7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Nyeri
2.1.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah suatu yang menyakitkan tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya . Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang bila seorang pernah mengalaminya. Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat didentifikasi. Meskipun beberapa nyeri dihubungkan dengan status mental atau psikologis, pasien secara nyata merasakan nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya membayangkan saja. Tetapi sensasi nyeri yaitu , akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimulasi emosional (Potter &
Perry, 2010).
Nyeri pemasangan infus merupakan nyeri yang diakibatkan oleh tindakan invasive. Nyeri pemasangan infus dapat menyebabkan rasa nyeri pada anak yang jika tidak segera ditangani dapat menimbulkan ketakutan, kegelisahan, menangis dan anak menjadi stress berlebihan. Akibat penusukan pada IV , yang dapat menimbulkan nyeri dan berkembang menjadi trauma pada anak kerena dapat menyebabkan nyeri akut (Prasetyawati, 2012).
Beberapa studi nyeri pada anak yang selalu menjadi keluhan utama saat pemasangan infus, didapatkan bahwa nyeri yang dikeluhkan oleh anak selalu diabaikan sehingga penanganan yang diberikan tidak adekuat (Sekriptini, 2013).
2.1.2 Klasifikasi Nyeri A. Nyeri berdasarkan Lokasi 1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktifitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan resptor khusus yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013).
Nyeri Nosiseptif dibagi menjadi :
a. Nyeri Somatik : berasal dari tulang, sendi, otot, kulit, atau jaringan penghubung. Biasanya kualitas nyeri ini ditunjukkan dari nyeri yang dirasakan atau denyutan yang terokalisasi dengan baik (Potter & Perry, 2010).
b. Nyeri visceral: Nyeri visceral ialah nyeri yang terjadi di dalam organ tubuh manusia, seperti di dalam abdomen , lambung dan jantung. Nyeri visceral biasanya juga disertai dengan mual dan muntah pada seseorang(Farmer, 2014).
2. Nyeri Alih
Nyeri alih merupakan nyeri yang tidak hanya berfokus pada satu tempat, akan tetapi nyeri dapat terasa pada bagian tubuh yang terpisah. Salah satu contoh adalah ketima seseorang mengalami penyakit jantung dan merasakan nyeri di dada, maka nyeri akan menjalar kebagian leher, punggung dan lengan kiri(Potter &Perry, 2010).
3. Nyeri superfisial
Nyeri superfisial merupakan nyeri yang berada pada lapisan kulit yang disebabkan oleh bahan kimia atas benda tajam, sehingga seseorang merasa seperti terbakar pada bagian kult tersebut(Avila et al, 2017).
4. Nyeri Idiopatik
Nyeri Idopatik adalah nyeri kronis dari ketiadaan penyebab fisik atau psikologis yang dapat didentifikasi atau nyeri yang dirasakan sebagai berlebihnya tingkat kondisi patologis, suatu organ. Contoh dari nyeri idiopatik adalah sindrom nyeri lokal kompleks (Compleks Regional Pian Syndrome /CRPS) (Potter & Perry, 2010).
5. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri neuropatik terasa seperti terbakar, kesemutan dan hipersensitif terhadap dingin dan sentuhan. Nyeri spesifik terdiri beberapa macam, antara lain, nyeri somatik, nyeri yang umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit(superficial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjahar (referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya cidera organ visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ viscera dalan abdomen dan dada (Potter & Perry, 2010).
B. Nyeri Berdasarkan Durasi 1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah suatu nyeri yang bersifat terlokalisir dan biasanya terjadi secara tiba- tiba. Umumnya berkaitan dengan cedera fisik. Nyeri terasa tajam seperti ditusuk,disayat,
dicubit, dan pola serangan jelas. Nyeri ini merupakan peringatan adanya potensial kerusakan jaringan yang membutuhkan reaksi tubuh yang diperintah oleh otak dan merupakan respon syaraf simaptis. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang tanpa pengobatan setelah area yang nusuk pulih kembali (Prasetyo, 2010).
