• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

Study on Characteristic of Laterite Soil with Lime Stabilization as a Road Foundation

ZUBAIR SAING

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(2)

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor

Program Studi Teknik Sipil

Disusun dan diajukan oleh

ZUBAIR SAING

kepada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

(3)

STUDI KARAKTERISTIK TANAH LATERIT DENGAN STABILISASI KAPUR SEBAGAI LAPISAN

PONDASI JALAN

Disusun dan diajukan oleh ZUBAIR SAING

Nomor Pokok P0800313417

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasi pada tanggal 22 Nopember 2017

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui

Prof. D

Dr. Ir. Johannes Patanduk, MS Ko-Promotor

Komisi Penasihat,

Prof. Dr. Ir. Lawalenna Samang, MS, M. Eng Promotor

Dr. Eng. Tri Harianto, MT Ko-Promotor

Ketua Program Studi Teknik Sipil,

Prof. Dr. M. Wihardi Tjaronge, M. Eng

Dekan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin,

Dr. Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MSME

(4)

Nama : Zubair Saing Nomor Mahasiswa : P0800313417 Program Studi : Teknik Sipil

Menyatakan dengan ini bahwa disertasi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Nopember 2017 Yang menyatakan,

Zubair Saing

(5)

Alhamdulillahi Rabbilaalamiin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penyusunan disertsi ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.

Disadari bahwa berbagai kendala dihadapi dalam penyusunan disertasi ini, dan tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan banyak pihak, terutama bantuan dan dukungan moril maupun materil yang tidak ternilai.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Lawalenna Samang, MS., M.Eng., selaku ketua komisi penasehat (promotor) sekaligus penilai disertasi, Dr. Eng. Tri Harianto, ST. MT., dan Dr. Ir. Johannes Patanduk, MS., sebagai anggota komisi penasehat (kopromotor) sekaligus penilai disertasi, dan arahan yang diberikan sehingga penyusunan disertasi ini dapat terwujud.

2. Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng., Ir. H. Achmad Bakri Muhiddin, M.Sc., Ph.D., Dr. Ir. A. Rachman Djamaluddin, MT., Dr. Eng.

Ardy Arsyad, ST., MT., sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan saran, kritikan, dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini, serta Prof. Takenori Hino, M. Eng., Ph.D sebagai penguji eksternal

(6)

yang telah meluangkan waktunya untuk menghadiri ujian promosi sekaligus memberikan penilaian dan saran.

3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Dr. Ing. Ir. Wahyu H. Piarah, MSME., selaku Dekan

Fakultas Teknik sekaligus ketua sidang promosi, Dr. Ir. H. M. Arsyad Thaha, MT., selaku Kepala Departemen Teknik Sipil,

dan Prof. Dr. H. M. Wihardi Tjaronge, M. Eng., selaku Ketua Program Studi Doktor Universitas Hasanuddin.

4. Bapak dan ibu dosen serta staf S3 Teknik Sipil Pascasarjana Universitas Hasanuddin, yang banyak memberikan pengetahuan, bimbingan dan dukungan selama ini.

5. Teman-teman mahasiswa S3 Teknik Sipil, dan kepada mereka yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

Dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta ayahanda (almarhum) H. Saing dan ibunda Hj. Djubang yang telah membesarkan dan mendidik serta senantiasa berdoa dengan penuh keikhlasan hati bagi kesehatan dan keberhasilan studi penulis, juga kepada bapak dan ibu mertua atas doa, dukungan, dan bantuannya, kepada semua saudara, adik ipar, serta keluarga besarku terima kasih atas doa, dukungan, dan bantuannya.

(7)

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya terkhusus penulis ucapkan kepada isteri tercinta Surahmi, S.Pdi., S.Sos., atas ketulusan, keikhlasan, pengertian, kesabaran, dan pengorbanan yang luar biasa, juga kepada anak-anakku Mochammad Chaerul Ardan, Lutfi Nabil Fikri, dan Aini Nadira Shifa atas pengertian, kesabaran, dan keikhlasan untuk memberikan semangat dalam segala hal selama penulis mengikuti program pendidikan ini.

Akhirnya, penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis mohon masukan dan kritik yang membangun demi kesempurnaan disertasi ini.

Makassar, Nopember 2017

Zubair Saing

(8)

Stabilization as Road La{er isupervised Tri Harianio and Johannes Patandulr.)

The research aimed to prtruce and analyse the characleristic of the lateritic soii: with the linre stabilization to be useci as the road foundation layer.

The physical. mechanic eharacteristics, mineral content, chemical compositiol were oi"riarriecj fr'orrr tlie iab<lratoiy testirig. t'rlher'eas io produee the soil bearing capacity, ihe road foundation layer physical mcdel tesiing ivas ccnductcd. Thc limc siabil:zat;cn',vith thc mixture cf 3. 5, 7, and iC9/. ;n

i'rre ii iE D,n-in' I I UUIL; nrriirnrrm UFLia i iU,I I tl lrrlsi inrii:li r"nn"iii,nn vsl Wau thgn curgi fcr" 3, 7, t4. anC 28

days before being tested. Furthermore, the soil mixture was fed into the testing tub with the length dimension of (L)

;

8ff1, width

ffi

= 2m, and hetght

(1".U = 2.Sffi. The physical model of the road foundation layer comprised the

basic soil layer with the thickness of 1.5m above the basic soil layer was placed the litentic soil layer of the lime stabilization with the thickness of 0.1m. The di'al gauge

to

read the niagnitude of the vertical deformation occurring when loading was placed on the soil surface with the distance of 0.2m. M-oreover, the static ioading frrr each lime stabilization lateritic soil mixture was carried out.

Tlra *aotian ra^,ril indiaalaa ihat 4ha lima a*ahillTa{iaa 1l\Ol, lrr lb<'

; ; iU iUUiii ig i UUUii it i\i;i.iiivi., i.i iUa i; ii, iii i iU iriqvir'4urrvr I I v /u rvr rr r!

curing time of 28 days yields the strength and soil beaing capacity three times higher than the

soil

before stabiiizaiion. The subgrade modulus increases significantly in line with the lime percentage increase and curing time. Comparing correlation between lhe subgrade modulus and CBR value for the common soil and cement stabilization sediment soil indicates that the lime stabilizaiion lateritic soil has the better performance than the cement stabilization sediment soil and approaches the common soil.

lt

can be concluded that the iime stabilization tateritic soil has the potential as the road foundation layer, and meets the maximum deflection requirement (Lt24A) on the lime addition of 7

-

1Ao/0.

,.-rF

t

(9)

Kapur

sebagai Lapisan

iaian

{dibimbrn'J

.,igjiiiiiciiur i,i i;G; iG.,it. **i1 v?! 'vs'!/'

Peneiitian ini bertujuan

menghasilkan

ejan

merlganalisis karakieiistik iariaii iaierii siabriisas, kapui u,iiuk tligi-,iiakan sebagai iapisaii pondasijalan.

Sifat fisik,

mekanis. kandungan rnineral,

dan

komposisi ktmta clihasttkan dari penguJlan laboratoilum Sementara untuk menghasllKan kaBasitas dukung tanan, diiakukan pengujian model fisik lapisan pondasi jalan. Stabilisasi kapur dengan campuran 3, 5, 7, dan 10% pada kondisi awal optimum pro6tor, kemudian diperam selama

3,7,

14, dan 28 hari sebelum diuji. Selanjutnya, campuran tanah dimasukkan ke dalam bak uji riengandimensi panjang (l ) = a

m

lehar(w) = 2

m

rjantinggi (H) = 2.5m

Mod-et fisik lapisan pondasi ialan terdiri dari lapisan tanah dasar dengan tebal 1,5 m dan

di

atas lapisan tanah dasar ditempatkan lapisan tanah laterit stabilisasi kapur dengarl tebal C,1 r'n.

Alat

ukur untuk membaca besarnya penurunan yang terjadi saat pembebanan ditempatkan pada permukaan

tanah dengan larak 0,2 rn.

Selanjutnya, dilakukan pembebanan

siaiik uniuk

masing-rnasing campuran

tanah

iaierii stabilisasi kapur.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa stabilisasi 10% kapur untuk waktu peram 28 hari menghasilkan kekuatan dan daya dukung tanah tiga

kali lebih besar dari tanah

sebelum stabilisasi. Modulus subgrade meningkat signifikan seiring peningkatan persen kapur dan waktu pe[am' Dengan membandingkan hubungan modulus subgrade

dan

nilai CBR

untuk tanah umum dan tanah sedimen stabilisasi semen, ditemukan

bahwa tanah laterit

stabilisasi

kapur memiliki kinerja lebih

baik

dibandingkan tanah sedimen stabilisasi sernen

dan

mendekati tanah umum. Hal ini diartikan bahwa tanah laterit stabilisasi kapur berpotensi sebagai lapisan pondasi jalan dan memenuhi syarat lendutan maksimum (U240) pada penambahan kapur 74Ao/a.

