• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS DAN PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA TERHADAP EMPATI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS DAN PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA TERHADAP EMPATI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

F. Andri Yanuarita NIM : 049114103

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

F. Andri Yanuarita NIM : 049114103

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2010

(3)
(4)
(5)

Aku bukan milikku

Segala yang aku punya bukan milikku

Aku bukan apa-apa

Adaku karena aku dikasihi

Ternyata aku tidak harus memilih

Karena ternyata aku sudah dipilih

Aku hanya perlu memutuskan

Untuk berkata ya dan aku terus berjalan

Di jalan yang sudah ditentukan

Hiduplah bukan demi apa-apa

Hiduplah karena sudah diberi hidup oleh Tuhan

(6)

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus atas segalanya

Engkau memberikan segalanya yang terbaik untukku

Orangtuaku terkasih Bapak Norbertus Sutarjo dan Ibu Norberta Siti Nasiah

Melalui Bapak dan Mamak karya Tuhan terlihat nyata

Adik-adikku tercinta Agnes Anna Wulan Nuari dan Anastasya Intan Cantika

Kemanapun kita melangkah jangan melupakan jalan,

Jalan yang membawa kita untuk bisa “kembali pulang”

(7)

(8)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mencari peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pendidikan pada masa dewasa yaitu pengetahuan psikologi. Subyek dalam penelitian ini adalah perempuan dan laki-laki usia dewasa awal dengan jumlah 120 orang. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala empati yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.866 dan skala pola asuh demokratis menurut persepsi anak yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.966. Hipotesis yang diajukan adalah ada peran jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi terhadap empati. Analisis data dengan menggunakan analisis regresi dan memperoleh hasil F = 7.816 dengan p = 0.000 (p<0.05). Hasil nilai standar koefisien beta antara empati dengan jenis kelamin sebesar -0.312, empati dengan PAD sebesar 0.229, dan empati dengan pengetahuan psikologi sebesar -0.193. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin memiliki peranan prediktor paling besar pada empati empati, kemudian peranan prediktor dibawah jenis kelamin adalah PAD dan peranan prediktor paling rendah adalah pengetahuan psikologi. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat empati dengan jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi pada taraf kepercayaan 95 %.

Kata kunci : empati, jenis kelamin, pola asuh demokratis, pendidikan psikologi.

(9)

ABSTRACT

This research was aimed to find the role of sexual status, childhood education which in this case was democratic upbringing pattern and adultery education which was psychology knowledge. The subjects in this research were 120 men and women in their early adulthood age. The instrument used for data collection was empathy scale which had 0.866 reliability and democratic upbringing pattern of children’s perspective scale which had 0.966 reliability. The hypothesis presented was the role of sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge toward empathy. The data analysis used regression analysis and the result was F = 7.816 with p = 0.000 (p<0.05). The result of beta coefficient standard of value between empathy toward sexual status was -0.312, empathy toward DUP was 0.229, empathy toward psychology knowledge was -0.193. From the result above, it can be inferred that sexual status has the biggest predictor role toward empathy, then the second rank after the sexual status is DUP and the last one is psychology knowledge. It can also be concluded that there is a significant relation among empathy grade toward sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge at trustiness grade of 95%.

Key words : empathy, sexual status, democratic upbringing pattern, psychology education.

(10)
(11)

pemeliharaan dan kesetiaan-Nya sampai akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati” dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko., S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah dengan sabar membimbing, hingga skripsi ini selesai. 3. P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan selama penulis menjalankan studi.

4. Ibu A. Tanti Arini., S.Psi., M.Si dan Ibu M. M. Nimas E. S., S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen penguji penguji skripsi, terima kasih atas saran dan bimbingan hingga penyelesaian skripsi.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis.

6. Seluruh staf karyawan di Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie. Terima kasih atas segala pelayanannya.

7. Orang tuaku terkasih Bapak dan Mamak yang selalu mendukung dan mendoakan. Apapun jalan yang kupilih, andri tetap sayang Bapak dan Mamak.

8. Dek Anna dan Dek Intan, “don’t worry jesus Bless you and me forever”. 9. Keluarga Besar Sardjono dan Sri Sukati, Hadi Pawira dan Sariyem, terima

kasih telah mendampingiku dalam doamu.

10.Keluarga besar MahaGenta Khatulistiwa Art Performance Community dan Lumen Indonesia: Maria Goretti Tunjung Biru Anggorowerti, terima kasih

(12)

melaluinya bersama.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan: Ony, Uci, Ita, Kadek terima kasih teman-teman, meski konsep persahabatan kita beda, kalian sudah menjadi sahabat-sahabat terbaik. Ku nikmati indahnya dunia bersama kalian.”biarkan Tuhan berkarya dalam hidup kita”.

12.Teman-teman Psikologi USD angkatan 2004 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaan kita teman.

13.Berbagai pihak yang telah membantu penyebaran dan mengisi skala penelitian: Maria, Ayu, Dita, Rita, Agung, Catrin, dan teman-teman mahasiswa USD yang telah bersedia mengisi skala peneliti. Terima kasih ya, terus semangat.

14.Rini (PBI) dan Ison (S Ing) terima kasih sudah menjadi translator.

15.Teman-teman Hidden Kost, Mbak Lusi, Mbak Cla, Kaka, Mala, Lini, Shella, Catrin, Dini, Iphent, Vio, Putri, Rosa, Lia, Mimi, Rina, Monik, Nana, terima kasih!! semua menjadi lengkap dengan kebersamaan kita.

16.Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati menerima setiap kritik dan masukan yang membangun. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Penulis

F. Andri Yanuarita

(13)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 8

A. Empati ... 8

1. Pengertian Empati ... 8

2. Aspek-aspek Empati ... 9

3. Perkembangan Empati ... 11

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati ... 13

B. Jenis Kelamin ... 15

1. Kemampuan Intelektual ...15

2. Kemampuan Intuisi ...16

3. Perilaku Peran Jenis Kelamin ... 16

(14)

3. Ciri-ciri Orangtua yang Menerapkan Pola Asuh Demokratis ... 20

D. Pengetahuan tentang Psikologi Manusia ... 22

E. Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati ... 23

F. Hipotesis ... 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 28

A. Jenis Penelitian ... 28

B. Identifikasi Variabel ... 28

1. Variabel prediktor ... 28

2. Variabel Kriterium ... 28

C. Definisi Operasional ... 29

1. Jenis kelamin ...29

2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Demokratis ... 29

3. Pengetahuan Psikologi ... 29

4. Empati ... 29

D. Subyek Penelitian ... 30

E. Metode Pengumpulan Data ... 30

F. Alat Pengumpulan Data ... 34

1. Skala Empati ... 32

2. Skala Pola Asuh Demokratis ... 39

G. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 44

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 44

2. Deskripsi Data Penelitian ... 44

B. Hasil Penelitian ... 46

1. Uji Asumsi Penelitian ... 47

(15)

2. Uji Hipotesis Penelitian ... 48

C. Pembahasan ... 50

BAB V. PENUTUP... 54

A. Kesimpulan ... 54

B. Saran ...54

DAFTAR PUSTAKA ... 56

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 59

(16)

Tabel 3 : Blue Print Empati

Tabel 4 : Distribusi Item Skala Empati Pra Uji Coba

Tabel 5 : Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati Tabel 6 : Distribusi item skala empati setelah uji coba

Tabel 7 : Penomoran ulang distribusi item skala empati Tabel 8 : Blue Print PAD

Tabel 9 : Distribusi Item Skala PAD Pra Uji Coba Tabel 10 : Distribusi item skala PAD

Tabel 11 : Penomoran Ulang Distribusi Item Skala Pola Asuh Demokratis Tabel 12 : Deskripsi Data Subyek

Tabel 13 : Deskripsi Data Penelitian

Tabel 14 : Deskripsi Data Jenis Kelamin dan Jenis Pendidikan Tabel 15 : Hasil Uji Linieritas

Tabel 16 : Hasil Anova Analisis Regresi Tabel 15 : Hasil Coefficient Analisis Regresi

(17)

Reliabilitas Skala Empati dan Pola Asuh Demokratis

Skala Penelitian Empati dan Pola Asuh Demokratis

Lampiran B : Hasil Statistik Deskriptif data Penelitian

Hasil Analisis One Sample T-test

Lampiran C : Hasil Uji Normalitas

Hasil Uji Heteroskedastisitas / Homogenitas variansi

Hasil Uji Multikolinear

Hasil Uji Linearitas

Hasil Analisis Regresi

(18)

A. Latar Belakang Masalah

Berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan psikologis dan

kebutuhan praktis bagi manusia. Pada taraf psikologis setiap manusia

memerlukan teman dan ketentraman serta ketenangan batin yang berasal

dari rasa terlibat dalam suatu kelompok sosial yang anggotanya memiliki

gagasan dan pola perilaku yang sama. Pada taraf praktis, setiap individu

memerlukan kerjasama dengan orang lain agar dapat memenuhi kebutuhan

hidup seperti pangan, pekerjaan dan keamanan (Korn & Manesa dalam

Andriani, 2001).

