• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja - PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL REKAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL INTERNAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT RSUD SLEMAN - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja - PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL REKAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL INTERNAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT RSUD SLEMAN - UMBY repository"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

A. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja

Kesehatan (health) diartikan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani), sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Penyakit merupakan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologis dan psikofisiologis pada seseorang. Stres merupakan faktor psikologis penting yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan (Depkes RI, 2017).

Berbagai bentuk permasalahan dan kekuatiran lazim dihadapi oleh individu yang akan menciptakan ketegangan, mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Semakin kompleknya permasalahan hidup dan semakin bertambahnya populasi manusia telah meningkatkan peluang seseorang terkena stres. Stres merupakan salah satu gangguan psikologis, oleh karena itu antara stres dan kesehatan fisik dapat saling mempengaruhi. Stres bisa menyebabkan menurunnya kondisi fisik, sebaliknya penurunan kondisi fisik pun bisa menyebabkan stres. Setiap manusia tentu ingin hidupnya sehat secara fisik dan psikologis, sehingga dua aspek kesehatan ini perlu diperhatikan secara bersamaan agar setiap individu tidak menjadi individu yang sakit (Handoko, 2014).

(2)

Hans Selye (1974) dalam Fevre et al (2006) menggolongkan stres menjadi dua (2) jenis, yaitu:

a. Eustress: Terjadi ketika ada kesenjangan antara apa yang dimiliki dan apa yang diinginkan, tujuannya tidak terlalu jauh dari jangkauan, tapi individu dapat menangani kesenjangan ini. Eustress mendorong tantangan dan motivasi karena tujuannya sudah di depan mata. Eustress ditandai dengan harapan dan keterlibatan aktif. Eustress memiliki korelasi positif bermakna dengan kepuasan hidup dan harapan.

b. Distress: lawan dari eustress. Distress adalah keadaan tidak menyenangkan ketika seseorang tidak mampu beradaptasi sepenuhnya terhadap stressor dan stres yang dihasilkannya menunjukkan perilaku maladaptif. Hal ini dapat terlihat dengan adanya berbagai fenomena, seperti interaksi sosial yang tidak pantas (misalnya, agresif, pasif, atau penarikan diri). Dalam penelitian ini yang diteliti adalah distress stres kerja.

(3)

dialami oleh karyawan tersebut. Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi proses berpikir, emosi, dan kondisi seseorang, hasilnya stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada akhirnya akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya.

Spielberger (Handoyo, 2001) mendefinisikan stres sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari dalam atau luar diri seseorang. Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stres kerja tampak dari gejala antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.

Gibson (2006) menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan penyesuaian diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan atau proses psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang.

Stress kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis, yang mempengaruhi emosi, proses pikir, dan kondisi seorang karyawan. Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan dan pada diri karyawan berkembang berbagai macam gejala stress yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka (Rivai, 2009).

(4)

Menurut Robbins (2008) stress kerja diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam bekerja, untuk mencapai kesempatan kerja tersebut terdapat batasan atau penghalang. Suatu kondisi dinamis seorang individu dalam pekerjaannya dihadapkan pada peluang, tuntutan atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan hasilnya di pandang tidak pasti dan penting. Stres kerja adalah interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang mengubah fisik maupun psikis yang baik menjadi menurun atau buruk. Ini menunjukkan bahwa stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak diimbangi oleh kemampuan karyawan. Sebaliknya, stres kerja merupakan peluang bila stres menawarkan perubahan kearah lebih baik. Stres kerja bisa bernilai positif bila mendapatkan manfaat stres untuk perubahan, meninggikan mutu kerja, kepuasan kerja.

(5)

Nursalam (2003) menjelaskan bahwa profesi perawat merupakan salah satu profesi yang sangat beresiko mengalami stres kerja. Pelayanan keperawatan merupakan subsistem dari pelayanan kesehatan yang saling keterkaitan dengan beberapa subsistem seperti pelayanan medis, dan pelayanan kesehatan lain, dalam upaya penyembuhan pasien. Bentuk pelayanan profesional keperawatan berupa pemenuhan kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. Perawat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun rujukan yang melaksanakan pelayanan kesehatan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

(6)

Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat Robbin yang menjelaskan bahwa stres kerja pada perawat adalah suatu kondisi tekanan yang mempengaruhi keadaan fisik, psikis dan perilaku perawat yang berasal dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka dalam menjalankan pelayanan asuhan keperawatan.

2. Gejala-Gejala Stres kerja

Robbins (2008) mengemukakan bahwa terdapat tiga (3) kategori umum gejala stres kerja, yaitu:

a. Gejala fisiological : sakit perut, detak jantung meningkat dan sesak nafas, tekanan darah meningkat, sakit/ pusing kepala.

b. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan dalam bekerja, irritabilitas/ mudah tersinggung.

c. Gejala behavior / perilaku: menunda-nunda pekerjaan, meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi/ ketidakhadiran meningkat dan performa kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan tidur, berbicara cepat.

(7)

a. Respons pada subjek, meliputi kecemasan, agresi, acuh, kebosanan, depresi, keletihan, frustrasi, kehilangan kesabaran, rendah diri, gugup,dan merasa kesepian.

b. Respons pada perilaku, meliputi kecenderungan mendapat kecelakaan, alkoholik, penyalahgunaan obat-obatan, emosi yang tiba-tiba meledak, makan berlebihan, merokok berlebihan, perilaku yang mengikuti kata hati, dan tertawa gugup.

c. Respons pada kognitif, meliputi ketidakmampuan mengambil keputusan yang jelas, konsentrasi yang buruk, rentang perhatian yang pendek, sangat peka tehadap kritik,dan rintangan mental.

d. Respons pada fisiologis, misalnya meningkatnya kadar gula, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah, kekeringan di mulut, berkeringat, membesarnya pupil mata,dan tubuh panas dingin.

