Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
F. Andri Yanuarita NIM : 049114103
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
F. Andri Yanuarita NIM : 049114103
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2010
Aku bukan milikku
Segala yang aku punya bukan milikku
Aku bukan apa-apa
Adaku karena aku dikasihi
Ternyata aku tidak harus memilih
Karena ternyata aku sudah dipilih
Aku hanya perlu memutuskan
Untuk berkata ya dan aku terus berjalan
Di jalan yang sudah ditentukan
Hiduplah bukan demi apa-apa
Hiduplah karena sudah diberi hidup oleh Tuhan
Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus atas segalanya
Engkau memberikan segalanya yang terbaik untukku
Orangtuaku terkasih Bapak Norbertus Sutarjo dan Ibu Norberta Siti Nasiah
Melalui Bapak dan Mamak karya Tuhan terlihat nyata
Adik-adikku tercinta Agnes Anna Wulan Nuari dan Anastasya Intan Cantika
Kemanapun kita melangkah jangan melupakan jalan,
Jalan yang membawa kita untuk bisa “kembali pulang”
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mencari peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pendidikan pada masa dewasa yaitu pengetahuan psikologi. Subyek dalam penelitian ini adalah perempuan dan laki-laki usia dewasa awal dengan jumlah 120 orang. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala empati yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.866 dan skala pola asuh demokratis menurut persepsi anak yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.966. Hipotesis yang diajukan adalah ada peran jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi terhadap empati. Analisis data dengan menggunakan analisis regresi dan memperoleh hasil F = 7.816 dengan p = 0.000 (p<0.05). Hasil nilai standar koefisien beta antara empati dengan jenis kelamin sebesar -0.312, empati dengan PAD sebesar 0.229, dan empati dengan pengetahuan psikologi sebesar -0.193. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin memiliki peranan prediktor paling besar pada empati empati, kemudian peranan prediktor dibawah jenis kelamin adalah PAD dan peranan prediktor paling rendah adalah pengetahuan psikologi. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat empati dengan jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi pada taraf kepercayaan 95 %.
Kata kunci : empati, jenis kelamin, pola asuh demokratis, pendidikan psikologi.
ABSTRACT
This research was aimed to find the role of sexual status, childhood education which in this case was democratic upbringing pattern and adultery education which was psychology knowledge. The subjects in this research were 120 men and women in their early adulthood age. The instrument used for data collection was empathy scale which had 0.866 reliability and democratic upbringing pattern of children’s perspective scale which had 0.966 reliability. The hypothesis presented was the role of sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge toward empathy. The data analysis used regression analysis and the result was F = 7.816 with p = 0.000 (p<0.05). The result of beta coefficient standard of value between empathy toward sexual status was -0.312, empathy toward DUP was 0.229, empathy toward psychology knowledge was -0.193. From the result above, it can be inferred that sexual status has the biggest predictor role toward empathy, then the second rank after the sexual status is DUP and the last one is psychology knowledge. It can also be concluded that there is a significant relation among empathy grade toward sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge at trustiness grade of 95%.
Key words : empathy, sexual status, democratic upbringing pattern, psychology education.
pemeliharaan dan kesetiaan-Nya sampai akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati” dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko., S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah dengan sabar membimbing, hingga skripsi ini selesai. 3. P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menjalankan studi.
4. Ibu A. Tanti Arini., S.Psi., M.Si dan Ibu M. M. Nimas E. S., S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen penguji penguji skripsi, terima kasih atas saran dan bimbingan hingga penyelesaian skripsi.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis.
6. Seluruh staf karyawan di Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie. Terima kasih atas segala pelayanannya.
7. Orang tuaku terkasih Bapak dan Mamak yang selalu mendukung dan mendoakan. Apapun jalan yang kupilih, andri tetap sayang Bapak dan Mamak.
8. Dek Anna dan Dek Intan, “don’t worry jesus Bless you and me forever”. 9. Keluarga Besar Sardjono dan Sri Sukati, Hadi Pawira dan Sariyem, terima
kasih telah mendampingiku dalam doamu.
10.Keluarga besar MahaGenta Khatulistiwa Art Performance Community dan Lumen Indonesia: Maria Goretti Tunjung Biru Anggorowerti, terima kasih
melaluinya bersama.
11.Sahabat-sahabat seperjuangan: Ony, Uci, Ita, Kadek terima kasih teman-teman, meski konsep persahabatan kita beda, kalian sudah menjadi sahabat-sahabat terbaik. Ku nikmati indahnya dunia bersama kalian.”biarkan Tuhan berkarya dalam hidup kita”.
12.Teman-teman Psikologi USD angkatan 2004 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaan kita teman.
13.Berbagai pihak yang telah membantu penyebaran dan mengisi skala penelitian: Maria, Ayu, Dita, Rita, Agung, Catrin, dan teman-teman mahasiswa USD yang telah bersedia mengisi skala peneliti. Terima kasih ya, terus semangat.
14.Rini (PBI) dan Ison (S Ing) terima kasih sudah menjadi translator.
15.Teman-teman Hidden Kost, Mbak Lusi, Mbak Cla, Kaka, Mala, Lini, Shella, Catrin, Dini, Iphent, Vio, Putri, Rosa, Lia, Mimi, Rina, Monik, Nana, terima kasih!! semua menjadi lengkap dengan kebersamaan kita.
16.Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati menerima setiap kritik dan masukan yang membangun. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
F. Andri Yanuarita
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
A. Empati ... 8
1. Pengertian Empati ... 8
2. Aspek-aspek Empati ... 9
3. Perkembangan Empati ... 11
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati ... 13
B. Jenis Kelamin ... 15
1. Kemampuan Intelektual ...15
2. Kemampuan Intuisi ...16
3. Perilaku Peran Jenis Kelamin ... 16
3. Ciri-ciri Orangtua yang Menerapkan Pola Asuh Demokratis ... 20
D. Pengetahuan tentang Psikologi Manusia ... 22
E. Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati ... 23
F. Hipotesis ... 27
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 28
A. Jenis Penelitian ... 28
B. Identifikasi Variabel ... 28
1. Variabel prediktor ... 28
2. Variabel Kriterium ... 28
C. Definisi Operasional ... 29
1. Jenis kelamin ...29
2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Demokratis ... 29
3. Pengetahuan Psikologi ... 29
4. Empati ... 29
D. Subyek Penelitian ... 30
E. Metode Pengumpulan Data ... 30
F. Alat Pengumpulan Data ... 34
1. Skala Empati ... 32
2. Skala Pola Asuh Demokratis ... 39
G. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44
A. Deskripsi Hasil Penelitian ... 44
1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 44
2. Deskripsi Data Penelitian ... 44
B. Hasil Penelitian ... 46
1. Uji Asumsi Penelitian ... 47
2. Uji Hipotesis Penelitian ... 48
C. Pembahasan ... 50
BAB V. PENUTUP... 54
A. Kesimpulan ... 54
B. Saran ...54
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 59
Tabel 3 : Blue Print Empati
Tabel 4 : Distribusi Item Skala Empati Pra Uji Coba
Tabel 5 : Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati Tabel 6 : Distribusi item skala empati setelah uji coba
Tabel 7 : Penomoran ulang distribusi item skala empati Tabel 8 : Blue Print PAD
Tabel 9 : Distribusi Item Skala PAD Pra Uji Coba Tabel 10 : Distribusi item skala PAD
Tabel 11 : Penomoran Ulang Distribusi Item Skala Pola Asuh Demokratis Tabel 12 : Deskripsi Data Subyek
Tabel 13 : Deskripsi Data Penelitian
Tabel 14 : Deskripsi Data Jenis Kelamin dan Jenis Pendidikan Tabel 15 : Hasil Uji Linieritas
Tabel 16 : Hasil Anova Analisis Regresi Tabel 15 : Hasil Coefficient Analisis Regresi
Reliabilitas Skala Empati dan Pola Asuh Demokratis
Skala Penelitian Empati dan Pola Asuh Demokratis
Lampiran B : Hasil Statistik Deskriptif data Penelitian
Hasil Analisis One Sample T-test
Lampiran C : Hasil Uji Normalitas
Hasil Uji Heteroskedastisitas / Homogenitas variansi
Hasil Uji Multikolinear
Hasil Uji Linearitas
Hasil Analisis Regresi
A. Latar Belakang Masalah
Berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan psikologis dan
kebutuhan praktis bagi manusia. Pada taraf psikologis setiap manusia
memerlukan teman dan ketentraman serta ketenangan batin yang berasal
dari rasa terlibat dalam suatu kelompok sosial yang anggotanya memiliki
gagasan dan pola perilaku yang sama. Pada taraf praktis, setiap individu
memerlukan kerjasama dengan orang lain agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup seperti pangan, pekerjaan dan keamanan (Korn & Manesa dalam
Andriani, 2001).