)

(10)

vii

Halaman

Halaman Sampul i

Halaman Pengesahan ii

Abstrak iii

Prakata v

Daftar Isi vii

Daftar Gambar ix

Daftar Tabel xii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 5

C. Tujuan Penelitian 5

D. Kegunaan Penelitian 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 7

A. Permasalahan Strategis Tanah Laterit 7

B. Perilaku dan Prospektif Fisik, Mekanis, dan Mineralogi

Tanah Laterit 19

C. Daya Dukung Tanah Laterit sebagai Base dan Subgrade 28

D. Penelitian Terdahulu Relevan 42

E. Kerangka Pikir dan Konsep Penelitian 46

(11)

viii

C. Rancangan Pengujian dan Model Fisik 49

D. Analisis Data dan Validasi Numerik 59

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 64

A. Karakteristik Fisik, Mekanik dan Mikrostruktur Tanah Laterit 64 B. Kapasitas Dukung Tanah Laterit Stabilisasi Kapur

dan Semen 75

C. Deformasi dan Modulus Reaksi Tanah Laterit

Stabilisasi Kapur 88

D. Validasi Numerik Model Deformasi Soil Laterite

Lime Treated Base 96

E. Temuan Empirik 100

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 103

A. Kesimpulan 103

B. Saran – Saran 104

Daftar Pustaka 106

Lampiran-Lampiran 111

(12)

ix

Gambar 1. Metode-metode stabilisasi hubungannya dengan tingkat kesesuaian untuk tanah dengan ukuran

butir dan plastisitas berbeda 14

Gambar 2. UCS dan tangent modulus campuran tanah dengan

pemeraman 7 hari dan 28 hari 19

Gambar 3. Sketsa struktur mineral montmorilonite 23 Gambar 4. Gambaran Skema air inter lapisan, lapisan air ganda

dan air bebas pada bentonite yang dipadatkan 27 Gambar 5. Perilaku tanah sebagai kelompok pegas dan

modulus reaksi tanah 30

Gambar 6. Hubungan antara beban (q) dengan penurunan 32

Gambar 7. Korelasi hubungan nilai k dan CBR 33

Gambar 8 Proses keruntuhan tanah 35

Gambar 9. Kerangka pikir penelitian 47

Gambar 10. Lokasi pengambilan sampel tanah laterit 48 Gambar 11. Jenis tanah laterit hasil pengambilan contoh 49 Gambar 12. Bagan alir proses penelitian untuk tahapan stabilisasi 50 Gambar 13. Bagan alir proses penelitian untuk uji model

lapisan lime treated base 51

Gambar 14. Alat uji unconfined compression strength dan CBR 54

Gambar 15. Alat uji XRD dan SEM 55

Gambar 16. Sketsa model fisik untuk uji lapisan pondasi jalan 57 Gambar 17. Kerangka kerja bak uji model fisik lapisan pondasi jalan 57 Gambar 18. Tahapan persiapan tanah campuran dan tahapan pemadatan 58

Gambar 19. Tahapan pengujian 59

(13)

x

Gambar 22. SEM foto mikrograf tanah laterit 74 Gambar 23. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap

penambahan kapur (CaO) dan waktu peram 76 Gambar 24. Hubungan nilai qu tanah laterit terhadap

penambahan semen dan waktu peram 77 Gambar 25. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap

penambahan kapur dan waktu peram 79 Gambar 26. Hubungan nilai CBR tanah laterit terhadap

penambahan semen dan waktu peram 80

Gambar 27. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH1

dengan stabilisasi 82

Gambar 28. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH2

dengan stabilisasi 83

Gambar 29. Hasil uji EDS dan foto mikrograf tanah laterit LH3

dengan stabilisasi 84

Gambar 30. Reaksi kimia antara tanah laterit dengan kapur/semen 87 Gambar 31. Foto SEM beberapa tanah laterit dan lempung dengan

stabilisasi 88

Gambar 32. Hubungan pembebanan terhadap deformasi vertikal

tanah laterit stabilisasi kapur 90

Gambar 33. Hubungan modulus elastisitas dan modulus reaksi tanah

terhadap persen kapur 90

Gambar 34. Hubungan nilai k dan CBR tanah laterit

stabilisasi kapur 92

Gambar 35. Hubungan nilai CBR dan k tanah laterit,

analisis HMZ, dan PU Bina Marga 93

Gambar 36. Hubungan persentase kapur dengan CBR

dan nilai k tanah laterit stabilisasi kapur 94

(14)

xi

model shading a) tanpa stabilisasi;

b) stabilisasi 10% kapur 97

Gambar 39. Hasil analisis Plaxis 2D model terdeformasi

a) tanpa stabilisasi; b) stabilisasi 10% kapur 98 Gambar 40. Model keruntuhan hasil analisis numerik 100 Gambar 41. Hubungan deformasi hasil uji model

dengan hasil analisis Plaxis 101

(15)

xii

Halaman Tabel 1. Mekanisme dan tingkat penggunaan dari berbagai

bahan satabilisasi 13

Tabel 2. Pengaruh mineralogi tanah terhadap respon stabilisasi 14 Tabel 3. Ketebalan A dan lapisan hidrasi untuk pertukaran

kation berbeda 26

Tabel 4. Penelitian terdahulu relevan 42

Tabel 5. Standard pengujian menurut ASTM 52

Tabel 6. Pengujian benda uji 54

Tabel 7. Parameter input data tanah 61

Tabel 8. Parameter material pelat baja 61

Tabel 9. Karakteristik fisik dan mekanis tanah alluvial (subgrade) 65 Tabel 10. Karakteristik fisik dan mekanis tanah laterit 67

Tabel 11. Kategori kekuatan tanah 69

Tabel 12. Kriteria umum tanah berdasarkan nilai CBR 70

Tabel 13. Kandungan mineral tanah laterit 71

Tabel 14. Komposisi unsur kimia tanah laterit 73 Tabel 15. Kandungan mineral tanah laterit dengan stabilisasi 81 Tabel 16. Hasil analisis nilai k untuk variasi persen kapur 92

(16)

1

A. Latar Belakang

Kebutuhan lahan dan material untuk pembangunan jalan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya suatu kawasan atau bertumbuhnya daerah otonomi baru. Hal ini juga menyebabkan kebutuhan material struktur badan jalan yang memenuhi syarat teknis dan ekonomis.

Disisi lain, tanah asli di bumi jarang sekali ditemukan langsung dalam keadaan mampu mendukung beban berulang lalu-lintas kendaraan tanpa mengalami deformasi yang besar. Diperlukan suatu struktur yang dapat melindungi tanah dasar dan mendukung lapisan perkerasan dari beban roda kendaraan yang disebut dengan lapisan pondasi jalan (base dan sub-base). Lapisan ini berfungsi untuk melindungi tanah dasar (subgrade) dan mendukung lapisan perkerasan agar tidak mengalami keruntuhan akibat beban lalu-lintas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lapisan perkerasan sering mengalami deformasi vertikal dan keruntuhan akibat ketidakstabilan lapisan pondasi jalan dan tanah dasar di bawahnya.

Kondisi ini ditandai dengan banyaknya alur atau retakan yang terjadi melebihi antisipasi umur desain.

Kebutuhan material pondasi jalan pada daerah-daerah tertentu sering menjadi masalah karena sulit diperoleh, mahal, dan jumlahnya terbatas. Akibatnya konstruksi jalan harus dilakukan pada kondisi tanah

(17)

jelek seperti tanah dasar lunak, tanah dengan potensi kembang susut yang besar, urugan dari laut, bahkan tanah yang tidak stabil bila terjadi gempa/getaran. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah stabilisasi tanah sebelum tanah tersebut digunakan. Maksudnya adalah untuk meningkatkan kinerja tanah atau memperbaiki sifat-sifat geoteknik tanah secara kimia agar tanah memenuhi syarat teknis tertentu.

