• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

HASIL PENELITIAN

C. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

1. Orang-orang yang berpengaruh dalam pemikiran Yasadipura I

Yasadipura I tumbuh dalam suasana masyarakat yang sedang giat mengembangkan dunia sastra. Apalagi dia berada di sekitar para tokoh yang menjadi tulang punggung tradisi yang sedang berjalan. Dapat dipastikan bahwa Yasadipura I sudah diperkenalkan dengan dunia sastra semenjak usia dini. Oleh ayahnya saat berusia lima tahun, Yasadipura I sudah diberikan pelajaran dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Untuk memperdalam ilmu agamanya, ia dikirim ke sebuah pesantren di Bagelan, Kedu asuhan Kyai Hanggamaya. Bakat dalam dunia sastra semakin terasah saat Yasadipura I berada dalam lingkungan pesantren. Setelah menamatkan pendidikan di pesantren Kedu, ia mengabdi di kraton Kartasura. Melihat potensi Yasadipura I dalam bidang sastra sangat besar, Paku Buwana II menaruh harapan besar kepadanya untuk kelak menjadi Pujangga istana. Oleh karena itu, Paku Buwana II menitipkan Yasadipura I kepada Pangeran Wijil seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Pangeran Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (1749-1788) ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I.

Dari uraian singkat di atas dapat ditatarik kesimpulan bahwa orang-orang yang mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I antara lain:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Salah satu tokoh yang amat penting dalam mempengaruhi pemikiran Yasadipura I adalah Raden Tumenggung Padmanagara. Beliau adalah ayah dari Yasadipura I sendiri yang pada waktu itu berkedudukan sebagai bupati atau jaksa pada masa Mataram Kartasura (Pakubuwana II).

Sejak kanak-kanak sampai dengan umur 8 tahun Yasadipura kecil berada di bawah asuhan Raden Padmanagara. Sebagai anak seorang bupati Pengging, Yasadipura I didik sebagai anak kaum priyayi yang pada umumnya dekat dengan paham kejawen. Sejak kanak-kanak sudah mendapatkan pelajaran mengenai adat dan tata krama dari orang tuanya. Misalnya, cara makan, cara bergaul dengan keluarga, tetangga, orang lain, dan sebagainya. Selain itu, Bagus Banjar sejak berusia lima tahun sudah menerima pelajaran dari orang tuanya dengan menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur’an dan menginjak usia 7-8 tahun mulai diberikan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab dan baru kemudian membaca Al-Qur’an. Suasana kehudipan istana yang syarat nuansa kejawen inilah nampak besar berpengaruh bagi kepribadian dan alam pemikiran dari Yasadipura I sebagai seorang pujangga.

b.Pangeran Wijil

Pangeran Wijil adalah seorang pujangga istana yang bekerja di Kadipaten. Oleh Pangeran Wijil, Yasadipura I mulai diperkenalkan pada lingkungan baru, yaitu kehidupan istana. dan mendapat warisan berbagai ilmu terutama dalam bidang kesusastraan dan spirituaitas yang kala itu menjadi salah satu ukuran kehormatan dan kedudukan seseorang.

Pangeran Wijil selain berkedudukan sebagai pujangga istana yang bekerja di Kadipaten, juga termasuk orang yang mempunyai wawasan spiritual dan keilmuwan tinggi, sehingga mampu menangkap potensi dan bakat dari Yasadipura I. Maka sangat wajar jika Pangeran Wijil sangat sayang kepada Yasadipura I. Ia menyakini dan juga dibenarkan oleh beberapa orang termasuk Pakubuwana II bahwa kelak akan

menjadi orang linuwih (orang yang memiliki kelebihan).