2. Nyeri kronis
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlansung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan (onset) yang ditetapkan dengan tetap dan sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi sinyal yang sangat penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri kronis biasanya menjadi maasalah dengan sendirinya. Nyeri akut dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu (Muttaqin, 2011)
1. Nyeri Kronis Tak teratur (Episodik)
Nyeri yang sesekali terjadi dalam jangka waktu tertentu disebut nyeri episodic. Nyeri berlansung selama beberapa jam , hari atau minggu. Sebagai contoh, sakit sebelah / migraine dan nyeri yang berhubungan dengan penyakit talasemia (Gruener &
Lande,2006 dalam Potter & Perry,2010).
2. Nyeri Akibat Kanker
Agency for Healthcare Research and Quality ( AHRQ) melaporkan bahwa hamper 90%
klien dapat mengontrol nyeri dalam arti yang sederhana. Beberapa klien dengan penyakit kanker mengalami nyeri akut atau kronis. Nyeri tersebut terkadang bersifat nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kanker biasanya disebabkan oleh berkembangnya tumor dan berhubungan dengan proses patologis, prosedur invasive , toksin-toksin dari pengobatan, infeksi, dan keterbatasan secara fisik. Klien merasakan nyeri di lokasi tepat dimana tumor berada atau lokasi yang berada jauh dari tumor, yang mengindefikasikan adanya nyeri. Hampir 70-90% Klien dengan kanker stadium lanjut mengalami nyeri. Enam puluh persen dari mereka melaporkan adanya nyeri tingkat sedang sampai berat (Potter & Perry,2010).
1.1.3 Respon Tubuh Terhadap Nyeri
Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya akan menimbulkan respon terhadap tubuh. Respon tubuh terhadap nyeri merupakan terjadinya
reaksi endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stres (Ramadhan, 2018).
Tabel 2.1 Respon Perilaku Nyeri
Perilaku Non Verbal yang Mengidentifikasi Nyeri
Expresi Wajah Pucat dan tegang
Memejamkam mata Tonjolan alis Meringis Menekuk muka Menggelutkan gigi Mengeryitkan dahi Mengigit bibir
Respon Fisik Menendang
Menghentikan tindakan Melegkungkan badan dan kaku Gemetar
Berpelukan Gelisah Waspada
Tegang pada otot Mondar – mandir Meremas tangan
Menolak mengubah posisi Perilaku Verbal yang Mengidentifikasi Nyeri
Audio Menangis Menjerit
Berkata Aduh, Auw, Sakit Mengadu
Mengerang Menggerutu Terengah
2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Nyeri A. Faktor Fisiologis
a) Kelemahan (Fatigue)
Kelemahan meningkatkan presepsi terhadap nyeri dan menurunkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, presepsi terhadap nyeri akan lebih besar. Nyeri terkadang jarang dialami stelah tidur atau istirahat cukup daripada di akhir yang panjang ( Potter & Perry, 2010).
b). Usia
Usia memilii peranan penting dalam mempersiapkan rasa nyeri. Usia akan memengaruhi seseorang tersebut terhadap sensasi nyeri baik persepsi maupun ekspresi.
Perkembangan usia,baik anak-anak, dewasa, dan lansia akan sangat berpengaruh terhadapa nyeri yang dirasakan. Usia anak-anak akan sulit menginterpresentasikan dan melokalisakan nyeri yang dirasakan karena belum dapat mengucapkan kata-kata dan mengungkapkan secara verbal maupun mengekpresikan nyeri yang dirasakan sehingga nyeri yang dirasakan biasanya akan diinterpresentasikan kepada orang tua atau tenaga kesehatan (Zakiyah<2015).
b) Gen
Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa informasi genetic yang diturunkan dari orangtua memungkinkan adanya peningkatan atau penurunan sensivitas seseorang terhadap nyeri. Gen yang ada di dalam tubuh kita dibentuk dari kombinasi gen ayah dan gen ibu. Nantinya , gen yang paling dominanlah yang akan menentukan kondisi fisik dan psikologis ( Andarmoyo,2013).