Tanpa orang lain, individu tidak bergaul, tidak berbicara, tidak
bertukar pikiran dan tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan
orang lain. Namun demikian bukan berarti dalam berhubungan dengan
orang lain semua akan menjadi baik dan lancar. Banyak hal yang diperlukan
manusia untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, yang
biasa disebut keterampilan sosial (Andriani, 2001). Keterampilan sosial
yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial
dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat
bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat saling
menguntungkan orang lain (Combs & Slaby dalam Cartledge & Milburn,
1995).
Perkembangan keterampilan sosial sendiri dipengaruhi oleh
kemampuan sosial kognitifnya, yaitu keterampilan memproses semua
informasi yang ada dalam proses sosial. Salah satu kemampuan sosial
kognitif yang cukup penting adalah kemampuan melihat dari perspektif
orang lain (perspective taking) dan kemampuan berempati (Robinson &
Garber, 1995). Dengan memiliki empati individu mampu memahami
perspektif individu lain untuk dapat menghayati masalah atau kebutuhan
yang tersirat pada individu lain.
Kurangnya kemampuan berempati akan menimbulkan
kesalahpahaman terhadap kondisi orang lain yang berujung pada perilaku
semena-mena. Misalnya kasus mahasiswa demo mengeroyok pasien ICCU
dan putranya saat mereka memberikan perlawanan ketika dilarang melintasi
jalan menuju rumah sakit. (www.noertika.wordpress.com, 25 April 2007).
Empati dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan menolong
dengan mengurangi penderitaan individu lain. Individu yang berempati
mampu memahami cara pandang dan cara berpikir individu lain dan
membuat individu dapat memposisikan dirinya sebagai individu yang
bermasalah sehingga individu tersebut tahu apa yang sebaiknya ia lakukan
kepada individu yang memiliki masalah (Setyawan, 2007).
Empati yang paling besar ditujukan pada orang lain yang mirip dengan
diri sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik (Baron &
Byrne, 2005). Jane Strayer (dalam Azar, 1999) menyatakan bahwa setiap
empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan
tersebut dihambat atau menjadi bagian penting dari diri. Dengan demikian
berarti bahwa komponen kognisi harus dapat menghadapi obyek yang
dihadapinya agar timbul suatu sikap yang dikehendaki. Oleh karena itu
mempelajari karakteristik subyek manusia atau kejadian-kejadian adalah
penting dalam pembentukan suatu sikap yang dalam hal yang sebenarnya
menyangkut segi konseptual dan faktor senang atau tidak senang terhadap
permasalahan (Andriani, 2001).
Pendidikan Psikologi mempelajari jiwa manusia yang kemudian akan
tampak pada perilaku. Belajar dibidang psikologi berarti juga mempelajari
perilaku manusia dan proses-proses yang mendasarinya. Mempelajari
psikologi adalah mempelajari karakteristik subyek manusia dan diharapkan
seseorang yang mempelajari psikologi akan memahami mengapa seseorang
berperilaku sebagaimana yang tampak (Andriani, 2001). Latipun (2006),
juga menyatakan tenaga profesional khususnya yang menjalankan tugas
memberikan bantuan (helping relationship) seperti konselor, psikolog, dan
pekerja sosial sangat membutuhkan pengetahuan dasar yang berupa keahlian
maupun yang berhubungan dengan penguasaan keterampilan. Rachman &
Savitri (2007) mengungkapkan banyak orang berpendapat bahwa psikolog
jagonya berempati, namun dalam observasi dilapangan tampak bahwa tidak
semua psikolog mampu berempati. Berdasar pengalaman penulis dalam
berelasi dengan mahasiswa psikologi, tampak bahwa tidak semua
mahasiswa non psikologi tidak berempati dengan orang lain. Kemampuan
empati penting bagi mahasiswa psikologi karena kemampuan empati
menjadi salah satu kemampuan yang dibutuhkan. Dari gambaran tersebut
peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah dengan belajar psikologi seseorang
akan mempunyai kemampuan berempati yang lebih baik dari mahasiswa
non psikologi.
Selain proses belajar pada masa dewasa, pendidikan yang diperoleh
individu pada masa kecil juga dianggap memiliki peran pada empati.
Pendidikan masa kecil yang dimaksud adalah pola pengasuhan anak yang
terjadi pada masa kecil. Menurut Hurlock (1973) ada tiga jenis pola asuh
dalam keluarga yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh
permisif. Pada penelitian ini, peneliti tertarik dengan sistem pola asuh
demokratis (PAD) karena dilihat dari karakteristiknya, PAD diduga
memiliki peran terhadap empati.
PAD merupakan pola asuh di mana orangtua melibatkan anak dan
anggota keluarga dalam pengambilan keputusan tentang aktivitas yang akan
dilakukan anak, memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak untuk
mencapai tujuan. Anak boleh mengemukakan pendapat, berdiskusi dengan
orangtua, menentukan dan mengambil keputusan bagi aktivitasnya. Di
samping itu orangtua tetap memberikan kontrol atas perilaku anak, bahkan
aktivitas yang akan dijalani anak perlu mendapat persetujuan dari orangtua.
Pola asuh ini menghasilkan suasana sehat, membentuk rasa aman anggota
menjadi seorang yang dapat diajak bekerja sama, mandiri, percaya diri,
kreatif dan ramah. Dengan kata lain, dalam pola asuh tersebut ada upaya
orangtua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal. Anak dibebaskan dalam batas-batas tertentu
untuk mengembangkan kepribadiannya (Suwarsa dalam Petranto, 2008).
Dengan kebebasan dan segala dukungan yang diberikan pada anak, diduga
anak akan merasa aman dan dapat leluasa mengembangkan diri secara
optimal begitu juga dalam mengembangkan kemampuan empati di dalam
dirinya.
Faktor lain yang penting adalah jenis kelamin. Goleman (1999)
berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh pada empati.
Namun pada penelitian Davis (1980), menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan empati pada perempuan dan laki-laki yaitu perempuan lebih
berempati dari pada laki-laki. Pada penelitian Trobst, Collins & Embree
(Baron & Byrne, 2005) juga menunjukkan bahwa perempuan
mengekspresikan tingkat empati lebih tinggi daripada laki-laki. Dan dari
pengalaman penulis di lapangan juga terlihat bahwa perempuan lebih
berempati dari pada laki-laki, namun ada juga laki-laki yang mampu
menunjukkan empatinya dengan baik. Dari penjabaran tersebut peneliti
ingin melihat apakah pada penelitian ini mahasiswa perempuan lebih
berempati daripada mahasiswa laki-laki sehingga dapat menunjukkan
apakah empati dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada penelitian sebelumnya
dilakukan begitu juga dengan PAD dan pengetahuan psikologi dengan
empati belum pernah dilakukan sehingga penulis tertarik dan ingin melihat
lebih lanjut keterkaitan antara empati dengan jenis kelamin, PAD dan
pengetahuan psikologi. Dari penjelasan di atas peneliti memprediksi adanya
peran jenis kelamin, PAD, dan pengetahuan psikologi terhadap empati.