Setelah mendapat bimbingan Pangeran Wijil, bakatnya di bidang sastra semakin menonjol. Semua tulisannya mulai mendapatkan perhatian dari para abdi dalem yang lain. Tak mengherankan jika kemudian Pakubuwana II mengangkatnya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Wijil terus menggembleng dan mendorong Yasadipura I untuk terus belajar dan berkarya hingga setelah periode Surakarta, pada masa Pakubuwana III (1749-1788) ia telah resmi dingkat mejadi pujangga istana dan telah disebut dengan Raden Ngabehi Yasadipura I.

c.Kyai Hanggamaya

Kyai Hanggamaya adalah salah satu tokoh yang berperan membentuk kepribadian serta mempengaruhi pola pemikiran Yasadipura I. Beliau adalah seorang guru besar pesantren di daerah Bagelan, Kedu. Kyai Hanggamaya dimata masyarakat Kedu, disamping dikenal sebagai ulama, beliau juga diyakini sebagai seorang

Waliyullah yang memiliki kemampuan linuwih baik dalam bidang spirituil (keilmuan

tentang Islam) maupun supranatural (karomah). .

Sesuai tradisi yang ada di lingkungan kraton, setelah berusia 7-8 tahun anak dikirim kepondok-pondok pesantren. Sistem pendidikan itu hanya diperoleh puta-putri raja atau kawula dalem yang mampu, para keluarga sentana dalem dan abdi dalem. Pondok-pondok pesantren yang terkenal pada waktu itu antara lain, Pondok Tegalsari Ponorogo, Pondok Banjarsari Madiun, dan Pondok Pesantren Bagelan , Kedu (Mulyanto, dkk 1990).

Yasadipura I merupakan alumnus pondok pesantren asuhan Kyai Hanggamaya dimana pada usia 8 tahun Yasadipura I menjadi murid di pondok tersebut. Selama mengeyam pendidikan di Pesantren Kedu, banyak transfer ilmu yang ia peroleh dari Kyai Hanggamaya. Oleh Kyai Hanggamaya diberi pelajaran

membaca dan menulis huruf Jawa dan Arab, pelajaran agam Islam, paramasastra dan

kesusastraan Jawa, kesusilaan, ilmu pengetahuan, kesaktian (ilmu kedotan), tata cara menyembah Allah, tata cara bersemedi serta ajaran kepribadian.

Suasana kehidupan dalam pesantren Kedu yang syarat nilai-nilai luhur agama Islam nampak berpengaruh besar bagi kepribadian dan alam pikiran Yasadipura I. Karya-karya Yasadipura I seperti Serat Ambiya, Serat Menak, dan Serat Dewa Ruci di sana dijumpai istilah-istilah dan ajaran-ajaran yang berasal dari konsep tasawuf Islam.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Pengaruh Tasawuf Islam dan Tradisi Kejawen

Ajaran Islam menyentuh aneka macam atau semua aspek kehidupan manusia, maka perwujudan sistem Islam itu juga mempunyai beberapa aspek atau dapat dikelompokkan kedalam beberapa aspek. Dapat disebutkan bahwa diantara perwujudan agama itu adalah kepercayaan, ritus, aatau upacara, mitos dan simbol. Santri yang belajar Islam sejak kecil merasakan ada yang namanya, Fiqih, Akhlak dan Tarikh. Itu semua adalah perwujudan apa yang dinamakan Islam. Diantara aspek Islam itu atau diantara perwujudan Islam yang sekiranya dekat dengan aliran kebatiinan adalah tasawuf (Romdon, 1993: 182-183).

Ada banyak defiisi tentang tasawuf, yang jelas istilah ini adalah istilah baru dalam Islam, artinya tidak ada dalam Al-Qur’an atau Hadist. Tasawuf menunjukkan keragaman keagamaan seseorang muslim, baik yang lahiriah maupun batiniah, artinya yang berkaitan dengan keimanan atau perasaan yang berdasar pengalaman keagamnaannya. Keadaan kegaamaanya dinamakan tasawuf dan orangnya dinamakan

sufi atau Mutashawuf. Ada yang menamankan tasawuf sebagai kebatinan Islam, barang kali karena diantara sifat tasawuf adalah menekankan soal kebatinan (Romdon, 1993: 7).

