• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBARAN MEDAN MASSA, MEDAN TEKANAN DAN ARUS GEOSTROPIK DI PERAIRAN SELATAN JAWA BULAN AGUSTUS 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBARAN MEDAN MASSA, MEDAN TEKANAN DAN ARUS GEOSTROPIK DI PERAIRAN SELATAN JAWA BULAN AGUSTUS 2009"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

SEBARAN MEDAN MASSA, MEDAN TEKANAN DAN ARUS GEOSTROPIK DI

PERAIRAN SELATAN JAWA BULAN AGUSTUS 2009

Ferdy Gustian Utama1 1

mahasiswa pasca sarjana program studi ilmu kelautan (C551140281)

Pendahuluan

Dinamika pergerakan massa air di dilaut dipengaruhi oleh beberapa gaya yakni gaya gravitasi, friksi, serta coriolis, namun gaya gravitasi adalah gaya yang paling dominan berpengaruh terhadap dinamika pergerakan massa air di laut (Stewart 2008). Gaya gravitasi akan menyebabkan perbedaan tekanan antar dua titik paras perairan. Hal ini dikarenakan massa air yang memiliki gaya berat akan mempengaruhi berat jenis (densitas) dari massa air tersebut. Perbedaan densitas ini yang akan mengakibatkan perbedaan tekanan (gradien tekanan) di perairan. Gaya friksi merupakan gaya yang bekerja pada badan benda sebagai fungsi saat badan benda tersebut bersentuhan dengan badan benda lain. Badan benda dapat berupa partikel padatan, air, maupun partikel gas. Pada perairan, friksi bekerja pada setiap lapisan perairan. Pada lapisan permukaan, friksi yang terjadi adalah antara permukaan dengan lapisan atmosfer diatasnya. Friksi pada perairan laut Indonesia sangat berpengaruh dikarenakan kompleksnya batimetri yang ada (Gordon 2005) Sedangkan pada lapisan interior perairan, friksi terjadi antar partikel massa air, dan pada lapisan dasar friksi terjadi dengan lapisan dasar perairan. Sedangkan coriolis merupakan gaya yang bersifat pseudo-force. Coriolis merupakan gaya yang diakibatkan oleh rotasi bumi terhadap sumbunya. Dinamika pergerakan massa air yang terjadi di wilayah perairan selatan Jawa merupakan salah satu contoh dinamika pergerakan massa air yang dominan dipengaruhi oleh angin monson (Susanto et al 2001; Purba 2007; Wyrtki 1962; Quadfasel dan Cresswell 1992) Karakter Perairan Selatan Pulau Jawa

Wilayah selatan Pulau Jawa merupakan region wilayah perairan di Indonesia yang berkarakteristik dasar laut curam, memiliki gelombang tinggi, serta berbatasan langsung dengan samudera Hindia (Mahatmawati et al 2009). Selain berbatasan langsung dengan samudera Hindia, perairan selatan Pulau Jawa juga dinamakan dengan basin Indo-Australia. Wilayah ini merupakan wilayah interaksi antar gaya-gaya pembangkit yang berasal dari Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik (Sprintall et al 1999). Interaksi antar gaya-gaya pembangkit yang berasal dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memiliki pengaruh yang sama kuat dengan gaya-gaya pembangkit lokal.

Bila diamati dari interaksi antara samudera Pasifik yang berada di timur laut Perairan selatan pulau Jawa dengan samudera Hindia maka dinamika pergerakan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia membawa massa air sekitar 5-10 Sv (1 Sv = 106 m3/s ) dengan variabilitas tahunan berkisar 5 Sv. Massa yang ini diangkut oleh Arus Lintas Indonesia yang dibangkitkan dan bergerak berdasarkan monson (Feng dan Wijffels 2001). Maksimum aliran pada wilayah Samudera Hindia terjadi pada periode monsun tenggara pada periode Juli hingga September (Mayers et al 1995).

Angin Monson

Pergerakan angin monson yang melewati perairan selatan Pulau Jawa merupakan efek dari perbedaan posisi matahari pada periode bulan tertentu terhadap wilayah belahan bumi (Belahan Bumi Selatan dan Belahan Bumi Utara). Pada saat periode bulan Desember, Januari, serta Febuari di wilayah perairan Indonesia memasuki musim Barat dikarenakan posisi matahari berada di belahan bumi selatan. Saat posisi matahari berada diatas belahan

(2)

bumi bagian selatan (Australia) maka menyebabkan tekanan rendah diwilayah tersebut sehingga angin bergerak dari dataran Asia menuju Australia. Pada periode bulan Juni, Juli, serta Agustus posisi matahari berada di belahan bumi utara (dataran Asia) sehingga pada wilayah ini memiliki tekanan lebih rendah dibandingkan wilayah bumi bagian selatan (Australia). Akibatnya angin bergerak dari Australia menuju dataran Asia. Pergerakan angin monson akan mengakibatkan dinamika arus terutama yang terjadi di lapisan permukaan perairan (Fadika et al 2014).

