• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Nawaruci dan Serat Dewa Ruci

HASIL PENELITIAN

B. Serat Dewa Ruci Dalam Konteks Religi Masyarakat Jawa

4. Perbandingan Nawaruci dan Serat Dewa Ruci

Serat Dewa Ruci adalah sebuah alegori sufi Jawa yang begitu populer dalam lingkungan kebudayaan Jawa. Kisah mistikal yang hadir dalam banyak versi dalam kepustakaan Jawa ini juga sering diangkat jadi lakon pewayangan. Serat Dewa Ruci dalam kesusastraan Jawa ditulis dalam beberapa sumber pustaka seperti "Nawaruci", "Dewa Ruci" dan "Bimo Suci". Menurut Seno Sastroamidjojo (1967) babon cerita Dewa Ruci itu berbahasa Jawa kuno atau Kawi, tertulis pada rontal. Tan Khoen Swie (1923) menyebutan bahwa cerita Dewaruci yang asli itu digubah dalam bahasa Kawi oleh Mpu Wijayaka di Mamenang, Kediri atau lebih terkenal dengan Ajisaka yang pada waktu kecilnya bernama Jayasengkala, salah seorang putra Mpu Anggojali. Sementara itu dalam disertasinya, Priyohutomo menyebutkan bahwa Serat Dewaruci

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini merupakan pengembangan dari Nawaruci yang ditulis oleh Mpu Siwamurti, salah seorang pujangga pada masa Majapahit. Kemudian banyak gubahan baru diturunkan dari aslinya. Turunan itu kemudian diturunkan pula. Pada umumnya dengan tambahan atau pengurangan berdasarkan kehendak atau perasaan pribadi sang penggubah.

Menurut Poerbatjaraka, berdasarkan sifat bahasanya (bahasa kawi) kemungkinan bahwa lahirnya kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa. Mistik Islam yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada waktu itu telah memberi inspirasi untuk digarap menjadi lakon wayang. Hal senada juga dikemukakan oleh Stutterheim. Pendapat Stutterheim tersebut didasarkan pada hasil penyelidikannya di candi Penaggungan. Menurut Stutterheim kitab Nawaruci diciptakan pada abad ke XV (sekitar tahun 1450 M) (Seno Sastroamidjojo, 1962: 3).

Dalam epos Mahabarata cerita Dewa Ruci tidak pernah dijumpai, namun ada

cerita dari India yang mirip dengan Dewa Ruci yaitu kisah Markandeya yang mengarungi samudera dan menemukan cabangnya yang rindang dan dalam seorang anak kecil dan meminta agar Markandeya masuk ke dalam tubuhnya untuk melihat seluruh isi alam semesta. Dalam cerita Markandeya itu disebutkan bahwa anak kecil itu adalah Narayana sebagai penjelmaan dewa Wisnu. Dalam cerita Markandeya itu nama Bima sama sekali tidak disebutkan (Singgih Wibisono,1996:33). Namun demikian kerangka plot ceritanya termasuk sumber inspirasi bagi kreatifitas sastrawan lain.

Dalam teks Nawaruci dan Dewa Ruci Bima adalah sosok sentral yang

menjadi obyek pembahasan. Kendati tokoh Bima sebenarnya tokoh dari epos

Mahabharata yang masih menganut Hindhuistik, namun oleh para pujangga dan para wali dijadikan pemeran utama dalam hal mencari kesempurnaan hidup ala sufisme. Pemilihan tokoh Bima dan Dewa Ruci sebagai pelaku utama memperlihatkan sensibilitas pengarang dalam membuat pertimbangan praktis, yaitu dengan bertolak dari alasan-alasan kultural. Meskipun agama Islam diterima oleh orang Jawa, namun pada saat yang sama pengarang mengingatkan agar jati diri dan budaya Jawa lama jangan dibuang. Caranya dengan menghidupkannya seraya memberikan wadah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terhadap ajaran agama yang baru dipeluk. Kecuali itu pengarang juga mengenal dengan baik kegemaran orang Jawa pada lakon wayang, sebagai pembentuk ketidaksadaran dan kesadaran kolektif mereka. Pertimbangan praktis lain ialah penyampaian kisah Dewa Ruci dalam bingkai cerita sejarah, sedangkan kisah inti

tentang perjalanan Bima diambil dari wiracarita atau cerita kepahlawanan (epos).

Orang Jawa menyukai peristiwa-peristiwa sejarah yang terkait dengan timbul tenggelamnya kerajaan-kerajaan feodal mereka, konflik-konflik internal yang terjadi. Di samping itu mereka menyukai mistik, dan cerita kepahlawanan.