Orang-orang yang menganut ajaran tasawuf di Indonesia khususnya di Jawa,

biasanya menjadi anggota gerakan-gerakan mistik yang disebut tarekat, dibawah

pimpinan seorang guru (mursyid) yang disegani. Yang oleh penduduk sekitarnya

disebut Kyai. Tarekat merupakan gerakan-gerakan yang berorientasi kerohanian,

yang beranggotakan orang-orang santri. Gerakan-gerakan seperti itu biasanya berpusat pada suatu pesantren tertentu, dan hampir serupa dengan gerakan-gerakan kerohanian kejawen (Koentjaraningrat, 1984: 407).

Semenjak Islam masuk dan menjadi bagian kehidupan di Jawa, muncul perbedaan-perbedaan praktek agama. Pada masa itu kehidupan agama terimbas oleh pemikir animistis dari apa yang dinamakan doktrin dan praktek Hindhu-Budha yang bergabung menjadi satu yang menawarkan lahan subur magis, mistisme, pengagungan jiwa-jiwa sakti, pemujaan arwah, dan penyembahan tempat-tempat keramat. Semua itu bertentangan secara mencolok dengan watak mistik dan corak

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peribadatan Islam yang merambah pulau itu. Hasilnya berupa egalitarisme Islam. Bahwa agama nabi mampu mengokohkan diri dengan pesat di kawasan pantai Puau Jawa. Bergerak lebih jauh kepedalaman bentuk masyarakat yang lebih lama ada. Aritokratis dan hierakis mampu mempertahankan diri dan pada saat yang sama menerima unsur-unsur Islam. Seiring perjalanan waktu, perpaduan ini melahirkan peradaban Jawa Tengah, yang berpusat di istana raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.

Peradaban inilah yang secara umum memperoleh sebutan Kejawen (Niels Mulder,

2001: 2).

Jawanisasi atau kejawen, bukanlah suatu kategori religius. Namun ia lebih menunjuk kepada etika dan sebuah gaya hidup yang dilihami oleh pemkiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian orang mengungkap kejawen mereka dalam prakek beragama, misalnya seperti dalam mistisme, maka pada hakekatnya hal itu adalah karakteristik yang secara kultural coondong pada kehidupan yang mengatasi keaneragaman religius (Niels Mulder, 2001: 4). Sebagian dari sistem budaya agama, kejawen merupakan suatu tradisi yang diturunkan secara lisan, tetapi ada sebagan penting yang juga terdapat dalam kesusastraan yang dianggap sangat keramat dan bersifat moralis. Orang Jawa kejawen juga menganggap Al-Qur’an sebagai sumber utama dan segala pengetahuan yang ada. Namun seperti halnya semua penganut agama di seluruh dunia, orang awam beragama Agama Jawi (agama orang Jawa) dalam melakukan berbagai aktifias keagamaan sehari-hari, rata-rata dipengaruhi keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya dan norma yang kebanyakan berada di dalam alam pikirannya (Koentjaraningrat, 1984: 319).

Akar tradisi Islam Kejawen ini sudah dapat ditemukan sejak zaman kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu kerajaan Demak. Sebagaiamana telah banyak diketahui bahwa salah satu eksponen penting bagi kemunculan dan perkembangan Kerajaan Demak adalah para tokoh yang dikenal dengan para wali. Mereka adalah para penyebar Agama Islam, yang beberapa orang diantaraanya berasal dari Timur Tengah. Dalam menyiarkan agama, para wali melakukan pendekatan struktural dan kultural. Secara struktural mereka melakukan peng- Islaman terhadap raja dan bangsawan istana, karena rakyat akan cenderung mengikuti agama raja yang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berkuasa. Sedangkan secara kultural, mereka berdakwah dengan menggunakan instrumet-instrumen kebudayaan Jawa

Sejak awal kehidupannya, Yasadipura I telah memilik sikap spiritual tersendiri, Yasadipura I adalah seorang muslim, alumni Pondok Pesantren. Ia membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan membawa angin perubahan keyakianan dari Hindhu-Budha ke Islam. Anggapan bahwa raja adalah imam dan

agama ageing ajilah yang turut menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja, di samping peran aktif para pujangga masa itu. Para penyebar Islam-para wali, guru-guru tarekat memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan hidup Yasadipura I sebelumnya yang bersifat mistik dapat sejalan,untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinannya.

