• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DALAM TINJAUAN HAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Derajat Gelar S-2 Program Studi Magister Ilmu Agama Islam

Disusun oleh : AKHMAD DHAELAMI NIM : 201320290211023

DIREKTORAT PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Oktober 2018

(2)

i

PERNIKAHAN BEDA AGAMA

DALAM TINJAUAN HAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

AKHMAD DHAELAMI NIM. 201320290211023

Telah disetujui

Pada hari/tanggal : Rabu, 17 Oktober 2018

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si Moh. Nurhakim, Ph.D NIDN : 0722126701 NIDN : 0701056701

Direktur Ketua Program Studi

Program Pascasarjana Magister Ilmu Agama Islam

Akhsanul In’am, Ph. D Moh. Nurhakim, Ph.D NIDN : 0701056701

(3)

ii

TESIS

AKHMAD DHAELAMI NIM. 201320290211023

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada hari/tanggal, Rabu/17 Oktober 2018 dan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kelengkapan

memperoleh gelar Magister Ilmu Agama Islam di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Ketua / Penguji : Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.SI Sekretaris / Penguji : Moh. Nurhakim, Ph.D

Penguji : Prof. Dr. Ishomuddin, M. Si Penguji : Dr. Khozin, M.SI

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : AKHMAD DHAELAMI

NIM : 201320290211023

Program Studi : Magister Ilmu Agama Islam Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :

1. TESIS dengan judul : PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM TINJAUAN HAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Adalah karya saya dan dalam naskah Tesis ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dalam daftar pustaka.

2. Apabila ternyata dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur- unsur PLAGIASI, saya bersedia Tesis ini DIGUGURKAN dan GELAR AKADEMIK YANG TELAH SAYA PEROLEH DIBATALKAN, serta diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

3. Tesis ini dapat dijadikan sumber pustaka yang merupakan HAK BEBAS ROYALTY NON EKSKLUSIF.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Malang, 10 Oktober 2018 Yang menyatakan,

AKHMAD DHAELAMI

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan selain nikmatnya yang telah meberikan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya kepada setiap hambanya di bumi ini. Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan dengan nikmat kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT berikan kepada penulis hingga terselesaikan Tesis ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Rasullullah SAW yang mengajarkan untuk hidup Bahagia dijalan yang lurus melalui agama Islam.

Selama penyusunan Tesis ini mulai awal sampai dengan penyelesaian bukanlah hal mudah. Penulis menyadari bahwa penyusunan Tesis ini tidak akan berhasil tanpa adanya ketekunan, bimbingan, motivasi serta bantuan dari semua pihak. Untuk itu penulis, mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta dan tersayang yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan nasihatnya serta segenap daya dan upayanya hingga kini penulis dapat menyelesaikan tugas akhir di Pendidikan jenjang S2 ini.

2. Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu di kampus putih tercinta ini.

3. Dr. Fauzan, M.Pd selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Malang.

4. Akhsanul In’am, Ph.D selaku Direktur Direktorat Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang.

5. Moh. Nurhakim, Ph.D selaku Ketua Prodi Magister Ilmu Agama Islam.

6. Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.SI selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penyusunan Tesis.

7. Segenap Bapak / Ibu Dosen dan Staff di Lingkungan Program Studi Magister Ilmu Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan dorongan dan motivasi untuk dapat segera menyelesaikan S2.

8. Seluruh rekan-rekan seangkatan yang telah mendukung satu sama lain dan selalu memberikan semangat.

(6)

v

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga penulisan Tesis ini dapat bermanfaat dalam mengebangkan ilmu bagicivitas akademik dan juga bagi khalayak lainya.

Malang, 10 Oktober 2018 Penulis,

(7)

vi ABSTRAK

Akhmad Dhaelami (akhmaddhaelami@gmail.com) : Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan HAM dan Kompilasi Hukum Islam. Dosen Pembimbing 1 : Prof.

Dr. Syamsul Arifin, M.Si. (NIDN : 0722126701), Dosen Pembimbing 2 : Moh.

Nur Hakim, Ph.D. (NIDN : 0701056701).

Pernikahan sesungguhnya tidak hanya terbatas pada pemuasan kebutuhan seksual.

Namun lebih dari itu, pernikahan sebagai media yang menyatukan kedua belah keluarga. Atas dasar inilah kemudian para ulama –dengan berdasar pada sekian argumen normatif– menentukan kriteria sempurna termasuk masalah agama bahkan menurut ulama Malikiyah faktor agamalah satu-satunya kriteria yang menjadi ukuran kesempurnaan seseorang. Logika inilah kemudian yang dijadikan alasan Kompilasi Hukum Islam dalam melarang terjadinya pernikahan beda agama. Tentunya, ketentuan tersebut telah membatasi kebebasan seseorang dalam memilih calon pasanganya. Melalui kajian library research, ternyata Hak Asasi Manusia juga memungkinkan untuk dijadikan pembenar terjadinya pernikahan beda agama karena pada dasarnya Hak Asasi Manusia hanya ingin mewujudkan kehidupan keluarga yang harmonis, dan Kompilasi Hukum Islampun menginginkan hal yang sama yaitu pernikahan yang sakinah mawadah wa rohmah,dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 5 menunjukkan diperbolehkanya seorang laki-laki muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab sehingga dengan demikian ada kesamaan interseksi hukum daripada KHI dan HAM, maka sesungguhnya tidak ada pelarangan dalam pernikahan beda agama. Kesamaan hukum tersebutlah yang menjadi pembahasan kali ini.

Kata Kunci : Nikah, Kompilasi Hukum Islam, HAM

(8)

vii DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Surat Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Abstrak ... vi

Daftar Isi ... vii

1. Pendahuluan ... 1

2. Kajian Pustaka ... 3

2.1. Penelitian Terdahulu ... 3

2.2. Konsep Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 4

2.3. Konsep Beda Agama Menurut Hak Asasi Manusia ... 7

2.4. Konsep Beda Agama Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 ... 8

2.5. Konsep Beda Agama Menurut 4 Mazhab ... 9

3. Metode Penelitian ... 8

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 11

3.2. Sumber Data ... 11

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 11

3.4. Teknik Analisa Data ... 12

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 14

4.1. Pernikahan Beda Agama Dalam Tinjauan HAM ... 14

4.2. Pernikahan Beda Agama Dalam Kompilasi Hukum Islam ... 18

4.3. Interseksi Antara HAM dan Kompilasi Hukum Islam ... 20

5. Penutup ... 25

5.1. Kesimpulan ... 25

5.2 Saran ... 25

Rujukan ... 26

(9)

1 1. PENDAHULUAN

Setiap manusia pasti membutuhkan manusia yang lainnya, hal itu dikarenakan manusia adalah makhluk sosial dalam arti bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri dalam menjalani kehidupan.

Pada dasarnya manusia ingin berkumpul dan hidup bersama dengan manusia yang lainnya baik dalam lingkup kecil yaitu sebuah keluarga yang terbentuk setidaknya oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Untuk membentuk suatu keluarga tersebut, maka seorang laki-laki dan seorang perumpuan mengawalinya dengan sebuah ikatan yang disebut dengan pernikahan.

Pernikahan merupakan ikatan sakral yang mana dalam ikatan tersebut tidak hanya dalam artian ikatan lahir atau jasmani saja melainkan juga meliputi ikatan rohani yang berdasarkan kepada Tuhan yang Maha Esa. Hal tersebut sesuai dalam rumusan yang terkandung dalam Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(UU perkawinan tahun 1974 no.1 pasal 1).

Melihat begitu penting dan sucinya pernikahan maka dari itu sangat diperlukan peraturan yang mengatur secara jelas dan tegas dalam sebuah negara.

