• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEGIATAN RUTIN DAN KEGIATAN PRIORITAS DITJEN P2P TAHUN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEGIATAN RUTIN DAN KEGIATAN PRIORITAS DITJEN P2P TAHUN 2020"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KEGIATAN RUTIN DAN KEGIATAN PRIORITAS

DITJEN P2P TAHUN 2020

(2)

1. HIV- AIDS

Perhitungan capaian indikator ODHA on ART pada tahun 2015-2019 berbeda dengan tahun 2020. Capaian ODHA on ART tahun 2015-2019 dihitung dari ODHA yang masih mendapatkan ARV dibandingkan dengan ODHA yang ditemukan dan memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan. ODHA yang memenuhi syarat untuk memulai terapi ARV dengan melihat hasil pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi hati, fungsi ginjal atau pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya dan hasil CD4. Pada tahun 2020-2024, indikator dihitung dengan membandingkan antara jumlah ODHA yang sedang menjalani terapi obat Anti Retro Virus (ARV) terus menerus (ODHA on ART) dibagi dengan jumlah estimasi ODHA, dalam kurun waktu tertentu. Penerapan kebijakan test dan treat all, tanpa melihat hasil pemeriksaan laboratorium untuk CD4, fungsi hati maupun fungsi ginjal. Adanya perbedaan denominator tahun 2015 – 2019 yaitu ODHA yang memenuhi syarat untuk memulai terapi ARV sedangkan denominator tahun 2020 – 2024 yaitu jumlah estimasi ODHA, mempengaruhi pencapaian indikator yang telah ditetapkan.

Capaian indikator ODHA on ART pada tahun 2020 sebesar 26,31% dari target 40%

dengan capaian kinerja sebesar 65,7%. Jika dibandingkan dengan tahun 2019 dan 2018, capaian tahun 2020 lebih rendah dibandingkan dengan capaian tahun 2018 (55,61%) dan tahun 2019 (49,48%). Capaian indikator tahun 2020 tidak berjalan sesuai dengan yang ditargetkan karena adanya pandemi COVID-19 tetapi pada tahun 2021 akan dilakukan akselerasi percepatan pencapaian sehingga diharapkan target tahun 2021-2024 berjalan on track.

Dari data cascading HIV dan ART sampai Desember 2020 menunjukkan target ODHA on ART tahun 2020 sebesar 40%, berdasarkan data SIHA online bulan Desember tahun 2020, jumlah estimasi ODHA tahun 2020 sebanyak 543.100 orang, jumlah ODHA yang ditemukan sebanyak 418.961 orang (77%) dimana sebanyak 316.191 (58%) ODHA masih hidup dan ODHA yang meninggal sebanyak 102.770 orang. Jumlah ODHA on ART sebanyak 142.871 orang (26,3%) dan Loss to Follow Up (LFU) sebanyak 65.772 orang (12%) dan yang stop pengobatan sebanyak 6.914 orang (1.27%). Untuk ODHA yang diperiksa viral load sebanyak 31.624 orang dan yang virusnya tersupresi sebanyak 27.303 orang (86,3%). Tingginya angka LFU ini dipengaruhi beberapa faktor

Plt. Dirjen P2P Kemenkes RI, dr. H. Muhammad Budi Hidayat, M.Kes Bersama Direktur P2PML dan Staf Khusus Menteri Kesehatan RI serta Para Penerima Penghargaan

(3)

antara lain akses layanan pengobatan, jam operasional layanan kesehatan, ODHA merasa sudah sehat, dan adanya kebosanan ODHA untuk menelan ARV. Setiap tahun angka ini dapat disesuaikan dengan data cascade yang dicatat dan dilaporkan dalam SIHA. Upaya pencegahan dan pengendalian HIV akan berdampak pada penurunan angka kesakitan yang dapat diukur melalui insidensi, prevalensi dan angka kematian akibat AIDS.

Tren temuan kasus HIV dan AIDS sejak tahun 2016 – 2019 menunjukkan bahwa kasus HIV setiap tahun berada pada angka 40.000 – 50.000 kasus sedangkan pada tahun 2020 mengalami penurunan. Kasus AIDS digambarkan kurang dari 10.000 kasus per tahun sejak 2019. Kebijakan pengendalian HIV adalah melakukan tes dan pengobatan (test and Treat) dimana setiap kasus yang ditemukan harus mendapatkan pengobatan. Kebijakan ini diharapkan dapat menekan kasus yang terlambat mendapatkan akses pengobatan sehingga ODHA lebih dini mendapatkan tatalaksana yang baik dan memiliki kualitas hidup yang optimal dan sehat. Tujuan akhirnya adalah dapat menekan angka kematian yang berhubungan dengan AIDS sekaligus mendukung pemerintah dalam meningkatkan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing.

Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN dan indikator sasaran strategis dalam Renstra Kementerian Kesehatan yakni menurunnya insidens HIV menjadi 0,21 per 1.000 penduduk yang tidak terinfeksi HIV, maka keberhasilan indikator ODHA on ART dapat mempengaruhi insidensi HIV. Bila ODHA teratur minum ARV maka setelah 6 bulan virusnya akan tersupresi dan potensi penularan kepada orang lain menjadi sangat rendah. Hal ini tentu dapat menekan terjadinya infeksi baru. Saat ini data riil infeksi baru belum dapat dilihat dari sistem pencatatan yang ada. Infeksi baru atau insidensi dapat diukur dengan memasukkan data temuan kasus HIV, ODHA on ARV, angka penjangkauan, pemanfaatan kondom dalam pencegahan dan beberapa variabel lain yang terkait ke dalam tools AEM dan menghasilkan angka estimasi.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

Berbagai upaya terus dilakukan untuk mendekatkan akses layanan yang berkualitas dan bermutu kepada masyarakat yang membutuhkan sekaligus dapat meningkatkan akses ODHA untuk mendapatkan pengobatan ARV. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator ODHA on ART antara lain:

1. Meningkatkan kapasitas SDM, perluasan layanan ARV dan penguatan layanan FKTP yang ada melalui rangkaian kegiatan Pelatihan PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) bagi petugas Kesehatan sehingga akses fasyankes terutama FKTP dalam menemukan danmelakukan tatalaksana HIV tanpa komplikasi dapat ditingkatkan. Akses layanan yang dekat dengan masyarakat ini diharapkan dapat menekan angka LFU dan setiap ODHA yang ditemukan dapat mencapai aksespengobatan;

2. Penerapan kebijakan Test & Treat di semua layanan melalui Surat Edaran Dirjen P2P nomor PR.01.05/I/1822/2019, tanggal 31 Jul 2019, perihal Akselerasi ART pada tahun 2019-2020, untuk melakukan Akselerasi ART dengan mengintensifkan penerapan kebijakan Test & Treat, penemuan kasus lama yang belum ART dan Loss to Follow Up serta penemuan kasus baru termasuk pada pasien IMS, TB dan Hepatitis;

3. Kampanye bulan pemeriksaan Viral Load yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk melihat efektivitas terapi ARV pada ODHA pada bulan ke 6 dan bulan ke 12 sejak mulai ARV.

4. Penguatan pendampingan ODHA oleh pendukung sebaya (komunitas) maupun oleh Kader Kesehatan

5. Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya pencegahan dan pengendalian penularan HIV.

6. Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan elektronik.

7. Penguatan sistem pencatatan dan pelaporan berbasis online dan real time sehingga keberhasilan dari kebijakan yang telah dilaksanakan dapat terukur dengan baik.

8. Membuat Protokol Pelaksanaan Layanan HIV AIDS selama pandemi COVID-19 dimana Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan untuk HIV AIDS dan IMS dilaksanakan sesuai standard precaution (kewaspadaan standar) untuk pencegahan dan pengendalian

(4)

infeksi. Bagi layanan PDP termasuk PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) yang menjadi layanan rujukan COVID-19 dapat memperimbangkan untuk mengalihkan layanan PDP/ARV/PTRM tersebut ke layanan PDP/ARV/PTRM lain. Pemberian persediaan obat ARV untuk masa 2-3 bulan dapat dipertimbangkan bagi ODHA yang stabil, secara selektif dan hanya dilakukan jika persediaan ARV mencukupi, selanjutnya pemberian multi bulan ARV (2-3 bulan) diprioritaskan bagi ODHA yang tinggal di wilayah episentrum COVID-19, kerjasama dengan komunitas/pendukung ODHA untuk memastikan kondisi dan keberlangsungan ARV pada ODHA.

Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Nasional Program Pengendalian HIV AIDS dan IMS Tahun 2020 dan Dukungan Global Fund AIDS Tahun 2021 yang dilaksanakan dari tanggal 2 – 5 Desember 2020 memiliki tujuan umum untuk melakukan koordinasi dan sinegritas untuk optimalisasi percepatan pencapaian target program HIV AIDS, serapan dana hibah GF AIDS NFMc dan rencana tindak lanjut kegiatan dukungan GF ATM Komponen AIDS dalam periode grant extension Tahun 2021. Sedangkan tujuan khususnya adalah koordinasi pusat dan daerah cakupan program HIV AIDS melalui monitoring evaluasi berkala, mendapatkan kesepakatan penyelesaian dana dukungan hibah NFMc GF AIDS 2018 – 2020 yang berakhir pada bulan Desember 2020, dan melakukan sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kegiatan dalam periode extension tahun 2021 dari Dinkes Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka mencapai target program dan serapan dari dana hibah GF AIDS.