B. Faktor Psikologis
Tingkay dan kualitas nyeri yang diterima klien berhubungan dengan arti nyeri tersebut. Kecemasan kadang meningkatkan presepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasaan cemas. Respon emosional pada nyeri melibatkan girus cingulat anterior dan korteks prefrontal ventral kanan. Sirkuit serotonin dan norepinefrin juga terlibat dalam modulasi stimulus sensoris, yang mungkin memperngaruhi bagaimana depresi dan pengobatan antidepresan berefek pada presepsi nyeri (Khasanah, 2012).
C. Faktor Sosial
a) Keluarga dan Dukungan Sosial
Meski nyeri masih terasa, tetapi kehidupan keluarga ataupun teman terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang menyebabkan stress berkurang. Klien dan kelompok sosial budaya berbeda memili,I harapan yang berbeda tentang orang, tempat mereka menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri , klien yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Apabila tidak ada keluarga atau teman, seringkali pengalamam nyeri membuat klien semakin tertekan(Potter & Perry,2010).
b). Perhatian
Tingkatan dimana klien memfokuskan perhatian terhadap nyeri yang dirasakan memperngaruhi presepsi nyeri. Meningkatkannya perhatian berhubungan dengan kurangnya respon nyeri (Potter & Perry, 2010).
c ) Pengalaman sebelumnya
Frekuensi terjadinya nyeri dimana dimasa lampau cukup sering tanpa adanya penanganan atau penderitaan adanya nyeri menyebabkan kecemasan bahkan ketakutan yang timbul secara berulang. Jika orang tersebut belum merasakan nyeri sebelumnya maka akan tersiksa dengan keadaan tersebut. Sebaliknya , jika seseorang sudah mengalami nyeri yang sama maka akan dianggap biasa, karena sudah paham tindakan apa yang dilakukan untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut(Andarmoyo,2013).
d). Ansietas
Seseorang yang mengalami nyeri justru akan berdampak buruk bagi psikologis seseorang. Nyeri juga dapat menyebabkan seseorang merasa cemas dan takut dengan kondisi yang dialami(Andarmoyo, 2013).
e) Faktor spiritual
Spiritual menjangkau antara agama dan mencakup pencarian secara aktif terhadap makna situasi dimana seseorang menemukan dirinya sendiri. Spiritual membuat seseorang mencari tahu makna atau arti dari nyeri yang dirasakan, seperti mengapa nyeri ini terjadi pada dirinya, apa yang telah dilakukan selama ini, dan lain-lain (Potter & Perry,2010).
f) Faktor Koping
Mekanisme koping pada seseorang akan berpengaruhi terhdap sensasi nyeri yang dirasakan. Seseorang dengan lokus kendali internal akan mempersepsikan diri sebagai seseorang yang bisa mengendalikan seseuatu seperti nyeri. Sebaliknya seseorang dengan lokus kendali eksternal akan susah dalam mengatasi sensasi nyeri yang dirasakan (Zakiyah,2015)
2.1.5 Mekanisme Nyeri 1. Teori Gerbang
Teori Gate-Kontrol Mezack dan Wall dalam Potter & Perry (2012), teori pertama yang menjelaskan bahwa nyeri memiliki komponen emosional dan kognitif serta sensasi secara fisik. Mereka juga megusulkan bahwa mekanisme “gerbang” yang berkolasi di sepanjang sistem saraf pusat dapat mengatur atau menghambat implus-implus nyeri. Teori ini mengatakan bahwa implus-omplus nyeri akan melewati gerbang dalam posisi terbuka dan akan menghentikan ketika gerbang ditutup.
Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan sebstansi P untuk menghantarkan impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu , terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seseorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan
tersebut dank lien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasu nyeri. Alur saraf dosenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan 19 menghambat pelepasan subtansi P (Potter & Perry, 2010).