Sehingga terciptanya sebuah undang-undang. Oleh sebab itulah pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang no 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan.

Dan ketentuan dalam melaksanakan Undang-Undang tersebut ada dalam Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Dan untuk pernikahan beda agama ada aturan dari Presiden tahun 1991 dalam kompilasi hukum Islam.

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai etnis, budaya, suku, ras dan agama sehingga dalam kondisi seperti itulah yang memicu adanya pernikahan antar etnis, golongan maupun agama yang berbeda dan yang banyak mengundang perdebatan dikalangan masyarakat adalah pernikahan beda agama. Dengan pernikahan antar agama akan terjadi suatu perbedaan yang prinsip sehingga akan terjadi masalah di kemudian hari, baik itu dalam permasalahan anak, harta waris dan lain sebagainya. Dikarenakan ketakutan itulah banyak pihak yang menentang pernikahan beda agama, bagi kaum Muslim sendiri setelah

(10)

2

adanya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 44, pernikahan campuran beda agama, baik itu laki-laki Muslim dengan perempuan non muslim maupun sebaliknya telah dilarang secara penuh.

Di dalam Al-Qur’an sendiri juga secara tegas telah melarang pernikahan laki-laki Muslim maupun muslimah dengan laki-laki maupun wanita musyrik, hal ini sebagaimana yang telah tercantum pada surat al Baqarah ayat 221, dan surat al Mumtahanah ayat 10. Namun pada surat yang lain dalam al Qur’an terdapat izin bagi laki-laki muslim untuk menikah dengan ahlul kitab sebagaimana yang tercantum dalam surat al Maidah ayat 5. Tetapi berdasarkan fatwa MUI No 5 Tahun 1980 tentang Pernikahan Beda Agama Pernikahan antara Laki-laki Muslim dengan Wanita Ahlul Kitab Tidak Diperbolehkan/diharamkan. Fatwa ini ada karena melihat kerugian/mafsadah lebih besar daripada keuntunganya/maslahah.

Namun pada kenyataannya yang terjadi pada masyarakat kita zaman sekarang ini banyak sekali pasangan yang melakukan pernikahan beda agama, Mereka menikat tanpa salah satu dari mereka memeluk agama pasanganya. Salah satu contohnya ialah satu keluarga yang berdomisili di Vila Bukit Tidar kelurahan Merjosari kecamatan Lowokwaru, mereka berdua masih berada dalam keyakinan masing-masing, sang suami yang bernama Iwan beragama Islam dan istrinya sampai saat ini masih beragama Kristen. Tidak sedikit juga seorang artis yang menikah di luar negeri baru baru ini pasangan muda yang menikah di tahun 2018 Dimas Anggara yang beragama Islam dan Nadine Chnadrawinata yang beragama Kristen, sebelum mengadakan pesta di lombok mereka berdua sudah mengikat janji suci di Bhutan, Nephal pada tanggal 5 Mei 2018. Mereka yang menikah beda keyakinan menempuh banyak cara untuk mencapai sesuatu yang mereka inginkan, dengan cara penyelundupan atau bermain bawah tangan terhadap hukum yang ada di Negara Indonesia. Pada umumnya pasangan yang berbeda agama ini melakukan pernikahan di luar negeri, setelah mereka kembali ke Indonesia mereka mencatatkan pernikahnnya di Kantor Catatan Sipil, sehingga pernikahan tersebut seakan-akan sama dengan pernikahan campuran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 57 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Namun Sebenarnya hal tersebut tidak dibenarkan, pernikahan beda

(11)

3

agama yang diadakan di luar negeri tersebut tetap tidak sah menurut Undang- Undang Pernikahan yang ada di Indonesia.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana pernikahan beda agama dalam tinjauan HAM? Bagaimana pernikahan beda agama dalam tinjauan Kompilasi Hukum Islam? Bagaimana adanya interseksi antara HAM dan Kompilasi Hukum Islam?

2. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Analisis Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan HAM (Hak Asasi Manusia) dan Islam telah dilakukan oleh beberapa peneliti.

Berdasarkan eksplorasi peneliti, terdapat beberapa hasil penelitian yang relevan dan terkait dengan penelitian ini:

Purwanto, Yedi, (2014), dalam Jurnal Penelitian Asyari’ah Vol 16, no 3 dengan judul “Kawin Beda Agama dalam Perlindungan HAM: Studi Kritis atas Undang-Undang Pernikahan No 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Dasar 1945” menyimpulkan bahwa: pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaanya itu.

Ahadi Hasanudin Dardiri, Marzha Tweedo dan Muhammad Irham Roihan (2013), dalam Jurnal dengan judul “Pernikahan Beda Agama ditinjau dari Perspektif Islam dan HAM " mereka menyimpulkan bahwa HAM pada dasarnya merupakan hak kodrati yang diberikan Tuhan kepada manusia maka tidak rasional apabila hak kodrati tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan tuhan,begitu juga dalam Islam dengan adanya aturan Allah maka HAM tersebut sudah tentu tidak boleh bententangan dengan ajaran yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Muhammad Yusuf (2013), dalam Jurnal alhikam vol XIII NO 1, dengan judul “Pendekatan al Maslahah al Mursalah dalam Fatwa MUI tentang Pernikahan Beda Agama” ia menyimpulkan bahwa: tidak ditemukan teks di al Quran secara eksplisit yang melarang pernikahan pria muslim dengan wanita ahlul kitab.

Annikmah Farida (2016), dalam Jurnal Mahkamah Vol 1 No 1 dengan Judul “Pendapat para Fuqoha dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang

(12)

4

Filosofi dan Hikmah Larangan Pernikahan Beda Agama serta Dampaknya” ia menyimpulkan bahwa: filosofi dan hikmah terlarangnya pernikahan beda agama karena dikhawatirkan akan menimbulkan banyak permasalahan yang sangat fundamen menyangkut keselamatan keimanan. Dan pernikahan beda agama rentan konflik, mengancam keharmonisan rumah tangga dan menjauhkan nilai- nilai sakral dalam pernikahan.

Baihaki (2016) dalam Jurnal analisis volume XVI no 1 dengan judul “Studi kitab Tafsir Al Munir Karya Wahbah al Zuhaili dan Contoh Penafsiran tentang Pernikahan Beda Agama” ia menyimpulkan bahwa: dalam tafsir al munir karya wahbah al zuhaili membolehkan lelaki muslim menikahi wanita non muslim, jika tidak ada wanita yang lebih baik.

Dalam penelitian ini yang membedakan dengan penelitian sebelumya ialah adanya titik temu atau persamaan hukum (interseksi) antara Hak Asasi Manusia dan Kompilasi Hukum Islam. Sehingga pernikahan beda agama yang selama ini dipertentangkan bisa berjalan sesuai aturanya masing-masing.

2.2. Konsep Beda Agama menurut Kompilasi Hukum Islam

Pandangan Agama Islam terhadap pernikahan beda agama, pada prinsipnya tidak membolehkan. Dalam al-Quran tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran surat Al- Baqarah 221 yang berbunyi:

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.

Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunandengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran)”

Larangan pernikahan dalam surat Al- Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. Inilah pengharaman bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita musyrik, para penyembah berhala jika yang di maksud adalah kaum wanita musyrik secara umum yang mencakup semua wanita, baik

(13)

5

dari kalangan ahlul kitab maupun penyembah berhala, maka Allah telah mengkhususkan wanita ahlul kitab,melalui firmanya yang artinya:

“(dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, jika kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikanya gundik” (QS.Al-Maidah :5).

