• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Doktor Ilmu Kependidikan dalam bidang Pendidikan Bahasa Indonesia

Promovendus Retty Isnendes

NIM 1005083

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG

(2)

Struktur dan Fungsi Upacara

Ngalaksa

di Kecamatan Rancakalong Kabupaten

Sumedang dalam Perspektif Pendidikan

Karakter

oleh Retty Isnendes

S.Pd di IKIP Bandung, 1998

M.Hum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2004

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

© Retty Isnendes 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

September 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang

dalam Perspektif Pendidikan Karakter”

(4)

i

Retty Isnendes, 2013

STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA

DI KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER

Retty Isnendes NIM 1005083

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendokumentasikan dan memaknai struktur dan fungsi upacara ngalaksa, serta menemukan dan menyusun nilai pendidikan karakter dari upacara tersebut. Metode yang digunakan adalah paradigma kualitatif pada kajian tradisi lisan, dengan teknik penelusuran kepustakaan, wawancara mendalam dan terbuka, perekaman dan pendokumentasian, pengamatan terlibat, serta konvensi tradisi lisan. Adapun hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama struktur upacara ngalaksa terbangun atas lima tahapan kegiatan, yaitu badanten, mera, meuseul, ngalaksa, dan wawarian. Terdapatnya struktur baru yang menjadi kreasi atas diakomodasinya upacara ngalaksa menjadi agenda pemerintah dengan dijadikannya aset pariwisata. Selain itu, adanya 10 unsur yang tidak dapat dipisahkan dari strukturnya, yaitu nama kegiatan, pelaku, benda-benda, bahan-bahan, makanan, tuturan yang diucapkan dalam upacara dan tuturan yang menyertai upacara ngalaksa, kesenian, gerakan, tempat penyelenggaraan, dan waktu pelaksanaan.Fungsi upacara ini diurai melalui tiga postulat fungsi yaitu postulat kesatuan fungsional (functional unity), fungsionalisme universal (universal functionalism), dan postulat kepokokan (indispensability). Selain itu, dibahas mengenai pertukaran antar subsistem dan sektor fungsional upacara ngalaksa dalam sistem sosial, yang menjadikan upacara ini dianggap penting oleh pemerintah dan diagendakan sebagai aset pariwisata budaya. Kedua, terdapat enam nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa, yaitu: nilai pribadi, nilai kemasyarakatan, nilai kealaman, nilai ketuhanan, nilai pribadi mengejar kemajuan lahiriah, dan nilai pribadi mengejar kepuasan batiniah. Kesimpulan penelitian ini adalah struktur dan fungsi upacara ngalaksa memancarkan nilai-nilai karakter yang sudah jadi dari masyarakat pelakunya, dan pada wilayah pendidikan nonformal, nilai-nilai tersebut berpotensi menjadi tauladan bagi masyarakat banyak, yang dalam penelitian ini diwakili oleh masyarakat model. Rekomendasi penelitian ini ditujukan kepada pihak-pihak yang berkaitan dan berkepentingan dengan upacara ngalaksa dan pendidikan secara umum.

(5)

ii

Retty Isnendes, 2013

THE STRUCTURE AND FUNCTION OF THE NGALAKSA CEREMONY IN THE SUBDISTRICT OF RANCAKALONG SUMEDANG FROM THE STANDPOINT OF CHARACTER EDUCATION

Retty Isnendes NIM 1005083

ABSTRACT

The goals of this study are two-fold: i) to document and interpret the structure and function of the ngalaksa ceremony, and ii) to uncover and develop the value of character education of the ngalaksa ceremony. The method used was qualitative examining oral tradition, the techniques of which comprised literature search, in-depth and open interviews, recording and documentation, participant observation, and oral tradition conventions. Results of this study show that, first, the ngalaksa ceremony is composed of five phases of activities, namely badanten, mera, meuseul, ngalaksa, and wawarian. As well as a new structure as resulting from the government establishing the ceremony as a tourism asset. In addition, there are twelve inseparable elements of the ceremony i.e. names, actors, objects, materials, food, spoken utterances, art, movement, venue, and time of the event. The thesis also discussed the exchange between subsystems and functional purpose of the ngalaksa ceremony within the society since the ceremony is considered crucial by the government and established as a cultural tourism asset.

Second, there are six values of character education of the ngalaksa ceremony,

namely: personal values, social values, mundane values, godly values, personal values pertaining to outward progress, and personal values pertaining to inner satisfaction. The research concludes that the ngalaksa ceremony represents the established values of the society in which the ceremony is conducted. Such values, from the standpoint of nonformal education, may serve as model values for the wider society. In addition, the thesis is able to schematize the concept of character education in the context of non-formal education. The results of the this research have implications for those who have an interest in the ngalaksa ceremony and education in general.

(6)

Xii Retty Isnendes, 2013

Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dalam (Retty Isnendes NIM 1005083)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR DIAGRAM ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ... 11

1.2.1 Batasan Masalah ... 11

1.2.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan ... 15

1.3.1 Tujuan Umum ... 15

1.3.2 Tujuan Khusus ... 15

1.4 Urgensi Penelitian ... 15

1.4.1 Aspek Ipteks ... 15

1.4.2 Aspek Budaya ... 16

(7)

1.5 Pengertian Istilah ... 17

BAB II BUDAYA, PENDEKATAN SASTRA, DAN PENDIDIKAN KARAKTER 2.1 Budaya ... 20

2.1.1 Wujud Kebudayaan Pertama ... 27

2.1.1.1 Pandangan Hidup Manusia Sunda ... 28

2.1.1.2 Mitos ... 34

2.1.2 Wujud Kebudayaan Kedua ... 37

2.1.2.1 Kearifan Lokal ... 38

2.1.2.2 Ritus ... 41

2.1.2.3 Tali Paranti Sunda ... 43

2.1.3 Wujud Kebudayaan Ketiga ... 48

2.1.3.1 Mitos Nyai Pohaci sebagai Karya Sastra ... 48

2.1.3.2 Upacara Ngalaksa dan Perlengkapannya ... 50

2.1.3.3 Tarawangsa ... 52

2.2 Pendekatan Sastra ... 53

2.2.1 Strukturalisme .. ... 54

2.2.2 Semiotik ... 56

2.2.3 Interpretasi ... 61

2.3 Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Nasional ... 63

2.3.1 Pendidikan Nasional Indonesia ... 63

2.3.1.1 Arti Pendidikan ... 63

2.3.1.2 Sistem Pendidikan Nasional Indonesia ... 66

2.3.1.3 Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan di Indonesia ... 67

2.3.1.4 Peserta Didik ... 70

2.3.1.5 Pendidik ... 70

2.3.1.6 Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan ... 71

2.3.1.7 Faktor-faktor Pembangun Sistem Pendidikan Nasional ... 75

2.3.2 Pendidikan Karakter ... 75

(8)

2.3.2.2 Makna Karakter ... 78

2.3.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Karakter .... 84

2.3.2.4 Fungsi Pendidikan Karakter ... 86

2.3.2.5 Tujuan Pendidikan Karakter ... 86

2.3.2.6 Sumber dan Nilai Pendidikan Karakter ... 87

2.4 Tinjauan Kepustakaan tentang Budaya Sunda ... 95

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 111

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 113

3.2.1 Penelusuran Kepustakaan ... 114

3.2.2 Wawancara Mendalam dan Terbuka ... 114

3.2.3 Perekaman dan Pendokumentasian ... 114

3.2.4 Pengamatan Terlibat ... 115

3.2.5 Konvensi Tradisi Lisan ... 115

3.3. Instrumen Penelitian ... 117

3.4 Lokasi Penelitian ... 127

3.4.1 Tinjauan Infrastruktur Kecamatan Rancakalong .. ... 128

3.4.2 Tinjauan Infrastruktur Desa Lokasi Penelitian ... 130

3.4.2.1 Desa Rancakalong ... 131

3.4.2.2 Desa Cibunar ... 132

3.4.2.3 Desa Pamekaran ... 133

3.4.2.4 Desa Nagarawangi ... 134

3.4.2.5 Desa Pasirbiru ... 135

3.4.3 Tinjauan Superstruktur Kecamatan Rancakalong ... 136

3.5 Sumber Data ... 138

3.6 Proses Analisis Data ... 141

3.7 Penyajian Hasil Data Analisis ... 141

3.8 Desain Penelitian ... 144

(9)