Menurut Luthans (2006) dampak stres kerja pada karyawan adalah sebagai berikut:

a. Masalah kesehatan fisik diantaranya adalah masalah sistem kekebalan tubuh, masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan

penyakit jantung, masalah sistem musculoskeletal, seperti sakit kepala dan

sakit punggung, masalah sistem gastrointestinal, seperti diare dan

sembelit.

b. Masalah Psikologis antara lain yaitu tingkat stres tinggi mungkin disertai dengan kemarahan, kecemasan, depresi, gelisah, cepat marah, tegang, dan

(8)

adalah pada tindakan agresif, seperti sabotase, agresi antar pribadi,

permusuhan, dan keluhan. Jenis masalah psikologis tersebut relevan

dengan kinerja yang buruk, penghargaan diri yang rendah, benci pada

pengawasan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat

keputusan, dan ketidakpuasan kerja.

c. Masalah perilaku, perilaku langsung yang menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup makan sedikit atau perubahan makan berlebihan, tidak

dapat tidur, merokok dan minum, dan penyalahgunaan obat-obatan.

Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas penulis cenderung mengikuti

pendapat Robbin bahwa gejala stres kerja meliputi gejala fisiological, gejala

psikological, gejala behavior / perilaku. Gejala fisiological : sakit perut, detak jantung meningkat dan sesak nafas, tekanan darah meningkat, sakit kepala, serangan jantung. Gejala psikological: kecemasan, ketegangan, kebosanan, ketidakpuasan dalam bekerja, irritabilitas. Gejala behavior / perilaku: menunda-nunda pekerjaan, meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok, melakukan sabotase dalam pekerjaan, makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar sebagi perilaku menarik diri, tingkat absensi meningkat dan performansi kerja menurun, gelisah dan mengalami gangguan tidur, berbicara cepat.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Kerja

(9)

eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres kerja diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Semakin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Demikian pula sebaliknya stres kerja dapat menimbulkan efek yang negative yaitu stres kerja dapat berkembang menjadikan tenaga kerja sakit, baik fisik maupun mental sehingga tidak dapat bekerja lagi secara optimal (Sunyoto, 2001).

Individu adalah unik dan berbeda-beda ketika merespon stres kerja. Perbedaan individu dalam menghadapi stres kerja menurut Robbin (2008) sekurang-kurangnya memiliki lima (5) variabel: persepsi, pengalaman kerja, dukungan social, ruang (lokus) kendali, keefektifan diri.

a. Persepsi dan penafsiran terhadap stres mempengaruhi respon negative atau positif yang terjadi. Karyawan dengan pengalaman kerja lebih banyak cenderung mudah menyesuaikan diri dan lebih sedikit stres. b. Dukungan social rekan kerja/ hubungan kolegial rekan kerja dapat

sebagai pereda, mengurangi dampak negative stres.

c. Ruang (lokus) kendali internal sebagai atribut kepribadian mengendalikan tujuan akhir mereka sendiri, dan berpengaruh besar pada hasil positif, bisa mengendalikan peristiwa.

(10)

keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali jadwal mampu mengurangi dampak negative stres kerja.

Robbin (2008) menjelaskan ada tiga sumber utama yang dapat menyebabkan timbulnya stres yaitu :

1. Faktor Lingkungan.

Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan-perubahan baru terhadap teknologi yang berkembang sangat cepat akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.

2. Faktor Organisasi.

Setiap organisasi dapat memiliki beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan organizational leadership. Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Role Demands

(11)

memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi tersebut.

b. Interpersonal Demands

Tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak sehat, sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.

c. Organizational Structure

Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang karyawan dalam organisasi.

d. Organizational Leadership

Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group, Robbins, dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.

(12)

yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan hasilnya diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting.

3. Faktor Individu.

Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

Pendapat lain dari Gibson (2006) menyatakan bahwa penyebab stres kerja ada 4 (empat) yaitu:

a. Lingkungan fisik

Penyebab stres kerja dari lingkungan fisik berupa cahaya, suara, suhu, dan udara terpolusi.

(13)

Tekanan individual sebagai penyebab stres kerja terdiri dari: 1). Konflik peran

Stressor atau penyebab stres yang meningkat ketika seseorang menerima pesan - pesan yang tidak cocok berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai. Misalnya adanya tekanan untuk bergaul dengan baik bersama orang - orang yang tidak cocok.

2). Peran ganda

Untuk dapat bekerja dengan baik, para pekerja memerlukan informasi tertentu mengenai apakah mereka diharapkan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Peran ganda adalah tidak adanya pengertian dari seseorang tentang hak, hak khusus dan kewajiban-kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

3). Beban kerja berlebih

Ada dua tipe beban berlebih yaitu kuantitatif dan kualitatif. Memiliki terlalu banyak sesuatu untuk dikerjakan atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan merupakan beban berlebih yang bersifat kuantitatif. Beban berlebih kualitatif terjadi jika individu merasa tidak memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka atau standar penampilan yang dituntut terlalu tinggi.

4). Tidak adanya control

(14)

urutan kerja, pengambilan keputusan, waktu yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali jadwal merupakan hal yang penting. 5). Tanggung jawab

Setiap macam tanggung jawab bisa menjadi beban bagi seseorang, namun tipe kepribadaian seseorang yang berbeda dalam menerima tanggung jawab dapat menghasilkan dampak yang berbeda-beda ketika menghadapi stresor.

6). Kondisi kerja.

