• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kelapa 2.1.1 Deskripsi Kelapa - PENGARUH DEHIDRASI TERHADAP KEBERHASILAN PENGIRIMAN PLASMA NUTFAH EMBRIO KELAPA BANYUMAS ( Cocos nucifera L.) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kelapa 2.1.1 Deskripsi Kelapa - PENGARUH DEHIDRASI TERHADAP KEBERHASILAN PENGIRIMAN PLASMA NUTFAH EMBRIO KELAPA BANYUMAS ( Cocos nucifera L.) - repository perpustakaan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kelapa 2.1.1 Deskripsi Kelapa

Kelapa merupakan tanaman anggota famili Arecaceae (Palm) dari genus Cocos yang tersebar di seluruh daerah tropis maupun subtropis (Chan & Elevitch, 2006). Tanaman ini diyakini berasal dari daerah pesisir (zona littoral) Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina) ataupun Melanesia, kemudian menyebar ke Amerika Latin, Karibia hingga ke Afrika (Chan & Elevitch, 2006; Gomes-Copeland et al., 2015). Kelapa dapat tumbuh subur di berbagai jenis tanah dengan pH tanah terbaik berkisar pH 5,5-7 (Ohler & Magat, 2016). Tanaman ini dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian ≤ 700 mdpl, dengan pencahayaan matahari 2000 jam per tahun, serta curah hujan 1000-2000 mm (Ohler & Magat, 2016).

(2)

Gambar 2.1 Morfologi batang dan daun tanaman kelapa. a. Pangkal batang tanaman kelapa yang menunjukkan adanya pembesaran pada pangkal batang; b. Susunan roset batang tanaman kelapa yang menunjukkan tangai daun keenam tepat berada di atas tangkai daun pertama (Foale, 2003) ; c. kelapa genjah orange yang memiliki tangkai daun dan buah berwarna orange (Chan & Elevitch, 2006); d. daun kelapa yang merupakan daun majemuk menyirip

Batang tanaman kelapa berbentuk bulat (teres), arah tumbuh batang tegak serta tingginya dapat mencapai 20 m hingga 30 m (Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016). Diameter batang berkisar 20 - 60 cm dimana pada beberapa kultivar pangkalnya membesar membentuk bole (Gambar 2.1.a Ohler & Magat, 2016; van Steenis, 1987). Batang berwarna abu-abu terang dan terdapat bekas daun yang rontok pada struktur luarnya (Ohler & Magat, 2016). Pada ujung batang terdapat daun kelapa yang rapat berjejal membentuk roset batang. Daun

a

b

(3)

tersebut tersusun dengan pola spiral pada filotaksis 2/5, yang artinya daun keenam tepat berada di atas daun pertama (Gambar 2.1.b; Tjitrosoepomo, 2000; Foale, 2003).

Daun kelapa merupakan daun majemuk menyirip yang panjangnya dapat mencapai sekitar 4,5 - 5,5 m dengan 200 – 250 helaian daun (Gambar 2.1.d). Anak daun tipis tetapi cukup kaku (perkamenteus) dengan lebar antara 1,5- 5 cm dan panjang 50-150 cm (Tjitrosoepomo, 2000; Chan & Elevitch, 2006). Tangkai daun dapat berwarna hijau maupun kuning perunggu atau orange (Gambar 2.1.c), warna tersebut mengindikasikan warna buah (Chan & Elevitch, 2006).

Bunga kelapa tergolong ke dalam bunga tongkol majemuk yang terletak aksiler dengan bunga jantan dan betina dalam satu tongkol (Gambar 2.2.a; Chan & Elevitch, 2006. Satu tongkol majemuk (spadix) sebelum mekar biasanya diselubungi oleh seludang yang besar, tebal dan kuat (Tjitrosoepomo, 2000). Tongkol (spadix) tersusun dari poros tengah (rachis) dengan 30 atau lebih cabang lateral (rachillae). Panjang tongkol bunga sekitar 1-2 m sedangkan cabang lateral sekitar 30-55 cm. Dalam setiap cabang lateral terdapat sekitar 200-300 bunga jantan dengan satu atau lebih bunga betina di bagian pangkalnya. Jumlah bunga betina dalam perbungaan bergantung pada faktor genetik dan lingkungannya (Thomas & Josephrajkumar, 2013).