BAB IV STRUKTUR DAN FUNGSI UPACARA NGALAKSA DI

KECAMATAN RANCAKALONG KABUPATEN

SUMEDANG

4.1 Struktur Upacara Ngalaksa ... 146

4.1.1 Tahapan Upacara Ngalaksa ... 146

4.1.1.1 Temuan ... 146

4.1.1. 2 Pembahasan ... 164

4.1.2 Unsur-unsur Upacara Ngalaksa ... 171

4.1.2.1 Nama Kegiatan ... 171

4.1.2.2 Pelaku Upacara Ngalaksa ... 178

4.1.2.3 Benda-benda Upacara Ngalaksa ... 188

4.1.2.4 Bahan-bahan Upacara Ngalaksa ... 233

4.1.2.5 Makanan dalam Upacara Ngalaksa ... 240

4.1.2.6 Tuturan yang Diucapkan dalam Upacara Ngalaksa dan yang menyertai upacara Ngalaksa ... 241

4.1.2.7 Kesenian dalam Upacara Ngalaksa ... 301

4.1.2.8 Gerakan dalam Upacara Ngalaksa ... 306

4.1.2.9 Tempat Penyelenggaraan Upacara Ngalaksa ... 316

4.1.2.10 Waktu Pelaksanaan ... 328

4.2 Fungsi Upacara Ngalaksa ... 330

4.2.1 Temuan ... 330

4.2.2 Pembahasan ... 333

4.4.2.1 Postulat Kesatuan Fungsional (Functional Unity) ... 335

4.4.2.2 Postulat Fungsionalisme Universal (Universal Functionalism).. 336

4.4.2.3 Postulat Kepokokan (Indispersability) ... 343

4.4.2.4 Pertukaran antar Subsistem dan Sektor Fungsional ... 347

BAB V PERUMUSAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DARI

(10)

5.2 Penahapan Pelaksanaan Pendidikan Karakter pada Masyarakat

Model ... 352

5.1.1 Temuan ... 352

5.1.2 Pembahasan ... 353

5.2 Pembuatan Instrumen ... 357

5.2.1 Temuan ... 357

5.2.2 Pembahasan ... 358

5.3 Pembuatan Film Dokumenter Upacara Ngalaksa ... 362

5.3.1 Temuan ... 362

5.3.2 Pembahasan ... 362

5.4 Penetapan Masyarakat Model ... 365

5.4.1 Temuan ... 365

5.4.2 Pembahasan ... 366

5.5 Pelaksanaan Penelitian pada Masyarakat Model ... 367

5.5.1 Temuan ... 367

5.5.1.1 Pelaksanaan pada Masyarakat Model 1 ... 367

5.5.1.2 Pelaksanaan pada masyarakat Model 2 ... 369

5.5.1.3 Pelaksanaan pada Masyarakat Model 3 ... 371

5.5.2 Pembahasa ... 373

5.6 Perumusan Nilai-nilai Pendidikan Karakter ... 378

5.6.1 Temuan ... 378

5.6.2 Pembahasan ... 383

5.6.2.1 Nilai Pribadi dari Upacara Ngalaksa ... 386

5.6.2.2 Nilai Kemasyarakatan ... 393

5.6.2.3 Nilai Kealaman ... 396

5.6.2.4 Nilai Ketuhanan ... 397

5.6.2.5 Nilai Pribadi Mengejar Kemajuan Lahiriah ... 409

5.6.2.6 Nilai Pribadi Mengejar Kepuasan Batiniah ... 409

5.7 Pelestarian Upacara Ngalaksa ... 414

5.7.1 Temuan ... 414

(11)

5.8 Sumbangan Disertasi untuk Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia ... 435

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan ... 439

6.1.1 Struktur dan Fungsi Upacara Ngalaksa ... 349

6.1.2 Upacara dalam Perspektif Pendidikan karakter ... 445

6.2 Rekomendasi ... 447

6.2.1 Rekomendasi bagi Pembuat Kebijakan ... 447

6.2.1.1 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumedang dan Provinsi Jawa Barat ... 447

6.2.1.2 Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang dan Provinsi Jawa Barat ... 448

6.2.2 Para Pengguna Hasil Penelitian ... 449

6.2.2.1 Pemerintah Kecamatan Rancakalong dan Kabupaten Sumedang ... 449

6.2.2.2 Pelaku Budaya dan Aparat Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten, dan Provinsi Jawa Barat ... 450

6.2.3 Para Peneliti yang Berminat Meneliti Objek Materi yang Sama ... 451

6.2.3.1 Upacara Ngalaksa ... 451

6.2.3.2 Tradisi Lisan ... 451

DAFTAR PUSTAKA ... 452

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Nilai-nilai Pendidikan Karakter, ... 89

2.2 Karakter Nabi Muhammad Saw, ... 90

2.3 Perbandingan Nilai Baik secara Tradisional dan Modern, ... 93

3.1 Kisi-kisi Instrumen Penelitian untuk Menjelaskan Struktur, Fungsi, dan Nilai Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang, ... 118

3.2 Instrumen Penelitian Cheklist/Observasi di Rancakalong, ... 121

3.3 Instrumen Pengamatan dan Pertanyaan pada Masyarakat Model, .... 124

3.4 Desa dan Lokasi Penelitian, ... 130

3.5 Tempat-tempat yang Dianggap Keramat, ... 136

3.6 Kesenian di Kecamatan Rancakalong, ... 137

3.7 Upacara Adat di Kecamatan Rancakalong, ... 138

3.8 Sumber Data Penelitian, ... 139

4.1 Tahapan Besar Upacara Ngalaksa, ... 146

4.2 Perbandingan Tahapan Besar Upacara Ngalaksa di Masyarakat dan di Bumi Cipangasih, ... 168

4.3 Struktur Kegiatan Upacara Ngalaksa Secara Menyeluruh, ... 169

4.4 Para Ketua Rurukan Ngalaksa di Rancakalong, ... 179

4.5Aneka Nama Padi Lokal yang Pernah Ditanam di Rancakalong, ... 237

4.6 Diksi dan Ungkapan, ... 278

4.7 Hipogram dan Transformasi Nyai Pohaci pada Sastra Lisan di Rancakalong, ... 285

4.8 Tabel Penggolongan Mantra di Rancakalong, ... 288

4.9 Perbandingan Isi dan Struktur Tjarita (Pantun) Sri Sadana atau Sulandjana dan Wawatjan Soelandjana, ... 296

4.10 Perbandingan Lagu Pokok Tarawangsa, ... 306

4.11 Perhitungan Watak-watak Hari, ... 330

4.12 Unsur Struktural Ngalaksa sebagai Kesatuan Fungsional, ... 335

5.1 Indikator Instrumen bagi Masyarakat Model, ... 357

5.2 Indikator dan Pertanyaan yang Diajukan pada Masyarakat Model, ... 358

5.3 Nilai dalam Upacara Ngalaksa Menurut Masyarakat Model, ... 380

5.4 Nilai-nilai Pribadi yang Terdapat dalam Upacara Ngalaksa, ... 391

5.5 Upaya Pelestarian Upacara Ngalaksa, ... 416

5.6 Kemungkinan Pelestarian Nilai Pendidikan dari Upacara Ngalaksa dan Kesejajarannya dengan 18 Nilai Pendidikan Karakter Kemendiknas, ... 417

(13)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

2.1 Kerangka Semiotik Abrams, ... 59

2.2 Skema Kata Interpretasi, ... 62

2.3 Kegiatan Pembelajaran dalam Konsep Yus Rusyana (2010), ... 83

3.1 Desain Penelitian, ... 144

3.2 Paradigma Penelitian, ... 145

4.1 Nyai Pohaci dalam Teori Merchant, ... 176

4.2 Pengertian Ngalaksa, ... 177

4.3 Para Pelaku dalam Upacara Ngalaksa, ... 187

4.4 Benda-benda Sajen, ... 229

4.5 Konsep Dunia dalam Kosmologi Sunda, ... 233

4.6 Teknologi Makanan dari Beras, ... 241

4.7 Gerakan Ngibing Ngabadaya, ... 315

4.8 Tali Paranti Padi dan Kegiatan Pertanian di Rancakalong, ... 342

4.9 Postulat Kepokokan pada Sistem Tindakan Lengkap, ... 346

4.10 Pertukaran antar Subsistem dan Sektor Fungsional Upacara Ngalaksa dalam Agenda Pemerintah, ... 347

5.1 Tahap Penelitian pada Masyarakat Model, ... 353

5.2 Alur Pelaksanaan Kegiatan Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa di Masyarakat... 379

5.3 Relasi Genealogis dalam Tataran Nilai sebagai makhluk Tuhan, ... 400

5.4 Relasi yang Dibangun oleh Masyarakat Rancakalong sebagai Makhluk Tuhan, ... 408

5.5 Nilai-nilai Pendidikan Karakter dari Upacara Ngalaksa, ... 411

5.6 Ketautan Ngalaksa sebagai Kearifan Lokal, Tali Paranti, dan Pendidikan Karakter, ... 437

(14)

