• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peranan PPAT yang Meliputi Tugas dan Kewenangan dalam Proses Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) guna Pengikatan Jaminan Kredit Perbankan

Seiring berkembangnya kegiatan perekonomian dan meningkatnya taraf kehidupan masyarakat maka kegiatan pinjam meminjam uang tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, bank sebagai salah satu lembaga keuangan memberikan bantuan dana kepada masyarakat melalui kredit. Kredit yang diberikan oleh bank memiliki risiko, yaitu risiko kemacetan atau bahkan kegagalan pihak debitur dalam melunasi utangnya. Sepatutnya setiap kredit yang disalurkan mempertimbangkan prinsip-prinsip pemberian kredit secara benar dan hal ini dilakukan melalui prosedur penyaluran kredit secara bertanggungjawab. Sejak kredit dicairkan hingga diselesaikan oleh debitur. Untuk itu diperlukan kepastian hukum untuk menjamin pengembalian haknya, maka bank sebelum melakukan penyaluran kreditnya terlebih dahulu mengadakan Perjanjian Kredit dengan calon debiturnya.

Ada 2 (dua) bentuk akta atau perjanjian yang dipakai dalam suatu perjanjian kredit, yaitu :

1. Akta/Perjanjian Kredit Dibawah Tangan

Perjanjian kredit dibawah tangan adalah perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak (kreditur dan debitur), tidak dibuat dihadapan Notaris. Perjanjian kredit dibawah tangan ini dapat dibebankan menjadi dua antara lain :

a. Akta dibawah tangan yang dilegalisir, yaitu penandatanganan akta harus dihadapan pejabat yang berwenang, dengan demikian baik tanggalnya atau si penandatangan di jamin kepastiannya, selain itu isi

(2)

akta itu dibacakan juga oleh pejabat umum tersebut kepada penghadap.

b. Akta dibawah tangan yang didaftar (warmeking), jadi hanya didaftar saja oleh pejabat yang berwenang, maka untuk itu hanya dijamin kepastian tanggal pada waktu akta itu didaftarkan saja, sedang mengenai isinya dan penandatanganan kurang dapat dipertanggung jawabkan, oleh karena hanya dibuat oleh para pihak sendiri, maka akta itu baru akan mempunyai kekuatan bukti materiil, jika telah dibuktikan kekuatan formilnya. Kekuatan formil baru akan terjadi setelah para pihak mengakui akan kebenaran dari isi dan cara dibuatnya akta tersebut, bagi hakim akta ini merupakan barang bukti bebas atau kurang sempurna.

2. Akta/Perjanjian Kredit Otentik (Notariil)

Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat oleh Notaris memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian, yaitu (Lomban Tobing, 1983: 56-58):

a. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUH Perdata tidak diberikan kepada akta yang dibuat dibawah tangan sebab akta bawah tangan baru berlaku sah yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.

(3)

b. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)

Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya didalam menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal sepanjang mengenai akta otentik, akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya, sedangkan pada akta yang dibuat dibawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan, bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan itu diakui oleh yang menandatanganinya atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum. Kekuatan pembuktian akta otentik secara formal berarti akta otentik terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta itu, kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat dimana akta itu dibuat dan sepanjang mengenai akta bawah tangan, bahwa para pihak ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara para pihak sendiri.

c. Kekuatan pembuktian material (materielebewijskracht)

Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris yang dicantumkan dalam akta itu dan keterangan dari para pihak yang tercantum didalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871,

(4)

1875 KUH Perdata antara para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka, akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya sesuatu pemberitahuan belaka dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu.

