuk budaya
lama, budaya lama tetap dijaga dan dipelihara (keeping) tetapi hanya dibingkai
dengan nilai-nilai Islam. Dengan pola perkembangan seperti itu, menjadikan Islam di
Jawa memiliki ciri yang sangat khas. Dengan cara ini Islam merupakan wadah
rekonsiliasi budaya Jawa, sehingga Islam memiliki bentuk dan menjadi agama
mayoritas orang Jawa (Ricklefs, 1998 : 470).
Perkembangan Islam di Jawa dalam prosesnya diikuti mengalirnya
kesusastraan Islam baik yang tersurat dalam huruf dan bahasa Arab, ataupun yang
telah digubah ke dalam bahasa Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam dengan cepat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
kerajaan Demak yang pada abad ke-16 M mendapatkan support (dukungan) dari
guru-guru pesanten yang terkenal dengan Wali Sanga. Keaadaan demikian
menjadikan Demak sebagai tempat pertemuan para cendikiawan Jawa dan para guru
pesantren dan lama-kelamaan menjadi pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi pusat
kebudayaan Jawa Islam. Dari pertemuan tersebut maka muncullah kitab-kitab bahasa
Jawa yang berisi hal-hal keislaman (Simuh, 1988: 22).
Pengaruh kepustakaan Islam menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang
isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman. Jenis kepustakaan
yang isinya mempertemukan ajaran Islam dengan tradisi Jawa misalnya: serat suluk
dan wirid. Menurut Simuh, kepustakaan Jawa yang memuat ajaran-ajaran Islam
namakan Kepustakaan Islam Kejawen (Simuh, 1988: 3).
Dalam sastra Islam Kejawen, unsur-unsur Islam terutama kearifan sufistik
(tasawuf), ajaran budi luhurnya diambil oleh para sasrawan Jawa, untuk
mengembangkan, memperkaya, dan mengislamkan warisan sastra Jawa zaman
Hindhu. Sebaliknya dalam sastra Jawa pesantren, bahasa dan sastra dijadikan wadah
atau sarana untuk memperkenalkan ajaran Islam, unsur agama dan syariat menjadi
inti ajaran yang sangat dihargai. (Simuh, 2004 : 37).
Berdirinya kerajaan Mataram Islam lebih menyuburkan perkembangan
kepustakaann Islam Kejawen. Kalangan istana sendiri berkepentingan
mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam. Kepentingan itu
adalah untuk mengesahkan (legitimasi) kekuasaan raja. Terutama dalam bidang sastra
yang bukan semata-mata sebagai penghibur, melainkan menunjukan kebesaran para
raja (Simuh, 1988: 23).
Sultan Agung merupakan pelopor kebangkitan sastra Islam Kejawen. Menurut
Ricklefs (1998 : 470), Sultan Agung adalah penguasa muslim yang saleh. Pada
masanya kraton ditempatkan menjadi leading agents of Islamisation (agen utama
Islamisasi) sekaligus menjadikan Islam sebagai wadah rekonsiliasi budaya Jawa. Ini
berarti istana dijadikan pusat studi Islam dan Islam sebagai alat legitimasi politik.
Sultan Agung ternyata mempunyai wawasan luas terhadap perkembangan budaya,
sehingga bisa merangkum berbagai kearifan yang ada. Dalam rangka menciptakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dengan arif bijaksana Sultan Agung memperpadukan tradisi Pesantren dengan tradisi
Kejawen dalam hal penghitungan tahun. Yakni dengan mengubah perhitungan tahun
Jawa disesuaikan dengan kalender Hijriah sebagai pengganti tahun Saka , atau yang
lebih dikenal dengan nama Anno Javanico. Adanya unsur perpaduan tersebut dengan
sendirinya makin menyuburkan kepustakaan Islam Kejawen Selain itu, merupakan
dorongan langsung dalam rangka Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa..
Pada zaman Karatasura (1680-1744) bermunculan pertumbuhan Islam
Kejawen, yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur agama Islam . Dari
Hikayat Amir Hamzah yang terdapat dalam kepustakaan Melayu digubah menjadi
Serat Menak, dalam bahasa Jawa bersekar macapat. Selain itu juga ada penulisan
Serat Kandha yang isinya mempertemukan mitologi dari dewa-dewa Hindhu dengan
riwayat nabi-nabi Islam (Simuh, 1998 : 24).