Mengenai firman Allah “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman,” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “dalam hal ini Allah telah mengecualikan wanita-wanita ahlul kitab.” Hal senada juga di katakan oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Makhul, Hasan al- Bashri, adh- Dhahhak, Zaid bin Aslam, Rabi bin Anas dan ulama lainya. Ada yang mengatakan bahwa yang di maksud dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala, sama sekali bukan wanita ahlul kitab. Dan maknanya berdekatan dengan pendapat yang pertama.

Setelah adanya ijma’ mengenai di bolehkan menikahi wanita ahlul kitab abu Ja’far bin jarir mengatakan: Umar melarang hal itu (menikahi wanita ahlul kitab) agar orang-orang tidak meninggalkan wanita wanita muslimah atau karena sebab lain yang semakna. Imam Bukhari meriwayatkan, Ibnu Umar mengatakan : “aku tidak mengetahui syirik yang lebih besar daripada wanita yang mengaku Isa sebagai Rabb-nya.”

Firman Allah “Sesungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu,” As-Suddi mengatakan:

ayat ini turun berkenaan dengan abdullah bin Rawahah yang mempunyai seorang budak wanita berkulit hitam. Suatu ketika Abdullah marah dan menamparnya, lalu ia merasa takut dan mendatangi Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang terjadi di antara mereka berdua. Maka Rasulullah bertanya bagaimana budak itu?

Abdullah bin Rawahah menjawab “ ia berpuasa, shalat, berwudhu, dengan sebaik- baiknya dan mengucapkan syahadat bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Engkau adalah Rasul-Nya, kemudian Rasulullah bersabda:

wahai Abu Abdillah, wanita itu adalah mukminah. Abdullah bin Rawahah mengatakan “Demi Allah yang mengutusmu dengan hak, akan memerdekakanya dan menikahinya. Setelah itu Abdullah pun melakukan sumpahnya itu, maka

(14)

6

beberapa dari kalangan muslimin mencelanya karena ia telah menikahi budaknya sendiri. Padahal kebiasaan mereka pada waktu itu menikah dengan orang orang musyrikin, karena menginginkan kemuliaan leluhur mereka. Maka Allah menurunkan ayat: “sesungguhnya wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu,”

Dan firman-Nya “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wnita mukmin ) Sebelum mereka beriman” artinya, janganlah kalian menikahkan laki laki musyrik dengan wanita-wanita beriman. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Mumtahanah ayat 10 “mereka wanita-wanita yang beriman tidak halal bagi orang-orang kafir itu,dan orang orang kafir itu tidak halal juga bagi mereka”. Setelah itu Allah berfirman: “sesungguhnya budak mukmin itu lebih baik daripada orang musyrik walaupun ia menarik hatimu”

Artinya seorang budak laki-laki yang beriman meskipun ia seorang budak keturunan Habasyi (Ethiopia) adalah lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik meskipun ia seorang pemimpin yang mulia. “mereka mengajak ke Neraka “ maksudnya bergaul dan berhubungan dengan mereka hanya akan membangkitkan kecintaan pada dunia dan kefanaanya,serta lebih mengutamakan dunia daripada akhirat dan hal ini berkibat buruk. “Sedangkan Allah mengajak ke Syurga dan ampunan-Nya denga izin-Nya. Yaitu melalui syariat perintah dan larangan-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dalam kitab shahih al-Bukhari dan Muslim telah di tegaskan dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad bersabda:

( ب رفظف اهنيدل و ,اهلامجلو ,اهباسنل و ,اهلامل ,عبرلأ ةأرملا كنت ذ

كادي تبرت نيدلا تا )

“Wanita itu di nikahi karena empat hal : karena harta,karena keturunanya, kecantikanya dan agamanya,dan pilihlah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah dari Umar bahwa Rasulullah bersabda:

)ةحلاصلا ةأرملا ايندلا عاتم ريخ و و عاتم ايندلا (

“Dunia adalah kenikmatan, dan sebaik-baik kenikmatan duania adalah wanita solihah .” (HR Muslim)

(15)

7 Dan dalam sebuah kaedah fiqh:

حلاصملا بلج ىلع مدقم دسافملا ءرد Yang artinya: Mencegah kemafsadatan/kerusakan lebih baik daripada

memperbaikinya.

2.3. Konsep Pernikahan Beda Agama menurut Hak Asasi Manusia

Konsep HAM yang cenderung bersifat theologis, filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.

Bentuknya bisa berwujud deklarasi konvensi, konvenan, resolusi maupun general coment. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan ratifikasi secara formal. Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayan negara Indonesia yang berdasarkan pada pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin dan wawasan bangsa indonesia,baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmantasi moralitas sipil,moralitas komunal maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proposional. Manusia di sini di pandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara utuk mematuhi praturan perundang-undangan hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh kepada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang telah di atur berdasarkan Peraturan Perundangan dan Hukum Internasional HAM yang di terima oleh Indonesia. (Muladi SH.2005).

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum. Hal ini dapat di lihat dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Negara Indonesia tidak menyetujui adanya pernikahan

(16)

8

beda agama. Akan tetapi bagaimana dengan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 merupakan hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia. Hal ini dapat di lihat:

Dalam pasal 22 ayat(1) bahwa “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu”.Dan dalam hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi” dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggung jawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia. Pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab pemeritah.

2.4. Konsep Pernikahan Beda Agama menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974

Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berasaskan pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan yang Maha Esa,,maka pernikahan dianggap mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama. Pernikahan bukan saja mengandung unsur lahiriah saja tetapi terdapat unsur batin.

Dalam undang-undang perkawinan ditetapkan rumusan pengertian perkawinan, perkawinan adalah pertalian antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk membetuk rumah tangga yang bahagia. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 ditetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yaitu. Dalam hal itu dapat disimpulkan tidak ada perkawinan yang di luar hukum agama masing-masing. Bagaimana jika calon suami istri berbeda agama dan sama-sama mempertahankana gamanya masing-masing?

Dengan tidak adanya ketentuan tentang Undang-Undang Perkawinan Beda Agama di Indonesia dalam Undang-Undang Perkawinan maka sangatlah sulit untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia karena tidak di atur oleh Negara. Lembaga yang mengurusi perkawinan pun dibedakan untuk agama Islam lembaga yang bertugas untuk melakukan pencatatan nikah, talak dan rujuk ada di KUA, sedangkan untuk umat yang Bergama lain dicatat oleh Lembaga Catatan

(17)

9

Sipil (LCS) jika orang Islam yang ingin menikah tidak dapat di LCS begitupun jika non Islam ingin menikah tidak dapat dilakukan di KUA. Jadi semakin sulit jika ingin menikah beda agama, Karena lembaga tersebut sudah berbeda. Akan tetapi tidak dapat menghin dari adanya pernikahan beda agama, karena Negara kita sangat majemuk dan terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya dan agama.

Pada pernikahan beda agama dapat teratasi jika salah satu pasangan suami istri mengikuti agamanya calon pasanganya. Dengan seperti itu maka akan melibatkan satu agama saja. Sehingga semakin mudah untuk melakukan pernikahan.

2.5. Konsep Beda Agama Menurut Empat Madzhab

Pernikahan beda agama menurut empat madzhab, sebagaimana diuraikan pada pembahasan diatas, bahwa hukum pernikahan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan laki-laki non muslim, apakah ahli kitab atau musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila pernikahan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa wanita yang di sebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut.

a. Madzhab Hanafi

Dalam madzhab Hanafi berpendapat bahwa pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya ialah mutlak haram, tetapi membolehkan menikah dengan wanita ahlul kitab (yahudi dan nasrani),yang terpenting ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi atau yang diturunkan kepada Nabi-Nabi sebelum diturunkannya wahyu al Quran. Bahkan menurut madzhab ini mengawini ahlul kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut madzhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafsadah /kerusakan yang besar.