Tanpa orang lain, individu tidak bergaul, tidak berbicara, tidak

bertukar pikiran dan tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan

orang lain. Namun demikian bukan berarti dalam berhubungan dengan

orang lain semua akan menjadi baik dan lancar. Banyak hal yang diperlukan

manusia untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, yang

biasa disebut keterampilan sosial (Andriani, 2001). Keterampilan sosial

yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial

dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat

bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat saling

menguntungkan orang lain (Combs & Slaby dalam Cartledge & Milburn,

1995).

(19)

Perkembangan keterampilan sosial sendiri dipengaruhi oleh

kemampuan sosial kognitifnya, yaitu keterampilan memproses semua

informasi yang ada dalam proses sosial. Salah satu kemampuan sosial

kognitif yang cukup penting adalah kemampuan melihat dari perspektif

orang lain (perspective taking) dan kemampuan berempati (Robinson &

Garber, 1995). Dengan memiliki empati individu mampu memahami

perspektif individu lain untuk dapat menghayati masalah atau kebutuhan

yang tersirat pada individu lain.

Kurangnya kemampuan berempati akan menimbulkan

kesalahpahaman terhadap kondisi orang lain yang berujung pada perilaku

semena-mena. Misalnya kasus mahasiswa demo mengeroyok pasien ICCU

dan putranya saat mereka memberikan perlawanan ketika dilarang melintasi

jalan menuju rumah sakit. (www.noertika.wordpress.com, 25 April 2007).

Empati dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan menolong

dengan mengurangi penderitaan individu lain. Individu yang berempati

mampu memahami cara pandang dan cara berpikir individu lain dan

membuat individu dapat memposisikan dirinya sebagai individu yang

bermasalah sehingga individu tersebut tahu apa yang sebaiknya ia lakukan

kepada individu yang memiliki masalah (Setyawan, 2007).

Empati yang paling besar ditujukan pada orang lain yang mirip dengan

diri sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik (Baron &

Byrne, 2005). Jane Strayer (dalam Azar, 1999) menyatakan bahwa setiap

(20)

empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan

tersebut dihambat atau menjadi bagian penting dari diri. Dengan demikian

berarti bahwa komponen kognisi harus dapat menghadapi obyek yang

dihadapinya agar timbul suatu sikap yang dikehendaki. Oleh karena itu

mempelajari karakteristik subyek manusia atau kejadian-kejadian adalah

penting dalam pembentukan suatu sikap yang dalam hal yang sebenarnya

menyangkut segi konseptual dan faktor senang atau tidak senang terhadap

permasalahan (Andriani, 2001).

Pendidikan Psikologi mempelajari jiwa manusia yang kemudian akan

tampak pada perilaku. Belajar dibidang psikologi berarti juga mempelajari

perilaku manusia dan proses-proses yang mendasarinya. Mempelajari

psikologi adalah mempelajari karakteristik subyek manusia dan diharapkan

seseorang yang mempelajari psikologi akan memahami mengapa seseorang

berperilaku sebagaimana yang tampak (Andriani, 2001). Latipun (2006),

juga menyatakan tenaga profesional khususnya yang menjalankan tugas

memberikan bantuan (helping relationship) seperti konselor, psikolog, dan

pekerja sosial sangat membutuhkan pengetahuan dasar yang berupa keahlian

maupun yang berhubungan dengan penguasaan keterampilan. Rachman &

Savitri (2007) mengungkapkan banyak orang berpendapat bahwa psikolog

jagonya berempati, namun dalam observasi dilapangan tampak bahwa tidak

semua psikolog mampu berempati. Berdasar pengalaman penulis dalam

berelasi dengan mahasiswa psikologi, tampak bahwa tidak semua

(21)

mahasiswa non psikologi tidak berempati dengan orang lain. Kemampuan

empati penting bagi mahasiswa psikologi karena kemampuan empati

menjadi salah satu kemampuan yang dibutuhkan. Dari gambaran tersebut

peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah dengan belajar psikologi seseorang

akan mempunyai kemampuan berempati yang lebih baik dari mahasiswa

non psikologi.

Selain proses belajar pada masa dewasa, pendidikan yang diperoleh

individu pada masa kecil juga dianggap memiliki peran pada empati.

Pendidikan masa kecil yang dimaksud adalah pola pengasuhan anak yang

terjadi pada masa kecil. Menurut Hurlock (1973) ada tiga jenis pola asuh

dalam keluarga yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh

permisif. Pada penelitian ini, peneliti tertarik dengan sistem pola asuh

demokratis (PAD) karena dilihat dari karakteristiknya, PAD diduga

memiliki peran terhadap empati.

PAD merupakan pola asuh di mana orangtua melibatkan anak dan

anggota keluarga dalam pengambilan keputusan tentang aktivitas yang akan

dilakukan anak, memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak untuk

mencapai tujuan. Anak boleh mengemukakan pendapat, berdiskusi dengan

orangtua, menentukan dan mengambil keputusan bagi aktivitasnya. Di

samping itu orangtua tetap memberikan kontrol atas perilaku anak, bahkan

aktivitas yang akan dijalani anak perlu mendapat persetujuan dari orangtua.

Pola asuh ini menghasilkan suasana sehat, membentuk rasa aman anggota

(22)

menjadi seorang yang dapat diajak bekerja sama, mandiri, percaya diri,

kreatif dan ramah. Dengan kata lain, dalam pola asuh tersebut ada upaya

orangtua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk tumbuh dan

berkembang secara optimal. Anak dibebaskan dalam batas-batas tertentu

untuk mengembangkan kepribadiannya (Suwarsa dalam Petranto, 2008).

Dengan kebebasan dan segala dukungan yang diberikan pada anak, diduga

anak akan merasa aman dan dapat leluasa mengembangkan diri secara

optimal begitu juga dalam mengembangkan kemampuan empati di dalam

dirinya.

Faktor lain yang penting adalah jenis kelamin. Goleman (1999)

berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh pada empati.

Namun pada penelitian Davis (1980), menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan empati pada perempuan dan laki-laki yaitu perempuan lebih

berempati dari pada laki-laki. Pada penelitian Trobst, Collins & Embree

(Baron & Byrne, 2005) juga menunjukkan bahwa perempuan

mengekspresikan tingkat empati lebih tinggi daripada laki-laki. Dan dari

pengalaman penulis di lapangan juga terlihat bahwa perempuan lebih

berempati dari pada laki-laki, namun ada juga laki-laki yang mampu

menunjukkan empatinya dengan baik. Dari penjabaran tersebut peneliti

ingin melihat apakah pada penelitian ini mahasiswa perempuan lebih

berempati daripada mahasiswa laki-laki sehingga dapat menunjukkan

apakah empati dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada penelitian sebelumnya

(23)

dilakukan begitu juga dengan PAD dan pengetahuan psikologi dengan

empati belum pernah dilakukan sehingga penulis tertarik dan ingin melihat

lebih lanjut keterkaitan antara empati dengan jenis kelamin, PAD dan

pengetahuan psikologi. Dari penjelasan di atas peneliti memprediksi adanya

peran jenis kelamin, PAD, dan pengetahuan psikologi terhadap empati.

