• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manunggaling Kawula Gusti

LANDASAN TEORI B. Kajian Teori

3. Manunggaling Kawula Gusti

Istilah manunggaling kawula gusti berasal dari bahasa Arab yaitu wihdatul

wujud yang berarti baginya yang ada hanya satu, sedangkan dalam konteks budaya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

khasanah Islam maupun tradisi lokal sejak zaman dahulu kala selalu rnenimbulkan

kontroversi, konsep manunggaling kawula gusti merupakan konsep yang amat rumit

dan sulit untuk dipahami, khusunya bagi kaum awam. Padahal konsep ini sangat penting untuk bisa dipahami oleh siapapun, khususnya mereka yang ingin lebih mendekatkan diri dan berserah diri kepada Allah.

Menurut Dhanu Priyo Prabowo (2003: 109) wihdatul wujud adalah upaya

manusia untuk dekat bahkan menyatu dengan Tuhan. Menurut Purwadi (2004: 9)

wihdatul wujud adalah penyatuan wujud tunggal tiada terpisah abdi dalem dengan

pencipta. Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa

bersatu dengan Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berpikir seperti apa yang dikehendaki Allah ( Mulkhan, 2000: 27).

Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa seluruh yang maujud atau ada itu

pada prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti yang tidak dapat diduakan. Hal ini satu maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk keragaman yang tampak dan kasat mata dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa seluruh hal lain di dunia tida ada kecuali gambaran atau bayangan dari Yang Satu yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan, 2000 : 34).

Menurut Simuh (2004: 47) konsep manunggaling kawula gusti diterangkan: “

Mingggah pamoring kawula lan Gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning pangilon, iya iku jenengekawula”. Yang berarti: kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang bercermin. Bayang-bayang yang bercermin itulah manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.

Paham semacam ini dalam falsafat dinamakan amtropamorfisme.

Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari kata tunggal, satu. Manungggal

berarti menyatu. Jadi manunggaling kawula gusti berarti manunggal atau menyatunya

seorang hamba dengan Penciptanya, dalam arti menyatunya kehendak dari seorang hamba dengan kehendak Penciptanya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Manunggaling kawula gusti berarti suasana batin seorang hamba yang merasa sangat cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan. Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya api dan besi, yang diantara keduanya bisa dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan. Ketika besi telah menjadi merah karena dibakar api, besi dan api telah menyatu. Siapa menyentuh api, akan terkena besi dan siapa yang memegang besi akan tersentuh api (Komaruddin Hidayat, 2010: 1,7)

Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo Prabowo (2003: 131).

Manunggaling Kawula Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi perbedaan antara yang menyembah dan yang di sembah. Menurut Jaladudin Rumi dalam Sri Muryanto

(2004 : 36), Manunggaling Kawula Gusti adalah lenyapnya kedirian, karena adanya

kesatuan (manunggal yang sempurna dengan sang kekasih, Tuhan adalah tumpuan dan harapan hidup, tiada yang lainnya.

Pada saat tercapainya puncak kemabukan cinta, maka akan terjadi perkawinan

jiwa antara sang Khaliq dengan makhluknya, dimana terjadi sintesa antara pecinta

dan yang dicinta yang terwujud dalam kondisi bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan), menurut Rumi antara manusia dan Tuhan tidak terpisahkan lagi, karena

sudah manunggal, tapi tidak berarti manusia telah menjadi atau sama dengan Tuhan,

karena Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto, 2004 : 36-37).

Manunggaling Kawula Gusti dalam kalangan sufi disebut hulul menurut pendapat Abu Bakar Al-Thusi dalam Sri Muryanto (2004 : 48) ialah paham dimana Tuhan memiliki tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua ungkapan kemanunggalan tersebut

tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di dalam pertemuan manusia dengan Tuhan tersebut manusia menjadi Tuhan. Berbagai istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan pengalaman mistis, karena manusia diserbu oleh keagungan dan keindahan Tuhan serta sedemikian dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya

(fana)”

Pengertian dan konsep manunggaling kawula gusti dapat dengan mudah

dipahami dan sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia dikatakan Tuhan tetapi bukan Tuhan, dikatakan bukan Tuhan tetapi kelihatnnya sama dengan Tuhan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ungkapan manunggaling kawula gusti, tidaklah dimaksudkan sebagai hamba sama

dengan Tuhan (Dhanu Priyo prabowo, 2003 : 137). Kesatuan manusia dengan Tuhan

dalam konsep manunggaling kawula gusti sulit dirumuskan dengan kata-kata yang

tepat, yang memiliki pengertian tunggal dan jelas.

Konsep manunggaling kawula gusti hanya dapat diterangkan dengan rumusan

kata-kata yang tegas mengarah kesuatu pengertian.