Kedudukan Perjanjian Kredit sangatlah penting karena merupakan perjanjian pokok bagi perjanjian-perjanjian turutannya. Artinya, Perjanjian Kredit tersebut adalah perjanjian yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perjanjian-perjanjian turutannya. Maka dari itu Perjanjian Kredit Perbankan dibuat secara notariil karena akan memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna. Sempurna dalam artian baik menyangkut peristiwa dan para pihak yang membuatnya menurut hukum telah dinyatakan benar, dan pihak yang menyangkal kebenarannya dibebankan untuk membuktikan keberatannya tersebut. Hal ini berbeda dengan kekuatan pembuktian akta dibawah tangan. Para pihak dapat menyangkal kebenarannya sehingga beban pembuktian diperlukan bagi kreditur, atau terhadap Perjanjian Kredit yang dibuat dibawah tangan dilakukan legalisasi yang kemudian dibacakan dan dijelaskan oleh Notaris, tindakan demikian sebenarnya tidak mengubah perjanjian dibawah tangan menjadi akta notariil, tetapi tindakan demikian telah memberikan kekuatan pembuktian sendiri terhadap perjanjian tersebut yang lebih baik dari pada perjanjian dibawah tangan. Maka akibat dari tindakan legalisasi tersebut secara prinsip hukum akta tersebut telah memiliki kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat.

Perjanjian kredit dengan akta otentik maka dalam pembuatannya diperlukan jasa Notaris. Dalam Perjanjian Kredit tersebut memuat jaminan yang nantinya bila terjadi wanprestasi maka benda tersebutlah yang akan disita. Salah satu jaminan yang sering digunakan adalah tanah. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus

(5)

meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan, dan dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.

Seirama dengan hal tersebut terdapat artikel yang menyatakan bahwa “The government’s role in preserving property was to promulgate clear rules of property ownership and to enforce such rules in a reliable and predictable manner. The efficiency of transactions sufficiently to generate capital (Rashmi Dyal-Chan, 2007: 5)”.

Terjemahannya sebagai berikut: Peran Pemerintah dalam melestarikan aturan mengenai properti agar menjadi jelas kepada pemilik properti dan untuk menegakkan suatu aturan yang handal sehingga mudah untuk diprediksi. Hal ini dapat meningkatkan efisiensi transaksi yang cukup untuk menghasilkan modal.

Hak Tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya. Dalam arti, bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferens

piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku (Franklin Montolalu, 2014: 13).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah yang selanjutnya disebut UUHT, memberikan definisi Hak Tanggungan, sebagai berikut (Pasal 1 ayat (1) UUHT) :

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”

(6)

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu adalah (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 11): 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.

2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.

3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Ada beberapa asas-asas Hak Tanggungan yang perlu dipahami betul yang membedakan Hak Tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang lain, yaitu (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 15-44) :

1. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan (asas droit de preference)

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut. Dijelaskan dalam Angka 4 Penjelasan Umum UUHT bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain” ialah :

“Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.

2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, demikian ditentukan dalam Pasal 2 UUHT. Artinya, bahwa Hak Tanggungan

(7)

membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.

3. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada

Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan (yaitu memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Berhubung dengan ketentuan itu maka Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu barang. Begitu juga tidaklah mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. 4. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accessoir

Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian accessoir adalah berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT, yaitu karena :

a. Pasal 10 ayat (1) UUHT menentukan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan.

b. Pasal 18 ayat (1) huruf a menentukan Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

5. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek Hak Tanggungan itu berada (asas droit de suite)

(8)

Pasal 7 UUHT menetapkan asas, bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada. Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda itu berpindah.

6. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang tertentu (asas spesialitas)

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan bahwa di dalam APHT wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud itu apabila obyek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan” dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukkan dalam APHT yang bersangkutan.

7. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas)

Terhadap Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atas asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT, bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga (Pasal 13 ayat (1) UUHT).

Kewajiban pendaftaran ini dimaksudkan untuk dapat diketahui secara umum, sehingga Hak Tanggungan tersebut mengikat terhadap pihak ketiga. Dari asas ini terlihat jelas memberikan perlindungan terhadap kreditur, sehingga kreditur dalam posisi aman terhadap intervensi pihak ketiga. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan perwujudan dari asas publisitas. Hal ini sama dengan negara Eropa yang juga sangat menjunjung tinggi asas publisitas, dijelaskan dalam artikel berikut :

(9)

The Property Right Laws Lays great emphasis on publicity. As many Continental European countries, public registration is deemed to provide the strongest guarantee of legal certainty in the immovables bussiness. Being the basis for long time investment for investment and housing purposes, these transactions are in many ways the backbone of modern societies,whose stability needs to be ensured by means as reliable as possible (Gebhard Marc Rehn and Hindrich Julius, 2009: 11).