Monson dan Upwelling di Perairan Selatan Pulau Jawa

Pergerakan angin monson yang melintas pada permukaan perairan laut di selatan Pulau Jawa merupakan salah satu faktor pembangkit terjadinya peristiwa upwelling maupun

downwelling di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan pada saat gesekan angin terhadap muka air akan menyebabkan friksi sehingga menyebabkan terjadinya pergerakan massa air. Pada bulan Desember-Maret, bertiup angin muson barat laut sedangkan selama bulan Juni-Oktober bertiup angin muson tenggara. Selama muson barat laut, perairan selatan Jawa mengalami

downwelling, sebaliknya selama muson tenggara mengalami upwelling(Yoga B et al 2014).

Upwelling yang terjadi di wilayah selatan Pulau Jawa pada periode bulan Juni hingga Oktober diakibatkan transpor massa air dominan meninggalkan pantai sehingga terjadi kekosongan massa air di wilayah dekat pesisir. Berdasarkan transpor Ekman, untuk mengisi kekosongan massa air pada wilayah perairan dekat pesisir pantai maka massa air yang berada pada lapisan interior perairan akan naik untuk mengisi kekosongan massa air diatasnya. Selain itu saat bertiupnya angin monsun tenggara, poros arus khatulistiwa selatan yang berada di selatan Pulau Jawa akan bergeser ke arah utara mendekati pantai Pulau Jawa hingga Pulau Bali dan arus pantai Jawa akan bergerak ke arah barat (Purba 2007). Angin monsun tenggara mencapai kecepatan maksimum pada bulan Juli hingga Agustus dengan pusat kecepatan maksimum angin monsun berada pada koordinat 105o Bujur Timur. Pusat

upwelling terus bergerak ke arah barat lautan dengan kecepatan propagasi mencapai 0.2 m/s (Susanto et al 2001). Pada periode akhir Oktober, terjadi transisi monsun sehingga terjadi transisi pergerakan angin menjadi angin yang bersifat baratan (westerly winds). Akibatnya kekuatan upwelling juga mengalami pelemahan. Proses upwelling maupun downwelling yang terjadi akan menyebabkan distribusi suhu permukaan laut.

Pelapisan massa air

Proses upwelling maupun downwelling merupakan fenomena yang mempengaruhi pelapisan interior massa air. Salah satu yang akan berpengaruh akibat terjadinya upwelling

adalah lapisan termoklin. Lapisan termoklin adalah lapisan di interior perairan yang mengalami perubahan suhu secara cepat berdasarkan kedalaman. Bureau of technical supervision of the P.R of China (1992) menyatakan nilai absolut gradien pada lapisan termoklin standar di wilayah Samudera Hindia adalah lebih besar sama dengan 0.050C/m.

Informasi terkait pelapisan massa air sangat penting dan erat hubungannya dengan dunia perikanan. Terutama untuk wilayah samudera Hindia yang merupakan wilayah ruaya ikan tuna, informasi terkait wilayah serta batas-batas termoklin sangat membantu dalam menentukan wilayah penangkapan ikan tuna (Kunarso et al 2012). Informasi terkait wilayah termoklin dan pelapisan massa air dapat di ketahui melalui perekaman data menggunakan CTD.

Riset-riset mengenai perubahan pelapisan serta wilayah termoklin dalam kaitannya dengan perubahan variabilitas iklim global di Samudera Hindia khususnya perairan selatan Jawa masih sangat kurang. Song et al., (2007), telah mengidentifikasi kedalaman termoklin namun lokasinya di perairan selatan India dan tidak mengkaitkan dengan variabilitas iklim global. Hasil riset menemukan pada saat El Nino kedalaman termoklin lebih dangkal

(3)

daripada saat La Niña, namun penelitian ini belum memasukkan parameter IOD (Indian Oscillation Dipole Mode) dalam kajiannya. Sebagai wilayah perairan yang kompleks dipenagruhi oleh berbagai varibialitas global massa air maka mengetahui pelapisan massa air untuk wilayah selatan Pulau Jawa merupakan bagian penelitian yang penting dilakukan. Metodelogi