(18)

10 b. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki tentang hukum pernikahan beda agama ini mempunyai dua pendapat yaitu: pertama, nikah dengan wanita ahlul kitab hukumnya makruh mutlak, baik dzimmiyah (wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar, akan tetapi jika dikhawatirkan si istri yang ahlul kitab akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama suaminya maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir madzhab Maliki ini menggunakan pendekatan Zad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada mafsadah). Jika khawatirkan kerusakan yang muncul maka pernikahan beda agama diharamkan.

c. Madzhab Syafi’i

Dalam Madzhab Syafi’i dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab dan menurutnya ahlul kitab ialah bangsa Israel, alasan yang dikemukakan madzhab ini ialah:

1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel dan bukan bangsa lainya.

2) Kalimat min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-maidah ayat 5 menunjukkan pada dua kelompok golongan yahudi dan nasrani bangsa Israel. Dalam pandangan madzhab ini yang dimaksud wanita Israel ialah yang beriman sebelum diturunkanya wahyu al- Quran kepada Nabi Muhammad SAW.

d. Madzhab Hambali

Pada madzhab Hambali tidak jauh berbeda dengan madzhab gurunya Imam Syafi’i. Menurut madzhab Hambali haram untuk menikahi wanita musyrik dalam arti wanita yang menyekutukan ALLAH SWT. Dan boleh menikahi wanita ahlul kitab dari kalangan yahudi dan nasrani.

(19)

11 3. METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Disamping itu peneliti juga menggunakan interpretasi artinya peneliti menyelami keseluruhan pemikiran secara mendalam untuk memperoleh penjelasan tentang penikahan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam dan HAM.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Kepustakaan/library reseach yaitu penelitan yang obyek utamanya adalah buku- buku atau sumber kepustakaan lain.

3.2. Sumber Data

Di dalam penelitian kepustakaan ini sumber data yang digunakan merupakan sumber data tertulis terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder adapun sebagi berikut:

Sumber data primer adalah sumber data yang di dapat dari sumber data pertama dalam hal ini Sumber data dalam penelitian ini adalah buku-buku yang menyangkut pernikahan beda agama, Kompilasi Hukum Islam dan HAM.

Sumber data sekunder, adalah data yang di peroleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitianya. Dalam studi ini data sekundernya adalah buku-buku yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari buku-buku sumber data primer. Dalam hal ini sumber data sekunder berupa tulisan tulisan yang sudah mencoba membahas mengenai pernikahan beda agama dan literatur yang relevan dengan penelitian ini.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Sebelum penulis menjelaskan teknik pengumpulan data dari penulisan ini, perlu di ketahui bahwa penulisan ini bersifat kepustakaan (library research).

Karena bersifat library research maka dalam mengumpulkan data penulis menggunakan metode dokumentasi (Arikunto,202:206), mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa buku-buku mengenai pernikahan beda agama, Kompilasi Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia yang akan di analisis. Berkenaan

(20)

12

dengan hal di atas,penulis mencoba untuk menjabarkan beberapa tahapan yang dilalui pada penulisan tesis ini, menurut Bungin (2011 :89) yaitu: memilih masalah, peneliti memulai dengan memeriksa kembali kepustakaan teoritis yang relevan untuk menemukan suatu bidang yang tampak menarik, serta perlu penelitian lanjut.

3.4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan tahap terpenting dari sebuah penulisan, sebab pada tahap ini dapat dikerjakan dan di manfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah penyampaian yang benar-benar dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang telah dirumuskan. Secara definitif analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data kedalam pola kategori dan suatu uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dirumuskan oleh data (Moleong, 2011:103). Tehnik analis pada tahap ini merupakan pengembangan dari metode analisis kritis. Adapun tehnik analis dari penulisan ini adalah content analysis atau analisis, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para mufassir dan penggiat HAM yang kemudian di deskripsikan, di bahas dan di kritik, selanjutnya di kelompokkan dengan data yang sejenis, dan di analisis isinya secara kritis gua mendapatkan formulasi yang konkrit dan memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada ( Moleong,2001:163 ).

Dalam penelitian ini setelah data terkumpul maka data tersebut di analisis, bentuk bentuk teknis analisis data sebagai berikut:

1. Metode analisis deskriptif

Data yang terkumpul dalam penelitian di analisis dengan metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu, kemudian di lakukan analisis terhadap data tersebut. (Surachman, 1998:139). Tahap berikutnya adalah interpretasi yaitu memahami aspek aspek dalam pernikahan beda agama yang terdapat di al-Quran dan Kompilasi Hukum Islam dan HAM. Dalam penelitian ini digunakan cara

(21)

13

berpikir deduktif (Hadi, 2000:36-37). Untuk menarik kesimpulan dan digunakan pula studi komparatif untuk membandingkan penafsiran tentang pernikahan beda agama dari para muffasir dan tokoh lainya.

Untuk mempermudah penulisan ini, penulis menggunakan beberapa metode pembahasan antara lain pembahasan tesis ini di bahas secara teoritis, pembahasan teoritis ini bersumber pada kepustakaan yaitu al- Qur’an dan terjemahanya. Tafsir beberapa karangan ahli yang ada kaitanya dengan judul tesis ini, dalam hal ini penulis menggunakan metode pembahasan, berupa:

a. Metode tafsir tematik sesuai dengan istilahnya metode ini memilih jalan atau tema atau topik kajian tertentu yang hendak dicari penjelasanya dalam al-Qur’an. Kemudian dicari keterkaitan antara berbagai ayat yang relevan agar saling mendukung kemudian ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pada pemahaman mengenai ayat ayat yang saling berkaitan tersebut.

b. Metode deduktif yaitu cara berpikir berangkat dari hal hal yang bersifat umum, kemudian ditarik menuju hal hal yang bersifat khusus, yakni pengertian umum yang telah ada dicarikan data-data yang dapat menguatkan.

c. Metode komparasi yaitu setelah melakukan analisis terhadap beberapa mufassir dan komentar dari orang lain terhadap penafsiran tersebut.

Aka kegiatan selanjutnya adalah melakukan perbandingan penafsiran beberapa mufassir tersebut. Kajian komparatif digunakan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari penafsiran kedua mufassir tersebut dalam memandang suatu persoalan yang sama.

2. Analisis Isi

Sesuai dengan sifat dan jenis data yang diperoleh, maka teknik analisa data yang diperoleh adalah content analisis, yaitu teknik analisa data yang diharapkan mengkaji isi suatu objek kajian dalam hal ini Sujono dan Abdurahman mengutip teorinya holsti dalam bukunya Moleong mengatakan bahwa: conten analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha usaha menemukan

(22)

14

karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sitematis.

(Moleong. 1989 :163).

Setelah bahan bahan terkumpul maka harus diolah pada tahap selanjutnya yaitu tahap analisis dan sintesis. Analisis ialah upaya sistemik untuk memilah-milah atau menguraikan komponen informasi yang terkumpul dalam bagian bagian analisis. Sebagian analisis cukup sederhana sifatnya dan sebagian yang lain mungkin agak rumit dan canggih (zeid. 2000:70).

Setelah proses analisis selesai, maka dilakukan proses selanjutnya yaitu sintesis. Sintesis ialah upaya menggabungkan kembali hasil analisis ke dalam konstruksi yang dimengerti secara utuh. Seperti halnya analisis proses sintesis sebetulnya sudah berlangsung pada waktu membuat data penelitian. Proses sintesis memerlukan perbandingan, penyandingan, kombinasi, dan penyusunan data dalam rangka menerangkan secara rinci dan cermat tentang segaa sesuatu yang berkenaan dengan pokok pokok penelitian (zeid,2000 :76).

