i
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL DENGAN STRES KERJAPADA PERAWAT
RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO
Skripsi
Diajukan Untuk Menenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Ardian Jati Prasetyo
NIM : 069114029
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Dalam segala perkara
Tuhan punya rencana
Yang lebih besar dari semua yang terpikirkan
Apa pun yang Kau perbuat
Tak ada maksud jahat
Sbab itu kulakukan semua denganMu Tuhan
Ku tak akan menyerah
Pada apa pun juga
Sebelum ku coba semua yang ku bisa
Tetapi ku berserah kepada kehendakMu
Hatiku percaya Tuhan punya rencana
( Jeffry S. Tjandra – Ku tak akan Menyerah )
Aku tidak dapat melakukan SEGALA SESUATU, tetapi aku dapat
melakukan SESUATU. Dan apa yang aku dapat lakukan, dengan
ANUGRAH TUHAN, akan aku LAKUKAN.
v
Skripsi ini saya persembahkan bagi:
Tuhan Yesus Kristus yang sungguh luar biasa memberkati kehidupanku
Bapak , Ibu, Kakak, Adik
dan keluarga besar yang telah banyak memberi dukungan
Sahabat-sahabatku
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan yang sesungguhnya bahwa karya yang saya muat ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 3 September 2010
vii
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL DENGAN STRES KERJAPADA PERAWAT
RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO
Ardian Jati Prasetyo
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja perawat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja perawat. Subjek penelitian adalah 81 perawat bagian inap RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala persepsi gaya kepemimpinan transformasional dan skala stres kerja perawat. Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi. Sedangkan koefisien reliabilitas dari skala persepsi gaya kepemimpinan transformasional sebesar 0,905 dan koefisien reliabilitas skala stres kerja perawat sebesar 0,885. Untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja pada perawat digunakan teknik koefisien korelasi spearman’s rho. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebesar -0,272 dengan taraf signifikansi (p) 0,007. Hal ini berarti ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja perawat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi persepsi gaya kepemimpinan transformasional maka stres kerja perawat semakin rendah.
viii
RELATION BETWEEN PERCEPTION ABOUT TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP STYLE WITH STRESS WORKING OF NURSES
IN RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO
Ardian Jati Prasetyo ABSTRACT
The reseach aimed to know the relationship between the perception of transformational leadership style with the work stress of nurses. The hypothesis of this research was that there was a negative significant relationship between transformational leadership style with the work stress of nurses. Reseach respondents were 81 nurses of RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro. In this reseach, researchers used a purposive sampling technique. Data was collected through the perception of scale deployment of transformational leadership style and nurses stress working scale. The research used content validity. The coefficient reliability of perception of transformational leadership style scale was 0.905 and coefficient reliability of stress working scale was 0.885. To determine the relationship between the perception of transformational leadership style and the work stress of nurses, researcher used Spearman's rho coefficient correlation. Coefficient correlation (r) was obtained in this study amounted to -0.272 with significance level (p) 0.007. It meant that there was a negative significace relationship between the perception of transformational leadership style with stress working. It concluded that the higher the perception of transformational leadership style, then the lower the stress of nurses.
ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Ardian Jati Prasetyo
Nomor Mahasiswa : 069114029
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL DENGAN STRES KERJAPADA PERAWAT
RSUP. DR. SOERADJI TIRTONEGORO
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 3 September 2010
Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas jalan dan
penyertaan yang diberikan selama mengerjakan skripsi berjudul “Hubungan
Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional dengan Stres
Kerja pada Perawat RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro”. Skripsi ini disusun guna
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Tuhan telah memperkenalkan saya kepada orang-orang hebat yang tulus
membantu dan memberikan dukungan saat saya mengerjakan skripsi. Pada
kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang hebat
tersebut, yakni:
1. Bapak Minta Istono S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi untuk
segala penerimaan, nasehat, bimbingan, kesabaran, waktu, dukungan dan
masukan-masukan yang telah diberikan.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. selaku dekan yang selalu mendorong kami
agar cepat menyelesaikan skripsi.
3. Bapak Prof. Dr. Augustinus Supratiknya selaku dosen pembimbing akademik
untuk pendampingan dan saran-sarannya.
4. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. dan Ibu Titik Kristiyani, S.Psi., M.Psi.
yang telah menguji skripsi dan memberikan saran-saran yang berharga.
5. Ibu Agnes Indar S.Psi., M.Si. atas bimbingannya saat saya menjadi asisten Tes
xi
6. Semua dosen Fakultas Psikologi, Sanata Dharma, Yogyakarta yang telah
memberikan wawasan dan ilmunya yang berharga kepada penulis.
7. Mas Muji, Mas Doni, Mbak Nanik, Mas Gandung, dan Pak Gie, yang telah
banyak membantu dan juga menjadi teman bagi para mahasiswa.
8. Direktur Umum, SDM dan Pendidikan RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten, Dra. Nining Setyawati, M.Si dan juga Kepala Bidang Keperawatan,
Hj. Endang Wuryaningsih, S.Pd, M.Kes. yang telah memberikan ijin dan
kesempatan untuk melakukan penelitian.
9. Seluruh perawat RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, terimakasih atas
bantuan dan kerjasama yang telah diberikan.
10. Bapak serta Ibuku yang tersayang, atas dukungan, kesabaran, kasih sayang
dan doa yang tak berhenti terucapkan.
11. Mas Dito, ayo mas yang semangat kamu juga bisa segera lulus, dan juga Dik
Dina atas dukungan yang diberikan.
12. Ingan Widhi Adhiningtyas, terimakasih atas kebersamaannya, waktu yang
telah diberikan dan dukungan yang diberikan bagi penulis.
13. Pimpinan Gloria Edukasindo, Bapak Drs. Eko Cahyono Tjia, Psi., M.M. yang
telah memberi saya kesempatan untuk magang, menimba ilmu, dan mencari
pengalaman.
14. Seluruh Staf dan teman-teman di Gloria Edukasindo atas bantuan,
kebersamaan serta pengalaman yang diberikan.
15. Satria, Windi, Adit, Nita, Berto, Caca, Cika, Kesed, Ari, Yoga, Timo, Nobi,
xii
16. Sanggar Bunga Musika, Mbak Tanti dan Mbak Lina yang telah memberi
dukungan dan kesempatan mengajar vokal anak-anak.
17. Teman-teman kost, Bayu, Surya, Septian, Ugik, Agung, Totok, Mas Agung
Angkringan, Indro, Heru, Jepe, Tyok, untuk perhatian dan canda tawanya.
18. Teman-teman di Paduan Suara Eklesia GKJ Kebonarum Klaten yang telah
memberikan keceriaan dan menghilangkan segala kepenatan saat bernyanyi
dan mengisi pujian bersama.
19. Bety PBI yang telah membantu penulis dalam membuat abstract.
20. Kepada semua pihak yang telah membantu dan teman-teman yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas segala bantuan dan dukungan
yang telah diberikan kepada penulis.
Dengan penuh kesadaran diri dan dengan segala kerendahan hati, penulis
merasa penyusunan tugas akhir ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis menerima saran dan kritik mengenai penelitian ini dengan senang hati.
Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi masyarakat dan pembaca sekalian.