Stasiun data serta Data

Data yang digunakan pada tulisan ini adalah data yang berasal dari World Ocean Atlas (WOA) database untuk periode data bulan Agustus tahun 2009. Stasiun yang diambil berjumlah empat stasiun yang saling tegak lurus membentuk satu transek. Transek yang dibnetuk berada diwilayah selatan Pulau Jawa (Samudera Hindia) pada koordinat lintang 9.5o LS – 12.5oLS dan koordinat bujur 109.5o BT. Posisi transek dan lokasi stasiun data disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi transek dan stasiun data (Selatan Pulau Jawa)

Data yang digunakan terdiri dari data kedalaman (depth), data suhu perairan (temperature) serta data salinitas (salinity). Data ini diunduh dari situs World Ocean Atlas

databasei dengan alamat situs (URL)

http://odv.awi.de/en/data/ocean/world_ocean_atlas_2009/’. Data suhu serta salinitas yang diunduh dari World Ocean Atlas database merupakan data perata-rataan bulanan untuk setiap titik stasiun pada transek yang telah ditentukan. Data yang telah unduh kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak MS Office Excel 2010 serta Ocean Data View (ODV) versi 4.6.5.

Analisis data

Setelah data selesai diunduh dari situs World Ocean Atlas (WOA) database, maka sselanjutnya data siap untuk masuk kedalam tahapan analisis data. Tahapan analisis data terdiri dari penentuan batas atas serta batas bawah termoklin, pembuatan sebaran melintang dan menegak suhu, salinitas, serta densitas (sigma t) untuk setiap stasiun yang berada pada transek pengolahan data, pelapisan massa air berdasarkan suhu, salinitas, serta nilai densitas (sigma t), pembuatan sebaran melintang anomali kedalaman dinamik, dan penentuan kecepatan serta arah dari kecapatan arus geostrofik pada dua stasiun yang berdekatan.

Penentuan batas atas dan batas bawah termoklin pada setiap stasiun dilakukan dengan mengacu pada perhitungan gradien suhu vertikal pada kolom air berdasarkan formula dari Song et al (2007). Gradien suhu vertikal pada kolom perairan ditulis dalam persamaan (1).

(4)

Gj merupakan nilai gradien suhu vertikal sedangkan Tj dan D adalah nilai temperatur dan

kedalaman pada kedalaman standar. Wilayah termoklin pada kolom perairan adalah wilayah dengan perubahan suhu (gradien suhu vertikal) lebih dari sama dengan 0.05 oC/m (Bureau of technical supervision of the P.R of China 1992).

Data yang diunduh dari WOA database 2009 tidak memiliki variabel densitas (sigma t) sehingga nilai variabel densitas untuk setiap stasiun dihitung menggunakan perangkat lunak ODV. Nilai densitas merupakan fungsi dari suhu dan salinitas dan umumnya tidak langsung diukur secara insitu (Stewart 2008 ; Emery and Thomson 2004). Sigma t merupakan bentuk penyederhanaan dari penyebutan densitas perairan dengan formula (Stewart 2008)

σ(S, t, p) = ρ(S, t, p) − 1000 kg/m3 ...(2)

Perhitungan nilai densitas yang merupakan fungsi dari dari suhu serta salinitas perairan dapat dihitung dengan menggunakan algoritma yang telah dikeluarkan oleh UNESCO (1983).

Analisis terhadap pergerakan massa air, anomali kedalaman dinamik, serta arah dan kecepatan arus geostrofik dihitung dengan menggunakan metode baku yang telah dikembangkan oleh Knudsen (1901) dan Ekman (1908) dalam Neumann and Pierson (1966). Perhitungan diolah dengan menggunakan perangkat lunak MS office Excel 2010 serta ODV 4 versi 4.6.5.

Perhitungan kecepatan arus geostrofik antar dua stasiun berdasarkan tetapan

(∫ )...(3)