2. Teori Spesifisitas
Bagian tertentu dari sistem saraf berperan dalam membawa nyeri dari reseptor nyeri ke pusat nyeri di sistem saraf pusat. Sejumlah serabut saraf yang hanya (atau secara maksimal) mengadakan respons terhadap stimulus yang berada dalam kisaran noksius.
Namun ,keberadaan apa yang dinamakan sistem nyeri itu sendiri tidak bisa menerangkan dengan baik semua tampilan nyeri klinik maupun eksperimental. Nyeri alih (lokasi nyeri sering salah ditentukan) dan nyeri patologik (misalnya neuralgia trigeminus yang timbul hanya oleh stimulus noksius ringan) serta efek faktor emosi dan motivasional masih mememrlukan penjelasan. Penjekasan 13 yang terbaik mencakup mekanisme seperti sumasi(summation) dan inhibisi yang bekerja pada pada suatu gerbang (gate) yang mengendalikan perjalanan masukan yang potensial menimbulkan nyeri (Walton &
Torabinejad, 2008).
2.2 Manajemen Nyeri A. Pendekatan Farmakologi
Analgesik merupakan metode penanganan nyeri yang paling umum dan sangat efektif. Pemberian obat analgesic, yang dilakukan guna mengganggu atau memblokir transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri. Jenis analgesiknya adalah narkotik dan bukan narkotik (Hidayat, 2014).
Ada tiga tipe angkatan analgesic (Potter & Perry, 2010), yaitu:
a) Non-opoid (asetaminofen dan obat anti inflamasi) b) Opoid (Narkoyik)
c) Koanalgesik (variasi dari pengobatan yang meningkatkan analgesik atau memiliki kandungan analgesic yang semula tidak diketahui).
B. Pendekatan Non-Farmakologi a) Distraksi
Distraksi merupakan teknik nonfarmakologis yang paling umum digunakan untuk manajemen perilaku selama tindakan. Distraksi adalah teknik mengalihkan perhatian
pasien dari hal yang dianggap sebagai prosedur yang tidak menyenangkan. Proses distraksi melibatkan persaingan untuk mengalihkan perhatian antara sensasi yang sangat menonjol seperti nyeri dengan fokus yang diarahkan secara sadar pada beberapa aktivitas pemprosesan informasi lainnya. Pengembangkan teori yang menekankan pada fakta bahwa kapasitas manusia untuk memperhatiakan terbatas, dalam teori ditunjukkan bahwa seorang individu harus berkonsenstrasi pada rangsangan menyakitkan untuk merasakan rasa sakit, oleh karena itu, persepsi rasa sakit menurun ketika perhatian seseorang terdistraksi dari stimulus (Panda,2017).
Distraksi adalah sistem aktivitas yang kompleks menghambat stimulus nyeri apabila seseorang menerima input sensorik yang berlebih. Dengan adanaya stimulus sensorik, seseorang dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan adanya nyeri (Potter & Perry, 2010).
b) Masase dan Stimulasi Kutaneus
Stimulus kutaneus merupakan stimulasi pada kulit untuk mengurangi nyeri. Stimulus kutaneus memberikan klien rasa kontrol terhadap gejala nyeri. Penggunaan yang tepat dari stimulus kutaneus membantu mengurangi ketegangan otot yang meningkatkan nyeri (Potter &
Perry, 2010).
Masase yaitu pijatan sangat efektif dalam memberikan relaksasi fisik dan mental, mengurangi nyeri, dan meningkatkan keefektifan pengobatan nyeri. Masase pada punggung, bahu, dan kaki selama 3 sampai 5 menit dapat merelaksasikan otot dan memberikan istirahat yang tenang dan nyaman (Potter & Perry, 2010).
c) Effluarge Massage
Effluarge adalah bentuk masase dengan menggunakan telapak tangan yang memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh dengan arah sirkular secara berulang (Reeder dalam Parulian, 2014). Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola gerakan melingkari abdomen, dimulai dari abdomen bagian bawah di atas simphisi pubis, arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri kemudian turun ke umbilicius dan kembali ke perut bagian bawah diatas simpisi pubis, bentuk pola gerakannya seperti “ kupu-kupu”. Effleuarage merupakan teknik masase yang aman, mudah untuk dilakukan, tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya, tidak memiliki efek samping dan dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011).
d). Terapi music
Musik mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri dan membangun respon relaksasi.
