• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Bab dua ini akan menguraikan secara lebih rinci mengenai komponen-komponen terkait dengan objek penelitian, teori yang digunakan untuk menurunkan variabel-variabel penelitian maupun perumusan hipotesis beserta kerangka pemikiran penelitian ini.

A. Landasan Teori

Landasan teori ini menjelaskan komponen-komponen terkait dengan objek penelitian secara definitif dan juga penjelasan dalam menurunkan variabel secara teoritis.

1. Laporan Tahunan

Laporan tahunan (annual report) adalah media utama untuk mengomunikasikan informasi keuangan dan informasi lainnya dari pihak manajemen kepada pihak di luar perusahaan (Suhardjanto dan Miranti, 2009). Stanton dan Stanton (2002) menyatakan bahwa laporan tahunan dipandang sebagai dokumen publik yang dihasilkan oleh perusahaan publik sebagai suatu kewajiban dalam hal pelaporan. Harahap (2003) menambahkan bahwa di Indonesia perusahaan publik yang memiliki total aset lebih dari Rp. 50 miliar memiliki kewajiban untuk mempublikasikan laporan keuangannya sebagaimana yang diatur dalam PSAK.

(2)

Menurut Harahap (2003), laporan tahunan digunakan sebagai sumber informasi utama para investor. Banyaknya informasi yang dapat diperoleh dari laporan tahunan sangat bergantung pada luasnya pengungkapan (disclosure) dari laporan keuangan perusahaan.

2. Pengungkapan Laporan Keuangan

Menurut Suwardjono (2005), secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh laporan keuangan. Tujuan pengungkapan adalah untuk menyajikan informasi yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pelaporan keuangan dan untuk melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Praktik pengungkapan (disclosure) di Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan seperti dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 Revisi 2009 mengenai pengungkapan yang harus dilakukan oleh perusahaan yang dikeluarkan oleh Bapepam selaku lembaga yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia (Purwanto, 2011).

Menurut Suhardjanto dan Miranti (2009), terdapat dua sifat pengungkapan yaitu mandatory disclosure atau pengungkapan yang didasarkan pada ketentuan dan voluntary disclosure atau pengungkapan yang bersifat sukarela. Pada umumnya perusahaan bersedia melakukan pengungkapan meski menambah biaya perusahaan. Pertimbangan tersebut

(3)

diambil sebagai upaya untuk meningkatkan citra perusahaan atau memenuhi keinginan stakeholder.

3. Corporate Social Responsibility dan Pengungkapan CSR

Menurut Anggraini (2006), adanya konsep good corporate governance yang mengatur tata kelola perusahaan yang transparan dan akuntabel menuntut perusahaan untuk mengungkapkan informasi mengenai aktivitas sosial perusahaan. Publik membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan telah melakukan aktivitas sosialnya, sehingga publik dapat menilai tata kelola suatu perusahaan sudah baik atau belum dan dapat diterima atau tidak.

Menurut Mirfazli (2008), fenomena akuntansi sosial ekonomi merupakan hal yang baru di dunia akuntansi dan sangat berbeda dengan akuntansi konvensional. Pada akuntansi konvensional perusahaan hanya berorientasi pada konsumen, sementara pada akuntansi sosial ekonomi melihat lebih jauh mengenai dampak pengelolaan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Anggraini (2006) juga menambahkan bahwa dalam perkembangannya akuntansi konvensional berupaya untuk mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep Corporate Social Responsibility (CSR).

Menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), sebuah jaringan advokasi global CEO lebih dari 200 perusahaan internasional yang berfokus pada business and sustainability development, definisi Corporate Social Responsibility adalah berikut ini.

(4)

“Continuing commitment by business to behave ethically and contributed to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large”.

Definisi tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa esensi dari CSR tidak hanya melingkupi dimensi sosial saja, lebih dari itu melingkupi dimensi ekonomi dan juga lingkungan dan masyarakat.

Sementara itu, pengungkapan CSR atau TJSL merupakan pengungkapan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan mengenai kepatuhan perusahaan dalam hal melakukan tanggung jawab sosial perusahaan. Di Indonesia sendiri, pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan sudah menjadi suatu kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Undang-undang maupun peraturan ini mengatur tentang kewajiban pelaksanaan beserta laporan pelaksanaan atau pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Pasal tersebut menyatakan perseroan yang berbadan hukum, khususnya yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).

Pengungkapan CSR menurut Elkington (1997) dari bukunya yang berjudul Cannibal with Forks: The Triple Bottom Line of The 21st Century

Business, konsep Triple Bottom Line menyatakan bahwa terdapat tiga fokus pengungkapan CSR, yakni pengungkapan kinerja ekonomi, pengungkapan kinerja sosial, dan pengungkapan kinerja lingkungan.