DAFTAR GAMBAR

3.5 Peta Indonesia, Jawa Barat, Kabupaten Sumedang, Kecamatan Rancakalong, ... 127

3.6 Panorama Alam, ... 128

3.7 Kantor Desa Rancakalong, ... 131

3.8 Kepala Desa dan Peneliti di depan kantor Desa Cibunar, ... 132

3.9 Kantor Desa Pamekaran, ... 133

4.14 Aparat Pemerintah, ... 181

4.15 Nu Ngiringan, ... 181

4.16 Tamu, ... 182

4.17 Sebagian Benda Perlengkapan Ngalaksa, ... 189

4.18 Sajen Pokok, ... 190

4.19 Sajen Pengiring Makanan, ... 192-194 4.20 Sajen Pengiring Nonmakanan, ... 196-198 4.21 Jambangan (Cacadan dan Titihan), ... 202

4.22 Alat Tenun tradisional Baduy, ... 221

4.23 Asal-usul Tumbuhan dari Tubuh Nyai Pohaci, ... 230

4.24 Contoh Bukti Pemakaian Warna Busana Sunda Tahun 1920-an, ... 232

(15)

4.26 Bahan Sinjang Nyai, ... 234

4.27 Bahan untuk Menggodog, ... 234

4.28 Memandikan Jambangan dan Perlengkapan Ngalaksa dengan Papagan Tangkal Combrang, ... 239

4.29 Waditra Tarawangsa, ... 301

4.30 Ngemban/Nimang, ... 310

4.31 Ibing Ngabadaya, ... 311

4.32 Denah Desa Wisata (Desa Adat) di Bumi Rancakalong, ... 317

4.33 Bumi Paniisan, ... 318

4.34 Denah dan Gambar Pelaksanaan Kegiatan di Bumi Paniisan, ... 319

4.35 Leuit, ... 320

4.36 Imah Waditra, ... 321

4.37 Imah Rurukan, ... 321

4.38 Saung Lisung, ... 321

4.39 Saung Panggodogan, ... 322

4.40 Saung Ranggon, ... 322

4.41 Parahu Kumureb, ... 324

4.42 Julang Ngapak, ... 324

4.43 Model Panglaksaan di Masyarakat, ... 327

4.44 Ilustrasi Tali Paranti Rikin, ... 336

4.45 Suasana Muludan, ... 340

4.46 Jambangan yang Telah Didandani, ... 340

5.1 Angket untuk Masyarakat Model 2, ... 361

5.2 Cuplikan Gambar Rekaman Film Awal, Tengah, dan Akhir, ... 364

5.3 Kegiatan Penelitian pada Masyarakat Model 1, ... 368

5.4 Kegiatan Penelitian pada Masyarakat Model 2, ... 370

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. SK DIREKTUR SPS UPI NO.: 0431/UN40.7/KM/2013 TENTANG

PERPANJANGAN PEMBIMBINGAN PENULISAN DISERTASI

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN

INDONESIA ANGKATAN 2013, 460-461

2. SURAT PERMOHONAN DARI DIREKTUR SPS UPI

DITANDATANGANI ASISTEN DIREKTUR I NO.:

0978/UN40.7/PL/2012 TENTANG IZIN MELAKUKAN STUDI

LAPANGAN/OBSERVASI, 462

3. SURAT IJIN PENELITIAN DARI KEPALA BAPPEDA KABUPATEN SUMEDANG DITANDATANGANI OLEH KEPALA UPTB LITBANG NO.: 070/251-Litbang/Bapp/2012 UNTUK CAMAT RANCAKALONG, 463

4. SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PENELITIAN

DISERTASI DOKTOR NO: 108/UN.40.8/LT/2013

(17)

1 Retty Isnendes, 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Penelitian

Upacara ngalaksa sebagai upacara adat adalah salah satu contoh kearifan

lokal dari hal adat-istiadat, di samping nilai, norma, etika, kepercayaan, hukum,

dan aturan-aturan khusus lainnya yang terdapat pada masyarakat tradisional

Indonesia. Gobyah (http://www.balipost.co.id dalam Sartini, 2004:112)

menafsirkan bahwa kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman

Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan

budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan

lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus

dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung

didalamnya dianggap sangat universal, karena memang kearifan lokal

mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan

Radiana (2003) menjelaskan bahwa kearifan berarti ada yang memiliki

kearifan (al-‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan jahiliyah (al-‘addah

al-jahiliyyah). Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari

pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Dalam hal

ini, agama Islam menjadi pandangan hidup orang Sunda sebagaimana tersurat

dalam buku Pandangan Hidup Orang Sunda (Warnaen dkk., 1987:224-233).

Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai

baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang

dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap

baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara

terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik

atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik hanya akan terjadi apabila

terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara

(18)

Kearifan lokal juga adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,

pemahaman, dan wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku

manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi. Seluruh kearifan

tradisional ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke

generasi selanjutnya yang sekaligus membentuk pola prilaku manusia sehari-hari,

demikian menurut Keraf dalam Sobirin (2007:102).

Pada tataran Indonesia, khususnya di tatar Sunda, pola-pola ini menjadi

localism genius orang Sunda dan bisa menjadi kebijakan yang disepakati bersama.

Hal inilah yang menjadi kearifan tradisional atau lokal yang hasilnya

diharapkan menjadi jati diri yang tangguh (jati teu kasilih ku junti; teu unggut

kalinduan teu gedag kaanginan) dan kedamaian juga kesejahteraan (teu nanaon

ku nanaon, mulus rahayu berkah salamet) yang melingkupi. Hasil yang sangat

diharapkan sebagai nilai yaitu karakter yang mandiri dan kuat.

Nilai-nilai khusus yang dipancarkan oleh pola-pola tradisional dalam

memahami alam dan kehidupannya adalah potensi nilai-nilai kepribadian bangsa

di Indonesia secara umum. Nilai-nilai kepribadian bangsa dari konteks

ke-Indonesia-an yang tersedia pada masyarakat Indonesia ini sudah seyogyanya

digali oleh yang berkompeten, baik praktisi ataupun akademisi, dan dikemas

secara kreatif sebagai nilai, media, atau sarana pengimbang dinamika kehidupan

yang sangat cepat dan kadang tidak terprediksi secara konvensional di era

globalisasi ini.

Hasil penggalian mengenai tradisi dan nilai-nilainya, telah banyak dilakukan

oleh orang Sunda secara individual, misalnya saja Adat-adat Oerang Priangan

jeung Oerang Soenda Lian ti Eta (1913) oleh Haji Hasan Moestapa, Upacara

Adat di Pasundan (1955) oleh R. Akip Prawira Soeganda, Modana (1977) oleh

R.H. Uton Muchtar & Ki Umbara, dan Rupa-rupa Upacara Adat Sunda Jaman

Ayeuna (1984) oleh H. Moh. E. Hasim. Selain itu, terdapat juga hasil penelitian

mengenai kearifan lokal yang terdapat pada suku bangsa yang dilakukan secara

kelompok yang dirangkum oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Kebudayaan sepanjang tahun 1980-an. Kegiatan mengenai

(19)

hasil dari penelitian ini adalah Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan

Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah di Jawa Barat (1984) yang ditulis oleh

Oyon Sofyan Umsari, dkk. dan Pandangan Hidup Orang Sunda seperti Tercermin

dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda (1987) yang ditulis oleh Suwarsih

Warnaen, dkk. yang isinya berupa kehidupan sosial orang Sunda yang telah

berlangsung berabad-abad lamanya dan telah menghasilkan khazanah budaya

Sunda, termasuk sastra dan tradisi lisan. Juga tidak dilupakan rangkuman etika

dan karakter manusia Sunda dalam Etika Sunda (1993) karya R.H. Hidayat

Suryalaga. Belum lagi laporan dari peneliti asing tentang budaya Sunda, seperti:

Nji Pohatji Sanghjang Sri (1929), Gebruiken en Godsdienst der Soendaneezen

(1935) yang ditulis oleh K.A.H. Hidding, Loetoeng Kasaroeng (1910) yang ditulis

C.M. Pleyte, Ngabersihan Als Knoop in The Tali Paranti, Bijdrage tot het

Verstaan van de Besnijdenis der Sundanezen (1973) yang ditulis oleh W.

Mintardja Rikin, Cosmology and Social Behaviour in A West Javanese Settlement

(1978) yang ditulis oleh Robert Wessing, atau Splashed by The Saint: Ritual

Reading and Islamic Sanctity in West Java (2006) yang ditulis oleh Julian Patrick

Millie.

Akan tetapi, sebelum era tulisan modern melaporkan hal itu, pada era lisan

nilai-nilai itupun hidup sebelumnya pada uga, cacandran, sastra lisan Sunda

(pantun, carita rakyat, dongeng, sisindiran, dll.), adat-istiadat, dan sebagainya.

Belum lagi pada era tulisan tradisional, naskah-naskah Sunda kuna yang banyak

menawarkan nilai-nilai dan karakter-karakter ideal mengenai manusia dan

pemimpin, seperti: Naskah Siksa Kanda(ng) Karesian (1518 M), Sewaka Dharma,

dan lain sebagainya. Selain itu, pada sastra tulis Sunda lama terdapat wawacan,

dan sastra tulis Sunda baru: sajak, carpon, novel, dan naskah drama Sunda.