B. Rumusan Masalah
Dari hal yang tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada
peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis
dan pengetahuan psikologi terhadap empati?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran jenis kelamin, pendidikan
pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi
terhadap empati.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan manfaat dalam bidang psikologi klinis, psikologi
perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai
pengembangan konsep empati.
b. Memberikan pengetahuan terhadap mahasiswa psikologi bahwa
dengan orang lain membutuhkan kemampuan empati, dari sebab itu
mahasiswa dapat mempersiapkan dirinya dengan mempelajari dan
mengasah empatinya dengan baik.
c. Menambah wawasan peneliti tentang empati dan keterkaitannya
dalam pendidikan, pola asuh keluarga dan perbedaan gender, serta
memberikan inspirasi dalam penemuan penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan
tentang sistem pola asuh demokratis dan kaitannya dengan empati.
Dari hal tersebut orangtua dapat memilih pola asuh seperti apa yang
sebaiknya diterapkan dalam keluarga.
b. Bagi mahasiswa non psikologi, penelitian ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan tentang empati dan keterkaitannya dengan
perbedaan jenis kelamin, pola asuh keluarga dan pendidikan pada
masa dewasa, serta dapat digunakan sebagai bahan refleksi diri yang
A. Empati
1. Pengertian Empati
Menurut APA Dictionary of Psychology (2006 : 327), empati
diartikan :
“Understanding a person from his or her frame of reference rather
than one’s own, so that one vicariously experiences the person’s
feelings, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self,
entail motivation to be of assistance, although it may turn into
sympathy or personal disstres, which may result in action”.
Mengerti individu lebih pada sudut pandangnya dari pada sudut
pandang kita sendiri, sehingga dapat mewakili pengalaman perasaan,
persepsi dan pikiran individu tersebut. Empati kemudian dapat mengarah
pada perasaan simpati atau perasaan distres yang mungkin menghasilkan
tindakan.
Menurut Rogers suatu pemahaman empatik adalah memahami
kerangka acuan internal (internal frame of reference) orang lain (Hall &
Lindzey dalam Supratiknya, 1993). Hal yang sama juga diungkapkan
oleh Goleman (1999) bahwa kemampuan berempati adalah kemampuan
untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, melihat dunia dari
mata orang lain, dapat membaca emosi-emosi orang lain dan menghargai
mereka melalui apa yang kita katakan dan lakukan.
Mampu berempati dengan tepat memerlukan perpaduan antara
keterampilan kognitif dan afektif. Komponen afektif dari empati juga
termasuk merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain
tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan
sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka (Schlenker & Britt
dalam Baron & Byrne, 2005). Komponen kognitif yaitu kognisi yang
relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang
orang lain yang disebut juga sebagai mengambil perspektif (perspektif
taking) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang
lain. Baron & Byrne (2005) mengungkapkan bahwa empati adalah
respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang
lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional
orang lain, merasa empatik dan mencoba menyelesaikan masalah serta
mengambil perspektif orang lain
2. Aspek-aspek Empati
Dalam Davis (1980), aspek-aspek empati yaitu:
a. Perspektif taking
Perspektif taking adalah pengambilan secara spontan sudut
pandang orang lain. Mengambil perspektif adalah kemampuan
selain itu merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
posisi orang lain.
b. Fantasy
Fantasy adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah diri
ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat
dalam film-film, buku, maupun dalam permainan. Di mana fantasi
merupakan salah satu tipe dari pengambilan perspektif yakni
individu merasa empati pada karakter fiktif. Sebagai akibatnya,
terdapat reaksi emosional terhadap kegembiraan, kesedihan dan
ketakutan yang dialami oleh seseorang atau tokoh lain dalam sebuah
buku, film, atau program televisi.
c. Empathy concern
Empathy concern adalah orientasi seseorang terhadap orang lain
berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa
kemalangan. Dengan kata lain kemampuan seseorang dalam
memahami cara pandang dan perasaan orang lain dengan cara orang
tersebut memandang dan merasakan atau melihat dirinya sendiri.
Dalam hal ini individu tidak hanya merasakan penderitaan orang lain
tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan
sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka.
d. Personal distress
Personal distress adalah perasaan cemas dan gelisah ketika
merasakan tekanan emosional yang dialami orang lain tetapi tidak
terpengaruh dengan keadaan emosional orang lain tersebut.
3. Perkembangan Empati
Menurut Damon (dalam Santrock, 1990), empati mencakup
bagaimana individu bereaksi dalam emosi yang berbeda sebagai respon
menyamai perasaan orang lain. Berikut ini tabel perkembangan empati
secara alami pada anak-anak menurut deskripsi Damon:
Tabel 1. Perkembangan Empati Pada Anak-Anak
Usia Perkembangan Empati
Bayi Masih berupa empati secara global. Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan dan kebutuhan orang lain.
1 - 2 tahun Individu mulai mampu merasakan ketidaknyamanan orang lain dan mulai memperhatikannya walau belum dapat memahaminya dengan jelas. Namun individu pada usia ini belum dapat menerjemahkan perasaan tersebut dalam tingkah laku yang afektif.
Masa kanak -kanak awal
Anak menjadi sadar akan adanya perspektif orang lain yang berbeda dan memahami bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar terhadap kesusahan orang lain.
Usia 10 - 12 tahun
Anak sudah membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan pemahamannya mengenai politik.
Dengan bertambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif,
anak-anak secara bertahap belajar mengenali tanda-tanda kesedihan
orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku
peranan orang lain dengan respon yang sama dengan orang lain tersebut
(Damon dalam Baron & Byrne, 2005). Empati terjadi ketika kita melihat
situasi dari sudut pandang orang lain, yang membuat kita merasakan apa
yang orang lain rasakan. Misalnya, kita dapat membayangkan apa yang
orang lain rasakan saat kehilangan pekerjaannya dengan demikian kita
dapat berempati dengan keadaannya (Omdahl dalam Planalp, 1999).
Pada usia dewasa awal antara 17 sampai 45 tahun (Levinson dalam
Monks dkk, 2002), individu masuk dalam tahap empati abstrak yaitu
individu mengembangkan empati mereka tidak hanya kepada orang yang
mereka kenal atau mereka lihat secara langsung, namun juga termasuk
kelompok orang yang belum pernah mereka jumpai (Yarrow & Waxler
dalam Shapiro,1997). Dengan bertambah matangnya wawasan dan
kemampuan kognitif, individu secara bertahap belajar mengenali
tanda-tanda kesedihan orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya
dengan perilaku yang tepat (Shapiro, 1997).
Pada masa dewasa awal ini, menurut Piaget perkembangan kognitif
individu berada pada tahap operasional formal di mana individu sudah
dapat berpikir secara abstrak tanpa harus mengalami pengalaman
konkret. Individu dapat mengembangkan citra yang ideal dengan
imajinasinya. Individu mengalami perluasan kemampuan kognitif
dimana individu berpikir tentang dunia sosialnya dan tidak hanya
terpaku dirinya sendiri. Individu memikirkan hubungannya terhadap
tempat tinggalnya, teman-temanya dan organisasi yang diikutinya
(Santrock, 1995).