dengan nilai v = kecepatan arus geostrofik antar dua stasiun, f adalah parameter coriolis (2Ωsinθ ; θ = lintang; Ω=7.29x10-5 det-1), dan Δx adalah jarak antar stasiun (Neumann and Pierson 1966). Namun sebelum melakukan perhitungan terhadap kecepatan arus geostrofik maka perlu ditentukan terlebnih dahulu (diasumsikan ) nilai papar acuan (level of no motion). Penentuan papar acuan adalah berdasarkan kedalaman dinamik. Papar acuan (level of no motion) adalah wilayah yang diasumsikan tidak terdapat lagi pergerakan massa air ataupun terdapat pergerakan massa air namun sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Terdapat tiga metode dalam menentukan papar acuan menurut Stewart (2008) yakni : (1) dengan mengasumsikan wilayah dengan kedalaman lebih dari 2000 meter menjadi papar acuan; (2) dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan data kecepatan arus; dan (3) dengan menggunakan persamaan konservatif. Pada tulisan ini, penentuan papar acuan menggunakan metode ketiga yakni berdasarkan nilai suhu dan salinitas setiap stasiun.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data yang telah diolah maka dihasilkan beberapa variabel nilai yang dapat di analisis. Variabel-variabel tersebut adalah antara lain pelapisan massa air pada transek stasiun data yang terdiri dari penentuan batas termoklin, sebaran melintang dan menegak dari suhu, salinitas, dan densitas dari setiap stasiun yang berada pada transek data. Selanjutnya adalah sebaran melintang dari anomali kedalaman dinamik. Hal terakhir adalah variabel nilai kecepatan serta arah arus geopotensial dari dua stasiun yang berdekatan dalam transek data.

Batas Termoklin

Batas termoklin yang ditentukan menggunakan persamaan Song et al (2007) dan di identifikasi berdasarkan (Bureau of technical supervision of the P.R of China 1992) didapatkan nilai rata-rata batas atas termoklin pada transek data adalah berkisar pada kedalaman 50 meter hingga 75 meter dibawah permukaan laut. Sedangkan nilai batas bawah termoklin pada wilayah transek data berada pada kedalaman 150 meter hingga 200 meter dibawah permukaan laut.

(5)

Distribusi batas termoklin disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Sebaran batas atas dan batas bawah termoklin pada setiap stasiun (A. Stasiun 1; B. Stasiun 2; C. Stasiun 3; D. Stasiun 4)

Periode bulan agustus merupakan periode dengan intensitas maksimum terjadinya

upwelling. Hal ini akan berimplikasi turunnya lapisan batas termoklin pada interior perairan. Pada bulan agustus, intensitas tiupan angin mencapai maksimal dengan arah tiupan menuju barat sehingga hal ini yang menyebabkan turunnya batas atas dan batas bawah lapisan termoklin. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kunarso et al (2012) yang mendapatkan nilai batas atas termoklin untuk wilayah selatan Pulau Jawa berkisar pada kedalaman 60 meter dibawah permukaan laut.

Pada musim bertiupnya angin monson tenggara (musim timur), batas bawah termoklin umumnya lebih dalam dibandingkan saat periode bertiupnya angin muson barat laut (musim barat). Pada musim barat lapisan batas bawah termoklin berada di lapisan yang lebih dangkal. Pada musim timur, kuatnya proses pengadukan dan percampuran sangat berpengaruh terhadap posisi lapisan batas atas dan batas termoklin

Pada gambar 1 terlihat batas atas termoklin pada stasiun 1 (stasiun yang berada dekat dengan samudera hindia) lebih dalam dibandingkan pada stasiun 4 (stasiun yang berada dekat dengan pantai). Sedangkan batas bawah untuk stasiun 1 juga lebih dalam dibandingkan dengan stasiun 4. Hal ini juga menjadi indikasi bahwasanya pada saat bertiupnya angin monson tenggara, net transport dari massa air akan bergerak menjauhi pantai sehingga diwilayah dekat samudera paras air laut lebih tinggi. Akibatnya kedalaman lapisan termoklin yang berubah terhadap kedalaman perairan.

Profil Suhu

Variabel suhu merupakan salah satu variabel utama pada properti massa air. Proses-proses fisik pada perairan banyak bergantung pada variabel ini. Pada wilayah tropis perbedaan dari kisaran suhu pada pada perairan berkisar 2oC (Stewart 2008). Penyajian data suhu hasil perekaman dapat sajikan dengan menggunakan sebaran menegak dan sebaran melintang. Data suhu pada transek data yang digunakan disajikan pada Gambar 3.

A B

(6)

(A) (B)

Gambar 3 Profil Temperatur (A. Sebaran Menegak per stasiun ; B. Sebaran Melintang per stasiun)

Berdasarkan sebaran menegak suhu pada transek data per stasiun terlihat bahwa terjadi penurunan suhu yang kontinu terhadap kedalaman . Lapisan termoklin berada di lapisan dekat permukaan. Sebaran menegak suhu antar stasiun memiliki pola yang hampir sama. Zona termoklin yang dihasilkan pada transek data rata-rata memiliki ketebalan berkisar antara 75 meter hingga 150 meter.

