• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Ringkasan terjemahan laporan “Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies” (Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial) ini diinisasi oleh Arbeiter-Samariter-Bund Indonesia & Philippines dalam kerangka Program Konsorsium Technical Assitance and Training Teams (TATTs) dan didukung oleh USAID.

Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan

Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial

(Sebuah Laporan Penelitian)

Sri Moertiningsih Adioetomo, Daniel Mont, dan Irwanto

Laporan ini diterbitkan oleh :

Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi – Universitas Indonesia bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

Didukung oleh :

Department of Foreign Affairs and Trade Pemerintah Australia dan Australian Aid

Pengantar

Pada tahun 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) yang hingga saat ini telah diratifikasi oleh 164 negara, termasuk Indonesia. Menurut UNCRPD, disabilitas merupakan hasil interaksi antara keterbatasan fungsi individu (mobilitas, penglihatan, pendengaran, dan komunikasi) dengan kondisi lingkungan sekitar yang menghambat partisipasi aktif dan efektif dalam masyarakat. Artinya, individu yang memiliki keterbatasan fungsi (impairment) akan menjadi disabilitas ketika berhadapan dengan hambatan lingkungan (disabled), seperti fasilitas yang tidak aksesibel, tidak tersedianya alat bantu atau persepsi negatif masyarakat. Dengan kata lain,

(2)

disabilitas tidak sama dengan diagnosa medis yang menjelaskan kondisi keterbatasan fungsi, tetapi lebih menjelaskan bagaimana individu dapat berfungsi dalam lingkungannya. Dampak disabilitas di berbagai sektor telah menjadikannya sebuah fenomena yang

kompleks: ketika kebutuhan individu dengan keterbatasan fungsi tidak dapat terakomodasi oleh lingkungannya (hambatan), maka akses untuk mendapatkan pelayanan publik pun akan terbatas dan akan menghambat partisipasi penyandang disabilitas, terutama dalam kegiatan sosial ekonomi. Rendahnya tingkat partisipasi berimplikasi terhadap tingginya angka kemiskinan yang selanjutnya akan meningkatkan risiko penyandang disabilitas. Anak dengan disabilitas tidak memperoleh pendidikan layak dan orang dewasa dengan disabilitas tidak mendapatkan kesempatan bekerja yang sama dengan orang non disabilitas,

merupakan contoh riil yang dialami oleh penyandang disabilitas selama ini.

Dokumen Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosialmerupakan laporan penelitian yang dilakukan di 11 provinsi di

Indonesia. Laporan yang dibuat oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) ini memberikan gambaran mendalam mengenai hambatan lingkungan dan partisipasi yang dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia serta hubungannya dengan kemiskinan. Laporan ini juga memuat ulasan singkat mengenai intervensi Pemerintah Indonesia

terhadap penyandang disabilitas melalui kebijakan dan undang – undang, termasuk dalam kegiatan Penanggulangan Bencana.

Disabilitas dan Kemiskinan (Halaman 2 – 3)

Hubungan antara disabilitas dan kemiskinan terletak pada hambatan lingkungan yang membuat penyandang disabilitas sulit untuk memperoleh akses atau kesempatan yang sama dengan orang non disabilitas. Hambatan lingkungan tersebut dapat berupa infrastruktur, penerimaan masyarakat, peraturan, atau kebijakan pemerintah yang akan mempengaruhi kerugian sosial dan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Oleh karenanya, disabilitas merupakan sebuah isu pembangunan; untuk mengatasi permasalahan tersebut pembangunan sosial dan ekonomi harus inklusif.

(3)

Dalam pembangunan yang inklusif, salah satu hal terpenting untuk dirubah adalah cara pandang masyarakat terhadap isu disabilitas. Disabilitas tidak lagi dipandang sebagai suatu keterbatasan fungsi (impairment), misal tidak dapat melihat atau mendengar, tetapi sebagai sebuah interaksi antara keterbatasan fungsi dan hambatan lingkungannya. Tujuan dari pembangunan yang inklusif sendiri bukan untuk memperbaiki keterbatasan fungsi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, tetapi untuk mendukung penyandang disabilitas agar dapat berperan atau berpartisipasi aktif dalam lingkungan masyarakatnya sehingga dapat berkontribusi dalam pembangunan.