(5)

4. Environmental Disclosure

Menurut Juhmani (2014), peningkatan peristiwa bencana alam dan global warming telah menjadi perhatian serius oleh banyak perusahaan, sehingga banyak perusahaan mengambil tindakan tanggung jawab lingkungan yang merefleksikan kepedulian mereka terhadap ekspektasi sosial. Hal tersebut menjadi latar belakang praktik pengungkapan kinerja lingkungan atau environmental disclosure.

Environmental disclosure merupakan salah satu domain atau aspek dalam pengungkapan CSR secara keseluruhan. Environmental disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di dalam laporan keuangan perusahaan. Environmental disclosure bertujuan sebagai media untuk mengkomunikasikan realitas untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial dan politik bagi para pihak yang berkepentingan. Selain itu, menurut Brown dan Deegan (1998, dalam Suhardjanto dan Miranti, 2009), tujuan perusahaan lainnya dalam environmental disclosure adalah untuk memperoleh perhatian, dukungan, maupun kepercayaan dari masyarakat agar perusahaan dapat tetap eksis.

5. Teori Institusional

Teori Institusional adalah teori yang menjelaskan terbentuknya organisasi yang dikarenakan tekanan lingkungan organisasional yang menyebabkan terjadinya institusionalisasi (pelembagaan). Menurut Di Maggio dan Powell (1983), terbentuknya organisasi terjadi pada cakupan organisasional yang luas. Setiap organisasi saling mempengaruhi bentuk

(6)

organisasi lainnya lewat proses adopsi atau institusionalisasi (pelembagaan). Dalam arti lain organisasi terbentuk oleh lingkungan institusional yang ada di sekitar mereka. Ide-ide yang berpengaruh kemudian diadopsi dan diterima sebagai cara berpikir organisasi tersebut. Proses adopsi atau adaptasi praktik institusional oleh sebuah organisasi lebih dikenal dengan istilah isomorphism. Isomorphism merupakan dimensi dari teori institusional. Proses isomorphism dipengaruhi oleh berbagai macam tekanan dari pemangku kepentingan dan juga tuntutan profesional (Deegan, 2009 dalam Ali dan Rizwan, 2013). Corporate social and environmental disclosure juga dipandang sebagai praktik institusional oleh perusahaan tertentu, sehingga praktik pengungkapan tersebut diadaptasi oleh perusahaan. Isomorphism memiliki tiga jenis, yaitu coercive, mimetic, dan normative.

Coercive isomorphism merupakan hasil dari tekanan baik yang bersifat formal maupun informal, yang diberikan kepada organisasi oleh organisasi lain di mana mereka bergantung terhadap ekspektasi masyarakat di lingkungan organisasi berada (Di Maggio dan Powell, 1983). Tekanan tersebut dapat bersifat sebagai paksaan, persuasif, maupun kolusi. Pada coercive isomorphism, kekuatan stakeholder memegang peran penting yang memaksa perusahaan untuk mengadopsi praktek-praktek kelembagaan tertentu (misalnya CSED) agar terlihat sama dengan perusahaan lain yang beroperasi di lingkungan institusi yang sama. Tekanan yang bersifat koersif berasal dari berbagai sumber seperti aturan politik dan peraturan (hukum) dan masyarakat luas.

(7)

Mimetic isomorphism merupakan keinginan perusahaan untuk meniru praktik organisasional (misalnya CSED) dari organisasi lain (Di Maggio dan Powell, 1983). Konsep ini muncul karena situasi ketidakpastian mengenai adanya panduan atau referensi mengenai suatu praktik organisasional, sehingga perusahaan berupaya untuk meniru perusahaan lain yang telah menjalankan praktik tersebut dengan baik.

Normative isomorphism merupakan sikap profesionalisme perusahaan untuk mematuhi standar-standar yang berlaku dan juga mengadopsi praktik institusional (Di Maggio dan Powell, 1983). Etika dan budaya memiliki peran yang penting dalam konsep ini untuk memengaruhi sikap profesionalisme agar mengadopsi praktik institusional (misalnya CSED).