Kebijakan program HIV AIDS akan dituangkan dalam bentuk rencana kegiatan. Rencana kegiatan ini harus disesuaikan sedemikian rupa untuk mengakomodasi adanya pandemik yang tengah melanda selama ini. Dalam rencana kerja ini akan dituangkan metode-metode yang akan digunakan untuk melakukan program pencegahan dan pengendalian HIV AIDS di tengah suasana pandemik dengan tetap mengedepankan percepatan penanggulangan HIV AIDS sebagai upaya untuk mengeliminasi HIV AIDS di tahun 2030 mendatang.

Sesuai Permendagri No.100 Tahun 2018 untuk bidang kesehatan dan PMK nomor 4/2019 ada 12 standar pelayanan dimana program HIV AIDS merupakan Standar Pelayanan Minimal/SPM nomor 12 yaitu pelayanan bagi orang yang berisiko terinfeksi HIV dimana kelompok sasaran adalah Ibu Hamil, Pasien TBC, Pasien IMS, Warga Bina Permasyarakatan, WPS, LSL, Trangender/Waria dan Pengguna Napza Suntik.Mengingat

Dialog Dengan Para Narasumber Pada Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Nasional Program Pengendalian HIV AIDS dan IMS Tahun 2020 dan Dukungan Global Fund AIDS Tahun 2021

(5)

SPM ini menjadi ukuran penilaian kinerja Kepala Daerah untuk itu dibutuhkan komitmen penetapan target, pencapaian termasuk alokasi anggaran daerah.

Hasil capaian program HIV AIDS tahun 2018 s.d September 2020 masih sangat jauh dari harapan yaitu 2018 (27,83%), 2019 (37,90%), 2020 (20,04%). Penilaian harusnya ditetapkan oleh Kepala Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan pemetaan yang ditetapkan oleh tim masing-masing. Pencapaian indikator yang perlu ditingkatkan adalah peningkatan akses pengobatan dan pemberian ARV kepada semua ODHA serta pemberian obat profilaksis TB dan ODHA.

Selain itu sebagai upaya exit strategy dukungan Global Fund diharapkan penguatan dari pendanaan Pusat, dan Daerah baik melalui dukungan Pemerintah Daerah, Provinsi ataupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Upaya peningkatan kapasitas SDM, Sarana dan Prasarana perlu di intensifkan untuk perluasan akses layanan kesehatan khususnya pengendalian HIV AIDS dan PMS. Pada tahun 2021 dukungan dan Dekon di tingkat Provinsi difokuskan pada peningkatan SDM, dan dukungan DAK di tingkat Kabupaten/Kota untuk peningkatan Sarana dan Prasarana terutama untuk skrining HIV dan Syphillis pada ibu hamil.

Hal ini terlihat terjadinya peningkatan skrining HIV, hepatitis dan Sifilis pada ibu hamil tahun 2018 ke 2019 menjadi dua kali lipat. Dimana kata dr. Budi tahun 2020 sampai dengan September 2020 mencapai 1,7 juta sedangkan sifilis baru mencapai 500.000. Perbedaan ini menjadi masalah yang memerlukan perhatian. Sampai saat ini cakupan ibu hamil yang konsisten di atas 90% hanya kota Tarakan. Untuk HIV itu 5 kota di Jawa Tengah dan 2 di Sulawesi Selatan. Secara nasional target skrining HIV dan sifilis baru mencapai 45% dari target yang seharusnya 85% bumil. Belum lagi terkait tata laksana ibu hamil positif hingga bayi yang dilahirkan.

2. TB/TBC

Penekanan Tombol Secara Simbolis Gerakan Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030 di Cimahi

(6)

Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate) merupakan indikator yang tetap dilanjutkan pada RAP P2P tahun 2020-2024. Indikator ini mencapai target dari tahun 2016 tetapi tidak mencapai target tahun 2017-2019, meskipun demikian capaian success rate tahun 2016 - 2018 meningkat terus. Tahun 2020, indikator TBC success rate mencapai target dengan capaian 91,05% dari target 90% dengan persentase kinerja sebesar 101.2%.

Target indikator capaian angka keberhasilan pengobatan di Indonesia sebesar 90% pada tahun 2020-2024 dan capaian tahun 2020 on track karena telah mencapai target, meskipun demikian capaian ini masih bersifat sementara karena belum semua data dan laporan diterima, berdasarkan hasil capaian tahun 2016-2019, capaian dalam range 80%-90%, maka prognosa capaian tahun 2020-2024 akan berada pada range yang sama.

Bila dibandingkan angka keberhasilan pengobatan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain di dunia, Indonesia menempati urutan ke-30 dari 48 negara dengan angka keberhasilan pengobatan sebesar 83% pada tahun 2019. Tiga negara dengan angka keberhasilan pengobatan tertinggi yakni Bangladesh (94%), Cambodia (94%) dan China (94%). Data Global Report TB, 2020 menujukkan insidensi TBC di Indonesia sebesar 312 per 100.000 penduduk pada tahun 2019, menurun bila dibandingkan dengan insidensi TBC tahun 2018 yakni 316 per 100.000 penduduk.

Secara global, diperkirakan ada sebanyak 10 juta kasus TBC pada tahun 2019, namun demikian angka ini telah menurun secara perlahan akhir-akhir ini. Berdasarkan letak geografisnya, kasus TBC pada tahun 2019 paling banyak di regional Asia Tenggara (44%), Afrika (25%) dan Pasifik Barat (18%), dan persentase yang sedikit di Timur Tengah (8,2%), Amerika (2,9%) dan Eropah (2,5%). Ada 8 negara dengan jumlah kasus dua per tiga dari total kasus global,yaitu India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%), Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%) dan Afrika Selatan (3,6%). Dari daftar 30 negara dengan beban kasus TBC yang tinggi tersisa 22 negara dengan total 21% dari jumlah kasus global.

Berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) yang dimuat pada Global TB report 2020, indikator yang dipakai dalam mencapaitujuan “End the Global TB epidemic” adalah jumlah kematian akibat TBC per tahun, angka kejadian (incidence rate) per tahun serta persentase rumah tangga yang menanggung biaya pengobatan TBC.

Menurut laporan TB GlobalReport, 2020, angka kejadian (insidensi) TBC tahun 2019 adalah 312 per 100.000 (sekitar 845.000 pasien TBC), dan 2,2% (19.000 kasus) diantaranya dengan TB/HIV. Angka kematian TBC adalah 34 per 100.000 penduduk (jumlah kematian 92.000) tidak termasuk angka kematian akibat TBC/HIV. WHO memperkirakan ada 24.000 kasus MDR di Indonesia.

Upaya yang dilaksanakan mencapai target indikator

1. Peningkatan notifikasi kasus dengan pelaksanaan Mopping Up/ penyisiran kasus ke rumah sakit-rumah sakit baik rumah sakit pemerintah maupunswasta.

2. Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan dengan melakukan link dengan SIMRS dan penyedia layanan mandiri (swasta).

3. Penerapan Mandatory Notification yang lebih tegas.

4. Link dengan sistem informasi BPJS untuk peningkatan Case Finding dan kualitas pengobatan.

5. Intensified TBC Case Findings dari Fasilitas Kesehatan dan Komunitas.

6. Menegaskan lagi kewajiban melakukan pemeriksaan konfirmasi bakteriologis untuk semua terduga TBC.

7. Regulasi yang lebih ketat mengenai pemberian pengobatan dan pengawasan.

8. Pelaksanaan investigasi kontak berdasarkan panduan yang telah didiseminasi ke seluruh provinsi.

(7)

9. Pelaksanaan penemuan kasus TBC pada populasi risiko tinggi seperti pada pasien diabetes di puskesmas dan faskes rujukan sesuai panduan yang telah didiseminasi ke seluruh provinsi.

10. Adanya sistem informasi TBC yang baru (TBC information system/ SITB) telah menyambungkan jejaring sistem rujukan internal dan eksternal yang sudah mengintegrasikan puskesmas, rumah sakit dan laboratorium rujukan.

11. Pengiriman umpan balik hasil entri SITT dan hasil penyisiran kasus ke rumah sakit yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota.

12. Pelaksanaan dan monitoring Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Strategi Nasional (Stranas) TBC.

13. Pendekatan Multi-Sectoral Accountability Framework (MAF) dengan disusunnya Perpres.

14. Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030. Dalam rangka Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030, Presiden Jokowi mengadakan Kunjungan Kerja bidang kesehatan di Cimahi pada tanggal 29 Januari 2020 yang berlokasi di Cimahi Techno Park, Cimahi, Jawa Barat. Tujuan dari adanya Gerakan Bersama ini adalah mendorong penetapan TBC sebagai prioritas pembangunan kesehatan nasional dan harmonisasi kegiatan dengan seluruh Lembaga dan Kementerian yang ada serta sumber daya para pemangku kepentingan dalam mencapai Eliminasi TBC 2030. Selain itu, acara ini turut mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk proaktif dalam upaya untuk mengakhiri TBC di Indonesia. Presiden secara tegas menyatakan dukungan atas dilaksanakannya kegiatan tersebut, mengingat pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu fokus kerjapemerintah dalam 5 tahun ke depan.