B. Rumusan Masalah

Dari hal yang tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada

peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis

dan pengetahuan psikologi terhadap empati?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran jenis kelamin, pendidikan

pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi

terhadap empati.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan manfaat dalam bidang psikologi klinis, psikologi

perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai

pengembangan konsep empati.

b. Memberikan pengetahuan terhadap mahasiswa psikologi bahwa

(24)

dengan orang lain membutuhkan kemampuan empati, dari sebab itu

mahasiswa dapat mempersiapkan dirinya dengan mempelajari dan

mengasah empatinya dengan baik.

c. Menambah wawasan peneliti tentang empati dan keterkaitannya

dalam pendidikan, pola asuh keluarga dan perbedaan gender, serta

memberikan inspirasi dalam penemuan penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan

tentang sistem pola asuh demokratis dan kaitannya dengan empati.

Dari hal tersebut orangtua dapat memilih pola asuh seperti apa yang

sebaiknya diterapkan dalam keluarga.

b. Bagi mahasiswa non psikologi, penelitian ini dapat bermanfaat untuk

menambah pengetahuan tentang empati dan keterkaitannya dengan

perbedaan jenis kelamin, pola asuh keluarga dan pendidikan pada

masa dewasa, serta dapat digunakan sebagai bahan refleksi diri yang

(25)

A. Empati

1. Pengertian Empati

Menurut APA Dictionary of Psychology (2006 : 327), empati

diartikan :

“Understanding a person from his or her frame of reference rather

than one’s own, so that one vicariously experiences the person’s

feelings, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self,

entail motivation to be of assistance, although it may turn into

sympathy or personal disstres, which may result in action”.

Mengerti individu lebih pada sudut pandangnya dari pada sudut

pandang kita sendiri, sehingga dapat mewakili pengalaman perasaan,

persepsi dan pikiran individu tersebut. Empati kemudian dapat mengarah

pada perasaan simpati atau perasaan distres yang mungkin menghasilkan

tindakan.

Menurut Rogers suatu pemahaman empatik adalah memahami

kerangka acuan internal (internal frame of reference) orang lain (Hall &

Lindzey dalam Supratiknya, 1993). Hal yang sama juga diungkapkan

oleh Goleman (1999) bahwa kemampuan berempati adalah kemampuan

untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, melihat dunia dari

(26)

mata orang lain, dapat membaca emosi-emosi orang lain dan menghargai

mereka melalui apa yang kita katakan dan lakukan.

Mampu berempati dengan tepat memerlukan perpaduan antara

keterampilan kognitif dan afektif. Komponen afektif dari empati juga

termasuk merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain

tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan

sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka (Schlenker & Britt

dalam Baron & Byrne, 2005). Komponen kognitif yaitu kognisi yang

relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang

orang lain yang disebut juga sebagai mengambil perspektif (perspektif

taking) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang

lain. Baron & Byrne (2005) mengungkapkan bahwa empati adalah

respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang

lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional

orang lain, merasa empatik dan mencoba menyelesaikan masalah serta

mengambil perspektif orang lain

2. Aspek-aspek Empati

Dalam Davis (1980), aspek-aspek empati yaitu:

a. Perspektif taking

Perspektif taking adalah pengambilan secara spontan sudut

pandang orang lain. Mengambil perspektif adalah kemampuan

(27)

selain itu merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam

posisi orang lain.

b. Fantasy

Fantasy adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah diri

ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat

dalam film-film, buku, maupun dalam permainan. Di mana fantasi

merupakan salah satu tipe dari pengambilan perspektif yakni

individu merasa empati pada karakter fiktif. Sebagai akibatnya,

terdapat reaksi emosional terhadap kegembiraan, kesedihan dan

ketakutan yang dialami oleh seseorang atau tokoh lain dalam sebuah

buku, film, atau program televisi.

c. Empathy concern

Empathy concern adalah orientasi seseorang terhadap orang lain

berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa

kemalangan. Dengan kata lain kemampuan seseorang dalam

memahami cara pandang dan perasaan orang lain dengan cara orang

tersebut memandang dan merasakan atau melihat dirinya sendiri.

Dalam hal ini individu tidak hanya merasakan penderitaan orang lain

tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan

sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka.

d. Personal distress

Personal distress adalah perasaan cemas dan gelisah ketika

(28)

merasakan tekanan emosional yang dialami orang lain tetapi tidak

terpengaruh dengan keadaan emosional orang lain tersebut.

3. Perkembangan Empati

Menurut Damon (dalam Santrock, 1990), empati mencakup

bagaimana individu bereaksi dalam emosi yang berbeda sebagai respon

menyamai perasaan orang lain. Berikut ini tabel perkembangan empati

secara alami pada anak-anak menurut deskripsi Damon:

Tabel 1. Perkembangan Empati Pada Anak-Anak

Usia Perkembangan Empati

Bayi Masih berupa empati secara global. Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan dan kebutuhan orang lain.

1 - 2 tahun Individu mulai mampu merasakan ketidaknyamanan orang lain dan mulai memperhatikannya walau belum dapat memahaminya dengan jelas. Namun individu pada usia ini belum dapat menerjemahkan perasaan tersebut dalam tingkah laku yang afektif.

Masa kanak -kanak awal

Anak menjadi sadar akan adanya perspektif orang lain yang berbeda dan memahami bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar terhadap kesusahan orang lain.

Usia 10 - 12 tahun

Anak sudah membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan pemahamannya mengenai politik.

Dengan bertambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif,

anak-anak secara bertahap belajar mengenali tanda-tanda kesedihan

orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku

(29)

peranan orang lain dengan respon yang sama dengan orang lain tersebut

(Damon dalam Baron & Byrne, 2005). Empati terjadi ketika kita melihat

situasi dari sudut pandang orang lain, yang membuat kita merasakan apa

yang orang lain rasakan. Misalnya, kita dapat membayangkan apa yang

orang lain rasakan saat kehilangan pekerjaannya dengan demikian kita

dapat berempati dengan keadaannya (Omdahl dalam Planalp, 1999).

Pada usia dewasa awal antara 17 sampai 45 tahun (Levinson dalam

Monks dkk, 2002), individu masuk dalam tahap empati abstrak yaitu

individu mengembangkan empati mereka tidak hanya kepada orang yang

mereka kenal atau mereka lihat secara langsung, namun juga termasuk

kelompok orang yang belum pernah mereka jumpai (Yarrow & Waxler

dalam Shapiro,1997). Dengan bertambah matangnya wawasan dan

kemampuan kognitif, individu secara bertahap belajar mengenali

tanda-tanda kesedihan orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya

dengan perilaku yang tepat (Shapiro, 1997).

Pada masa dewasa awal ini, menurut Piaget perkembangan kognitif

individu berada pada tahap operasional formal di mana individu sudah

dapat berpikir secara abstrak tanpa harus mengalami pengalaman

konkret. Individu dapat mengembangkan citra yang ideal dengan

imajinasinya. Individu mengalami perluasan kemampuan kognitif

dimana individu berpikir tentang dunia sosialnya dan tidak hanya

terpaku dirinya sendiri. Individu memikirkan hubungannya terhadap

(30)

tempat tinggalnya, teman-temanya dan organisasi yang diikutinya

(Santrock, 1995).