Pada masa ini, perkembangan emosional belum stabil (Santrock,
1995). Individu mengalami ketegangan emosi yang berhubungan dengan
persoalan-persoalan yang dialaminya seperti persoalan jabatan,
perkawinan, keuangan, tuntutan sosial dan sebagainya. Ketegangan
emosi yang timbul itu bertingkat-tingkat pula selaras dengan intensitas
persoalan yang dihadapinya dan sejauh mana seseorang dapat mengatasi
persoalan yang dihadapi tersebut (Mappire, 1983). Ketika seseorang
mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya diduga empati yang
dimilikinya akan ikut terasah pula yakni ketika individu mampu
menghadapi dirinya sendiri maka individu akan mampu pula
menghadapi orang lain.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati
a. Faktor Internal
Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi
individu secara alamiah yaitu faktor jenis kelamin. Jenis kelamin
merupakan faktor alami yang mempengaruhi empati seseorang.
Adanya perbedaan kemampuan berdasarkan jenis kelamin yaitu
perbedaan kemampuan intelektual, intuisi, perilaku peran jenis
kelamin dan perbedaan karakter. Perbedaan kemampuan inilah yang
ini menjadi salah satu variabel prediktor maka secara lebih rinci akan
dijelaskan pada bagian tersendiri.
b. Faktor Eksternal
Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi
empati dengan adanya suatu proses, seperti proses dalam hubungan
sosial dan proses belajar. Faktor-faktor eksternal antara lain:
i. Lingkungan Keluarga
Keluarga menjadi tempat pertama kalinya individu belajar
mengenali nila-nilai kehidupan dari orangtuanya. Di dalam
lingkungan ini individu mulai mengenal dan meniru model
orangtua yang secara tidak langsung mengembangkan kecerdasan
emosional. Salah satu kecerdasan emosional adalah kemampuan
berempati. Menurut Yarrow dan Waxler dalam Goleman, 2007
sebagian besar kepekaan empati pada anak berkaitan dengan
bagaimana orangtua menerapkan disiplin pada anak. Anak
menjadi lebih empatik bila kedisiplinan orangtua mencakup
memberi perhatian sungguh-sungguh atas kemalangan orang lain
yang disebabkan oleh mereka. Yarrow dan Waxler juga
menemukan bahwa empati anak terbentuk pula dengan melihat
bagaimana orang lain memberikan reaksi terhadap kesedihan
orang lain. Dengan meniru apa yang mereka lihat, anak
mengembangkan empati terutama untuk menanggapi kesusahan
ii. Lingkungan Sekolah
Sekolah sebagai institusi formal pendidikan mempunyai andil
besar dalam hal peningkatan kemampuan manusia, salah satunya
adalah empati. Di sekolah individu belajar berinteraksi langsung
dengan orang lain, baik teman sebaya maupun orang yang lebih
tua yaitu guru mereka. Apabila sejak kecil anak-anak sudah
terbiasa untuk mendengar, melihat, dan merasakan dari sudut
pandang orang lain, maka anak tidak akan menyakiti dan
merugikan orang lain. Melalui sekolah individu akan
memperoleh banyak informasi dan pengertian akan nilai-nilai
baru baik dari sekolah maupun dari hubungan dengan teman
sebaya (Mappiare, 1982).
B. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan pengkategorian seks secara biologis yang
terungkap dari identitas diri sebagai wanita maupun pria. Pengkategorian
perbedaan antara wanita dan pria di bawah ini, dipilih berdasarkan dugaan
yang dimungkinkan ada hubungannya dengan empati.
1. Kemampuan Intelektual
Maccoby dan Jacklin (dalam Stephan, 1985) menyatakan bahwa
wanita memiliki kemampuan verbal yang lebih baik daripada pria yang
dimulai sejak usia 11 tahun. Wanita lebih superior dari pria dalam
2. Kemampuan Intuisi
Menurut Kartono (1992) intuisi pada wanita dan pria berbeda.
Intuisi atau bisa juga disebut logika dari hati atau radar hati wanita lebih
tajam daripada pria. Intuisi merupakan suatu proses merasakan hal-hal
diluar dirinya tanpa disadari. Ketajaman intuisi tergantung pada simpati
dan cinta pada objek yang diminati, dan tergantung pada relasi psikisnya
dengan subyek. Intuisi berfungsi sebagai mekanisme pelindung bagi
wanita, karena memberikan sinyal-sinyal tanda bahaya dari luar yang
mengancam eksistensi dan kemurnian dirinya.
3. Perilaku Peran Jenis Kelamin
Pria pada dasarnya lebih mampu berpikir secara rasional dalam
menghadapi berbagai masalah sedangkan wanita lebih menggunakan
perasaannya. Pria lebih dituntut untuk mampu mandiri dan mencari
nafkah bagi keluarganya, sedangkan wanita lebih dituntut untuk mampu
mendidik anak dan mengerjakan pekerjaan rumah (Maramis, 1990).
4. Perbedaan Karakter
Kartono (1992) mengemukakan perbedaan karakter antara wanita
dan pria, sebagai berikut :
a. Wanita lebih dekat pada masalah kehidupan yang praktis konkrit,
sedangkan pria lebih tertarik pada segi kejiwaan yang abstrak.
Misalnya; wanita sangat menikmti masalah rumah tangga, kehidupn
sehari-hari, dan peristiwa lain di sekitar rumah tangganya. Pria pada
belakang teoritis untuk dipikirkan lebih lanjut, mempunyaai tendensi
tertentu sesuai dengan minatnya atau berhubungan dengan dirinya
sendiri.
b. Wanita pada umumnya sangat bergairah dan penuh vitalitas hidup,
sedangkan pria pada umumnya memiliki sifat lebih lamban, lebih
berat mengendap sehingga tampak kurang lincah. Hal ini membuat
wanita tampak lebih spontan dan impulsif.
c. Wanita lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial, mungkin
dikarenakan lebih banyak mengalami duka derita lahir batin terutama
pada saat melahirkan sehiangga ia lebih tertarik pada kehidupan
orang lain. Pria bersifat lebih egosentris atau berpusat pada diri,
mereka lebih objektif dan mengarah pada hal pokok.
d. Kaum pria cenderung egosentris atau self oriented, berperan sebagai
pengambil inisiatif untuk memberikan rangsangan dan pengarahan,
dan menganggap dunia ini miliknya sebagai ruang untuk berprestasi
dan bekerja. Wanita merupakan kebalikannya biasanya mereka tidak
agresif, sifatnya lebih pasif, suka melindungi, memelihara,
mempertahankan.
e. Pada wanita fungsi sekunderitas atau fungsi dari tanggapan yang
mempengaruhi secara sekunder kehidupan kejiwaan kita tidak
terletak dibidang intelektual melainkan di perasaan. Nilai perasaan
struktur kepribadiannya, jika dibandingkan dengan nilai perasaan
kaum pria.
f. Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah-masalah politik,
terlebih politik yang menggunakan cara-cara licik, munafik dan
kekerasan. Wanita lebih banyak menunjukkan tanda-tanda
emosionalnya, karena itu biasanya wanita memilih bidang dan
pekerjaan yang banyak mengandung unsur relasi emosional dan
pembentukan perasaan. Misalnya : pekerjaan guru, juru rawat,
pekerja sosial, bidan, dokter, dan lain-lain.
g. Seorang wanita jika sudah memilih sesuatu dan telah memutuskan
untuk melakukan sesuatu ia tidak banyak berbimbang hati untuk
melakukan langkah selanjutnya. Hal ini berbeda dengan kaum pria
yang masih saja berbimbang hati dan terombang-ambing diantara
pilihan menolak atau menyetujui. Pada umumnya wanita juga lebih
antusias memperjuangkan pendiriannya daripada pria.
Dari perbandingan tersebut tampak bahwa wanita lebih tertarik dengan
apa yang ada di luar dirinya dari pada laki-laki, dengan demikian perempuan
dianggap lebih bisa mengekspresikan empatinya daripada laki-laki, seperti
juga tampak pada penelitian Davis (1980), wanita memiliki skor empati
C. Pola Asuh Demokratis
1. Pengertian Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis (PAD) adalah pola asuh yang
memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu
mengendalikan mereka. PAD merupakan pola pengasuhan orangtua
yang menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang
terarah, motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab
dalam mengasuh dan mendidik anak. Kebutuhan anak dalam pola asuh
ini mendapat perhatian dan pemenuhan yang cukup dari orangtua,
sehingga anak selalu merasa diterima dan diperhatikan oleh orangtua
(Hauck, 1995).