Terjemahannya yaitu: Hukum Properti meletakkan dasar penekanan dalam hal publisistas. Seperti di banyak negara Eropa Kontinental, dengan publik melakukan pendaftaran maka secara otomatis dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Peraturan tersebut merupakan pedoman dalam dunia bisnis. Selain itu menjadi dasar untuk investasi jangka panjang seperti halnya dalam investasi perumahan. Kegiatan tersebut merupakan suatu bentuk transaksi yang dapat diandalkan dan dibutuhkan saat ini.

Dengan digunakannya jaminan Hak Tanggungan ini, maka disinilah peranan PPAT sangat dibutuhkan. PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan (Effendi Perangin, 1994: 3).

Berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, tugas PPAT sebagai berikut :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :

a. jual beli; b. tukar-menukar;

(10)

c. hibah;

d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian harta bersama;

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Sedangkan dalam Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Kewenangan PPAT, adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.

3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No. 37 Tahun 1998, sebagai berikut:

1. Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.

2. Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.

(11)

a. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan’

b. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.

Berkaitan dengan Perjanjian Kredit, dalam hal pemasangan Hak Tanggungan, PPAT berperan dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Biasanya APHT dibuat berdasarkan atas SKMHT, namun dapat juga APHT langsung dipasangkan tanpa melalui SKMHT. Sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dibebani Hak Tanggungan harus di cek terlebih dahulu di Kantor Pertanahan setempat, apakah dalam sengketa ataukah tidak.

SKMHT adalah pemberian kuasa dari satu obyek hukum (orang/badan hukum) kepada subjek hukum lainnya (penerima kuasa) untuk melakukan satu urusan tertentu (membebankan Hak Tanggungan). Dengan demikian SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan pemberi Hak Tanggungan kepada Kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan untuk membebankan Hak Tanggungan atas obyek Hak Tanggungan. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT.

(12)

Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu:

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;

2. Tidak memuat kuasa substitusi;

3. Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas Krediturnya, nama dan identitas Debitur apabila Debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.

Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain” dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan obyek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain.

Pada huruf b yang dimaksud dengan pengertian “substitusi” menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Demikian ditentukan dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) hurufb UUHT. Lebih lanjut dijelaskan, “bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya direksi bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada kepala cabangnya atau pihak lain”. Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf c UUHT bahwa jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 103-108).

Bentuk dan isi SKMHT ditetapkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1996. Formulirnya disediakan oleh BPN melalui Kantor-Kantor Pos. SKMHT dibuat oleh Notaris atau PPAT yang bersangkutan dalam dua ganda. Semuanya asli, ditandatangani oleh pemberi kuasa, penerima kuasa, 2 (dua) orang saksi dan Notaris atau PPAT yang

(13)

membuatnya. Selembar disimpan di kantor Notaris atau PPAT yang bersangkutan. Lembar lainnya diberikan kepada penerima kuasa untuk keperluan pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT-nya (Boedi Harsono, 2008: 441).

SKMHT merupakan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun, kecuali telah dilaksanakan pembuatan APHT (Pasal 15 ayat (2) UUHT), sesuai dengan tanggal yang ditentukan dalam SKMHT tersebut. SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan (Pasal 15 ayat (4) UUHT). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) dan (4) UUHT tersebut tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 15 ayat (5) UUHT). Berdasarkan Pasal 15 ayat (6) UUHT, SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 15 ayat (3) atau ayat (4) UUHT, atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (5) UUHT maka batal demi hukum.