15. Kampanye Hari Tuberkulosis Sedunia. Pada tanggal 24 Maret 2020, diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia. Subdit Tuberkulosis bersama Mitra mengadakan kegiatan berupa pembuatan Microsite HTBS yang berisikan materi KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) berdasarkan strategi komunikasi TBC. Program Penanggulangan TBC juga berupaya untuk meningkatkan awareness public terkait pencegahan dan pengendalian TBC dengan Talking Points yang diisi oleh tokoh dan Public Figure seperti Menteri Kesehatan RI, dr Reisa, Kaka Slank, dan lain sebagainya yang disebar di media sosial.

Presiden RI Joko Widodo Bersama Peserta Berselogan Toss TBC (Temukan TBC Obati Sampai Sembuh) Pada Kegiatan Gerakan Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030 di Cimahi

(8)

Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (MenkoPMK) Muhadjir Effendy dan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto bersama lebih dari 800 pimpinan daerah, sektor swasta, serta anggota masyarakat berkumpul dalam rangka meluncurkan ‘Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC 2030’ di Techno Park Cimahi, Jawa Barat (29/1). Pertemuan ini bertujuan untuk mendorong respon terhadap TBC di nasional dan daerah yang berlandaskan pendekatan lintas sektor.

Pertemuan ini turut dihadiri oleh Arifin Panigoro, anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang aktif dalam pemberantasan TBC.

Penularan TBC adalah permasalahan yang pasang surut di Indonesia dan dampaknya tidak hanya menyangkut kesehatan tetapi juga produktifitas. Usia produktif merupakan proporsi terbesar dari seluruh kasus TBC yang ada di Indonesia. Pemberantasan TBC menjadi prioritas pembangunan kesehatan selain menurunkan AKI/AKB, Stunting, dan JKN.

Untuk mencapai target eliminasi TBC 2030 perlu kerja keras dari semua pihak, bukan hanya sektor kesehatan. Oleh karena itu jangan ada kendala administrasi, birokrasi dan finansial untuk ini. Selain itu, perlu pula inovasi dan sumber daya yang memadai untuk memberantas TBC secara komprehensif. Keberhasilan untuk memberantas TBC adalah kolaborasi semua elemen, yaitu Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta.

Tuberkulosis adalah penyakit yang menular melalui udara antar manusia dan disebabkan oleh bakteri. Pada 29 Januari 1950, Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat di usia 34 tahun pada masa gerilyanya karena TBC. Di era milenial ini, TBC termasuk salah satu dari lima besar penyebab kematian prematur dan kematian penduduk di Indonesia sepanjang 2007-2017.

Tanpa adaptasi dalam merespon epidemi ini, kematian akibat TBC pada 2015-2030 diperkirakan dapat merugikan 0.7% PDB Indonesia di tahun 2030 atau 123.6 Milyar Dolar AS (Global Economic Impact of TB, RESULTS & KPMG, 2017). Diestimasikan kerugian terbesar disebabkan oleh hilangnya produktifitas akibat kematian prematur. TBC juga menyebabkan 13 kematian per jam di Indonesia.

Presiden RI Joko Widodo Saat Melakukan Peninjuan Pemeriksaan TBC P Pada Kegiatan Gerakan Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030 di Cimahi

(9)

3) MALARIA

Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2020 yaitu sebanyak 318 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 325 kab/kota atau pencapaian kinerja sebesar 97,8%. Sebanyak 62% kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai eliminasi malaria dengan persentasi terbanyak pada Provinsi DKI Jakarta, Bali, dan Jawa Timur dimana seluruh kabupaten/kotanya telah bebasmalaria (100%). Tahun 2020 terdapat 4 kabupaten/kota di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang telah mencapai eliminasi malaria yaitu Kabupaten Manggarai, Manggarai Timur, Kota Kupang dan Kota Tidore Kepulauan.

Hal tersebut menjadikan apresiasi tersendiri karena sebelumnya wilayah KTI belum pernah mencapai eliminasi malaria.

Peningkatan capaian realisasi jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria yakni sebanyak 266 Kab/Kota pada tahun 2017 menjadi 285 Kab/Kota pada tahun 2018, 300 kab/kota pada tahun 2019, dan mencapai 318 kab/kota pada tahun 2020. Penambahan jumlah Kab/Kota yang mencapai eliminasi malaria berasal dari 18 Kabupaten/Kota yaitu 1 Kab/Kota di Provinsi Bengkulu, 2 Kab/Kota di Provinsi Jawa Barat, 2 Kab/kota di Provinsi Kalimantan Utara, 2 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, 2 Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, 2 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Utara, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Tengah, 1 Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi, 1 Kab/Kota di Provinsi Maluku Utara dan 3 Kab/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Penambahan kabupaten/kota eliminasi hanya sebesar 18 (72%) kabupaten/kota dari 25 kabupaten/kota yang ditargetkan pada tahun 2020. Jadi secara nasional untuk target kumulatif sebanyak 325 kab/kota elimiasi malaria tidak tercapai. Berdasarkan World Malaria Report tahun 2020, secara global diperkirakan terdapat 229 juta kasus malaria pada tahun 2019 di 87 negara endemis malaria, menurun dari 238 juta kasus di 108 negara endemis malaria pada tahun 2000. Kematian malaria terus menurun selama periode 2000–2019, dari 736.000 pada tahun 2000 menjadi 409.000 pada 2019. Persentase kematian akibat malaria

Menteri Kesehatan RI dr. Terawan Agus Putranto Menyerahkan Sertifikat Eliminasi Malaria Kepada Bupati/Walikota Yang Telah Berhasil Eliminasi Malaria

(10)

total pada anak-anak di bawah usia 5 tahun meningkat yakni 84% pada tahun 2000 dan 67% pada tahun 2019. Pada tahun 2019, Indonesia menyumbang sekitar 49 kasus (1%) kematian di tingkat global. Oleh karena itu Indonesia berkomitmen mencapai eliminasi malaria pada tahun 2030. Capaian pada tahun 2020 tidak tercapai karena adanya pandemi COVID-19 yang mempengaruhi capaian, dan akan dilakukan akselerasi pencapaian kinerja tahun 2021 dengan memasukkan Kab/Kota yang belum eliminasi sebagai tambahan target 2021 sehingga sampai tahun 2024 diharapkan capaian on track sesuai dengan target yang ditetapkan. Selain itu, bila melihat tren capaian tahun 2016-2019 tercapai 100%, maka tahun 20212024 berpotensi untuk tercapai bila tidak ada faktor external yang mempengaruhi.

Dapat dilihat bahwa 18 kabupaten/kota di Indonesia (53%) telah mencapai target nasional dalam konfirmasi laboratorium pemeriksaan darah malaria. Target yang nasional sebesar 95% dengan capaian tahun 2020 data per 12 Januari 2020 sebesar 97% dengan jumlah suspek sebanyak 1.688.948 orang dan jumlah pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium sebanyak1.634.961 orang.

Persentasi Pasien Malaria positif yang diobati sesuai standar ACT (Artemisinin based Combination Therapy) adalah proporsi pasien Malaria yang diobati sesuai standar tata laksana malaria dengan menggunakan ACT. Artemisinin based Combination Therapy (ACT) saat ini merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit Malaria. Pemberian ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Target dan capaian indikator Persentasi Pasien Malaria positif yang diobati sesuai standar ACT.

Dapat dilihat juga bahwa 19 kabupaten/kota di Indonesia (55,8%) telah mencapai target nasional dalam pengobatan malaria yang sesuai standar. Target capaian pengobatan standar ACT yaitu sebesar 95% dan capaian pada tahun 2020 yaitu sebesar 84 % dengan jumlah positif malaria sebanyak 223.448 orang dan jumlah pengobatan standar sebesar 211.776 (kelengkapan data per 12 Januari 2020). Bila dibandingkan dengan tahun 2019, maka peningkatan Kab/Kota yang mencapai eliminasi malaria sebesar 6% yakni dari 300 Kab/Kota pada tahun 2019 menjadi 318 pada tahun 2020.

Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator

Beberapa upaya telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:

1) Diagnostik Malaria

Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi malaria adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic Test (RDT). Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan data yang tepat dan akurat. Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu diagnosis terus dilakukan. Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisme uji silang di tingkat kab/kota, provinsi dan pusat.

Kualitas pelayanan laboratorium malaria sangat diperlukan dalam menegakan diagnosis Workshop Peningkatan Kapasitas Asesor Uji Kompetensi Mikroskopis Malaria dan

Asesment Peningkatan Kasus dan SKD/KLB Malaria di Rokan Hilir Prov Riau

(11)

dan sangat tergantung pada kompetensi dan kinerja petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan kesehatan. Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan melalui pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium pemeriksa malaria mulai dari tingkat pelayanan seperti laboratorium Puskesmas, Rumah Sakit serta laboratorium kesehatan swasta sampai ke laboratorium rujukan uji silang di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas diagnostik malaria telah dilaksanakan sepanjang tahun 2020, antara lain:

a. Peningkatan Kapasitas Asesor Uji Kompetensi Mikroskopis (External Competency Assesment Malaria Microscopy - ECAMM)

b. Seminar Daring Nasional AMRI ke-2 dengan tema Diagnosis dan Biologi Molekuler Malaria.

c. Virtual Learning Mikroskopis Malaria bagi Tenaga ATLM (Ahli Teknologi Laboratorium Medik)

d. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana malaria.

e. Workshop Peningkatan Kapasitas Asesor Uji Kompetensi Mikroskopis Malaria.