Dari beberapa pengertian tentang konsep wihdatul wujud dapat disimpulkan

bahwa wihdatul wujud adalah suatu keadaan di mana seseorang merasa bersatu

dengan Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan Tuhan dalam konsep

manunggaling kawula gusti tidak dimaksudkan hamba sama dengan Tuhan. Berbagai

istilah itu harus dipandang sebagai pengungkapan mistik, karena manusia terlena oleh keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya (fana).

Menurut Simuh (1988 : 362), ada beberapa istilah yang menunjukkan

kesaman dengan ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat, ilmu kasampurnaan, ilmu

kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam ilmu ma’rifat terdapat pengetahuan yaitu ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, disini diartikan mengenala

kepada Allah baik sifat-Nya, dan asma-Nya pula. Dikenal pula ilmu kasempurnaan,

di dalam ilmu ini membuat manusia menjadi lebih sempurna, ini terpengaruh oleh

paham tasawuf bahwa penghayatan ma’rifat kepada Tuhan disebut insan kamil,

selanjutnya ilmu sangkan paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka mengenal asal

kejadian manusia yang merupakan tempat kembalinya dikemudian hari. Dengan kata lain manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepada-Nya. Dengan ini

Tuhan merupakan sangkan paran dumadi atau asal dan tempat kembali semua

kejadian

Ajaran manunggaling kawula gusti berkembang pesat di pulau Jawa yang

pertama kali mengajarkan ini ialah Syekh Siti Jenar. Beliau adalah salah satu anggota

Wali Sanga. Beliau memperoleh ilmu manunggaling kawula gusti dari wejangan

ma’rifat dari Sunan Bonang. Dalam perkembangannya ajaran manunggaling kawula

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

politik pasca rutuhnya kerajaan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru Islam Demak Bintoro, pada waktu itu kedudukan Wali Sanga sangat dominan dalam struktur pemerintahan kerajaan Demak yaitu sebagai penasehat raja. Dengan

suburnya ajaran manunggaling kawula gusti ternyata menimbulkan stabilitas

keamanan kerajan menjadi goyah, ini disebabkan banyak pengikut atau murid Syekh Siti Jenar melakukan kekacauan. Atas dasar ini maka Wali Sanga mengadakan musyawarah di Mesjid Agung Demak, untuk membahas ajaran Syekh Siti Jenar yang

terbukkti sangat menyimpang dari syariat agama, terutama yang paling utama shalat.

Oleh karena itu pihak Wali Sanga atas perintah Raja Demak Raden Patah, akhirnya menghukum mati Syekh Siti Jenar pada dasarnya untuk menentang kekuasaan formal kerajaan Demak, sehingga mengakibatkan pihak kerajaan mencap Syekh Siti Jenar sebagai pemberontak. Gerakan Syekh Siti Jenar polanya mengembangkan geraka mistis kultural untuk mengimbangi hegemoni atau dominasi struktural kerajaan Demak yang didukung oleh majelis ulama Wali Sanga. Pada waktu itu konflik yang berkembang menjurus ke arah konflik politik (intrik sosial-spiritual) dan pertentangan kelas antara abangan dan santri. Karena dianggap membahayakan stabilitas dan keamanan kerajaan, maka atas persetujuan Wali Sanga ajaran dari Syeh Siti Jenar dianggap sesat (Purwadi, 2004 : 95).

Gerakan Syekh Siti Jenar dengan sosiol-spiritual kemudian dilanjutkan ketika Sunan Panggung, Ki Bebeluk, dan Syekh Amonggrogo juga dihukum mati karena

juga mengajarkan ajaran manunggaling kawula gusti. Pola gerakan hampir sama

yaitu sebagai pihak oposisi untuk mengimbangi pemerintahan kekusaan kerajaan yang berkuasa pada waktu itu. Adanya pertentangan, dengan mengatasnamakan budaya tandingan terhadap hegemoni kekuasaan formal yamg mengusung isu

manunggaling kawula gusti, kebanyakan dilukiskan dengan bentuk karya sastra yang

indah. Kebanyakan ajaran manunggaling kawula gusti merupakan inti dalam karya

sastra Islam Kejawen yang ada waktu itu sangat berkembang pesat di kerajaan Mataram Surakarta. Karya sastra biasanya ditulis dengan bahasa yang indah. Paham

manunggaling kawula gusti juga digunakan legitimasi oleh raja yang memerintah,

dengan simbol raja titising dewa dan agama ageming aji. Dari kata-kata ini dapat

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang saat ini berbeda dalam konstalasi politik kerajaan sebelumnya (Demak dan Pajang), yang dalam struktur kekuasasannya para Wali Sanga dan ulama

mendominasi setiap kebijaksanaan kerajaan. Ajaran manungaling kawula gusti juga

diadopsi oleh para pujangga istana, yang kebanyakan dijadikan inti karya sastranya

yang dijiwai dengan ajaran manunggaling kawula gusti. Disini Serat Dewa Ruci

sebagai salah satu karya kepustakaan Islam Kejawen, ajaran manungaling kawula

gusti dijadikan inti ma’rifat dari ajaran delapan awali tanah Jawa.

Dokumen terkait