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pernikahan Beda Agama dalamTinjauan HAM

HAM memandang pernikahan beda agama hak atas semua manusia. Dalam instrumen HAM, pengaturan tentang kebebasan dalam pernikahan ditemukan dalam pasal 16 (1). Pasal tersebut berbunyi:

“Orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk mencari jodoh dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal soal perkawinan, didalam perkawinan dan dikala perceraian”.

Secara sepintas, pasal diatas membenarkan tentang pernikahan beda agama dengan alasan bahwa pernikahan adalah Hak Asasi Manusia yang hakiki tanpa harus dibatasi oleh agama. Pasal tersebut kemudian diperkuat oleh pasal 67 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi:

“Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum

(23)

15

internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Jika kedua pasal diatas dikaitkan dengan pernikahan lintas agama di Indonesia, maka bisa saja menjadi dasar kebolehan terjadinya pernikahan dengan latar agama yang berbeda. Namun kedua pasal di atas, baik pasal 16 (1) DUHAM maupun pasal 67 UU HAM dapat dianggap menyalahi ketentuan hukum pernikahan yang diatur dalam KHI tepatnya pada pasal 40 dan 44 yang dengan tegas melarang terjadinya pernikahan beda agama.

Jika dalam bahasan tentang diskursus pernikahan beda agama ditemukan dalam lembaran ayat suci al-Quran celah diperbolehkannya pernikahan beda agama, dan alasan pelarangannya semata-mata bersifat Sadd al-Dariah, maka kita akan berkesimpulan kalau enggan berkata membenarkan bahwa hukum dalam al- Quran sebenarnya dapat dianulir dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat rasional. Ini tentu saja berbeda dengan kesimpulan mayoritas ulama yang menetapkan bahwa penganuliran suatu ketetapan hukum dalam al-Quran hanya boleh dilakukan berdasarkan ayat al-quran atau hadits Nabi, bahkan Ibnu al-Arabi secara tegas mengatakan, setiap perkatan dan perbuatan setelah wafatnya baginda Nabi tidak dapat menganulir suatu ayat (baca: nasakh) sekalipun telah disepakati secara ijma’. (Abu bakar ibn al-Arobi 2010:4).

Selain itu, dengan kembali merujuk kepada perdebatan dalam memandang universalitas HAM, maka terjadinya pernikahan beda agama sangat dimungkinkan. Dengan meminjam teori universal absolut, maka ketentuan dalam Hak Asasi Manusia khususnya pasal yang berkaitan dengan pernikahan sebagaimana fokus tulisan ini tepatnya UDHR/DUHAM pasal 16 (1) harus diberlakukan secara universal tanpa terikat oleh asas hukum nasional masing- masing negara. Berbeda halnya jika teori yang digunakan adalah teori universal relatif. Dengan mengacu pada teori ini, maka pasal tersebut dipandang sebagai ketentuan universal namun di sisi lain juga diakui adanya perkecualian dan pembatasan yang didasarkan pada asas-asas hukum nasional. Berdasarkan dua teori ini, bagaimana akan menyimpulkan tentang pernikahan beda agama dalam tinjauan UU-HAM?

(24)

16

Sebelum melakukan analisis terhadap persoalan tersebut, terlebih dahulu perlu penulis cantumkan kembali pasal 16 (1). Pasal tersebut berbunyi:

“Orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk mencari jodoh dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam hal soal perkawinan, didalam perkawinan dan dikala perceraian.”

Memahami pasal ini sebenarnya bisa dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang equality (persamaan). Dari sudut pandang ini, frase “tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama” tidak berarti pernikahan lintas agama dilegalkan, namun pasal ini semata-mata menunjuk kepada persamaan diantara semua penganut agama untuk dapat memiliki pasangan hidupnya. Sementara dalam sudut pandang kedua, sudut pandang liberty (kebebasan), pasal ini menjadi riskan karena kebebasan yang dijamin pasal ini bisa merambah ke dalam kebebasan untuk melangsungkan pernikahan antar agama yang berbeda. Jika dikaitkan dengan ayat 2 pada pasal 16 yang menyatakan

“perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari kedua mempelai” semakin memperkuat bahwa pasal 16 (1) di atas lebih bernuansa terhadap pelegalan pernikahan beda agama.

Pemahaman melalui sudut pandang kedua inilah yang tampaknya dianut oleh Hamka, sehingga dalam mengomentari pasal 16 (1) UDHR/DUHAM ini Hamka mengatakan bahwa syariat Islam memang tidak mengenal pembatasan suku dan kebangsaan, sebab dalam syariat Islam setiap orang yang telah memiliki kepercayaan yang sama (baca: Islam) maka ia telah menjadi satu umat yaitu umat Islam, dengan catatan tidak terdapat halangan yang mencegah terjadinya pernikahan seperti hubungan mahram dan yang lainnya. Namun terkait dengan persoalan agama, bagi Hamka tetap dikenal adanya batasan. (Hamka 1983:232)

Kembali kepada persoalan tentang status pernikahan beda agama dalam tinjauan pasal 16 (1) UDHR/DUHAM, dengan mengacu pada teori universal relatif UDHR/DUHAM yang menjadi kecenderungan penulis, terlepas apakah pasal tersebut akan dimaknai dari sisi equality ataupun dari sisi liberty, tetap bisa dibatasi oleh asas-asas hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Mengingat sebuah peraturan harus terumuskan dengan mempertimbangkan salah satunya

(25)

17

Adalah profil sosial budaya sebuah bangsa yang merupakan identitasnya disamping kekuatan yang bersifat yuridis.

Dari sini, maka batasan yang dapat diterapkan pada pasal 16 (1) DUHAM adalah pasal pasal 10 (1, 2) UU-HAM yang menyebutkan:

1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan suatu keturunan melalui perkawinan yang sah.

2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon isteri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berbicara tentang ketentuan peraturan perundang-undangan, jika dikaitkan dengan pernikahan di Indonesia maka tentunya yang dimaksud adalah UU. No.

1/1974 dan KHI yang secara tegas melarang terjadinya pernikahan beda agama.

pernikahan beda agama merupakan fenomena yang memang telah lama terjadi misalnya pada masa sahabat tercatat sekian nama yang melakukan pernikahan beda agama, antara lain sahabat Usman bin Affan dan Huzaifah bin Yaman.

Usman menikah dengan Nailah binti Al-Farafisah al-Kalbiyah yang beragama Nashrani. Nailah kemudian masuk Islam, sementara Huzaifah menikahi seorang perempuan Yahudi yang berasal dari Madyan. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, satu hal yang tidak dapat dipungkiri seiring munculnya keputusan hukum tentang keharaman dan ketidaksahan pernikahan beda agama, merebak pula terjadinya pernikahan tersebut. Tidak dapat kita menghitung berapa jumlah pasangan yang melangsungkan pernikahan dengan latar belakang agama yang berbeda, namun sekadar sebagai bukti bahwa pernikahan beda agama ini terjadi, perlu dicatat sejumlah pasangan seperti pernikahan antara Yuni Shara dan Henry Siahan ataupun pernikahan antara Annisa Nurul Shanty Kusuma Wardhani Heryadie dan Juan Eugenio Sebastian Paredes Muirragui. Dan masih banyak lagi yang lainya. Terdapat sekian argumen yang dibangun baik oleh kalangan yang tidak mendukung pernikahan beda agama maupun kalangan yang mengaku sebagai pembela kebebasan beragama. Mulai argumen yang bersifat doktrin–

teologis hingga argumen yang mengatasnamakan kebebasan manusia yang terjamin melalui instrumen HAM. Memang secara normatif, pernikahan lintas agama diatur dalam beberapa surat al-Quran seperti dalam surat al-Baqarah: 221,

(26)

18

al-Mumtahanah: 10 dan al-Maidah: 5 yang dalam analisis saya, ketiga ayat di atas memiliki tingkatan larangan yang berbeda-beda.