(4)

berbentuk bulat peluru dengan diameter 2,5- 3 cm. Bunga betina memiliki bakal buah beruang 3 dengan perhiasan bunga berdaging yang menempel pada bakal buah, tangkai putik tidak ada sedangkan kepala putik seperti celah yang tenggelam (van Steenis, 1987). Pada kondisi yang menguntungkan, tanaman kelapa dapat berbunga untuk pertama kalinya setelah 4-5 tahun tanam (Chan & Elevitch, 2006).

Gambar 2.2 Bunga, buah, embrio kelapa beserta perkecambahannya. a. Perbungaan kelapa yang menunjukkan bunga jantan dan betina berada pada satu tongkol; b. Buah kelapa dengan 3 mata lembaga dimana salah satu mata merupakan letak dari embrio kelapa; c. Letak embrio kelapa pada emdosperm dilihat dari samping ; d. Munculnya tunas dan akar dari salah satu mata lembaga (Chan & Elevitch, 2006; Newton’saplle, 2016)

b a

c d

bunga betina

(5)

Setelah terjadi fertilisasi, bunga betina akan berkembang membentuk buah dan matang dalam waktu 11-12 bulan (Ohler & Magat, 2016). Buah kelapa memiliki warna, bentuk serta komposisi buah yang berbeda bergantung kultivar dan kondisi lingkungannya. Umumnya buah kelapa memiliki panjang berkisar antara 20-30 cm dengan berat sekitar 850- 3700 gram (Chan & Elevitch, 2006). Buah kelapa tergolong buah batu (drupa) yang mempunyai kulit buah yang terdiri atas tiga lapisan kulit yaitu: kulit luar (exocarpium) yang tipis (0,1 mm) menjangat, licin mengkilat; kulit tengah (mesocarpium) yang tebal (4-8 cm) berserabut; kulit dalam (endocarpium) yang keras dan berkayu (3-6 mm) (Tjitrosoepomo, 2000; Ohler & Magat, 2016).

(6)

8 minggu setelah perkecambahan, sedangkan daun akan muncul setelah 13 minggu setelah perkecambahan (Ohler & Magat, 2016).

2.1.2 Manfaat Kelapa

Kelapa dikenal sebagai tree of life karena hampir semua bagian tanaman tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akar kelapa sangat berpotensi sebagai bahan obat-obatan tradisional seperti sebagai anti-piretik atau penurun suhu tubuh pada penderita demam maupun untuk diuretik (meningkatkan produksi urin) (Ohler & Magat, 2016). Akar kelapa juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan kerajinan (Pratiwi, 2013), serta bahan baku pewarna alami (Kristina & Syahid, 2007).

Batang kelapa yang sering disebut “glugu” banyak dimanfaatkan sebagai

bahan baku bangunan ataupun kayu bakar. Batang kelapa juga banyak digunakan sebagai furniture seperti meja, kursi ; maupun peralatan rumah tangga (Ohler & Magat, 2016; Foale, 2003). Selain itu batang kayu kelapa juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alat musik seperti gitar akustik yang berkualitas (Firmansyah, 2006).

(7)

Bunga kelapa atau yang dikenal “manggar” yang masih muda biasanya disadap untuk diambil niranya. Nira kelapa ini mengandung gula sekitar 15 %, biasanya diminum secara langsung atau diolah menjadi tuak atau minuman beralkohol melalui proses fermentasi. Selain diolah menjadi minuman, nira juga dapat diproses menjadi gula kelapa ataupun gula kristal (Ohler & Magat, 2016).

Bagian kelapa lainnya yang memiliki peran penting bagi masyarakat adalah buah. Salah satu bagian dari buah kelapa yaitu sabut banyak dimanfaatkan dalam pembuatan karpet, tali, tikar, geo-tekstil, sikat, pengisi jok, maupun kasur (Foale, 2003). Selain itu, serbuk dari sabut kelapa banyak digunakan untuk medium tanam (cocopeat), campuran kompos, bahan bangunan ringan dan isolasi termal (Ohler & Magat, 2016). Bagian tempurung kelapa atau yang dikenal

“batok” banyak dimanfaatkan untuk membuat peralatan rumah tangga, pot hias,

dan sebagai bahan bakar (Ohler & Magat, 2016) ataupun diolah menjadi berbagai aksesoris seperti aksesoris sepatu (Hariastuti, 2016). Selain itu, tempurung kelapa juga dapat digunakan untuk menghasilkan produk olahan arang aktif berkualitas tinggi yang banyak dimanfaatkan dalam dunia industri (Foale, 2003).