Selain itu, pada daerah-daerah tertentu kondisi tanah yang memenuhi syarat sulit diperoleh dan terbatas jumlahnya. Salah satu cara penyelesaian masalah tersebut adalah melakukan efisiensi penggunaan tanah sebagai lapisan pondasi jalan. Hal ini dimaksudkan untuk mereduksi jenis dan tebal lapisan pondasi jalan, dimana umumnya dilakukan dengan dua jenis lapisan pondasi yaitu lapisan pondasi bawah (LPB) dan lapisan pondasi atas (LPA). Upaya untuk mereduksi LPA dan LPB menjadi hanya satu lapis dengan ketebalan efektif dan memenuhi syarat teknis, dapat dikembangkan dengan melakukan kajian terhadap potensi tanah tertentu yang telah distabilkan dengan metode dan dilakukan uji model tertentu sehingga diperoleh suatu lapisan pondasi seperti lime treated base. Salah satu tanah yang dapat dikembangkan adalah tanah laterit yang sangat berpotensi di daerah Sorowako Luwu Timur Sulawesi Selatan. Daerah ini memiliki kondisi tanah laterit dengan kandungan logam besi oksida relatif tinggi (Fe2O3). Sementara itu, jenis tanah yang memenuhi syarat teknis sebagai lapisan pondasi jalan sulit dan terbatas, bahkan harus

(18)

didatangkan dari daerah lain. Potensi tanah ini sangat besar karena hanya terbuang begitu saja dari hasil galian penambangan nikel. Sorowako merupakan salah satu desa di Kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas wilayah 6.944,98 km2. Secara geologi, daerah ini didominasi oleh batuan ultra basa yang kaya dengan mineral logam khususnya besi dan nikel. Proses pelapukan daerah tropis yang tinggi, mengakibatkan terbentuknya tanah laterit yang dominan.

Aktifitas penambangan nikel, menghasilkan buangan tanah laterit yang tidak termanfaatkan dalam jumlah cukup signifikan. Upaya pemanfaatan tanah laterit ini khususnya sebagai lapisan pondasi jalan merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah keterbatasan dan kesulitan material yang memenuhi syarat lapisan pondasi jalan pada daerah-daerah dengan potensi tanah laterit yang tinggi seperti Sorowako dan Halmahera Timur.

Tanah laterit mengandung mineral-mineral lempung yang relative tinggi utamanya illite dan montmorillonite (Portelinha, et.al. 2012). Mineral lempung dan unsur logam yang tinggi, dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan baik pada pekerjaan konstruksi, industri, maupun lainnya.

Kajian mendalam terhadap karakteristik detail dan kemungkinan perbaikannya sebelum digunakan perlu dilakukan. Salah satu potensi pemanfaataannya adalah sebagai lapisan pondasi jalan yang efektif, efisien dan relatif murah (lime treated base), karena ketersediaannya melimpah (sangat potensial) dan merupakan aset lokal (local content).

(19)

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan kajian secara detail terhadap karakteristik tanah laterit yang diperoleh dari tiga lokasi berbeda di Sorowako Luwu Timur, yang selanjutnya distabilisasi dengan kapur dan distabilisasi dengan semen. Karakteristik dimaksud meliputi karakteristik fisik, mineralogi, kimia, mekanik, dan mikrostrukstur, sesuai standard ASTM. Selanjutnya untuk pemanfaatan sebagai lapisan pondasi jalan (lime treated base), dilakukan uji model dengan pengujian daya dukung tanah (CBR) dan modulus reaksi tanah (k) untuk mengetahui deformasi model lime treated base tanah laterit, menggunakan uji beban terpusat (Hardiyatmo, 2009). Selanjutnya, dibuat kurva hubungan CBR dengan nilai modulus reaksi tanah (k) dan persentase kapur. Kurva yang diperoleh akan dibandingkan dengan kurva yang sama berdasarkan kurva penelitian sebelumnya. Hal ini merupakan temuan baru yang dapat digunakan sebagai referensi untuk tanah laterit yang distabilisasi khususnya dengan kapur. Selain itu, dikembangkan juga kurva hubungan antara beban dan deformasi untuk mengetahui model deformasi lapisan lime treated base. Akurasi hasil pengujian, selanjutnya divalidasi secara numerik menggunakan metode elemen hingga (Plaxis 2D), dengan membandingkan model deformasi yang diperoleh dari analisis numerik dengan model deformasi yang diperoleh dari uji model.

Dengan demikian, penelitian utama yang akan dilakukan adalah mengkaji karakteristik tanah laterit, mengkaji kekuatan dan kapasitas daya dukung tanah laterit stabilisasi kapur dan stabilisasi semen, mengkaji dan

(20)

mengetahui model deformasi lime treated base tanah laterit, dan validasi numerik deformasi lapisan lime treated base tanah laterit menggunakan metode elemen hingga (Plaxis 2D).

Penelitian ini merujuk pada berbagai hasil penelitian sebelumnya terkait dengan penelitian terhadap tanah laterit, dan lebih detailnya rujukan tersebut diuraikan pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, beberapa masalah yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik fisik, mekanis, dan mikrostruktur tanah laterit batuan ultrabasa?

2. Bagaimana kekuatan dan California Bearing Ratio (CBR) tanah laterit stabilisasi kapur dan stabilisasi semen?

3. Bagaimana model hubungan modulus reaksi tanah dan CBR tanah laterit stabilisasi kapur dengan uji model dan validasi numerik?

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakteristik fisik, mekanis, dan mikrostruktur tanah laterit batuan ultrabasa.

2. Menganalisis kekuatan dan CBR tanah laterit stabilisasi kapur dan stabilisasi semen.

(21)

3. Menghasilkan model hubungan modulus reaksi tanah dan CBR tanah laterit stabilisasi kapur dengan uji model dan validasi numerik.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini berupa informasi dan rekomendasi untuk dapat dipertimbangkan dan ditindaklanjuti baik teknis, sosial-ekonomis, maupun lingkungan, sehingga berguna untuk:

1. Membantu mengatasi masalah lingkungan buangan tanah laterit hasil penambangan.

2. Mengatasi kesulitan pengadaan material struktur lapisan pondasi jalan (lime treated base) yang efektif dan memenuhi syarat.

3. Menjadi referensi dengan kasus yang sama untuk daerah lain.

4. Menjadi referensi tanah laterit dengan stabilisasi kapur dan stabilisasi semen untuk dikembangkan dan digunakan untuk berbagai pemanfaatan.

5. Menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut dengan menggunakan bahan stabilisasi lainnya.

6. Memberikan solusi bagi pemerintah daerah dengan potensi tanah laterit yang besar dalam penyediaan material pondasi jalan dan bahan konstruksi lainnya.

(22)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Permasalahan Strategis Tanah Laterit

1. Deposisi Global Tanah Laterit

Tanah laterit merupakan kelompok tanah dari hasil pelapukan yang tinggi, terbentuk dari hasil konsentrasi hidrasi oksida besi dan aluminium (Amu et.al, 2011). Nama laterit diberikan oleh Buchanan tahun 1807 di India, dari Bahasa Latin ”later” yang berarti bata. Tanah jenis ini memiliki karakteristik keras, sulit ditembus, dan sangat sulit berubah jika dalam kondisi kering (Makasa, 2004). Tanah laterit memiliki variasi yang luas dari warna merah, coklat sampai kuning, tanah residual berukuran butir halus dengan tekstur ringan memiliki bentuk butiran nodular dan tersementasi dengan baik (Lambe dan Whitman, 1979). Bridges (1970) menyatakan bahwa penggunaan yang benar dari istilah laterit adalah formasi vesicular kompak batuan besi (a massive vesicular or concretionary ironstone formation). Fookes (1997) menamai laterit didasarkan pada pengerasan seperti ”freeic” untuk tanah keras kaya besi yang tersementasi, “alcrete”

atau bauksit untuk tanah keras kaya aluminium yang tersementasi,

“calcrete” untuk tanah keras kaya calcium karbonat, dan “silcrete” untuk yang kaya silica. Definisi lainnya didasarkan pada perbandingan jumlah silica (SiO2) terhadap oksida (Fe2O3+Al2O3), untuk tanah laterit

(23)

perbandingan tersebut antara 1,33 dan 2,0, sedangkan di atas 2,0 bukan tanah laterit.

Komposisi unsur dan senyawa yang terkandung dalam tanah laterit yang umum meliputi oksigen, magnesium, aluminium, silicon, sulfur, calcium, vanadium, manganese, besi, dan nikel. Sedangkan kandungan mineral yang ada dalam tanah laterit tersebut terdiri dari hematite, kaolinte, illite, montmorillonite, rutile, forsterite, andalusite, magnetite, magnesium silicate, dan nikel dioksida.