Situasi lingkungan pekerjaan baik fisik maupun psikologis sangat berpengaruh dengan ketenangan dan kenyamanan bekerja.

c. Kelompok

Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan diantara kelompok. Karakteristik kelompok menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu. Ketidakpercayaan dari mitra pekerja secara positif berkaitan dengan peran ganda yang tinggi, yang membawa pada kesenjangan komunikasi diantara orang- orang dan kepuasan kerja yang rendah. Atau dengan kata lain adanya hubungan yang buruk dengan kawan, atasan, dan bawahan.

d. Organisasional

Adanya desain struktur organisasi yang jelek, politik yang jelek dan tidak adanya kebijakan khusus.

(15)

timbulnya stres kerja yaitu factor lingkungan, organisasi, individu. Perbedaan dalam menghadapi stres kerja memiliki lima (5) variabel yaitu persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, locus of control dan keefektifan diri. Variabel bebas penelitian ini menggunakan variabel dukungan sosial rekan kerja yang meliputi gejala fisiologis, psikologis, perilaku dan locus of control internal yang meliputi faktor kemampuan dan usaha. Variabel dukungan sosial rekan kerja dipilih karena dukungan sosial rekan kerja penulis anggap mewakili faktor ekternal dalam diri individu yang mempengaruhi stres kerja, sedangkan variabel locus of control internal dipilih karena sebagia faktor internal yang mempengaruhi stres kerja. Pemilihan variabel dukungan sosial rekan kerja ini diperkuat dengan penelitian Musyaddat (2017) bahwa dukungan sosial memiliki pengaruh negative dan signifikan dengan stres kerja. Pemilihan variabel locus of control internal diperkuat dengan hasil penelitian Karimi (2011) yang menjelaskan bahwa locus of control adalah sebagai factor yang efektif dan berpengaruh menurunkan stres kerja.

B. Dukungan Sosial Rekan Kerja

1. Pengertian

(16)

adalah dalam menanggulangi stres. Secara lebih sederhana dukungan sosial dapat didifinisikan sebagai bantuan yang diterima melalui hubungan interpersonal.

Veiel dan Baumann (dalam Lane, 2004) menyatakan bahwa dukungan sosial (social support) didefinisikan dan diukur dari dua perspektif, yaitu dukungan struktural dan dukungan fungsional. Struktural konsep dukungan sosial menaruh perhatian terhadap kelekatan sosial individu. Lebih khusus, Thoits (dalam Lane, 2004) berpendapat bahwa definisi struktural dukungan sosial mengacu pada kumpulan individu yang terikat terhadap satu sama lain, terhadap banyaknya hubungan yang dimiliki dan frekuensi komunikasi dengan individu dari beragam jaringan. Pembahasan mengenai komposisi jaringan sosial individu menjadi pusat perhatian dan tidak mengikutsertakan evaluasi secara individual. Komposisi jaringan sosial individu dapat berupa ukuran jaringan, operasionalisasi anggota jaringan (bagaimana individu saling mengenal) melalui nama dan frekuensi komunikasi. Seiring perkembangannya, para peneliti mengembangkan pendapat lain untuk memahami dukungan sosial, yaitu dukungan fungsional. Hal tersebut disebabkan definisi dukungan fungsional tidak hanya memperhatikan eksisitensi hubungan antar individu, tetapi juga memperhatikan maksud (untuk tujuan apa) hubungan tersebut terjadi.

(17)

individu dalam hubungan interpersonal, definisi fungsional dukungan sosial mengukur dua sisi, yaitu: perceived social support, yaitu ketersediaan dukungan yang dirasakan individu saat membutuhkan dan received social support, yaitu dukungan aktual atau yang diterima individu pada saat itu (Lane, 2004).

Pierce (dalam Kail and Cavanaug, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional atau pendampingan yang diberikan oleh orang- orang disekitar individu untuk menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan. Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima.

Sarafino (2008) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada memberikan kenyamanan pada orang lain, merawatnya atau menghargainya, dukungan sosial ditunjukkan dengan memberikan bantuan pada individu lain, dimana bantuan itu umunya diperoleh dari orang yang berarti bagi individu yang bersangkutan. Dukungan sosial dapat berupa pemberian infomasi, bantuan tingkah laku, ataupun materi yang didapat dari hubungan sosial akrab yang dapat membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan dicintai.

(18)

a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secra emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.

d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

(19)

mengenai dukungan sosial rekan kerja yaitu perasaan positif yang dirasakan oleh individu karena hadirnya satu atau lebih rekan kerja yang bersikap peduli/ care, bersedia mendengarkan dengan simpatik saat individu mengalami masalah, dan peduli terhadap perkembangan individu dalam profesi (dukungan emosional), serta perasaan positif yang dirasakan oleh individu karena memperoleh bantuan (secara fisik) atau mendapat sesuatu (benda fisik) dari rekan kerja sehingga dapat meringankan masalah ataupun membantu untuk berkembang dalam pekerjaan (dukungan instrumental).

Untuk menangani tugas dan mengurangi beban kerja perawat dalam bekerja diperlukan dukungan sosial dari berbagai unsur. Dukungan sosial merupakan suatu kebersamaan sosial, di mana individu berada di dalamnya, yang memberikan beberapa dukungan seperti bantuan nyata, dukungan informasi, dan dukungan emosional sehingga individu merasa nyaman (Luthans, 2006). Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan emosi yang berbentuk dorongan membesarkan hati, memberikan ungkapan penghargaan, dukungan material serta memberikan informasi yang dapat memberikan sebuah solusi atas masalah yang dihadapi. Dukungan sosial dari rekan kerja, (atasan, teman kerja, tim kerja) dapat berupa persahabatan, menciptakan situasi tolong-menolong, dan kerja sama yang menyenangkan (Sunyoto, 2012).

(20)

tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai.

2. Aspek - Aspek Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan cara untuk menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang lain. Individu yang menerima dukungan sosial akan merasa dirinya dicintai, dihargai, berharga, dan merupakan bagian dari lingkungan sosialnya (Sarafino, 2006). Dukungan sosial diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa berasal dari siapa saja, keluarga, pasangan (suami/istri), teman, maupun rekan kerja. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan sosial akan dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya (Taylor, 2003).