Pada masa ini, perkembangan emosional belum stabil (Santrock,

1995). Individu mengalami ketegangan emosi yang berhubungan dengan

persoalan-persoalan yang dialaminya seperti persoalan jabatan,

perkawinan, keuangan, tuntutan sosial dan sebagainya. Ketegangan

emosi yang timbul itu bertingkat-tingkat pula selaras dengan intensitas

persoalan yang dihadapinya dan sejauh mana seseorang dapat mengatasi

persoalan yang dihadapi tersebut (Mappire, 1983). Ketika seseorang

mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya diduga empati yang

dimilikinya akan ikut terasah pula yakni ketika individu mampu

menghadapi dirinya sendiri maka individu akan mampu pula

menghadapi orang lain.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati

a. Faktor Internal

Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi

individu secara alamiah yaitu faktor jenis kelamin. Jenis kelamin

merupakan faktor alami yang mempengaruhi empati seseorang.

Adanya perbedaan kemampuan berdasarkan jenis kelamin yaitu

perbedaan kemampuan intelektual, intuisi, perilaku peran jenis

kelamin dan perbedaan karakter. Perbedaan kemampuan inilah yang

(31)

ini menjadi salah satu variabel prediktor maka secara lebih rinci akan

dijelaskan pada bagian tersendiri.

b. Faktor Eksternal

Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi

empati dengan adanya suatu proses, seperti proses dalam hubungan

sosial dan proses belajar. Faktor-faktor eksternal antara lain:

i. Lingkungan Keluarga

Keluarga menjadi tempat pertama kalinya individu belajar

mengenali nila-nilai kehidupan dari orangtuanya. Di dalam

lingkungan ini individu mulai mengenal dan meniru model

orangtua yang secara tidak langsung mengembangkan kecerdasan

emosional. Salah satu kecerdasan emosional adalah kemampuan

berempati. Menurut Yarrow dan Waxler dalam Goleman, 2007

sebagian besar kepekaan empati pada anak berkaitan dengan

bagaimana orangtua menerapkan disiplin pada anak. Anak

menjadi lebih empatik bila kedisiplinan orangtua mencakup

memberi perhatian sungguh-sungguh atas kemalangan orang lain

yang disebabkan oleh mereka. Yarrow dan Waxler juga

menemukan bahwa empati anak terbentuk pula dengan melihat

bagaimana orang lain memberikan reaksi terhadap kesedihan

orang lain. Dengan meniru apa yang mereka lihat, anak

mengembangkan empati terutama untuk menanggapi kesusahan

(32)

ii. Lingkungan Sekolah

Sekolah sebagai institusi formal pendidikan mempunyai andil

besar dalam hal peningkatan kemampuan manusia, salah satunya

adalah empati. Di sekolah individu belajar berinteraksi langsung

dengan orang lain, baik teman sebaya maupun orang yang lebih

tua yaitu guru mereka. Apabila sejak kecil anak-anak sudah

terbiasa untuk mendengar, melihat, dan merasakan dari sudut

pandang orang lain, maka anak tidak akan menyakiti dan

merugikan orang lain. Melalui sekolah individu akan

memperoleh banyak informasi dan pengertian akan nilai-nilai

baru baik dari sekolah maupun dari hubungan dengan teman

sebaya (Mappiare, 1982).

B. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan pengkategorian seks secara biologis yang

terungkap dari identitas diri sebagai wanita maupun pria. Pengkategorian

perbedaan antara wanita dan pria di bawah ini, dipilih berdasarkan dugaan

yang dimungkinkan ada hubungannya dengan empati.

1. Kemampuan Intelektual

Maccoby dan Jacklin (dalam Stephan, 1985) menyatakan bahwa

wanita memiliki kemampuan verbal yang lebih baik daripada pria yang

dimulai sejak usia 11 tahun. Wanita lebih superior dari pria dalam

(33)

2. Kemampuan Intuisi

Menurut Kartono (1992) intuisi pada wanita dan pria berbeda.

Intuisi atau bisa juga disebut logika dari hati atau radar hati wanita lebih

tajam daripada pria. Intuisi merupakan suatu proses merasakan hal-hal

diluar dirinya tanpa disadari. Ketajaman intuisi tergantung pada simpati

dan cinta pada objek yang diminati, dan tergantung pada relasi psikisnya

dengan subyek. Intuisi berfungsi sebagai mekanisme pelindung bagi

wanita, karena memberikan sinyal-sinyal tanda bahaya dari luar yang

mengancam eksistensi dan kemurnian dirinya.

3. Perilaku Peran Jenis Kelamin

Pria pada dasarnya lebih mampu berpikir secara rasional dalam

menghadapi berbagai masalah sedangkan wanita lebih menggunakan

perasaannya. Pria lebih dituntut untuk mampu mandiri dan mencari

nafkah bagi keluarganya, sedangkan wanita lebih dituntut untuk mampu

mendidik anak dan mengerjakan pekerjaan rumah (Maramis, 1990).

4. Perbedaan Karakter

Kartono (1992) mengemukakan perbedaan karakter antara wanita

dan pria, sebagai berikut :

a. Wanita lebih dekat pada masalah kehidupan yang praktis konkrit,

sedangkan pria lebih tertarik pada segi kejiwaan yang abstrak.

Misalnya; wanita sangat menikmti masalah rumah tangga, kehidupn

sehari-hari, dan peristiwa lain di sekitar rumah tangganya. Pria pada

(34)

belakang teoritis untuk dipikirkan lebih lanjut, mempunyaai tendensi

tertentu sesuai dengan minatnya atau berhubungan dengan dirinya

sendiri.

b. Wanita pada umumnya sangat bergairah dan penuh vitalitas hidup,

sedangkan pria pada umumnya memiliki sifat lebih lamban, lebih

berat mengendap sehingga tampak kurang lincah. Hal ini membuat

wanita tampak lebih spontan dan impulsif.

c. Wanita lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial, mungkin

dikarenakan lebih banyak mengalami duka derita lahir batin terutama

pada saat melahirkan sehiangga ia lebih tertarik pada kehidupan

orang lain. Pria bersifat lebih egosentris atau berpusat pada diri,

mereka lebih objektif dan mengarah pada hal pokok.

d. Kaum pria cenderung egosentris atau self oriented, berperan sebagai

pengambil inisiatif untuk memberikan rangsangan dan pengarahan,

dan menganggap dunia ini miliknya sebagai ruang untuk berprestasi

dan bekerja. Wanita merupakan kebalikannya biasanya mereka tidak

agresif, sifatnya lebih pasif, suka melindungi, memelihara,

mempertahankan.

e. Pada wanita fungsi sekunderitas atau fungsi dari tanggapan yang

mempengaruhi secara sekunder kehidupan kejiwaan kita tidak

terletak dibidang intelektual melainkan di perasaan. Nilai perasaan

(35)

struktur kepribadiannya, jika dibandingkan dengan nilai perasaan

kaum pria.

f. Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah-masalah politik,

terlebih politik yang menggunakan cara-cara licik, munafik dan

kekerasan. Wanita lebih banyak menunjukkan tanda-tanda

emosionalnya, karena itu biasanya wanita memilih bidang dan

pekerjaan yang banyak mengandung unsur relasi emosional dan

pembentukan perasaan. Misalnya : pekerjaan guru, juru rawat,

pekerja sosial, bidan, dokter, dan lain-lain.

g. Seorang wanita jika sudah memilih sesuatu dan telah memutuskan

untuk melakukan sesuatu ia tidak banyak berbimbang hati untuk

melakukan langkah selanjutnya. Hal ini berbeda dengan kaum pria

yang masih saja berbimbang hati dan terombang-ambing diantara

pilihan menolak atau menyetujui. Pada umumnya wanita juga lebih

antusias memperjuangkan pendiriannya daripada pria.