(8)

ataupun dikeringkan hingga kadar air mencapai kurang dari 50 % menjadi kopra untuk selanjutnya diolah menjadi minyak goreng berkualitas tinggi

Indonesia saat ini dikenal sebagai negara pengekspor kopra terbesar kedua di dunia sesudah Filipina. Pada tahun 2013, nilai eksport minyak, kopra mencapai 631 ribu ton (FAO, 2016). Disamping dieksport, mayoritas hasil olahan kelapa seperti minyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hingga saat ini harga minyak kelapa dalam negri dapat mencapai sekitar 23.000,- per liter (kursrupiah.net).

Dewasa ini daging buah juga banyak diproses untuk menghasilkan minyak goreng berkualitas tinggi yaitu virgin coconut oil (VCO). Hasil samping dari ampas kelapa (bungkil kelapa) merupakan salah satu bahan baku pakan ternak (Foale, 2003; Ohler & Magat, 2016).

2.1.3 Kultivar

Dilihat dari morfologinya, kelapa digolongkan menjadi beberapa tipe yaitu kelapa dalam (tall), kelapa genjah (dwarf) serta kelapa hibrida yang merupakan hasil persilangan dari kelapa tipe dalam dan genjah. Tipe kelapa dalam umumnya memiliki batang tinggi dengan pangkal membesar serta memiliki daun panjang dan lebar. Tipe kelapa lainnya yaitu genjah umunya memiliki batang pendek serta daun yang ukurannya relatif lebih kecil dan pendek dibandingkan kelapa dalam (Foale, 2003).

(9)

kelapa dalam dan 23 kelapa genjah (Bourdeix, 2012). Namun demikian, diperkirakan masih banyak kutivar kelapa unggul lokal yang belum terpublikasi secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.

Salah satu kultivar tersebut adalah Kelapa Bido yang banyak ditemukan di Desa Bido, Kecamatan Morotai, Maluku Utara. Kelapa ini memiliki karakter pertumbuhan batang yang lambat yaitu tinggi rata-rata hanya 1-5m pada umur 4-50 tahun, cepat berbuah (mulai berbuah pada umur 3 tahun setelah tanam), memiliki ukuran buah yang besar yaitu 2,5 kg per butir dengan bobot daging buah per butir 534 gr dan tingkat ketebalan daging 1,2 cm (Gambar 2.3.a). Selain itu, produksi kelapa ini juga tinggi dengan jumlah tandan per pohon mencapai 12-14 tandan serta jumlah buah per tandan mencapai 8-9 buah (malut.litbang.pertanian.go.id, 2017).

Gambar 2.3 Contoh kultivar kelapa unggul di Indonesia.. a Kelapa bido yang terdapat di Desa Bido Kecamatan Morotai, Maluku Utara (malut.litbang.pertanian.go.id., 2016); b Kelapa Genjah Tebing Tinggi yang tersebar di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara (Mashud & Matana, 2015)

Kultivar kelapa unggul lainnya yaitu Kelapa Genjah Tebing Tinggi (Gambar 2.3.b) dapat ditemui di kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Kultivar

(10)

kelapa tersebut merupakan salah satu aksesi kelapa genjah yang banyak dimanfaatkan sebagai sumber nira untuk bahan baku pembuatan gula (Mashud & Matana, 2014). Selain Kelapa Genjah Tebing Tinggi, di Jawa Tengah juga terdapat beberapa kultivar unggul salah satunya Kelapa Genjah Entog yang tersebar di kecamatan Cilongok dan Ajibarang, Kabupaten Banyumas (SK Direktur Jenderal Perkebunan, Nomor: 53/KB.820/SK/DJ.BUN /05-1996). Kelapa ini memiliki ukuran batang yang pendek serta cepat berproduksi (bupati.banyumaskab.go.id, 2017).