Sejak beralihnya keraton Kartasura ke Surakarta, pertumbuhan kepustakaan
Islam Kejawen mengalami keemasan. Hal itu tak terlepas dari krisis multi dimensi
yang terjadi pada masa Mataram yang menyebabkan kerajaan ini terpecah menjadi
empat, yaitu: Kraton Surakarta, Kraton Yogyakarta, Pura Mangkunagaran, dan Pura
Pakualam. Para raja Jawa dan elite pribumi sudah tidak mempunyai kekuatan yang
berarti, kedudukan raja hanya sebagai simbol belaka, tanpa adanya kekuasaan politik
dan hal ini mereka atasi dengan mengalihkan perhatian politik ke arah sastra , seni,
budaya yang bermutan etika dan mistisme. (Purwadi, 2002 : 159). Perkembangan
dalam lapangan kesusaatraan pada zaman Surakarta yang sedemikian indah, menurut
G.W.J. Drewes menilai sebagai masa renaissance of modern javanase letters, yaitu
masa kebangkitan kepustakaan Jawa baru (Simuh, 1998 : 25).
Perkembangan ini didapat dengan jalan menggubah kitab-kitab Jawa Kuno
yang berbentuk kakawin ke dalam bahasa Jawa krama dengan menggunakan
metrum macapat (tembang macapat). Kemudian diikuti dengan penyusunan karya
sastra dalam bentuk serat, wirid, dan suluk yang bernuansa mistik-moralitas dengan
memanfaatkan perbendaharaan yang terdapat dalam kepustakaan Islam, mengolah
unsur-unsur ajaran Islam yang terdapat dalam kepustakaan Melayu, atau mengambil
dari kepustakaan pesisir, di mana bahasa daerah tersebut masih kasar dan kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
timbul di sekitar daerah pesantren, dengan demikian ikut terpengaruh oleh
unsur-unsur ke-Islaman.
Suatu hal yang amat menarik ialah, pihak istana Surakarta pada tahun
1757-1873 mempunyai perhatian yang besar terhadap perkembangan bahasa, kesusastraan
dan berbagai cabang kesenian. Di sini peran priyayi kraton (pujangga) yang memilki
wawasan yang sangat luas, terbuka, dinamis dan cepat menerima dan mengolah
unsur-unsur budaya dari manapun datangnya, peran ini semakin nyata dalam
birokrasi kraton terdapat pujangga yang sangat intens memajukan kebudayaan Jawa.
Para pujangga kraton Mataram biasanya memasukkan kesusastraan suluk dari
pesantren yang isinya bercorak tasawuf , kemudian di padukan dengan unsur Jawa
yang berbau mistik, sehingga menghasilkan berbagai jenis karya sastra (Ridin
Sofwan, 2004: 50). Itu didasari bahwa kebanyakan para pujangga kraton Surakarta
kebanyakan berlatar belakang santri, yang menuntut pendidikan jalur pesantren. Para
pujangga kraton antara lain Yasadipura yang belajar di Pondok Pesantren Bagelan
Kedu, serta Ranggawarsita yang belajar di Pondok Pesantren Gebang Tinatar
Ponorogo di bawah asuhan Kyai Iman Besari (Ridin Sofwan 2004: 122).
Bertolak dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam
Kepustakaan Islam Kejawen , terasa sangat menonjol pengaruh ajaran tasawuf dan
tututan budi luhurnya. Demikian pula istilah-istilah Arab yang berkaitan dengan
agama Islam dan ajaran-ajaran tasawuf, merupakan bagian dari kepustakaan Jawa.
Dalam masa kebangkitan kepustakaan Jawa pada zaman Surakarta, kitab-kitab lama
mengalami penggubahan kembali. Bentuk baru dari hasil penggubahan ini, sudah
dimasukkan istilah dan kata-kata Arab, karena bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dari
penyebaran agama Islam. Islam telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat
Jawa. Oleh karena kepustakaan Jawa baru, hasil karya-karya masa Kartasura dan
Surakarta tidak dapat dipahami secara baik, tanpa pengenalan terhadap ajaran Islam
dan pengetahuan bahasa Arab.
2. Tasawuf
Proses perkembangan awal Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
perkembangan Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam perkembangannya ajaran
tasawuf berkembang secara intens dan bahkan beraktualisasi dengan kebudayaan
lokal.
Istilah tasawuf berasal dari kata sufi. Istilah tersebut tentu sangat dikenal di
kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini
selalu identik dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas
orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa
tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir
yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf,
berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir
yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan
orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah
mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata tasawuf. Mengenai asal-usul
kata tasawuf, masih terjadi perdebatan para ahli. Terlepas dari perbedaan pendapat
para ahli mengenai asal-usul kata tasawuf, menurut Barmawi Umari (1987: 130),
tidak ada yang pantas dipertentangkan mengenai konotasinya yang tepat. Adapun
asal-usul kata tasawuf menurut pendapat para ahli antara lain sebagai berikut:
1. Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah.
Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu
memilih saf yang terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka
juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan
Allah SWT.
2. Tasawuf berasal dari kata saufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang
banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat
orang-orang sufi memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan
fisik, tapi subur batinnya.
3. Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para
sahabat Nabi Muhammad SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku
batu di samping masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
sahabat Nabi Muhammad SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni
suffah ini disebut ahlus suffah, mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam
pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah.
Adapun pegambilan kata suffah karena kemiripan tabiat para sufi dengan
sifat-sifat ahlus suffah.
4. Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau
terbaik. Dikatakan demikian karena seorang sufi biasa memandang diri mereka
sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
5. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci.
Maksudnya kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin
untuk mendekatkan diri pada Allah SWT Tuhan Yang Maha Suci sebab Tuhan
tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.
6. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani yaitu theosophi (Theo-Tuhan,
Sophos-Hikmat) yang berarti hikmat Ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani
karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah Ketuhanan.
7. Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut
demikian karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian dari bulu
binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan
pakaian sutra yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. Abu Nasr As Sarraj At
Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain
wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh, sekaligus sebagai
lambang kesederhanaan dan kemiskinan.
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia: “Tasawuf adalah aspek esoteris atau
kedalaman ajaran keagamaan. Tasawuf disebut juga sufism atau mistik Islam (Islamic
Mysticism). Secara garis besar lingkup tasawuf mencakup usaha manusia utuk
membersihkan diri dari perilaku atau akhlak tercela (takhalli) dan menghiasi diri
dengan perilaku terpuji (tahalli) agar tersingkap tirai yang menghalagi hubungan
manusia dengan Tuhan (tajalli). Jadi laku tasawuf merupakan proses keberagamaan
seseorang.”
Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic mysticism (mistik yang tumbuh
dalam Islam). Adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
bahwa: “Sasaran atau tujuan tasawuf ialah sampai kepada Dzat Al Haqq atau Mutlak
(Tuhan) dan bersatu dengan Dia”.
Dari konsep di atas jelas bahwa tujuan utama dari tasawuf adalah untuk
sampai kepada Allah, agar dapat makrifat secara langsung kepada Dzat Allah atau
bahkan ada yang ingin bersatu dengan Tuhan. Makrifat di sini bukan melulu hanya
pengetahuan semata, namun berupa pengalaman (experience), yakni ingin bertemu
langsung dengan Tuhan melalui tanggapan kejiwaannya bukan melalui panca indra
serta akal. Tanggapan kejiwaan ini dapat dianalogikan seperti halnya mimpi atau
mabuk (ecstasy) jiwanya sampai ke alam lain. Sebagai jalan untuk sampai kepada
Allah disebut tarekat (Thariqah).
Menurut Hamka (2000: 169) tasawuf adalah kehendak memperbaiki budi dan
men-“shifa”-kan (membersihkan) batin. Hamka juga memperjelas rumusan tersebut
dengan meminjam kata Al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3: “tasawuf adalah
kelur dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.”
Menurut Mulkhan (2000 : 10) tasawuf adalah sistem berpikir dari ajaran yang
mengajarkan dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai tujuan akhir
dengan mengembangkan kehalusan rasa dan hati dalam suatu lingkup tindak baik.
Menurut Zakaria Al-Ansary (1976: 48), tasawuf adalah ilmu yang menerangkan
hal-hal tentang cara membersihkan jiwa, tentang cara memperbaiki akhlak dan tentang
cara pembinaan kesejahteraan lahir batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi .
Junaidi dalam Hamka (1990: 3), berpendapat bahwa tasawuf itu keluar dari
budi yang tercela dan masuk dalam budi yang terpuji. Ibnu Khaldun dalam Hamka
(1990: 2) mengatakan bahwa tasawuf adalah semacam ilmu syariat yang timbul
kemudian di dalam agama Islam. Kaum sufi pada mulanya bertekun ibadah dan
memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadapkan diri kepada
Allah semata. Selanjutnya mereka menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci
perkara-perkara yang selalu memeperdayakan manusia, kenikmatan harta, benda dan
kemegahan dan menyendiri menuju Tuhan dalam khalwat dan ibadah.
Mengenai dasar-dasar tasawuf sudah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini
dapat diketahui dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, itu terlihat ketika beliau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
dan ingin menyucikan hati dari perbuatan dosa serta ingin dekat dengan Tuhannya,
cara kehidupan beliau kemudian diteladani dan diteruskan oleh para sahabat.