Dukungan Sosial dapat dipahami melalui sudut pandang sumber‟ dukungan . Dukungan Sosial (terutama dalam konteks dunia kerja) dapat‟ dipahami berdasarkan dua sumber dukungan yaitu Work Support merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari dalam (internal) dunia kerja, yaitu: dukungan dari atasan (Supervisor Support) dan dukungan dari rekan kerja (Coworker Support) dan Non-Work Support merupakan dukungan yang diperoleh individu yang berasal dari luar (eksternal) dunia kerja, seperti: dukungan dari keluarga, teman, dan sebagainya (Lane, 2004)

(21)

lain. Aspek–aspek dukungan sosial nenurut Sarafino (2008), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional (emotional support).

Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman, tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta.

b. Dukungan penghargaan (esteem support).

(22)

dan perilaku orang lain sehingga dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan sosial akan sangat berguna ketika individu mengalami stres bekerja karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.

c. Dukungan instrumental (instrumental support).

Dukungan instrumental paling sederhana, mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya. d. Dukungan informasi (informational support).

(23)

Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.

e. Dukungan jaringan sosial (companionship support)

Dukungan jaringan sosial mencakup perasaan keanggotaan dalam kelompok, dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya dapat saling berbagi, misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.

Menurut Cohen dan Syme (1985), terdapat empat aspek dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan emosional.

Dukungan ini terdiri dari empati, cinta, dan kepercayaan yang di dalamnya terdapat pengertian, rasa percaya, penghargaan dan keterbukaan.

b. Dukungan informative.

Berupa informasi, nasehat, dan petunjuk yang diberikan untuk menambah pengetahuan seseorang dalam mencari jalan keluar pemecahan masalah.

(24)

Seperti penyediaan sarana yang dapat mempermudah tujuan yang ingin dicapai dalam bentuk materi, pemberian kesempatan waktu, pekerjaan, peluang serta modifikasi lingkungan.

d. Dukungan jaringan sosial berupa penilaian positif, berupa pemberian penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, memberi umpan balik mengenai hasil atau prestasi, penghargaan dan kritik yang membangun. Berdasarkan uraian diatas penulis cenderung mengikuti pendapat dari Sarafino bahwa dukungan sosial terdiri dari aspek-aspek: dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support), dukungan jaringan sosial (companionship support) yang berasal dari rekan kerja/ orang-orang yang berhubungan dengan lingkup kerja.

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Sosial

Sarason (1990) berpendapat bahwa dukungan sosial mencakup dua hal yaitu:

a. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia, merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).

(25)

Dukungan sosial jika dikaitkan dengan dukungan dari rekan kerja yang merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya stres kerja menurut Santrock (2008) meliputi : dukungan kerluarga, yaitu merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan seseorang; dukungan teman bergaul/ teman kerja , yaitu orang yang bergaul membutuhkan suatu dorongan moral dari teman yang ada disekitarnya; dukungan masyarakat, yaitu masyarakat yang mendukung, menerima dan menyukai serta mengerti kelebihan dan kekurangan individu. Dukungan sosial yang diterima individu akan mempengaruhi cara individu dalam mengatasi masalah, bahkan akan menimbulkan perasaan positif. Dukungan positif dapat mengurangi stres dalam bekerja dan sebagai sumber pendukung untuk menyesuaikan diri terhadapa perubahan yang dialami.

Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial menurut Cohen (2013) adalah sebagai berikut:

a. Pemberi dukungan.

(26)

bersumber dari keluarga, rekan kerja / atasan, teman sebaya, dan masyarakat di lingkungan sekitar

b. Jenis dukungan.

Jenis dukungan yang diterima akan memiliki arti bila dukungan itu bermanfaat dan sesuai dengan situasi yang ada. Situasi yang sama belum tentu membutuhkan jenis dukungan yang sama seperti pada waktu sebelumnya. Dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang didapatkan karena kehadiran orang lain dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima jika dukungan sosial yang diberikan sesuai kondisi penerima dukungan sosial. c. Penerimaan dukungan.

Karakteristik atau ciri-ciri penerimaan dukungan seperti: kepribadian, kebiasaan dan peran sosial akan menentukan keefektifan dukungan. Perbedaan kepribadian yang unik dari setiap individu penerima dukungan sosial perlu diperhatikan untuk memberikan dukungan sosial. Proses yang terjadi dalam dukungan dipengaruhi oleh kemampuan penerimaan dukungan.

d. Permasalahan yang dihadapi.

(27)

Dukungan sosial akan optimal disatu situasi tetapi akan menjadi tidak optimal dalam situasi lain. Waktu ketika menerima dukungan sosial, dan situasi akan berbeda jika terlambat dukungan sosial diberikan, sehingga ketepatan waktu sangat penting menjadi pertimbangan dalam memberikan dukungan sosial dan lamanya dukungan sosial yang diberikan akan menentukan manfaat dukungan sosial yang dihasilkan. Lamanya pemberian dukungan tergantung pada kapasitas yaitu kemampuan dari pemberi dukungan untuk memberi dukungan atau menambah dukungan yang ditawarkan selama suatu periode tertentu.

Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung menggunakan pendapat Cohen bahwa factor–faktor yang mempengaruhi dukungan sosial antara lain: pemberi dukungan, jenis dukungan, penerimaan dukungan, permasalahan yang dihadapi dan waktu pemberian dukungan.

C. Locus of control Internal

1. Pengertian

(28)

menjelaskan mengenai pusat kendali dan pusat pengarahan dari setiap perilakunya. Skala locus of control bersifat kontinum, dalam artian adakalanya seseorang mempunyai kecenderungan internal locus of control dan adakalanya kecenderungan locus of control eksternal. Hal ini ditentukan oleh kondisi yang mempengaruhi perubahan-perubahan keyakinan internal/ eksternal locus of control (Robbin, 2008).