Nilai-nilai itu diyakini, dilaksanakan, dan diwariskan baik langsung ataupun tidak

langsung dari generasi sebelumnya kepada generasi sesudahnya.

Selain penelitian-penelitian tentang tradisi Sunda dan nilai-nilainya, terdapat

juga hasil penelitian mengenai nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia yang

dilakukan secara parsial oleh para ahli di bidangnya. Misalnya saja mengenai

(20)

(1984) secara kritis mempresentasikan nilai-nilai (karakteristik) manusia Sunda

dari tokoh sastra dan sejarah yang tipikal dari tanah Sunda. Sebelumnya, ada

tulisan mengenai Manusia Jawa (1983) karya Marbangun Hardjowirogo, yang

sebelumnya lagi ada tulisan mengenai Manusia Indonesia (1977) karya Mochtar

Lubis yang secara kritis kontroversial mengoreksi ciri-ciri khas bangsa Indonesia

terutama di bidang kebudayaan. Karya yang menarik lagi adalah tulisan Ki Hajar

Dewantara yang terangkum dalam judul Kebudajaan mengenai masalah-masalah

pendidikan yang dikaitkan dengan nilai budaya (Jawa dan Nusantara) yang

diterbitkan oleh Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa tahun 1967.

Semua itu menegaskan bahwa nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia telah

mapan dan tersedia dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, saat ini

bangsa Indonesia seolah kehilangan kepribadiannya dan nilai-nilai baik yang ada

seolah hilang oleh nilai-nilai yang dianggap baik yang dicerap dari budaya asing.

Hal yang terjadi kemudian, nilai-nilai kepribadian bangsanya sendiri, terutama

kearifan lokal dianggap asing dan tidak bisa dipateakeun ‘diterapkan’;

diakomodasikan dalam menyelesaikan masalah internalnya. Selain itu, rusaknya

kepribadian bangsa seolah secara menyeluruh menjadi epidemik bagi kekuatan

moral dan mental bangsa ini. Kondisi bangsa yang terpuruk dengan berbagai

penyakit mental dan moral ditafsirkan menggerogoti bangsa yang 68 tahun

merdeka ini --baru atau sudah 68 tahun Indonesia merdeka? Ini pertanyaan

dialektis. Sebagai sebuah bangsa yang ‘baru’ merdeka dari cengkraman kolonialisasi, kondisi ini dipermaklumkan, karena Indonesia terus belajar dari

jatuh-bangun kondisi bangsanya. Tetapi sebagai sebuah ikatan bangsa yang telah

atau pernah mapan dengan nilai-nilai karakter yang hebat, seharusnyalah

Indonesia tidak jatuh terperosok ke dalam kehinaan, seperti: kehilangan jati diri

dan karakteristik yang positif yang sudah dipunyainya, atau setidaknya cepat

kembali merekonstruksi karakter bangsanya. Hal tersebut, dimaklumi oleh Prof.

Dr. Salim Said (mantan Dubes Cheko), karena menurutnya, Indonesia sebagai

sebuah negara, baru mempunyai ruh tahun 1928 dan merdeka tahun 1945,

keterpurukan bangsa ini dinilai wajar karena berproses menuju bangsa yang

(21)

21.00). Oleh karena itulah, upaya yang yang tidak kalah pentingnya sekarang

adalah mensosialisasikan atau mengimplementasikan nilai-nilai tersebut, terutama

pada bidang pendidikan. Hal itu dimungkinkan, karena pendidikan merupakan

komponen strategis dalam membangun karakter bangsa.

Karakter sebagai suatu moral excellence atau akhlak mulia dibangun di atas

berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna ketika

dilandasi atas nilai-nilai yang berlaku dalam suatu budaya (bangsa). Karakter

bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki warga negara Indonesia

berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan

nilai yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia (Ramly dalam Tim

Kementrian Nasional, 2010:ii). Oleh karena itu, pendidikan karakter di Indonesia

diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebijakan

sehingga menjadi suatu kepribadian dari diri warga Indonesia.

Sejalan dengan hal di atas, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 menyatakan demikian.

“Pendididikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela|jaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Pengertian di atas, menurut Prof. Dr. Yoyo Mulyana, M.Pd. (PBI, 19

Agustus 2011 jam 11.00 WIB) dianggap kurang tepat, karena kata ‘memiliki’ bisa

ditafsirkan sebagai: ‘belum tentu dapat memiliki’ dan mungkin ‘hanya memiliki’

saja tetapi bukan sebagai daya yang dijalankan atau diimplementasikan pada

kehidupan sehari-hari.

Sebagai hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak,

pendidikan di sebuah negara sudah sepatutnya diatur oleh negara, seperti

perumusan tentang pendidikan di atas. Demikian juga fungsi dan tujuan

pendidikan tersebut, seperti yang diatur oleh undang-undang yang sama dalam

bab dan pasal yang berbeda.

Fungsi dan tujuan pendidikan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003

(22)

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, dan (8) menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bila memperhatikan pengertian, fungsi, dan tujuan pendidikan di atas,

semuanya merujuk pada akhlak mulia untuk peradaban bangsa. Kata kunci dari

semua itu adalah akhlak mulia dan adab. Akhlak dan adab berkaitan dengan

dengan istilah lain: budi pekerti, moral, etika, watak, dan karakter yang baik.

Istilah-istilah ini bisa dihubungkan dengan pengertian karakter yang menurut

Rutland (dalam Hidayatullah, 2010:12) berasal dari bahasa Latin yang artinya ‘dipahat’ atau diibaratkan sebuah kehidupan bagaikan blok granit yang harus diperlakukan (dipahat) dengan hati-hati sehingga menjadi maha karya, karena

apabila sembarang memperlakukannya, maha karya tersebut akan hancur menjadi

puing. Jikalau demikian, karakter menjadi gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai

yang dipahat dalam batu hidup tersebut yang akan menyatakan nilai yang

sebenarnya.

Dalam Learner’s Dictionary dinyatakan bahwa karakter adalah “kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi” (Hornby dan Parnwell, 1972:49). Kualitas mental terlahir dari mental yang sehat. Menurut Darajat (dalam

Yusuf LN, 2009:10), mental yang sehat adalah ‘terwujudnya keharmonisan antar

fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi

problem-problem yang terjadi, merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya’.

Dalam Kamus Psikologi, karakter disebutkan sebagai kepribadian (yang)

ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang. Kejujuran

seseorang tersebut biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap

(Gulo, 1982:28).

Menurut Raka, dkk (2011: 36-37) karakter dikaitkan dengan sifat khas

atau istimewa; kekuatan moral; pola tingkah laku seseorang. Karakter baik

(23)

baik, dan tingkah laku baik. Berkarakter baik berarti mengetahui yang baik,

mencintai kebaikan, dan melakukan yang baik. Karakter memancar dari dalam

diri ke luar (inside-out). Artinya kebiasaan baik tersebut dilakukan bukan atas

permintaan atau tekanan dari orang lain melainkan atas kesadaran dan kemauan

sendiri. Disebutkan pula bahwa karakter adalah “apa yang Anda lakukan ketika tak seorang pun melihat atau memperhatikan Anda”.

Mengenai kalimat dalam kutip di atas, hal ini hampir sama pengertiannya

dengan apa yang disebut dalam Islam sebagai ikhsan, yaitu ketika seseorang

berniat, berpikir, dan berbuat, dirinya yakin ada pencipta yang mengawasinya,

sehingga seluruh niat, pikiran, perbuatannya selalu dijaganya dalam kebenaran.

Dari uraian singkat, disimpulkan, karakter bisa dinyatakan sebagai kualitas

atau kekuatan mental; moral; akhlak; budi pekerti individu yang merupakan

kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak dalam berprilaku,

serta membedakan satu individu dengan individu lainnya. Dengan demikian,

pendidikan berkarakter dapat diartikan sebagai usaha sadar dan terencana dalam

membangun kualitas mental yang bernilai mulia dalam usahanya mewujudkan

bangsa yang beretika secara menyeluruh.

Upacara ngalaksa sebagai tali paranti masyarakat Kecamatan Rancakalong

Kabupaten Sumedang adalah sebuah kebijaksanaan; kearifan; masyarakat

setempat yang diasumsikan mengandung nilai-nilai kebaikan. Nilai-nilai kebaikan

tersebut terintegrasi dalam karakter masyarakat Kecamatan Rancakalong.

Mengenai keberadaan upacara ini, sudah lama diberitakan dan sudah

banyak diinformasikan keberadaannya, tetapi karena kondisi yang tidak

memungkinkan, baru pada bulan Juli 2011 observasi awal dilaksanakan. Upacara

ngalaksa yang dilakukan bulan Juli 2011, dilaksanakan selama tujuh hari tujuh

malam berturut-turut dari tanggal 5 s.d. 11 Juli 2011. Hal tersebut, sama seperti

pelaksanaan pada tahun-tahun sebelumnya, demikian keterangan dari Mama

Sukarma (wawancara di Rancakalong, 5 Juli 2011). Upacara ini dilaksanakan

dengan khidmat dan wajib diikuti oleh segenap lapisan masyarakat, terutama

(24)

tersebut. Pada waktu penelitian pertama ini dilakukan, yang bertugas menjadi

pemangku hajat upacara ini adalah Desa Pamekaran Kecamatan Rancakalong.

