• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Hidup dan Karya Raden Ngabehi Yasadipura I

HASIL PENELITIAN

A. Riwayat Hidup dan Karya Raden Ngabehi Yasadipura I

1. Riwayat Hidup Yasadipura I

Sumber-sumber sejaman yang memberikan informasi tentang riwayat hidup

Raden Ngabehi Yasadipura I tidak banyak. Beberapa karyanya Babad Giyanti, Babad

Prayut dan Babad Pakepung yang menceritakan tentang kejadian-kejadian terjadi di Surakarta pada masa hidupnya tidak terlalu banyak membantu mengungkap jati dirinya secara jelas. Di dalamnya hanya disebutkan keterlibatan Yasadipura I dalam beberapa peristiwa politik yang terjadi di Surakarta seperti pendirian kraton baru Surakarta, pengepungan istana Surakarta oleh Belanda. Sumber lain yang menceritakan kehidupan Yasadipura I baru dituliskan lebih dari seabad sesudah meninggalnya pujangga itu, yaitu sebuah buku yang diterbitkan percetakan Budi

Utama, Surakarta pada tahun 1939. Buku yang diberi judul Tus Pajang (artinya darah

atau keturunan Pajang) itu ditulis tiga orang, yaitu R. Sasrasumarta, R. Sastra Waluya dan R.Ng.Yasapuraya yang ketiganya adalah keturunan Yasadipura I (Ricklefs,1997: 273-283).

Menurut Tus Pajang, Yasadipura I adalah keturunan ke delapan dari raja

Pajang Hadi Wijaya. Ia adalah anak Tumenggung Padmanagara, seorang bupati/jaksa Pengging pada masa Paku Buwana II. Ia lahir di desa Pengging pada

hari Jum’at Pahing wulan Sapar, (bulan ke dua dari kalender Islam) Tahun Jimakir

(siklus delapan tahunan dalam kalender Jawa yang disebut Windu) 1654 (1729

Masehi) (Sasrasumarta, 1986: 133-134). Diceritakan dalam Tus Pajang, pada saat ia

masih dalam kandungan terjadi kejadian aneh. Penduduk desa Pengging berdatangan ke rumah Tumenggung Padmanagara. Tumeggung Padmanagara yang keheranan kedatangan mereka lalu menanyakan kepada penduduk itu mengapa mereka

berdatangan ke rumahnya. “Tetesing punika sami matur, menawi sami manoni wonte

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pernahipun dhumawah ing dalemipun Raden Tumenggung Padmanagara”

(Sasrasumarta, 1986: 130-131). Artinya:

Orang-orang Jawa itu, menjawab, bahwa mereka melihat “ daru” jatuh warnanya

hijau keputih-putihan, besarnya sebesar buah kelapa muda. Jatuhnya persis di rumah Raden Padmanagara.

Dari kejadian itu, menurut kepercayaan orang Jawa bahwa kelak bayi yang masih di kandungan Raden Ayu Padmanagara (istri Tumenggung Padmanagara)

akan menjadi orang yang “ linuwih” dan terkenal. Kepercayaan itu dalam Tus Pajang

diwakili oleh sosok Kyai Hanggamaya, seorang ulama dari Kedu yang kelak menjadi gurunya, yang menyatakan bahwa anak Padmanagara kelak akan menjadi anak laki-laki yang sangat pintar dan sakti.

Yasadipura I lahir pada pukul 5.30 pagi waktu subuh, oleh karena itu ia dipanggil dengan nama Jaka Subuh, tetapi nama kecil yang diberikan ayahnya adalah Bagus Banjar. Pada masa kecilnya, pendidikan yang diterima Bagus Banjar adalah pendidikan yang bersifat tradisional dengan pusatnya di lingkungan keluarga. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an.