PAD akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman,
mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan
koperatif terhadap orang-orang lain (Baumrind dalam Hetherington dan
Parke, 1986). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prasetya (2003)
anak yang diasuh dengan PAD akan memiliki sikap mandiri, tegas
terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan pengendalian
diri, mudah bekerjasama dengan orang lain, ramah terhadap orang lain
dan orang yang lebih dewasa.
2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis
Kohn (Setiawan, 1996) mengemukakan aspek PAD sebagai
a. Aspek pandangan orangtua terhadap anak
Aspek pandangan orangtua terhadap anak adalah orangtua lebih
mementingkan pemahaman terhadap perasaan, keinginan dan kondisi
anak. Orangtua dalam pola asuh ini akan selalu mendorong dan
memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan bertindak
secara matang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak.
b. Aspek komunikasi
Aspek komunikasi adalah orangtua akan menerapkan pola
komunikasi dua arah. Orangtua dalam pola asuh ini akan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan
pendapatnya secara bebas.
c. Aspek pemenuhan kebutuhan anak
Aspek pemenuhan kebutuhan anak adalah orangtua akan
memberikan respon positif terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.
Kebutuhan anak dalam pola asuh ini akan lebih diutamakan daripada
kebutuhan orangtua.
d. Aspek penerapan kontrol
Aspek penerapan kontrol adalah orangtua akan menerapkan
kontrol melalui aturan-aturan yang tegas, konsisten dan rasional.
Situasi yang bermasalah dapat diselesaikan oleh orangtua secara
bijaksana dan dapat diterima oleh anak. Pemberian hukuman dalam
pola asuh ini tidak dilakukan secara fisik
Ciri-ciri orang tua yang menerapkan PAD (Elias, 2000), adalah
sebagai berikut :
a. Orangtua mampu memberikan teladan perilaku kepada anak.
b. Orangtua mampu bersikap paraphrasing (secara halus
mengungkapkan kembali pernyataan anak dengan bahasa yang lebih
tepat dan lebih baik).
c. Orangtua memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing
sikap kritis anak.
d. Orangtua memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan
mendidik anak.
e. Orangtua mampu mengikuti perkembangan anak.
Berdasarkan uraian di atas PAD adalah pola asuh yang
memprioritaskan kepentingan anak, memiliki sistem pengendali,
menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang terarah,
motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab baik anak
maupun orangtua serta anak mendapat perhatian dan pemenuhan yang
cukup dari orangtua, sehingga anak dan orangtua selalu merasa diterima
dan saling memperhatikan. Pada penelitian ini keempat aspek tersebut
digunakan untuk melihat sistem pola asuh orangtua dari sisi persepsi
D. Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia
Setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk
merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik kita yang menentukan apakah
potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dari diri
individu (Strayer dalam Baron & Byrne, 2005). Dari sebab itu,
perkembangan empati juga terjadi seturut dengan pengalaman yang telah
diperoleh seseorang selama mempelajari psikologi manusia. Pengalaman
mempelajari pengetahuan tentang psikologi manusia secara sistematis akan
mempengaruhi sikap afektif bisa berupa penerimaan akan informasi yang
ada dalam psikologi, mengorganisasikannya dengan pengalaman sehari-hari
mengenai orang lain, hingga tumbuhnya perwatakan terhadap orang lain
seiring dengan informasi yang telah diterimanya (Andriani, 2001). Selain
itu, kemampuan kognitif yang juga dipengaruhi oleh pengalaman belajar
individu dapat memetakan pengetahuannya secara sadar dan sistematis
sehingga memiliki kemampuan yang lebih dalam menerapkan apa yang
telah dipelajarinya. Dengan pemikirannya, individu mampu mengetahui
emosi dan mengevaluasi pikiran-pikiran serta perasaan yang tersembunyi
dibalik penampilan orang lain.
Manusia dibekali kemampuan untuk berpikir atau bernalar secara logis
dan sistematis. Alat-alat indera yang memberikan kemungkinan untuk
menguji kebenaran suatu pemikiran dalam suatu kerangka yang logis dan
sistematis akan menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan dapat
perilaku yang relatif permanen, baik yang dapat diamati maupun yang tidak
dapat diamati, sebagai hasil dari pengalaman atau interaksi dengan
lingkungan di mana perubahan yang dimaksudkan berkaitan erat dengan
bidang keilmuan psikologi. Pada umumnya individu belajar untuk memiliki
keterampilan baru atau menyempurnakan yang sudah ada, menambah
pengetahuan yang baru serta mengembangkan minat dan sikap baru atau
kebiasaan berpikir yang diperlukan.
E. Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia terhadap Empati
Jenis kelamin adalah pengkategorian seks secara biologis yang
terungkap dari identitas diri sebagai wanita maupun pria. Pada dasarnya
setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk
merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik individu menentukan apakah
potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian yang penting dalam
diri individu (Strayer dalam Myers 1999). Goleman (1999) mengemukakan
bahwa wanita lebih cenderung mengalami penyesuaian perasaan empati
yang spontan dari pada pria, pria kadang tampak tidak peka di depan umum
itu menunjukkan citra yang ingin ditampilkan daripada menampilkan
kemampuan empati yang mereka miliki. Pria sebenarnya memiliki
kemampuan tersembunyi yang sama banyak, tetapi kurang motivasi untuk
untuk berempati dibanding kaum wanita. Meskipun antara wanita dan pria
yang lebih terhadap perasaan orang lain. Maka diasumsikan wanita memiliki
empati yang lebih baik dibandingkan pria.
PAD adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan
tetapi tetap dalam pengawasan orangtua. Orangtua dengan pola asuh ini
bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau
pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan
anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui batas kemampuan
anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk
memilih dan melakukan suatu tindakan dan pendekatan orangtua kepada
anak bersifat hangat (Baumrind dalam Hetherington dan Parke, 1986). PAD
akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri, dapat mengontrol
diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress,
mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang
lain. Pola asuh orang tua ini sangat mempengaruhi bagaimana kelak anak
berperilaku dan bentuk-bentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Pola
asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat
relatif konsisten dari waktu ke waktu (Petranto, 2008).
Individu yang keluarganya menerapkan PAD akan menjadi seorang
yang dapat diajak bekerjasama, mandiri, percaya diri, kreatif dan ramah.
Dalam pola asuh tersebut ada upaya orangtua memberikan kesempatan
kepada anaknya untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Anak
dibebaskan dalam batas-batas tertentu untuk mengembangkan
memiliki latar belakang dengan penerapan pola asuh demokratis dalam
keluarganya diharapkan memiliki kecenderungan berempati yang lebih baik
terhadap orang lain.
Belajar psikologi secara khusus mempelajari pengetahuan tentang
psikologi manusia bisa membentuk struktur kognisi dan perilaku tertentu
dalam melihat dan menanggapi kenyataan. Hal ini dapat terjadi karena apa
yang dipelajari dalam psikologi diserap ke dalam struktur kognisi individu.