Pada lapisan permukaan, garis isortermal pada sebaran melintang suhu pada transek pengamatan terlihat mengalami kenaikan menuju posisi lintang yang lebih tinggi. Penaikan lereng isotermal dari wilayah lepas pantai (koordinat rendah) ke arah pantai mengindikasikan terjadinya kenaikan massa air diwilayah dekat pantai. Fenomena ini merupakan sinyal terjadinya upwelling di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Penaikan lereng isotermal yang terjadi terlihat jelas pada garis isotermal 12.5oC dan garis isotermal 25oC.

Kenaikan lereng isotermal pada transek data yang menjadi indikasi terjadinya

upwelling di wilayah pantai Selatan Pulau Jawa diakibatkan oleh tiupan angin muson tenggara yang melewati perairan ini. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2007) transek data diwilayah selatan Jawa Tengah melalui data perekaman CTD juga menunjukkan hasil yang sama. Pada garis isotermal tertentu terjadi kenaikan lereng isotermal dari wilayah laut lepas (dekat samudera Hindia) menuju wilayah dekat pantai.

Lereng isotermal yang lebih tinggi di wilayah dekat pantai juga terlihat pada lapisan dekat dasar perairan. Hal ini mengindikasikan adanya pemompaan akibat transpor massa air sehingga upwelling yang terjadi di wilayah ini merupakan upwelling akibat pemompaan ekman (Neumann and Pierson 1966).

Profil Salinitas

Layaknya variabel suhu, salinitas juga merupakan salah satu variabel utama pada properti massa air. Proses-proses fisik pada perairan juga banyak bergantung pada variabel ini. Salinitas dapat didefinisikan sebagai jumlah gram garam yang terlarut dalam satu kilogram air laut. Data salinitas pada transek data yang digunakan pada tulisan ini disajikan dalam bentuk sebaran menegak dan sebaran melintang pada Gambar 4.

(7)

(A) (B)

Gambar 4 Profil Salinitas (A. Sebaran Menegak per stasiun ; B. Sebaran Melintang per stasiun)

Berdasarkan sebaran menegak salinitas pada transek data per stasiun terlihat bahwa terjadi penurunan kedalaman perairan menyebabkan nilai salinitas semakin tinggi . Pada lapisan permukaan yang memiliki salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan lapisan interior maupun dasar perairan mengindikasikan masukan dari darat maupun fenomena cuaca seperti hujan tidak banyak berpengaruh terhadap pelapisan salinitas pada transek data.

Salinitas maksimum dijumpai pada lapisan dekat dasar dan salinitas minimum berada di lapisan permukaan. Pada lapisan permukaan yang bersalinitas minimum pengaruh percampuran antara massa air laut dengan massa air yang berasal dari darat (run off) masih memiliki interaksi yang kuat. Sedangkan pada lapisan dekat dasar yang memiliki salinitas maksimum, massa air dapat berasal dari pasifik yang yang terbawa oleh arus lintas Indonesia yang bergerak menuju samudera Hindia (Yoga B et al 2014).

Seperti halnya lereng isotermal, lereng isohalin pada sebaran melintang salinitas di transek pengamatan terlihat mengalami kenaikan menuju posisi lintang yang lebih tinggi. Penaikan lereng isohalin dari wilayah lepas pantai (koordinat rendah) ke arah pantai mengindikasikan terjadinya kenaikan massa air diwilayah dekat pantai. Fenomena ini merupakan sinyal terjadinya upwelling di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Penaikan lereng isohalin yang terjadi terlihat jelas pada garis isotermal 34.65 dan garis isohalin 34.25.

Kenaikan lereng isotermal pada transek data yang menjadi indikasi terjadinya

upwelling di wilayah pantai Selatan Pulau Jawa diakibatkan oleh tiupan angin muson tenggara yang melewati perairan ini.

.

Profil Densitas

Densitas merupakan variabel yang merupakan fungsi dari nilai salinitas, suhu , serta kedalaman perairan. Fungsi densitas umumnya ditulis dalam bentuk ρ (S,T,P). Demi memudahkan dalam penyebutan, peneliti oseanografi umumnya menggunakan nilai density anomaly (sigma-t) (Stewart 2008; Neumann and Pierson 1966) . Fungsi dari sigma t dinyatakan dengan formula :

σ(S, t, p) = ρ(S, t, p) − 1000 kg/m3...(4)

Seperti halnya variabel suhu dan salinitas, nilai densitas juga dapat ditampilkan dalam bentuk sebaran menegak dan melintang. Sebaran melintan dan mengak dari nilai densitas pda transek data disajikan pada Gambar 5.