Dari perbandingan tersebut tampak bahwa wanita lebih tertarik dengan

apa yang ada di luar dirinya dari pada laki-laki, dengan demikian perempuan

dianggap lebih bisa mengekspresikan empatinya daripada laki-laki, seperti

juga tampak pada penelitian Davis (1980), wanita memiliki skor empati

(36)

C. Pola Asuh Demokratis

1. Pengertian Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis (PAD) adalah pola asuh yang

memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu

mengendalikan mereka. PAD merupakan pola pengasuhan orangtua

yang menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang

terarah, motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab

dalam mengasuh dan mendidik anak. Kebutuhan anak dalam pola asuh

ini mendapat perhatian dan pemenuhan yang cukup dari orangtua,

sehingga anak selalu merasa diterima dan diperhatikan oleh orangtua

(Hauck, 1995).

PAD akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri,

dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman,

mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan

koperatif terhadap orang-orang lain (Baumrind dalam Hetherington dan

Parke, 1986). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prasetya (2003)

anak yang diasuh dengan PAD akan memiliki sikap mandiri, tegas

terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan pengendalian

diri, mudah bekerjasama dengan orang lain, ramah terhadap orang lain

dan orang yang lebih dewasa.

2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis

Kohn (Setiawan, 1996) mengemukakan aspek PAD sebagai

(37)

a. Aspek pandangan orangtua terhadap anak

Aspek pandangan orangtua terhadap anak adalah orangtua lebih

mementingkan pemahaman terhadap perasaan, keinginan dan kondisi

anak. Orangtua dalam pola asuh ini akan selalu mendorong dan

memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan bertindak

secara matang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

b. Aspek komunikasi

Aspek komunikasi adalah orangtua akan menerapkan pola

komunikasi dua arah. Orangtua dalam pola asuh ini akan

memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan

pendapatnya secara bebas.

c. Aspek pemenuhan kebutuhan anak

Aspek pemenuhan kebutuhan anak adalah orangtua akan

memberikan respon positif terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.

Kebutuhan anak dalam pola asuh ini akan lebih diutamakan daripada

kebutuhan orangtua.

d. Aspek penerapan kontrol

Aspek penerapan kontrol adalah orangtua akan menerapkan

kontrol melalui aturan-aturan yang tegas, konsisten dan rasional.

Situasi yang bermasalah dapat diselesaikan oleh orangtua secara

bijaksana dan dapat diterima oleh anak. Pemberian hukuman dalam

pola asuh ini tidak dilakukan secara fisik

(38)

Ciri-ciri orang tua yang menerapkan PAD (Elias, 2000), adalah

sebagai berikut :

a. Orangtua mampu memberikan teladan perilaku kepada anak.

b. Orangtua mampu bersikap paraphrasing (secara halus

mengungkapkan kembali pernyataan anak dengan bahasa yang lebih

tepat dan lebih baik).

c. Orangtua memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing

sikap kritis anak.

d. Orangtua memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan

mendidik anak.

e. Orangtua mampu mengikuti perkembangan anak.

Berdasarkan uraian di atas PAD adalah pola asuh yang

memprioritaskan kepentingan anak, memiliki sistem pengendali,

menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang terarah,

motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab baik anak

maupun orangtua serta anak mendapat perhatian dan pemenuhan yang

cukup dari orangtua, sehingga anak dan orangtua selalu merasa diterima

dan saling memperhatikan. Pada penelitian ini keempat aspek tersebut

digunakan untuk melihat sistem pola asuh orangtua dari sisi persepsi

(39)

D. Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia

Setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk

merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik kita yang menentukan apakah

potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dari diri

individu (Strayer dalam Baron & Byrne, 2005). Dari sebab itu,

perkembangan empati juga terjadi seturut dengan pengalaman yang telah

diperoleh seseorang selama mempelajari psikologi manusia. Pengalaman

mempelajari pengetahuan tentang psikologi manusia secara sistematis akan

mempengaruhi sikap afektif bisa berupa penerimaan akan informasi yang

ada dalam psikologi, mengorganisasikannya dengan pengalaman sehari-hari

mengenai orang lain, hingga tumbuhnya perwatakan terhadap orang lain

seiring dengan informasi yang telah diterimanya (Andriani, 2001). Selain

itu, kemampuan kognitif yang juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar

individu dapat memetakan pengetahuannya secara sadar dan sistematis

sehingga memiliki kemampuan yang lebih dalam menerapkan apa yang

telah dipelajarinya. Dengan pemikirannya, individu mampu mengetahui

emosi dan mengevaluasi pikiran-pikiran serta perasaan yang tersembunyi

dibalik penampilan orang lain.

Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir atau bernalar secara logis

dan sistematis. Alat-alat indera yang memberikan kemungkinan untuk

menguji kebenaran suatu pemikiran dalam suatu kerangka yang logis dan

sistematis akan menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan dapat

(40)

perilaku yang relatif permanen, baik yang dapat diamati maupun yang tidak

dapat diamati, sebagai hasil dari pengalaman atau interaksi dengan

lingkungan di mana perubahan yang dimaksudkan berkaitan erat dengan

bidang keilmuan psikologi. Pada umumnya individu belajar untuk memiliki

keterampilan baru atau menyempurnakan yang sudah ada, menambah

pengetahuan yang baru serta mengembangkan minat dan sikap baru atau

kebiasaan berpikir yang diperlukan.

E. Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia terhadap Empati

Jenis kelamin adalah pengkategorian seks secara biologis yang

terungkap dari identitas diri sebagai wanita maupun pria. Pada dasarnya

setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk

merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik individu menentukan apakah

potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dalam

diri individu (Strayer dalam Myers 1999). Goleman (1999) mengemukakan

bahwa wanita lebih cenderung mengalami penyesuaian perasaan empati

yang spontan dari pada pria, pria kadang tampak tidak peka di depan umum

itu menunjukkan citra yang ingin ditampilkan daripada menampilkan

kemampuan empati yang mereka miliki. Pria sebenarnya memiliki

kemampuan tersembunyi yang sama banyak, tetapi kurang motivasi untuk

untuk berempati dibanding kaum wanita. Meskipun antara wanita dan pria

(41)

yang lebih terhadap perasaan orang lain. Maka diasumsikan wanita memiliki

empati yang lebih baik dibandingkan pria.

PAD adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan

tetapi tetap dalam pengawasan orangtua. Orangtua dengan pola asuh ini

bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau

pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan

anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui batas kemampuan

anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk

memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatan orangtua kepada

anak bersifat hangat (Baumrind dalam Hetherington dan Parke, 1986). PAD

akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol

diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress,

mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang

lain. Pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak

berperilaku dan bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola

asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat

relatif konsisten dari waktu ke waktu (Petranto, 2008).

Individu yang keluarganya menerapkan PAD akan menjadi seorang

yang dapat diajak bekerjasama, mandiri, percaya diri, kreatif dan ramah.

Dalam pola asuh tersebut ada upaya orangtua memberikan kesempatan

kepada anaknya untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Anak

dibebaskan dalam batas-batas tertentu untuk mengembangkan

(42)

memiliki latar belakang dengan penerapan pola asuh demokratis dalam

keluarganya diharapkan memiliki kecenderungan berempati yang lebih baik

terhadap orang lain.

Belajar psikologi secara khusus mempelajari pengetahuan tentang

psikologi manusia bisa membentuk struktur kognisi dan perilaku tertentu

dalam melihat dan menanggapi kenyataan. Hal ini dapat terjadi karena apa

yang dipelajari dalam psikologi diserap ke dalam struktur kognisi individu.

Pendalaman dan pembelajaran terhadap psikologi akan menambah wawasan

individu mengenai orang lain, baik itu perasaan, nilai-nilai, emosi, perilaku

dan hal-hal yang melatar-belakanginya. Bila individu telah mencapai tingkat

perubahan dalam struktur kognitif yaitu mengenai lingkup pengetahuan dan

kemampuan intelek yang terdiri atas pengetahuan, pemahaman, penerapan,

penjabaran, pemaduan dan penilaian; maka diduga dalam diri individu akan

terjadi perubahan afektif. Perubahan afektif ini mengenai pencapaian

pengembangan sikap yang meliputi penerimaan, penanggapan,

pengorganisasian dan perwatakan. Pengaruh belajar psikologi manusia

dalam sikap afektif bisa berupa penerimaan akan informasi yang ada dalam

psikologi, mengorganisasikannya dengan pengalaman sehari-hari mengenai

orang lain, hingga tumbuhnya perwatakan terhadap orang lain seiring

dengan informasi yang telah diterimanya.