2) Tatalaksana Kasus Malaria

Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan pengobatan malaria menggunakan obat pilihan yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti malaria lainnya yang biasa disebut dengan Artemisinin based Combination Therapy (ACT). ACT merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit sedangkan obat lainnya seperti klorokuin telah resisten. Pada tahun 2019 telah ditetapkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Malaria dalam bentuk Keputusan Menkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/556/2019. Berdasarkan Kepmenkes tersebut juga diterbitkan buku pedoman tata laksana kasus malaria terkini sesuai dengan perkembangan terkini dan hasil riset mutakhir. Adapun penggunaan ACT harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, hal tersebut merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya resistensi.

Pencegahan resistensi dilakukan dengan monitoring efikasi obat anti malaria. Tahun 2019 bekerjasama dengan BTKL, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan lembaga Eijkman di beberapa daerah yang representatif. Salah satu pilar untuk mencapai eliminasi malaria adalah menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan pengobatan, sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta.

Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kualitas tatalaksana malaria tahun 2020 yaitu:

a. Monitoring evaluasi tatalaksana malaria di lingkungan TNI dan POLRI di Provinsi Papua.

b. Webinar tatalaksana malaria dalam era pandemi COVID-19.

c. Seminar daring nasional AMRI tentang eliminasi malaria, inovasi dari Lapangan.

d. Sosialisasi KMK No. 556/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Malaria Regional Barat, Tengah danTimur.

e. Sosialisasi pedoman terbaru pelayanan terpadu malaria dengan Kesehatan Ibu dan Balita

f. Seminar daring nasional AMRI-2 Seri 7 dengan tema Pengobatan Malaria

g. Sosialisasi protokol layanan kesehatan malaria dalam pencegahan COVID-19 di masa adaptasi kebiasaan baru.

3) Surveilans Malaria

Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik dimana surveilans diperlukan untuk mengidentifikasi daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria serta melakukan perencanaan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan pengendalian malaria. Kegiatan surveilans malaria dilaksanakan sesuai dengan tingkat endemisitas.

Daerah yang telah masuk pada tahap eliminasi dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap setiap kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan. Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan

(12)

surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:

a. Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Program Malaria Tahun 2019 dan Perencanaan Program Tahun 2020.

b. Workshop SISMAL versi 2 di 10 provinsi yakni Provinsi DKI Jakarta, Aceh, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Jawa Barat.

c. Pertemuan Pembahasan Kurmod Pelatihan Surveilans Vektor Malaria.

d. Pertemuan Virtual Validasi Data Program Malaria Semester 1 Tahun 2020.

e. Pertemuan Virtual Koordinasi Penanggulangan Peningkatan Kasus Malaria Di Kabupaten Rokan Hilir.

f. Seminar Daring Nasional AMRI-2 dengan tema Surveilans Malaria.

g. Seminar Daring Nasional AMRI-2 dengan tema Menggali Pengetahuan Lokal Epidemiologi Untuk Strategi Riset Eliminasi Malaria.

h. Sosialisasi Pedoman Surveilans Plasmodium Knowlesi.

i. Asesment Penilaian Eliminasi Malaria.

j. Assesment Peningkatan Kasus dan SKD/KLB Malaria.

k. Monitoring dan Evaluasi Program Malaria.

4) Pengendalian Vektor Malaria

Sampai saat ini nyamuk Anopheles telah dikonfirmasi menjadi vektor malaria di Indonesia sebanyak 25 jenis (species). Jenis intervensi pengendalian vektor malaria dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain memakai kelambu berinsektisida (LLINs = Long lasting insecticide nets), melakukan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS = Indoor Residual Spraying), melakukan larviciding, melakukan penebaran ikan pemakan larva, dan pengelolaan lingkungan. Penggunaan kelambu berinsektisida merupakan cara perlindungan dari gigitan nyamuk anopheles. pembagian kelambu ke masyarakat dilakukan dengan 2 metode, yaitu pembagian secara massal (mass campaign) dan pembagian rutin. Pembagian secara massal dilakukan pada daerah/kabupaten/kota endemis tinggi dengan cakupan minimal 80%. Pembagian ini diulang setiap 3 tahun, jika belum ada penurunan tingkat endemisitas. Pembagian kelambu secara rutin diberikan kepada ibu hamil yang tinggal di daerah endemis tinggi.

Kegiatan ini bertujuan untuk melindungi populasi prioritas, yaitu ibu hamil dari risiko penularan malaria. Selain kegiatan tersebut, pembagian kelambu juga dilakukan pada daerah yang terkena bencana. Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukungkegiatan pengendalian vektor malaria:

a. Mikroplanning Persiapan Pelaksanaan Kelambu Massal 2020.

b. Pertemuan Perencanaan Distribusi Kelambu Massal Wilayah Timur dan Barat.

c. Pertemuan Virtual Sosialisasi Monitoring dan Evaluasi Distribusi Kelambu Massal dan Massal Fokus Tahun 2020.

d. Seminar Daring Nasional AMRI-2 Seri 3 dengan tema Pengendalian Vektor Malaria.

e. Pertemuan Monitoring Evaluasi Distribusi Kelambu.

f. Mikroplanning Persiapan Pelaksanaan Kelambu Massal

5) Promosi, Advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang penting dengan sasaran meliputi pengambil kebijkan, pelaksana teknis dan masyarakat luas. Komunikasi, Informasi dan edukasi (KIE) kepada masyarakat luas dilakukan dengan membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) mengenai Malaria. Beberapa kegiatan selama Tahun 2020 dalam mendukung promosi, advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria antara lain:

a. Workshop Fasilitator Strategi Komunikasi Malaria.

b. Pertemuan Pembahasan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan Malaria.

c. Pertemuan Advokasi Dalam Rangka Audiensi Percepatan Eliminasi Malaria di Kab.

Sukabumi.

d. Pertemuan Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat Terhadap Percepatan Eliminasi Malaria.

(13)

Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Program Malaria Tahun 2019 Serta Perencanaan Program Tahun 2020 berlangsung selama 4 hari mulai tanggal 15 -19 Januari 2019 di Yogyakarta, pertemuan ini dihadiri oleh Kepala BBTKLPP dan Kepala KKP, pengelola Program Malaria dari seluruh Indonesia, Kepala Dinas Kesehatan kota/kabupaten, Ketua Komisi Penilaian Eliminasi malaria dan wakil-wakil Organisasi Internasional (WHO), serta stekholder yang berhubungan dengan Malaria.

Tujuan dari pertemuan ini adalah: 1) Evaluasi kegiatan program pengendalian malaria pada tahun 2019, 2)Evaluasi capaian program pengendalian malaria pada tahun 2019, 3) Menyusun perencanaan kegiatan pengendalian malaria pada tahun 2020, 4) Berbagi pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran dalam pengendalian malaria antar provinsi dan memperbaharui informasi terkini dari beragai pemangku kepentingan terkait.

Masih terdapat banyak tantangan penanggulangan malaria dalam menuju bebas malaria nasional tahun 2030 karena masih terdapat daerah endemis tinggi yang sebagian besar berada di daerah timur Indonesia, yang secara geografis sulit dan memerlukan pendekatan sosial budaya spesifik. Di daerah tersebut malaria masih menjadi masalah kesehatan yang utama pada ibu dan balita yang berakibat buruk pada kualitas kehamilan serta pertumbuhan dan perkembangan janin dan balita. Risiko dari malaria dapat mengakibatkan anak stunting dan gangguan fungsi kognitif yang dapat menurunkan kualitas generasi penerus bangsa.

Malaria Programme Review yang dilaksanakan tahun 2019, telah menghasilkan rekomendasi bahwakegiatan prioritas yang harus mendapat perhatian adalah sebagai berikut:

1. Mengalokasikan penganggaran yang cukup untuk mencapai dan mempertahankan status bebas malaria di semua kabupaten/kota

2. Melakukan kampanye peningkatan kesadaran dan dukungan bebas malaria secara masif dan berkesinambungan

3. Melakukan perluasan pelayanan malaria melalui pemberdayaan kader di daerah endemis malaria melalui penganggaran dana desa atau daerah

4. Melakukan penjangkauan dan intervensi pada populasi khusus seperti penambang ilegal, perambah hutan dan komunitas adat terpencil dll

5. Menyediakan logistik malaria yang terstandar pada semua fasilitas pelayanan sesuai kebutuhan

6. Mendorong penyusunan Peraturan Presiden terkait penanggulangan malaria

Selain itu Hingga April 2020 telah ada 6 kabupaten/kota yang berhasil eliminasi malaria.

Hari ini Menteri Kesehatan RI dr. Terawan Agus Putranto menyerahkan sertifikat eliminasi malaria kepada Bupati/walikota yang telah berhasil eliminasi malaria tersebut. Keenam kabupaten/kota itu antara lain Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Wakatobi, dan Kota Bengkulu. Penyerahan

Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Program Malaria Tahun 2019 Serta Perencanaan Program Tahun 2020 dan Pertemuan Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat

terhadap Percepatan Eliminasi Malaria

(14)

sertifikat eliminasi malaria dilakukan dalam rangka memperingati Hari Malaria Sedunia yang jatuh setiap tanggal 25 April.