Ciri-ciri fisik di alam secara umum, tanah laterit atau sering disebut dengan tanah merah merupakan tanah berwarna merah hingga coklat yang terbentuk pada lingkungan lembab, dingin, dan mungkin genangan- genangan air. Tanah ini memiliki profil yang dalam, mudah menyerap air, memiliki kandungan bahan organic sedang dan pH netral hingga asam dengan banyak kandungan logam terutama besi dan aluminium, serta baik digunakan sebagai bahan pondasi karena teksturnya relative padat dan kokoh. Sifat-sifat fisik tanah laterit sangat bervariasi tergantung pada komposisi mineralogi dan distribusi ukuran partikel tanah, granulometri dapat bervariasi dari halus sampai gravel tergantung asal dan proses pembentukannya sehingga akan mempengaruhi sifat-sfat geoteknik seperti plastisitas dan kuat tekan. Salah satu kelebihan tanah laterit adalah tidak mudah mengembang dengan air, tergantung pada kandungan mineral lempung di dalamnya.

(24)

Sebaran tanah laterite di dunia sekitar sepertiga bagian area kontinental bumi (Yves, 2010). Tanah ini menutupi sebagian besar daerah sekitar Amerika Selatan, Afrika, Jazirah Arab, dan Australia. Sedangkan untuk batuan ultramafic terdeformasi tinggi akibat proses laterisasi terdapat di daerah Brasil dan Australia, untuk deformasi sedang terdapat di daerah Guatemala, Colombia, Eropa Tengah, India dan Burma.

Sementara bagian besar proses laterisasi terdapat di daerah Caledonia Baru, Cuba, Indonesia, dan Philipina.

2. Geologi Tanah Laterit di Asia

Pelapukan daerah tropis (proses laterisasi) merupakan proses pelapukan kimiawi dengan variasi ketebalan, kadar, kimiawi, dan mineralogi tanah yang dihasilkan. Hasil awal pelapukan umumnya dikenal sebagai batuan kaolinasi atau saprolite. Periode efektif laterisasi sekitar mid-tertiary sampai mid-quarternary (35 sampai 1,5 juta tahun lalu). laterit

terbentuk dari proses pencucian batuan sedimen (batu pasir, lempung, dan gamping), batuan metamorf (schists, gneiss, magmatis), batuan beku (granite, basalts, gabro, dan peridotit). Mekanisme pencucian (leaching) meliputi pelarutan asam, diikuti dengan hidrolisis dan presipitasi oksida serta sulfida besi, aluminium dan silika dalam kondisi temperatur tinggi pada daerah sub tropis.

Ciri utama formasi laterit adalah pengulangan musim basah dan kering. Formasi laterit paling baik pada relief topografi rendah dan berbukit akibat erosi permukaan. Zone reaksi terjadi pada kontak batuan dengan

(25)

air pada muka air tanah rendah sampai tinggi yang semakin lama semakin berkurang ion sodium, potassium, calcium, dan magnesium. Larutan ion ini dapat mengoreksi pH pelarut silicon oksida secara sempurna dibandingkan aluminium oksida dan besi oksida. Mineralogi dan komposisi kimia tanah laterit tergantung pada batuan asalnya, utamanya kuarsa, zircon, oksida titanium, besi, tin, aluminium dan mangan, yang merupakan sisa proses pelapukan. Variasi signifikan laterit menurut lokasi, iklim, dan kedalaman, dimana mineral-mineral utama untuk nikel dan cobalt berupa besi oksida, mineral lempung atau mangan oksida. Besi oksida diperoleh dari batuan beku mafic, sedangkan nikel laterit terbentuk pada zone pelapukan tropis dari batuan ultramafic yang mengandung mineral-mineral

ferro-magnesian seperti olivin, pyroxene, dan amphibol (Valeton, 2010).

Secara geografis dan geologi, Indonesia merupakan daerah yang kaya dengan mineral logam khususnya yang terbentuk dari batuan ultrabasa, hal ini menyebabkan penyebaran tanah laterit hampir ada di setiap wilayah, diantaranya adalah sebaran tanah laterit di Sorowako Luwu Timur Provinsi Sulawesi. Tanah laterit Sorowako merupakan tanah yang terbentuk di daerah tropis atau sub tropis dengan tingkat pelapukan tinggi pada batuan basa sampai batuan ultrabasa yang didominasi oleh kandungan logam besi relatif tinggi.

(26)

3. Prospektif Stabilisasi Tanah Laterit

Stabilisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu tindakan perbaikan mutu bahan pondasi jalan atau usaha untuk meningkatkan kekuatannya sampai pada tingkat kekuatan tertentu sehingga dapat berfungsi dan memberikan kinerja lebih baik dari aslinya.

Sedangkan stabilisasi tanah didefinisikan sebagai suatu usaha untuk perbaikan sifat-sifat tanah eksisting agar memenuhi spesifikasi teknis yang diharapkan. Stabilisasi, jika didesain dengan benar akan memberikan keuntungan secara ekonomis dan lingkungan dalam aplikasinya pada rehabilitasi dan pembangunan jalan (Syahril, 2010).

Prinsipnya, perbaikan tanah (stabilisasi tanah) dilakukan dengan cara mencampur tanah asli dengan bahan penguat dari luar secara setempat. Bahan pencamur yang paling banyak digunakan adalah kapur dan semen. Tujuan utama pencampuran adalah untuk memperkuat struktur tanah, mengurangi plastisitas dan kompresibilitas tanah (Mochtar, 2000). Stabilisasi tanah selain digunakan untuk memperbaiki kapasitas dukung tanah dasar (subgrade), juga dapat dilakukan pada lapisan pondasi. Karenanya, pertimbangan tingginya intensitas beban dan abrasi yang akan dialami oleh permukaan struktur perkerasan, maka stabilisasi tidak cocok dilakukan pada komponen permukaan dari perkerasan jalan. Dalam kondisi tertentu, material lapisan pondasi jalan dapat lebih menguntungkan jika distabilisasi, dan material tanah dasar

(27)

juga terkadang dilakukan hal yang sama untuk mendukung lapis pondasi pada jalan raya utama (Yusuf Hamzah, et. al., 2012).

Stabilisasi kapur dan semen didasarkan pada kondisi tanah laterit Sorowako yang memiliki kandungan mineral lempung yang tinggi (60- 80%). Dengan mencampurkan tanah dan bahan stabilisasi maka ikatan antara butiran tanah lebih efektif dan menghasilkan perkuatan untuk menahan distribusi beban, karakteristik tegangan, dan mengontrol kembang susut tanah. McNally (1998) menyatakan bahwa pemilihan suatu bahan stabilisasi dan prosedur konstruksinya harus berdasarkan beberapa pertimbangan seperti pada Tabel 1. Sedangkan gambaran kesesuaiannya dengan kondisi tanah ditunjukkan pada Gambar 1 (Amu et.al, 2011), dan dampak mineralogi tanah dan responnya terhadap stabilisasi diperlihatkan seperti Tabel 2 (McNally, 1998).

Stabilisasi menggunakan kapur merupakan satu dari metode yang sudah lama untuk meningkatkan sifat teknis tanah dan dapat digunakan untuk menstabilisasi material base dan sub base. Penambahan kapur untuk mereaksi tanah-tanah berbutir halus memberikan dampak terhadap sifat teknis meliputi pengurangan plastisitas dan potensi pengembangan, meningkatkan kemampuan, meningkatkan kekuatan dan kekakuan, dan meningkatkan durability. Kapur dapat digunakan untuk perbaikan tanah dengan tingkat bervariasi tergantung pada tujuan.

(28)

Tabel 1. Mekanisme dan tingkat penggunaan dari berbagai bahan stabilisasi

Mekanisme Pengaruh Kesesuaian tanah

Granular

Blending to poorly graded soils, usually coarse into fine (not clayey) soils

Higher compacted density, more uniform mixing, increased shear strength

Gap-graded or gravel- deficient (gravel, sand addition), or harsh FCR (fine crushed rock road base) (loam addition)

Cement

Mixing small amounts (cement modification) or larger proportions (cement binding) into soil or FCR

Improve shear strength,

reduces moisture sensitivity

(modification), greatly increases tensile strength and stiffness (binding)

Most soils, especially granular ones, large amounts of cement needed in clay-rich and poorly graded sands, hence expensive.

Lime

Mixing hydrated lime or quicklime in small to

moderate amounts into soils

Increases bearing capacity, dries wet soil, improves friability, reduces shrinkage.