(8)

(A) (B)

Gambar 5 Profil Densitas (A. Sebaran Menegak per stasiun ; B. Sebaran Melintang per stasiun)

Berdasarkan sebaran menegak densitas pada transek data per stasiun terlihat bahwa terjadi penurunan kedalaman perairan menyebabkan nilai densitas semakin tinggi. Hal ini menggambarkan bahwasanya massa air yang lebih berat pada wilayah selatan Pulau Jawa terdapat pada lapisan dekat dasar perairan. Nilai sigma-t minimum juga ditemui pada lapisan permukaan seperti halnya nilai salinitas. Namun bila ditinjau dari ketebalan lapisan densitas minimum dibandingkan dengan salinitas maksimum maka terlihat lapisan densitas minimum lebih tebal. Hal ini menunjukkan bahwasanya pada lapisan permukaan perairan selatan Pulau Jawa lebih mudah terjadi percampuran dan pengadukan massa air terutama pada periode dengan tiupan angin muson mencapai titik maksimal seperti di bulan Agustus (Susanto et al 2001).

Garis isopiknal pada sebaran melintang densitas pada transek pengamatan terlihat mengalami kenaikan menuju posisi lintang yang lebih tinggi. Penaikan lereng isotermal dari wilayah lepas pantai (koordinat rendah) ke arah pantai mengindikasikan terjadinya kenaikan massa air diwilayah dekat pantai. Fenomena ini merupakan sinyal terjadinya upwelling di wilayah pantai selatan Pulau Jawa. Penaikan lereng isotermal yang terjadi terlihat jelas pada garis isopiknal 22.5 dan garis isopiknal 27.5. Stasiun yang berada di laut lepas bersifat lebih berat (more dense) dibandingkan dengan stasiun yang berada di dekat pantai. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Umumnya perairan yang berada jauh dari pantai akan memiliki salinitas lebih tinggi dengan kedalaman perairan yang lebih dalam. Oleh karena densitas merupakan fungsi dari salinitas, suhu, serta tekanan akibat kedalaman maka wilayah laut lepas akan lebih berat (more dense). Selain itu Akibat penumpukan massa air akibat net transport dari pengaruh angin muson yang menyebabkan massa air lebih banyak bertumpuk pada wilayah laut lepas menyebabkan perairan pada wilayah laut lepas juga lebih berat.

Kenaikan lereng isopiknal pada transek data yang menjadi indikasi terjadinya

upwelling di wilayah pantai Selatan Pulau Jawa diakibatkan oleh tiupan angin muson tenggara yang melewati perairan ini. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2007) transek data diwilayah selatan Jawa Tengah melalui data perekaman CTD juga menunjukkan hasil yang sama yakni terdapat intensitas upwelling pada wilayah pantai Selatan pulau Jawa. Anomali Kedalaman Dinamik

(9)

Untuk dapat menjelaskan tentang arus laut berdasarkan konsep kedalaman dinamik, maka perlu dijelaskan tentang istilah permukaan isobar (isobaric surface) dan permukaan datar (level surface). Permukaan isobar adalah suatu permukaan dimana disepanjang permukaan tersebut tekanan terhadap fluida adalah sama (Sverdrup et al 1942). Permukaan datar adalah suatu permukaan imaginer dimana permukaan itu posisinya tegak lurus dengan arah gaya gravitasi (Sverdrup et al 1942), atau permukaan dimana energi potensialnya konstan (Neumann and Pierson 1966).

Pada air laut tekanan meningkat sesuai dengan bertambahnya kedalaman, oleh karena itu gradien tekanan dalam air laut memiliki arah ke atas. Gradien tekanan yang memiliki arah vertikal ke atas tersebut, dapat mengimbangi percepatan gaya gravitasi yang arahnya ke bawah, maka akan membuat permukaan isobar sejajar dengan permukaan datar. Kenyataannya permukaan isobar jarang sekali identik dengan permukaan datar, melainkan selalu berbeda walupun dengan jarak yang sangat kecil (Sverdrup et al 1942).