Untuk memperdalam ilmu agama maka pada usia 8 tahun, dia dikirim ke pondok pesantren Bagelan Kedu di bawah asuhan Kyai Hanggamaya yang dulu meramalkan kelahiran dan nasibnya kelak. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran

membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan

kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara

menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian (Marwoto, 1985:6). Pendidikan semacam itu diterima sepenuhnya oleh Bagus Banjar. Oleh karena itu Bagus Bajar menguasai berbagai macam ilmu, terutama ilmu tentang agama dan sastra. Dibanding santri-santri yang lain, dalam hal kepandaian Bagus Banjar paling

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menonojol. Bagus Banjar dengan cepat dan mudah menyerap semua ilmu yang diberikan gurunya, sehingga Bagus Banjar selama berada di pondok menjadi anak emas Kyai Hanggamaya. Bagus Banjar diasuh oleh Kyai Hanggamaya sampai umur 14 tahun, jadi kurang lebih 6 tahun. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendidikan Bagus Banjar semasa kecilnya berada ditangan Kyai Hanggamaya. Bagi Bagus Banjar, Kyai Hanggamaya adalah seorang guru sejati, layaklah dia menjadi panutan, sedangakan bagi Kyai Hanggamaya, Bagus Banjar sendiri sudah dianggap sebagai anak sendiri.

Dalam uraian di atas diterangkan bahwa semenjak usia lima tahun hingga empat belas tahun, Yasadipura I sudah dididik dalam suasana agama dan kebatinan. Pada waktu itu pendidikan di pesantren pada umumnya memberikan pelajaran agama dan juga mengamalkan pokok-pokok ajaran tasawuf (Simuh,1988: 37).

Semasa hidupnya Yasadipura I (1729-1802) mengabdi pada 3 raja, mulai dari Paku Buwana II yang masih bertahta di Kartasura sampai Paku Buwana IV di kraton Surakarta. Seiring dengan pergantian raja, dengan sendirinya Yasadipura I mengalami berbagai berbagai macam pergulatan dan perubahan suasana-suasana politik antara

lain perpindahan kraton, paliyan nagari, dan peristiwa Pakepung.

Pada usia empat belas tahun ia menyelesaikan belajarnya di pesantren Kedu,

dan kemudian nyuwita (mengabdi) di Kraton Kartasura pada masa Pakubuwana II.

Karena kecerdasan dan pengetahuannya yang luas di bidang agama dan sastra, Bagus Banjar disayangi oleh raja. Ketika pemberontakan Cina meletus pada tahun 1740, dan kraton Kartasura diduduki oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), Bagus Banjar ikut mengungsi ke Ponorogo bersama sang raja. Tampat ini sejak lama merupakan pusat pendidikan Islam di Jawa Timur, dan selama di pengasingan itu Bagus Banjar

memanfaatkan waktunya untuk memperdalam agama Islam

(http://ahmadsamantho.wordpress.com/dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi tentang

pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010).

Kedekatan Bagus Banjar dengan raja semakin terjalin selama di pengasingan. Inilah yang memberinya peluang untuk memainkan peranan penting kelak dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Selain itu dia mempunyai pengetahuan yang luas dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bakatnya sebagai pengarang sukar ditandingi oleh penuli sezamannya. (Soebardi 1975: 18 ; Ricklefs,1993: 225 )

Karena prestasinya yang baik dalam mengabdi di kerajaan ia kemudian dipromosikan menjadi prajurit kraton dengan sebutan “Prajurit Nameng Jaya” yang diberi tugas khusus membawa senjata kraton yang diberi nama Kyai Cakra. Setelah menjadi prajurit namanya kemudian diganti menjadi Kudapangawe. Selama menjadi prajurit ia tinggal di rumah Tumeggung Sindusena (Sasrasumarta,1986: 135-136).

Ketika pemberontakan bisa dipadamkan atas bantuan dari Kompeni, Pakubuwana II kembali ke Kartasura. Hubungan Bagus Banjar semakin erat. Pakubuwana II menaruh harapan agar kelak ia dapat menjadi pujangga kerajan. Oleh karena itu Pakubuwahna II menitipkan Kudapangawe kepada Pangeran Wijil, seorang pujangga yang bekerja di kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol Dia dilantik untuk menjadi sekertaris istana dalam usia 20 tahun. Bakatnya sebagai pengarang semakin bersinar-sinar selama memegang jabatan itu. Karena pengetahuan agama dan sastra sangat luas dan sukar disamai pengarang sezamannya, maka dia pun diangkat sebagai Pujangga Muda

istana (http://ahmadsamantho.wordpress.com/ dewaruci-jasadipura-i-alegori-sufi

tentang-pencarian-diri, diunduh pada tanggal 1 November 2010).