Yogyakarta, 3 September 2010
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN MOTTO ……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… vi
ABSTRAK ………. vii
ABSTRACT ……….. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ….. …….. ix
KATA PENGANTAR ………... x
DAFTAR ISI ………. xiii
DAFTAR TABEL ………. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii
BAB I PENDAHULUAN ………. 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ……….. 1
B. RUMUSAN MASALAH ……….. 7
C. TUJUAN PENELITIAN ………... 8
D. MANFAAT PENELITIAN ………... 8
1. Manfaat Teoritis ……….… 8
2. Manfaat Praktis ……….... 8
xiv
A. STRES KERJA………... 9
1. Pengertian ……….. 9
2. Faktor-faktor ……….………. 12
3. Aspek ... ……….………….……… 15
B. PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL………... 18
1. Pengertian Persepsi………. 18
2. Pengertian Kepemimpinan Secara Umum .……….………. 20
3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional ….…………. 21
4. Aspek-aspek ….……….………. 26
5. Efek …………. ……….………. 29
C. PERAWAT………..………... 31
D. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DENGAN STRES KERJA PERAWAT ……….… 33
E. HIPOTESIS………..………... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 39
A. JENIS PENELITIAN ……… 39
B. IDENTIFIKASI VARIABEL ……… 39
1. Variabel Bebas ……… 39
2. Variabel Tergantung ………... 39
C. DEFINISI OPERASIONAL ……….. 39
xv
2. Persepsi Gaya kepemimpinan Transformasional ………. 40
D. SUBJEK PENELITIAN ………. 41
E. PROSEDUR PENELITIAN ….………. 42
F. ALAT PENGAMBILAN DATA ………... 43
1. Skala Stres Kerja ………. 43
2. Skala Persepsi Gaya kepemimpinan Transformasional .………. 45
G. PERTANGGUNGJAWABAN ALAT UKUR ……….. 47
1. Validitas ……..………. 47
2. Seleksi Item ..………. 48
3. Reliabilitas ..………... 52
H. METODE ANALISIS DATA ………. 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 55
A. GAMBARAN RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO …………. 55
B. PELAKSANAAN PENELITIAN ……….. 56
C. DESKRIPSI SUBJEK PENELITIAN …..……….. 57
D. DESKRIPSI DATA PENELITIAN ..……… 58
E. ANALISIS DATA PENELITIAN 1. Uji Asumsi …. ……… 61
a. Uji Normalitas ...……… 62
b. Uji Linieritas …. ………..……… 63
2. Uji Hipotesis ………..……….. 64
xvi
BAB V PENUTUP ………. 69
A. Kesimpulan ……….……… 69
B. Saran ……….………... 69
DAFTAR PUSTAKA ..……….………. 71
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik Gaya Kepemimpinan Transformasional...… 29
Tabel 2 Blue Print Skala Stres Kerja Sebelum Uji Coba ..………..… 45
Tabel 3 Blue Print Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional Sebelum Uji Coba ……….. 46
Tabel 4 Susunan Butir Skala Stres Kerja Setelah Uji Coba ...….……… 50
Tabel 5 Susunan Butir Skala Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional Setelah Uji Coba...……….……… 52
Tabel 6 Rangkuman Deskripsi Data Penelitian ...…….. 58
Tabel 7 One-sample test Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional .. 60
Tabel 8 One-sample test stres kerja ………..……….…… 61
Tabel 9 Ringkasan Hasil Uji Normalitas ……….... 62
Tabel 10 Hasil Perhitungan Uji Linieritas ………..……….…… 63
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Uji Coba …….……….... 76
Lampiran 2 Data Uji Coba Stres Kerja ……….……….. 86
Lampiran 3 Data Uji Coba Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional .. 88
Lampiran 4 Reliabilitas Uji Coba Skala Kepemimpinan Transformasional... 91
Lampiran 5 Reliabilitas Uji Coba Skala Stres kerja ……… ..………...… 93
Lampiran 6 Reliabilitas Data Skala Kepemimpinan Transformasional ... 94
Lampiran 7 Reliabilitas Data Skala Stres kerja ……… …….………...… 94
Lampiran 8 Kuesioner Penelitian ……… 95
Lampiran 9 Data Penelitian Stres Kerja .………..……….. 102
Lampiran 10 Data Penelitian Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional ……….. 106
Lampiran 11 Deskripsi data, Normalitas, Linieritas ...……….. 110
Lampiran 12 Korelasi ……….………….. ...……….. 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan yang semakin kompleks ini, orang selalu dituntut
untuk menciptakan dan mencapai keselarasan, serta kebahagiaan hidup
bersama. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan
bekerja. Kerja merupakan aktivitas dasar dan dijadikan hal yang esensial dari
kehidupan manusia. Seseorang bekerja karena ada harapan yang hendak
dicapainya yaitu aktivitas kerja yang dilakukannya ini akan membawa pada
suatu keadaan lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Kerja juga
merupakan aktivitas sosial yang memberikan isi dan makna pada kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, sumber daya manusia yang berkualitas baik akan
senantiasa berusaha untuk mencapai keberhasilan seoptimal mungkin dan
meningkatkan produktivitasnya
Segala bentuk kerja akan berkaitan dengan penggunaan tenaga manusia.
Penggunaaan tenaga ini berbeda antara satu pekerjaan dengan pekerjaan yang
lainnya. Pada kenyataannya suatu organisasi akan cenderung menuntut
anggotanya untuk memberikan kontribusi terbaik. Oleh karena itu, sering kali
ditemukan adanya kesenjangan antara performa kerja yang diharapkan
dengan performa yang sesungguhnya. Kesenjangan ini akan menimbulkan
ketegangan apabila terjadi berlarut-larut. Ketegangan yang berlarut-larut ini
2
dirasakan dan tidak dapat dihadapi akan membuat seorang karyawan menjadi
jenuh dan lama-kelamaan akan berdampak buruk terhadap kinerjanya.
Stres merupakan tekanan psikis atau emosi pada seseorang dimana
munculnya dipengaruhi oleh penilaian subjektif individu sendiri. Stres pada
dasarnya disebabkan kekurangmengertian manusia akan keterbatasannya
sendiri. Manusia akan mengalami stres apabila kurang mampu mengadaptasi
keinginan dengan kenyataan. Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat
individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan
antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya.
Terganggu atau tidaknya individu, tergantung juga pada persepsinya terhadap
peristiwa yang dialaminya. Dengan kata lain, bahwa suatu situasi yang penuh
stres dalam pekerjaan dapat dirasakan berbeda-beda oleh setiap orang,
dimana dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi
suatu peristiwa.
Stres kerja adalah bagian dari stres kehidupan. Stres kerja (Davis, 1996)
terjadi karena adanya tuntutan pekerjaan yang tidak seimbang dengan
kemampuan individu. Stres kerja ini akan menimbulkan reaksi individual
berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku. Stres kerja ini memang tidak
dapat dielakkan dalam dunia pekerjaan. Hampir semua orang dalam
kehidupannya mengalami stres sehubungan dengan pekerjaan mereka. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh The National Institute for Occupational Safety
3
kesehatan di rumah sakit memiliki kecenderungan tinggi terkena gangguan
mental seperti depresi dan stres (Inayati, 1996).
Keadaan rumah sakit akan menentukan munculnya stres kerja. RSUP
Dr. Soeradji Tirtoegoro merupakan satu-satunya rumah sakit pusat yang ada
di Kabupaten Klaten. Sebagai salah satu rumah sakit pusat, maka pasien yang
berobat dan melakukan rawat inap sangat banyak. Di dalam suatu bangsal
atau ruangan, pasien yang dirawat inap dapat mencapai 50 pasien. Keadaan
ini dapat merepotkan perawat yang bertugas menjaga karena terkadang
jumlah perawat yang berjaga kurang memadahi. Selain itu, fasilitas yang
digunakan oleh perawat juga terbatas. Hal itu membuat kecenderungan tinggi
terkena stres kerja. Di rumah sakit ini juga terdapat peraturan mutasi, perawat
dapat dipindah kerja di ruang lainnya, yang membuat perawat harus
menyesuaikan dengan tempat kerja yang baru. Perawat juga sering
menghadapi teman kerja yang tidak dapat bekerjasama. Keadaan yang seperti
ini turut meningkatkan stres kerja perawat.