Internal locus of control adalah individu-individu yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa yang terjadi pada diri mereka. Orang yang cenderung memiliki internal locus of control lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka menganggap perilaku mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever. Seseorang yang memiliki tipe internal (internal locus of control) adalah orang yang berkeyakinan bahwa dirinya merupakan penguasa atas nasib dirinya. Orang-orang tersebut melihat dirinya merupakan poin dari nasib dirinya sendiri yang akan menentukan kehidupannya (Robbins, 2008). Yusuf (2004) mengatakan bahwa internal locus of control adalah dimensi kepribadian tentang keyakinan atau persepsi seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya disebabkan oleh faktor internal berasal dari dirinya sendiri.

(29)

kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki .

Munandar (2011) mengatakan bahwa orang yang berorientasi internal (internal locus of control) percaya bahwa keputusan dan tindakan pribadi mempengaruhi hasil. Individu dengan kontrol diri yang tinggi akan melihat bahwa ia mempunyai aspek kemampuan mengontrol perilakunya . Individu dengan locus of control internal yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang terjadi dalam hidup tergantung pada diri sendiri, memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari aspek usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/ mengharapkan bantuan orang lain. Karyawan dengan internal locus of control memiliki sifat lebih mandiri dan lebih ulet serta memiliki daya tahan yang lebih kuat terutama dalam menghadapi kegagalan. Hal inilah yang menyebabkan seorang karyawan dengan internal locus of control lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stresor kerja.

(30)

2. Aspek-aspek Locus Of Control Internal

Spector (2001) menyatakan bahwa karakteristik orang yang memiliki internal locus of control adalah: menggantungkan diri pada ketrampilan (skill), kemampuan diri (ability) dan usaha (effort), memiliki dorongan untuk berhasil dan prestasi sangat kuat, berusaha keras meraih apa yang diinginkan secara efektif, mengambil peran aktif dalam mengatur, mengarahkan diri dan bertanggung jawab menentukan faktor penguat yang akan diterimanya.

Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya berada di bawah kontrol dirinya dikatakan sebagai individu yang memiliki internal locus of control (Kreitner dan Kinichi, 2015). Robbins (2008) mengatakan bahwa orang-orang internal secara lebih aktif mencari informasi sebelum mengambil keputusan, lebih termotivasi untuk berprestasi dan lebih siap untuk menghadapi kegagalan. Setiap dimensi locus of control mempunyai karakteristik yang khas. Internal locus of control memiliki ciri-ciri, yaitu: suka bekerja keras. memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin, selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.

(31)

a. Faktor kemampuan adalah seseorang yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimilikinya. Bersikap optimis, pantang menyerah, segala yang dicapai individu hasil dari usaha sendiri, kehidupan individu ditentukan oleh tindakannya, kegagalan yang dialami individu akibat perbuatan sendiri, jika individu tersebut bekerja keras maka akan berhasil, dan percaya bahwa orang yang gagal adalah karena kurangnya kemampuan atau motivasi. Memiliki beberapa kesulitan dengan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi mereka lebih memilih untuk mengubah lingkungan daripada diri mereka sendiri. Keberhasilan individu karena kerja keras dan kemampuan dirinya. Memiliki kepekaan untuk mengembangkan tanggung jawab

b. Faktor usaha adalah seseorang yang memiliki locus of control internal akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya, bersikap optimis, pantang menyerah. Memiliki tingkat realisme yang tinggi. Berorientasi menerima informasi dari lingkungan mereka, dan juga mencari informasi baru tentang diri mereka sendiri dan dunia, untuk diterapkan dalam tindakan konkret. Tidak menganggap penting pendapat orang lain, tetapi kontrol diri berasal dari mereka sendiri. Memanfaatkan pengalaman sebelumnya ketika menyadari tugas hidup saat ini.

(32)

aspek kemampuan dan usaha. Kemampuan, seseorang yakin bahwa kesuksesan dan kegagalan yang telah terjadi sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang dimiliki. Usaha, seseorang yang memiliki locus of control internal akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya, bersikap optimis, pantang menyerah.

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Locus Of Control Internal

Perkembangan locus of control individu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu episodic antecedent dan accumulative antecedent. Episodic antecedent adalah kejadian –kejadian yang relatif mempunyai makna penting yang muncul pada waktu tertentu, seperti kematian orang yang dicintai, kecelakaan atau bencana alam. Sedangkan accumulative antecedent adalah kejadian atau faktor yang bersifat berkelanjutan atau terus menerus yang dapat mempengaruhi locus of control. Ada tiga faktor penting yang merupakan accumulative antecedent, yaitu diskriminasi sosial, ketidakmampuan yang berkepanjangan, dan pola asuh anak. Diskriminasi sosial yang dimaksud adalah adanya perbedaan ras, status sosial dan status ekonomi. Individu yang berasal dari status ekonomi rendah memandang segala sesuatu yang terjadi pada dirinya tergantung pada nasib dan kesempatan yang ada, sehingga mereka cenderung memilki locus of control eksternal (Mearsn, 1993).

(33)

ke arah internal terjadi dengan bertambahnya usia seseorang. Indiviu yang cenderung berorientasi pada locus of control internal dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kehangatan dan demokratis. Sedangkan individu yang cenderung berorientasi pada locus of control eksternal dibesarkan dari lingkungan yang banyak menerapkan hukuman fisik, hukuman afektif, dan pengurangan hak-hak istimewa. Semakin dewasa usia seseorang maka locus control berkembang kearah internal dan stabil pada usia paruh baya. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya kemampuan persepsi sehingga memungkinkan mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap modelmodel penalaran logis yang menyangkut sebab akibat yang terjadi antara perilaku, motivasi yang melatarbelakangi dan karena adanya keyakinan yang kuat pada diri individu bahwa keberhasilannya ditentukan oleh kemampuannya.