Pada tahun 2019 yang lalu sebanyak 300 kabupaten/kota telah mendapatkan sertifikat eliminasi malaria. Pada tahun 2020 ini, target kabupaten/kota yang mendapatkan sertifikat eliminasi malaria adalah 325 kabupaten/kota.

Kabupaten/kota yang mendapatkan sertifikat eliminasi malaria harus melalui tahapan self assesment atau menilai diri sendiri tentang kesiapannya untuk mendapatkan penilaian Tim Assesment dengan memperhatikan 11 indikator yang harus dipenuhi, dengan 3 indikator utama sebagai syarat mutlak. 3 indikator syarat mutlak tersebut adalah pertama Annual Parasite Incidence kurang dari 1 per 1000 penduduk, kedua Slide Positive Rate kurang dari 5 %, ketiga tidak ada kasus indigenous.

4) KUSTA

WHO menerbitkan “Ending the Neglect to Attain the Sustainable Development Goals–A Road Map for Neglected Tropical Diseases 2021-2030” yang mencantumkan target pencapaian eliminasi tahun 2030, dengan target turunan berupa nol kasus asli, penurunan kasus cacat tingkat 2 hingga 63.000, angka cacat tingkat 2 menurun hingga 0,12 per 1 juta populasi dan angka penemuan kasus baru menurun hingga 0,77 per 1 juta populasi anak.

Strategi ini diharapkan dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia. Data global tahun 2019 yang dilaporkan WHO dalam Weekly Epidemiological Record Tahun 2020 menyatakan bahwa pada tahun 2019 sebanyak 177.175 kasus terdaftar di akhir tahun dengan angka prevalensi mencapai 22,4 per 1.000.000 penduduk. Dari 16 negara dengan jumlah kasus di atas 1000 setiap tahunnya, 4 di antaranya masih memiliki prevalensi > 1 per 10.000 penduduk, yaitu Brazil, Somalia, Mozambiq, dan Nepal, sementara Indonesia sudah sejak tahun 2000 memiliki angkaprevalensi < 1 per 10.000 penduduk secara nasional. Penemuan kasus baru mencapai 202.185 kasus baru dengan CDR mencapai 25,9 per 1.000.000 penduduk. Penurunan penemuan kasus kusta baru terjadi secara bertahap dalam 10 tahun terakhir. 3 negara termasuk Brazil, India dan Indonesia melaporkan >10.000 kasus baru.

Dari total kasus baru yang ditemukan di dunia, sebanyak 14.981 kasus anak ditemukan (7,4%) menurun dari 14.981 pada tahun 2019, dengan persen penurunan sebesar 27%.

Sebanyak 10.813 kasus baru dengan cacat tingkat 2 ditemukan pada tahun 2019.

Praktek Pemeriksaan Suspek Kusta Pada Pelatihan Nasional P2 Kusta dan Frambusia Tahun 2020

(15)

Penurunan kasus cacattingkat 2 cukup signifikan terlihat di wilayah SEAR hingga 45% dari 87.92 ditahun 2015 menjadi 4.817 di tahun 2019. Total 370 kasus anak dengan cacat tingkat 2 terdeteksi secara global dimana 75% nya kasus tersebut ditemukan di 5 negara dengan beban tinggi kusta, termasuk Indonesia.

Tahun 2016-2019, indikator tersebut belum dijadikan Indikator Kinerja Program (IKP) tetapi menjadi Indikator Kinerja Kegiatan (IKK). Pada tahun 2016, sebanyak 375 kab/kota mencapai eliminasi, mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 372 kab/kota. Tahun 2018, jumlah kab/kota mencapai eliminasi kusta mengalami peningkatan menjadi 382 kab/kota, namun menurun kembali pada tahun 2019 menjadi 368 kab/kota. Grafik meningkat kembali pada triwulan 3 tahun 2020 dengan capaian sebesar 401 kab/kota.

Apabila dibandingkan dengan capaian tahun 2016-2019, terjadi peningkatan kabupaten/kota eliminasi kusta dari 368 kabupaten/kota pada tahun 2019 menjadi 401 kabupaten/kota di tahun 2020. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena penurunan jumlah kasus baru yang ditemukan. Adanya pandemi COVID19 menyebabkan diberlakukannya pembatasan kegiatan yang mengarah pada pengumpulan masyarakat, sehingga pelaksanaan surveilans kusta di lapangan berjalan kurang maksimal dan kasus baru yang ditemukan mengalami penurunan secara signifikan. Hingga triwulan 3 tahun 2020, diketahui bahwa sebanyak 6.843 kasus baru ditemukan (CDR 2,52 per 100.000 penduduk) menurun secara signifikan dari penemuan kasus baru tahun 2019 sebesar 13.526 kasus baru (CDR 5,5 per 100.000 penduduk). Sebanyak 18.025 penderita terdaftar dengan angka prevalensi mencapai 0,66 per 10.000 penduduk. Proporsi kasus baru anak mencapai 9,45% menurun dari pencapaian tahun lalu sebesar 11%, sementara itu angka cacat tingkat dua juga mengalami penurunan signifikan dari angka 6,6 per 1 juta penduduk menjadi 1,35 per 1 juta penduduk. Sebanyak 11.323 kasus baru dengan cacat tingkat 2 ditemukan (90,2%).

Penurunan persentase kasus baru dengan cacat tingkat 2 terlihat di seluruh wilayah di dunia mengindikasikan peningkatan kegiatan deteksi dini kasus. Strategi global terbaru menetapkan target 0 kasus anak dengan cacat tingkat 2 pada tahun 2020 sebagai indikator adanya transmisi penularan di masyarakat. Sebanyak 16.013 kasus baru anak ditemukan di seluruh dunia, 350 kasus di antaranya merupakan kasus anak dengan cacat tingkat 2.

Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator

1) Sebagian besar anggaran program P2 Kusta dialihkan menjadi dana dekonsentrasi bagi 34 provinsi. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan adalah advokasi dan sosialisasi bagi LP/LS, pelatihan singkat bagi petugas, pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia di kabupaten/kota endemis, survei desa, pertemuan monitoring evaluasi dan validasi kohort tingkat provinsi, peningkatan kapasitas petugas, dokter puskesmas dan petugas laboratorium.

2) Pelatihan Nasional Pemegang Program Pencegahan dan Pengendalian Kusta dan Frambusia terakreditasi yang diselenggarakan sebanyak 2 batch. Pelatihan tersebut terselenggara dengan dana WHO. Dilakukan terutama untuk mengatasi permasalahan tingginya mutasi pengelola program kusta dan frambusia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

3) Menyusun draft petunjuk teknis Drugs Resistance Surveillance, Petunjuk Teknis Kemoprofilaksis, Petunjuk Teknis Surveilans Kusta, serta revisi Modul dan akreditasi pelatihan pengelola program P2 kusta tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

4) Menyelenggarakan beberapa pertemuan penting secara daring antara lain

▪ Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional P2 Kusta dan Frambusia dalam rangka melakukan monitoring dan evaluasi program yang dilaksanakan oleh provinsi di Indonesia serta melakukan validasi dan finalisasi data tahun 2019.

▪ Pertemuan Koordinasi dan Evaluasi Realisasi Anggaran Dekonsentrasi Tahun 2020 dalam rangka mengevaluasi realisasi kegiatan bersumber dana dekonsentrasi dan koordinasi penyusunan perencanaan kegiatan dekonsentrasi pada tahun selanjutnya.

(16)

▪ Pertemuan Integrasi, Evaluasi, Validasi Data, dan Perencanaan Subdit PTML Regional Barat dan Timur dalam rangka melakukan monitoring dan evaluasi program berkala tahun 2020.

▪ Pertemuan Penyusun Teknis Drugs Resistance Surveillance, PetunjukTeknis Kemoprofilaksis, Petunjuk Teknis Surveilans Kusta dengan komite ahli dan pihak terkait.

5) Melanjutkan pelaksanaan dan melakukan perluasan daerah sasaran Pemberian Obat Pencegahan Kusta (kemoprofilaksis) ke beberapa kabupaten/kota endemis tinggi kusta, yaitu Indramayu, Subang, Kab Tegal, Kota Cilegon, Sampang, Sumenep, Bangkalan, Situbondo, Probolinggo, Jember, Pasurua, Tuban, Kota Bima, Kab Bima, Kota Kupang, Bone, Jeneponto, Bolmong, Bolmut, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kota Ternate, Halmahera Barat, Kota Sorong, dan Kota Jayapura.

6) Rangkaian Peringatan Hari Kusta Sedunia (penyebarluasan Surat Edaran, media briefing, hingga Talkshow Hari Kusta Sedunia)

7) Melaksanakan kegiatan Bimbingan Teknis dan Monitoring MDT pada kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta, di antaranya di Kota Bima, Kab Dompu, Kab Polewali Mandar, Kab Mamuju, Kab Kolaka Timur, Kab Buton Selatan, dan Kab Serang.

8) Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta dan Frambusia bersama mitra pemerintah yang membawahi bidang kesehatan. Kegiatan ini dilaksanakan pada 2 kabupaten/kota terpilih, yaitu Kabupaten Semaran dan Tegal. Tujuan kegiatan tersebut adalah melakukan advokasi dan sosialisasi program kusta kepada pimpinan setempat serta Lintas Program dan Lintas Sektor untuk mendapatkan dukungan kebijakan dan kemitraan daerah.