Penelitian kedua adalah tanggal 4 s.d 8 Juli 2012. Upacara ini

dilaksanakan lima hari lima malam berturut-turut karena tidak memungkinkan

dilaksanakan tujuh hari disebabkan oleh adanya kepercayaan masyarakat

setempat; adanya larangan bulan. Pada upacara tahun 2012 yang memangku hajat

adalah Desa Cibunar Kecamatan Rancakalong.

Penelitian ketiga adalah tanggal 24 s.d. 30 Juni 2013. Upacara ini juga

dilaksanakan tujuh hari berturut-turut dan perubahan bulan diselenggarakannya

karena menghadapi bulan puasa Ramadhan. Tahun 2013 ini pemangku hajat

adalah Desa Rancakalong Kecamatan Rancakalong.

Adapun tampilan seni tarawangsa yang mengiringi kegiatan upacara

ngalaksa dilaksanakan bergantian oleh komunitas tradisi (rurukan) di kecamatan

tersebut. Jadi selama hari-hari pelaksanaan, kelima komunitas tradisi sehari

semalam bergantian menyediakan penabuh tarawangsa dan melaksanakan

nyumpingkeun Keresa Nyai.

Patut diketahui, pelaksanaan upacara ini ditanggungkan pada lima desa

yang mempunyai rurukan ‘masyarakat adat’ yang melaksanakan upacara ini.

Lima desa ini bergantian setiap tahun menyelenggarakan upacara. Lima desa

tempat lima rurukan ini adalah: 1) Desa Rancakalong, 2) Desa Cibunar, 3) Desa

Nagarawangi, 4) Desa Pasirbiru, dan 5) Desa Pamekaran.

Ngalaksa dilaksanakan dengan maksud menghormati arwah leluhur yang

telah berhasil mencari dan mempertahankan bibit padi, juga sebagai rasa syukur

atas keselamatan dan rezeki yang dilimpahkan dalam kehidupan para petani.

Menurut Kartikasari, dkk., ngalaksa adalah: 1) ada hubungannya dengan

perubahan cara bertani dari sistem perladangan pada sistem pertanian di sawah,

sekaligus mengembangkan sistem perairan dan sawah-sawah berteras, 2)

pengungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada tuhan YME melalui Dewi Sri

(Dewi Padi) yang telah melimpahkan kesuburan dan keberhasilan panen pada

(25)

berkomunikasi manusia dengan khalik yang dipuja sebagai kekuatan adikodrati

tertinggi (Kartikasari, 1991:22).

Upacara ngalaksa yang sebelumnya dilaksanakan tiga atau empat tahun

sekali, sekarang dilaksanakan satu tahun sekali (Kartikasari, dkk, 1991; Ningsih,

2005; Yuningsih, 2005; wawancara dengan Mama Sukarma, 2011, dan Aki

Atang, 2012). Hal ini berhubungan dengan pengelolaan pemerintah Kabupaten

Sumedang, dibawah kepemimpinan Bupati yang menjadikan ngalaksa sebagai

aset pemerintah daerah dalam hal kepariwisataan yang dianggap bisa

mendatangkan devisa semenjak tahun 1998.

Upacara tradisional yang dilaksanakan setelah panen ini, diwujudkan

dalam budaya yang nampak yaitu berupa pembuatan laksa oleh kaum wanita dan

dibantu oleh kaum laki-laki dari daerah yang bersangkutan. Laksa adalah sejenis

leupeut/lepat yang dibungkus oleh daun congkok. Bahan laksa ini adalah tepung

beras yang ditumbuk bersama-sama dalam kegiatan ngalaksa.

Upacara ini memang sangat menarik bila dilihat dari segi struktur dan isi,

juga keunikan namanya, sehingga pada laman di dunia maya pada Oktober 2011

terdapat sekira 5.620 laman dari hasil penelusuran. Tetapi bila diperhatikan lebih

mendetail, jumlah tersebut terus bertambah dan ternyata bercampur dengan kata ‘ngalaksa’ yang dilaksanakan oleh masyarakat adat Baduy (Kanekes) dalam upacara Ngawalu. Walaupun ada dua upacara dengan nama yang sama

(ngalaksa), dalam pelaksanaannya berbeda, yaitu ngalaksa pada masyarakat

Baduy dilaksanakan pada rangaian upacara ngawalu tiap satu tahun sekali, dengan

tata cara pelaksanaan yang tidak diketahui karena merupakan upacara tertutup

bagi masyarakat luar.

Populernya upacara ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten

Sumedang pada tataran praktis tidak berbanding lurus dengan pada tataran

akademis, terutama sebagai tulisan hasil penelitian. Sebagai tulisan hasil

penelitian, sementara ini hanya beberapa yang didapatkan.

Di KITLV Leiden-Belanda, terdapat satu buku yang berjudul Pengukuhan

(26)

1991). Buku ini membahas: 1) nilai-nilai budaya dari upacara tradisi ngalaksa

yang dianggap bermanfaat dan diperlukan bagi usaha pelestarian unsur-unsur

kehidupan sosial, 2) mengukuhkan nilai-nilai budaya dari upacara tradisi ngalaksa

lewat penginventarisasian, penganalisaan, dan pengujian, dan 3) mengungkapkan

upacara tradisi ngalaksa sebagai salah satu pranata sosialisasi dan arena sosial

nilai-nilai budaya sebagai modal dasar kehidupan bangsa Indonesia.

Di perpustakaan STSI terlacak dua karya penelitian yang berbentuk tesis

dan jurnal. Judul tesis mengenai ngalaksa ini adalah: Struktur dan Fungsi Tari

dalam Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong (Ella Nurlaela Ningsih,

2005) dan pada jurnal Panggung terdapat tulisan Upacara Ngalaksa dan Tari

Tarawangsa: Penyelidikan Simbol-simbol Komunitas (Yuyun Yuningsih, 2005).

Tulisan Yuyun Yuningsih pada jurnal Panggung tersebut sebagian berasal dari tesisnya “Makna Simbolik Upacara Ngalaksa pada Masyarakat Rancakalong”, tesis di Program Studi antropologi, SPs UGM dengan tahun yang sama.

Di perpustakaan Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, terdapat juga judul

skripsi dalam bahasa Sunda Ajen Sosiologis dina Tradisi Upacara Adat Ngalaksa

di Desa Rancakalong Kacamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang pikeun

Bahan Pangajaran Maca di SMA Kls XII (Ikhsan Nugraha, 2010). Skripsi ini

membahas: 1) sejarah lisan tradisi upacara ngalaksa, 2) mendeskripsikan

pelaksanaan upacara adat ngalaksa, 3) menganalisis maksud dan tujuan upacara

adat ngalaksa, dan 4) mendeskripsikan nilai sosiologis yang terdapat dalam

upacara adat ngalaksa.

Selain itu, terdapat makalah yang telah dipresentasikan pada Kolokium

Pengajaran Internasional di Sps UPI yang berjudul Upacara Ngalaksa di

Kabupaten Sumedang: Sebuah Kearifan Lokal dari Tatar Sunda (Retty Isnendes,

Desember 2012). Pada makalah tersebut, dibahas ketautan upacara ngalaksa

dengan kearifan lokal di Tatar Sunda.

Selain tulisan hasil penelitian yang eksplisit menggunakan kata ngalaksa

pada judulnya, terdapat juga makalah, skripsi, dan tesis yang tidak menggunakan

kata ngalaksa tetapi terdapat bahasan mengenai upacara ini dan juga

(27)

Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang sebagai Revitalisasi Pengolahan

Pangan (Usman Supendi pada Konferensi Internasional Budaya Sunda November

2011), skripsi dengan judul “Arti Simbolik Sasajen dalam Seni Ormatan Tarawangsa” (Lia Putu Arga, 2011) pada Jurusan Antropologi FISIP UNPAD; Ajen Falsafah Kasenian Tarawangsa Desa Rancakalong Kacamatan

Rancakalong Kabupaten Sumedang: Hiji Tilikan Semiotik (Rekha Rosdiana Dewi,

2012) pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI, dan tesis Iis Warsiti “Pengelolaan dan Pemanfaatan Kultivar Padi Lokal dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelestarian Kultivar Padi Lokal (Studi Kasus di Desa

Rancakalong Kabupaten Sumedang)” untuk SPs UNPAD Bandung.