Perawat merupakan profesi yang besar peranannya dalam pelayanan
kesehatan masyarakat yang menentukan kinerja rumah sakit secara
keseluruhan (Harnanti 1995). Perawat juga merupakan profesi yang bersifat
kemanusiaan yang dilandasi rasa tanggungjawab dan pengabdian sehingga
layanan keperawatan menyangkut upaya kemanusian yang pelaksanaannya
membutuhkan ketulusan, saling menghargai dan kebijaksanaan terhadap
manusia. Tugas pokok seorang perawat adalah merawat pasien untuk
4
perawat sangatlah berat. Dari satu sisi, seorang perawat harus menjalankan
tugas yang menyangkut kelangsungan hidup pasien yang dirawatnya. Di sisi
lain, keadaan psikologis perawat sendiri juga harus tetap terjaga. Hal ini juga
ditegaskan dengan sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa para
pekerja di bidang kesehatan mengalami stres kerja yang lebih tinggi daripada
para pekerja di bidang lain (Messer & Meldrum, 1999).
Menurut hasil survei dari PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia)
pada tahun 2006, sekitar 50,9 persen perawat yang bekerja di empat provinsi
di Indonesia mengalami stres kerja, sering pusing, lelah, tidak bisa
beristirahat karena beban kerja terlalu tinggi dan menyita waktu, gaji rendah
tanpa insentif memadai (www.kompas.com). Perawat di RSUD
Pangkalpinang juga mengalami stres kerja akibat dari beban kerja yang
berlebihan. Jumlah tim medis yang ada di rumah sakit tidak sebanding
dengan jumlah pasien yang berobat, sehingga membuat perawat melayani
melebihi standar yang ideal. Disamping itu penghasilan perawat juga minim
dimana membuat perawat menjadi mudah stres (www.bangkapos.com).
Kasus stres pada perawat yang lain terjadi di Kota Kyoto Jepang. Akibat
kerja lembur yang dipaksakan oleh atasannya, membuat seorang perawat
sampai bertindak kriminal untuk menghilangkan stresnya. Perawat berusia 32
tahun ini mencabuti kuku kaki dan tangan enam pasien perempuan yang
menderita lumpuh dan stroke sebagai pelampiasan atas stres pekerjaannya.
Perawat ini harus menerima hukuman penjara tiga tahun delapan bulan atas
5
Perawat selalu dihadapkan pada tuntutan idealisme profesi dan sering
menghadapi berbagai macam persoalan baik dari pasien maupun teman
sekerja. Perawat juga selalu berhadapan dengan hal-hal yang monoton dan
rutin. Kondisi seperti inilah yang dapat menimbulkan rasa tertekan pada
perawat, sehingga mudah sekali mengalami stres. Pada keadaan yang seperti
ini perawat membutuhkan pemimpin yang mampu menjadi motor penggerak
dan bisa mengerti keadaan serta memberikan motivasi. Adanya pemimpin
yang memotivasi perawat melalui penanaman nilai kerja dan peningkatan
kebutuhan yang lebih tinggi, dapat menumbuhkan perasaan senang serta
tenang bagi perawat dalam bekerja. Perawat yang selalu dihadapkan pada
situasi kerja yang menuntut kecepatan dan ketepatan dalam bekerja
membutuhkan atasan yang bersedia mengerti keadaan perawat dan juga dapat
mengkoordinasi tugas dengan baik.
Atasan yang mampu memberi rasa percaya dan dukungan penuh pada
tugas yang dilakukan perawat, akan membuat perawat dapat melakukan
pekerjaannya dengan maksimal. Perawat yang mendapat dorongan dan
pemenuhan kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi dari atasan akan
berusaha menunjukkan prestasinya, bekerja dengan sebaiknya, dan
mengutamakan pekerjaannya daripada kepentingan pribadi. Apabila perawat
telah merasakan kenyamanan dengan pekerjaannya, maka perawat akan
terhindar dari stres kerja.
Pemimpin yang memberi dorongan dan berusaha mengerti keadaan
6
mengemukakan kepemimpinan transformasional diartikan sebagai pimpinan
yang melibatkan perubahan dalam organisasi. Kepemimpinan
transformasional juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar mau bekerja demi
sasaran tingkat tinggi yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada
saat itu. Pemimpin transformasional berusaha mencapai tujuan dengan cara
meningkatkan ketertarikan anggotanya terhadap organisasi sehingga anggota
kelompok menjadi peduli dan menerima misi organisasi. Kepemimpinan
transformasional ini juga mampu memenuhi kebutuhan individu yang lebih
tinggi yaitu seperti harga diri dan aktualisasi diri (Keller, 1992).
Seorang pemimpin dapat dikatakan sebagai pemimpin transformasional,
hal tersebut dapat diukur dalam hubungannya dengan pengaruh pemimpin
tersebut terhadap bawahannya. Upaya pemimpin transformasional dalam
mempengaruhi bawahannya dapat melalui tiga cara, yaitu: 1) mendorong
bawahan lebih sadar akan pentingnya hasil suatu pekerjaan; 2) mendorong
bawahan untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan
individual; 3) mengaktifkan kebutuhan – kebutuhan bawahan pada tingkat
yang lebih tinggi (Bass, 1998). Inti utama dari gaya kepemimpinan
transformasional adalah kemampuan pemimpin dalam mengubah kondisi
lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang
dipersepsikan bawahan sehingga mampu mengoptimalkan kinerja untuk
7
Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan
sebagai proses untuk mengubah atau mentransformasikan dengan memenuhi
kebutuhan serta penghargaan terhadap para individu sehingga terdorong
untuk berubah dan meningkatkan dirinya. Podsakoff (1996) menambahkan
bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang
mempengaruhi sikap, persepsi dan perilaku individu dimana terjadi
peningkatan kepercayaan terhadap pemimpin, motivasi dan mampu
mengurangi sejumlah konflik yang terjadi pada organisasi.
Dengan situasi kerja yang menuntut perawat RSUP. Dr. Soeradji
Tirtonegoro untuk bertanggungjawab menangani pasien dalam keadaan cepat,
tepat dan teliti dapat membuat perawat merasa kurang dapat fokus atau pun
merasakan beban kerja yang berat dalam menjalankan tugasnya, oleh karena
itu perawat RSUP. Dr. Soeradji Tirtonegoro sangat rentan terkena stres kerja.
Berdasarkan latar belakang permasahan diatas, maka peneliti ingin
mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya
kepemimpinan transformasional dengan stres kerja pada perawat RSUP Dr.
Soeradji Tirtonegoro.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap gaya kepemimpinan
transformasional dengan stres kerja pada perawat RSUP. Dr. Soeradji
8
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara persepsi terhadap
gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja pada perawat RSUP.
Dr. Soeradji Tirtonegoro.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pandangan mengenai
stres kerja dan kepemimpinan transformasional dalam ilmu Psikologi
Industri dan Organisasi, sehingga dapat menjadi bahan informasi dan
pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi para atasan/pemimpin, khususnya atasan perawat RSUP DR.