Kerangka Kerja Legal (Halaman 3, 20 – 31, 55)

Jauh sebelum konsep keterbatasan fungsi individu dan hambatan lingkungan menjadi sebuah standar internasional dalam menjelaskan terminologi disabilitas, Pemerintah

Indonesia telah membangun komitmen kuat untuk meningkatkan kesejahteraanpenyandang disabilitas melalui intervensi kebijakan, yaitu UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. UU No. 4 Tahun 1997 menjelaskan persamaan hak dan kesempatan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat, seperti hak memperoleh akses pendidikan dan lapangan pekerjaan; hak memperoleh akses fasilitas publik; dan hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Namun demikian, UU No. 4 Tahun 1997 masih besar dipengaruhi oleh konsep disabilitas dalam dunia medis, tidak berdasarkan pada model berbasis hak.

Pada tahun 1998, reformasi politik telah memberikan kesempatan bagi Pemerintah Indonesia untuk mengadopsi prinsip universal Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam kebijakan dan peraturan domestik. Penetapan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan titik awal Pemerintah Indonesia dalam memberikan paparan mengenai prinsip dasar anti diskriminasi yang harus terakomodasi di dalam peraturan dan sistem hukum, serta mempromosikan pemenuhan hak individu untuk memperoleh akses kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Akan tetapi, UU No. 39 Tahun 1999 tidak memasukkan konsep disabilitas yang diakui secara internasional – yang menjelaskan bahwa disabilitas merupakan isu HAM dan sebuah hasil interaksi dengan lingkungan; tercermin dari tidak adanya penjelasan spesifik mengenai hak-hak penyandang disabilitas di dalam undang-undang.

(4)

Paradigma dan pandangan mengenai penyandang disabilitas mengalami pergeseran setelah PBB mengesahkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) pada tahun 2006. Dengan mengadopsi model sosial dan HAM untuk melihat isu disabilitas secara komprehensif, UNCRPD menjelaskan bahwa disabilitas merupakan sebuah fenomena hasil konstruksi yang didasarkan pada persepsi budaya terkait keberagaman individu. Artinya, penyandang disabilitas tidak menciptakan kondisi disabled (lumpuh/tidak berfungsi), tetapi persepsi dan konstruksi masyarakat yang telah menjadikan seorang individu disabilitas. Pengesahan dan penerapan UNCRPD menandakan progres signifikan terkait dengan upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. UNCRPD mengakui bahwa kontribusi

penyandang disabilitas dalam lingkungan masyarakat akan berdampak pada penguatan dan kemajuan signifikan dalam pembangunan sosial ekonomi dalam masyarakat serta

pemberantasan kemiskinan.

UNCRPD telah diratifikasi oleh 164 negara, termasuk Pemerintah Indonesia melalui UU No. 19 Tahun 2011. Penetapan UU No. 19 Tahun 2011 memberikan peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk merevisi UU No. 4 Tahun 1997 serta peraturan lain terkait dengan

penyandang disabilitas sesuai dengan prinsip UNCRPD dan model berbasis hak. Sinergi dengan tujuan pembangunan yang inklusif, penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai obyek kegiatan amal (charity), tetapi sebagai individu yang memiliki hak untuk hidup bermasyarakat di lingkungannya tanpa ada hambatan partisipasi. Saat ini, kebijakan – kebijakan pemerintah lebih menekankan kepada kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang dapat memfasilitasi penyandang disabilitas dengan menghilangkan hambatan, sehingga penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan ekonomi. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi UNCRPD, Pemerintah Indonesia perlu merevisi UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas atau membuat draf kebijakan baru terkait disabilitas. Selain penetapan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi UNCRPD,

Pemerintah Indonesia juga didorong oleh Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) untuk mengadopsi dan mengimplementasikan Strategi Incheon, sebuah kerangka kebijakan regional Asia Pasifik untuk menangani isu disabilitas melalui 10 tujuan pembangunan inklusi disabilitas. Salah satu tujuan pembangunan dalam Strategi Incheon adalah memastikan bahwa isu inklusi disabilitas telah terintegrasi ke dalam penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PB).

(5)

Inklusi dalam penyelenggaraan PB sangat penting untuk diimplementasikan karena selama ini penyandang disabilitas merasakan dampak paling besar dari terjadinya konflik dan bencana. Dalam keadaan tidak terjadi konflik dan bencana, penyandang disabilitas telah memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat non disabilitas, risiko semakin meluas ketika konflik dan bencana terjadi. Di sisi lain, seorang individu dapat menjadi disabilitas sebagai dampak terjadinya konflik dan bencana.