Selain sembilan hasil penelitian di atas, selebihnya belum ada lagi

ditemukan, apalagi yang ditulis oleh peneliti asing (non-Indonesia). Mungkin

masih ada lagi, tetapi belum terlacak. Hal ini menjadi keuntungan akademik bagi

peneliti pribumi yang berminat meneliti upacara ini, karena merupakan objek

material yang orisinal dan sangat menarik. Tapi di sisi lain menjadi kerugian

akademik, karena pendokumentasian, analisis, interpretasi, serta revitalisasi

terhadapnya menjadi sangat kurang.

Padahal dari hasil pengamatan sejak Juli 2011, penelusuran laman di dunia

maya, dan dari hasil pembacaan sembilan karya ilmiah tentang ngalaksa,

ditafsirkan terdapat nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan karakter pada

upacara tersebut. Hal tersebut dikarenakan, pada ngalaksa ada kearifan lokal dan

bisa menjadi pola pendidikan nonformal dan formal yang bisa diimplementasikan

pada masyarakat didik. Dari pembacaan sembilan karya ilmiah juga, tujuan

penelitian ini sangat berbeda dengan yang sudah ada bahkan diusahakan lebih

komprehensif dari yang ada. Oleh karena itu, penelitian mengenai “Struktur dan

Fungsi Upacara Ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang dalam Perspektif Pendidikan Karakter” ini perlu dilakukan.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

(28)

Dari latar belakang, masalah yang muncul sangat kompleks, yaitu di

bawah ini.

Pertama. Kearifan tradisional di tatar Sunda yang tersimpan dalam nilai,

norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat –termasuk upacara adat, hukum adat,

dan aturan-aturan khusus, begitu kaya dan beragam. Kearifan tradisional dalam

upacara adat, atau upacara ngalaksa yang dilaksanakan oleh masyarakat di

Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang yang unik dan kaya dengan nilai

ini, dianggap mengalami kemunduran kualitas dan pengurangan subtansi karena

berbagai faktor. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor globalisasi dan adanya

campur tangan pihak pemerintah dalam mengelola upacara ini sebagai aset

daerah. Pengelolaan ini bukan hal buruk sepanjang tidak mempengaruhi secara

substansial dan kualitas nilai pada upacara tersebut. Padahal nilai-nilai yang

terkandung dalam upacara tersebut sarat dengan ajaran moral dan berguna sebagai

bahan pendidikan karakter di Indonesia, khususnya di tatar Sunda.

Kedua. Kearifan tradisional atau kearifan lokal yang begitu kaya nilai dan

kaya makna ini, secara perlahan namun pasti, mati dan punah seiring

berkembangnya globalisasi dan datangnya era komunikasi digital yang

menciutkan hubungan sosial tradisional. Kepentingan individual yang dimanjakan

dengan teknologi mutakhir, melupakan dan memusnahkan hubungan kelompok

tradisional yang padanya nilai-nilai kearifan berada. Telah banyak hasil penelitian

tentang hal ini, akan tetapi sosialisasi pada wilayah pendidikan dipandang

baru-baru ini dengan adanya konsep pendidikan budaya dan juga konsep pendidikan

karakter, yang sebenarnya kedua konsep ini saling bersinkronisasi satu sama

lainnya sebagai konsep yang mengarah pada moral moral excellence atau akhlak

mulia yang sesuai bagi peradaban bangsa.

Ketiga. Penjabaran pendidikan berkarakter, menurut Hidayatullah

(2010:61-79), saat ini ada delapan nilai-nilai karakter yang bisa dijadikan

alternatif dalam pendidikan, yakni: SATF (Sidik-Amanah-Tablig-Fatonah),

Baik-Buruk, 7 Budi Utama, 4 Elemen Excellence, Astabrata, Serat Wulang Reh, Dasa

Dharma Raja, dan Astha Dasa Kotamaning Prabu. Lain lagi dengan Koesoema

(29)

yaitu: pendidikan karakter Aristokrasi ala Homerus, pendidikan karakter Populer

Hesiodos, pendidikan karakter Patriotis Spartan, pendidikan karakter Harmonis

ala Athena, pendidikan karakter Retoris Athena, pendidikan karakter ala Sokrates,

pendidikan karakter ala Plato, pendidikan karakter Kosmopolitan Hellenis,

pendidikan karakter ala Romawi, pendidikan karakter Kristiani, pendidikan

karakter Modern, pendidikan karakter F.W. Foerster, dan beberapa kasus historis

pendidikan di Indonesia. Selain itu, ada nilai-nilai karakter yang diadopsi oleh

Kementrian Pendidikan Nasional (2010) dari Sembilan Pilar Karakter Ratna

Megawangi menjadi 18 nilai. Lain lagi dengan Raka dkk (2011) yang

menawarkan enam kategori kebajikan dan kekuatan karakter yang diacu dari

Patterson dan Seligman, yaitu: kearifan dan pengetahuan, keberanian,

kemanusiaan, keadilan, pembatasan diri, dan transendensi. Bila merunut nilai-nilai

di atas, nilai-nilai tersebut sebenarnya bisa diacu sebagai nilai umum pada

pendidikan karakter di Indonesia dan hal ini menjadi relevan dengan pendidikan

karakter yang dibahas sisi historisnya oleh Koesoema. Walaupun tiga nilai

terakhir yang ditawarkan oleh Hidayatullah dan pendidikan Kristiani yang

ditawarkan Koesoema mungkin bisa dikomunikasikan lebih khusus lagi pada

pendidikan karakter suku bangsa yang menjadi latar budaya dari suku bangsanya

(Jawa) dan dari pemeluknya (Kristen) –kecuali yang lebih umum yaitu yang

ditawarkan oleh Megawangi. Hal itu dikarenakan adanya perbedaan filsafat yang

mempengaruhi tiap suku bangsa-suku bangsa di Indonesia. Di Jawa Barat, perlu

kiranya diangkat satu konsep karakter yang nilai-nilainya didasarkan pada

tradisinya sendiri, yaitu dalam penelitian ini adalah nilai-nilai karakter dari

upacara ngalaksa sebagai salah satu upacara adat Sunda yang potensial menjadi

alternatif konsep pendidikan karakter.

Keempat. Ukuran keberhasilan pembangunan, juga di bidang pendidikan

di Indonesia saat ini selalu diukur dengan angka dan paham positivistik yang

rasionalis, bukan fenomenologis. Sekarang dikenal adanya angka partisipasi

sekolah, tingkat kelulusan, angka minimal kelulusan, jumlah gedung sekolah,

rasio guru dan murid, jumlah angka putus sekolah, dan sebagainya, tetapi banyak

(30)

lemahnya kohesi sosial, tumbuhnya sikap individualistik, melemahnya sikap

pluralistik, dan yang berbahaya teralienasi (terasing) dari budaya sendiri atau

mengalienasi dari budaya sendiri. Menurut Budiyono (2007:130) hal ini

dikarenakan konsep pendidikan di Indonesia yang menganut sistem liberal,

rasionalistik-individualistik, dan anti sosial.

Kelima. Permasalahan keempat melahirkan konsep pendidikan yang tidak

mengacuhkan bahkan membunuh konsep irasional dan suprarasional. Padahal,

pada masyarakat Indonesia dan suku-suku bangsanya telah berkembang kearifan

lokal sebagai upaya pemecahan masalah dan adaptasi lingkungan sosial budaya

dan alam sekitarnya. Dalam menemukan, mengembangkan, dan menyebarluaskan

kearifan ini, masyarakat Indonesia hampir tidak menempuh metode-metode

rasional sebagaimana yang dikembangkan di Barat. Masyarakat cenderung

menggunakan rasionalitas khasnya yang kalau diukur dengan rasionalitas Barat

termasuk dalam ketegori irrasional dan suprarasional. Padahal itulah rasionalitas

negeri ini yang berbeda dengan filsafat Barat (band. dengan Budiyono, 2007:

131). Untuk itulah perlunya mensosialisasikan penguatan pendidikan berbasis

karakter dari nilai-nilai tradisi dan budaya sendiri guna membentuk karakter

bangsa.

Keenam. Bahwa idealisme yang tersurat dalam pengertian, maksud, dan

tujuan pendidikan di Indonesia, dianggap baru sebatas impian. Sampai saat ini,

hasil dari pendidikan di Indonesia belum mencapai kemajuan pendidikan karakter,

malah dalam berbagai hal mengalami kemunduran (Raka, 2011:xi) dan kegagalan;

gagal menciptakan generasi yang saleh, tapi hanya melahirkan generasi yang salah

(Aziz, 2011:109). Karakteristik manusia Indonesia sebagai pribadi yang memiliki

moral excellence atau akhlak mulia yang dibangun di atas berbagai kebajikan

(virtues) tidak memiliki makna bagi bangsanya sendiri. Problem bangsa yang

bertubi-tubi seperti korupsi, pelanggaran HAM, konflik etnis, konflik agama yang

berkepanjangan, disintegritasi sosial, menjadi fenomena mondial yang menasional

(Budiono, 2007:128-128; Raka, 2011:xi-xii; Aziz, 2011:114-115). Belum lagi

realita moral hidup sehari-hari, yang selalu diberitakan televisi-televisi swasta dan

(31)

indikator bahwa pendidikan di Indonesia belum dapat menjawab permasalahan

dan menjadi solusi atas karakter dan akhlak yang tidak baik.