9) Menyelenggarakan Training or Trainer (TOT) Kemoprofilaksis agar pengelola program provinsi endemis tinggi kusta dapat melakukan pelatihan kemoprofilaksis secara mandiri ke depannya.

10) Menyusun kurikulum, mengembangkan media Pelatihan Jarak Jauh (elearning), dan menyelenggarakan Workshop e-Learning bersama dengan BPPSDMK Kemenkes RI dan Netherland Leprosy Relief (NLR).

11) Melanjutkan pengembangan Sistem Informasi Program P2 Kusta dan Frambusia (SITASIA).

Launching Modul Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta Oleh Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes, dr. Achmad Yurianto

(17)

Kementerian Kesehatan Launching Modul Pelatihan Jarak Jauh Pencegahan dan Pengendalian (PJJ P2) Kusta, pada Rabu (1/9) di Gedung Kementerian Kesehatan RI.

Modul PJJ P2 Kusta diluncurkan untuk tetap meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan Wakil Supervisor (Wasor) kusta di Provinsi dan Kabupaten/Kota di era kebiasaan baru (new normal).

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes, dr. Achmad Yurianto mengaku sangat mengapresiasi langkah yang telah diambil Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) untuk tetap menerapkan adaptasi kebiasaan baru (New Normal) di masa pandemi COVID-19 ini dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan Wasor kusta di provinsi dan kabupaten/kota, yaitu dengan melaksanakan PJJ P2 kusta.

Penyakit Kusta hingga kini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Tanpa penanganan yang tepat, penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan yang menetap dan menyebabkan timbulnya permasalahan ekonomi dan diskriminasi sosial pada penderita serta keluarganya.

Kusta masih merupakan permasalahan kesehatan di banyak negara di dunia. Setiap tahun, lebih dari 200,000 orang terdiagnosa kusta di dunia, dan sekitar 17,000 orang di antaranya berada di Indonesia. Hal Ini membuat Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Brazil dalam jumlah penderita kusta terbanyak di dunia.

Sistem Informasi Penyakit Kusta (SIPK) per tanggal 25 Agustus 2020, menunjukkan bahwa masih ada 146 Kabupaten/Kota belum mencapai eliminasi yang tersebar di 26 Provinsi. Untuk tingkat Provinsi, terdapat 8 Provinsi yang masih belum eliminasi kusta, yaitu Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Gorontalo.

Sementara itu jumlah kasus kusta yang terdaftar ada sekitar 18 ribu dan tersebar di ± 7.548 desa/kelurahan/kampung, mencakup wilayah kerja ± 1.975 Puskesmas, di ± 341 kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di provinsi dan kabupaten/kota yang sudah mencapai eliminasi kusta, ternyata masih tetap memiliki kasus kusta.

Dengan telah selesainya penyusunan modul PJJ P2 kusta ini, diharapkan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota bisa mengimplementasikan pelatihan di wilayahnya masing-masing sebagai upaya penguatan SDM dalam penanggulangan kusta.

5) FILARIASIS

Pemberian Obat Pencegahan Kaki Gajah Dalam Rangka Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)

(18)

Pada tahun 2016 – 2019 target jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi berhasil dicapai sebesar 183% tahun 2016, 187% tahun 2017, 158% tahun 2018, dan 160% pada tahun 2019. Tetapi karena adanya pandemi COVID-19 pada tahun 2020, dari target 80 kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi hanya berhasil dicapai sebanyak 64 kabupaten/kota atau dengan capaian sebesar 80%. Data capaian jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi tahun 2016 – 2020.

Sampai dengan tahun 2020, sebanyak 64 kabupaten/kota dari 236 kabupaten/kota endemis filariasis telah berhasil mencapai eliminasi filariasis. Sepanjang tahun 2016-2020 terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi filariasis. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program pengendalian Filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis selama minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan minimal 65% total penduduk sehingga dapat memutus penularan.

Provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai telah mencapai eliminasi filariasis yaitu Provinsi Banten. Sedangkan provinsi yang capaian eliminasinya masih 0%

dikarenakan kabupaten/kota endemis masih melaksanakan POPM atau masuk dalam tahap surveilans pasca POPM antara lain Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku, dan Papua Barat.

Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator 1. Penguatan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK)

Adanya pandemi COVID-19 yang berdampak pada pembatasan kegiatan berbasis masyarakat. Untuk mensukseskan progam penanggulangan filariasis, maka telah di terbitkan beberapa petunjuk teknis untuk kegiatan pengendalian Filariasis di masa pandemi Covid19, antara lain:

a. Surat Direktur P2PTVZ Nomor PV.04.01/3/3002/2020 tanggal 17 Juni 2020 tentang Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Filariasis dan Cacingan Tahun 2020. Di dalamnya terdapat Protokol POPM Filariasis diMasa Pandemi COVID-19.

b. Surat Direktur P2PTVZ Nomor PV.04.01/3/3011/2020 tanggal 17 Juli 2020 tentang Penyampaian SOP Pelaksanaan Survei Paska POPM Filariasis tahun 2020 di Masa Pandemi COVID-19.

2. Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)

Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis adalah dengan menjadikan bulan Oktober sebagai

“Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)”. Bulan Eliminasi Kaki Gajah dilaksanakan pada Bulan Oktober. Dengan adanya program Belkaga diharapkan seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak mendukung POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman masyarakat yang semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di Indonesia. Pada tahun 2020, POPM Filariasis dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.

3. Akselerasi Eiminasi Filariasis melalui Pelaksanaan POPM Filariasis dengan menggunakan Regimen 3 obat IDA (Ivermectin, DEC, dan Albendazole)Pada tahun 2018 WHO telah merekomendaskan penggunaan regimen IDAdalam POPM Filariasis sebagai pengembangan obat makrofilariacidal yang lebih efektif, aman, dan dapat digunakan di lapangan. Dengan cakupan POPM yang efektif (>65%) maka regimen IDA dapat mempersingkat waktu pelaksanaan POPM menjadi kurang dari 5 tahun. Dalam rangka akselerasi eliminasi filariasis maka pada tahun 2020 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/365/2020 dilaksanakan POPM Filariasis regimen IDA di Kabupaten Sumba Barat Daya, Kota Pekalongan,dan Kabupaten Mamuju. Namun akibat berlangsungnya pandemi Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia, pelaksanaan POPM Filariasis Regimen IDA di Kota Pekalongan dan Kabupaten Mamuju mengalami penundaan padatahun 2020.

(19)

4. Advokasi, sosialisasi dan kordinasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis secara intensif. Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif dilaksanakan kepada Lintas Sektor dan Lintas Program terkait serta seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan cakupan dalam minum obatpencegahan Filariasis.

5. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Eliminasi Filariasis. Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada tahap persiapan dan pemberian obat pencegahan massal filariasis serta mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam pengendalian Filariasis. Kegiatan ini dilaksakan melalui:

a. Pertemuan Evaluasi Program Filariasis Tahun 2019 dan Rencana Kegiatan POPM Filariasis tahun 2020 di Provinsi Aceh.

b. Pertemuan Virtual Koordinasi Pengelola Program Filariasis Provinsi dalam rangka Penyusunan Data Dossier, identifikasi kebutuhan obatdan ketersediaan Logistik Obat Filariasis.

c. Pertemuan Virtual Koordinasi Program Filariasis dan Kecacingan dalam rangka Sosialisasi Risk Assessment untuk Implementasi POPM di masa pandemi.

d. Koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program pengendalian Filariasis.

e. Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI).

f. Pencegahan Dini/ Penanggulangan Kejadian Ikutan Minum Obat (POPM) Filariasis dan Kecacingan terpadu.

g. Assessment Persiapan Eliminasi filariasis 6. Surveilans Pasca POPM Filariasis

Surveilans merupakan tahap yang paling penting dalam melaksanakan eliminasi filariasis.

Setelah dilaksanakan POPM Filariasis selama 5 tahun pada kabupaten/kota endemis filariasis dievaluasi melalui survei evaluasi mikrofilaria untuk melihat apakah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1%.

Setelah itu dilaksanakan survei evaluasi penularan filariasis untuk melihat apakah masih terjadi penularan pada daerah tersebut serta menentukan apakah suatu kabupaten/kota dapat menghentikan kegiatan POPM Filariasis atau masih harus melanjutkan kegiatan POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi filariasis. Pelaksanaan surveilans paska POPM Filariasis dilaksanakan dengan memperhatikan protokol Kesehatan serta dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi pandemi COVID-19 di Kabupaten/Kota.

7. Distribusi obat dan logistik ke daerah.

Dalam rangka mendukung kegiatan POPM Filariasis di kabupaten/kota maka obat dan logistik pusat didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan obat dan logistik yang telah disusun sebelumnya

8. Pengadaan bahan-bahan KIE dan bahan survei filariasis. Sebagai sarana komunikasi, informasi, dan edukasi terhadap masyarakat terkait Filariasis maka telah dilaksanakan pengadaan berupa leaflet, spanduk POPM, roll banner, lembar balik, buku edukasi bahaya dan pentingnya mencegah filariasis. Dalam rangka mendukung pelaksanaan evaluasi filariasis, maka telah dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet dan bahan survei Filariasis.