Sedangkan untuk APHT yang dibuat oleh PPAT berdasarkan permintaan pemberi Hak Tanggungan memuat identitas pemberi Hak Tanggungan dan pemegang Hak Tanggungan dan juga janji-janji. Ditentukan menurut Pasal 11 ayat (1) UUHT bahwa di dalam APHT wajib dicantumkan:

1. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;

2. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia bagiannya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;

3. Penunjuk secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);

4. Nilai tanggungan;

(14)

Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji, berdasarkan Pasal 11 ayat (2) diantaranya ialah :

1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk

mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan peletak obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;

4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hak itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama memiliki hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji;

6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

7. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan mendapat seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabutnya haknya untuk kepentingan umum;

(15)

9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;

10. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada saat eksekusi Hak Tanggungan.

11. Janji yang dimaksudkan dalam Pasal 14 ayat (4).

Meskipun dalam APHT dicantumkan janji-janji, namun pemberi Hak Tanggungan dilarang memberikan janji kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan tidak mampu membayar utang-utangnya. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12 UUHT yang menyebutkan bahwa “janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum”. Dari ketentuan tersebut maka pemberi Hak Tanggungan dilarang menjanjikan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila ia tidak mampu melunasi atau membayar utang-utangnya. Hal ini akan menyebabkan APHT batal demi hukum.

Pemberian Hak Tanggungan diawali dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Kemudian untuk tata cara pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUHT, yaitu:

1. Setelah penandatanganan APHT yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh Kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT itu;

2. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;

(16)

3. Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tertanggal hari kerja berikutnya.

Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) UUHT menentukan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikat Hak Tanggungan merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan. Dalam Pasal 14 ayat (4) UUHT ditentukan bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Namun, kreditur dapat memperjanjikan lain di dalam APHT, yaitu agar sertifikat hak atas tanah tersebut diserahkan kepada kreditur. Kemudian setelah sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan sertifikat hak atas tanah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan, maka sertifikat Hak Tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertanahan kepada pemegang Hak Tanggungan.

Adapun isi sertifikat Hak Tanggungan adalah Buku Tanah Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pada sertifikat Hak Tanggungan dimuat irah-irah atau kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan irah-irah tersebut ditempatkan pada sampul sertifikat. Pemberian irah-irah yang demikian mengakibatkan sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grosse akta hipotek sepanjang mengenai hak atas tanah (Gatot Supramono, 2014: 128).

Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 11 Maret 2016 pukul 10.00-12.00 WIB dengan Ibu Soga Indrani, S.H. menerangkan bahwa tugas PPAT dalam proses pembuatan Hak Tanggungan yaitu:

1. Melaksanakan pengecekan sertifikat di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat atau Kantor Pertanahan setempat dimana obyek tersebut berada.

(17)

PPAT bertugas memeriksa sertifikat hak atas tanah tersebut sebelum dibebani Hak Tanggungan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat atau di Kantor Pertanahan setempat, apakah sertifikat tersebut dalam sengketa ataukah tidak.

2. Memeriksa keaslian dokumen pendukung, antara lain: a. Kartu Tanda Penduduk (KTP);

b. Kartu Keluarga (KK); c. Akta Kelahiran; d. Akta Nikah; e. PBB; dll.

3. Mencocokkan semua dokumen-dokumen dengan data yang diperoleh dari Bank selaku Kreditur;

Dalam pembuatan suatu akta tentunya semua dokumen-dokumen harus sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya untuk menghindari masalah rumit yang mungkin saja datang dikemudian hari karena ketidak sesuaian data.

4. Mempersiapkan SKMHT atau APHT untuk ditandatangani oleh para pihak yaitu Bank (Kreditur) dan Nasabah (Debitur);

Pemberi Hak Tanggungan harus memberikan kuasa langsung kepada kreditur untuk membebankan Hak Tanggungan. Pemberi Hak Tanggungan atau pemilik jaminan tidak boleh memberi kuasa atau mewakilkan kepada orang lain selain kreditur (penerima Hak Tanggungan) untuk membebankan Hak Tanggungan tersebut.

