• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN PERMUKIMAN TIPE KOLONIAL DI KAWASAN TAMAN KENCANA, KOTA BOGOR TANIA HERLIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERENCANAAN LANSKAP UNTUK PELESTARIAN PERMUKIMAN TIPE KOLONIAL DI KAWASAN TAMAN KENCANA, KOTA BOGOR TANIA HERLIANI"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN TAMAN KENCANA, KOTA BOGOR

TANIA HERLIANI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

TANIA HERLIANI. Perencanaan Lanskap Untuk Pelestarian Permukiman Tipe Kolonial di Kawasan Taman Kencana, Kota Bogor. Dibimbing oleh SITI NURISYAH.

Salah satu peninggalan masa kolonial adalah tatanan lanskap kota-kota yang pernah diduduki kaum penjajah. Kota Bogor merupakan salah satu kota yang dibangun pada masa kolonial, yang memiliki kekhasan dalam pola lanskapnya. Hal tersebut dapat terlihat diantaranya dalam lanskap permukiman tipe kolonial yang berada di kawasan Taman Kencana. Kawasan Taman Kencana merupakan suatu kawasan permukiman yang diperuntukan bagi bangsa Eropa dan dibangun pada periode akhir masa penjajahan. Pelestarian kawasan bersejarah ini perlu dilakukan sebagai paya mempertahankan karakter dan identitas Kota Bogor.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan aspek kesejarahan dan karakteristik lanskap permukiman di Kawasan Taman Kencana, (2) menganalisis signifikansi nilai kesejarahan, (3) mendeskripsikan aspek legal, pembangunan kota dan pendapat masyarakat dan ahli yang mendukung pelestarian, serta (4) menyusun rencana lanskap untuk pelestarian permukiman tipe kolonial di kawasan Taman Kencana. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai bulan Maret hingga Agustus 2011. Tahapan penelitian meliputi: tahap persiapan, pengumpulan data, analisis dan perencanaan lanskap.

Kawasan permukiman tipe kolonial di Taman Kencana dibangun sebagai permukiman bangsa Eropa dan merupakan bagian dari perencanaan perluasan Kota Bogor. Perluasan ke daerah yang dahulu disebut Kedoeng Halang ini mulai diinisiasi sejak tahun 1917-an dengan Ir. Thomas Karsten dan asosiasi sebagai perencananya. Identifikasi karakteristik lanskap kawasan dapat dilihat dari penggunaan lahan, elemen bangunan, sirkulasi dan tata hijau. Permukiman ini diperuntukan sebagai rumah dinas bangsa Eropa sesuai strata sosialnya, meliputi pegawai, peneliti, militer dan penguasa yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan di sekitarnya. Zona I merupakan kawasan permukiman yang diperuntukan bagi militer dan kelas pegawai. Sedangkan Zona II dan III adalah untuk strata sosial yang lebih tinggi, peneliti, petinggi atau penguasa. Selain hunian, dalam permukiman tersebut juga terdapat kantor pemerintahan dan taman ketetanggaan. Baik rumah tinggal maupun bangunan kantor pemerintahnnya memiliki arsitektur khas Indo-Eropa. Ciri tata hijau kawasan sebagai permukiman elit dapat dilihat pada Zona II dan III, yaitu adanya jalur hijau jalan yang lebar dan dilengkapi dengan pohon-pohon penaung.

Berdasarkan analisis nilai signifikansi kesejarahan yang dinilai dari derajat uniqueness, typicality (Haris dan Dines, 1988) dan keaslian lanskap sejarah, menunjukkan bahwa zona I, dengan skor 19,1 merupakan kawasan dengan nilai signifikansi kesejarahan sedang. Zona II, dengan skor 26,8 merupakan kawasan dengan nilai signifikansi kesejarahan tinggi, zona III, dengan skor 31,8 merupakan kawasan dengan nilai signifikansi kesejarahan tinggi. Maka, rekomendasi pelestariannya dibagi berdasarkan tingkat konservasi, yaitu zona II dan III tingkat konservasi I, maka pelestarian ke arah preservasi atau lebih tinggi. Sedangkan zona I dengan tingkat konservasi II.