Spiritual Yasadipura I dengan warna tasawuf, berkembang juga karena, Yasadipura I sendiri beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf menekankan pada latihan spiritual, seperti zikir dan puasa. Dalam masyarakat yang semangat religius kuat inilah Yasadipura I dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah diberi pelajaran agama Islam, dan sesudah dewasa ia dikirim ke pondok Pesanten Kedu untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam kepada Kyai Hanggamaya. Sejak kecil dia lebih mengutamakan tarikat agama Islam daripada syariatnya. Hal ini diperjelas karena Yasadipuara I masih gemar bertapa, bersemedi, berpuasa, seperti yang masih sering dilakukan oleh penganut agama Hindhu.

Dari uraian di atas, sosok kepribadian Yasadipura I tidak bisa dilepaskan tradisi Hindhu-Jawa (Kejawen) dan budaya pesantren (Islam). Hal ini tercermin dalam karya-karya sastranya yang bernuansa Islam-Jawa, sehingga sinkretisme kedua budaya itu menjadi harmoni yang menyatu dalam pemikirannya.

3. Sufisme Yasadipura I dalam Serat Dewa Ruci

a. Pemikiran Tasawuf Yasadipura I yang berhubungan dengan Syariat

Syariat dalam bahasa Jawa disebut sarengat atau laku raga, sembah raga

merupakan pijakan awal bagi seseorang untuk mempuh laku perjalanan menuju manusia sempurna, yaitu dengan mengerjakan amalan-amalan badaniah atau lahiriah dari segala hukum agama. Amalan-amalan itu menyangkut hubungan manusia

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Di samping amalan-amalan seperti itu, dalam kaitan

hubungan manusia dengan manusia, orang yang menjalani syariat, di antaranya

kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja, ia hormat serta taat. Segala perintahnya dilaksanakaannya. Dalam pergaulan ia bersikap jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi, dan beramal saleh. Adapun pemikiran tasawuf Yasadipura I yang

berkaitan dengan syariat sebagai berikut:

Ibarat menuju puncak gunung, perjalanan panjang seorang sufi menuju tingkat

makrifat harus melewati tangga demi tangga. Menurut Yasadipura I jalan menuju

Tuhan dalam Serat Dewa Ruci ada empat anak tangga (syariat, tarekat, hakikat,

makrifat) yang harus dilewati untuk sampai pada puncak pendakian. Bagi Yasadipura I empat anak tangga itu merupakan mata rantai yang sambung menyambung, saling terkait satu dengan yang lain dan perlu dilakukan setahap demi setahap. Dari keempat

anak tangga tersebut syariat adalah pos pertama tempat dimulaninya pendakian.

Dalam menyelami laku syariat, hampir dalam tradisi sufi para penempuh jalan ruhani

harus dibimbing oleh seorang guru spiritual yang akan membawa pada puncak hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal itu juga nampak pada usaha Bima untuk berguru pada Resi Druna.

Dalam epos (cerita kepahlawanan) Mahabarata, Bima adalah salah seorang

dari lima satria Pandawa. Pada ceritera wayang purwa, para satria pandawa digambarkan sebagai satria yang berbudi luhur cinta kebenaran dan setia pada keutamaan. Di lingkungan keluarga dan negerinya, Bima merupakan merupakan benteng pertahanan dan kesejahteraan negeri dan rakyatnya. Oleh karenanya disamping kekuatan tenaga dan kecerdasan berpikir sang Senapun bermodal bermacam ilmu kesaktian, yang semuanya cukuplah untuk membentengi keselamatan hidupnya di dunia fana dengan tentram sejahtera (Siswoharsojo, 1966: 5).