Berdasarkan Survey Kebutuhan Program Bantuan Sosial bagi Penyandang Disabilitas (Survey on the Need for Social Asistance Programmes for People with Disabilities / SNSAP-PWD) yang dipaparkan dalam laporan, penyebab terbesar seorang individu menjadi

disabilitas adalah faktor kecelakaan. Sementara itu, faktor konflik dan bencana merupakan faktor penyebab terbesar kedua setelah kecelakaan.

Diagram 1

Faktor Penyebab Disabilitas

Penjelasan mengenai perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi darurat juga dipaparkan dalam UNCRPD Pasal 11. Dalam pasal 11 UNCRPD, dijelaskan bahwa seluruh negara peratifikasi, termasuk Indonesia, harus memastikan perlindungan dan

67% 15% 6% 4% 2% 1% 2% 3%

Penyebab Disabilitas

Kecelakaan Konflik BENCANA Keracunan Operasi Kesalahan medis Obat Terjatuh

(6)

keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi bahaya, termasuk konflik bersenjata, darurat kemanusiaan dan bencana alam.

Disabilitas dan Bencana Alam / Keadaan Darurat (Halaman 184)

Pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang PB yang menjelaskan tentang tanggung jawab dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, kelembagaan, hak dan kewajiban masyarakat, penyelenggaraan PB –mulai dari pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana, serta pengawasan PB.

Di dalam UU No. 24 Tahun 2007, penyandang disabilitas disebutkan sebagai penyandang cacat, yakni salah satu kelompok anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan dikarenakan suatu keadaan atau kondisi yang disandangnya. Peraturan dalam UU yang berkaitan dengan penyandang cacat hanya dijelaskan di dalam satu pasal, yakni Pasal 55, mengenai kategori kelompok rentan yang menjadi prioritas penyelamatan dalam situasi tanggap darurat dan pasca bencana. Sementara itu, terdapat penjelasan lain mengenai kondisi ‘kecacatan’ yang dialami oleh seseorang sebagai dampak dari situasi bencana, yakni dalam Pasal 69, yang menjelaskan tentang kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan berupa santunan bagi korban meninggal dan korban yang mengalami kecacatan.

Berikut adalah penjelasan kedua pasal sebagaimana dimaksud: Pasal 55

(1) Perlindungan terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf e dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa penyelematan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan psikososial. (2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

a. Bayi, balita, dan anak-anak;

b. Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; c. Penyandang cacat; dan

(7)

Pasal 69

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan bantuan santunan duka cita dan kecacatan bagi korban bencana.

(2) Korban bencana yang kehilangan mata pencaharian dapat diberi pinjaman lunak untuk usaha produktif.

(3) Besarnya bantuan santunan duka cita dan kecacatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pinjaman lunak untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.

(4) Tata cara pemberian dan besarnya bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan.

Dalam UU No. 24 Tahun 2007, penyandang disabilitas atau ‘orang yang mengalami kecacatan’ masih dipandang sebagai obyek penerima bantuan dan santunan (charity). Upaya untuk melibatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam PB dan mengurangi tingkat kerentanannya tidak terakomodasi di dalam UU. Berdasarkan dua pasal di atas, dokumen Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosialmemberikan ulasan singkat mengenai permasalahan dan kondisi riil yang dialami oleh penyandang disabilitas dalam penyelenggaran PB, sebagai berikut: Tahapan pra bencana

1. Program kesiapsiagaan bencana yang sensitif penyandang disabilitas masih sangat terbatas.

2. Program edukasi tentang PB seringkali tidak melibatkan partisipasi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dipandang sebagai obyek, bukan sebagai subyek pelaku, dalam hampir seluruh pelaksanaan kegiatan PB.

3. Informasi dan materi edukasi mengenai PB yang tidak aksesibel menyebabkan penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk menerima informasi yang

tersedia. Sebagai contoh, penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan sulit untuk menerima informasi PRB dalam bentuk tulisan atau visual.

(8)

Tahapan tanggap darurat:

1. Partisipasi yang rendah dalam program PRB meningkatkan risiko penyandang disabilitas terhadap bencana. Penyandang disabilitas yang tidak memiliki

pengetahuan dan keterampilan mengenai PB akan memiliki tingkat kesiapsiagaan yang sangat rendah. Dalam situasi bencana, penyandang disabilitas seringkali menjadi kelompok yang ditinggalkan atau tidak menjadi prioritas.