Pendalaman dan pembelajaran terhadap psikologi akan menambah wawasan
individu mengenai orang lain, baik itu perasaan, nilai-nilai, emosi, perilaku
dan hal-hal yang melatar-belakanginya. Bila individu telah mencapai tingkat
perubahan dalam struktur kognitif yaitu mengenai lingkup pengetahuan dan
kemampuan intelek yang terdiri atas pengetahuan, pemahaman, penerapan,
penjabaran, pemaduan dan penilaian; maka diduga dalam diri individu akan
terjadi perubahan afektif. Perubahan afektif ini mengenai pencapaian
pengembangan sikap yang meliputi penerimaan, penanggapan,
pengorganisasian dan perwatakan. Pengaruh belajar psikologi manusia
dalam sikap afektif bisa berupa penerimaan akan informasi yang ada dalam
psikologi, mengorganisasikannya dengan pengalaman sehari-hari mengenai
orang lain, hingga tumbuhnya perwatakan terhadap orang lain seiring
dengan informasi yang telah diterimanya.
Selanjutnya adalah perubahan dalam tingkat psikomotorik, meliputi
perangkat gerak serta tanggapan kompleks yang tampak. Perubahan pada
positif terhadap orang lain berdasarkan pemahaman dan perwatakan yang
sudah ada. Dari sini dapat di lihat bagaimana proses belajar psikologi
manusia menimbulkan pemahaman kognitif, afektif dan perilaku individu.
Generalisasi dari perubahan ini adalah kemampuan individu untuk melihat
dan menanggapi kenyataan serta kehidupan sehari-hari secara lebih objektif
dalam hal ini adalah kecenderungan dalam berempati dengan orang lain
(Andriani, 2001).
Bagi mahasiswa psikologi yang secara khusus mempelajari
pengetahuan tentang psikologi manusia secara sistematis maka diasumsikan
memiliki empati yang lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang
tidak mempelajari psikologi manusia. Dengan kata lain terjadinya perubahan
dalam struktur kognitif akan terjadi pula perubahan afektif dan perubahan
perilaku pada individu.
Dari penjabaran di atas, hubungan antara empati dengan jenis
kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan tentang psikologi manusia
yaitu kemampuan empati yang dimiliki seseorang berdasarkan jenis kelamin
dalam cakupan yang luas individu yang dikodratkan sebagai pria dan wanita.
Dan kemampuan empati yang dimiliki seseorang secara khusus berdasarkan
pola asuh yang diterapkan dalam keluarga atau pendidikan pada masa kecil,
dalam hal ini pola asuh demokratis serta secara lebih khusus lagi
BAGAN 1
Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis
Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati
Jenis Kelamin
Pola Asuh Demokratis
- Sifat Bawaan (kepekaan) - Ekspresi diri
- Penyesuaian perasaan secara spontan
- Motivasi
- Pengalaman Sosialisasi
- Sikap Rasional
- Mendasari tindakan dengan pemikiran
- kebebasan bertindak - kebebasan memilih
- belajar mengenal nilai-nilai - meniru model orang tua
EMPATI
- Pengalaman belajar
- Pengorganisasian Informasi - Pemetaan Pengetahuan - Kemampuan menerapkan
apa yang dipelajari Pengetahuan
Psikologi
F. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah ada peran jenis kelamin, pola asuh
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat korelasional.
Korelasional memiliki tujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi pada
suatu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain
yaitu antara empati dengan jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil
(PAD) dan pengetahuan psikologi (Azwar, 2001).
B. Identifikasi Variabel
Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek pengamatan
penelitian (Suryabrata, 2008).
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Prediktor
Variabel prediktor adalah variabel yang menyebabkan timbulnya
variabel kriterium (Suprapto, 2008). Variabel prediktor pada penelitian
ini yaitu jenis kelamin, PAD dan pengetahuan psikologi.
2. Variabel Kriterium
Variabel kriterium adalah variabel yang menjadi akibat karena
adanya variabel prediktor (Suprapto, 2008). Variabel kriterium pada
penelitian ini yaitu Empati.
C. Definisi Operasional 1. Jenis Kelamin
Pernyataan subyek penelitian tentang identitas jenis kelamin
2. Pola Asuh Demokratis
PAD yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi anak
terhadap PAD yaitu penilaian anak terhadap sistem pola asuh yang
diterapkan oleh orangtua di dalam keluarga. Persepsi anak tersebut
diteliti menggunakan skala PAD yang disusun berdasarkan empat aspek
PAD yaitu:
a. Aspek pandangan orangtua terhadap anak
b. Aspek komunikasi
c. Aspek pemenuhan kebutuhan anak
d. Aspek penerapan kontrol
3. Pengetahuan Psikologi
Pernyataan subyek penelitian berdasarkan identitas jurusan yang
sedang ditempuhnya dalam masa studi.
4. Empati
Empati didefinisikan sebagai pengertian terhadap orang lain dari
sudut pandang orang lain tersebut, merespon dari pengalaman
merasakan, persepsi dan pemikiran orang lain. Bisa dalam bentuk
simpati atau personal disstres ataupun akhirnya termotivasi untuk
melakukan tindakan sesuatu untuk orang lain, yakni mengekspresikan
penderitaan orang lain. Skala PAD disusun berdasarkan aspek-aspek
empati yaitu :
a. Perspektif taking
b. Fantasy
c. Empathy concern
d. Personal distress
D. Subyek Uji Coba Penelitian
Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang sedang menempuh kuliah di fakultas psikologi
dan fakultas non psikologi (Teknik mesin, Teknik Elektro, Mekatronika,
Teknik Informatika, Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Farmasi,
Matematika Murni). Subyek berjumlah 80 orang, 40 orang mahasiswa
psikologi dan 40 orang mahasiswa non psikologi.
E. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode
angket atau kuesioner yang diberikan kepada subyek penelitian. Hal ini
berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan angket yaitu bahwa bentuk
kuesioner langsung mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau
self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan
pribadi. Anggapan-anggapan yang digunakan peneliti dalam menggunakan
sendiri. Apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya. Interpretasi subyek tentang pernyataan-pernyataan yang
diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh
peneliti (Hadi, 2004).
F. Alat Pengumpulan Data
Pada uji coba penelitian ini digunakan 2 macam alat pengumpulan data
yaitu skala pertama digunakan untuk mengungkap empati pada mahasiswa.
Skala kedua digunakan untuk melihat persepsi anak terhadap sistem pola
asuh di dalam keluarga.
Pernyataan terdiri dari pernyataan yang favorabel dan unfavorabel.
Pada tiap pernyataan diberikan 4 pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S
(setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Kategori alat
pengukuran penelitian dengan pilihan jawaban dan skor yang diberikan
adalah:
Tabel 2. Skor Skala
Pilihan Jawaban Favorabel Unfavorabel
Sangat Setuju (SS) 4 1 Setuju (S) 3 2 Tidak Setuju (TS) 2 3 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
Peneliti tidak memberikan jawaban dengan jumlah ganjil dikarenakan
adanya kecenderungan subyek untuk memilih jawaban yang ada di tengah
atau memilih netral untuk menutupi keadaan dirinya yang mungkin tidak
1. Skala Empati
a. Racangan Skala Empati
Skala empati untuk pengukuran ini merupakan adaptasi dari
skala empati yang disusun oleh Davis (1980) dengan disesuaikan
oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian ini.
Tingkat empati dapat dilihat dari tinggi rendahnya skor yang
diperoleh subyek. Semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan
bahwa subyek memiliki tingkat empati yang semakin tinggi.
Sebaliknya jika semakin rendah skor yang diperoleh maka tingkat
empati pada subyek juga semakin rendah.