Soeradji Tirtonegoro. Hasil penelitian ini untuk memberikan gambaran
dan tambahan pengetahuan tentang kepemimpinan transformasional
dan stres kerja pada perawat.
b. Bagi pihak RSUP. DR. Soeradji Tirtonegoro. Hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan dan saran dalam upaya mengurangi stres kerja
yaitu dengan menerapkan kepemimpinan transformasional kepada
perawat. Dimana terdapat hubungan negatif antara persepsi terhadap
gaya kepemimpinan transformasional dengan stres kerja. Artinya
semakin positif persepsi terhadap gaya kepemimpinan
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Stres merupakan realita kehidupan sehari-hari dimana individu
tidak dapat menghindarinya. Stres ini dapat terjadi dimana saja dan
disebabkan oleh berbagai hal. Stres yang dialami individu akan berbeda
antara individu yang satu dengan yang lainnya. Pengertian stres itu
berbeda pada tiap-tiap orang, namun kebanyakan individu bereaksi negatif
terhadap kata stres. Stres dianggap sebagai sesuatu yang merusak dan
berdampak buruk dalam kehidupan manusia.
Menurut Cooper (1994), stres didefinisikan sebagai tanggapan atau
proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan
psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan individu.
Stres merupakan suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa
disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial,
yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Pendapat Cooper ini sejalan
dengan yang diungkapkan Hager (1999) yang menjelaskan bahwa stres
sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak apabila tidak
ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang
dirasakannya. Stres juga sering didasarkan pada suatu pengertian bahwa
10
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk menghadapi berbagai
tuntutan terhadap dirinya secara efektif.
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stres dinamakan
stressor. Stressor ini tidak selalu mengakibatkan gangguan secara
psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu,
tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor
kunci dari stres adalah persepsi seseorang terhadap situasi dan
kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi
yang dihadapi. Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi
oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Secara umum stres dapat disimpulkan sebagai tanggapan atas
keadaan yang mengancam, menekan dan tidak menyenangkan dalam diri
individu yang tergantung dari persepsi dan penilaian terhadap situasi yang
dapat berpotensi merusak dan tidak terkontrol.
Dalam dunia kerja, sering muncul berbagai masalah sehubungan
dengan stres dan kondisi-kondisi yang dapat memicu munculnya stres.
Stres yang disebabkan oleh faktor lingkungan pekerjaan biasa disebut
dengan stres kerja.
Stres kerja terjadi karena adanya tuntutan pekerjaan yang tidak
seimbang dengan kemampuan individu (Davis, 1996). Stres kerja ini akan
menimbulkan reaksi individual berupa reaksi fisiologis, psikologis dan
perilaku. Secara luas stres kerja dapat dikatakan sebagai ketidaksesuaian
11
dengan pendapat Diahsari (2001) yang menyatakan bahwa stres kerja pada
intinya merupakan kondisi dari pekerjaan yang mengancam individu.
Ancaman itu berasal dari tuntutan pekerjaan dan juga kurang terpenuhinya
kebutuhan individu. Hal ini berarti tuntutan pekerjaan yang melebihi
kemampuan individu akan menyebabkan kondisi yang penuh stres.
Kondisi ini akan menciptakan ketidakseimbangan dimana mengakibatkan
munculnya ketidakpastian yang dirasakan seseorang dalam kerjanya.
Namun, apabila individu dapat mengatasi stres kerja yang dialaminya saat
ini dengan baik, maka stres yang akan datang lebih mudah diatasi
(Feldman, 1993).
Menurut Gibson (1998) stres kerja adalah suatu respon adaptif
yang dipengaruhi oleh karakteristik individu atau proses psikologis
sebagai konsekuensi dari perilaku atau kejadian-kejadian di lingkungan
kerja yang menimbulkan akibat-akibat khusus secara psikologis maupun
fisiologis terhadap perilaku. French dkk (dalam Riggio, 2002) juga
mengemukakan bahwa stres dalam pekerjaan muncul karena adanya
ketidaksesuaian antara individu dengan lingkungannya. Sehingga
kesesuaian antara individu dengan lingkungannya akan mempengaruhi
jumlah stres yang dialami. Seseorang dikatakan memiliki kesesuaian yang
baik dengan lingkungannya apabila kemampuan dan keahliannya sesuai
dengan persyaratan pekerjaan pada lingkungan kerjanya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa stres kerja
12
mengancam, menekan dan tidak menyenangkan yang mempengaruhi fisik,
psikologis dan tingkah laku seseorang dimana disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara kemampuan individu dengan lingkungan kerjanya.
2. Faktor-faktor yang Menimbulkan Stres Kerja
Munculnya stres kerja pada seseorang karena terdapat faktor-faktor
penyebab. Faktor yang menyebabkan stres kerja berbeda antara individu
yang satu dengan individu yang lainnya. Landy dan Conte (2004) yang
membagi faktor stres kerja menjadi dua bagian, yaitu fisik dan psikis:
a. Fisik
Stressor fisik berasal dari lingkungan fisik seorang pekerja. Hal ini
berkaitan dengan tugas-tugas yang diterima oleh pekerja, misalnya
banyaknya pekerjaan, jam kerja yang harus dipenuhi dan sebagainya.
Selain itu juga berupa kondisi lingkungan yang mengelilingi seseorang
pekerja misalnya suara bising, ruang kerja sempit dan sirkulasi udara
buruk akan memudahkan pekerja terkena stres.
b. Psikis, terdiri dari:
1) Kurangnya fungsi kontrol
Seseorang tidak mampu melakukan kontrol terhadap
pekerjaannya akan mudah stres.
2) Konflik interpersonal
Konflik interpersonal merupakan interaksi negatif antara
13
3) Ketidakjelasan peran
Peran yang ambigu, konflik peran, dan peran yang overload
merupakan stressor yang potensial.
4) Emotional Labor
Emotional labor adalah pekerjaan yang bergerak di bidang
pelayanan memicu munculnya stres ketika seseorang harus
menunjukkan emosi tertentu yang berlawanan dengan apa yang
dirasakan.
Sedangkan Luthans (2005) mengungkapkan bahwa tempat kerja
yang penuh atau padat, ramai, kurang privacy, suhu ruang yang tidak tepat,
bau yang tidak sedap, dan pencahayaan yang kurang memadai merupakan
faktor munculnya stres yang potensial. Selain itu, peralatan kerja yang
kurang memadai, tugas yang menuntut kehati-hatian dan ketelitian, serta
tingkat keamanan yang kurang juga dapat mengakibatkan stres kerja.
Pendapat lainnya diungkapkan oleh Robbins (2005) yang
menyatakan faktor penyebab munculnya stres kerja dibedakan menjadi
tiga faktor yaitu:
a. Faktor lingkungan
Ketidakpastian lingkungan mempengaruhi desain struktur
organisasi. Ketidakpastian itu juga mempengaruhi tingkat stres di
kalangan para karyawan dalam organisasi tersebut. Ketidakpastian ini
14
1) Ketidakpastian ekonomi, bila ekonomi suatu organisasi mengalami
penurunan maka para karyawan akan mengalami stres karena
ketidakpastian ini akan diiringi dengan pemutusan hubungan kerja
(PHK), gaji yang dipotong.
2) Ketidakpastian politik, misalnya sering terjadi kerusuhan, konflik
antar agama atau suku bangsa, dan situasi pemerintahan yang tidak
jelas.