5. Mendaftarkan APHT ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal APHT ditandatangani;

Pendaftarannya dilakukan oleh PPAT, bukan oleh pemegang Hak Tanggungan meskipun ia sebagai pihak yang berkepentingan.

6. Mengambil Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) dan Sertifikat Hak Atas Tanah yang telah dipasang Hak Tanggungan kepada Bank (Kreditur).

(18)

Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam proses pembuatan Hak Tanggungan yaitu mengacu pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang telah dijelaskan di atas dan mengacu pada Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) UUHT, ialah:

1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut; 2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan denga permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

PPAT juga mempunyai tugas tambahan setelah perjanjian kredit antara kreditur (Bank) dengan debitur (nasabah) selesai, yaitu PPAT harus pergi kekantor BPN atau Kantor Pertanahan untuk melakukan proses Roya terhadap barang jaminan yang digunakan dalam perjanjian sebab jika hal ini tidak dilakukan oleh PPAT setelah perjanjian selesai maka dapat menimbulkan suatu kasus hukum dimana barang jaminan tersebut masih terikat jaminan dengan perjanjian sebelumnya sehingga menyebabkan barang jaminan tersebut tidak dapat dipergunakan lagi sebagai barang jaminan Hak Tanggungan di dalam perjanjian kredit di dalam perjanjian yang mendatang, sebab didalam catatan kantor BPN jaminan Hak Tanggungan tersebut masih terikat perjanjian dengan perjanjian sebelumnya, sehingga disini fungsi Roya tersebut digunakan untuk melepaskan Hak Tanggungan dari perjanjian sebelumnya yang sudah berakhir sehingga Barang jaminan Hak Tanggungan tersebut sudah tidak tersangkut dalam suatu proses perjanjian.

Maka peran PPAT dalam pembuatan akta Hak Tanggungan ialah menjembatani antara kepentingan debitur dengan kepentingan kreditur sehingga kedua belah pihak sama-sama mendapatkan rasa keadilan, kemanfaatan, dan

(19)

kepastian hukum dalam melakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan. Peran PPAT juga terletak pada tanggungjawabnya. Yaitu tanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya serta perlindungan terhadap para pihak yang terkait di akta tersebut bila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak, maka yang menjadi acuan pejabat hukum yang berwenang cukuplah akta tersebut tanpa perlu memanggil kembali PPAT tersebut karena sudah terwakili dengan adanya akta yang telah dibuat oleh PPAT tersebut. Artinya, akta yang dibuat oleh PPAT tersebut haruslah dibuat secara benar agar menciptakan rasa aman terhadap para pihak sehingga semua dapat berjalan lancar dan tidak ada pihak yang dirugikan.

B. Permasalahan yang Dihadapi PPAT dalam Proses Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan Penyelesaiannya PPAT harus memberikan pelayanan kepada para pihak supaya kepentingan semua pihak dapat terlaksana. Sebelum PPAT melaksanakan tugasnya dalam hal pembuatan akta, tentunya syarat-syarat untuk pembuatan perjanjian kredit sudah harus dilengkapi terlebih dahulu oleh debitur maupun kreditur (bank), kemudian terjadi kesepakatan dan ditandatanganilah perjanjian kredit maka barulah PPAT dapat membuatkan Hak Tanggungan guna pengikatan jaminan kredit tersebut yang akan ditandatangani oleh para pihak. Tugas PPAT kaitannya dengan pemasangan Hak Tanggungan yaitu pembuatan SKMHT dan APHT tentunya tidak luput dari permasalahan. Berdasarkan wawancara yang dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 11 Maret 2016 pukul 10.00-12.00 WIB dengan Ibu Soga Indrani, S.H., permasalahan tersebut adalah :

1. Sertifikat yang akan dijadikan Hak Tanggungan belum balik nama

Permasalahan ini bukanlah hal baru bagi PPAT. Dalam prakteknya, sering dijumpai sertifikat yang akan dijadikan sebagai Hak Tanggungan belum balik nama, yaitu masih dengan nama pemilik lama. Sehingga, PPAT harus melakukan pengecekan berulang dan membuat agar sertifikat tersebut

(20)

balik nama atas pemilik yang sekarang. PPAT dapat juga mendatangkan pemilik sertifikat yang lama untuk dimintai tanda tangan.