Cohesive soils, especially wet, high – PI clays.

Lime Pozzolan

Mixing lime plus fly ash or granulated slay into soil or FCR

Similar to cement but slower acting and less ultimate strength

As for cement, plus clayey soils that do not react with lime.

Bitumen

Agglomeration, coating and binding of granular particles

Water proofs, imparts cohesion and stiffness

Granular, non-cohesive soils in hot climates.

Umumnya kapur yang digunakan untuk bahan stabilisasi adalah calcium hidroksida (Ca(OH)2) dan dolomite (Ca(OH)2+MgO). Penentuan jumlah kapur yang akan digunakan, biasanya didasarkan pada hasil analisis dari efek persentasi kapur berbeda terhadap pengurangan plastisitas dan peningkatan kekuatan tanah.

(29)

Gambar 1. Metode-metode stabilisasi hubungannya dengan tingkat kesesuaian untuk tanah dengan ukuran butir dan

plastisitas berbeda

Tabel 2. Pengaruh mineralogi tanah terhadap respon stabilisasi

Mineral Material stabilisasi yang

direkomendasikan Penjelasan Crushed gravels and

FCR

Sandy or silty loam, crushed shale (must be dry)

Improves grading, workability, increase compacted density

Quartz sands

As above

Improves grading, increase density and imparts

plasticity

Cement For density, shear strength

impermeability Bitumen, bitumen emulsion For cohesion,

waterproofing

Carbonate SANDS Lime Lowers PI, increases shear

strength

Kaolinite, illite

Lime For drying, friability and

later strength Cement

For early strength,

especially if lime previously applied

Montmorillorite and

mixed layer clays Lime For drying, friability and PI reduction

Dispersive (sodic)

clays Lime, gypsum To resist deflocculation and

internal erosion

Allophane Lime-gypsum mixes For strength

Halloysite Drying Causes irreversible

granulation and shrinkage

Volcanic ash Lime Promotes pozzolanic

setting

(30)

Selanjutnya, kebanyakan tanah berbutir halus akan lebih efektif jika distabilisasi dengan 3%-10% kapur, berdasarkan pada berat kering tanah.

Penambahan kapur akan lebih efektif untuk memperbaiki tanah lempung plastis yang mampu menahan air. Partikel-partikel lempung memiliki muatan permukaan tinggi yang dapat menarik kation (ion bermutan positif) dan dipole-dipole air. Terjadi dua reaksi, yaitu pertukaran kation dan flokulasi agglomerasi, berlangsung cepat dan langsung menghasilkan perkuatan pada plastisitas tanah, kemampuan, kekuatan yang awet, dan sifat-sifat beban-deformasi. Pengaruh kapur pada sifat-sifat tanah dapat dikelompokkan menjadi pengaruh langsung dan jangka panjang.

Pengaruh langsung diperoleh tanpa pemeraman dan selama tahapan konstruksi, yang berhubungan dengan reaksi pertukaran kation dan flokulasi agglomerasi yang terjadi bila kapur dicampurkan dengan tanah.

Pengaruh stabilisasi jangka panjang terjadi selama dan setelah pemeraman, dan sangat penting untuk kekuatan dan daya tahan. Bila pengaruh ini dihasilkan sampai batas tertentu akibat pertukaran kation dan flokulasi-agglomerasi, utamanya akan dihasilkan pozzolanic strength gain (Mallela et. al, 2004).

Semen adalah material yang mempunyai sifat-sifat adhesif dan kohesif sebagai perekat yang mengikat fragmen-fragmen mineral menjadi suatu kesatuan yang kompak. Semen dikelompokkan dalam 2 (dua) jenis yaitu semen hidrolis dan semen non-hidrolis. Semen hidrolis adalah suatu bahan pengikat yang mengeras jika bereaksi dengan air serta

(31)

menghasilkan produk yang tahan air. Contohnya seperti semen portland, semen putih dan sebagainya, sedangkan semen non hidrolis adalah semen yang tidak dapat stabil dalam air. Semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara mencampurkan batu kapur yang mengandung kapur (CaO) dan lempung yang mengandung silika (SiO2), oksida alumina (Al2O3) dan oksida besi (Fe2O3) dalam oven dengan suhu kira-kira 145°C sampai menjadi klinker. Klinker ini dipindahkan, digiling sampai halus disertai penambahan 3-5% gips untuk mengendalikan waktu pengikat semen agar tidak berlangsung terlalu cepat.

Dalam semen Portland ini terdapat susunan senyawa semen yang berfungsi seperti berikut; C3S = 3 CaO SiO2 (trikalsium silikat) mempunyai andil yang besar terhadap fungsi sebagai perekat dan dapat mengeras jika bereaksi dengan air sehingga dapat meningkatkan kekuatan tekan;

C2S = 2CaO SiO2 (dikalsium silikat) berfungsi sama dengan C3S; C3A = 3CaO Al2O3 (trikalsium aluminat) dalam semen portland tidak berfungsi sebagai perekat. Senyawa ini hanya berfungsi sebagai fluks (bahan pelebur) sewaktu masih ada dalam tungku pembakaran, sehingga akan mudah terbentuk senyawa C3S dan C2S; C4AF = 4CaO Al2O3 Fe2O3

(Tetra Alumineferrit) berfungsi sama seperti C3A serta andil terhadap warna semen; Gips = CaSO4 2H2O berfungsi sebagai retarder atau memperlambat waktu pengerasan tepung semen portland bila bercampur dengan air; Selain itu terdapat komposisi kimia lain seperti: C = CaO, Na2O, K2O dalam jumlah yang kecil.

(32)

Kedua mineral kalsium silikat, C3S dan C2S merupakan unsur utama dalam pengembangan kekuatan dan memiliki pengaruh yang besar terhadap ketahanan dan sifat struktural jangka panjang dari semen portland.

B. Perilaku dan Prospektif Fisik, Mekanis, dan Mineralogi Tanah Laterit

Penelitian terhadap stabilisasi tanah laterit dengan berbagai kondisi telah banyak dilakukan untuk mengetahui perilaku tanah tersebut diberbagai tempat, dengan berbagai jenis tanah laterit. Setiap daerah memiliki ciri dan karakteristik tanah laterit yang berbeda, baik komposisi mineral yang terkandung maupun kandungan unsur yang ada di dalamnya.

Amu, et.al, (2011), telah melakukan stabilisasi terhadap tanah laterit di bagian Afrika dengan menggunakan kapur, dan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa kandungan optimum kapur untuk tiga contoh tanah laterit A, B, dan C berturut-turut adalah 8%, 6%, dan 6%, sangat sesuai dengan pemanfaatan tanah laterit sebagai bahan dasar lapisan perkerasan jalan. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, penambahan kapur 6-8% mengakibatkan peningkatan berat kering maksimum (MDD), daya dukung tanah (CBR), dan kekuatan tanah (kuat tekan dan kuat geser) menjadi 2-3 kali lipat.

(33)

Portelinha, et. al. (2012), mengemukakan bahwa penambahan sedikit kapur dan semen sangat efisien meningkatkan kemampuan tanah laterite dengan hanya menambahkan 3% semen dan 2% kapur. Sifat-sifat kimia campuran sangat sesuai dengan perilaku plastisitas, ditunjukkan bahwa kandungan kapur yang sekitar 3% sangat mendukung alterasi mineralogy, hidrasi akibat reaksi dengan semen mengurangi nilai plastisitas indeks. Modifikasi tanah dengan kapur mengeliminasi potensi pengembangan tanah, bila ditambahkan semen 2%, modifikasi juga meningkatkan kekuatan dan modulus tanah utamanya setelah pemeraman 28 hari. Alterasi tertinggi pada kekuatan dihasilkan 2% kapur dan 3% semen, dimana penambahan 1% sudah cukup untuk meningkatkan 50% kuat tekan unconfined dibandingkan dengan tanah asli, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.

Tangen modulus meningkat secara signifikan seiring dengan kenaikan UCS akibat penambahan kandungan bahan stabilisasi. Alterasi mineralogy terbentuk pada contoh yang menunjukkan peningkatan kekuatan secara signifikan. Analisis mekanistik menunjukkan bahwa tanah yang telah dimodifikasi sangat baik digunakan untuk perkerasan karena menghasilkan regangan elastik dan tegangan yang rendah.