Menurut Ali dan Rizwan (2013), teori institusional merupakan teori terbaik yang dapat mengatasi kekurangan dari teori legitimasi dan teori stakeholder untuk menjelaskan praktik corporate and social disclosure. Berdasarkan teori legitimasi, aktivitas perusahaan harus sesuai dengan harapan masyarakat. Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa beberapa kelompok seperti pemerintah, media, karyawan, dan investor berhasil memengaruhi praktik CSED pada perusahaan di negara berkembang. Namun, teori ini belum mampu menggabungkan seluruh harapan kelompok dalam masyarakat. Berbeda dengan teori legitimasi, teori stakeholder mempertimbangkan harapan dari dua pihak, pihak pemangku kepentingan perusahaan dan pihak masyarakat luas. Ali dan Rizwan (2013) juga menilai bahwa teori ini belum mampu memenuhi harapan seluruh pemangku

(8)

kepentingan karena mereka memiliki kekuatan yang berbeda-beda untuk memengaruhi perusahaan. Teori stakeholder belum berhasil menggabungkan harapan beberapa institusi seperti lembaga pendidikan dan lembaga yang mempromosikan CSR terhadap praktik corporate social and environmental disclosure. Oleh karena itu, teori institusional berupaya untuk melingkupi kekurangan dari dua teori yang dijelaskan sebelumnya.

Pengadopsian praktik corporate social and environmental disclosure pada negara-negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa stakeholder. Menurut Islam dan Deegan (2008), organisasi akan dipaksa oleh stakeholder yang memiliki kekuatan dalam hal mengadopsi dan melaksanakan praktik tertentu, termasik praktik pelaporan seperti environmental disclosure. Teori institusional mengkategorikan stakeholder tersebut ke dalam tiga jenis berdasarkan tekanan yang diberikannya; coercive (pemerintah, asosiasi dagang, asosiasi konsumen, konsumen internasional, media, karyawan, dan investor), mimetic (perusahaan multinasional, kompetitor), dan normative (lembaga pembuat standar CSR, dan lembaga pendidikan).

Adapun model yang menggambarkan perspektif bahwa teori institusional merupakan teori yang melingkupi teori-teori lainnya dan pembagian ketiga jenis stakeholder adalah sebagaimana yang dijelaskan pada Gambar 2.1.

(9)

Gambar 2.1

Perspektif Teori Institusional

Sumber: Ali dan Rizwan (2013)

B. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah suatu diagram yang menjelaskan secara garis besar alur logika berjalannya sebuah penelitian. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.2 di bawah ini.

(10)

Gambar 2.2

Kerangka Pemikiran Penelitian

C. Penelitian Terdahulu dan Perumusan Hipotesis

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, beberapa penelitian terdahulu telah dilakukan dengan berbagai perbedaan dari sisi domain penelitian, perumusan teori, pemilihan variabel, hingga hasil signifikansinya. Penelitian ini bertujuan

(11)

untuk mengetahui lebih jauh pengaruh komposisi kepemilikan pemerintah, komposisi kepemilikan asing, dan keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis terhadap kualitas environmental disclosure.

1. Pengaruh Komposisi Kepemilikan Pemerintah terhadap Kualitas Environmental Disclosure

Berdasarkan teori institusional, pemerintah dapat memberikan tekanan yang bersifat coercive kepada perusahaan. Pemerintah sebagai lembaga tertinggi yang menaungi semua hal yang berhubungan dengan kebijakan dan hukum memiliki kekuatan yang besar untuk menekan suatu perusahaan untuk mematuhi aturan yang berlaku. Dalam hal ini aturan mengenai kepatuhan terhadap praktik environmental disclosure sebagaimana yang tertuan dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Jika perusahaan tidak melaksanakan aturan mengenai environmental disclosure tersebut, pemerintah dapat memberikan sanksi yang tegas. Hal tersebut tentunya dihindari oleh pihak manajemen.

Kepemilikan pemerintah adalah kepemilikan saham perusahaan oleh pemerintah pusat atau negara. Menurut Prasetyowati (2014), pemerintah tidak hanya berfungsi sebagai pihak yang menetapkan regulasi dalam hubungan masyarakat dengan dunia bisnis dan memberikan sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Pemerintah juga dapat menjalankan bisnis apabila

(12)

pemerintah memiliki pengendalian atas saham suatu perusahaan. Tingkat kepemilikan pemerintah yang tinggi akan menimbulkan usaha pengendalian dan pengawasan yang lebih besar oleh pihak pemerintah, sehingga hal ini dapat mendorong perusahaan dalam meningkatkan kualitas environmental disclosure. Hal ini semakin diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa perusahaan tambang harus melepas 51% kepemilikannya kepada negara atau pemilik lokal. Kepemilikan pemerintah yang lebih besar dari pihak asing akan menigkatkan pengendalian dan lebih memudahkan dalam pengawasannya.