Pada tahun 1744 pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta. Adapun yang menentukan letak istana baru itu ialah Yasadipura I. Karena jasanya itu kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Pujangga Istana. Yasadipura I ikut boyongan dan bertempat tinggal di kawasan Kedhung Kol, yang terletak di distrik Pasar Kliwon (sebelah timur benteng istana Surakarta). Daerah ini nantinya terkenal dengan sebutan kampung Yasadipuran. Di sini Yasadipura I bermukin beserta istri, anak dan cucunya (Soebardi, 1975: 18-20).

Lima tahun setelah berdirinya kraton, pada hari minggu tanggal 12 Sura Alip

1675, Paku Buwana II meninggal dan dimakamkan di Laweyan. Dicertakan dalam Tus Pajang ketika hendak dikuburkan di ternyata peti jenazah tidak bisa masuk liang lahat meskipun telah diperluas berkali-kali. Setelah didoakan oleh Yasadipura I dan dijanjikan bahwa peguburannya di Laweyan hanya sementara dan kelak akan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dipindahkan maka peti jenazah bisa masuk liang lahat. Oleh karena itu Paku Buwana

II juga dikenal ”Sinuhun Kombul’’ (Sasrasumarta,1986: 41).

Pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) masih mewarisi konflik intern yang terjadi antara keluarga istana. Bahkan, pada masa pemerintahan

Paku Buwana III ini perpecahan ini memuncak, sehingga terjadi Palihan Nagari

pembagian kerajaan menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta pada tahun 1755. Babad Giyanti secara cermat melukiskan peristiwa historis itu (Ricklefs, 1995:84). Dalam Babad Giyanti Yasadipura I menggambarkan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sebagai figur pahlawan. Sedangkan Paku Buwana II dan Paku Buwana III digambarkan secara kurang simpatik. Pada perjanjian Giyanti tersebut, Yasadipura I mempunyai peran yang besar dalam upaya perdamaian Sunan Paku Buwana III, Sultan Hamengku Buwana I, dan pihak Belanda (Didiek Teha, 1989: 11).

Pada tahun 1788, Paku Buwana III diganti oleh Paku Buwana IV. Saat memegang kendali pemerintahan usia Paku Buwana IV masih relatif sangat muda yaitu 19 tahun. Karena usia Paku Buwana IV masih sangat muda, maka rentan sekali menerima pengaruh dari pihak luar. Diceritakan dalam Babad Pakepung, Paku Buwana IV berhasil dihasut oleh Panengah, Wiradigda, Brahman dan Nursaleh untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda. Dalam Babad Pakepung keempat orang tadi disebut Yasadipura I sebagai setan. Sedangkan dalam Serat Wicara Keras pupuh IV dan VII yang ditulis oleh Yasadipura II menggambarkan salah satu dari keempat orang tadi yaitu Wiradigda sebagai orang bodoh dan congkak dan yang diincarnya hanya uang melulu, dan jika berdagang selalu berbuat curang, mengijak-injak norma sosial Jawa yang luhur. Karena sangat percaya kepada mereka, sehingga para penasehat-penasehat seperti Yasadipura I dan Pangeran Purbaya dan pejabat-pejabat lainya mulai kehilangan pengaruhnya. Hal ini menjadikan Paku Buwana IV lupa terhadap pengasuhnya sejak kecil, yaitu Yasadipura I. Semua saran darinya tidak lagi diterima, sehingga membuat hubungan antara keduanya agak kurang harmonis.

Dalam masa Pakepung, Belanda menuntut supaya keempat orang yang mendalangi Sunan diserahkan sebagai tawanan. Apabila tidak penuhi, Surakarta akan diserbu tentara gabungan yang terdiri atas tentara Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Kompeni. Ancaman tersebut membuwat posisi Paku Buwana IV semakin terdesak.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Atas nasehat dari Yasadipura I, Paku Buwana IV dengan berat hati menyerahkan semua tawanan yang diminta pihak Belanda dan berjanji untuk tetap menjaga keamanan di Surakarta. Nasehat yang diberikan Yasadipura I kepada Paku Buwana IV bukan tanpa alasan, Yasadipura I menyadari betul resiko yang diambil apabila melawan pasukan gabungan (Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Kompeni). Di sisi lain keadaan kraton sendiri sebenarnya lemah, sejak kehilangan daerah pesisir pulau Jawa pada masa pemerintahan Paku Buwana II. Di situ terlihat betapa diploamtisnya sang pujangga. Memang terlihat tidak nasionalis, tetapi semua itu demi keselamatan kraton yang sejatinya lemah (Didiek Teha, 1989:11).