4.2. Pernikahan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam kompilasi hukum Islam pernikahan beda agama terdapat pada tiga surat Al Qur’an yang berbeda, yang pertaama dalam surat Al baqarah ayat :221

َو ٍةَكِرْشُم ْنِم ٌرْيَخ ٌةَنِم ْؤُم ٌة َمَ َلأ َو َّنِم ْؤُي ىَّتَح ِتاَكِرْشُمْلا اوُحِكْنَت َلَ َو ىَّتَح َنيِكِرْشُمْلا اوُحِكْنُت َلَ َو ْمُكْتَبَجْعَأ ْوَل

َّنلا ىَلِإ َنوُعْدَي َكِئَلوُأ ْمُكَبَجْعَأ ْوَلَو ٍك ِرْشُم ْنِم ٌرْيَخ ٌنِم ْؤُم ٌدْبَعَلَو اوُنِم ْؤُي ِهِنْذِإِب ِةَرِفْغَمْلاَو ِةَّنَجْلا ىَلِإ وُعْدَي َُّاللَّ َو ِرا

َّنلِل ِهِتاَيَآ ُنِ يَبُيَو َنو ُرَّكَذَتَي ْمُهَّلَعَل ِسا

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang- orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah- perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Yang kedua dalam surat Al Mumtahanah:10

َنيِذَّلا اَهُّيَأ اَي َّنُهو ُمُتْمِلَع ْنِإَف َّنِهِناَميِإِب ُمَلْعَأ ُ َّاللَّ َّنُهوُنِحَتْماَف ٍتاَر ِجاَه ُم ُتاَنِم ْؤُمْلا ُمُكَءاَج اَذِإ اوُنَمَآ

َلََف ٍتاَنِم ْؤُم

َو َّنُهَل َنوُّلِحَي ْمُه َلَ َو ْمُهَل ٌّل ِح َّنُه َلَ ِراَّفُكْلا ىَلِإ َّنُهوُعِجْرَت اَذِإ َّنُهو ُحِكْنَت ْنَأ ْمُكْيَلَع َحاَنُج َلَ َو اوُقَفْنَأ اَم ْمُهوُتَآ

ُقَفْنَأ اَم اوُلَأْسَيْلَو ْمُتْقَفْنَأ اَم اوُلَأْساَو ِرِفاَوَكْلا ِمَصِعِب اوُكِسْمُت َلَ َو َّنُه َروُجُأ َّنُهو ُمُتْيَتَآ ْمُكَنْيَب ُمُكْحَي َِّاللَّ ُمْكُح ْمُكِلَذ او

َُّاللَّ َو ٌميِكَح ٌميِلَع Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.

dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

(27)

19

Dalam ayat tersebut menjelaskan tentang melepaskan istri-istri mereka jika masih dalam agama sebelumnya atau tidak masuk Islam.

Dan yang Ketiga Dalam surat Al maidah ayat:5

ُمْلاَو ْمُهَل ٌّل ِح ْمُكُماَعَط َو ْمُكَل ٌّل ِح َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذَّلا ُماَعَط َو ُتاَبِ يَّطلا ُمُكَل َّل ِحُأ َم ْوَيْلا ِتاَنِم ْؤُمْلا َنِم ُتاَنَصْح

ْحُمْلاَو َّنُه َروُجُأ َّنُهو ُمُتْيَتَآ اَذِإ ْمُكِلْبَق ْنِم َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذَّلا َنِم ُتاَنَص يِذ ِخَّتُم َلَ َو َنيِحِفاَسُم َرْيَغ َنيِنِصْحُم

َنيِرِساَخْلا َنِم ِةَر ِخَ ْلْا يِف َوُه َو ُهُلَمَع َطِبَح ْدَقَف ِناَميِْلْاِب ْرُفْكَي ْنَم َو ٍناَدْخَأ Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum- hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang- orang merugi”.

Dalam surat al maidah ayat 5 berbeda dengan ayat ayat sebelumnya yang melarang menikahi wanita-wanita selain agama Islam di dalam ayat ini justru membolehkan menikah dengan ahlul kitab/kitabiyah yaitu nasrani dan yahudi.

Ketiga ayat di atas dalam urainya memiliki arti yang berbeda sehingga maknanyapun menjadi berbeda. Pada ayat yang pertama Allah telah melarang kamu wahai pengikut Nabi Muhammad untuk menikahi wanita musyrik, baik laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik atau sebaliknya, kemudian dalam ayat Al Mumtahanah 10 larangan tertuju pada perempuan mukmin menikah dengan laki-laki kafir, sementara dalam ayat al Maidah 5 memperbolehkan kaum Nabi Muhammad untuk menikah dengan perempuan ahli kitab. Dalam hal ini ahli kitab masih menjadi perselisihan ulama. Namun menurut sebagian ulama mengkategorikan ahli kitab sebagai musyrik.

Menurut M. Quraisy Shihab dalam tafsir al Misbah ayat 5 dalam surat al Maidah telah dinasakhkan oleh al Baqarah ayat 221.

Melihat pada ketiga ayat diatas maka pernikahan beda agama selalu dipersepsikan pernikahan antara muslim dan ahlul kitab. Sedangkan kata ahlul kitab sendiri masih menjadi perdebatan apakah ia sebatas nasrani dan yahudi yang menerima kitab-kitab dari Nabi-Nabi yang di utus Allah ataukah termasuk agama agama yang ada di dunia sekarang ini. Di dalam madzhab Hanafi dan Hambali

(28)

20

adanya kesamaan pendapat ahlul kitab dikategorikan siapapun yang mempercayai seorang Nabi atau kitab yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk ahlul kitab tanpa terbatas pada kelompok penganut agama yahudi dan nasrani. Definisi diatas berbeda dengan pandangan Imam Syafii yang justru membatasi kategori ahlul kitab terbatas pada etnis yahudi dan nasrani, keturunan isra#el, sedangkan bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani tidak termasuk di dalamnya. Dalam hal ini terjadi tiga pendapat status penentuan hukum dalam nikah beda agama, yang pertama ialah pendapat yang mengharamkan secara mutlak untuk pernikahan beda agama, sehingga tidak adanya celah atau ruang untuk terjadinya pernikahan beda agama, pendapat yang kedua membolehkan pernikahan beda agama secara mutlak sehingga terbukanya peluang pernikahan beda agama. Pendapat yang ketiga membolehkan pernikahan beda agama tetapi ada batas-batasanya yang sesuai dengan hukum agama dan hukum negara dimana ia tinggal.

Menurut hemat penulis,pendapat ketiga inilah yang bisa di terima secara logis jika membandingkan dari tiga ayat tersebut. Karena tiga ayat tersebut mempunyai makna yang berbeda.

4.3. Interseksi antara HAM dan Kompilasi Hukum Islam

Dalam pernikahan beda agama adanya interseksi antara HAM dan kompilasi Hukum Islam ada di dalam surat al-Maidah ayat 5 yang artinya :

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita- wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”.

Ayat tersebut menjelaskan bolehnya menikahi wanita wanita ahlul kitab.