Program pelatihan telah terbukti efektif mempengaruhi locus of control individu sebagai sarana untuk meningkatkan kemampuan peserta pelatihan dalam mengatasi hal-hal yang memberikan efek buruk. Pelatihan adalah sebuah pendekatan terapi untuk mengembalikan kendali atas hasil yang ingin diperoleh. Pelatihan diketahui dapat mendorong locus of control internal yang lebih tinggi, meningkatkan prestasi dan meningkatkan keputusan karir menurut Luzzo, Funk & Strang (Huang & Ford, 2012).

(34)

disebabkan karena adanya faktor penguatan (reinforcement). Menurut Rotter, individu internal memandang prilaku terhadap sebuah reinforcement merupakan hubungan sebab akibat sehingga individu dengan orientasi internal yakin bahwa dirinya mampu mengendalikan reinforcement yang diterimanya, sedangkan individu dengan orientasi eksternal yang lebih memandang reinforcement sebagai sebuah hal yang datang tiba-tiba dan tidak dapat dikendalikan sehingga mereka cenderung pasrah (Anastasi,2006).

Menurut Forte (Karimi & Alipour, 2011), kepuasan kerja, harga diri, peningkatan kualitas hidup (motivasi internal) dan pekerjaan yang lebih baik, promosi jabatan, gaji yang lebih tinggi (motivasi eksternal) dapat mempengaruhi locus of control seseorang. Reward dan punishment (motivasi eksternal) juga berpengaruh terhadap locus of control.

Berdasarkan uraian di atas penulis cenderung mengikuti pendapat Mearsn bahwa factor-faktor yang mempengaruhi Locus of control internal adalah: episodic antecedent dan accumulative antecedent , lingkungan fisik dan sosial, usia seseorang, program pelatihan, pola pengasuhan orang tua dan harga diri, reinforcement, peningkatan kualitas hidup.

D. Hubungan Dukungan Sosial Rekan Kerja Dengan Stres Kerja Perawat RSUD Sleman

(35)

kerja yang ada pada lingkungan kerja. Juan dan Fisher (2002) menunjukkan adanya tiga konstruk umum stresor, tekanan, dan dukungan sosial. Dalam studi, berbagai model untuk peran dukungan sosial dalam proses stres di tempat kerja diuji dan diidentifikasi, hasilnya menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki efek tiga kali lipat menurunkan stres kerja.

(36)

Dukungan penghargaan (esteem support) adalah penghargaan terjadi lewat pernyataan dalam bentuk penghargaan yang positif untuk individu, dorongan untuk mencapai kemajuan dalam pekerjaan atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif individu dengan individu lain, seperti misalnya perbandingan dengan orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. Individu yang mengalami kurangnya dukungan penghargaan (esteem support) dari rekan kerja dapat menimbulkan gejala stres kerja seperti: tidak percaya diri dalam melakukan pekerjaan, merasa kurang percaya diri dan kurang bernilai, menarik diri dari organisasi. Dukungan penghargaan dapat menambah penghargaan diri dan melalui interaksi dengan orang lain, akan dapat mengevaluasi dan mempertegas keyakinannya dengan membandingkan pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku orang lain sehingga dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa lebih bernilai. Dukungan sosial ini akan sangat berguna ketika individu mengalami tekanan dalam pekerjaan yang menyebabkan stres bekerja karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya (Sarafino, 2008).

(37)

mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, atau uang. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau pemberian pekerjaan saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu dalam melaksanakan aktivitasnya dan menurunkan stres kerja (Sarafino, 2008).

Dukungan informasi (informational support) adalah dukungan mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau umpan balik. Individu yang kurang mendapatkan dukungan informasi dapat menyebabkan stres kerja yang tampak dari gejala antara lain; tidak bisa menyelesaikan tugas tepat waktu, gelisah, gangguan tidur dan komunikasi, dan lain-lain. Dukungan informasi membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis. Dalam lingkungan kerja dukungan seperti ini membantu individu bisa mengambil keputusan secara tepat karena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk. Rekan-rekan yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang dihadapi individu tersebut sehingga dapat mengatasi stres kerja dengan efektif (Cohen dan Syme, 1985).

(38)

sedang mengalami tekanan dalam pekerjaan dengan menyediakan akses kepada grup dalam lingkup pekerjaannya yang dapat memberikan bantuan permasalahan yang dihadapinya. Individu yang kurang mendapatkan dukungan jaringan sosial rekan kerja dapat menimbulkan stres kerja yang tampak dari gejala antara lain; gugup dalam bekerja, merasa kesepian, absensi meningkat, kebosanan, merasa terasing dari organisai dan lain-lain. Dukungan jaringan sosial yang merupakan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial, berupa bantuan atau dukungan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar lingkungan kerja individu yang mampu membuat individu merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis sehingga mengurangi atau dapat menghindarkan dari terjadinya stres kerja (Sarafino, 2008).

E. Hubungan Locus Of Control Internal Dengan Stres Kerja Perawat RSUD Sleman

(39)

menghadapi konflik kepentingannya, semakin berusaha keras untuk meningkatkan kompetensinya, dan semakin memperhatikan prinsip-prinsip kode etik perilaku profesionalnya. Hal ini akan mengakibatkan perawat dengan locus of control internal mempunyai keyakinan dan kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan locus of control external sehingga lebih mampu menghadapi stres kerja.