Karena besar pengabdiannya kepada negara, maka Paku Buwana IV mempromosikan Yasadipura I menjadi patih dalem. Namun ketika itu, usia Yasadipura I sudah tua, sehingga tidak bisa hadir dalam prosesi pengangkatannya sebagai patih dalem. Untuk menghormati jasa-jasa Yasadipura I maka jabatan pujagga diwariskan kepada putranya, Yasadipura II

Jasa Yasadipura I yang sangat mengagumkan adalah kemampuan menggubah kitab-kitab berbahasa Jawa kuna ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yaadipura I juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra karanggannya sendiri (Purwadi, 2007: 66).

Sebagai pengarang agung dan luhur budinya, Yasadipura I tidak melupakan kaderisasi. Putranya yaitu: Yasadipura II juga termasuk dalam deretan pujangga yang tersohor. Bahkan cicitnya, Ranggawarsita, mendapat tempat yang sangat istimewa dalam kancah kesusasraan Jawa. Bahkan masyarakat umum mengakui bahwa Ranggawarsita adalah pujangga paling terkemuka pada abad- 19 (Purwadi, 2007: 84).

Yasadipura I tutup usia pada umur 74 tahun. Meninggal pada hari senin

Kliwon, 24 Dulkangidah, Wawu 1728 atau 26 April 1801 dan dimakamkan di Pengging, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Mengenai riwayat kehidupan Yasadipura I yang diceritakan dalam Tus Pajang ini Ricklefs mencatat adanya dua kesalahan yang menyangkut tahun kelahiran dan kematian Yasadipura I. Seperti

ditulis dalam Tus Pajang bahwa Yasadipura I lahir pad hari jum’at Pahing, Bulan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pahing pada bulan Sapar tahun Jawa 1654 hanya jatuh pada tanggal 14 Sapar, atau 9

September 1729, dan tahun Jawa 1654 bukan tahun Jimakir tetapi tahun Je. Demikian

pula dengan tanggal kematiannya terjadi kesalahan. Tahun Jawa 1728 adalah tahun

Be dan pada tahun itu tanggal 20 Dulkangidah jatuh pada hari Kamis Legi bukan

Senin Kliwon. Tanggal yang benar seharusnya Senin Kliwon, 20 Dulkangidah, Wawu

1729, atau sama dengan 145 Maret 1803 (Ricklefs, 1997: 274-275).

2. Karya-Karya Yasadipura I

Dalam dunia kepujanggaan Surakarta, tidak lepas dari jasa tiga orang pujangga besar, yang ketiganya berasal dari satu kelurga, yaitu Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Dari deretan Pujangga Jawa tersebut, Yasadipura I memberikan kesan tersendiri bagi perkembangan sastra Jawa. Dalam kapasitasnya sebagai pujangga, nama Yasadipura I cukup harum, mendapat tempat terhormat dan istimewa dalam sejarah intelektual kesusastraan dan kefilsafatan Jawa pada era awal kraton Surakarta. Yasadipura I sangat produktif dalam berolah sastra dan telah menerbitkan bermacam-macam buah pena dengan gaya bahasa yang bermutu dan mengagumkan. Bila dilihat dari kreatifitas, produktifitas, kuantitas dan kualitas karya-karyanya, Yasadipura I dapat disebut pujangga terbesar pada abad ke-18 (Purwadi,2007: 6).

Jasa yang sangat mengagumkan adalah kemampuannya menggubah

kitab-kitab berbahasa Jawa Kuno ke dalam bahasa Jawa baru, sehingga mempermudah generasi kemudian untuk memberikan apresiasi. Selain menggubah, Yasadipura I juga menerjemahkan karya sastra asing, di samping karya sastra aslinya sendiri (Suryohudyodo,1980 : 563).