Selanjutnya adalah perubahan dalam tingkat psikomotorik, meliputi

perangkat gerak serta tanggapan kompleks yang tampak. Perubahan pada

(43)

positif terhadap orang lain berdasarkan pemahaman dan perwatakan yang

sudah ada. Dari sini dapat di lihat bagaimana proses belajar psikologi

manusia menimbulkan pemahaman kognitif, afektif dan perilaku individu.

Generalisasi dari perubahan ini adalah kemampuan individu untuk melihat

dan menanggapi kenyataan serta kehidupan sehari-hari secara lebih objektif

dalam hal ini adalah kecenderungan dalam berempati dengan orang lain

(Andriani, 2001).

Bagi mahasiswa psikologi yang secara khusus mempelajari

pengetahuan tentang psikologi manusia secara sistematis maka diasumsikan

memiliki empati yang lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang

tidak mempelajari psikologi manusia. Dengan kata lain terjadinya perubahan

dalam struktur kognitif akan terjadi pula perubahan afektif dan perubahan

perilaku pada individu.

Dari penjabaran di atas, hubungan antara empati dengan jenis

kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan tentang psikologi manusia

yaitu kemampuan empati yang dimiliki seseorang berdasarkan jenis kelamin

dalam cakupan yang luas individu yang dikodratkan sebagai pria dan wanita.

Dan kemampuan empati yang dimiliki seseorang secara khusus berdasarkan

pola asuh yang diterapkan dalam keluarga atau pendidikan pada masa kecil,

dalam hal ini pola asuh demokratis serta secara lebih khusus lagi

(44)

BAGAN 1

Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis

Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati

Jenis Kelamin

Pola Asuh Demokratis

- Sifat Bawaan (kepekaan) - Ekspresi diri

- Penyesuaian perasaan secara spontan

- Motivasi

- Pengalaman Sosialisasi

- Sikap Rasional

- Mendasari tindakan dengan pemikiran

- kebebasan bertindak - kebebasan memilih

- belajar mengenal nilai-nilai - meniru model orang tua

EMPATI

- Pengalaman belajar

- Pengorganisasian Informasi - Pemetaan Pengetahuan - Kemampuan menerapkan

apa yang dipelajari Pengetahuan

Psikologi

F. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada peran jenis kelamin, pola asuh

(45)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat korelasional.

Korelasional memiliki tujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada

suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain

yaitu antara empati dengan jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil

(PAD) dan pengetahuan psikologi (Azwar, 2001).

B. Identifikasi Variabel

Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan

penelitian (Suryabrata, 2008).

Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Prediktor

Variabel prediktor adalah variabel yang menyebabkan timbulnya

variabel kriterium (Suprapto, 2008). Variabel prediktor pada penelitian

ini yaitu jenis kelamin, PAD dan pengetahuan psikologi.

2. Variabel Kriterium

Variabel kriterium adalah variabel yang menjadi akibat karena

adanya variabel prediktor (Suprapto, 2008). Variabel kriterium pada

penelitian ini yaitu Empati.

(46)

C. Definisi Operasional 1. Jenis Kelamin

Pernyataan subyek penelitian tentang identitas jenis kelamin

2. Pola Asuh Demokratis

PAD yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi anak

terhadap PAD yaitu penilaian anak terhadap sistem pola asuh yang

diterapkan oleh orangtua di dalam keluarga. Persepsi anak tersebut

diteliti menggunakan skala PAD yang disusun berdasarkan empat aspek

PAD yaitu:

a. Aspek pandangan orangtua terhadap anak

b. Aspek komunikasi

c. Aspek pemenuhan kebutuhan anak

d. Aspek penerapan kontrol

3. Pengetahuan Psikologi

Pernyataan subyek penelitian berdasarkan identitas jurusan yang

sedang ditempuhnya dalam masa studi.

4. Empati

Empati didefinisikan sebagai pengertian terhadap orang lain dari

sudut pandang orang lain tersebut, merespon dari pengalaman

merasakan, persepsi dan pemikiran orang lain. Bisa dalam bentuk

simpati atau personal disstres ataupun akhirnya termotivasi untuk

melakukan tindakan sesuatu untuk orang lain, yakni mengekspresikan

(47)

penderitaan orang lain. Skala PAD disusun berdasarkan aspek-aspek

empati yaitu :

a. Perspektif taking

b. Fantasy

c. Empathy concern

d. Personal distress

D. Subyek Uji Coba Penelitian

Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta yang sedang menempuh kuliah di fakultas psikologi

dan fakultas non psikologi (Teknik mesin, Teknik Elektro, Mekatronika,

Teknik Informatika, Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Farmasi,

Matematika Murni). Subyek berjumlah 80 orang, 40 orang mahasiswa

psikologi dan 40 orang mahasiswa non psikologi.

E. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode

angket atau kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian. Hal ini

berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan angket yaitu bahwa bentuk

kuesioner langsung mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau

self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan

pribadi. Anggapan-anggapan yang digunakan peneliti dalam menggunakan

(48)

sendiri. Apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan

dapat dipercaya. Interpretasi subyek tentang pernyataan-pernyataan yang

diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh

peneliti (Hadi, 2004).

F. Alat Pengumpulan Data

Pada uji coba penelitian ini digunakan 2 macam alat pengumpulan data

yaitu skala pertama digunakan untuk mengungkap empati pada mahasiswa.

Skala kedua digunakan untuk melihat persepsi anak terhadap sistem pola

asuh di dalam keluarga.

Pernyataan terdiri dari pernyataan yang favorabel dan unfavorabel.

Pada tiap pernyataan diberikan 4 pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S

(setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Kategori alat

pengukuran penelitian dengan pilihan jawaban dan skor yang diberikan

adalah:

Tabel 2. Skor Skala

Pilihan Jawaban Favorabel Unfavorabel

Sangat Setuju (SS) 4 1 Setuju (S) 3 2 Tidak Setuju (TS) 2 3 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Peneliti tidak memberikan jawaban dengan jumlah ganjil dikarenakan

adanya kecenderungan subyek untuk memilih jawaban yang ada di tengah

atau memilih netral untuk menutupi keadaan dirinya yang mungkin tidak

(49)

1. Skala Empati

a. Racangan Skala Empati

Skala empati untuk pengukuran ini merupakan adaptasi dari

skala empati yang disusun oleh Davis (1980) dengan disesuaikan

oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian ini.

Tingkat empati dapat dilihat dari tinggi rendahnya skor yang

diperoleh subyek. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan

bahwa subyek memiliki tingkat empati yang semakin tinggi.

Sebaliknya jika semakin rendah skor yang diperoleh maka tingkat

empati pada subyek juga semakin rendah.

Tabel 3. Blue Print Empati

No Aspek Empati Favorable Unfavorable jumlah

1 Fantasy 5 item (11,11%) 4 item (8, 89 %) 9 item (20%) 2 Perspektif taking 5 item (11,11%) 4 item (8, 89 %) 9 item (20%) 3 Empathy concern 10 item (22,22%) 4 item (8, 89 %) 14 item (31,11%) 4 Personal distress 7 item (15,56 %) 6 item (13,33%) 13 item (28,89%) Total 27 item (60%) 18 item (40%) 45 item (100 %)

Tabel 4. Distribusi Item Skala Empati Pra Uji Coba

No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total

1 Fantasy 1, 2, 3, 4, 5 6, 7, 8, 9 9

2 Perspektif taking 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 9 3 Empathy concern 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,

26, 27, 28

29, 30, 31, 32 14

4 Personal distress 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39 40, 41, 42, 43, 44, 45 13

(50)

b. Uji coba Skala Empati

Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 11 Mei hingga 20

Mei 2009. Skala empati disebarkan kepada 80 subyek dengan masa

usia dewasa awal. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subyek

langsung di tempat kos dan menitipkan pada mahasiswa Psikologi

dan mahasiswa non-Psikologi. Total sampel sebanyak 80 orang

dengan rentang usia 18 tahun sampai 24 tahun yang terdiri dari 40

mahasiswa psikologi dan 40 mahasiswa non-psikologi. Mahasiswa

Psikologi terdiri dari 32 subyek perempuan dan 8 subyek laki-laki.