Abu Su’ud (2003: 183) mendefinisikan ajaran tasawuf memiliki ciri umum,
yaitu moral, pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak, pengetahuan, timbulnya
rasa kebahagiaan sebagai karunia dari Allah, dan penggunaan simbol-simbol
pengungkapan yang mengandung pengertian harfiah dan tersirat
Selanjutnya menurut Barmawi Umari (1993: 28-29), ada cara-cara seorang
sufi untuk memasuki lapangan tasawuf yaitu:
1) Tajarud, adalah melepaskan diri dari godaan dan ikatan dunia yang fana.
2) Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan masyarakat ramai, menjauhkan diri
simpang siur pergaulan.
3) Faqr, artinya tidak mempunyai apa-apa dalam kategori hitungan dunia.
4) Dawaamus-sukuut secara negatif dan Dawaamudz secara positif, yaitu senantiasa
diam atau tidak berkata-kata yang tidak bermanfaat, yang tidak mempunyai hasil,
apalagi kata-kata yang merugikan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain.
5) Qillatul-akli secara negative dan Dawaamush–shaum , maksudnya sedikit makan
inklusif minum, sebab banyak makan menyebabkan penidur dan pemalas
sehingga menghabiskan waktu, secara positifnya senantiasa berpuasa.
6) Dawaamus-sahr secara positif. Qiyaamul-laili secara positif, maksudnya
senantiasa berjaga-jaga diwaktu malam dengan mengisi dengan do’a dan
sembayang di waktu malam.
Adapunt tujuan tasawuf menurut kaum sufi, agar manusia berada dekat
dengan Allah. Menurut Rivai Siregar (1999 : 57) ajaran tasawuf mempunyai beberapa
tujuan:
1) Tasawuf membina aspek moral, aspek disini mewujudkan kestabilan jiwa yang
berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu.
2) Tasawuf bertujuan untuk mencapai ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung
atau metode al-kasyf al-hijab.
3) Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan
Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan
dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh
duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya
sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah
(bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu,
yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang
dalam bahasa Arab disebut maqamat tempat seorang calon sufi menunggu sambil
berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke
maqam berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan
melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang
calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah
mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Buku-buku tasawuf tidak memberikan angka yang sama tentang maqam
tersebut, pembagian dan susunan maqam-maqam menurut Abu Nasr Al-Sarraj al-Tusi
dalam bukunya kitab al- luma ki’t tasawuf, terdapat tujuh maqam secara urut.
Ketujuh maqam itu ialah:
1. Maqamtaubat
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus
dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, maqam pertama
dalam tasawuf adalah taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari
dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari
dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan
syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat
orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat
dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang.
Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke maqam kedua, yaitu zuhud.
2. Maqam Zuhud
Di maqam ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
al-perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan
membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk
mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat.
Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa
lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah
kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat,
membaca al-Qur'an dan berdzikir.Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak
bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya
semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan
berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'.
3. Maqam wara’
Di maqam ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat, yaitu
menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas halal dan haramnya
Menurut Ibrahim dalam Simuh (1996:55-56) mengatakan wara’ adalah
“meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu,
yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan’’. Jadi laku wara’ para sufi telah
mulai menghindari berbagai kenikmatan yang halal yang menurut pertimbangan
mereka tidak amat penting.
4. Maqamfaqr
Di maqam ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya
sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak
meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia
sampai ke maqam sabar.
5. Maqam sabar
Di dalam maqam sabar ia sabar bukan hanya dalam menjalankan
perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh
godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang
ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6. Maqam tawakkal.
Di dalam maqam ini ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak
Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok, baginya cukup apa yang ada untuk hari ini.
Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada
padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan
dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
7. Maqamridla.
Dari maqam ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima
dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam
hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika
malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta
kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke
ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan
Tuhan. (Barmawi Umari, 1987: 91-98).
Karena maqam-maqam tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri
bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi
baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke maqam
berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
Di atas maqam taubat, wara’, zuhud, fakr, sabar, tawakal dan ridha terdapat
stasiun/maqam: cinta, ma’rifat, fana, dan baqa’ persatuan (ijtihad). Persatuan dapat
mengambil bentuk hulul atau wahadatul wujud (Amin Syukur, 1999: 49).
Dalam maqam ridha , rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hati. Maka
seseorang yang telah mencapai maqamridha meningkat ke maqammahabbah (cinta
ilahi). Dalam maqam cinta yang terasa hanya cinta kepada Tuhan, dan cinta yang
mendalam kepada Tuhan mampu memalingkan seseorang yang telah mencapai
maqam mahabbah dari segala sesuatu selain Tuhan.