(3)

Berdasarkan tinjauan aspek legal, kawasan permukiman tipe kolonial di Taman Kencana telah memenuhi kriteria UU Cagar Budaya No 10/2011 sebagai kawasan Cagar Budaya. Perda Kota Bogor telah menetapkan kawasan ini sebagai kawasan strategis kota bidang sosial budaya, dengan fungsi dan tujuan mempreservasi bentuk arsitektur bangunan yang khas. Preservasi terhadap bentuk arsitektur saja dapat dikatakan belum mencukupi untuk pelestarian kawasan, yaitu perlu tindakan pelestarian yang mempreservasi lanskap dan elemennya. Pelestarian kawasan ini mendapat dukungan dari masyarakat, LSM, pemerintah dan ahli. Pendapat mereka sebagai wakil masyarakat merupakan masukan untuk tindakan pelestarian yang dapat diterapkan.

Perencanaan lanskap untuk pelestarian kawasan merekomendasikan zona inti, zona pendukung, serta zona penyangga. Berdasarkan konsep pelestarian yang bertujuan mempertahankan dan mewujudkan kembali layout dari permukiman ini, maka dihasilkan Zona inti seluas 62% berfungsi mempertahankan karakter kawasan. Zona penunjang (22%) merupakan. Sedangkan zona penyangga (16%) berfungsi melindungi karakter zona inti dan zona pengembangan dari pengaruh perubahan karakter kawasan di sekitarnya.

(4)

® Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(5)

KENCANA, KOTA BOGOR

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

Oleh : Tania Herliani

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Penelitian : Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Permukiman Tipe Kolonial di Kawasan Taman Kencana, Kota Bogor

Nama Mahasiswa : Tania Herliani

NRP : A44070028

Departemen : Arsitektur Lanskap

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(7)

Penulis dilahirkan di Bogor pada 9 Agustus 1989 dari ayah Hermanto Kristiansyah, SIP dan ibu Lily Nurlaeli, Spd. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SDN Polisi V Bogor pada tahun 1998. Penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Bogor pada tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan di SMU Negeri 1 Bogor pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) program mayor Arsitektur Lanskap dan minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan. Pada tahun 2009, penulis juga berkesempatan magang di Dinas Cipta Karya bidang Pertamanan Kota Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat pada tahun 2010. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten mahasiswa mata kuliah Dasar-dasar Arsitektur Lanskap pada Tahun Ajaran 2011/2012.

(8)

Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis panjatkan atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi berjudul “Perencanaan Lanskap untuk Pelestarian Permukiman Tipe Kolonial di Kawasan Taman Kencana, Kota Bogor” ini dapat terselesaikan.

Berbagai pihak telah membantu penyusunan skripsi ini, maka ucapan terimakasih yg sebesar-besarnya saya sampaikan kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, arahan dan kesabarannya.

2. Ibu dan Ayah.

3. Narasumber dan responden: Ibu Dewi Pandji dan Keluarga, Bapak Muhammad Nashar dari Bogor 100, Bapak Sobara dan Keluarga, Bappeda dan segenap pihak dari Bappeda, Ibu Prof. Dr. Sri Setyati Harjadi, Bapak Ir. Qodarian Pramukanto, MSi., Rekan-rekan Kampoeng Bogor, Segenap warga dan pengurus RW III Taman Kencana, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

4. Keluarga dan rekan-rekan ARL 44 dan keluarga besar Departemen Arsitektur Lanskap.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi yang membutuhkan. Saran dan masukan penulis harapkan untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.

Bogor, Maret 2012 Penulis

(9)