3) Ketidakpastian teknologi, berupa kemajuan teknologi yang pesat,
muncul berbagai inovasi baru, dan teknologi komputer serta
internet yang menyebabkan karyawan dituntut lebih terampil dan
berpengalaman.
b. Faktor organisasional
Terdapat banyak faktor di dalam organisasi yang dapat
menimbulkan stres. Tekanan untuk menghindari kekeliruan atau
menyelesaikan tugas tepat waktu (tuntutan tugas), beban kerja yang
berlebihan (tuntutan peran), kurangnya partisipasi karyawan dalam
mengambil keputusan organisasi (stuktur organisasi) akan mendorong
munculnya stres. Selain itu, seorang bos yang menuntut dan tidak
peka (kepemimpinan organisasi) serta teman kerja yang tidak
menyenangkan (tuntutan antar pribadi) juga akan membuat individu
15
c. Faktor individual
1) Kepribadian, orang yang memiliki tipe kepribadian A dicirikan
sebagai individu yang semangat kompetisinya tinggi dan disiplin
yang tinggi sehingga mudah mengalami stres.
2) Persepsi individu, hal ini menyebabkan perbedaan individu
dalam merespon stressor yang dihadapi.
3) Pengalaman kerja, individu yang sudah memiliki pengalaman
kerja yang lama akan lebih tahan terhadap stres karena memiliki
bentuk mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi stres.
4) Locus of control, individu yang memiliki locus of control
ekstrenal lebih mudah mengalami stres daripada individu yang
memiliki locus of control internal.
Berdasarkan uraian dari beberapa ahli tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor stres kerja antara lain ketidakpastian lingkungan,
keadaan yang ada di dalam organisasi, keadaan individu dan kondisi
tempat kerja serta karakteristik pekerjaan.
3. Aspek Stres Kerja
Stres di tempat kerja sering dihubungkan dengan kondisi fisik dan
sejumlah dampak negatif yang merugikan. Stres yang terlalu besar dapat
mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya.
16
stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka, dimana biasa
disebut dengan aspek. Aspek stres kerja pada individu dibagi menjadi
empat kategori umum sebagai berikut (Fairbrother & Warn, 2002)
a. Gejala somatik
Gejala somatik merupakan gejala yang berkaitan dengan kesehatan
tubuh seperti perasaan yang kurang baik dan dalam keadaan tidak
sehat. Selain itu kondisi tubuh yang tidak nyaman, tidak enak badan,
merasakan sedang sakit dan merasa lelah. Individu juga merasakan
adanya tekanan di kepala, kepala berkunang-kunang, merasakan panas
dingin sehingga membutuhkan vitamin.
b. Kecemasan dan insomnia
Kecemasan dan insomnia merupakan gejala kecemasan diri dan
susah tidur seperti jarang tidur, susah tidur meskipun dalam keadaan
istirahat, merasakan berada dibawah tekanan, gugup, lekas tersinggung
dan tidak tenang.
c. Disfungsi sosial
Disfungsi sosial merupakan gangguan fungsi sosial seperti
menemukan segala sesuatu diluar pengendalian diri, perasaan yang
gelisah, adanya upaya untuk mengelola aktivitas, membutuhkan waktu
yang lama dalam mengerjakan sesuatu, merasakan sesuatu yang
dikerjakan adalah kurang baik. Selain itu, kurang puas dengan apa
yang telah diselesaikan, merasakan kurang berperan mengenai sesuatu
17
d. Depresi
Depresi merupakan tekanan dalam diri berupa pikiran sebagai
orang yang tidak berharga, merasakan hidup yang sia-sia, merasakan
hidup yang tidak berharga, pemikiran kemungkinan berhasil melarikan
diri dari permasalahan, kadang-kadang tidak bisa melakukan apapun
dan mengharapkan lepas dari semua permasalahan.
Aspek stres kerja pada individu dapat dibagi menjadi tiga kategori
umum meliputi: gejala fisiologis, gejala psikologis dan gejala perilaku
(Luthans 2005; Robbins, 2005) yaitu:
a. Gejala fisiologis
Gejala fisiologis yaitu dengan munculnya berbagai macam
keluhan-keluhan fisik seperti kolestrol tinggi, peradangan sendi,
rambut rontok dan nyeri lambung (Luthans, 2005). Stres dapat
mengakibatkan gangguan metabolisme dalam tubuh, meningkatkan
tekanan darah, peningkatan kadar gula darah, sering sakit kepala,
meningkatkan laju detak jantung dan bahkan menyebabkan timbulnya
serangan jantung (Robbins, 2005).
b. Gejala psikologis
Gejala psikologis yang muncul sebagai akibat dari stres antara lain
menimbulkan ketegangan, mudah marah, depresi, kecemasan dan
kebosanan (Luthans, 2005). Semua ini dapat mempengaruhi suasana
18
ketidaksukaan pada pengawas, suka menunda-nunda pekerjaan,
gangguan konsentrasi, keputusasaan dan timbul ketidakpuasan kerja
(Robbins,2005)
c. Gejala perilaku
Gejala perilaku dikaitkan dengan stres mencakup gangguan
komunikasi dalam pekerjan, berbicara cepat, gelisah, gangguan tidur,
penurunan dalam produktivitas, absen, tingkat keluarnya karyawan,
dan mudah terkena kecelakaan (Robbins, 2005). Selain itu, juga
mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya
kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, serta penyalahgunaan
obat. (Luthans, 2005).
Dari uraian diatas peneliti mengambil kesimpulan bahwa aspek
stres kerja yang muncul pada individu antara lain: gejala fisik, gejala
psikologis, dan gejala tingkah laku. Hal ini karena aspek tersebut lebih
merangkum, lengkap dan mampu mewakili munculnya stres kerja.
B. Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan Transformasional
1. Pengertian Persepsi
Secara umum persepsi sering disebut sebagai suatu pengalaman
tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan
19
yang sama belum tentu dipersepsikan sama oleh beberapa individu
(Jalaludin, 2000).
Persepsi merupakan kemampuan seseorang untuk mengenal dan
memaknakan sesuatu objek yang ada di lingkungannya. Persepsi juga
merupakan proses dimana individu menyeleksi, mengorganisasi dan
menginterpretasi stimulus lingkungan yang memiliki arti. Setiap individu
akan mempunyai persepsi berbeda tergantung pada kecenderungan untuk
selektif dalam mempersepsi sesuatu meski objek stimulus yang diterima
sama. Moskowits dan Orgel (dalam Walgito, 1994) mengatakan bahwa
persepsi merupakan suatu proses yang bersifat integrated. Artinya bahwa
seluruh hal yang ada dalam diri individu seperti perasaan, intepretasi,
pengalaman, keyakinan, kemampuan berfikir dan aspek-aspek lain yang
ada dalam diri individu ikut berpengaruh saat seseorang mempersepsi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu
proses dimana individu memaknakan dan mengintepretasi suatu stimulus
yang diterima berdasarkan pengalaman, keyakinan, dan kemampuan
berpikirnya sehingga terbentuk gambaran mengenai stimulus yang
dipersepsikan.
Sedangkan persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
suatu proses dimana bawahan memaknakan dan mengintepretasi mengenai
gaya kepemimpinan atasan yang diperoleh melalui perisitiwa atau
20
menafsirkan segala informasi yang berkaitan dengan atasan dan gaya
kepemimpinannya.
2. Pengertian Kepemimpinan Secara Umum
Kepemimpinan merupakan tema yang popular yang tidak saja
dibicarakan dan diteliti oleh para ahli, tetapi juga dibicarakan oleh
masyarakat pada umumnya. Kepemimpinan merupakan salah satu hal
yang penting di dalam organisasi. Kepemimpinan ini merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan organisasi, sebab kepemimimpinan
yang sukses menunjukkan bahwa pengelolaan suatu organisasi dilakukan
dengan sukses pula. Hal ini membuktikan bahwa pemimpin dapat
mengatasi setiap rintangan, mengatur bawahannya dan sanggup membawa
organisasi pada tujuan yang ditetapkan.
Kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk
memimpin serta kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang
harus dikerjakan. Menurut Gibson (1998) kepemimpinan merupakan
kemampuan mempengaruhi yang dilakukan melalui hubungan
interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Stogdill (dalam Thoha, 2001) yang mengatakan
bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan
kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan dan prestasi kerja. Oleh
21
memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke
arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya.
Newstrom dan Davis (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan
merupakan suatu proses mengatur dan membantu agar bekerja dengan
benar untuk tercapainya suatu tujuan. Kepemimpinan mencakup upaya
mempengaruhi dan memotivasi orang lain dalam rangka pencapaian tujuan
dengan menggunakan gaya tertentu, atau dengan kata lain kepemimpinan
menuntut kemampuan menyelaraskan keinginan pengikut dengan
pemimpin. Dalam lingkup organisasi, kepemimpinan diartikan sebagai
kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi individu dalam sebuah
organisasi sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Dari beberapa uraian tentang kepemimpinan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses untuk
mempengaruhi, mengarahkan serta memotivasi seseorang atau
sekelompok orang dengan menggunakan gaya tertentu untuk tercapainya
suatu tujuan.
3. Pengertian Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan begitu lekat dengan kegiatan mempengaruhi,
khususnya dalam mempengaruhi bawahannya. Pada saat mempengaruhi
ini seorang pemimpin menggunakan suatu karakteristik khusus.
Karakteristik khusus yang digunakan oleh seorang pemimpin ini biasa
22
penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Gaya kepemimpinan digunakan
sebagai acuan untuk menerapkan cara-cara atau strategi yang tepat dalam
menyampaikan keinginannya kepada para karyawan secara jelas.
Thoha (2001) menegaskan, gaya kepemimpinan adalah norma
perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain. Sedangkan menurut Walte (dalam
Jaya, 2004), gaya kepemimpinan adalah pola-pola perilaku yang
ditetapkan dalam bekerja dengan orang lain dan hal itu akan dipersepsi
oleh orang lain tersebut. Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah suatu pola
kepemimpinan yang digunakan oleh seorang pemimpin untuk memimpin
suatu organisasi.
Salah satu gaya kepemimpinan yang relatif baru dan menarik untuk
dicermati adalah gaya kepemimpinan transformasional (Purwanto, 2000).
Konsep awal gaya kepemimpinan ini dikemukakan oleh Burns (1978),
kemudian secara konseptual Bass (1985) menyempurnakan teori tersebut
yang mendasarkan pada dua konstrak utama, yaitu kepemimpinan
transformasional dan transaksional. Kepemimpinan transformasional dan
transaksional dikembangkan berdasarkan pendapat Maslow tentang tingkat
kebutuhan manusia. Menurut Keller (2003) kebutuhan karyawan yang
lebih rendah, seperti kebutuhan fisik, rasa aman dan afiliasi dapat
terpenuhi dengan baik melalui kepemimpinan transaksional.
23
antara pemimpin dan bawahan mengenai apa yang telah disepakati
sebelumnya. Artinya bawahan dijanjikan suatu hadiah atau imbalan
apabila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Sedangkan untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri hanya
dimungkinkan terpenuhi melalui kepemimpinan transformasional. Dengan
menumbuhkan aktualisasi diri, pemimpin juga menumbuhkan keterikatan
bawahan pada tujuan organisasi. Kepemimpinan transformasional
memiliki dampak yang melebihi kepemimpinan transaksional, yaitu pada
kepemimpinan transformasional, pemimpin dapat mengilhami dan
memotivasi bawahan untuk berbuat dari apa yang diharapkan. Sehingga
dapat dilihat bahwa kepemimpinan transformasional dibangun di atas
puncak kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transformasional adalah suatu kepemimpinan yang
dipengaruhi oleh inspirasi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan
untuk memperolehnya pemimpin perlu menjabarkan visi untuk pengikut
mereka dan mempengaruhi mereka untuk mengikutinya (Spector, 2008).
Sedangkan Avolio (1990) menjelaskan bahwa pemimpin-pemimpin
tersebut harus meningkatkan kemampuan bawahannya dan mementingkan
suatu visi. Pemimpin menerapakan perilaku yang membuat bawahan
menjadi kreatif, inovatif, penuh kekuatan dan kepercayaan. Gaya
kepemimpinan transformasional dianggap sebagai model kepemimpinan
24
organisasi. Kepemimpinan transformasional ini terbukti mampu membawa
perubahan-perubahan yang lebih mendasar seperti perubahan nilai, tujuan
dan kebutuhan bawahan.
Schultz dan Schultz (2006) mengungkapkan bahwa kepemimpinan
transformasional merupakan kepemimpinan yang mengubah dan
menginspirasi bawahan dengan sebuah tujuan. Pemimpin ini membuat visi
dari kebudayaan perusahaan dan mengkomunikasikan ke individu yang
akan mendorong mereka untuk meningkatkan kemampuannya.
Kepemimpinan transformasional memotivasi individu untuk melakukan
pekerjaan atau tugas lebih baik dari apa yang bawahan inginkan dan
bahkan lebih tinggi dari apa yang sudah diperkirakan sebelumnya.
Sehingga dapat dirumuskan bahwa dalam kepemimpinan
transformasional seorang pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi
kerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan
sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai
tujuan organisasi.
Konsep awal kepemimpinan transformasional telah dikemukakan
oleh Burns (Patty, 2001). Burns mendefinisikan gaya kepemimpinan
transformasional sebagai suatu proses menaikkan moral dan motivasi
pemimpin dan bawahan ke tingkat yang lebih tinggi. Pemimpin
transformasional berusaha meningkatkan kesadaran bawahan dengan
mendorong idealisme dan nilai-nilai moral yang lebih tinggi, seperti
25
emosi seperti ketakutan, ketamakan, kecemburuan atau kebencian.
Mutaminah (2001) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional selalu memperhatikan masing-masing kebutuhan
individu untuk berprestasi dan berkembang dalam pekerjaan. Gaya
kepemimpinan transformasional berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan individu seperti kesempatan untuk maju, berprestasi, tanggung
jawab dalam pekerjaan dan pekerjaan yang berarti.
Munandar (2001) mendefinisikan kepemimpinan transformasional
sebagai interaksi pemimpin dan pengikutnya, manajer dengan
bawahannya, ditandai oleh pengaruh pemimpin/manajer untuk mengubah
perilaku pengikut menjadi seseorang yang merasa mampu, bermotivasi
tinggi dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi serta bermutu.
Pemimpin mengubah bawahannya sehingga tujuan kelompok kerjanya
dapat tercapai. Northouse (2001) menyimpulkan bahwa seseorang yang
dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih
menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dan mampu
mengatasi masalah pada bawahannya.
Berarti sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan
kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan
pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan
melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah
kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi. Dengan cara
26
mengoptimalkan usaha mereka ke arah tujuan yang ingin dicapai
organisasi. Akibatnya, tumbuh kepercayaan, kebanggaan, komitmen, rasa
hormat dan loyal kepada atasan sehingga mereka mampu mengoptimalkan
usaha dan kinerja mereka ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Berdasar uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu
mendatangkan perubahan yang baik di dalam diri setiap individu yang
terlibat atau bagi seluruh organisasi untuk mencapai performa yang lebih
tinggi sehingga tujuan organisasi dapat tercapai.