Klien dapat melakukan (memainkan alat musik atau bernyanyi) atau mendengarkan musik. Musik menghasilkan suatu keadaan dimana klien sadar penuh melalui suara, henik,jarak, dan waktu.
Klien setidaknya perlu mendengarkan selama 15 menit agar mendapatkan efek teraupiotik.
Pengguna earphone membantu klien untuk lebih berkonsentrasi terhadap suara musik agar tidak terganggu, dengan meningkatkan volume, suara, sementara itu juga menghindar dari klien atau staf perawat yang lain dirasa mengganggu (Potter & Perry, 2010).
e) GIM (Guided Imaagery Music)
Relaksasi guided imagery merupakan salah satu metode penatalaksaan nyeri non farmakologis yang dapat digunakan oleh perawat. Hal ini bekerja dengan mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif (Potter & Perry, 2010). Adanya perubahan motivasi afektif akan meningkatkan mekanisme koping klien terhadap nyeri. Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersiapkan diri mereka sebagai individual yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Potter & Perry, 2010).
f) Kompres Hangat
Kompres hangat dapat menurunkan nyeri dengan memberikan energy panas melalui proses konduksi, dimana panas yang dihasilkan akan menyebabkan vasodilitasi yang berhubungan pelebaran pembuluh darah lokal. Kompres hangat dapat memberi rasa hangat untuk mengurangi nyeri dengan adanya pelebaran pada darah yang mampu meningkatkan aliran darah lokal dan memberikan rasa nyaman (Price, 2005). Penelitian Jolly, Zgonis, dan Hendrix (2005) menjelaskan bahwa pemberian kompres hangat selama 5menit sebelum injeksi Glatirames Asetat, sebagaian besar pasien dapat mentoleransi rasa nyeri selama penyuntikan dan tidak ditemukan adanya inflamasi pada bekas suntikan. Terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantara saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit (Indriyani, Hayati, 2013).
2.3 Pemasangan infus
2.3.1 Pengertian pemasangan infus
Pemasangan infus merupakan prosedur infasif yang sering dilakukan pada perawatan anak di prumah sakit (Wang, Sun, & Chen, 2008). Adanya prosedur penusukan vena dalam pemasangan infus dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan nyeri pada anak ( Wang,Sun, &
Chen, 2008).
Pemasangan infus merupakan salah satu intervensi yang diberikan pada bayi dan anak yang mendapatkan terapi injeksi via infus misalnya, post operasi, atau pada anak yang mengalami gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit karena diare, demam berdarah,luka bakar dan penyakit lainnya yang membutuhkan cairan pengganti dari cairan tubuhnya yang hilang. Tindakan ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan ketakutan pada anak (Mediani, 2005).
Pemasangan infus atau terapi intravena adalah proses memasukkan jarum abocth ke dalam pembuluh darah vena yang kemudian disambungkan dengan selang infus dan di alirkan cairan infus (Rosyidi, 2013).
2.3.2 Tujuan pemasangan infus
Pemasangan infus bertujuan memberikan sejumlah cairan ke dalam tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral. Memperbaiki kesimbangan asam-basa, memberikan volume komponen darah, memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan ke dalam tubuh, monitor tekanan vena sentral (CVP), dan memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan (Hidayat, 2008).
2.3.3 Lokasi pemasangan infus
Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subkutan dan merupakan akses paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basilica, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika,vena sefalika,vena kubital median,vena median lengan bawah, vena radialis), dan permukaan dorsal(vena safena magna, ramusdorsalis).