Maqam ma’rifat seseorang yang telah sampai ke maqam ma’rifat telah dapat
melihat Tuhan dengan mata hatinya. Menurut Dzunnun Al-Mishri dalam Amin
Syukur (1999 :55). Ma’rifat adalah anugrah Allah kepada kepada sufi yang telah
ikhlas dan bersungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta yang ikhlas dan suci,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
pandangan sufi, akhirnya seorang sufi dapat menerima cahaya yang dipancarkan
Tuhan, sehingga dapat melihat keindahan abadi.
Seorang sufi dapat menagkap cahaya ma’rifat dengan mata hatinya, maka
khabulnya akan dipenuhi rasa cinta yang mendalam kepada Allah. Seorang sufi tidak
akan puas hanya sampai kepada maqam ma’rifat. Seorang sufi ingin berada lebih
dekat lagi kepada Tuhan. Ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan, dalam istilah
sufi dikenal dengan sebutan ittihad (Amin Syukur : 1999: 55).
Itiihad dapat mengambil bentuk al–hulul atau kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan yang dalam terminologi tasawuf disebut al-wahdatul wujud. Adalah
sebuah paham yang menekankan bahwa tidak ada wujud sejati, kecuali hanya Allah
yang maha mutlak. Kemutlakan wujud Allah akan menenggelamkan seluruh wujud
selain diri-Nya. (Amin Syukur, 1999: 58).
Maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, makam fakir, makam sabar,
maqam tawakkal, maqam ridho, maqam cinta, maqam ma’rifat, maqam fana’ dan
baqa’ , maqam persatuan (ittihad). Merupakan tujuan sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang
mengandung arti pengalaman adanya persatuan roh manusia dengan ruh Tuhan dan
akhirnya sampai mengalami wahdatul wujud, yang mengandung arti penampakan diri
(tajalli) Tuhan yang sempurna dalam insan kamil (manusia sempurna).
Dari beberapa pengertian tentang tasawuf maka dapat disimpulkan bahwa
tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti
terpuji, mencapai pengontrolan atas dirinya sendiri, kesetiaan realisasi dan kehadiran
Tuhan yang tetap di dalam semua perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran seseorang
dan mencari kecintaan Tuhan serta berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai
tujuan akhir dan mengembangkan kehalusan rasa, hati dalam suatu lingkup tindak
yang baik.
3. Manunggaling Kawula Gusti
Istilah manunggaling kawula gusti berasal dari bahasa Arab yaitu wihdatul
wujud yang berarti baginya yang ada hanya satu, sedangkan dalam konteks budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
khasanah Islam maupun tradisi lokal sejak zaman dahulu kala selalu rnenimbulkan
kontroversi, konsep manunggaling kawula gusti merupakan konsep yang amat rumit
dan sulit untuk dipahami, khusunya bagi kaum awam. Padahal konsep ini sangat
pencipta. Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa
bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berpikir seperti apa yang
dikehendaki Allah ( Mulkhan, 2000: 27).
Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa seluruh yang maujud atau ada itu
pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini
satu maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat
mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tida ada
kecuali gambaran atau bayangan dari Yang Satu yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan,
2000 : 34).
Menurut Simuh (2004: 47) konsep manunggaling kawula gusti diterangkan: “
Mingggah pamoring kawula lan Gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo.
Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenengekawula”. Yang berarti:
kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang bercermin.
Bayang-bayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan
Islam Kejawen, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya
mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki
sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.
Paham semacam ini dalam falsafat dinamakan amtropamorfisme.
Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari kata tunggal, satu. Manungggal
berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula gusti berarti manunggal atau menyatunya
seorang hamba dengan Penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Manunggaling kawula gusti berarti suasana batin seorang hamba yang merasa
sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan
Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang diantara
keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi
merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan
terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat,
2010: 1,7)
Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo Prabowo (2003: 131).
Manunggaling Kawula Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan antara
yang menyembah dan yang di sembah. Menurut Jaladudin Rumi dalam Sri Muryanto
(2004 : 36), Manunggaling Kawula Gusti adalah lenyapnya kedirian, karena adanya
kesatuan (manunggal yang sempurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan
dan harapan hidup, tiada yang lainnya.
Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan
jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta
dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri
Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena
sudah manunggal, tapi tidak berarti manusia telah menjadi atau sama dengan Tuhan,
karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004 : 36-37).
Manunggaling Kawula Gusti dalam kalangan sufi disebut hulul menurut
pendapat Abu Bakar Al-Thusi dalam Sri Muryanto (2004 : 48) ialah paham dimana
Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut
tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya
(fana)”
Pengertian dan konsep manunggaling kawula gusti dapat dengan mudah
dipahami dan sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan Tuhan tetapi