4. Aspek-aspek Gaya Kepemimpinan Transformasional
Hersery dan Blanchard (1995) mengemukakan gaya kepemimpinan
transformasional merupakan perkembangan dari model efektifitas
pimpinan tiga dimensi, dimana gaya kepemimpinan tersebut didasarkan
beberapa aspek:
a. kadar bimbingan dan arahan yang diberikan pimpinan, yaitu memilih,
melatih dan mengakulturasi sumber daya manusia dipantau dengan
seksama. Dengan demikian hanya individu-individu yang dinilai cakap
dan mampu yang dipilih.
b. Kadar dukungan sosioemosional/perilaku hubungan yang disediakan
pimpinan. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan mengacu pada
27
bawahan terhadap pemimpinnnya. Sehingga timbul sikap menerima
terhadap pemimpinnya.
c. Level kesiapan atau kematangan yang diperlihatkan pengikut atau
bawahan dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan tertentu. Sampai
tingkat manakah struktur tugas atau pekerjaan dilakukan oleh bawahan
dengan mempertimbangkan persyaratan, alternatif-alternatif
penyelesaian masalah dan umpan balik pada keberhasilan kerja.
Menurut Bass & Avolio (Patty, 2001) kepemimpinan
transformasioanl mempunyai empat aspek. Keempat aspek gaya
kepemimpinan transformasional yaitu:
a. Karisma (kharisma)
Pemimpin yang memiliki karisma menunjukkan pendirian dan
menekankan kepercayaan kepada bawahannya. Pemimpin mampu
menempatkan diri kepada isu isu yang sulit, menunjukkan nilai yang
paling penting, serta menekankan pentingnya tujuan. Perlu
dimilikinya tekad mencapai tujuan serta memperhatikan akibat moral
dari keputusan yang diambil. Pemimpin memperlihatkan
kepercayaannya pada cita-citanya, keyakinannya, dan nilai hidupnya.
b. Motivasi Inspirasional (Inspirasional motivation)
Pemimpin mampu menimbulkan inspirasi pada bawahannya antara
lain dengan menentukan standar-standar tinggi, memberikan keyakinan
28
apa yang perlu dilakukan. Bawahan merasa mampu melakukan tugas
pekerjaannya, mampu memberikan berbagai macam gagasan. Mereka
merasa diberi inspirasi oleh pemimpinnya.
c. Rangsangan Intelektual (Intellectual stimulation)
Pemimpin yang mendorong para bawahan untuk mengeluarkan
ide-idenya dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada
menggunakan intelegensi dan alasan-alasan yang rasional daripada
hanya didasarkan pada opini-opini atau perkiraan semata. Bawahan
merasa pimpinan mendorong mereka untuk memikirkan kembali cara
kerja mereka untuk mencari cara-cara baru dalam melaksanakan tugas,
mendapatkan cara baru dalam mempersepsi tugas-tugas mereka.
d. Perhatian individu (Individual consideration)
Pemimpin yang mampu memperlakukan oranglain sebagai
individu, mempertimbangkan kebutuhan individual dan
aspirasi-aspirasi, mendengarkan dan melatih bawahan. Pemimpin menimbulkan
rasa mampu pada bawahannya bahwa mereka dapat melakukan
pekerjaan, dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk
tercapainya tujuan kelompok. Bawahan merasa diperhatikan dan
diperlakukan secara khusus oleh pimpinannya. Pemimpin
memperlakukan setiap bawahannya sebagai seorang pribadi dengan
29
Keempat aspek gaya kepemimpinan transformasional ini
digunakan dalam penyusunan skala gaya kepemimpinan transformasional.
Tabel 1
Karakteristik Gaya Kepemimpinan Transformasional
Karismatik Memberi misi dan visi, menumbuhkan
kebanggaan, mampu mendapatkan
kepercayaan dan rasa hormat
Motivasi Inspirasional Mampu mengkomunikasikan
harapan-harapan yang tinggi, menggunakan
simbol-simbol untuk memfokuskan kerja
keras, mengekspresikan tujuan-tujuan
penting dengan cara sederhana
Rangsangan intelektual Menghargai kecerdasan, mengembangkan
rasionalitas dan pemecahan masalah
secara teliti
Perhatian individu Memberi perhatian secara personal,
memperhatikan setiap bawahan secara
individual, memberi bimbingan dan saran
5. Efek Gaya Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang turut
30
membawa dampak pada berbagai aspek organisasi. Gaya kepemimpinan
transformasional merupakan gaya kepemimpinan yang relatif baru dan
menarik untuk dicermati. Kepemimpinan transformasional ini terbukti
mampu membawa perubahan-perubahan yang lebih mendasar seperti
perubahan nilai, tujuan dan kebutuhan bawahan.
Pemimpin transformasional ini berupaya untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh bawahannya. Pemimpin
juga mendorong bawahan untuk berbuat lebih dari apa yang diharapkan
dan menstimulasi pemikiran serta ide-ide bawahan. Perilaku yang
diterapkan oleh pemimpin ini akan membuat bawahan menjadi kreatif dan
inovatif. Hal ini dapat mendorong bawahan untuk melakukan proses
produksi yaitu menambah nilai guna dan menciptakan sesuatu yang baru.
Motivasi dari pemimpin untuk melakukan tugas dengan baik juga dapat
mengarahkan kinerja bawahan menjadi lebih optimal. Pemimpin juga
memberikan bimbingan dan saran yang membangun dimana dapat
meningkatkan performasi kerja individu (Keller, 2006).
Menurut Judge dan Picolo (2004) bawahan yang mempersepsi
kepemimpinan transformasional akan merasakan suatu kepuasan kerja.
Atasan menghargai apa yang dilakukan oleh bawahannya dan tidak
membuat suatu target yang harus dicapai oleh bawahan. Karyawan
merasakan kepuasan kerja karena atasan menjadi figur yang bisa
mengilhami dan mengayomi bawahan. Selain itu, pemimpin
31
mengaktualisasi dirinya. Kepemimpinan transformasional menjadi teladan
yang dapat diikuti oleh bawahan pada saat menghadapi permasalahan.
Kemampuan dalam menghadapi permasalahan ini akan mempengaruhi
jumlah stres yang dialami.
Seorang pemimpinan transformasional dalam bekerja akan
menjabarkan apa yang menjadi misi perusahaan kepada individu. Selain
itu pemimpin juga mengkomunikasikan apa yang menjadi
harapan-harapannya. Pemimpin transormasional menekankan pentingnya suatu
nilai kerja dan mendorong perubahan ke arah kepentingan bersama. Hal ini
akan membuat karyawan merasa bahwa apa yang dilakukan bukan untuk
dirinya sendiri tetapi untuk kepentingan bersama. Sehingga mendorong
pemimpin dan bawahan mengoptimalkan usaha untuk mencapai tujuan
bersama. Hal ini menumbuhkan rasa saling percaya, bangga dan rasa
hormat. Selain itu, menciptakan komitmen organisasi yang mencerminkan
sejauh mana seseorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya
(Pillai, Schriesheim & Williams, 1999).
C. Perawat
Perawat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu struktur
rumah sakit. Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang melakukan
fungsi perawatan pada pelayanan kesehatan (Smet, 1994). Sedangkan
menurut Gunarsa (1995), perawat adalah seorang yang telah dipersiapkan
32
sakit, usaha rehabilitasi dan pencegahan penyakit yang dilaksanakan secara
mandiri atau dibawah pengawasan supervisi, dokter atau suster kepala.
Hermaya (1992) memberikan definisi tentang perawat, yaitu orang yang
dididik menjadi tenaga paramedik untuk menyelenggarakan perawatan orang
sakit atau secara khusus mendalami bidang keperawatan tertentu seperti ahli
anestesi, ahli perawatan Ruang Gawat Darurat, ahli perawatan pediatriks,
teknisi kamar bedah, perawat rumah sakit jiwa dan perawat bidan. Perawat
merupakan sumber daya manusia yang besar peranannya dalam pelayanan
kesehatan masyarakat yang menentukan kinerja rumah sakit secara
keseluruhan (Harnanti 1995).