Sehingga terjadi satu kepahaman bolehnya menikah beda agama. Pernikahan dengan ahlul kitab di perbolehkan walaupun para ulama memberikan syarat-syarat khusus. Jika kita tarik hukum perkawinan di Indonesia yang terkompilasi dalam Kompilasi Hukum Islam, tentang larangan menikah beda agama terdapat pada

(29)

21

pasal 40 dan 44 yang masih mungkin di legalkan pernikahan tersebut. Dalam tafsir al Misbah karya M. Quraish Shihab sebelum berbicara tentang bolehnya menikah dengan ahlul kitab di ayat tersebut menjelaskan bolehnya memakan hasil sesembelihan ahlul kitab. Kata tha’am/makanan yang di maksud oleh ayat diatas adalah sesembelihan, karena sebelum ini telah di tegaskan hal-hal yang diharamkan, sehingga selainya otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki ahlul kitab, karena sebelum ini terdapat uraian tentang tentang penyembelihan dan perburuan. Sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok masalah. Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah-buahan dan biji-bijian, dan semacamnya, namun pendapat ini sangat lemah. Walaupun demikian tidak semua makanan ahlul kitab halal bagi kita boleh jadi makanan yang mereka hidangkan bercampur dengan makan apa yang diharamkan oleh kaum muslimin misalnya bercampur dengan minyak babi, dan boleh jadi juga karena adanya bahan najis yang tercampur dalam makanan. Dalam konteks ini Sayyid Muhammad Thantowi, mantan Mufti Mesir dan pemimpin Tertinggi al- Azhar, menukil pendapat ulama yang bermadzhab Maliki yang mengharamkan keju dan sejenisnya karena diproduksi oleh negara non muslim, dengan alasan kenajisannya hampir dapat dipastikan.

Berbeda-beda pendapat ulama tentang cakupan makna alladzina utul kitab, setelah para ulama sepakat bahwa paling tidak mereka adalah penganut agama yahudi dan nasrani, mereka kemudian berbeda pendapat apakah penganut agama itu adalah generasi masa lalu dan keturunanya saja, atau termasuk para penganut kedua agama itu hingga kini. Ada sebagian yang menolak menamai penganut yahudi dan nasrani sekarang dengan sebutan ahlul kitab.

Penegasan kata wa tha’amukum/makanan kamu setelah sebelumnya di tegaskan kata wa tha’amuhum/makanan mereka (ahlul kitab). Adalah menggarisbawahi dalam soal makanan dibenarkanya hukum timbal balik, tetapi dalam soal pernikahan tidak adanya hukum timbal balik itu, dalam arti laki-laki Muslim dapat menikah dengan wanita ahlul kitab. Tetapi laki laki ahul kitab tidak dibenarkan menikah dengan wanita Muslimah.

Pendapat tentang boleh tidaknya menikah dengan wanita ahlul kitab tidak jauh berbeda dengan dengan pendapat pendapat sesembelihan mereka. Sementara

(30)

22

ulama berpendapat bahwa walaupun ayat ini pada dasarnya telah membenarkan pernikahan laki-laki Muslim dengan ahlul kitab tetapi ketentuan tersebut dibatalkan oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah 221 yang artinya dalam potongan ayat tersebut “janganlah kamu menikahan orang orang musyrik pria dengan wanita wanita muslimah sampai mereka (pria-pria musyrik itu) beriman”.

Sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Umar RA, menegaskan bahwa saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang percaya bahwa Tuhannya adalah Isa alaihissalam atau salah seorang hamba Allah.

Pendapat Ibnu Umar ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat-sahabat Nabi lainya. Mereka tetap berpegang kepada bunyi teks ayat al-Maidah di atas dan menyatakan bahwa walaupun akidah ketuhanan alhul kitab tidak sama sepenuhnya dengan akidah islam#iyah, tetapi al Quran tidak mempersamakan mereka dengan kaum musyrikin, bahkan membedakanya dan memberi nama khusus yakni ahlul kitab. Dalam ayat lain disurat al-Bayyinah ayat 1

ةنيبلا مهيتات ىتح نيكفنم نيكرشملا و باتكلا لها نم ورفك نيذلا نكي مل

“Orang orang kafir yakni ahlul kitab dan orang orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”

Ayat ini membagi orang-orang kafir menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu ahlul kitab dan orang-orang musyrik perbedaan itu di pahami dari huruf waw pada ayat itu yang berarti dan. Huruf ini dari segi bahasa digunakan untuk menghimpun dua hal yang berbeda. Yang dilarang untuk mengkawinkanya dengan wanita muslimah adalah laki laki musyrik,sedang yang dibenarkan oleh ayat al-Maidah ini adalah mengawini wanita ahlul kitab.

Larangan pernikahan antar pemeluk agama yang berbeda ini, agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan “sakinah” dalam keluarga yang merupakan tujuan pernikahan. Pernikahan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikanpun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan pernikahan.

(31)

23

Memang ayat ini membolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar kebutuhan yang mendesak pada saat itu. Dimana kaum muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Bahwa wanita muslimah tidak diperkenankan nikah dengan pria non muslim, baik ahlul kitab lebih lebih kaum musyrikin, karena mereka tidak mengakui kenabian Muhammad saw. Laki-laki muslim mengakui kenabian Isa, serta menggarisbawahi prinsip toleransi beragama, lakum dinukum wa liyadiin. Laki-laki biasanya dan bahkan seharusnya menjadi pemimpin rumah tangga dapat mempengaruhi istrinya, sehingga bila suami tidak mengakui ajaran agama yang dianut sang istri maka dikhawatirkan akan terjadi pemaksaan beragama baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.

Dalam ayat/wanita-wanita yang menjaga kehormatan merupakan isyarat bahwa yang seharusnya dinikahi ialah wanita wanita yang menjaga kehormatannya. Baik wanita mukminah maupun ahlul kitab. Ada juga yang memahami kata tersebut ketika dirangkaian dengan utu al kitab dalam arti wanita wanita merdeka. Memang kata itu dapat berarti merdeka, atau yang terpeliharakan kehormatanya, atau yang sudah nikah. Selanjutnya didahulukan penyebutan wanita wanita mukminah memberi isyarat bahwa mereka yang seharusnya di dahulukan, karena betapapun persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga.

Ditutupnya ayat di atas yang menghalalkan sembelihan ahlul kitab serta pernikahan laki laki muslim dengan wanita yahudi dan nasrani, dengan ancaman barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalanya dan seterusnya, merupakan peringatan kepada siapa yang makan dan atau merencanakan pernikahan dengan mereka, agar berhati hati jangan sampai hal tersebut mengantar mereka kepada kekufuran,karena akibatnya adalah siksa akhirat nanti.

Di sisi lain ditempatkan ayat ini sesudah pernyataan keputusasaan orang orang kafir dan sempurnanya agama Islam, memberi isyarat bahwa dihalalkanya hal-hal tersebut antara lain karena umat Islam telah memiliki kesempurnaan

(32)

24

tuntunan agama dan karena orang orang kafir sudah sedemikian lemah, sehingga telah berputus asa untuk mengalahkan kaum muslimin atau memurtadkanya. Ini sekali lagi bahwa izin tersebut menampakkan kesempuraan Islam serta keluhuran buki pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap para istri penganut agama yahudi dan nasrani itu. Tanpa harus memaksanya untuk memeluk agama Islam. Atas dasar keterangan di atas maka sangat pada tempatnya jika di katakan bahwa tidak di benarkan menjalin hubungan pernikahan dengan wanita ahlul kitab bagi yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran islam, lebih lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non Islam, yang dianut oleh calon istri atau agama keluarga calon istri.