Berdasarkan penelitian terdahulu, Saftiana dan Sefrilia (2012) menyatakan bahwa faktor kepemilikan saham pemerintah berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia. Selain itu, hasil penelitian Fontana et al. (2015) menyatakan bahwa kepemilikan saham pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan voluntary environmental disclosure pada perusahaan publik di Italia. Hasil ini memberikan arti bahwa pemerintah mengawasi dan memperhatikan kinerja perusahaan. Kinerja ini tercermin dalam laporan tahunan perusahaan, termasuk didalamnya pelaporan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Pemerintah menekan perusahaan untuk melaksanakan dan melaporkan praktik environmental disclosure dalam laporan tahunan perusahaan sebagai bentuk pelaksanaan Good Corporate Governance. Artinya, bahwa semakin besar komposisi kepemilikan saham pemerintah, maka kualitas environmental disclosure perusahaan akan

(13)

semakin baik. Atas dasar tersebut, hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut ini.

H1: Terdapat pengaruh positif antara komposisi kepemilikan pemerintah

terhadap kualitas environmental disclosure.

2. Pengaruh Komposisi Kepemilikan Asing terhadap Kualitas Environmental Disclosure

Kepemilikan saham asing adalah jumlah saham yang dimiliki oleh pihak asing (luar negeri) baik oleh individu maupun lembaga terhadap saham perusahaan di Indonesia. Menurut Machmud dan Djakman (2008), pemilik asing merupakan pihak yang dianggap concern terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Fauzi (2006) menambahkan bahwa perusahaan di negara-negara Eropa sangat memperhatikan isu sosial seperti hak asasi manusia, pendidikan, tenaga kerja, dan isu-isu lingkungan.

Kepemilikan asing umumnya didominasi oleh kepemilikan oleh institusi asing dibandingkan perorangan asing. Menurut Muttakin dan Subramaniam (2015), banyak pemegang saham asing yang merupakan perusahaan multinasional berinvestasi di perusahaan lokal, sehingga mereka memahami perbedaan dan memiliki pengetahuan yang luas mengenai nilai-nilai di satu negara dengan negara lain.

Berdasarkan teori institusional, pemegang saham asing dapat memberikan tekanan yang bersifat mimetic kepada perusahaan. Dengan pengetahuan yang luas mengenai nilai-nilai yang terdapat di berbagai macam

(14)

negara, pemilik asing cenderung lebih sadar akan harapan masyarakat secara umum yang besar kepada perusahaan untuk melakukan tanggung jawab terhadap lingkungan. Kesadaran tersebut membuat pemilik asing mendorong manajemen untuk melakukan praktik-praktik yang menjadi nilai tambah perusahaan milik mereka lainnya atau perusahaan di negaranya, khususnya di negara maju. Di negara berkembang praktik environmental disclosure mungkin belum menjadi perhatian yang serius, namun di negara maju praktik semacam ini sudah umum dan bahkan menjadi kewajiban. Hal-hal semacam itulah yang menjadi pertimbangan para pemilik asing meniru praktik environmental disclosure dengan tujuan untuk memberi nilai tambah perusahaannya dengan para kompetitornya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, Muttakin dan Subramaniam (2015) menyatakan bahwa komposisi kepemilikan asing berpengaruh positif terhadap pengungkapan CSR pada perusahaan di India. Selain itu, hasil penelitian Almeida et al. (2015) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara komposisi kepemilikan asing terhadap tingkat environmental disclosure pada perusahaan-perusahaan besar di Brazil. Hal tersebut menggambarkan bahwa pemilik asing sangat concern terhadap isu-isu lingkungan sehingga sebagai pihak yang memiliki pengendalian terhadap kebijakan perusahaan. Selain itu, pemilik asing juga mampu mendorong perusahaan untuk berlaku secara etis dengan melakukan environmental disclosure sebagaimana yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang telah sukses menerapkan praktik tersebut. Artinya, semakin besar komposisi

(15)

kepemilikan saham asing maka kualitas environmental disclosure perusahaan akan semakin baik. Atas dasar tersebut, hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut ini.

H2: Terdapat pengaruh positif antara komposisi kepemilikan asing terhadap

kualitas environmental disclosure.

3. Pengaruh Keterlibatan Perusahaan di Asosiasi Bisnis terhadap Kualitas Environmental Disclosure

Menurut Center for International Private Enterprise (CIPE), asosiasi bisnis didefinisikan sebagai berikut.

“Business associations – including chambers of commerce and trade associations – contribute to economic growth, development, peace, and prosperity. They play a key role in building inclusive entrepreneurship ecosystems and can bolster the ability of firms of all sizes to grow and create jobs. Through associations, the private sector can voice legitimate needs while engaging in a transparent policy reform process”.