(20)

6) IMUNISASI

Berdasarkan data s.d 20 Januari 2021, persentase kabupaten/kota dengan 80% bayi usia 0-11 bulan sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap sebesar 32,7% (168 kabupaten/kota) dari target 79,3% (401 kabupaten/kota), sehingga capaian kinerja tahun 2020 sebesar 41,2%. Pada grafik dibawah ini terlihat, bila dibandingkan dengan target jangka menengah pada tahun 2020-2024, maka capaian indikator tahun 2020 belum berjalan on track, meskipun demikian capaian tahun 2020 tidak akan mempengaruhi capaian tahun 2021-2024 karena capaian indikator Persentase Kab/Kota yang mencapai 80% IDL anak usia 0-11 bulan dihitung per tahun. Kondisi capaian imunisasi tahun 2021.

Bila dibandingkan capaian tahun 2020 jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2019 dan 2018. Pada tahun 2018 sebanyak 72,8% (374 kabupaten/kota) telah mencapai target untuk memenuhi minimal 80% sasaran bayi usia 0-11 bulan mendapatkan imunisasi dasar lengkap dari target 90%, sehingga capaian kinerja tahun 2018 sebesar 81%. Sedangkan, pada tahun 2019, sebanyak 73,5% (378 kabupaten/kota) telah mencapai target untuk memenuhi minimal 80% sasaran bayi usia 0-11 bulan mendapatkan imunisasi dasar lengkap dari target 95%, sehingga capaian kinerja tahun 2019 sebesar 77%.

Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

Beberapa upaya telah dilakukan untuk dapat mencapai indikator presentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap anak usia 0-11 bulan, antara lain:

1) Peningkatan kualitas pelayanan imunisasi, melalui:

▪ Melakukan penyusunan petunjuk teknis pelayanan imunisasi pada masa pandemi COVID-19;

▪ Melakukan sosialisasi kepada petugas kesehatan terkait dengan petunjuk teknis pelayanan imunisasi pada masa pandemi COVID-19 melalui serangkaian kegiatan webinar;

▪ Melakukan koordinasi secara intensif dengan Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, khususnya terkait dengan percepatan penyediaan vaksin;

Pemberian Imuniasi Pada Balita di RS. Harapan Bunda Dalam Rangka Pemberian Imunisasi Rutin

(21)

▪ Melakukan pelatihan jarak jauh untuk provinsi terpilih (Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan) dengan melibatkan tim dari PPSDM dan BBPK Ciloto;

▪ Melakukan supervisi dan monitoring secara berjenjang, baik secara langsung melalui kegiatan kunjungan ke lapangan, maupun secara daring;

▪ Bekerja sama dengan Pusat Data dan Informasi untuk mengembangkan sistem pelaporan imunisasi berbasis DHIS2 melalui aplikasi satu data kesehatan.

2) Peningkatan kesadaran masyarakat dan demand generation, melalui:

▪ Melakukan sosialisasi kepada masyarakat umum tentang pentingnya imunisasi pada masa pandemi COVID-19 dengan melibatkan para ahli melalui rangkaian webinar pada saat pelaksanaan Pekan Imunisasi Dunia(PID);

▪ Melakukan virtual training tentang strategi komunikasi melalui pendekatan Human Centered Design (HCD) dengan melibatkan bagian promosi kesehatan sehingga dapat digunakan dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat untuk imunisasi;

▪ Pemberdayaan oranisasi masyarakat melalui sinergitas dengan organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi keagamaan dan lintas sektor terkait lainnya (MUI, Perdhaki, Muslimat NU, Aisyiah, Fathayat NU, PKK, Walubi, IDAI, IBI, PPNI, dan Kementerian/ Lembaga lainnya).

▪ Penyebarluasan informasi dan edukasi melalui media cetak seperti buku saku, spanduk, leaflet dan banner;

▪ Iklan Layanan Masyarakat (ILM) di TV, radio dan media elektronik.

3) Peningkatan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor terkait dalam hal pelayanan dan penggerakan masyarakat.

7) KEKARANTINAAN KESEHATAN/KEDARURATAN KESEHATAN MASYARAKAT (KKM)

Indikator ini merupakan indikator kinerja sasaran dalam Renstra Kementerian Kesehatan periode tahun 2020-2024. Pada tahun 2020, dari target 56% atau 22 Kab/Kota, telah tercapai 56% (22 Kab/Kota) dengan pintu masuk yang yang melaksanakan kegiatan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dalam hal ini penanggulangan COVID-19, sehingga capaian kinerja sebesar 100%.

Dirjen P2P, dr. Anung Sugihantono, M.Kes Memeriksa Kelengkapan Barisan Pada saat Pembukaan Pelatihan Jiwa Korsa Pejabat Karantina Kesehatan Tingkat Dasar T.A 2020

(22)

Capaian tahun 2020 telah on track dan diperkirakan sampai tahun 2024 akan tercapai sesuai dengan target yang ditetapkan. Adapun kabupaten/kota yang melaksanakan kegiatan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dalam hal ini COVID-19 tahun 2020.

Indikator ini sudah ada sejak tahun 2015-2019, tetapi dengan perbedaan defenisi operasional dengan tahun 2020. Tahun 2015-2019 target dihitung dari Kab/Kota yang mempunyai pintu masuk internasional sedangkan tahun 2020-2024 dihitung dari semua pintu masuk termasuk domestik. Kabupaten/Kota yang mempunyai kapasitas dalam pencegahan dan pengendalian KKM dipintu masuk internasional telah tercapai sehingga cakupan diperluas dengan meningkatkan kapasitas Kab/Kota yang mempunyai pintu masuk domestik. Tahun 2020 indikator ini dimasukkan kembali untuk menjawab sasaran strategis dalam Renstra Kementerian Kesehatan yakni meningkatnya pencegahan dan pengendalian penyakit serta pengelolaan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator.

- Melaksanakan workshop koordinasi dan integrasi antara Pintu Masuk dan Wilayah dalam merespon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

- Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan lintas sector.

- Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kabupaten/kota.

Sebagai upaya dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh baik secara fisik, mental maupun kompetensi untuk menjadi garda terdepan di pintu masuk negara dalam rangka cegah tangkal penyakit serta faktor risiko kesehatan yang berpotensi terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat, maka Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P), Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan Pelatihan Jiwa Korsa Pejabat Karantina Kesehatan Tingkat Dasar T.A 2020

Penampilan Ketangkasan Petugas Karantina Kesehatan Pada Saat Pembukaan Pelatihan Jiwa Korsa Pejabat Karantina Kesehatan Tingkat Dasar T.A 2020

(23)

Kegiatan Diklat yang diadakan ini untuk meningkatkan kedisiplinan, ketahanan fisik, ketangkasan, kerjasama tim, serta menumbuhkan jiwa kepemimpinan dengan dedikasi dan integritas yang tinggi kepada bangsa Indonesia.

Sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, serta Instruksi Presiden No. 4 tahun 2019 tentang Peningkatan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi dan merespon wabah penyakit pandemi global dan kedaruratan nuklir, biologi dan kimia (NUBIKA), serta IHR 2005 yang merupakan payung hukum dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, maka tentunya perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan pengawasan dan penguatan fungsi detect, prevent serta respons.

Dewasa ini tantangan di pintu masuk negara semakin besar. Meningkatnya jumlah pelaku perjalanan baik dalam rangka Umrah maupun perjalanan lainnya ke negara-negara endimis penyakit potensi KKM/PHEIC memerlukan pengawasan yang ketat serta koordinasi dengan para pihak terkait. Hal ini merupakan gambaran nyata bahwa KKP sebagai lini terdepan harus senantiasa siap, dan hadir sebagai representatif bangsa dalam menjaga pintu masuk negara. Oleh karenanya para peserta diklat karkes tingkat dasar ini adalah bagian dari hadirnya pemerintah dalam menyiapkan SDM unggul di pintu masuk negara.

8) Kawasan Tanpa Rokok (KTR)

Indikator ini merupakan indikator baru pada periode tahun 2020-2024, karena tidak ada di tahun sebelumnya. Tahun 2020 target yang ditetapkan adalah 50 kab/kota dan tercapai 19 (38,0%) kab/kota. Terdiri dari 13 kab/kota yang telah menyelenggarakan layanan upaya berhenti merokok (UBM) dan 6 kab/kota yang menerbitkan/mengimplementasikan Perda/Perkada KTR. Pada grafik ini terlihat bahwa dari target sebanyak 350 yang ditetapkan pada tahun 2024, maka pada tahun 2020 tidak mencapai target karena adanya pandemi COVID-19 dan akan dilakukan percepatan pencapaian pada tahun 2021, target dan sasaran Kab/Kota yang tidak tercapai pada tahun 2020 akan ditambahkan menjadi target 2021 sehingga diharapkan target 2024 dapat dicapai on track. Kondisi ini dimungkinkan bila penanganan pandemi COVID-19 dapat dikendalikan.

Kegiatan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kabupaten Klungkung, Bali

(24)

Berdasarkan Sistem Informasi Penyakit Tidak Menular (SIPTM) berbasis web, Kab/Kota yang ≥40% puskesmasnya telah menerapkan layanan UBM sebanyak 13 Kab/Kota dengan capaian tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni sebesar 30% Kab/Kota.