Perawat sebagai tokoh kunci dalam pelayanan di rumah sakit
mempunyai tugas dan tanggungjawab yang besar. Tanggungjawab itu
menuntut adanya pelaksanaan kerja yang efektif. Tugas pokok seorang
perawat adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada orang yang sedang
mengalami gangguan lemah fisik dan mental serta kepada mereka yang
membutuhkan untuk mempercepat proses penyembuhannya. Retnani (2001)
menyebutkan bahwa perawat juga bertugas untuk membantu dokter dalam
memberikan pelayanan perawatan dan nasehat kepada pasien yang sakit,
mengamati dan melaporkan keadaan pasien, menjaga pasien yang sakit keras
dan memberikan pertolongan pertama dalam keadaan darurat, serta
membantu problem untuk mempersiapkan diri dengan tempat dan metode
33
maupun sehat dalam beraktivitas agar sembuh dan mempertahankan
kesehatannya secara mandiri.
Menurut Llyod (dalam Krismi Diah, 2002), dalam menjalankan
tugasnya seorang perawat mempunyai tanggungjawab yang besar, yaitu: a)
Legal responsibilities, yaitu bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku;
b) Etical responsibilities, bertanggung jawab terhadap kode etik profesi; c)
Moral responsibilities, adalah tanggungjawab moral; d) Contractual
responsibilities, memenuhi kontrak kepada organisasi tempat bekerja sesuai
dengan ketentuan yang telah disepakati; e) Personal responsibilities,
merupakan tanggung jawab sebagai individu misalnya menyelamatkan pasien
sehingga memunculkan perasaan positif ketika melakukannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seorang
yang dipersiapkan melalui pendidikan menjadi tenaga paramedik yang
mempunyai beban kerja, tugas dan tanggungjawab besar untuk melakukan
pelayanan kesehatan, rehabilitasi, membantu serta menyelamatkan orang
yang sedang mengalami gangguan lemah fisik dan mental, dimana
dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan supervisi, dokter atau
suster kepala.
D. Hubungan antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan
Transformasional dengan Stres Kerja Perawat
Perawat sebagai tenaga kesehatan sering mengalami berbagai masalah
34
stres. Sumber stres perawat bisa berupa beban kerja yang terlalu berat maupun
kegagalan perawat dalam melakukan proses penyembuhan dan pelayanan
pasien. Berbagai ketegangan yang terjadi dan dialami dalam lingkungan
kerjanya akan sangat menggangu karena tanggungjawab perawat sangat besar
dalam kehidupan pasien. Maka stres pada perawat ini perlu diperhatikan dan
dilakukan pencegahan sedini mungkin.
Stres yang disebabkan oleh faktor lingkungan pekerjaan biasa disebut
dengan stres kerja. Menurut Davis (1996) Stres kerja terjadi karena adanya
tuntutan pekerjaan yang tidak seimbang dengan kemampuan individu. Stres
kerja ini merupakan suatu kondisi yang tidak tetap yang mempengaruhi fisik,
psikologis atau tingkah laku seseorang dimana disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara kemampuan individu dengan lingkungan kerjanya.
Robbins (2005) mengungkapkan bahwa faktor organisasional yang
menyebabkan stres kerja adalah kepemimpinan organisasi.
Kepemimpinan merupakan salah satu hal yang penting di dalam
organisasi. Menurut Gibson (1998) kepemimpinan merupakan kemampuan
mempengaruhi yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses
komunikasi untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan di dalam suatu organisasi
turut mempengaruhi stres kerja yang dialami oleh bawahan. Namun, faktor
kunci dari munculnya stres kerja adalah persepsi seseorang dan penilaian
terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil
manfaat dari situasi yang dihadapi. Persepsi merupakan suatu proses dimana
35
berdasarkan pengalaman, keyakinan, dan kemampuan berpikirnya sehingga
terbentuk gambaran mengenai stimulus yang dipersepsikan.
Pada saat bekerja, perawat akan mempersepsikan dan menilai perilaku
pemimpin dengan berbeda-beda. Seorang pemimpin yang menerapkan gaya
kepemimpinan transformasional akan menerapkan perilaku kepemimpinan
yaitu: karisma, motivasi inspirasional, rangsangan intelektual, dan perhatian
individu. Seorang pemimpin transformasional memiliki karisma sehingga
menunjukkan kepada bawahan bahwa dirinya memiliki pendirian yang kuat.
Hal ini membuat bawahan mengagumi dan menaruh kepercayaan kepada
pemimpin. Pemimpin transformasional juga memberikan keyakinan bahwa
tujuan dapat tercapai. Pemimpin tidak menetapkan target atau sasaran yang
tinggi untuk dipenuhi individu, namun pemimpin memberikan dorongan
motivasi pada bawahan. Perilaku pemimpin ini memberi kekuatan pada
bawahan dan mengurangi tekanan yang dirasakan individu saat bekerja yang
dapat mengakibatkan stres. Hal ini menumbuhkan keyakinan diri yang akan
membuat bawahan bermotivasi tinggi dan merasa mampu melakukan
pekerjaannya dengan sebaik-baiknya (Yukl, 1989). Pemimpin juga mendorong
para bawahan untuk mengeluarkan ide-idenya dan aspirasi-aspirasi. Hal ini
akan merangsang kreatifitas bawahan dan mendorongnya menemukan
pendekatan-pendekatan yang baru terhadap masalah lama (Seltzer & Bass,
1990). Perilaku yang diterapkan oleh pemimpin ini akan membuat bawahan
menjadi inovatif dalam menyelesaikan persoalan dan mampu berkreasi untuk
36
mencapai prestasi kerja yang tinggi serta bermutu. Seorang pemimpin yang
menggunakan kepemimpinan transformasional menggunakan empat perilaku
kepemimpinan tersebut untuk mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja,
pola kerja, dan nilai-nilai kerja (Avolio, 1990). Apabila bawahan
mempersepsikan dengan tinggi kepemimpinan ini maka akan tercapai
keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban kerja yang
dirasakan. Hal ini akan dapat mengurangi dan mengendalikan stres kerja pada
perawat.
Namun, apabila perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin ini
dipersepsikan bawahan dengan tidak baik maka bawahan akan cenderung
menolak untuk berubah. Karena pada dasarnya kepemimpinan
transformasional adalah kepemimpinan yang berupaya membuat perubahan
organisasi untuk mencapai performa yang lebih tinggi. Maka akan terjadi
ketidaksesuaian antara individu dengan lingkungan kerjanya. Bawahan akan
merasa kurang diperhatikan dan termotivasi didalam bekerja. Hal ini yang
akan membuat bawahan tetap berperilaku dan bekerja dengan kemauan
sendiri. Dengan demikian bawahan menjadi tidak bersemangat, merasa kurang
mendapat dukungan, dan kurang berkeinginan menunjukkan prestasi. Hal ini
merupakan gejala-gejala bahwa bawahan mengalami stres kerja. Perawat
kurang memiliki keseimbangan antara daya tahan mental dengan dengan
beban kerja yang dirasakan. Keadaan seperti ini jika tidak mampu teratasi
37
Skema Hubungan antara Persepsi terhadap Gaya Kepemimpinan
Transformasional dengan Stres Kerja
dan berupaya mencapai prestasi kerja yang tinggi serta bermutu. tahan mental individu dengan beban kerja yang dirasakan