Alasan yang cukup fundamental tentang dibolehkanya nikah beda agama terutama dengan non Muslim yaitu ayat al-Maidah ayat 5, ayat ini merupakan ayat madinah yang diturunkan setelah ayat pernikahan dengan orang orang musyrik sehingga mereka beriman. Ayat ini bisa di sebut “ayat revolusi” karena secara eksplisit menjawab smua keraguan bagi masyarakat muslim pada waktu itu, perihal pernikahan dengan non Muslim, ayat yang pertama menggunakan istilah musyrik yang bisa di maknai seluruh non muslim namun ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita Nasrani dan Yahudi. Ayat tersebut bisa berfungsi dua hal sekaligus yaitu penghapus (nasikh) dan pengkhusus (mutakhosis) dari ayat sebelumnya yang melarang pernikahan denga orang orang musyrik dalam kaidah fiqh bisa diambil kesimpulan,bila terdapat dua ayat yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainya, maka diambilah ayat yang lebih terakhir diturunkan.

Dalam diskusi penulis dengan Syaikh Quds Assammaro’i beliau dari Irak yang bermadzhab Sya’fii diskusi tersebut melalui pesan suara dengan sistem tanya jawab. Beliau berpendapat bahwa bolehnya pernikahan beda agama di Indonesia laki laki muslim dengan wanita ahlul kitab, dalam hal ini nasrani dan yahudi atau yang memiliki agama samawi, yang meyakini adanya para Nabi, meyakini kitab Injil dan Taurat. Lain halnya dengan wanita musyrik, musyrik dalam penjelasan ayat tersebut seseorang yang tidak memiliki agama atau tidak meyakini adanya Allah, masih menyembah berhala api dan lain sebagainya, lalu bagaimana jika ada seorang muslim tetapi ia masih melakukan kesyirikan, jika seperti itu tidak di

(33)

25

sebut musyrik, wanita tersebut masih Islam tetapi karena ketidaktahuan mereka tengtang agama Islam ini yang benar. Maka wanita tersebut boleh dinikahi.

5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Melihat pada uraian di atas bisa kami tarik kesimpulan dalam tulisan ini.

Kesimpulan pertama, status hukum perkawinan beda agama berdasarkan al- Quran tidaklah bersifat pasti. Sekalipun dalam al-Quran khususnya dalam surat al- Baqarah ayat 221 secara tegas terdapat larangan dengan menggunakan la nahy, hal itu tidaklah berarti larangan menikah dengan non-muslim yang masuk dalam kategori ahlul kitab melainkan golongan orang-orang musyrik, sementara ahlul kitab tidak termasuk ke dalam golongan musyrik.

Kesimpulan lain dari pembahasan ini, Pernikahan Beda Agama selalu dikonotasikan terhadap pernikahan dengan ahlul kitab sehingga berdasarkan pada ketentuan surat al-Maidah ayat 5, pernikahan dengan ahlul kitab diperbolehkan sekalipun diantara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan khusus. Jika ditarik dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia yang terkompilasikan dalam KHI, pengaturan tentang larangan Pernikahan Beda Agama ditemukan dalam pasal 40 dan 44 yang sebenarnya masih dimungkinkan kelegalan perkawinan tersebut dengan mengembalikan dua pasal tersebut kepada pasal 3 tentang dasar-dasar perkawinan.

5.2. Saran

Saran dari penulis sendiri semoga kedepan diadakanya kembali lembaga konseling advokasi yang memfasilitasi pernikahan beda agama, lembaga agama yang memiliki pemahaman akan bolehnya Pernikahan Beda Agama, seperti ICPR (Indonesia Conference on Religion and Peace). Karena ICPR sendiri telah berdiri sejak november 2005 sampai desember 2007 telah mencatat ratusan pasangan yang menikah beda agama, tetapi karena suatu dan lain hal ICPR “menutup”

program tersebut. Sebelum ICPR berdiri adanya The Wahid Institute(WI) yang didirikan oleh Abdurahman Wahid atau yang biasa di sebut Gus Dur yang telah memfasilitasi muda mudi untuk menikah beda agama. Dengan catatan hanya

(34)

26

membolehkan pasangan beda agama antara laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab atau nasrani dan yahudi seperti yang tercantum dalam ayat 5 surat al- Maidah.

(35)

27 Rujukan

An-Naim, A.A.(2001), Dekonstruksi Syari’ah (Terj), Bandung: Mizan.

Al-Jaziri, (1969). Kitab fiqh ‘ala mazahibul al-arba’ah, Juz IV, Beirut .

Al-sabuni, A. (1972), Tafsir Ayat Ahkam, juz I Makkah: Dar Al-Qur’an Al-Karim.

al-Qordawi, Y.(1978). Huda al-Islam Fatawa Mu’asiraoh,Kairo: Dar Afaq.

Ali, M.D.(2005),Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.

Azhar, S. (2009), MetodePenelitian, Yogyakarta:PustakaPelajar

Dahlan, A.A. (2006),Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiyar Baru van Hoeve.

Departemen Agama RI, 1999 : Kompilasi Hukum Islam. Jakarta.: Proyek Pengadaan Departemen Agama RI.

Departemen Agama RI, 2003. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,Jakarta: Depag RI.

Kartono, K. (1997), Pantologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press.

Mahmud, (2011), MetodePenelitianPendidikan,Bandung :PustakaSetia Ridha, R. (1367), Tafsir Al-Manar, Kairo : Dar Al-Manar

Rusyd, I,(1986),Bidayatul Mujtahid, Dar al- Qolem.

Sabiq, S.(1990). Fiqh As-Sunnah, Terj. Drs. Muhammad Thalib, Bandung: PT. Al Ma’arif.

Shalaby, A.(2001),Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, Jakarta: Amzah.

Syarifuddin, A. (2007),Garis-garis besar Fiqh, Bogor: Kencana.

Syarifuddin, A.(2007),Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Bogor: Kencana.

Syahrani, R. danAbudrrahman, (1978), Masalah-masalahHukumPerkawinan di Indonesia, Bandung

Thalib, S. (1986). Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press.

Utomo, S.B.(2007). Fiqh Aktual, Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta:

Gema Insani.

Wantjik, S. K. (1982), HukumPerkawinan Indonesia, Jakarta :Ghalia Indonesia

(36)

28

Yanggo, C. T. dan Anshary, A.H.(1996)Problematika Hukum Islam Kontemporer, wa Nihayatul Muqtashid, Juz II, Mesir: Mustafa al-Babi al-Lahabi.

Zuhdi, M. (1994), MasailFiqhiyah, Jakarta :GunungAgung

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan di Kabupaten Buru serta sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor

da’i, materi dakwah, strategi dakwah, metode dakwah dan media dakwah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif daskriptif, dengan mengambil latar Di Kelurahan Kota

Akhibatnya, bertumbuh subur perilaku menyimpang, seperti: bangga melanggar hukum, kurang sikap kritis, kurang jujur, kurang mengakui dan menghargai kelebihan orang

Akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan, luas RTH (Ruang Terbua Hijau) berbagai Kota di Indonesia semakin berkurang, jauh dari luas optimal yaitu 30%

Salah satunya dengan berhati-hati dan bijak dalam mengambil aplikasi dari internet dan selalu menjaga kerahasiaan, serta menggunakan Anti Virus untuk membentengi

GHQJDQ UHQFDQD 6LVZD WHUOLKDW DNWLI PHODNXNDQ NHJLDWDQ SHPEHODMDUDQ PHODOXL NHJLDWDQ GLVNXVL VHUWD PHQJHUMDNDQ VRDO ODWLKDQ GL GHSDQ NHODV 3HODNVDQDDQ HYDOXDVL MXJD EHUMDODQ

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari dan untuk meningkatkan kualitas akademis Guru Agama dalam jabatan dipandang perlu menetapkan hasil Pendidikan dan Latihan