Kelapa-kelapa unggul tersebut sampai saat ini penyebarannya belum merata di seluruh Indonesia. Sehingga pengembangan kelapa-kelapa unggul tersebut masih terkendala ketersediaan benih maupun transportasi antar wilayah.

2.1.4 Permasalahan Kelapa di Indonesia

Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Pada tahun 2014, luas area perkebunan kelapa di Indonesia tercatat 3,08 juta Ha dengan total produksi kelapa sekitar 19 juta ton (FAO, 2016). Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kelapa terbesar di dunia. Meskipun demikian, produktivitas kelapa di Indonesia masih relatif rendah yaitu sekitar 0,9-1,1 ton kopra per hektar per tahun, jauh lebih rendah dari seharusnya sekitar 3-5 ton kopra per hektar per tahun (FAO-APCC, 2013).

(11)

serangan penyakit yang menyerang tanaman kelapa juga menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas kelapa. Penyakit tersebut diantaranya penyakit busuk pucuk (PBP) yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora palmivora serta penyakit layu Kalimantan (PLK) yang disebabkan oleh Phytoplasma (Lolong & Motulo, 2014).

Salah satu kendala utama dalam upaya meningkatkan produktivtias kelapa di Indonesia adalah mayoritas tanaman berusia produktif ataupun tua. Pada tahun 2013 proporsi tanaman tua mencapai 0,58 juta Ha (FAO-APCC, 2013). Sebagai contoh di Kabupaten Kulonprogo terdapat sekitar 2 juta pohon kelapa yang mayoritas sudah berusia tua (Solopos.com, 2016). Oleh karena itu, upaya peremajaan tanaman kelapa diperlukan sebagai solusi jangka panjang guna meningkatkan produktivitas kelapa di Indonesia.

Salah satu sarat agar terselenggaranya program peremajaan kelapa di Indonesia adalah tersedianya benih kelapa yang unggul dalam jumlah yang memadai. Untuk peremajaan 500.000 ha (total tanaman tua) selama 5 tahun (100.000 ha per tahun) dibutuhkan benih sebanyak 22 juta benih kelapa per tahun (1 ha memerlukan 220 benih, Novarianto, 2008)

2.2 Pembenihan Kelapa dan Permasalahannya

2.2.1 Pembenihan secara Generatif dan Kultur Embrio

(12)

dilakukan seleksi benih dan dilakukan pemindahan ke dalam polybag sehingga diperoleh benih kelapa (Gambar 2.4.b)

Gambar 2.4 Pembenihan kelapa secara generatif. a. Kelapa tua berumur 11-12 bulan disemai digundukan tanah. b. Benih kelapa siap tanam yang diletakkan dalam polybag (Manaroinsong et al., 2003 )

Teknik pembenihan kelapa secara generatif memiliki kelebihan seperti memerlukan waktu yang relatif singkat yaitu hanya ± 6 bulan dengan teknik yang cukup sederhana sehingga mudah dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian, teknik ini memiliki kelemahan di antaranya memerlukan lahan yang relatif luas untuk proses pembenihan. Selain itu, penggunaan buah dalam pembenihan kelapa juga memungkinkan bibit penyakit yang tetap terbawa pada keturunannya. Kendala lain yang dihadapi dalam pembenihan kelapa adalah buah yang memiliki sifat rekalsitran, yaitu tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama dikarenakan biji kelapa akan kehilangan daya perkecambahan jika dikeringkan sampai kadar air dibawah 30 % (Oliver et al., 2010). Akibatnya buah kelapa tidak dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu sampai buah tersebut dibutuhkan untuk dikecambahkan.