Aminaton, et. al. (2013), telah melakukan pengujian terhadap stabilisasi tanah laterit menggunakan larutan polimer (GKS), dan menyimpulkan bahwa kekuatan tanah meningkat sejalan dengan meningkatnya waktu peram dan peningkatan terjadi setelah waktu peram

(34)

7 hari. Kekuatan, kohesi dan sudut geser dalam juga meningkat dengan meningkatnya konsentrasi polymer dan kondisi pemeraman. Dari hasil uji diperoleh bahwa kandungan polymer 9% dapat dikatakan sebagai jumlah optimum untuk stabilisasi yang baik bagi tanah laterit.

Gambar 2. UCS dan tangent modulus campuran tanah dengan pemeraman 7 hari dan 28 hari

Kiran, S.P., et. al. (2014), telah melakukan penyelidikan terhadap tanah laterite yang distabilisasi dengan abu batang tebu dan semen dan menyimpulkan bahwa abu serat tebu sangat efektif sebagai nahan

(35)

stabilisasi pada kandungan 5% dan 6% kandungan semen untuk memperkuat sifat geoteknik tanah lateritic, dan dapat digunakan untuk konstruksi jalan sebagai sub base. Yinusa, A., et. al. (2014), melakukan penelitian terhadap stabilisasi tanah laterit menggunakan abu tongkol jangung (CCA), dan menyimpulkan bahwa density kering maksimum menurun dari 1,905 gr/cc ke 1,849 gr/cc pada kandungan abu jonggol jagung 1,5%, kadar air optimum meningkat pada kandungan bahan pengikat 0-7,5%. Nilai CBR meningkat 65% ke 84% pada kandungan CCA 1,5%, selanjutnya menurun dengan penambahan CCA. Unconfined compression strength juga meningkat dari 403 kN/m2 ke 992 kN/m2 pada kandungan CCA 1,5%, dan menurun pada penambahan CCA.

Amadi, et. al. (2012), melakukan penelitian terhadap tanah laterite terkontaminasi dengan bahan kimia organic yang distabilisasi dengan abu kiln semen, dan menyimpulkan bahwa bahan kimia organic sangat berpengaruh terhadap sifat geoteknik tanah. terjadi penurunan plastisitas, berat volume kering dan unconfined compression strength, sedangkan konduktivitas hidrolik, kadar air optimum mengalami peningkatan.

Liu Yangshen, et.al. (2004), melakukan kajian terhadap perilaku bentonite yang digunakan untuk memperkuat tanah laterite dan menyimpulkan bahwa bentonite dapat meningkatkan unjuk kerja hidrolik dan mekanik tanah laterite dan tanah loess. Kenaikan kandungan bentonite dalam campuran maximum compressive strength (MCS) meningkat sampai puncak dan mengalami penurunan setelah itu. Pada

(36)

kandungan bentonite 6,5%, MCS maksimum 2,26 MPa. Konduktivitas hidrolik tanah loess dengan 6% bentonite hanya 1/9 dari aslinya, sedangkan tanah laterite dengan 8% bentonite 1/13 dari aslinya.

Maksimum konduktivitas hidrolik (MHC) diperoleh 1x10-7 cm/s pada kadar air optimum 23% untuk tanah laterite dan 3,3x10-5 cm/s pada kadar air optimum 26% untuk tanah laterite dengan 8% bentonite. MHC untuk tanah loess 7,8x10-7 cm/s pada kadar air optimum 18%, dan 9x10-8 cm/s pada kadar air optimum 20% untuk tanah loess dengan 6% bentonite.

Konduktivitas hidrolik menurun drastic dengan meningkatnya density kering. Selanjutnya bila density kering lebih dari 1,62 Mg/m3 (loess) atau 1,58 Mg/m3 (loess dengan 6% bentonite), konduktivitas hidrolik tidak mengalami perubahan. Dengan demikian maka untuk tanah laterit dan laterite dengan 8% bentonite dapat digunakan pada desain teknik.

Adriani, et. al. (2012) melakukan penelitian pengaruh penggunaan semen sebagai bahan stabilisasi pada tanah lempung terhadap nilai CBR tanah dan menyimpulkan bahwa sifat plastis tanah akan menurun dengan diberikan bahan aditif semen. Penurunan indeks plastisitas tanah dimana IP tanah asli 26,553% bila dicampur dengan 10 % kadar semen IP menjadi 4,577%. Penurunan nilai PI tersebut dapat mengurangi potensi pengembangan dan penyusutan tanah. Dari hasil uji pemadatan dengan proctor standar diperoleh nilai d maks = 1.23 gr/cm3 dan kadar air optimum sebesar 37,5%. Penambahan semen dengan variasi penambahan sebesar 5%, 10%, 15%, dan 20% yang mengisi rongga pori

(37)

tanah telah meningkatkan d maksimum masing-masing menjadi 1,262 g/cm3, 1,291 g/cm3, 1,319 g/cm3 dan 1,35 g/cm3 dan kadar air optimum sebesar 36.65 %, 34.98 %, 34 %, 32.9 %. Penambahan semen telah meningkatkan nilai daya dukung tanah secara signifikan. Nilai CBR semakin naik seiring dengan penambahan semen, dimana nilai CBR tanah asli sebesar 8.204%. Terjadinya peningkatan nilai CBR pada campuran optimum 20% semen dengan waktu pemeraman 3 hari dengan nilai CBR 64,138 %.

Latifi, et.al., (2014) telah melakukan stabilisasi tanah laterit menggunakan sodium silikat cair, dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan sodium silikat lebih dari 9% menurunkan kuat tekan tanah. Penurunan kekuatan tanah ini diakibatkan oleh terbentuknya sodium alumino silikat hidrat dalam jumlah tertentu (N-A-S-H). Sedangkan Marto, et. al., (2014), menemukan bahwa stabilisasi menggunakan bahan stabilisasi TX-85 (sodium hidrat bentuk cairan) dan SH-85 (sodium hidrat dalam bentuk bubuk) meningkatkan kekuatan tanah secara signifikan, penguatan ini lebih cepat dan lebih tinggi (waktu dan biaya) dibandingkan dengan kapur dan semen.

Tanah laterit didominasi oleh mineral lempung yang memiliki plastisitas tinggi seperti mineral montmorillonite (smectite) dan illite, dapat mengembang saat kontak dengan air dalam bentuk cair atau uap. Hal ini berhubungan dengan komposisi mineralogi lapisan dasar atau unit struktur mineral montmorillonite. Struktur mineral montmorillonite

(38)

merupakan unsur yang terbentuk dari lembaran alumina octahedral antara dua lembaran silica tetrahedral seperti Gambar 3. Struktur alumina octahedral tersusun dari satu atom aluminium dan 6 hydroksil dalam bentuk octahedral dimana silica tetrahedral tersusun dari satu atom silicon dan 4 atom oksigen dalam bentuk tetrahedral.

Lapisan dasar menumpuk bersama membentuk partikel (plateled atau crystal). Pada kondisi kering, ikatan antara lapisan-lapisan dasar dihasilkan dari ikatan Van der Waals dan akibat pertukaran kation. Tipe ikatan ini bekerja saat air atau polar liquid mengisi antar lapisan.

Gambar 3. Sketsa struktur mineral montmorillonite

Partikel terbentuk dari beberapa sampai ratusan lapisan-lapisan dasar tergantung pada kondisi kandungan air (Pusch, et al., 1990).

Menggunakan transmission electron microscope (TEM), Tessier et al.

(1998), menemukan bahwa mikrostruktur lempung (lempung yang mengandung kalsium jenis mineral montmorillonite dan kaolinite) terdiri

(39)

dari agregat partikel dengan rata 2-4 lapisan dasar. Bagian dalam tiap unit partikel, terdapat jarak inter layer sekitar 12Å. Lebih dari itu, tipe pertukaran kation juga dipengaruhi oleh jumlah lapisan dasar pada partikel (Pusch et el., 1990). Untuk kondisi suspense, partikel terbentuk dari 3-5 lapisan dasar dan 10-20 lapisan dasar untuk sodium jenis bentonite dan kalsium jenis bentonite.

Pemadatan juga mempengaruhi jumlah lapisan dasar dalam partikel dan perbedaan jumlah sodium dan kalsium jenis bentonite untuk suction lebih besar dari 300 kPa. Untuk suction kurang dari 300 kPa, ditemukan bahwa jumlah lapisan dasar pada partikel hamper sama pada kedua jenis bentonite. Keadaan ini sangat penting dalam menyelidiki perilaku lempung ekspansif khususnya pada mikrostruktur bentonite (Delage, 2007).