Mahasiswa non-Psikologi terdiri dari 26 subyek perempuan dan 14

subyek laki-laki.

c. Hasil Uji Coba Skala

Setiap penelitian pengukuran selalu diarahkan untuk mencapai

tingkat objektivitas hasil yang tinggi. Salah satu usaha yang penting

untuk menempuh hal itu adalah dengan memilih atau menyusun alat

ukur yang memiliki daya diskriminasi item, derajat validitas dan

reliabilitas yang adekuat. Problem daya diskriminasi item, validitas

dan reliabilitas alat ukur ini semakin serius bilamana pengukuran

tersebut dikenakan kepada gejala-gejala sosial atau perilaku manusia

yang sedemikian kompleks (Hadi, 1994).

i. Analisis butir

Analisis butir didefinisikan sebagai sejauh mana item dapat

(51)

memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2001).

analisis butir disebut juga sebagai konsistensi item total (rix)

karena merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara

fungsi item dengan fungsi skala secara keseluruhan. Konsep

inilah yang dijadikan dasar dalam seleksi item. Item-item yang

dipilih adalah item yang mengukur hal yang sama dengan apa

yang diukur oleh skala secara keseluruhan.

Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai

1.00 dengan tanda positif atau negatif, semakin baik daya

diskriminasi item maka koefisien korelasinya semakin mendekati

angka 1.00. taraf validitas item yang digunakan dalam penelitian

ini mengikuti kriteria Alpha Cronbach. Dengan patokan taraf

validitas (rix) sebesar 0.30 sampai dengan 0.50 sehingga item

yang koefisien korelasinya di bawah 0.30 dinyatakan gugur atau

perlu diperbaiki. Item yang dianggap valid adalah item yang

koefisien korelasinya sama dengan atau lebih besar dari 0.30.

Apabila jumlah item yang lolos tidak mencukupi jumlah yang

diinginkan, maka batas kriteria rix ≥ 0,30 dapat diturunkan

menjadi 0.25 dengan mempertimbangkan isi dan tujuan skala

yang sedang disusun supaya jumlah item yang diperlukan untuk

penelitian dapat tercapai (Azwar, 2000). Berikut adalah paparan

(52)

Hasil analisis skala empati berkisar antara 0,052 sampai

dengan 0,585. Dari hasil analisis kemudian butir-butir item

diseleksi dengan cara menggugurkan butir-butir item yang

memiliki koefisien korelasi kurang dari batas kriteria rix ≥ 0.25.

Hasil seleksi terhadap 45 butir item terdapat 27 item yang sahih

atau layak digunakan sebagai pernyataan dalam penelitian dan

terdapat 18 item yang gugur. Berikut tabel penyebaran item yang

sahih dan yang gugur pada skala empati:

Tabel 5. Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati

No Pernyataan

Sebelum Uji Coba Item yang Gugur Setelah Uji Coba

(53)

Item pada aspek fantasi gugur semua, hal ini dikarenakan

aspek fantasi memiliki gejala yang berbeda dengan tiga aspek

empati lain. Secara empiris tidak ditemukan kesatuan dari empat

aspek pada penelitian ini. Namun secara konseptual, penelitian

dengan menggunakan empat aspek ini pernah dilakukan. Dan

dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan bahwa aspek fantasy

dan perspektif taking pada dasarnya tidak memiliki hubungan

yaitu dengan korelasi kurang lebih .10 pada jenis kelamin

perempuan dan laki-laki. Skor fantasy memiliki hubungan yang

moderate dengan skor empathic concern (r’= .33 dan .30), dan

memiliki hubungan yang kecil dengan personal distress.

Perspektif taking memiliki relasi yang positif dengan empathic

concern, tetapi berhubungan negatif dengan personal distress

(Davis, 1980).

Aspek fantasi melihat kecenderungan perubahan imajinasi

seseorang dalam situasi khayal dan bukan situasi realitas

kehidupan. Sedangkan ketiga aspek lain melihat pengalaman

individu dalam situasi yang nyata. Dari sebab itu, aspek fantasi

tidak memiliki hubungan dengan pengukuran empati pada

penelitian ini, sehingga aspek fantasi diabaikan pada penelitian

ini.

Demikian juga ditemukan pula perbedaan pada penelitian ini

(54)

dengan empathic concern memiliki relasi yang positif p=0.000

(p<0.05). Demikian juga dengan Perspektif taking dan personal

distress yaitu memiliki relasi yang positif p=0.000 (p<0.05), dan

antara empati concern dengan personal distress p=0.028

(p<0.05).

Tabel berikut menunjukkan penyebaran butir-butir

pernyataan dalam skala empati yang akan digunakan dalam

pengambilan data :

Tabel 6. Distribusi item skala empati setelah uji coba

No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total

1 Perspektif taking 10, 11, 12, 13, 14 16, 18 7 2 Empathy concern 19, 23, 24, 25, 26, 27,

28

29, 30, 31, 32 11

3 Personal distress 34, 35, 38, 39 40, 41, 42, 44, 45 9

Total 16 11 27

Tabel 7. Penomoran ulang distribusi item skala empati

No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total

1 Perspektif taking 1, 2, 11, 12, 13 5, 6 7 2 Empathy concern 3, 14, 15, 16, 23, 24,

25

7, 8, 18, 19 11

3 Personal distress 4, 17, 26, 27 9, 10, 20, 21, 22 9

Total 16 11 30

ii. Uji reliabilitas

Reliabilitas adalah tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu

(55)

pengukuran itu dapat memberi hasil yang relatif konsisten jika

dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama dan aspek

yang akan diukur pada diri subyek juga masih tetap sama. Suatu

angket yang reliabel akan menunjukkan ketepatan, ketelitian dan

keajegan hasil dalam satu atau berbagai pengukuran (Azwar,

2001). Dalam penelitian ini, reliabilitas adalah diukur dengan

menggunakan teknik Alpa Cronbach dari program SPSS versi

12.00.

Dengan gugurnya seluruh aspek fantasi, dilakukan uji

reliabilitas per aspek, untuk melihat apakah reliabilitas skala

memiliki keterandalan yang tinggi sebagai satu kesatuan. Dari uji

reliabilitas item aspek perspektif taking diperoleh hasil koefisien

Alpha Cronbach sebesar 0.740 dari 7 item, Empaty concern

0.809 dari 12 item, dan personal distress diperoleh 0.750 dari 8

item. Dari hasil perhitungan, item ketiga aspek tersebut disatukan

dan dianalisis kembali dan hasil perhitungan koefisien Alpha

Cronbach pada uji coba skala empati adalah sebesar 0.866. Dari

uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa skala empati dapat

menunjukkan daya keterandalan yang tinggi.

iii. Validitas Skala

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam

menjalankan fungsi ukurnya, yaitu sejauh mana skala mampu

(56)

penelitian ini adalah menggunakan validitas isi sebagai pengukur

validitas skala. Validitas isi dimaksudkan untuk mengetahui

sejauh mana item-item tersebut relevan dengan tujuan

pengukuran dan menunjukkan sejauh mana tes tersebut

komprehensif isinya (Azwar, 2001). Validitas isi pada penelitian

ini dilakukan dengan jalan mengkonsultasikan item-item skala

kepada orang yang dianggap ahli yaitu dosen pembimbing

sebagai profesional judgement untuk memastikan bahwa item

tersebut sudah mencakup seluruh isi dan objek yang akan diukur

sehingga tidak keluar dari batasan indikator-indikator yang telah

ditentukan.