Untuk melihat kemiringan yang disebabkan oleh perbedaan posisi permukaan isobar dengan permukaan datar maka dibuatlah sebaran melintang kedalaman dinamik dari transek data yang digunakan. Sebaran melintang dari anomali kedalaman dinamik disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada transek data

Untuk membuat sebaran melintang dari anomali kedalaman dinamik, terlebih dahulu ditentukan kedalaman papar acuan. Kedalaman papar acuan ialah kedalaman dimana tidak ada gerak relatif antara dua stasiun, yang dikenal sebagai level of no motion. Papar acuan dapat diketahui dengan memplotkan data kedalaman dengan selisih anomali kedalaman dinamik antara dua stasiun yang berdekatan (Neumann and Pierson 1966). Papar acuan pada penelitian ini ada pada kedalaman 1500 meter dibawah permukaan laut.

Gambar 6 menunjukkan bahwa paras laut pada stasiun yang berada di laut lepas lebih tinggi dibandingkan paras laut yang berada di didekat pantai. Akibatnya transpor massa air bergerak menuju pantai. Tingginya paras muka air pada wilayah perairan yang berada di laut lepas diakibatkan pengaruh gesekan angin muson terhadap permukaan air yang mendapat pengaruh coriolis. Purba (2007) dari penelitian yang telah dilakukan terhadap wilayah selatan Pulau Jawa hingga Pulau Sumbawa juga menghasilkan nilai anomali kedalaman dinamik yang sama. Paras muka laut lebih tinggi di wilayah laut lepas. Hal ini menjadi sinyal bahwasanya upwelling terjadi di wilayah ini. Dari informasi anomali kedalaman dinamik akan diketahui juga besaran kecepatan dari arus geostrofik yang terjadi.

(10)

Arah dan Kecepatan Arus Geostrofik

Arus geostrofik merupakan arus yang terjadi akibat adanya keseimbangan geostrofik. Keseimbangan geostrofik yang terjadi karena adanya gradien tekanan mendatar/horizontal yang bekerja pada massa air yang bergerak, dan diseimbangkan oleh gaya Coriolis (Svedruv et al 1989). Gambar 7 menunjukkan sebaran menegak dari kcepatan arus geostrofik yang terjadi di wilayah transek data.

Gambar 7 Sebaran menegak kecepatan arus geostrofik pada stasiun di transek data

Kecepatan arus geostrofik tertinggi rata-rata terdpat pada wilayah antara stasiun 2 dan stasiun 3 dan wilayah antara stasiun 3 dan stasiun 4. Pada wilayah antara stasiun 2 dan 3 kecepatan arus geostrofik rata-rat mencapai 0.10796 m/s dan pada wilayah antara stasiun 3 dan 4 kecepatan arus geostrofik rata-rata mencapai 0.10783 m/s. Arah pergerakan dari arus geostrofik yang terjadi didominasi pada gerak menuju bidang yang dilambangkan dengan simbol silang ( ).

Namun arah dan kecepatan arus geostrofik yang dihasilkan dan disajikan pada gambar 6 dan gambar 7 belumlah dapat mewakili secara persis kejadian arus geostrofik diwilayah tersebut. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini variabel kecepatan dan arah angin yang bertiup diatas permukaan perairan tidak diikutsertakan sehingga pengaruh angin dianggap nol pada penelitian ini. Pada umumnya perhitungan arah dan kecepatan arus geostrofik ikut menyertakan data kecepatan dan arah tiupan angin (Purba 2007; Neumann and Pierson 1966; Stewart 2008).

Kesimpulan

Pengolahan data dari WOA 2009 periode bulan agustus di wilayah selatan Pulau Jawa telah berhasil membuktikan bahwa pada saat tiupan angin monson tenggara yang melewati perairan Laut selatan Jawa akan membangkitkan fenomena upwelling. Sinyal-sinyal

upwelling kuat berdasarkan sebaran melintang dari data suhu dan salinitas pda transek data. Selain itu berdasarkan sebaran melintang anomali kedalaman dinamik diketahui bahwa paras muka air laut pada periode bulan agustus di wilayah selatan Jawa akan lebih tinggi di stasiun yang berada di laut lepas dibandingkan dengan stasiun yang berada diwilayah dekat pantai. Rata-rata kecepatan arus geostrofik tertinggi terdapat pada wilayah antara stasiun 2 dan

(11)

stasiun 3 serta wilayah antara stasiun 3 dan stasiun 4 dengan masing-masing kecepatan berkisar 0.107 m/s dengan arah pergerakan massa air menuju bidang.

Referensi

Anugrah Dewi Mahatmawati, Mahfud Efendy, Aries Dwi Siswanto, Zainul Hidayah,Wahyu Andy Nugraha. (2009). PERBANDINGAN FLUKTUASI MUKA AIR LAUT RERATA (MLR) DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA TIMUR DENGAN PERAIRAN PANTAI SELATAN JAWA TIMUR. Jurnal Kelautan, 33-42. China, B. o. (1992). The Specification for Oceanographic Survey, Oceanographic Survey

Data Processing. China: Standards press of China.