Adanya unit-unit struktur (elementary layer), partikel-partikel, bergabung menghasilkan pori berbeda pada tanah mengembang.

Umumnya, tanah mengembang yang dipadatkan memiliki dua jenis pori (mikro pori dan makro pori) (Gens dan Alonso, 1992; Yong, 1999). Mikro pori merupakan pori yang ada dalam agregat (pori antara lapisan dasar dan antara partikel) atau disebut intra-aggregate pores. Makro pori merupakan pori yang berada antara agregat atau disebut inter aggregate pores.

Mekanisme interaksi antara air dan lempung merupakan ikatan hidrogen, hidrasi pertukaran kation-kation, atraksi osmosis, atraksi

(40)

pengisian surface-dipole, dan atraksi oleh gaya-gaya dispersi London.

Pada tanah lempung mengembang, untuk kondisi kering atau kadar air kecil, hidrasi akibat pertukaran ion kation merupakan mekanisme utama.

Pada kondisi kering, pertukaran kation terjadi pada permukaan lapisan atau lembaran tetrahedral untuk menyeimbangkan permukaan lempung.

Pada proses hidrasi, molekul-molekul air terserap diantara lapisan dasar lempung untuk membentuk lapisan-lapisan air. Ketebalan krital montmorillonite yang terhidrasi dan hidrasi lapisan yang komplit tergantung pertukaran kation. Pusch, at al., (1990), menyatakan bahwa ketebalan dan lapisan hidrasi komplit molekul-molekul air untuk pertukaran kation yang berbeda disimpulkan seperti pada Tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut, diperlihatkan bahwa terdapat 3 (tiga) lapisan molekul-molekul air untuk bentonite Mg dan Na dan 2 (dua) lapisan molekul-molekul air untuk bentonite Ca dan Na terbentuk pada permukaan lempung agar gaya hidrasi mengisi penuh. Ketebalan air total bentonite berturut-turut 9,08, 5,64, 9,74, dan 6,15 Å untuk Mg, Ca, Na, dan K.

Kadar air bentonite pada akhir proses hidrasi dapat dihitung dari data yang digambarkan pada Tabel 3, dengan menghitung berat air per gram tanah dari perkalian total ketebalan air, luas permukaan spesifik bentonite, dan berat volumetrik air. Kadar air sama dengan berat air per gram tanah dikalikan 100% dibagi 2. Untuk bentonite 500 m2/gr dan berat volumetric air 1 g/cm3, kadar air bentonite adalah 22,7, 14,1, 23,9, dan 15,4 untuk bentonite Mg, Ca, Na, dan K berturut-turut. Lapisan bentonite

(41)

jenis sodium menyerap air lebih pada proses hidrasi dibandingkan dengan bentonite lain. Jika berat volumetric air 1 g/cm3 untuk lapisan molukel- molekul air kurang dari 3 (tiga) pada permukaan lempung, kadar air akan lebih tinggi dari nilai tersebut.

Tabel 3. Ketebalan Å dan lapisan hidrasi untuk pertukaran kation berbeda (Pusch et al, 1990)

Mineral

Montmorillonite 0 hydrate 1st 2nd 3rd

Mg 9,52 12,52 15,55 16,6

Ca 9,61 12,5 15,25 -

Na 9,62 12,65 15,88 19,36

K 10,08 12,5 16,23 -

Saiyouri et al., (2004) menjelaskan bahwa empat lapisan air terbentuk pada permukaan lempung dari bentonite yang digunakan pada penelitiannya (MX 80 dan FOCa7). Menurut Mitchell (1993), untuk pengembangan penuh, bentonite tipe sodium memiliki luas permukaan spesifik 800 m2/g dapat mencapai kadar air 400% untuk hidrasi penuh pertukaran kation.

Setelah tiga atau empat lapisan molekul air antara lapisan dasar, hidrasi permukaan menjadi tidak penting lagi. Molekul-molekul air cenderung terdifusi ke arah depan permukaan untuk menyamakan konsentrasi ion. Hal ini terjadi antara permukaan luar partikel atau Kristal (Pusch et al., 1990; Bradbury et.al., 2002; Pusch et.al., 2003; Saiyouri et al., 2004). Untuk sodium bentonite, partikel-partikel pecah pada lapisan dasar akibat hidrasi (Pusch, 2001), difusi lapisan ganda akan terbentuk antara lapisan-lapisan dasar.

(42)

Gambar 4. Gambaran skema air inter lapisan, lapisan air ganda dan air bebas pada bentonite yang dipadatkan

Fraksi air tersisa dapat disebut air bebas yang terdapat pada inter koneksi lapisan film pada bagian luar parikel lempung dan juga sebagai lapisan disekitar komponen mineral butiran bentonite. Jumlah air bebas dan konsentrasi garam dalam air bebas pada bentonite yang dipadatkan tergantung pasa densitas kering awal contoh tanah (Bradbury et.al., 2002). Gambaran kondisi tersebut seperti Gambar 4.

C. Daya Dukung Tanah Laterit sebagai Base dan Subgrade 1. Tanah Ferro Laterit sebagai Lapisan Base dan Subgrade Jalan

Lapisan Pondasi (sub-base and base) adalah bagian lapisan perkerasan antara lapisan permukaan dan tanah dasar dengan fungsi sebagai berikut; merupakan bagian dari konstruksi perkerasan yang

(43)

menyebarkan beban roda ketanah dasar, mengefisiensikan penggunaan material, relatif murah dibandingkan dengan lapisan diatasnya, mengurangi tebal lapisan diatasnya yang lebih mahal, sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul dipondasi, lapis pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. Material yang digunakan untuk lapisan pondasi umumnya harus nilai CBR minimum 20% dan indeks plastisitas (PI)  10% (sub-base), CBR minimum 50% dan PI  4%. Jenis lapisan pondasi bawah yang umum digunakan di Indonesia adalah pasir dan batu (Sirtu) kelas A, B atau kelas C, tanah atau lempung kepasiran, lapis aspal beton (Laston), stabilitas agregat dengan semen atau kapur, Stabilitas tanah dengan semen atau kapur.

Tanah berbutir kasar merupakan tanah dasar yang baik untuk mendukung perkerasan dibandingkan dengan tanah berbutir halus, sedangkan khusus tanah lempung dapat menjadi masalah terhadap perkerasan (Yoder et.al., 1975). Runtuhnya perkerasan terjadi menurut dua mekanisme, pertama adalah akibat desifikasi dan repetisi geser, dan kedua akibat deformasi komponen lapisan perkerasan dengan kontribusi lebih dari lapisan subgrade, khususnya pada lempung.

Jika lapisan subgrade adalah tanah lempung ekspansif, maka akan lebih bermasalah lagi terhadap perkerasan. Lapisan subgrade tanah ekspansive akibat fenomena kembang susut akibat perubahan musim dapat mengakibatkan kekuatan tanah menjadi lemah setelah pengembangan yang mungkin menyebabkan intrusi subgrade pada tanah

(44)

di atasnya dan penetrasi lapisan sub base ke lapisan subgrade (Deshpande, 1990).

Beberapa metode perbaikan lapisan subgrade, antara lain;

pergantian (replacement), control pemadatan, pre-wetting, stabilisasi, moisture barrier, dan penggunaan geosintetik. Tanah laterit dengan kandungan mineral lempung yang dominan memerlukan suatu rekayasa perkuatan tanah agar dapat dimanfaatkan sebagai material konstruksi khususnya sebagai lapisan subgrade dan sub base.

Salah satu tantangan yang paling penting dalam desain struktur pada tanah adalah reaksi tanah saat kontak dengan struktur. Perilaku mekanik tanah sangat kompleks, karena tanah secara alamiah bersifat non-linier, anisotropic, heterogen, dan deformasinya tergantung pada beban yang diberikan. Dengan demikian, pada pekerjaan rekayasa untuk mendesain struktur, dibuat pemodelan tanah dengan seluruh kompleksitasnya, dengan sistem yang sederhana yang disebut model reaksi subgrade (Naeni, S.A., et. al., 2014).

Penentuan kekuatan tanah untuk mendukung struktur diatasnya sangat ditentukan oleh koefisien reaksi tanah (k) dan modulus elastisitas tanah (Es). Winkler (1867), membuat model untuk mengasumsikan kekakuan tanah sebagai rasio antara tekanan () dan displacement vertical () adalah linier, dan diketahui sebagai koefisien reaksi tanah, k (MN/m3). Teori ini mensimulasikan perilaku tanah sebagai kelompok pegas independen, dengan model linier-elastis, seperti Gambar 5a. Teori

(45)

ini banyak dikembangkan untuk perhitungan tegangan-tegangan pada pondasi fleksibel (Daloglu et.al., 2000).