Salah satu kelemahan utama yang lain dalam pembenihan kelapa secara generatif adalah karakter buah kelapa yang besar dan berat (850-3700 gr; Chan &

(13)

Elevitch, 2006). Akibatnya pengiriman benih ataupun buah kelapa dari satu wilayah produsen ke konsumen membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya pengiriman kelapa menjadi lebih besar lagi karena daerah penghasil benih kelapa unggul di Indonesia tidak tersebar secara merata. Sebagai contoh daerah utama penghasil Kelapa Dalam Bali adalah Denpasar Bali; kelapa Bido banyak dihasilkan di Morotai, Maluku; sedangkan kelapa Genjah Entok ada di Banyumas. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pengiriman buah kelapa adalah dengan pengiriman embrio kelapa. Pengiriman benih kelapa dengan menggunakan embrio memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pengiriman buah kelapa. Embrio memiliki ukuran relatif kecil, yaitu sekitar 0,1 g per embrio atau 8500-37000 kali lebih kecil dibandingkan dengan buah kelapa, sehingga biaya pengirimannya jauh lebih murah. Selain itu, pengiriman embrio kelapa juga dapat mengurangi penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah yang lain dibandingkan dengan pengiriman menggunakan buah (Batugal, 1998).

(14)

2.2.2 Kemajuan Penelitian tentang Pengiriman Embrio Kelapa

Pada awalnya, pengiriman embrio kelapa dilakukan dengan cara mengirim embrio berikut potongan silinder endosperm (plug; Rillo & Palloma, 1991). Endosperm berisi embrio kelapa diisolasi dengan menggunakan cork borer (Gambar 2.5.a), kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril yang berisi kapas basah (Gambar 2.5.b) kemudian dikirim ke tempat tujuan dengan tingkat kelulushidupan mencapai sekitar 70 – 80 % dari total embrio yang dikirim. Teknik tersebut mudah dilakukan serta tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Namun demikian, pengiriman harus dilakukan dalam suhu dingin (Rillo & Palloma, 1991), sehingga tidak mungkin dilakukan pada daerah-daerah tertentu. Penggunaan plug yang memiliki bobot relatif berat, yaitu sekitar 6 gram per plug merupakan kendala lain dalam penggunaan teknik tersebut.

Gambar 2.5 Teknik pengiriman embrio kelapa oleh Rillo & Paloma, (1991). a. Embrio kelapa diambil menggunakan cork borer ; b. Plug embrio kelapa di tempatkan dalam kantong plastik steril yang berisi kapas basah.

Teknik pengiriman plasma nutfah kelapa yang lebih ringan dilakukan dengan cara pengiriman embrio tanpa mengikutkan endospermnya seperti yang dilkukan oleh Karun & Sajini (1994). Embrio yang telah diisolasi kemudian disterilkan dan direndam dalam larutan aquades steril untuk dikirim ke tempat

(15)

tujuan. Teknik tersebut dapat digunakan untuk mengirim embrio dengan jangka waktu yang lebih panjang, yaitu sekitar 2 bulan dengan tingkat keberhasilan perkecambahan mencapai sekitar 70 % (Karun & Sajini ,1994).

Teknik pengiriman embrio tanpa mengikutsertakan endosperm juga telah dilaporkan oleh Samosir et al. (1999) dengan cara embrio steril direndam dalam larutan vit C kemudian dikirim ke tempat tujuan.. Namun teknik tersebut hanya dapat digunakan untuk pengiriman dengan durasi waktu yang singkat yaitu maksimal 4 hari. Teknik tersebut mampu menghasilkan embrio yang berkecambah dengan tingkat keberhasilan mencapai sekitar 95%.

Teknik pengiriman embrio yang lain dapat digunakan untuk durasi waktu lebih lama (sekitar 12 hari) yaitu dengan menempatkan embrio steril pada tabung kultur berisi medium tanam padat kemudian dikirimkan ke tempat tujuan. Keberhasilan teknik tersebut relatif tinggi yaitu sekitar 80 % embrio yang dikirim mampu berkecambah secara normal (Sisunandar et al., 2010). Namun demikian, teknik tersebut mengikutkan medium tanam sehingga pengiriman menjadi lebih mahal serta resiko kontaminasi selama proses pengiriman menjadi lebih tinggi.

(16)

2.3 Dehidrasi Embrio dan Permasalahannya 2.3.1 Pengertian

Air merupakan senyawa penyusun paling utama pada sel yang aktif. Air berperan sangat penting dalam metabolisme sel dan seluruh makluk hidup membutuhkan air agar tetap bertahan hidup (Salisbury & Ross, 1995). Semua tumbuhan membutuhkan kadar air tertentu agar tetap bertahan hidup. Misalnya hampir seluruh tumbuhan masih dapat bertahan hidup jika kelembapan udara berada di sekitar 80 % (Alpert & Oliver, 2002). Namun demikian untuk alasan tertentu seperti dormansi pada biji, tumbuhan memiliki mekanisme tersendiri untuk mengurangi metabolisme sel agar biji bisa bertahan lama. Mekanisme umum yang dilakukan oleh tumbuhan adalah dengan cara menurunkan kadar air pada biji yang sedang mengalami dormansi (Alpert & Oliver, 2002).