Tempat insersi/fungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena-vena superfisial di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah tangan. Apabila memungkinkan semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak dominan (Potter & Perry, 2005). Nyeri yang terjadi ketika dilakukannya pemasangan infus dikarenakan terjadinya peradangan pada dinding pembuluh darah vena atau balik (Flebitis), kerusakan jaringan dan infeksi.
2.3.4 Proses Fisiologi Nyeri Pada Pemasangan Infus
Proses nyeri diawali dengan stimulus nosiseptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri (Sudoyo dkk, 2009). Rangkaian proses perjalanan yang menyertai
antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektofisiologi (Sekriptini, 2013). Proses terjadinya nyeri diawali dengan adanya stimulus nosiseptor oleh stimulus noxious yang diubah menjadi potensi aksi. Potensi aksi tersebut ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri, yaitu ke kornu dorsalis medula spinalis, neuron aferen primer pada kornu dorsalis bersinaps dengan neuron susunan saraf pusat (Potter & Perry, 2005). Setelah ke saraf pusat, jaringan neuron tersebut akan naik ke atas di medulla spinalis menuju batang otak dan talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang berhubungan dengan respon persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan talamus sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres.
Stimulasi pada sistem saraf otonom yang terjadi yaitu pada sistem saraf simpatis. Respon fisiologis yang terjadi adalah peningkatan frekuensi pernapasan dan peningkatan frekuensi denyut jantung (Potter & Perry, 2005). Perkembangan anak usia toodler menurut Frakenburg, et al., (1981) dalam Soetjiningsih, et al. (2002) melalui DDST (Denver Developmental Screening Test)
Perkembangan merupakan bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar , gerak halus, Bahasa, serta sosialisasi dan kemadirian. Dalam masa perkembangan anakj adalah masa balita. Perkembangan dasar yang berlansung pada masa balita akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. (Departemen Kesehatan RI, 2010). Menurut (Soetjiningsih, 2013) faktor yang mempengaruhi perkembangan pada anak yaitu : Gizi ibu pada waktu hamil, Gizi ibuk yang buruk sebelum terjadi kehamilan, maupun pada waktu hamil lebih sering mendapatkan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), disamping itu dapat pula menyebabkan hambatan perkembangan otak janin yang mempengaruhi kecerdasan emosi. (Widyastutik dan Widyani, 2010).
2.4 Konsep Anak Usia Sekolah 2.4.1 Pengertian Anak Usia Sekolah
Anak sekolah dasar yaitu anak yang berusia 6-12 tahun, memiliki fisik lebih kuat yang mempunyai sifat individual serta aktif dan tidak bergantung dengan orang tua. Anak usia sekolah ini merupakan masa dimana terjadi perubahan yang bervariasi pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang akan mempengaruhi pembentukan karakteristik dan kepribadian anak.
Periode usia sekolah ini menjadi pengalaman ini anak yang dianggap mula bertanggung jawab atas perilakunya sendiri dalam hubungan dengan teman sebaya, orang tua dan lainnya. Selain itu usia sekolah merupakan masa dimana anak memperoleh dasar-dasar pengetahuan dalam menentukan keberhasilan untuk menyesuaikan diri pada kehidupan dewasa dan memperoleh keterampilan tertentu (Diyantini,et al. 2015).
2.4.2 Konsep nyeri pada Anak
Nyeri pada anak adalah suatu respon fisiologis pada anak yang berkaitan dengan aktivasi sistem saraf simpatik , dimana menyebabkan pupil dilatasi , berkeringat , perubahan tanda vital seperti peningkatan denyut nadi ; tekanan darah ; dan pernapasan (Mediani dkk , 2015). Menurut Mediani (2013), respon fisiologis nyeri anak menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap nadi dan respirasi. Respon perilaku nyeri pada anak berupa penolakan , menangis , serta kekhawatiran terhadap dampak prosedur keperawatan dalam serangkaian episode nyeri (Sekriptini, 2013). Serangkaian episode nyeri tersebut dialami anak secara berulang-ulang Dan menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut mengakibatkan anak mengalami trauma dalam menerima intervensi keperawatan ( Wong, 2008).