Nilai modulus reaksi tanah (k) dapat ditentukan berdasarkan pengujian lapangan, pengujian laboratorium, persamaan empiris, dan nilai tabulasi. Uji lapangan menggunakan plate load test, uji laboratorium menggunakan uji konsolidasi dan uji triaksial (Dutta et.al., 2002).

Sedangkan Bowles, 1996 mengusulkan beberapa hubungan empiris dan beberapa nilai tabulasi untuk koefisien reaksi tanah, seperti Gambar 5b.

Gambar 5. Perilaku tanah sebagai kelompok pegas (a), dan Modulus reaksi tanah (b) (Bowles, 1996)

Kekuatan tanah dinyatakan dengan nilai modulus reaksi tanah (k) yang diukur dengan uji pembebanan (plate bearing test). Modulus reaksi ini merupakan ukuran kekuatan tanah dan dinyatakan dalam kaitannya dengan pembebanan. Penggunaan nilai k dalam analisis dianggap bahwa lapisan pondasi jalan adalah elastis, berarti dukungan yang diberikan berbanding lurus dengn lendutan. Pengujian lainnya (AASHTO D-T222)

a

b

(46)

memerlukan penambahan beban secar berurutan, disertai penghentian pada tiap penambahan beban sampai penentrasinya berhenti.. lendutan beban dicatat, selanjutnya dihitung besarnya modulus reaksi tanah.

Modulus reaksi tanah digunakan untuk evaluasi daya dukung lapisan pondasi jalan, yang didefinisikan sebagai rasio antara tekanan (q) pada suatu pelat kaku terhadap lendutan (Hardiyatmo, 2009).

Modulus of soil reaction (k), merupakan nilai banding antara unit tegangan reaksi tanah terhadap penurunan yang terjadi. Modulus ini digunakan untuk perhitungan pondasi elastis, yaitu pondasi yang dianggap berperilaku elastis pada saat menerima beban (Daud, 2008).

Penentuan daya dukung ultimit harus dianalisis berdasarkan data hasil uji pembebanan yang dilakukan, seringkali terjadi hambatan dalam menentukan daya dukung ultimit pada tanah. Pengujian pembebanan memberikan hasil berupa grafik beban (q) terhadap penurunan, seperti pada Gambar 6 (Nugroho, 2011).

Gambar 6. Hubungan antara beban (q) dengan penurunan

(47)

Berdasarkan grafik tersebut, selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mendapatkan hubungan nilai daya dukung aksial lapisan pondasi dan penurunan dari sampel yang diuji, dan dari nilai-nilai tersebut dapat dihitung modulus reaksi tanah sebagai berikut:

Q = P / A (1)

ks =  (2)

Dimana Q adalah tekanan tanah, ks adalah modulus reaksi tanah, P adalah beban, A adalah luas pelat baja,  adalah perubahan tekanan, dan  adalah penurunan (lendutan).

Metode pengujian modulus reaksi tanah (k) dapat juga diperoleh dengan melakukan pengujian pembebanan pelat (plate bearing test) menurut AASHTO T222-81, selanjutnya dikorelasikan terhadap nilai CBR, seperti Gambar 7.

Berdasarkan Gambar 7, bila nilai k lebih besar dari 140 kPa/mm

(14 kg/cm3), maka nilai k dianggap sama dengan 140 kPa/mm (14 kg/cm3) dengan nilai CBR 50% (Balitbang PU, 2003).

(48)

Gambar 7. Korelasi hubungan nilai k dan CBR (Balitbang PU, 2003 dan Yusuf Hamzah, et al., 2013)

2. Kapasitas Dukung Tanah

Tahanan geser tanah untuk melawan penurunan akibat pembebanan, yaitu tahanan geser yang dapat dikerahkan oleh tanah di sepanjang bidang gesernya disebut daya dukung tanah. Sedangkan kapasitas daya dukung adalah besarnya kemampuan tanah untuk menahan beban yang bekerja pada tanah tersebut. Beban yang timbul akibat transfer beban struktur melalui pondasi dan beban bergerak pada perkerasan jalan. Jika terjadi keruntuhan pada tanah akibat runtuhnya kapasitas daya dukung tanah, maka terjadi penurunan tanah dan mengakibatkan ketidakstabilan struktur, oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari kapasitas daya dukung tanah.

(49)

Proses keruntuhan tanah dasar terjadi dalam beberapa fase;

pertama, tanah di bawah fondasi turun mengakibatkan terjadinya deformasi tanah pada arah vertikal dan horisontal ke bawah, penurunan yang terjadi sebanding dengan besar beban (selama beban yang bekerja cukup kecil), tanah dalam kondisi keseimbangan elastis, massa tanah di bawah fondasi mengalami kompresi mengakibatkan kenaikan kuat geser tanah sehingga kapasitas dukung bertambah; kedua, terbentuk baji tanah pada dasar fondasi dimana deformasi plastis tanah dimulai dari ujung tepi fondasi mengakibatkan zona plastis semakin berkembang seiring dengan pertambahan beban, selanjutnya gerakan tanah arah lateral makin tampak ditandai oleh retakan lokal dan geseran tanah di sekeliling tepi fondasi, kuat geser tanah sepenuhnya berkembang untuk menahan beban pada zona plastis; dan ketiga, deformasi tanah semakin bertambah dan diikuti menggelembungnya tanah permukaan akibatnya tanah mengalami keruntuhan, bidang runtuh berbentuk lengkungan dan garis yang disebut bidang geser radial dan bidang geser linier.

Vesic (1963), membagi keruntuhan daya dukung tanah menjadi tiga tipe, yaitu; keruntuhan geser umum (general shear failure); keruntuhan geser lokal (local shear failure), dan keruntuhan penetrasi (penetration failure atau punching shear failure). Keruntuhan geser umum terjadi menurut bidang runtuh yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Suatu baji tanah terbentuk tepat pada dasar fondasi (zona A) yang menekan tanah ke bawah hingga menyebabkan aliran tanah secara plastis pada zona B.

(50)

Gerakan ke arah luar di kedua zona tersebut, ditahan oleh tahanan tanah pasif di bagian C. Saat tahanan tanah pasif bagian C terlampaui, terjadi gerakan tanah yang mengakibatkan penggembungan tanah di sekitar fondasi. Bidang longsor yang terbentuk, berupa lengkungan dan garis lurus yang menembus hingga mencapai permukaan tanah. Saat keruntuhannya terjadi gerakan massa tanah ke arah luar dan ke atas, seperti pada Gambar 8.

Gambar 8. Proses keruntuhan tanah

Keruntuhan geser umum terjadi dalam waktu yang relatif mendadak yang diikuti oleh penggulingan fondasinya. Tipe keruntuhan geser lokal sama dengan keruntuhan geser umum, namun bidang runtuh yang terbentuk tidak sampai mencapai permukaan tanah. Jadi bidang runtuh yang kontinu tidak berkembang. Fondasi tenggelam akibat bertambahnya beban pada kedalaman yang relatif dalam, yang menyebabkan tanah di

Fase 1

Fase 2

Fase 3

Referensi

Dokumen terkait

sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan Sistem Informasi Pemberian Remisi Pidana Umum Bagi Narapidana Penjara Dibawah Satu Tahun Pada

Alat bantu penggiling ikan yang lama memiliki banyak kekurangan selama digunakan untuk melakukan pekerjaan, terutama pada hasil proses penggilingan yang kurang lembut, desain

Maksud dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Idiosinkratik Rodrigo Duterte dalam kebijakan Filipina yang memutuskan keluar dari ICC pada tahun 2017-2019..

達することは決してなく、常にわれわれの「精神」に象徴的であるほかないとするもので

Lembaga Kejaksaan/Prosekutor Jepang  berwenang melakukan penyidikan kriminal baik atas dasar penyelidikan kepolisian maupun hasil identifikasi kejaksaan sendiri. Jika

Gambar di atas menunjukkan penurunan kadar protein seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan beras, baik untuk beras jenis SNI IV, beras Inpres, maupun beras

Satu lembar daun dikeringkan, lalu direbus dengan tiga gelas air hingga bersisa satu gelas, lalu diminum untuk obat ambeien.. Ubi Kayu

Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini, maka simpulan yang diperoleh adalah variabel pendapatan, kesempatan kerja, investasi, akses pelayanan pendidikan, dan akses