Tahapan pasca bencana:

1. Data spesifik atau terpilah mengenai kondisi penyandang disabilitas masih terbatas. Dalam situasi bencana, pengumpulan data korban bencana hanya dilakukan untuk mengidentifikasi korban luka ringan, luka berat, dan meninggal dunia.

2. Pos atau barak pengungsian tidak memiliki fasilitas yang mendukung aksesibilitas. Dalam kondisi ini, penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas di pos pengungsian, baik fisik (kamar mandi, ruang terbuka) maupun non fisik (informasi).

3. Identifikasi kebutuhan khusus bagi penyandang disabilitas pasca bencana masih sangat kurang.

Kesimpulan

Seperti telah dijelaskan dalam bagian Pengantar, disabilitas merupakan sebuah isu kompleks yang memiliki potensi besar untuk mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Disabilitas masih terperangkap dalam interaksi antara keterbatasan fungsi individu dengan hambatan yang ada di lingkungan. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan fisik, maupun hambatan yang disebabkan oleh sikap dan program yang tidak berpihak.

Dokumen Penyandang Disabilitas di Indonesia: Fakta Empiris dan Implikasi untuk Kebijakan Perlindungan Sosial mencoba untuk mengulas dengan singkat kondisi disabilitas di

Indonesia melalui kerangka kebijakan legal dalam berbagai sektor dan efeknya terhadap kehidupan masyarakat, salah satunya dalam aspek Pengurangan Risiko Bencana. Laporan ini juga mencoba untuk mendokumentasikan hambatan yang dihadapi oleh penyandang

(9)

disabilitas, hasil dari adanya hambatan, serta kebijakan dan program yang dapat mengatasi permasalahannya.

Seperti dikutip dalam UNCRPD, disabilitas tidak dilihat sebagai kondisi medis yang melekat pada individu tetapi lebih kepada interaksi antara individu yang memiliki keterbatasan fungsi dengan hambatan di lingkungan yang menghambat partisipasi. Sayangnya, hingga saat ini pandangan tersebut tidak terakomodasi dalam peraturan di Indonesia padahal Pemerintah Indonesia memiliki berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan penyandang disabilitas. Dalam peraturan, disabilitas masih diaggap sebagai pihak yang harus dilindungi dan dijaga, bukan sebagai pihak yang memiliki hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam masyarakat. Implikasinya, pendekatan dengan pandangan ini tidak efektif untuk membantu penyandang disabilitas dalam menghilangkan hambatan untuk berpartisipasi dalam sektor sosial dan ekonomi.

Secara keseluruhan, penyandang disabilitas di Indonesia mengalami kondisi yang memprihatinkan mulai dari permasalahan pendidikan, lapangan pekerjaan, penerimaan masyarakat, dan perlindungan sosial. Penyandang disabilitas juga mengalami kemiskinan dengan kondisi yang lebih tidak menguntungkan dibandingkan non disabilitas. Hingga saat ini, program dan peraturan terkait dengan penyandang disabilitas di Indonesia telah

dikembangkan, namun tidak terimplementasikan dengan baik dan tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Laporan ini mendesak pelaksanaan langkah-langkah konkret dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih inklusif, sehingga penyandang disabilitas dapat menikmati hak asasi secara penuh dan dapat berkontribusi kepada masyarakat dengan kemampuan terbaik yang dimiliki.

Referensi

Dokumen terkait

(4) Subyek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil adalah setiap orang pribadi yang menerima pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah

Salah satu solusi yang mampu menjawab permasalahan ini adalah dengan membangun layanan e-Government berbasis SMS yang dapat memberikan otomasi jawaban untuk pengetahuan

Namun, bahan mentah atau bahan makanan yang digunakan dalam sereal tersebut kebanyakan memang merupakan bahan makanan yang juga menjadi bahan dasar produk lain

Berdasarkan ketentuan pada Bab V Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE.4/Men/III/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan

Kepala Bidang menyiapkan bahan perumusan, penyusunan, koordinasi, pelaksanaan, pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan kebijakan dibidang kesehatan masyarakat veterinerc.

setiap instruksi dan paparan informasi bersifat membantu dan bersahabat dengan pembaca, termasuk kemudahan pembaca dalam merespon, mengakses sesuai keinginan. Peneliti berhasil

Apabila ditemukan optik yang tidak sesuai dengan permenkes maka Dinas Kesehatan akan memberikan sanksi dengan mengacu Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

a) Perilaku elang laut perut putih pada masa berbiak lebih banyak bertengger untuk memastikan apakah sarangnya sudah benar-benar aman yang ditunjukan dengan