Robbins (2008) mengatakan bahwa orang yang memiliki Locus of control internal adalah pusat kendali dalam diri individu yang meyakini bahwa suatu kejadian kegagalan/ keberhasilan selalu berada dalam rentang kendalinya, sehingga individu dengan locus of control internal yang memiliki sikap kerja keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berfikir seefektif mungkin, dan selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan apabila ingin mencapai keberhasilan. Setiap pekerjaan mempunyai tingkat kesulitan berbeda-beda, aspek kemampuan dan usaha yang kuat individu dengan locus of control inernal akan dapat mempertahankan rasa pengendalian diri dan kemamapuan mengatasi stres dalam bekerja (National Savety Council, 2003).

(40)

locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stressor kerja dengan sikap kerja keras, inovasi, dan kreatifitasnya. Individu yang ber-locus of control eksternal mengganggap bahwa segala peristiwa yang ada di luar dirinya adalah ancaman dan beranggapan bahwa nasiblah yang mengendalikam dirinya maka mereka lebih bereaksi dengan ketidakberdayaan dalam menghadapi masalah pekerjaan, merasa kurang percaya diri. Ketika individu yang dengan locus of control internal mengahadapi stres ada kecenderungan untuk mencari informasi dan mempelajari terlebih dahulu peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancam kemudian akan memecahkan masalah secara rasional. Aspek-aspek tersebut merupakan factor positif mengatasi distress dalam lingkungan kerja karena factor kemampuan dan usahanya yang lebih kuat dibandingkan dengan individu locus of control external.

(41)

mengontrol perilakunya, bersikap optimis, pantang menyerah. Memiliki tingkat realisme yang tinggi. Berorientasi menerima informasi dari lingkungan mereka, dan juga mencari informasi baru tentang diri mereka sendiri dan dunia, untuk diterapkan dalam tindakan konkret (Rotter , 2009).

F. Pengaruh Dukungan Sosial dan Locus of Control Internal Terhadap Stres Kerja Perawat RSUD Sleman

(42)

Dukungan sosial yang berasal dari rekan kerja merupakan faktor internal organisasi yang akan membantu karyawan keluar dari permasalahan yang dihadapi pekerjaan. Dukungan sosial rekan kerja mampu mengurangi tekanan-tekanan yang ada di tempat kerja karena pemahaman mereka terhadap stresor yang ada di tempat kerja lebih kuat dari pada orang-orang di luar organisasi. Gejala-gejala psikologi, fisiologi, perilaku dari stres kerja akan lebih rendah terjadi ketika ada dukungan social dari keluarga, teman,atasan dan rekan kerja.

Hal senada juga diungkapkan oleh Qamari (2007), dukungan moril dan emosional dari rekan-rekan dan atasan, dapat membuat lebih bersemangat kerja. Keberadaan mereka juga dapat berperan dalam membantu saat menghadapi masalah. Pengertian dan perhatian mereka mampu membuat perasaan yang nyaman saat harus meninggalkan kantor atau menunda pekerjaan karena masalah-masalah berat dan penting di keluarga. Keberadaan rekan-rekan akan membantu dalam mendelegasikan beberapa pekerjaan yang akan mengurangi beban pekerjaan dan mengurangi stressor.

Juan dan Fisher (2002) menjelaskan adanya tiga konstruk umum stresor, tekanan, dan dukungan sosial. Dalam studi berbagai model untuk peran dukungan sosial dalam proses stres di tempat kerja menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki efek tiga kali lipat pada hubungan stressor dan stres kerja. Dukungan sosial mengurangi ketegangan yang dialami, dukungan sosial mengurangi stres yang dirasakan, dan dukungan sosial memoderasi hubungan stressor-stres kerja

(43)

Semakin tinggi konflik dan semakin rendah dukungan sosial maka semakin tinggi stres kerja yang dialami perawat. Sebaliknya semakin tinggi dukungan sosial maka semakin rendah stres kerja yang dialami perawat. Hal Ini sesuai penelitian Almasitoh (2011) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara konflik peran ganda dan dukungan sosial dengan stres kerja. Dukungan sosial yang diberikan oleh organisasi mampu menekan terjadinya stres pada pegawai untuk menghindari dan menurunkan kejadian konflik kerja.

Internal locus of control berhubungan dengan stres kerja pada karyawan. Karyawan dengan internal locus of control lebih mampu menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stressor kerja. Chowdhuri (2007) menjelaskan, bahwa motivasi intrinsik mempunyai pengaruh yang lebih besar pada perilaku seseorang dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik. Individu dengan locus of control internal tinggi akan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapi dalam bekerja (Robbin, 2008).

Kumar dan Bano (2012) mengungkapkan analisis pada karyawan yang sedang menghadapi tekanan kerja, bahwa karyawan yang memiliki locus of

control internal lebih rendah mengalami stres kerja dan lebih puas dengan

organisasi, sementara karyawan dengan locus of control ekternal lebih tinggi

mengalami stres kerja dan rendah kepuasan kerja mereka. Studi ini menunjukkan

(44)

mempertimbangkan variabel dari locus of lontrol sebagai salah satu faktor cukup

besar pengaruhnya dalam mengatasi stres kerja.

Penelitian dari Widyastuti (2013) menunjukkan hubungan yang cukup erat antara internal locus of control dengan stres kerja. Arah hubungan menunjukkan semakin besar internal locus of control akan membuat stres kerja cenderung rendah. Stres kerja meningkat dalam organisasi dan mengarah pada konsekuensi negatif seperti absensi, kehilangan produktivitas, kepuasan rendah dan penyakit psikologis dan fisik, dengan demikian mengurangi dan mengendalikan stres kerja sangat penting untuk organisasi. Locus of control dapat menjadi faktor efektif untuk mengurangi stres di tempat kerja dengan pekerjaan kepuasan, promosi, rasa harga diri, meningkatkan gaji dan kualitas hidup yang tinggi, perencanaan yang akurat program seperti mengintegrasikan intervensi primer, sekunder dan tersier, tujuan yang jelas, rasa kontrol, komunikasi yang tepat dan olahraga yang cukup dan tidur adalah cara untuk mengurangi stres kerja( Karimi dan Aliour, 2012).