DAFTAR TABEL ... xi 

DAFTAR GAMBAR ... xii 

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii 

I.  PENDAHULUAN ... 1 

1.1 Latar Belakang ... 1 

1.2 Tujuan ... 2 

1.3 Manfaat ... 3 

1.4 Kerangka Pikir Penelitian ... 3 

II.  TINJAUAN PUSTAKA ... 5 

2.1 Lanskap Budaya dan Sejarah ... 5 

2.2 Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah ... 6 

2.3 Perencanaan Lanskap Kawasan Budaya dan Sejarah ... 8 

2.4 Permukiman Tipe Kolonial ... 11 

III. METODOLOGI ... 14 

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14 

3.2 Alat dan Bahan ... 14 

3.3 Data Penelitian ... 15 

3.4 Tahapan Penelitian ... 16 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24 

4.1 Sejarah dan Karakteristik Kawasan ... 24 

4.1.1  Sejarah Pembentukan Kawasan ... 24 

4.1.2  Karakteristik Kawasan ... 27 

4.2 Analisis Nilai Signifikansi Kesejarahan ... 41 

4.3 Aspek Legal dan Rencana Pembangunan ... 47 

4.3.1  Perundangan ... 47 

4.3.2  Rencana Tata Ruang Kawasan ... 48 

4.4 Aspek Pendapat Ahli dan Masyarakat ... 50 

4.5 Hasil Analisis ... 51 

V.  PERENCANAAN LANSKAP ... 52 

5.1 Konsep Lanskap untuk Pelestarian ... 52 

5.1.1  Tata Ruang ... 52 

5.1.2  Sirkulasi ... 53 

(10)

5.1.4  Aktivitas dan Fasilitas ... 54 

5.1.5  Tata Bangunan ... 55 

5.2 Rencana Pengembangan Lanskap ... 55 

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 60 

6.1 Simpulan ... 60 

6.2 Saran ... 61 

DAFTAR PUSTAKA ... 62 

(11)

Nomor Halaman

1. Langkah-langkah Perencanaan Preservasi designed historic landscapes . 10 

2. Pendekatan dalam Tindakan Pelestarian ... 11 

3. Bahan dan Alat yang Digunakan ... 15 

4. Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan ... 15 

5. Deskripsi Tahapan Penelitian... 16 

6 Responden Penilai ... 18 

7. Kriteria Penilaian Keunikan Lanskap Sejarah Kawasan Taman Kencana 20  8. Kriteria Penilaian Tipikal Lanskap Sejarah Kawasan Taman Kencana ... 21 

9. Kriteria Penilaian Keaslian Lanskap Kawasan Taman Kencana ... 22 

10. Pembentukan Kota Bogor ... 27 

11. Deskripsi Karakteristik Jalan Eksisting ... 37 

12. Jenis Tanaman dan Lokasinya ... 39 

13. Deskripsi Karakteristik Kawasan Taman Kencana ... 40 

14. Penilaian Keunikan Lanskap Sejarah ... 41 

15. Penilaian Tipikal Lanskap Sejarah ... 42 

16. Penilaian Keaslian Lanskap Sejarah ... 44 

17. Sintesis Nilai Signifikansi Kesejarahan ... 45 

18. Aspek Legal yang Mendukung Pelestarian ... 47 

19. Pendapat Masyarakat Mengenai Tindakan Pelestarian ... 50 

(12)

Nomor Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4 

2. Proses Perencanaan Preservasi Lanskap Sejarah ... 9 

3. Ragam Rumah Tinggal di Kawasan Taman kencana ... 13 

4. Peta Lokasi Penelitian ... 14 

5. Peta Zonasi Penilaian Signifikansi Kesejarahan ... 23 

6. Kawasan Taman Kencana ... 25 

7. Kawasan Permukiman Taman Kencana pada Peta Bogor 1946 ... 26 

8. Kawasan Sempur... 28 

9. Peta Penggunaan Lahan Historis ... 30 

10. Peta Penggunaan Lahan Eksisting ... 31 

11. Ragam Rumah Tinggal ... 32 

12. Gedung Balai Penelitian Perikanan dan Gedung SMP 11 ... 33 

13. Balai Penelitian Perkebunan (Centrale Proefstations Vereniging) ... 33 

14. Gedung Blenong ... 33 

15. Gedung RRI ... 33 

16. Peta Kondisi Elemen Bangunan ... 35 

17. Kondisi Jalan Eksisting ... 36 

18. Taman Kencana (Baron Van Imhoff Plein) ... 38 

19. Hasil Analisis Nilai Signifikansi Kesejarahan ... 46 

20. Peta Rencana Penggunaan Lahan Kawasan Taman kencana ... 49 

21. Konsep Tata Ruang ... 53 

22. Konsep Sirkulasi ... 54 

23. Rencana Lanskap ... 58 

24. Ilustrasi Tata Bangunan ... 59 

25. Ilustrasi Aktivitas di Permukiman pada Zona Inti ... 59 

26. Ilustrasi Aktivitas di Taman pada Zona Inti ... 59 

(13)