Adapun Kab/Kota yang ≥40% FKTP menyelenggarakan UBM adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kab Sumbawa Barat, Kota Bima dan Kab Lombok Utara), Provinsi Kalimantan Utara (Kota Tarakan), Provinsi DKI Jakarta (Kab. Kep Seribu), Provinsi Gorontalo (Kab Boalemo), Provinsi Sumatera Barat (Kota Payakumbuh, Kota Padang Panjang), Provinsi Jambi (Kab Bungo), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kab Buton Selatan), Provinsi NTT (Kab Malaka), Provinsi Jawa Barat (Kota Bandung) dan Provinsi Sumatera Utara (Kab Labuhan Batu Selatan).

Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi perokok usia 10-18 tahun di Indonesia mencapai 9,1%. Provinsi dengan Kab/Kota yang mempunyai prevalensi diatas angka nasional terbanyak adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai prevalensi 12,4% di semua Kab/Kota. Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Solok, Kota Tanjung Pinang dan Kota Pagar Alam merupakan kab/kota dengan proporsi perokok usia 10-18 tahun yang lebih rendah dari angka nasional (9,1%), sedangkan Kota Depok dan Kab Gorontalo Utara memiliki proporsi perokok usia 10-18 tahun yang lebih tinggi dari angka nasional.

Dari 10 Kab/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan prevalensi diatas angka nasional, 3 Kab/Kota telah mempunyai = 40% FKTP yang menyelenggarakan layanan UBM atau sebanyak 30% Kab/Kota sedangkan 7 Kab/Kota lainnya belum menyelenggarakan UBM. Provinsi Banten, sebanyak 6 dari 8 kab/kota (75%) memiliki proporsi perokok usia 10- 18 tahun lebih tinggi dari angka nasional, tetapi belum ada Kab/Kota yang = 40%

puskesmasnya telah menyelenggarakan layanan UBM. Demikian pula dengan Provinsi Papua Barat yang 69,2% kab/kota memiliki proporsi perokok usia 10-18 tahun lebih tinggi dari angka nasional tetapi belum memiliki Puskesmas yang melaksanakan UBM. Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah daerah dalam mendukung program nasional untuk melindungi setiap warga negara dari bahaya rokok mengingat jumlah perokok pemula semakin meningkat.

Kab/Kota yang melaksanakan/implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok melalui penerbitan kebijakan daerah tentang kawasan tanpa rokok tahun 2020 sebanyak 6 Kab/Kota berupa Peraturan Daerah yakni Kabupaten Tapanuli Utara (Sumatera Utara), Kota Solok (Sumatera Barat), Kota Pagar Alam (Sumatera Selatan), Kabupaten Gorontalo Utara (Gorontalo), Kota Depok (Jawa Barat), dan Kabupaten Sumba Brat (Nusa Tenggara Timur).

Kota Depok menerbitkan Perda Nomoor 2 Tahun 2020 sebagai Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Bila dibandingkan dengan capaian sejak tahun 2015-2020, secara kumulatif menunjukkan sebanyak 285 Kab/Kota telah menerapkan KTR. Terdapat perbedaan definisi operasional terkait indikator penerapan KTR tahun 2020 bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. DO pada tahun 2020 adalah Kab/Kota yang menerbitkan Perda terkait KTR sedangkan tahun-tahun sebelumnya adalah kabupaten/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR yang dinilai dari telah menerapkan KTR paling sedikit di 50% sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang KTR.

Bila dibandingkan dengan Indikator Kinerja Sasaran dalam Renstra Kemenkes yakni indikator 100% Kab/Kota yang menerapkan kebijakan KTR dengan target 324 Kab/Kota pada tahun 2020, telah tercapai sebanyak 279 atau sebesar 86,11%. Indikator ini menjadi indikator komposit dari Kabupaten/Kota yang melakukan pencegahan perokok usia <18 tahun pada tahun 2020. Sama seperti UBM, indikator KTR juga tidak mencapai target salah satunya karena pandemi COVID-19 mengakibatkan pembatasan sosial sehingga kegiatan penerapan kebijakan KTR terhambat.

Upaya Yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Indikator

Upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai indikator Kabupaten/Kota yang melakukan pencegahan perokok usia <18 tahun antara lain:

(25)

1) Penyusunan petunjuk teknis layanan UBM di FKTP sangat bermanfaat bagi petugas untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya dalam penerapan layanan UBM di daerah masing-masing.

2) Penyusunan petunjuk teknis implementasi KTR menjadi arah dan strategi dalam pencapaian penerapan kawasan tanpa rokok di daerah.

3) Penyusunan buku saku UBM dilakukan di internal Direktorat P2PTM dengan masukan dari organisasi profesi terkait seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Iindonesia.

4) Penyusunan modul e-learning UBM. Pembuatan berbagai media komunikasi, informasi, edukasi (KIE) yang sangat membantu masyarakat mendapatkan informasi yang benar dan akurat dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami.

5) Advokasi dan monev UBM dan implementasi KTR di 14 lokus yakni Kab. Ogan Komering Ulu Selatan, Kota Pagar Alam, Kab. Lahat, Kab. Empat Lawang, Kab. Penukal Abab Lematang Ilir, Kab. Pandeglang, Kota Cilegon, Kab. Pekalongan, Kab. Tegal, Kab.

Tasikmalaya, Kab. Garut, Kab. Jepara, Kab. Brebes, Kab. Cirebon. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan umsur di lintas kementerian/lembaga yakni Kementerian Dalam Negeri dan Komnas Pengendalian Tembakau.

6) Inovasi Layanan Quitline (Layanan Konsultasi Upaya Berhenti Merokok melalui telpon tidak berbayar) telah ada sejak tahun 2016. Animo masyarakat terhadap pelayanan Quitline.INA meningkat pada tahun 2020 yang dibuktikan dengan jumlah telepon terlayani sejumlah sebesar 77.065 kali dan yang tidak terlayani 6 kali lebih banyak dengan jumlah kurang lebih 461.222 kali. Nomor telpon Quitline.INA 0-800 177 6565 tercantum dalam setiap bungkus rokok yang beredar di pasaran sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 tahun 2017. Layanan telah diakses oleh masyarakat yang ingin mencari informasi tentang berhenti merokok atau ingin berkonsultasi dari 34 propinsi setiap bulannya. Usia klien yang menelpon ke Layanan Quitline.INA selama tahun 2020 ini terbanyak pada rentang usia 20-24 tahun. Hal ini merupakan indikasi bahwa kesadaran untuk berhenti merokok di kelompok usia produktif semakin meningkat. Hasil survei kepuasan masyarakat atas pelayanan Quitline.INA Kementerian Kesehatan RI tahun 2020 yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri PAN RB nomor 14 tahun 2017 mendapatkan nilai indeks 3,38 atau nilai SKM setelah dikonversi adalah 84,58 yang berada pada klasifikasi A atau sangat memuaskan. Survei sudah diselenggarakan sejak tahun 2018 dengan hasil setiap tahunnya sangat memuaskan. Pada Tanggal 13 Agustus 2019 layanan Quitline.INA mendapat apresiasi sebagai Juara I dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI Kategori Pelayanan Publik Inklusif Untuk Memajukan Kesejahteraan Masyarakat.

7) Penyebaran informasi upaya berhenti merokok juga dilaksanakan melalui media sosial baik melalui facebook, Instagram, Path dan juga Tweeter. Jumlah followers’ platform media sosial Direktorat P2PTM seperti Facebook @p2ptmkemenkesRI adalah 110.924 orang, Instagram @p2ptmkemenkesri 189.000 orang dan Twitter @p2ptmkemenkesRI 14.200 orang.

Referensi

Dokumen terkait

Program prioritas pada urusan perencanaan pembangunan pada tahun 2014 adalah Program Perencanaan Pembangunan Daerah, dengan kegiatan prioritas Penyusunan RKPD, Koordinasi

Matriks Monitoring Rencana Aksi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2020 Sasaran Program lndikator Kinerja Sasaran Program Target 2020 Kegiatan

Desa Clapar, 28 Agustus 2019 KEPALA DESA CLAPAR INDIKATOR KELUARAN (JENIS. BARANG/JASA,

Sesuai dengan landasan yuridis tersebut serta memperhatikan hasil evaluasi bersama antara eksekutif dan legislatif terhadap kinerja tahun 2019 yang ditindaklanjuti dengan

Sekretariat Badan Litbang dan Diklat selanjutnya akan melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala atas pelaksanaan Program reformasi birokrasi 2020 pada setiap

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN APBD PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN ANGGARAN 2020 TRIWULAN III (TIGA) : BULAN JULI TAHUN ANGGARAN 2020.. PROGRAM RENSTRA/KEGIATAN

Hari Selasa, tanggal 25 Februari 2020 pukul 10.00 Wib s.d Selesai bertempat di Ruangan Staf Bagren Polres Lingga telah berlangsung kegiatan Anev Bulanan Periode Januari Tahun 2020

MATRIKS PERENCANAAN PROGRAM KEGIATAN TAHUN PELAJARAN 2024/2025 PROGRAM EKSKUL NO PROGRAM KEGIATAN TARGET EVALUASI RENCANA PROGRAM KEGIATAN 1 EKSTRAKURIKULER SENI TARI TRADISIONAL -