(45)

G. Landasan Teori

Memperhatikan argument-argumen dari sejumlah hasil penelitian yang tertera dalam tinjauan pustaka, maka dapat penulis cenderung menggunakan pendapat dari Robbin bahwa stres kerja adalah suatu kondisi yang mempengaruhi keadaan fisik atau psikis seorang perawat karena adanya tekanan dari dalam ataupun dari luar diri seseorang yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka. Stres kerja merupakan tuntutan pekerjaan yang tidak diimbangi oleh kemampuan karyawan, interaksi antara kondisi kerja dengan sifat-sifat pekerja yang jika tidak segera ditanggulangi dapat mengubah fisik maupun psikis yang baik menjadi menurun atau buruk.

(46)

Memperhatikan argument-argumen dari sejumlah hasil penelitian di atas, maka penulis cenderung menggunakan pendapat dari Sarafino bahwa dukungan sosial rekan kerja adalah bantuan yang berasal dari rekan tempat individu bekerja. Bentuk dukungan berupa infomasi, tingkah laku tertentu, ataupun materi yang dapat menjadikan individu yang menerima bantuan merasa disayangi, diperhatikan dan bernilai. Kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu dari dukungan sosial akan dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya. Dukungan sosial rekan kerja terdiri dari dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support,), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasi (informational support), dukungan jaringan sosial (companionship support) yang berasal teman dalam lingkup pekerjaannya.

(47)

menghadapi stres kerja yang dialaminya. Karyawan yang memiliki internal locus of control yang tinggi akan memiliki tingkat stres yang lebih rendah karena karyawan tersebut memiliki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stressor-stresor kerja

Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupannya, begitu juga dalam lingkungan kerja yang interaksi sosial itu berupa dukungan sosial rekan kerja , hal ini diperoleh dari hasil interaksi individu dengan orang lain dalam lingkungan kerjanya, teman, maupun rekan kerja yang lain. Situasi ini akan menyebabkan kenyamanan psikis maupun emosional yang diterima individu yang dapat melindungi individu dari konsekuensi stres yang menimpanya. Aspek-aspek locus of control internal adalah aspek kemampuan dan usaha yang berkeyakinan bahwa dirinya merupakan penguasa atas nasib dirinya. Orang-orang tersebut melihat dirinya merupakan poin dari nasib dirinya sendiri yang akan menentukan kehidupannya, factor internal dirinya sendiri yang paling berperan terhadap keberhasilan ataupun kegagalan. Seorang karyawan yang memiliki dukungan sosial dari rekan kerja dan dengan locus of control internal yang kuat maka secara simultan dua factor tersebut akan dapat menguatkan kemampuan menghadapi tekanan dalam bekerja, memilki daya tahan dan keefektifan dalam menghadapi dan menyikapi datangnya stres kerja. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dan

locus of control internal secara simultan akan berpengaruh terhadap stres

(48)

Dari berbagai argumentasi yang dibangun di atas, maka penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar kerangka teori sebagai berikut:

Keterangan:

1. Hubungan dukungan sosial rekan kerja dengan stres kerja 2. Hubungan locus of control internal dengan stres kerja

3. Pengaruh secara simultan dukungan sosial rekan kerja dan locus of control internal terhadap stres kerja

Gambar 1 Kerangka Teori

H. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Hipotesis mayor

Dukungan sosial rekan kerja dan locus of control internal secara simultan berpengaruh terhadap stres kerja perawat RSUD Sleman. Semakin tinggi Dukungan Sosial

Rekan Kerja (X1):

Dukungan emosional Dukungan penghargaan Dukungan instrumental Dukungan informasi Dukungan jaringan sosial

Locus Of Control Internal

(X2):

(49)

dukungan sosial dan locus of control internal semakin rendah stres kerja perawat RSUD sleman, semakin rendah dukungan sosial dan locus of control internal makin tinggi stres kerja perawat RSUD Sleman.

2. Hipotesis minor

a. Dukungan sosial rekan kerja berhubunga signifikan dengan dengan stres kerja perawat RSUD Sleman.

Gambar

Gambar 1 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

permasalahan hubungan antara dua variabel prediktor yaitu motivasi berprestasi (X1) dan kemampuan berpikir kritis (X2) dengan satu variabel kriterium yaitu kemampuan

Dari kalimat ini, dapat kita ketahui bahwa hal yang akan dibahas dalam teks tersebut adalah pengaduan atau keluhan penulis terkait artikel tersebut yang penulis rasa tidak

Pada uji hipotesis, berdasarkan hasil analisis koefisien korelasi ganda didapatkan nilai r = 0.70 yang menyatakan besar hubungan antara variabel kelentukan dan

Kelas XII IPA 2 (kelas kontrol) diberi perlakuan dengan problem solving. Hasil yang diperoleh baik pada kelas kontrol maupun kelas eksperimen pada postes 1 maupun postes

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sahyang berasal dari setoran- setoran kelebihan atas pembayaran kepada pihak ketiga oleh Daerah pada tahun anggaran yang lalu berdasarkan

Agregat terdiri dari fraksi-fraksi : agregat kasar, agregat halus dan filler , dimana masing-masing mempunyai berat jenis yang berbeda satu sama lainnya, sehingga berat jenis

Tahap – tahap tersebut meliputi akusisi citra, deteksi objek, deteksi tepi menggunakan operator Canny edge , deteksi garis menggunakan metode Hough line transform

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan model TGT tersebut antara lain (1) penelitian Van Wyk (2011) menyimpulkan bahwa kelompok eksperimen yang menggunakan model