Kadar air yang rendah dengan temperatur penyimpanan yang benar dapat memperlama waktu hidup sampel yang disimpan. Misalnya biji Lactuca sativa L. yang dikeringkan sampai kadar air 5 % dapat disimpan selama 13 tahun pada suhu 5 0C tanpa kehilangkan kemampuan berkecambahnya, sedangkan apabila disimpan pada suhu -18 0C dapat disimpan sampai 150 tahun (Walters et al., 2004). Oleh karena itu penurunan kadar air pada suatu sampel tumbuhan banyak digunakan untuk tujuan penyimpanan sampel tersebut.

(17)

enzim karena protein-protein penyusun enzim akan mengalami dehidrasi sehingga menjadi tidak aktif (Alpert & Oliver, 2002). Namun demikian pengurangan kadar air juga dapat memiliki dampak negatif terhadap sel. Pammenter & Berjak (1999) menggolongkan kerusakan yang terjadi di dalam sel akibat adanya dehidrasi menjadi tiga macam, yaitu (1) perubahan ukuran sel yang memacu terjadinya kerusakan secara mekanik seperti rusaknya sitoskeleton di dalam sel karena protein yang terdenaturasi (Beckett et al., 2005), (2) terjadinya kerusakan metabolime sel seperti rusaknya enzim-enzim sebagai akibat terjadinya denaturasi protein maupun terjadinya perubahan pH di dalam sel, (3) terjadinya kerusakan-kerusakan makromolekul yang terjadi di permukaan sel maupun matriks ekstraselluler.

(18)

Salah satu mekanisme penurunan kadar air pada suatu sampel adalah dehidrasi. Dehidrasi adalah sebuah proses menurunkan kadar air dari suatu jaringan atau sampel. Proses penurunan kadar air dapat dilakukan secara fisika ataupun secara kimia. Pada umumnya, dehidrasi secara fisika dilakukan dengan cara menempatkan sampel pada lingkungan udara kering yang memiliki kelembapan udara lebih rendah sehingga air di dalam sampel keluar ke udara dalam bentuk uap air, sedangkan dehidrasi secara kimia umumnya dilakukan dengan cara merendam sampel pada larutan hipertonik sehingga air dari dalam sampel dapat mengalir keluar dari sampel (Panis & Lambardi, 2005). Dalam dehidrasi kimia, air akan mengalir keluar dari sampel sedangkan zat-zat terlarut dalam larutan hipertonik akan masuk ke dalam sampel (Ramallo & Mascheroni, 2005).

2.3.2 Dehidrasi Kimia

(19)

mampu melindungi sel selama suhu rendah dengan cara menjaga stabilitas keutuhan membran plasma (Kaviani, 2011).

Dehidrasi kimia pada jaringan ataupun bahan tumbuhan banyak digunakan untuk berbagai tujuan seperti penyimpanan bahan makanan baik buah maupun sayuran (Yadav & Singh, 2014), penyimpanan biji dan material hidup lainnya (Alpert & Oliver, 2002), bahkan banyak digunakan sebagai perlakuan untuk material-material yang akan disimpan pada suhu ultra rendah, seperti pucuk tanaman, meristem ataupun embrio tanaman (Gonzales-Arnao & Engelmann, 2006).

(20)

Pada kelapa (Cocos nucifera L), beberapa penelitian telah dilakukan untuk mendehidrasi embrio secara kimiawi. Senyawa yang umum digunakan adalah sukrosa atau glukosa dan beberapa penelitian lain menambahkan beberapa senyawa krioprotektan seperti gliserol, DMSO, atau sorbitol seperti tampak pada Tabel 2.1. Penelitian dehidrasi embrio kelapa pertama kali dilaporkan oleh Assy-Bah & Engelmann (1992) dengan menggunakan medium in vitro dengan penambahan 600 g/l glukosa dan 15% gliserol dalam LAF (laminar air flow) selama 24 jam. Embrio yang digunakan tersebut terdiri dari 4 kultivar kelapa yaitu hybrid PB 121, Genjah Merah Kamerun, Dalam India, serta Dalam Rene11 yang berumur 10-12 bulan setelah penyerbukan. Prosentase embrio yang berhasil tumbuh setelah dilakukan dehidrasi dapat mencapai 93%.