Dari masalah-masalah di atas inilah, rumusan masalah difokuskan pada

upacara ngalaksa dan tinjauannya dalam perspektif pendidikan karakter.

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.

1) Bagaimana struktur dan fungsi upacara ngalaksa?

2) Bagaimana penyusunan nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan mengukuhkan dan melestarikan

kebajikan-kebajikan tradisi dengan menyusun konsep nilai pendidikan karakter

dengan cara mendokumentasi dan menginterpretasi upacara Sunda ngalaksa yang

terdapat di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang sebagai syarat tugas

akhir pendidikan S3. Selain itu, sebagai hasil penelitian diharapkan berguna bagi

kehidupan sastra dan tradisi lisan Nusantara.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah menjawab rumusan masalah, yaitu:

1) mendeskripsikan struktur dan fungsi upacara ngalaksa;

2) menyusun nilai pendidikan karakter dari upacara ngalaksa.

1.4 Urgensi Penelitian

Nilai urgensi dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek.

1.4.1 Aspek Ipteks

Aspek ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni menjadi sesuatu yang sangat

penting dalam proses, hasil, dan dampak dari penelitian ini. Secara proses, ilmu

pengetahuan atau sains secara murni menjadi perangkat dalam paradigma berfikir

(32)

tersebut tidak bisa berdiri sendiri ketika diaplikasikan di lapangan, tetapi

memerlukan pengetahuan lain sebagai pembanding, pengurai, dan penyimpul teori

yang ada. Secara hasil, penelitian ini menjadi khazanah ilmu pengetahuan dan

budaya bagi masyarakat Sunda khususnya, bagi masyarakat Indonesia umumnya.

Terlebih lagi bila hasil dari penelitian ini bisa dimanfaatkan bagi perkembangan

ilmu dan pengetahuan, terutama sastra, kemasyarakatan, tradisi lisan dan

pendidikan, dan dianggap akan berdampak positif bagi perkembangan karakter

dalam pendidikan dan budaya secara keseluruhan

Teknologi dalam penelitian ini dijadikan media bagi pendokumentasian

upacara ngalaksa. Hasil pendokumentasian maupun hasil interpretasi yang berupa

konsep karakter sangat berguna bagi pengukuhan dan pelestarian fakta budaya

Sunda yang ada dan pernah ada. pendokumentasian tersebut bisa disimpan dan

direproduksi sesuai kebutuhan untuk dipergunakan pada waktu yang tak berbatas.

Seni menjadi sesuatu yang sangat berharga ketika ilmu, teknologi, alam,

dan budaya menyatu menjadi satu produk yang bernilai yang dihasilkan oleh

manusia. Penelitian ini menyentuh jalinan-jalinan Ipteks dalam kehalusan kerja

kreativitasnya. Seni juga menjadi bahan penelitian ini, terutama seni sastra dan

seni pertunjukannya, karena dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda,

pertunjukan upacara ngalaksa menjadi bagian proses etis dan estetis disamping

memenuhi nilai-nilai lain yang ingin dicapai oleh masyarakat pelaksananya.

1.4.2 Aspek Budaya

Upacara atau upacara adat ngalaksa adalah budaya yang menjadi poin

penting dalam penelitian ini. Lokal genius atau genius localism Sunda dalam

upacara tradisi adalah bagian dari kearifan nasional bangsa Indonesia yang

merupakan potensi filosofi, ideologi, kepercayaan, dan cinta yang dapat menjaga

kelestarian alam dunia demi keseimbangan kehidupan. Wujud kebudayaan

sebagai: 1) kompleks ide-ide, gagasan, nilai, norma, adat, peraturan, dan

sebagainya, 2) kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat atau

sistem sosial, dan 3) benda-benda hasil karya manusia terekam dalam penelitian

(33)

fakta yang dapat dikondisikan keberadaannya dalam melestarikan kehidupan alam

dan dunia.

1.4.3 Aspek Pendidikan

Aspek pendidikan dalam karya ilmiah ini ditinjau dari proses dan hasil

yang dicapai. Pendidikan sebagai proses sosialisasi, komunikasi, dan edukasi

antara dua orang atau lebih dengan tujuan adanya peningkatan mutu kualitas

manusianya dalam penelitian ini menjadi sesuatu yang berharga. Karena dalam

pendidikan, esensi nilai yang menjadi tujuan, bertransformasi dari materi dan

media pendidikan adalah juga proses sosialisasi dan komunikasi dalam capaian

tujuan pendidikan.

Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan bisa dijadikan pola konsep

pendidikan karakter, materi ajar muatan lokal dan pendidikan bahasa dan sastra

Indonesia, melengkapi ilmu pengetahuan, dan menjadi media yang bisa disimpan

lama. Konsep karakter dari upacara ngalaksa dalam pendidikan karakter akan

menjadi alternatif dalam perkembangan ilmu pendidikan yang sedang

berkembang dan mendapat tempat sekarang ini. Materi ajar mengenai upacara

adat tradisional dan Tradisi Lisan Nusantara adalah pengetahuan yang sangat

berharga untuk dapat diperkenalkan dan diajarkan pada generasi muda. Dalam

keragaman budaya tradisi, generasi muda diharapkan bisa menemukan kembali

karakteristiknya sebagai bangsa yang beradab.

1.5 Pengertian Istilah

Ada beberapa istilah yang harus dijelaskan yang berhubungan dengan

penelitian. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut.

1) Struktur

Struktur adalah sebuah sistem, yang terdiri dari sejumlah unsur, yang

diantaranya tidak satupun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan

perubahan dalam semua unsur-unsur lain. Dalam struktur ini terdapat gagasan

keseluruhan (bukan individu atau anasir yang terpisah), gagasan transformasi

(memungkinkan adanya pembentukan unsur baru), dan gagasan regulasi diri

(34)

Struktur yang dimaksud pada penelitian ini adalah unsur-unsur yang

menyusun upacara ngalaksa secara keseluruhan, apakah jenis dan berapa

banyak jenis penyusunnya, bagaimana pertalian antar unsur-unsur tersebut

pada keseluruhan upacara ngalaksa.

2) Fungsi

Fungsi adalah guna, peran, manfaat yang berdaya guna, bermanfaat,

berperan, berfaedah atau kemampuan yang dimiliki dari sesuatu hal sesuai

dengan tugasnya. Fungsi ini bersifat dinamis dan tidak dapat dipisahkan

sehingga membentuk kesatuan yang harmonis (Tim Penyusun Kamus,

1997:281, Salim & Salim, 2002: 426, Pusat Bahasa, 2009:181).

Fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemanfaatan dan peran

upacara ngalaksa yang merupakan pemecahan masalah atas kebutuhan dasar

dan kebutuhan yang diderivasikan sehingga menjamin keberlangsungan hidup

masyarakat penyelenggaranya.

3) Upacara ngalaksa di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang

Upacara ngalaksa adalah salah satu bentuk upacara selamatan yang

biasanya dilakukan setelah panen. Upacara ngalaksa terdapat di Kecamatan

Rancakalong Kabupaten Sumedang dan terdapat juga pada masyarakat Baduy.

Dalam penelitian ini, upacara yang dimaksud adalah yang terdapat di

Kecamatan Rancalong Kabupaten Sumedang.

Upacara ini dianggap sebagai upacara memuliakan padi yang

pelaksanaannya diiringi oleh kesenian jentréng atau kacapi dan ngék-ngék

atau tarawangsa. Oleh karena itulah kesenian tersebut disebut tarawangsa.

Selain itu, upacara ini diiringi pula oleh tarian khas pada waktu-waktu yang

ditentukan.

Kecamatan Rancakalong bisa dianggap sebagai salah satu prototipe daerah

tradisional Sunda dengan setting sosial masyarakat agraris. Adapun

Kabupaten Sumedang dikenal sebagai kabupaten yang kaya akan kegiatan

seni dan budaya. Kabupaten ini juga terkenal dengan nuansa kesejarahannya

(35)

kabupaten ini adalah dina budaya urang napak, tina budaya urang ngapak

(pada budaya kita menapak, dari budaya kita mendunia).

4) Perspektif

Perspektif adalah cara melukiskan sesuatu atau sudut pandang dalam

melihat sesuatu (Tim Penyusun Kamus, 1997:760). Sudut pandang ini

menempatkan apa yang kita pandang dalam cara melihatnya sebagai sebuah

pengetahuan atau ilmu dari sudut yang diinginkan.

5) Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pembiasaan dan pembentukan nilai-nilai baik

bagi karakter insan-insan didik sebagai warga negara yang diharapkan akan

membentuk negara yang juga berkarakter. Orientasi dan kerangka dari

pendidikan karakter bagi bangsa ini adalah karakter dengan nilai-nilai baik;

akhlak terpuji dan mulia.

Nilai-nilai baik adalah berbagai kebajikan yang berdasarkan pada

tindakan-tindakan yang berlaku di masyarakat dan bangsa Indonesia (Ramly,

2010:iii). Dengan kata lain sejalan dengan etika dan budaya yang berlaku di

masyarakat . Adapun akhlak terpuji dan mulia adalah berorientasi pada agama

Islam dan Muhammad Saw. sebagai teladannya. Akhlak terpuji dan mulia

semakna dengan indah atau bagus. Seseorang dikatakan mulia karena

melakukan sesuatu yang sangat bermanfaat dan berguna untuk dirinya, orang

lain, dan lingkungannya. Di dalam sikap mulia terkandung muatan sikap untuk

memberikan yang terbaik dan menerima yang terburuk sekali pun. Dengan

kata lain, kemuliaan seseorang sangat bergantung pada prestasinya yang bisa

dirasakan oleh orang banyak, bukan untuk dinikmati sendiri saja (Aziz,

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini dijelaskan: (1) metode penelitian, (2) lokasi penelitian, (3)

sumber data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik pengumpulan data, (6) proses

analisis data, (7) penyajian hasil data analisis, (8) desain penelitian, dan (9)

paradigma penelitian.

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

dalam kajian tradisi lisan. Metode ini menggambarkan segala sesuatu yang

berhubungan dengan kehidupan tradisi lisan dalam kaitannya dengan dinamika

masyarakat yang diteliti dan kebudayaannya. Metode kualitatif dimungkinkan

dalam menggali dan mengurai kompleksitas kehidupan sosial budaya yang

diteliti. Sebagai contoh, penelitian ini yang membicarakan kehidupan upacara

ngalaksa dengan para pelakunya. Metode kualitatif dipercaya bisa menggali

fenomena tradisi lisan dari upacara ngalaksa dalam konteksnya dengan dunia

nyata, dan perspektif pelaku terhadap kehidupan masyarakat yang

melatarbelakanginya.

Karakteristik metode kualitatif adalah sebagai berikut: (1) memandang

bahwa realitas sosial itu merupakan hasil konstruksi pemikiran yang bersifat

holistik; (2) menganggap bahwa proses penelitian itu tidak dapat dikatakan

sebagai sepenuhnya bebas nilai; (3) pengumpulan data dalam penelitian kualitatif

tidak bersifat kaku tetapi selalu disesuaikan dengan keadaan lapangan (Sutamat,

2011:1).

Dengan demikian, metode kualitatif lebih fleksibel dalam penelitian ini

karena fokus penelitian telah ditentukan sebelum objek penelitiannya. Objek

penelitian ini ditentukan secara sengaja tentang apa yang sudah diketahui

sebelumnya, kemudian ditentukan juga informan yang akan diperlukan selama

(37)

disadari kekurangan dan kelebihannya. Terutama objektivitas dalam subjektivitas

sebagai peneliti terhadap hal yang diteliti.

Metode kualitatif sangat penting dalam paradigma kajian tradisi lisan

karena kesesuaiannya dengan penelitian tradisi lisan yang berusaha, menggali,

menemukan, dan menjelaskan makna dan pola tradisi lisan secara holistik

(Sibarani, 2012:266). Tradisi lisan merupakan “sistem wacana yang bukan

aksara” (Sutamat, 2011:2) Tradisi lisan tidak bisa dipisahkan dari bahasa karena pada hakikatnya bahasa merupakan hal ,yang bersifat lisani (oral). Dalam

praktiknya, antara kelisanan dan keberaksaraan terjalin sama eratnya dan sama

penting kedudukannya.

Penelitian ini dilaksanakan dengan kajian tradisi lisan. Kajian tradisi lisan

merupakan kajian multi disipliner atau lintas disiplin yang digunakan untuk

menganalisis permasalahan, antara lain mencakup pendekatan filsafat, sastra,

sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, dan politik. Adapun tahap kegiatannya

adalah sebagai berikut. Pertama, dilakukan pengumpulan sumber data baik primer

maupun sekunder. Kedua, penyeleksian teori yang digunakan untuk mengkaji data

yang dapat dipercaya. Ketiga, menganalisis dan menginterpretasi data yang telah

diseleksi. Tahap keempat, membuat proses penulisan dan konstruksi dari

keseluruhan hasil penelitian.

Pengkajian tradisi lisan memanfaatkan empat “aliran teori” dalam metode kualitatif, yang Bungin sebutkan, yaitu: (1) teori budaya, (2) teori fenomenologi,

(3) teori etnometodologi, dan (4) teori interaksionisme simbolik. Empat aliran

teori tersebut bisa dimanfaatkan dalam penelitian kajian lisan (Sibarani,

2012:257). Dari keempat aliran tersebut, dalam penelitian ini kecenderungannya

adalah menggunakan penelitian budaya yang bersifat naturalistik, karena yang

dikejar adalah keteraturan dan konsistensi. Peneliti mencari

pertanyaan-pertanyaan umum, ihwal hubungan kategori data untuk membangun data dari

dasar dan mengkaji secara kritis kejadian-kejadian yang berhubungan dengan

data (Alwasilah, 2008:90-91).

Kajian tradisi lisan sebagai objek, dalam hal ini upacara Ngalaksa, dilihat

(38)

unsur), dan konteks (kondisi) yang nantinya akan merupakan formula atau pola

dari upacara tradisi ini. Dalam isi terdapat nilai dan norma (fungsi dan makna)

yang merupakan kearifan lokal masyarakat Kecamatan Rancakalong. Bentuk dan

isi ini seyogyanya dapat direvitalisasi untuk membangun karakter bangsa

(bandingkan dengan Sibarani, 2012:243-244).

Selanjutnya, mengingat penelitian tradisi lisan juga melihat peran

pemerintah terhadap objek upacara tradisional, maka peneliti berusaha

menjelaskan makna subjektif menjadi objektif yang ada di lapangan. Dalam

kalimat sederhana dikemukakan bahwa sasaran penelitian ini adalah memahami

realitas masyarakat Kecamatan Rancakalong di Kabupaten Sumedang melalui

tradisi lisan upacara Ngalaksa dengan cara bagaimana realitas itu dibentuk. Oleh

karenanya, dalam memahami realitas tersebut, peneliti menggunakan metode

kualitatif.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1)

penelusuran kepustakaan, (2) wawancara mendalam dan terbuka, (3) perekaman

dan pendokumentasian, (4) pengamatan terlibat, dan (5) konvensi tradisi lisan.

Teknik-teknik ini dipergunakan ketika penelitian berlangsung dan dalam analisis

data. Teknik ini menjadi kerangka berfikir ketika menganalisis dan

menginterpretasi data. Semua teknik tersebut dilaksanakan baik di lokasi

penelitian (lapangan) maupun di luar lokasi penelitian.

3.2.1 Penelusuran Kepustakaan

Data kepustakaan yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri atas buku utama,

jurnal ilmiah, dokumen negara, surat kabar,

dan informasi dari media internet. Buku

utama adalah buku yang membahas tentang

ngalaksa, kosmologi dan kebudayaan Sunda,

dan kerangka teori. Dalam hal ini, termasuk

Gambar 3.1

Gambar

utama adalah buku yang membahas tentang ngalaksa, kosmologi dan kebudayaan Sunda, Gambar 3.1 Peneliti di Depan Gedung KITLV Leiden
Gambar 3.3 Merekam
Tabel 3.1 KISI-KISI INSTRUMEN PENELITIAN UNTUK MENJELASKAN STRUKTUR, FUNGSI,
Tabel 3.2 INSTRUMEN PENELITIAN CHEKLIST UNTUK OBSERVASI DI RANCAKALONG
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi yang dibangun akan mempunyai antar muka yang familiar dan mudah digunakan bagi pengguna. Halaman depan pengunjung dapat melihat berita, perencanaan dan

all provinces, with East Nusa Tenggara experiencing stunting rates twice as high as those observed in Jakarta. Children living in rural areas were also more likely to suffer

Dengan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dapat dijadikan sebagai suatu ilmu sosial kritis, sebagaimana tradisi Marxisme yang dikembangkan lebih lanjut oleh kelompok Mazhab

[r]

Realitas seperti ini belum mampu dicapai oleh pemerintah Kota Singkawang dan berbagai stakeholder kepariwisataan di kota Singkawang karena lama tinggal turis mancanegara di

Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan nilai S I dan S G, yaitu parameter sensitivitas insulin dan efektivitas glukosa pada Oral Minimal Model (OMM)

[r]

Uji ini menunjukkan ada perbedaan rerata pengetahuan remaja terhadap aspek kesehatan, sosial, dan hukum aborsi yaitu : 10 remaja dengan hasil pengetahuan lebih rendah daripada