Kitab Nawaruci maupun Serat Dewa Ruci jika dilihat dari segi arah dan tujuannya pada dasarnya sama, yaitu mengisahkan perjuangan tokoh Bima yang harus mengahadapi siksaan fisik dan psikis untuk memperoleh 'sesuatu' yang sangat berarti bagi kehidupan duniawiahnya. Ketabahan, ketulusan dan keuletannya akhirnya memang mampu mengantar Bima untuk memiliki sesuatu yang dimaksud kendati dalam dimensi yang lebih luhur. Keduanya melambangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan yang begitu erat atau bahkan sampai kepada kesatuan

wujud (wihdatul wujud), sebagai manunggaling kawula Gusti. Manusia yang telah

sampai tingkatan manunggaling kawula Gusti di dunia akan menjadi wakil Tuhan

(wakiling Gusti), ia sebagai khalifatullah fi al-ardi. Ia menyinari bumi, menjaga

keselamatan dunia (memayu hayuning bawana), memberikan kedamaian, dan

membuat dunia menjadi indah. Manusia semacam ini bersedia dan mampu melawan segala godaan alam lahir. Ia tak tergoda oleh kehidupan dunia yang tidak baik dan tidak tergoda oleh godaan setan. Ia di dunia telah mati bagi segala godaan alam lahir

dan mencapai hidup yang benar, yaitu mati sajroning ngaurip mati dalam hidup serta

urip sajroning mati hidup dalam kematian.

Kitab Nawaruci ini sudah dibahas dalam bentuk disertasi oleh Prijohoetomo pada tahun 1934. Dalam disertasinya itu dikemukakan perbandingan antara kitab Nawaruci dengan kitab Dewaruci. Kesimpulannya adalah bahwa kitab Nawaruci itulah yang menjadi sumber dari lakon Dewaruci yang semakin populer dalam dunia pewayangan (Wibisono,1996:33). Serat Nawaruci banyak mengandung unsur Hindhu sedangkan Serat Dewa Ruci mulai ditambahkan dengan unsur Islam. Tuhan yang politeis sebagaimana dalam Hindhu diganti dengan Tuhan yang monoteis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sebagaimana yang diajarkan dalam Islam dan disitulah nilai keislaman tercermin, yakni dalam isi ajarannya (Musbikin, 2010:50). Selain itu dalam gubahan Serat Dewa Ruci karya Tan Koen Swie berbentuk sekar macapat misalnya, unsur-unsur Islam

terlihat, dengan ditambahkannya beberapa istilah Arab seperti : wujud, dzat, sifat,

ma’krifat , nikmat, dan manfaat (Simuh, 1988:31). Sedang nilai kejawen yang masuk dalam Serat Dewa Ruci tampaknya hanya berada pada metode (cara pemaparan). Ini terlihat pada penggunaan bahasa Jawa sebagai alat penyampain ajarannya. Ciri tersebut sebagaimana dikatakan oleh Simuh merupakan salah satu corak karya sastra suluk yang masuk pada kelompok kepustakaan Islam Kejawen. Yakni menggunakan

bahasa Jawa dan sangat sedikit mengungkapakan aspek syariat (aturan-aturan lahir

daripada agama Islam).

Walaupun Serat Dewa Ruci tersebut mengambil konteks Hinduistik. Hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam. Terlepas dari perbedaan dan persamaan teks Dewa Ruci dan Nawaruci itu yang terpenting ialah inti sari cerita keduanya dapat menggambarkan perkembangan cara berpikir bangsa Indonesia umumnya, Jawa khususnya, terutama mengenai pandangan hidupnya. Baik dalam Nawaruci maupun Dewa Ruci filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritual atau mistisme yang sinkretik tergambar jelas didalamnya.

5. Serat Dewa Ruci dalam Konteks Penghayatan Keagamaan Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan sebuah specifiq community telah berabad-abad

membentuk dan membangun suatu peradaban yang khas unik (Muklis 2006: 21). Dalam konteks budaya, masyarakat Jawa memiliki ciri khas tersendiri. Kekhasan tersebut terletak dalam kemampuannya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Dalam konteks keagamaan, masyarakat Jawa bersifat terbuka untuk menerima agama apapun agama dengan pemahaman semua agama itu baik, maka sangatlah wajar bila masyarakat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Penghayatan keagamaan orang Jawa dalam konteks sosio historis tercermin

dalam ungkapan agama, ageman aji, bahawa agama itu merupakan busana keprabon

yang sungguh berharga. Agama secara Jarwa dhasok, a = tidak, gama = rusak,

sehingga keberadaan agama selalu menuntut manusia agar memperoleh kebahagiaan

dan ketentaraman lahir batin. Istilah Jawa kang kajawi, menandakan dalam

masyarakat Jawa aspek spirituallah yang dikedepankan (Purwadi, 2002: V)