Dengan tugas dan modal sedemikian, betapakah suka duka yang dimiliki oleh

Bima setiap saat sepanjang masa, hanya pribadi Bima yang menikmatinya. Namun demikian, karena perkembangan budaya yang timbul karena kedewasaan jiwa, pada suatu ketika datanglah rasa kecewa yang mengganggu Bima. Pangkal

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dianggap sebagai sarana kesucian diri atau ilmu kesempurnaan hidupnya. Karena dorongan cita-citanya, maka ia berusahalah mencari guru yang dapat memberi

petunjuk (wejangan) dimana letak Tirta Prawita. Tindakan Bima ini melambangkan

para umat yang ingin melanjutkan ibadatnya ketingkat tarekat, disamping memenuhi

ibadah syariat, tindakan pertama harus mendapat petunjuk (wejangan) dari Guru

Tarekat. Istilah Guru Tarekat lazim pula disebut Guru Wasilah atau Guru Wasita

(Siswoharsojo, 1966: 7). Walaupun sang guru ini kadang-kadang ada juga yang menyesatkan, tetapi Bima menganggap bahwa guru ini jujur, maka sangat dipatuhinya sebab ia memegang kata ulama yang berbunyi: "Tangan (kekuasaan) Allah itu mengendalikan mulut cendekiawan, tiadalah ia mengucap, kecuali kebenaran dari Allah" (Al-Ghazali, 1982: 32).

Menurut Serat Wulangreh, keberadaan guru yang benar-benar arif dan berpengalaman di dalam menempuh perjalanan kehidupan kerohanian sangatlah

penting. “ Nanging ta sabarang kaya, kang kinira dadi becik, pantes den telatenana/

lawas-lawas pinanggih, lan mantep jroning ati, ngimanken tudhuhing guru, aja uga bosenan, kalamun arsa utama, mapan ana dalile, kang wus kalakyan.” (Pupuh Dhandanggula, pada 16)

Mematuhi perintah guru tidak boleh bosan. Amalan selalu dilaksanakan atas perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan guru sangat penting. Masyrakat Jawa memberi tempat yang terhormat kepada guru. Zaman dahulu guru disebut juga

pendeta, brahmana, ajar, resi, wiku dwija, begawan, dan Dhang Hyang. Guru

dianggap pemimpin informal yang mempunyai pengaruh besar (Karkono, 1998:20). Menurut Yasadipura I seorang guru yang baik diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci dengan kriteria seorang pertapa yang berilmu sebagaimana kutipan

berikut: “ Tepanira kongsi raga runting, wus mangkana dennya mrih kamuksan,

datanpa tutur sirnane, kamatengen tanpa wus de pratikel ingkang lestari tapa iku minangka reragi pan amung, ilmu kang minangka ulam, tapa tanpa ilmu nora dadi, yen ilmu tanpa tapa” (Pupuh Dhandanggula V, pada 66).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tapanya sampai kurus kering, sudah demikian olehnya dapat kamuksan, tak tanpa tutur sirnanya, terlalu matang tanpa henti, oleh ajaran yang lestari, tapa itu sebagai, bumbu yang hanya, ilmu yang sebagai ulam, tapa tanpa ilmu tidak jadi, jika ilmu tanpa tapa.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa guru wajib dihormati, disembah karena gurulah yang menunujukkan hidup sempurna hingga akhir hayat, yang memberi petunjuk tentang kebaikan dan dialah yang dapat memberi nasehat sewaktu orang bersusah hati. Orang durhaka kepada guru adalah dosa yang besar. Oleh karena itu seseorang harus berbuat baik, mau mohon cinta kasih siang malam kepada guru (Karkono, 1998:20).

Segmen pertama dalam Serat Dewa Ruci menggambarkan perjalanan Bima untuk memasuki dunia akademi dalam satu “Universitas” yang Guru besarnya adalah Hyang Resi Drona. Kuliah yang diberikan mengarah kepada pencapaian hidup. Sang

Bima Sena diwajibkan mencari tirta prarwita. Usaha Bima berguru kepada Druna

tersurat dalam Serat Dewa Ruci pupuh Dhandhanggula I, pada2: “ Duk Werkudara

pruruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen angupaya , toya ingkang nucukake ,maring sariranipun, Werkudara manthuk wewarti, marang nagri Ngamarta, panggih kadang sepuh, Sira Prabu Yudhistira, kang para ri sadaya samya marengi,

munggwing ngarsaning raka”

Artinya:

Ketika berguru pada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang mensucikan, pada badannya, Werkudara pulang berkabar, kepada negeri Ngamarta, bertemu saudara tua, dialah Prabu Yudhistira, bersama para dinda sama mengiringi, dihadapan kakanda.