Tabel 2.1 Perkembangan penelitian dehidrasi embrio kelapa secara kimiawi

(21)

Sajini et al. (2006) juga telah melaporkan teknik dehidrasi embrio kelapa West Coast Tall dengan menggunakan 2 M sukrosa selama 24 jam dilanjutkan dengan menggunakan silica gel sehingga kadar air menurun dari 81,98% menjadi berkisar 30%. Teknik tersebut menghasilkan persentase embrio yang mampu berkecambah sebesar 68,8%.

Penelitian lain dilaporkan oleh N’Nan et al. (2012) dengan menggunakan medium yang berisi 3,2 M glukosa dan ditempatkan dalam LAF selama 34 jam ataupun menggunakan silica gel selama 48 jam yang diujikan pada 10 kultivar kelapa yang berbeda dan mampu menurunkan kadar air bervariasi antara 0.25 hingga 0.65 g g-1Teknik tersebut mampu menghasilkan embrio yang berhasil berkecambah mencapai 94 %. Teknik dehidrasi embrio kelapa dengan menggunakan larutan glukosa 3,3 M dan gliserol 15 % dan ditempatkan dalam LAF (laminar air flow) selama 16 jam juga telah dilaporkan untuk menurunkan kadar air di dalam embrio kelapa dari 77% menjadi 29%. Teknik tersebut mampu memberikan prosentase kelulushidupan mencapai 93%, serta prosentase embrio yang mampu berkecambah sekitar 63 % setelah dilakukan dehidrasi (Sisunandar et al., 2012). Teknik serupa juga dilaporkan untuk mengeringkan embrio Kelapa Banyumas selama 6 jam sehingga kadar air di dalam embrio kelapa turun dari 71% menjadi 36%. Perlakuan tersebut mampu menghasilkan embrio yang tetap berkecambahan secara normal mencapai sekitar 78 % (Masrur et al., 2016).

(22)

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi batang dan daun tanaman kelapa. a. Pangkal batang
Gambar 2.2 Bunga, buah, embrio kelapa beserta perkecambahannya. a.
Gambar 2.3 Contoh kultivar kelapa unggul di Indonesia.. a Kelapa bido yang terdapat di Desa Bido Kecamatan Morotai, Maluku Utara (malut.litbang.pertanian.go.id., 2016); b Kelapa Genjah Tebing Tinggi  yang tersebar di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara (Mashud & Matana, 2015)
Gambar 2.5 Teknik pengiriman embrio kelapa oleh Rillo & Paloma, (1991).     a. Embrio kelapa diambil menggunakan cork borer ; b
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat

terjadinya placenta previa karena endometrium.. Alamat : Untuk mengetahui alamat yang lebih jelas dalam. melakukan kunjungan rumah. 2)

Penelitian mengenai aplikasi kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih penting untuk dilakukan karena diduga penambahan kombinasi pengawet tersebut dapat

Oleh karena itu, problem mendasar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia bukan karena sistem managemen kepegawaian seperti yang dinyatakan oleh Ross McLeod (2006), reformasi

Humas merupakan suatu kegiatan yang sangat diperlukan dalam semua pelaksanaan pekerjaan agar sekolah atau lembaga pendidikan tersebut mempunyai wahana yang resmi

Fraktur vertebra adalah gangguan kontinuitas jaringan tulang yang terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorsinya yang terjadi pada ruas-ruas

Pasien mengatakan nyeri, nyeri akibat jatuh dari tangga dengan kualitas nyeri seperti tertusuk – tusuk, nyeri di daerah paha atas dan menjalar sampai ke

Pengaruh Penggunaan Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum L.) Terhadap Daya Awet dan Mutu Sensori Produk Mie Basah Matang pada Penyimpanan Suhu Ruang..