2. Identitas yang tercantum dalam sertifikat yang akan dijadikan Hak Tanggungan tidak sesuai dengan identitas debitur atau pemberi kuasa

Sering kita jumpai adanya perbedaan nama antara satu identitas dengan identitas yang lainnya. Seperti halnya beberapa orang memiliki nama kecil yang berbeda dengan nama tuanya. Ini menyulitkan ketika nama yang tertera di sertifikat dapat berbeda dengan nama yang berada di Kartu Tanda Penduduk ataupun berbeda dengan nama yang tertera di Akta Kelahiran. Karena sedikit saja ada perbedaan nama bisa jadi berbeda pula orangnya. Untuk mengatasi hal ini maka nama tersebut harus dirubah sesuai dengan nama yang benar, yaitu menggunakan acuan nama yang tertera pada Akta Kelahiran.

3. Pemilik sertifikat atau pemberi Hak Tanggungan tidak hadir saat penandatanganan SKMHT maupun APHT

Bilamana pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dalam penandatanganan SKMHT maupun APHT maka pengikatan Hak Tanggungan tersebut tidak boleh dilaksanakan dan ditunda hingga pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat hadir untuk menandatangani SKMHT maupun APHT tesebut. Hal ini dikarenakan pemberian kuasa tidak dapat diwakilkan oleh siapapun. Untuk mengatasi hal ini maka para pihak yang berkepentingan seharusnya benar-benar sepakat terhadap waktu yang telah ditentukan bersama sehingga proses pemasangan Hak Tanggungan dapat berjalan lancar dan cepat.

4. Obyek Hak Tanggungan untuk pembuatan APHT tidak berada pada wilayah kerja PPAT

Keberadaan tanah yang akan dijadikan Hak Tanggungan dapat berada dimana saja. Sedangkan PPAT hanya memiliki wilayah kerja yang terbatas. Maka, jika obyek Hak Tanggungan yang akan dipasangkan APHT tidak berada pada wilayah kerja PPAT rekanan bank, maka sertifikat tersebut harus dibuatkan SKMHT terlebih dahulu oleh Notaris PPAT yang daerah kerjanya

(21)

berada di lokasi sertifikat tersebut. Setelah SKMHT dibuat maka baru dapat dipasangkan APHT oleh PPAT rekanan Bank tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Objek penelitian ini adalah kualitas deposit dari segi kecerahan dan tampilan secara visual, efisiensi elektrodeposisi ion logam Cu2+ yang dielektrodeposisi limbah

tegangan geser yang semakin besar disebabkan oleh semakin besarnya nilai kohesi (c) dan sudut gesek dalam (φ) seiring dengan persentase penambahan kapur dan abu

Penelitian ini menghasilkan desain dan layout tambak garam kecil di lahan terbatas yang ideal, didasarkan pada target produksi optimum untuk memperoleh pendapatan yang bisa memenuhi

 Apabila terjadi peningkatan pertumbuhan sektor industri sebesar 1% maka akan terjadi peningkatan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor industri sebesar 0,000981%

Penelitian dilakukan selama 4 pertemuan dalam 4 minggu.Penelitian diawali dengan pengambila sampel.Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anggota

Dengan kata lain model ECM dalam penelitian ini dapat dipakai untuk manganalisis jangka panjang dari variabel bebas yang terdiri dari Modal (MDL), Return on

Untuk pegawai non-darurat : Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Jaga agar personil yang tidak berkepentingan dan

Penelitian ini tetap memiliki tujuan yang sama dengan penelitian untuk menganalisis pengaruh intellectual capital dan mengobservasi pelaksanaan praktik corporate