Tabel 3. Blue Print Empati
No Aspek Empati Favorable Unfavorable jumlah
1 Fantasy 5 item (11,11%) 4 item (8, 89 %) 9 item (20%) 2 Perspektif taking 5 item (11,11%) 4 item (8, 89 %) 9 item (20%) 3 Empathy concern 10 item (22,22%) 4 item (8, 89 %) 14 item (31,11%) 4 Personal distress 7 item (15,56 %) 6 item (13,33%) 13 item (28,89%) Total 27 item (60%) 18 item (40%) 45 item (100 %)
Tabel 4. Distribusi Item Skala Empati Pra Uji Coba
No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total
1 Fantasy 1, 2, 3, 4, 5 6, 7, 8, 9 9
2 Perspektif taking 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 9 3 Empathy concern 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28
29, 30, 31, 32 14
4 Personal distress 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39 40, 41, 42, 43, 44, 45 13
b. Uji coba Skala Empati
Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 11 Mei hingga 20
Mei 2009. Skala empati disebarkan kepada 80 subyek dengan masa
usia dewasa awal. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subyek
langsung di tempat kos dan menitipkan pada mahasiswa Psikologi
dan mahasiswa non-Psikologi. Total sampel sebanyak 80 orang
dengan rentang usia 18 tahun sampai 24 tahun yang terdiri dari 40
mahasiswa psikologi dan 40 mahasiswa non-psikologi. Mahasiswa
Psikologi terdiri dari 32 subyek perempuan dan 8 subyek laki-laki.
Mahasiswa non-Psikologi terdiri dari 26 subyek perempuan dan 14
subyek laki-laki.
c. Hasil Uji Coba Skala
Setiap penelitian pengukuran selalu diarahkan untuk mencapai
tingkat objektivitas hasil yang tinggi. Salah satu usaha yang penting
untuk menempuh hal itu adalah dengan memilih atau menyusun alat
ukur yang memiliki daya diskriminasi item, derajat validitas dan
reliabilitas yang adekuat. Problem daya diskriminasi item, validitas
dan reliabilitas alat ukur ini semakin serius bilamana pengukuran
tersebut dikenakan kepada gejala-gejala sosial atau perilaku manusia
yang sedemikian kompleks (Hadi, 1994).
i. Analisis butir
Analisis butir didefinisikan sebagai sejauh mana item dapat
memiliki atau tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2001).
analisis butir disebut juga sebagai konsistensi item total (rix)
karena merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara
fungsi item dengan fungsi skala secara keseluruhan. Konsep
inilah yang dijadikan dasar dalam seleksi item. Item-item yang
dipilih adalah item yang mengukur hal yang sama dengan apa
yang diukur oleh skala secara keseluruhan.
Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai
1.00 dengan tanda positif atau negatif, semakin baik daya
diskriminasi item maka koefisien korelasinya semakin mendekati
angka 1.00. taraf validitas item yang digunakan dalam penelitian
ini mengikuti kriteria Alpha Cronbach. Dengan patokan taraf
validitas (rix) sebesar 0.30 sampai dengan 0.50 sehingga item
yang koefisien korelasinya di bawah 0.30 dinyatakan gugur atau
perlu diperbaiki. Item yang dianggap valid adalah item yang
koefisien korelasinya sama dengan atau lebih besar dari 0.30.
Apabila jumlah item yang lolos tidak mencukupi jumlah yang
diinginkan, maka batas kriteria rix ≥ 0,30 dapat diturunkan
menjadi 0.25 dengan mempertimbangkan isi dan tujuan skala
yang sedang disusun supaya jumlah item yang diperlukan untuk
penelitian dapat tercapai (Azwar, 2000). Berikut adalah paparan
Hasil analisis skala empati berkisar antara 0,052 sampai
dengan 0,585. Dari hasil analisis kemudian butir-butir item
diseleksi dengan cara menggugurkan butir-butir item yang
memiliki koefisien korelasi kurang dari batas kriteria rix ≥ 0.25.
Hasil seleksi terhadap 45 butir item terdapat 27 item yang sahih
atau layak digunakan sebagai pernyataan dalam penelitian dan
terdapat 18 item yang gugur. Berikut tabel penyebaran item yang
sahih dan yang gugur pada skala empati:
Tabel 5. Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati
No Pernyataan
Sebelum Uji Coba Item yang Gugur Setelah Uji Coba
Item pada aspek fantasi gugur semua, hal ini dikarenakan
aspek fantasi memiliki gejala yang berbeda dengan tiga aspek
empati lain. Secara empiris tidak ditemukan kesatuan dari empat
aspek pada penelitian ini. Namun secara konseptual, penelitian
dengan menggunakan empat aspek ini pernah dilakukan. Dan
dari hasil penelitian sebelumnya ditemukan bahwa aspek fantasy
dan perspektif taking pada dasarnya tidak memiliki hubungan
yaitu dengan korelasi kurang lebih .10 pada jenis kelamin
perempuan dan laki-laki. Skor fantasy memiliki hubungan yang
moderate dengan skor empathic concern (r’= .33 dan .30), dan
memiliki hubungan yang kecil dengan personal distress.
Perspektif taking memiliki relasi yang positif dengan empathic
concern, tetapi berhubungan negatif dengan personal distress
(Davis, 1980).
Aspek fantasi melihat kecenderungan perubahan imajinasi
seseorang dalam situasi khayal dan bukan situasi realitas
kehidupan. Sedangkan ketiga aspek lain melihat pengalaman
individu dalam situasi yang nyata. Dari sebab itu, aspek fantasi
tidak memiliki hubungan dengan pengukuran empati pada
penelitian ini, sehingga aspek fantasi diabaikan pada penelitian
ini.
Demikian juga ditemukan pula perbedaan pada penelitian ini
dengan empathic concern memiliki relasi yang positif p=0.000
(p<0.05). Demikian juga dengan Perspektif taking dan personal
distress yaitu memiliki relasi yang positif p=0.000 (p<0.05), dan
antara empati concern dengan personal distress p=0.028
(p<0.05).
Tabel berikut menunjukkan penyebaran butir-butir
pernyataan dalam skala empati yang akan digunakan dalam
pengambilan data :
Tabel 6. Distribusi item skala empati setelah uji coba
No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total
1 Perspektif taking 10, 11, 12, 13, 14 16, 18 7 2 Empathy concern 19, 23, 24, 25, 26, 27,
28
29, 30, 31, 32 11
3 Personal distress 34, 35, 38, 39 40, 41, 42, 44, 45 9
Total 16 11 27
Tabel 7. Penomoran ulang distribusi item skala empati
No Aspek Empati Favorable Unfavorable Total
1 Perspektif taking 1, 2, 11, 12, 13 5, 6 7 2 Empathy concern 3, 14, 15, 16, 23, 24,
25
7, 8, 18, 19 11
3 Personal distress 4, 17, 26, 27 9, 10, 20, 21, 22 9
Total 16 11 30
ii. Uji reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu
pengukuran itu dapat memberi hasil yang relatif konsisten jika
dilakukan pengukuran ulang pada subyek yang sama dan aspek
yang akan diukur pada diri subyek juga masih tetap sama. Suatu
angket yang reliabel akan menunjukkan ketepatan, ketelitian dan
keajegan hasil dalam satu atau berbagai pengukuran (Azwar,
2001). Dalam penelitian ini, reliabilitas adalah diukur dengan
menggunakan teknik Alpa Cronbach dari program SPSS versi
12.00.
Dengan gugurnya seluruh aspek fantasi, dilakukan uji
reliabilitas per aspek, untuk melihat apakah reliabilitas skala
memiliki keterandalan yang tinggi sebagai satu kesatuan. Dari uji
reliabilitas item aspek perspektif taking diperoleh hasil koefisien
Alpha Cronbach sebesar 0.740 dari 7 item, Empaty concern
0.809 dari 12 item, dan personal distress diperoleh 0.750 dari 8
item. Dari hasil perhitungan, item ketiga aspek tersebut disatukan
dan dianalisis kembali dan hasil perhitungan koefisien Alpha
Cronbach pada uji coba skala empati adalah sebesar 0.866. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa skala empati dapat
menunjukkan daya keterandalan yang tinggi.
iii. Validitas Skala
Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam
menjalankan fungsi ukurnya, yaitu sejauh mana skala mampu
penelitian ini adalah menggunakan validitas isi sebagai pengukur
validitas skala. Validitas isi dimaksudkan untuk mengetahui
sejauh mana item-item tersebut relevan dengan tujuan
pengukuran dan menunjukkan sejauh mana tes tersebut
komprehensif isinya (Azwar, 2001). Validitas isi pada penelitian
ini dilakukan dengan jalan mengkonsultasikan item-item skala
kepada orang yang dianggap ahli yaitu dosen pembimbing
sebagai profesional judgement untuk memastikan bahwa item
tersebut sudah mencakup seluruh isi dan objek yang akan diukur
sehingga tidak keluar dari batasan indikator-indikator yang telah
ditentukan.