Emery WJ, Thomson RE. (2004). Data Analysis Methods in Physical Oceanography second and Revised Edition. Colorado (USA): Boulder Publisher.

Gerhard Neumann, Willard J.Pierson. (1966). Principal Of Physical Oceanography.

Englewood Cliff: Prentice-Hall Inc.

Gordon, A. L. (2005). Oceanography of Indonesian Seas andTheir Througflow.

Oceanography, 14-27.

Janet Sprintall, Jackson Chong, Fadli Syamsudin, Werner Morawitz, Susan Hautala, Nan Bray, Susan Wijffels. (1999). Dynamics of the South Java Current in the Indo-Australian Basin. Geophysical Research Letters, 2493-2496.

Kunarso, Safwan Hadi, Nining Sari Ningsih, Mulyono. S. Baskoro. (2012). Perubahan

Kedalaman dan Ketebalan Termoklin pada Variasi Kejadian ENSO, IOD dan Monsun di Perairan Selatan Jawa Hingga Pulau Timor. Ilmu Kelautan, 87-98.

Meyers, G., R. J. Bailey, and A. P.Worby. (1995). Geostrophic transport of the Indonesian throughflow. Deep-Sea Research, 1163–1174.

MING FENG AND SUSAN WIJFFELS. (2002). Intraseasonal Variability in the South Equatorial Current of the East Indian Ocean. Journal Of Physical Oceanography, 265-277.

Raden Bima Yoga B., Heryoso Setyono , Gentio Harsono. (2014). DINAMIKA

UPWELLING DAN DOWNWELLING BERDASARKAN VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DI PERAIRAN SELATAN JAWA.

Jurnal Oseanografi, 57-66.

Song, L.M., Y. Zhang, & Y. Zhou. (2007). The relationship between the thermocline and the catch rate of Thunnus obesus in the tropical areas of the Indian Ocean. IOTC

Proceeding, 13.

Stewart, R. H. (2008). Introduction To Physical Oceanography. Texas: Texas A & M University.

(12)

Sverdrup, H. V., M. w. Johnson, and R. H. Fleming. (1942). The Ocean Their Physic, Chemistry and General Biology. Englewood: Prentice Hall Inc.

Ulha Fadika, Aziz Rifai, Baskoro Rochaddi. (2014). Arah Dan Kecepatan Angin Musiman Serta Kaitannya Dengan Sebaran Suhu Permukaan Laut Di Selatan Pangandaran Jawa Barat. Jurnal Oseanografi, 429-437.

UNESCO. (1983). Algorithms for computation of fundamental properties of seawater.

Gambar

Gambar 1.  Lokasi transek dan stasiun data (Selatan Pulau Jawa)
Gambar 2.  Sebaran batas atas dan batas bawah termoklin pada setiap stasiun (A. Stasiun
Gambar 3  Profil Temperatur (A. Sebaran Menegak per stasiun ; B. Sebaran Melintang  per stasiun)
Gambar 4  Profil Salinitas (A. Sebaran Menegak per stasiun ; B. Sebaran Melintang per  stasiun)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian tidaklah tepat jika ketentuan Pasal 28A dan 28I UUD NRI Tahun 1945 di gunakan untuk menguji pelaku tindak pidana yang di ancam dengan pidana

Pimpinan terpilih dalam kapitel Regio Indonesia III adalah : Pemimpin Regio : Suster Miryam Sinong, SMFA Anggota dewan : Suster Adriana Anyin, SMFA Suster Martina Marien, SMFA

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, maka perlu mengatur Biaya Transportasi

produksi. Selain pengertian diatas, biaya operasional dapat juga diartikan sebagai pengeluaran yang masa manfaatnya tidak lebih dari satu tahun atau pengeluaran

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan khususnya ilmu biomedik (KIA) tentang hubungan nikotin dengan kadar hormon prolaktin pada ibu postpartum perokok pasif.

Hasil survei yang dilakukan oleh Sumarti dkk (2007) terkait dengan pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di dua kabupaten menunjukan bahwa perempuan memiliki

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, kesimpulan yang dapat diambil adalah sistem informasi pendaftaran siswa baru yang telah

Perlumbaan bot berkuasa suria dan pemasangan sistem lampu berkuasa suria 1. Pelajar dibahagikan kepada kumpulan. Masa yang diberikan adalah 24 jam untuk menyiapkan rekabentuk