2. Skala PAD

a. Rancangan Skala PAD

Skala PAD dibuat berdasarkan aspek-aspek PAD yang

diungkapkan oleh Kohn. Pola asuh yang diterima subyek dapat

dilihat dari tinggi rendahnya skor yang diperoleh subyek. Semakin

tinggi skor yang diperoleh menunjukkan bahwa subyek merasa

menerima PAD dari orangtuanya. Sebaliknya jika semakin rendah

skor yang diperoleh maka subyek merasa tidak menerima PAD dari

orangtuanya.

Tabel 8. Blue Print PAD

No Aspek PAD Favorable Unfavorable jumlah

1 Pandangan orangtua terhadap anak

(57)

2 Komunikasi 8 item (13,33%) 7 item (11,67 %) 15 item (25 %)

Tabel 9. Distribusi Item Skala PAD Pra Uji Coba

No Aspek PAD Favorable Unfavorable Total

1 Pandangan orangtua terhadap anak

Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 11 Mei hingga 20

Mei 2009. Skala PAD disebarkan kepada 80 dengan masa usia

dewasa awal. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subyek

langsung di tempat kos dan menitipkan pada mahasiswa Psikologi

dan mahasiswa non-Psikologi. Total sampel sebanyak 80 orang

dengan rentang usia 18 tahun sampai 24 tahun yang terdiri dari 40

mahasiswa psikologi dan 40 mahasiswa non-psikologi. Mahasiswa

(58)

Mahasiswa non-Psikologi terdiri dari 26 subyek perempuan dan 14

subyek laki-laki.

c. Hasil Uji Coba Skala PAD

i. Analisis Butir

Hasil analisis skala PAD berkisar antara 0.113 sampai dengan

0.765. Dari hasil analisis kemudian butir-butir item diseleksi

dengan cara menggugurkan butir-butir item dengan batasan

kriteria rix≥ 0.30. Hasil seleksi terhadap 60 butir item terdapat 58

item yang sahih atau layak digunakan sebagai pernyataan dalam

penelitian dan terdapat 2 item yang gugur. Berikut tabel

penyebaran item yang sahih dan yang gugur pada skala PAD :

Tabel 10. Distribusi item skala PAD

No Pernyataan

Sebelum Uji Coba Item yang Gugur Setelah Uji Coba

(59)

kontrol 50, 51,

Tabel 11. Penomoran Ulang Distribusi Item Skala PAD

No Aspek PAD Favorable Unfavorable Total

1 Pandangan orangtua terhadap anak

ii. Uji Reliabilitas

Reliabilitas menunjuk kepada taraf kepercayaan atau taraf

konsistensi hasil ukur. Dalam aplikasinya, reliabilitas yang

dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada

dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. semakin mendekati 1,00

koefisien reliabilitas semakin tinggi. Sebaliknya koefisien yang

semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitas

(Azwar, 2001).

Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat taraf kepercayaan

(60)

dihitung dengan koefisien alpha cronbach (Azwar, 2001). Hasil

perhitungan koefisien pada uji coba skala PAD adalah sebesar

0.965. Setelah seleksi item diperoleh koefisien alpha Cronbach

sebesar 0.966. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

skala PAD dapat menunjukkan daya keterandalan yang tinggi.

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis

Multiple Regression. Analisis regresi adalah jenis uji statistika yang dipakai

untuk melihat daya prediksi variabel independen (prediktor) terhadap

variabel dependen (kriterium) (Widhiarso, 2009). Analisis Multiple

Regression dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi

(61)

A. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah adalah perempuan dan laki-laki pada usia

dewasa awal, yaitu pada usia 17 tahun sampai 45 tahun dan sedang

menjalani masa kuliah pada jurusan psikologi dan non psikologi. Alat

ukur disebarkan kepada 130 subyek dan kembali 120.

Data mengenai subyek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin

dan pengetahuan psikologi yang ditempuh dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 12. Deskripsi Data Subyek

Jenis kelamin Jenis

pendidikan

Rentang Usia

Perempuan Laki-laki

Total

18 – 23 tahun 27 25 52

Psikologi

24 – 27 tahun 3 5 8

18 – 23 tahun 30 30 60

Non

psikologi 24 – 27 tahun 0 0 0

Total 60 60 120

2. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi data penelitian untuk mengetahui deskripsi umum setiap

variabel penelitian dengan membandingkan antara keadaan hipotetik

(kemungkinan terjadi) dan empirik (data penelitian). Perbedaan rerata

hipotetik dan empirik dilakukan dengan menggunakan one sample T test.

(62)

Tabel 13. Deskripsi Data Penelitian

Deskripsi Data Empati PAD

Mean 75 145

Mean difference 12.592 31.350

Hasil analisis one sample t-tes pada variabel empati p<0.01, yang

berarti bahwa empati pada subyek secara umum signifikan tinggi.

Sedangkan pada variabel PAD menunjukkan p<0.01, hal ini berarti

secara umum subyek menerima pola asuh yang signifikan tinggi pada

PAD di dalam keluarganya.

Tabel 14. Deskripsi Data Jenis Kelamin dan Jenis Pendidikan

Empati PAD

Keterangan N

SD t Mean p SD t Mean p

Perempuan 60 5.608 123.409 89.35 0.000 28.078 48.747 176.70 0.000

Laki-Laki 60 5.440 122.206 85.83 0.000 17.083 79.804 176.00 0.000

Psikologi 60 5.571 123.033 88.48 0.000 25.441 52.795 173.40 0.000

Non Psikologi

60 5.890 114.026 86.70 0.000 20.385 68.132 79.30 0.000

Dari hasil analisis one sample t-tes empati jenis kelamin, pada

perempuan diperoleh mean sebesar 89.35 dengan p=0.000 (p<0.05).

Pada laki-laki diperoleh mean sebesar 85.83 dengan p=0.000 (p<0.05)

yang berarti bahwa empati pada subyek berdasarkan jenis kelamin secara

umum signifikan tinggi. Sedangkan PAD pada perempuan memperoleh

(63)

memperoleh mean sebesar 176.00 dengan p=0.000 (p<0.05) hal ini

berarti secara umum subyek berdasarkan jenis kelamin menerima pola

asuh yang signifikan tinggi pada PAD di dalam keluarganya.

Pada hasil analisis one sample t-tes empati pengetahuan psikologi,

pada mahasiswa psikologi diperoleh mean sebesar 88.48 dengan

p=0.000 (p<0.05). Pada mahasiswa non psikologi diperoleh mean

sebesar 86.70 dengan p=0.000 (p<0.05) yang berarti bahwa empati pada

subyek berdasarkan pengetahuan psikologi secara umum signifikan

tinggi. Sedangkan PAD pada mahasiswa psikologi memperoleh mean

sebesar 173.40 dengan p=0.000 (p<0.05) dan pada mahasiswa non

psikologi memperoleh mean sebesar 179.30 dengan p=0.000 (p<0.05)

hal ini berarti secara umum subyek berdasarkan pengetahuan psikologi

menerima pola asuh yang signifikan tinggi pada PAD di dalam

keluarganya.

B. Hasil Penelitian

Analisis data hubungan antara empati dengan jenis kelamin, PAD dan

pendidikan masa dewasa dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.

Dalam melakukan analisis regresi, terlebih dahulu perlu dilakukan uji

asumsi data penelitian.

1. Uji Asumsi Data Penelitian

Gambar

Tabel 2. Skor Skala
Tabel 3. Blue Print Empati
Tabel 5. Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur
Tabel 7. Penomoran ulang distribusi item skala empati
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM

Berdasarkan kendala-kendala dalam pembelajaran siklus I yang telah diuraikan di atas, selanjutnya dilakukan beberapa upaya perbaikan untuk mengatasi kendala-kendala