Dalam arti lain, asosiasi bisnis merupakan

perkumpulan/perserikatan/kelompok perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor yang sejenis. Asosiasi bisnis memiliki peran kunci dalam lingkungan berwirausaha yang dibentuk untuk mensinergikan seluruh anggotanya untuk mencapai tujuan industri mereka secara umum.

Dalam era reformasi saat ini, keterbukaan dan pengungkapan (transparency and disclosure) merupakan salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang mendapat sorotan publik. Menurut Luhgiatno (2007), prinsip GCG dapat diterapkan dengan efektif jika pihak terkait seperti pemerintah dan otoritas tertentu memberikan dukungan kepada perusahaan

(16)

dengan mengeluarkan peraturan yang memungkinkan dapat dilaksanakannya GCG. Selain itu, peran asosiasi-asosiasi perusahaan di Indonesia perlu ditingkatkan.

Berdasarkan teori institusional, asosiasi bisnis memberikan tekanan yang bersifat coercive kepada perusahaan. Asosiasi bisnis dalam menjalankan perannya saling terikat dengan pemerintah maupun perusahaan anggotanya. Pada umumnya asosiasi bisnis dibentuk dengan salah satu misi yaitu membantu pemerintah untuk menyuarakan regulasi-regulasi terkait dengan tata kelola perusahaan yang baik kepada anggotanya. Oleh karena itu, dalam praktiknya asosiasi bisnis dapat menekan perusahaan untuk mematuhi regulasi yang ada, dalam hal ini untuk meningkatkan kualitas environmental disclosure.

Di samping itu juga, asosiasi bisnis dengan reputasi yang baik memiliki persyaratan khusus maupun aturan yang tegas bagi para anggotanya. Dalam arti lain, asosiasi bisnis memiliki kapasitas untuk menilai apakah perusahaan anggotanya telah menjalankan operasinya dengan baik atau belum, khususnya dalam hal konservasi lingkungan hidup dan praktik environmental disclosure. Jika perusahaan tidak melakukan aturan yang berlaku dalam asosiasi bisnis, bukan tidak mungkin perusahaan tersebut dapat dikenakan sanksi atau kehilangan status keanggotaannya.

Dalam penelitian ini, asosiasi yang menjadi objek penelitian adalah Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) yang dinilai memiliki reputasi yang sangat baik karena merupakan asosiasi induk dari seluruh sektor

(17)

pertambangan di Indonesia. Dalam profilnya, API bertujuan mendorong setiap anggotanya untuk mematuhi segala regulasi pemerintah terkait dengan aktivitas bisnisnya. Salah satunya adalah regulasi mengenai kewajiban untuk melakukan pengungkapan aktivitas tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012.

Peneliti belum menemukan penelitian terdahulu yang membahas mengenai keterkaitan antara variabel keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis dengan kualitas environmental disclosure. Secara konsep, asosiasi bisnis memiliki peran pengawasan dan penilaian terhadap perusahaan anggotanya, sehingga dengan adanya upaya pengawasan maupun penilaian, perusahaan akan mendapatkan tekanan yang lebih besar yang mendorong mereka untuk melakukan environmental disclosure. Berdasarkan konsep tersebut, hipotesis yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut ini. H3: Terdapat pengaruh positif antara keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Tradisi Pengkajian Kitab Kuning Dalam Pembelajaran Fiqih Di Madrasah Diniyah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tempurrejo

3.6 Melalui kegiatan meronce dengan sedotan anak mampu mengumpulkan 3 macam warna bendera negaraa. 4.6 Melalui kegiatan meronce dengan sedotan anak

Pemanfaatan bokashi limbah padat pabrik kertas dengan pupuk Anorganik NPK berinteraksi terhadap laju pertumbuhan jumlah daun, berat basah kepala/crop, dan diameter

Umumnya parkir jenis ini menggunakan sudut parkir yang sejajar dengan badan jalan (bila jalannya kecil) atau membentuk sudut apabila jalannya cukup lebar... Tidak semua

[r]

Berdasarkan analisis data, hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel etika kerja Islam memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja, etika

Geografi di SMA Negeri Sumpiuh sebagai sumber belajar siswa yang menarik dan inovatif terutama pada Materi Pokok Hidrosfer. Pembelajaran ini sangat perlu diterapkan

Konsentrasi 10% b/v signifikan dengan kontrol positif loperamid.kesimpulan yaitu ekstrak Daun anting-anting (Acalypha indica L.) memiliki efek sebagai antidiare pada semua