Ada tiga sumber utama yang dapat memberikan informasi penting tentang

karya-karya Yasadipura I, yaitu Zamenpraken karya C.F. Winter, Kapustakan Djawi

karya Poerbatjaraka dan Tus Pajang karya R.Sasrasumarta. Dari ketiga sumber

tersebut itu terdapat 17 naskah yang dianggap sebagai karya Yasadipura I, yaitu:

Tajusalatin (terjemahkan Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari), Iskandar, Panji Anggreni, Babad Giyanti (Babad Paliyan Nagari), Sewaka, Anbiya (saduran

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (jarwa), Babad Prayut, Cebolek, Pasindhen Badhaya, Arjunawiwaha (jarwa), Arjunasasrabahu (jarwa), Rama (jarwa), Panitisastra (Kawi Miring), Dewa Ruci (jarwa), dan Babad Pakepung (Sasrasumarta,1986: 191: Ricklefs,1997: 276).

Berbeda dengan Hamzah Fansuri, yang karya-karyanya ditulis ketika fase integratif kebudayaan Melayu dengan Islam mencapai puncaknya, Yasadipura I menulis karyanya ketika di pulau Jawa sedang terjadi ketegangan yang berlarut-larut antara ulama ortodoks dan kaum heterodoks. Berbagai ketegangan politik yang terjadi di Jawa saat itu banyak terjadi disebabkan pembangkangan yang dilakukan kaum heterodoks. Pergolakan politik semakin panas ketiga pecah tiga pembrontakan besar, yaitu Perang Trunojoyo pada akhir abad ke-17 M, Pembrontakan Untung Surapati pada awal abad ke-18 M, dan pemberontakan Cina tidak lama kemudian. Kerajaan Mataram pecah belah akibat pemberontakan itu, apalagi dengan campur tangan VOC, yang menyebabkan Mataram bertekuk lutut di bawah kekuasaan kolonial.

Untuk memulihkan stabilitas, rekonsiliasi kedua golongan ortodoks dan heterodoks sangat diperlukan. Kisah Dewa Ruci adalah simbol dari rekonsilisasi itu, sehingga sebagai sastra sufi ia memiliki peran yang unik dan juga corak yang unik yang tidak ditemui dalam karya sejenis dalam kesusastraan Melayu dan Nusantara yang lain

Ricklefs yang memberikan kritik terhadap kesalahan-kesalahan yang

ditemukan dalam Tus Pajang, juga meragukan enam naskah sebagai karangan

Yasadipura I, yakni Tajusalatin, Menak, Iskandar, Sewaka, Arjunawiwaha Jarwa,

dan Cebolek. Dari keseluruhan kritiknya, Ricklefs menyimpulkan bahwa keenam naskah yang oleh beberapa sumber dianggap sebagai karya Yasadipura I itu adalah naskah dari masa Karatasura. Oleh karena itu ia menduga bahwa kemungkian besar naskah itu telah ditulis atau sebagian disalin seseorang pujangga masa Kartasura, yaitu Carik Braja atau yang kemudian mejadi Tumenggung Tirtawiraguna (Ricklefs,1997: 278-279).

Menurut Poerbatjaraka, kritik Ricklefs tidak seluruhnya menggoyakan

pernyataan sebelumnya karena seperti halnya Tajusalatin, sebenarnya Serat Menak

juga tidak disebut secara ekplisit dalam Tus Pajang, tetapi hanya disebut oleh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ini juga pernah dibicarakan oleh Poerbatjaraka dalam salah satu studi lainnya (Kemugkinan pernyataan Poerbatjaraka didasarkan pada keterangan Winter ini).

Dalam Tus Pajang hanya disebutkan “bok menawi taksih kathah malih

panunggalipun serat damelanipun Yasadipura, Namung dumugu sapriki, taksih kasilep dereng konangan ing akathah” (mungkin masih banyak lainya yang juga karangan Yasadipura, tetapi masih tersembunyi dan belum diketahui umum) (Sasrasumarta,1986: 192).

Bagaimanapun juga harus dicatat bahwa dugaan-dugaan di atas harus diterima secara ’’sementara’’, karena bukti otentik yang mendukungya belum ditemukan, tetapi jika dugaan di atas benar, maka reputasi dalam menyalin naskah-naskah Jawa Kuna kembali diragukan .

Dokumen terkait