Pada kebudayaan Jawa, sistem keagamaan sejak dahulu mempunyai variasi kultural. Menurut Mulder, sejak dulu mereka dibagi menjadi dua mereka

yang sholat yaitu, orang yang melakukannya disebut putihan dan mereka yang

tidak sholat mereka disebut abangan atau rakyat kebanyakan yang tidak religius

atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam (Mulder, 2003:1). Geertz telah melakukan pengamatan di Mojokuto. Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga varian yaitu abangan, santri dan priyayi. Abangan mewakili sikap memiliki segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani. Santri mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam, pada umumnya berhubungan dengan unsur pedagang (maupun juga petani) dan priyayi yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi (Geertz, 1989: X). Dari pembagian di atas maka kita dapat melihat bahwa di Jawa terdapat kelompok-kelompok religius yang berbeda. Kelompok santri atau putihan menjalankan doktrin agama Islam, dan kelompok abangan bergelut pada kepercayaan ajaran kejawen.

Perbedaan-perbedaan dalam menilai praktik agama itu sudah menjadi bagian kehidupan di Jawa sejak munculnya Islam. Pada awalnya masyarakat Jawa kehidupan beragama terimbas oleh pemikiran animistis, dimana pemikiran ini telah ada sebelum praktik Hindhu-Budha masuk di Indonesia yaitu diawali pada masa prasejarah. Setelah pemikiran animistis tersebut, doktrin Hindhu-Budha masuk ke Indonesia, gabungan keduanya membentuk mistisisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti. Pemujaan arwah dan penyembahan tempat-tempat keramat walaupun demikian semua itu tidak bertentangan secara mencolok dengan watak mistis dan corak

berpadu dan membentuk peradapan baru yang disebut kejawen

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bentuk agama Islam orang Jawa disebut Kejawen atau Agama Jawi yaitu suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1984: 312). Dengan kata lain, Islam Abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindhu, Hindhu-Budha

dan Islam (heterodoks). Walaupun demikian, hal itu tidak berarti mereka hampir tidak

beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Qur’an dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit sangkut-pautnya dengan doktrin-doktrin Islam resmi (Koentjaraningrat,1984: 311).

Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.

Bentuk Islam mistis yang berkembang di Indonesia adalah faktor paling nyata sehingga memungkinkan proses tersebut. Sementara dari budaya Jawa, tradisi kepercayaan ruh dan benda-benda gaib yaitu animisme dan dinamisme pada rakyat kebanyakan, dan tradisi Hindu-Budha pada kaum aristokrat kerajaan menjadi faktor kedua, yang seolah bertemu dalam satu titik kompromi paling landai ketika bertemu dengan Islam mitis.

Islam mistis atau Islam tasawuf bisa didefinisikan sebagai Islam yang lebih menekankan pada pemikiran dan praktik pencarian hubungan manusia dan Tuhan dengan cara-cara berpaling pada hal-hal duniawi dan lebih mengutamakan penghayatan dan kepasrahan pada Tuhan semata. Jalan untuk menuju pada sebuah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kesempurnaan hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam Islam mitis, didapatkan

dengan melalui beberapa tingkat yaitu: syariat, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Syariat

adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tarikat adalah bentuk kepasrahan

pada Tuhan secara sepenuhnya. Hakikat adalah tingkat di mana manusia hanya

memperhatikan Allah semata-mata dan ma’rifat adalah tahap terakhir yaitu tahap

kesempurnaaan (Edi Sedyawati, 1993: 54).

Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik (Zaini Muchtarom, 1988: 18). Menurut Koentjaraningrat (1984:53), gagasan-gagasan mistik tersebut mendapat sambutan baik dari masyarakat Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya Islam, kepercayaan tradisional (animisme dan dinamisme) serta tradisi kebudayaan Hindhu-Budha yang ada terlebih dahulu di Jawa telah didominasi oleh unsur-unsur mistik.

Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah yang relatif ramah atau lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme) dan Hindhu-Budha. Dengan kata lain Islam mistis mampu mengakomodir pandangaan dan sistem ritual di luar Islam baku, sehingga terjalinlah sebuah anyaman berupa akulturasi antara ajaran Islam dengan paham-paham sebelumnya. Sifat supel dan suka berasimilasi dengan aneka warna tradisi setempat inilah yang menjadi kunci sukses penyebaran Islam di Jawa. Dalam bentuk tasawuf itulah, agama Islam disesuaikan dengan struktur sosial dan filosofis masyarakat

setempat sehingga Islam mudah diterima tanpa gesekan dan pertentangan (peaceful

coexisten). Istilah terakhir ini merupakan ciri utama dalam filsafat Jawa yang menekankan kesatuan, stabilitas, keamanan, dan harmoni (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 58).

Berkembangnya Islam mistis (tasawuf) di Jawa secara intens dimungkinkan karena ajaran-ajaran tasawuf memiliki kesamaan dengan konsep mistik di kalangan

masyarakat Jawa sendiri yang berupaya mempertahankan kepercayaan Raja Titising

Dewa yang serba magis dan sarat dengan mistik. Mistik bagi kalangan masyarakat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kebudayaan Jawa sehingga dalam pandangan dunia Jawa budaya lahir dan batin mendapat posisi yang strategis, terutama berkaitan dengan penghayatan dalam bentuk pengalahan unsur-unsur lahir untuk dapat memurnikan aspek batiniah dan bersatu kembali pada tingkat yang tertinggi. Untuk mencapai hakikat itu berarti

mengusahakan keteraturan jagad gedhe (makrokosmos) dengan jagad cilik

(mikrokosmos), dalam arti yang lebih mendalam kesatuan antara manusia dengan

Tuhan (manunggaling kawula gusti). Oleh karena kesamaan dalam hal inilah, maka

Islam dapat diterima dan diintegritaskan dalam pola sosial, budaya dan religi masyarakat Jawa

Perkembangan Islam tasawuf diikuti mengalirnya kepustakaan Islam, baik yang tersurat dalam bahasa dan huruf Arab atau yang telah digubah dalam bahasa

Melayu. Mengalirnya kepustakaan Islam, dengan sendirinya menjadikan

perbendaharaan kesusastraan Jawa bertambah dinamis. Gaya sastra yang kebanyakan dari jazirah Arab maupun dari Gujarat ini berasimilasi dengan sastra lokal yang berkembang sehingga menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang isinya mempertemukan tradisi Jawa dengan hal-hal keislaman (Simuh,1988: 9).

Dalam konteks sastra, pertemuan antara Islam mistik dan kepercayaan mistik

pada rakyat kebanyakan menghasilkan kitab-kitab suluk dan primbon. Kitab suluk

adalah suatu himpunan syair-syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya mataram (Koentjaraningrat, 1984: 316). Kitab suluk adalah kitab yang di dalamnya banyak mengandung ajaran tasawuf. Kitab suluk menunjukkan usaha pengarangnya untuk menyatukan secara sinkretis ajaran-ajaran Islam, hukum Islam, dan tradisi kesusasteraan Islam dengan konsep-konsep teologi Hindu-Budha mengenai penciptaan alam, kematian, dan kehidupan setelah kematian, serta hubungan manusia dengan Tuhan. Sedangkan Primbon adalah kitab yang bercorak kegaiban dan berisi ramalan-ramalan. Sementara itu pertemuan Islam mitis dengan tradisi Hindhu-Budha

kerajaan Mataram menghasilkan serat. Serat adalah kitab yang berisi ajaran tasawuf

yang dipadukan dengan mistik kejawen. Serat-serat biasanya berisi ajaran mistik-moral. Diantara serat yang terkenal adalah serat Wirid Hidayat Jati, serat Centhini, dan serat Dewa Ruci.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Serat Dewa Ruci merupakan sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agama Jawi. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agama Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mistis dan Hindhu-Budha dibanding dengan Islam formal. Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan dilambangkan sebagai makhluk yang sangat kecil sekaligus sangat besar. Karena Ia kecil maka Ia dapat melihat seluruh semesta dengan terang benderang dalam warna-warninya. Karena Ia besar, maka Ia adalah muara dari segala sesuatu, seperti samudra yang menjadi muara dari segala aliran sungai, seperti angkasa tempat bertabur segala planet dan bintang (Koentjaraningrat, 1984: 324). Dalam pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh alam semesta, dan sekaligus kecil sehingga dapat dimiliki oleh seseorang.

Tuhan mitis dalam Agama Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding

dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa,

maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipura I yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan: “Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang Dewa katik, Dewa Ruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air” (Adhikara, 1984: 16).

Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena: “Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku” (Adhikara, 1984: 18).

Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan.

Serat Dewaruci di mata orang Jawa yang beragama Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang Islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1995: 13-14)

Dokumen terkait