Dalam Serat Dewa Ruci Tirta Prawita berarti tan kena pejah (tidak dapat

mati) atau gesang langgeng (hidup abadi). Sementara oarang berpendapat bahwa tirta

pawirta bermakana air untuk mensucikan badan dan sukmanya. Baru setelah jiwa dan

raganya bersih atau suci orang dapat menyadari sejatining urip (hakekat hidup

sebenarnya) atau sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup).

Dibayangkan oleh Begawan Druna, bahwa barang siapa memilili tirta

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Karenanya ilmu kebebasan jiwa akan jadi miliknya. Dalam hubungan ini dimaknakan sebagai lambang angan-angan atau budi yang menguasai perasaan AKU, yang dilambangkan dengan tokoh Bima (Seno Sastroamidjojo, 1962:8- 9).

Resi Drona memberi petunjuk, bahwa letak Tirta Prawita berada di Gunung

Reksamuka. Menurut Resi Drona, jika Bima benar-benar ingin mensucikan hidupnya

dengan Tirta Prawita, seyogyanya membongkar Gunung Reksamuka. Reksa berarti

memelihara atau mengurusi. muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan

Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi (perjuangan

batin). Hal ini melambangkan:

1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan

badan dan jiwanya dari segala tujuan pribadi (ngicali relenging manah),

mengeyahkan rasa keinginan akan segala sesuatu, yang sama artinya dengan sepi ing

pamrih .

2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan

kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.

Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang

mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa orang yang ingin mendalami ilmu tarekat harus melakuan hal-hal yang berat,

seberta membongkar sebuah gunung.

Tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci diamanatkan bahwa sebagai murid ia demikian taat. Tanpa menghiraukan nasehat saudara-saudara, hanya teringat kepada

janji dan kesanggupan kepada gurunya (kode ksatriannya) untuk mendaptkan Tirta

Prawita, Bima segera pergi meninggalkan saudara-saudaranya. “ Saestu sumerep purwa wekasing jagad royo (sungguh akan mengetahui mengetahui awal akhirnya

alam semesta seisinya, yaitu apa yang dinamakan Sangkan Paraning Dumadi).Yen

rering rangu bade mboten sumerep sarto dumugi telengingkawruh kasunyatan”

(apabiala bersikap ragu-ragu dan gundah, maka orang pasti tiidak akan dapat mengetahui dan sampai pada inti ilmu kesempurnaan hidup). Demikian kata yang Bima ketika minta diri dari keluarga Pendawa di Ngamarta. Kutipan di atas

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengisyaratkan bahwa dalam mendalami ilmu agama, seseorang harus berbaik

sangka (khusnudz dzan), tidak boleh ada ragu-ragu, tidak takut terhadap kesulitan

serta mempunyai tekad yang bulat seperti apa yang dicontohkan Bima. Selain taat Bima juga sangat hormat kepada gurunya. Amanat tentang ajaran untuk hormat kepada guru secara tersurat dan tersirat dalam Serat Dewa Ruci terdapat dalam setiap ucapan Bima kepada Dewa Ruci yang selalu mengiyakan segala perintah, tanpa pernah menolak atau membantahnya. Sebagai wujud rasa hormatnya kepada gurunya, Bima selalu bersembah bakti kepada gurunya. Dalam berkomunikasi dengan kedua gurunya, Pendeta Durna dan Dewaruci, Bima selalu menggunakan ragam krama. Padahal sebelumnya Bima tidak pernah menggunakan ragam krama dalam berkomunikasi kepada siapapun, termasuk ibunya sendiri (Dewi Kuntitalibrata). Diantara ucapan-ucapan Bima kepada Resi Drona yang menunjukkan penghormatan

dan ketaatannya adalah: “ Arya Sena matur nembah inggih pundhi prenahe kang tirta

pawira“ (Bima menanyakan kepada Druna dimanakah letak Tirta Prawita)

Dalam ceritra Mahabarata, Adipati Karna juga mempunyai sifat dengan Bima,

Dokumen terkait