2. Skala PAD
a. Rancangan Skala PAD
Skala PAD dibuat berdasarkan aspek-aspek PAD yang
diungkapkan oleh Kohn. Pola asuh yang diterima subyek dapat
dilihat dari tinggi rendahnya skor yang diperoleh subyek. Semakin
tinggi skor yang diperoleh menunjukkan bahwa subyek merasa
menerima PAD dari orangtuanya. Sebaliknya jika semakin rendah
skor yang diperoleh maka subyek merasa tidak menerima PAD dari
orangtuanya.
Tabel 8. Blue Print PAD
No Aspek PAD Favorable Unfavorable jumlah
1 Pandangan orangtua terhadap anak
2 Komunikasi 8 item (13,33%) 7 item (11,67 %) 15 item (25 %)
Tabel 9. Distribusi Item Skala PAD Pra Uji Coba
No Aspek PAD Favorable Unfavorable Total
1 Pandangan orangtua terhadap anak
Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 11 Mei hingga 20
Mei 2009. Skala PAD disebarkan kepada 80 dengan masa usia
dewasa awal. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subyek
langsung di tempat kos dan menitipkan pada mahasiswa Psikologi
dan mahasiswa non-Psikologi. Total sampel sebanyak 80 orang
dengan rentang usia 18 tahun sampai 24 tahun yang terdiri dari 40
mahasiswa psikologi dan 40 mahasiswa non-psikologi. Mahasiswa
Mahasiswa non-Psikologi terdiri dari 26 subyek perempuan dan 14
subyek laki-laki.
c. Hasil Uji Coba Skala PAD
i. Analisis Butir
Hasil analisis skala PAD berkisar antara 0.113 sampai dengan
0.765. Dari hasil analisis kemudian butir-butir item diseleksi
dengan cara menggugurkan butir-butir item dengan batasan
kriteria rix≥ 0.30. Hasil seleksi terhadap 60 butir item terdapat 58
item yang sahih atau layak digunakan sebagai pernyataan dalam
penelitian dan terdapat 2 item yang gugur. Berikut tabel
penyebaran item yang sahih dan yang gugur pada skala PAD :
Tabel 10. Distribusi item skala PAD
No Pernyataan
Sebelum Uji Coba Item yang Gugur Setelah Uji Coba
kontrol 50, 51,
Tabel 11. Penomoran Ulang Distribusi Item Skala PAD
No Aspek PAD Favorable Unfavorable Total
1 Pandangan orangtua terhadap anak
ii. Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk kepada taraf kepercayaan atau taraf
konsistensi hasil ukur. Dalam aplikasinya, reliabilitas yang
dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada
dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. semakin mendekati 1,00
koefisien reliabilitas semakin tinggi. Sebaliknya koefisien yang
semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitas
(Azwar, 2001).
Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat taraf kepercayaan
dihitung dengan koefisien alpha cronbach (Azwar, 2001). Hasil
perhitungan koefisien pada uji coba skala PAD adalah sebesar
0.965. Setelah seleksi item diperoleh koefisien alpha Cronbach
sebesar 0.966. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
skala PAD dapat menunjukkan daya keterandalan yang tinggi.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
Multiple Regression. Analisis regresi adalah jenis uji statistika yang dipakai
untuk melihat daya prediksi variabel independen (prediktor) terhadap
variabel dependen (kriterium) (Widhiarso, 2009). Analisis Multiple
Regression dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah adalah perempuan dan laki-laki pada usia
dewasa awal, yaitu pada usia 17 tahun sampai 45 tahun dan sedang
menjalani masa kuliah pada jurusan psikologi dan non psikologi. Alat
ukur disebarkan kepada 130 subyek dan kembali 120.
Data mengenai subyek penelitian berdasarkan usia, jenis kelamin
dan pengetahuan psikologi yang ditempuh dijelaskan sebagai berikut :
Tabel 12. Deskripsi Data Subyek
Jenis kelamin Jenis
pendidikan
Rentang Usia
Perempuan Laki-laki
Total
18 – 23 tahun 27 25 52
Psikologi
24 – 27 tahun 3 5 8
18 – 23 tahun 30 30 60
Non
psikologi 24 – 27 tahun 0 0 0
Total 60 60 120
2. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian untuk mengetahui deskripsi umum setiap
variabel penelitian dengan membandingkan antara keadaan hipotetik
(kemungkinan terjadi) dan empirik (data penelitian). Perbedaan rerata
hipotetik dan empirik dilakukan dengan menggunakan one sample T test.
Tabel 13. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi Data Empati PAD
Mean 75 145
Mean difference 12.592 31.350
Hasil analisis one sample t-tes pada variabel empati p<0.01, yang
berarti bahwa empati pada subyek secara umum signifikan tinggi.
Sedangkan pada variabel PAD menunjukkan p<0.01, hal ini berarti
secara umum subyek menerima pola asuh yang signifikan tinggi pada
PAD di dalam keluarganya.
Tabel 14. Deskripsi Data Jenis Kelamin dan Jenis Pendidikan
Empati PAD
Keterangan N
SD t Mean p SD t Mean p
Perempuan 60 5.608 123.409 89.35 0.000 28.078 48.747 176.70 0.000
Laki-Laki 60 5.440 122.206 85.83 0.000 17.083 79.804 176.00 0.000
Psikologi 60 5.571 123.033 88.48 0.000 25.441 52.795 173.40 0.000
Non Psikologi
60 5.890 114.026 86.70 0.000 20.385 68.132 79.30 0.000
Dari hasil analisis one sample t-tes empati jenis kelamin, pada
perempuan diperoleh mean sebesar 89.35 dengan p=0.000 (p<0.05).
Pada laki-laki diperoleh mean sebesar 85.83 dengan p=0.000 (p<0.05)
yang berarti bahwa empati pada subyek berdasarkan jenis kelamin secara
umum signifikan tinggi. Sedangkan PAD pada perempuan memperoleh
memperoleh mean sebesar 176.00 dengan p=0.000 (p<0.05) hal ini
berarti secara umum subyek berdasarkan jenis kelamin menerima pola
asuh yang signifikan tinggi pada PAD di dalam keluarganya.
Pada hasil analisis one sample t-tes empati pengetahuan psikologi,
pada mahasiswa psikologi diperoleh mean sebesar 88.48 dengan
p=0.000 (p<0.05). Pada mahasiswa non psikologi diperoleh mean
sebesar 86.70 dengan p=0.000 (p<0.05) yang berarti bahwa empati pada
subyek berdasarkan pengetahuan psikologi secara umum signifikan
tinggi. Sedangkan PAD pada mahasiswa psikologi memperoleh mean
sebesar 173.40 dengan p=0.000 (p<0.05) dan pada mahasiswa non
psikologi memperoleh mean sebesar 179.30 dengan p=0.000 (p<0.05)
hal ini berarti secara umum subyek berdasarkan pengetahuan psikologi
menerima pola asuh yang signifikan tinggi pada PAD di dalam
keluarganya.
B. Hasil Penelitian
Analisis data hubungan antara empati dengan jenis kelamin, PAD dan
pendidikan masa dewasa dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.
Dalam melakukan analisis regresi, terlebih dahulu perlu dilakukan uji
asumsi data penelitian.
1. Uji Asumsi Data Penelitian