Nomor Halaman 1. Pedoman Wawancara ... 65 

(14)

1.1 Latar Belakang

Jejak sejarah kolonialisme di Indonesia terukir dalam tatanan lanskap daerah-daerah yang pernah diduduki oleh kaum penjajah. Selama lebih dari tiga abad, Indonesia berada di bawah pendudukan bangsa Eropa meninggalkan situs dan kawasan bernilai sejarah pada masa ini. Peninggalan tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan tersisa sebagai bagian dari sejarah yang perlu dipertahankan sebagai penghubung masa lalu dengan masa saat ini. Keberadaan peninggalan tersebut dapat menginterpretasikan kesan tempat dan kesan waktu di masa lalu.

Bentukan lanskap permukiman tipe kolonial merupakan salah satu bentuk peninggalan yang menginterpretasikan keberlanjutan kehidupan masyarakat pada masa lalu sampai kini, sekaligus mengandung nilai historis yang dapat dikenang oleh generasi berikutnya. Keberadaan bangunan bersejarah periode kolonial turut memberikan keunikan dan identitas tersendiri di dalam sebuah kota. Pelestarian lanskap permukiman tipe kolonial di sini tentu dapat memperkaya wajah dan lingkungan Kota Bogor.

Soepandi (2008) menyatakan bahwa Kota Bogor tumbuh dari konsentrasi tiga zona etnis yang ditentukan pemerintahan kolonial: Eropa, Cina, dan pribumi. Tiap kawasan memiliki kekhasan dan karakter masing-masing. Zona permukiman masyarakat Eropa ditandai dengan berbagai gedung pemerintahan dan fasilitasnya, permukiman yang didominasi rumah vila yang berpekarangan luas, dan berbagai fasilitas umum dan bangunan komersial. Meskipun memiliki jumlah penduduk sangat kecil, zona Eropa menempati porsi lahan terbesar. Zona Eropa di Bogor terdapat di sekeliling Kebun Raya Bogor, gedung institusi pemerintah di sepanjang Jalan Ir Juanda, Jalan A Yani (untuk fungsi perkantoran dan pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin (ke arah utara), dan daerah Taman Kencana (timur).

Kawasan Taman Kencana dan sekitarnya sebelumnya dikenal sebagai bagian dari kawasan Kedoeng Halang yang merupakan areal kebun karet, kopi dan cokelat. Karena adanya kepentingan untuk menyediakan perumahan bagi

(15)

pegawai-pegawai perkebunan dan pemerintahan, maka dilakukan inisiasi untuk perencanaan kawasan pada tahun 1917an. Komplek Taman Kencana dibangun pada tahun 1930 dengan Ir. Thomas Karsten sebagai konsultan perencanaan kota Buitenzorg (1920-1923). Di kawasan Kedoeng Halang dibangun permukiman yang pertama di Bogor untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Belanda mempekerjakan orang pribumi. Sehingga warga pribumi pun membentuk pemukiman di lereng-lereng daerah seputar kompleks (Soepandi, 2008).

Pada saat ini, kawasan permukiman Taman Kencana adalah salah satu daerah yang masih banyak terdapat bangunan peninggalan sejarah dan merupakan representasi dari lanskap permukiman kolonial yang ada di Kota Bogor. Keberadaannya sendiri semakin terdesak oleh aktivitas ekonomi yang berkembang di sekitarnya serta pembangunan fisik yang tidak mendukung bertahannya karakter permukiman di daerah ini. Pembangunan di Kota Bogor saat ini mengalami peningkatan dan perubahan yang cepat sehingga berpengaruh terhadap kelestarian bangunan, situs, dan lingkungan cagar budaya (Hidayat, 2009). Maka, perlu suatu perencanaan preservasi yang mendukung usaha pelestarian lanskap sejarah di Kota Bogor, khususnya permukiman tipe kolonial di kawasan Taman Kencana.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun rencana lanskap permukiman kolonial di kawasan Taman Kencana Kota Bogor untuk mendukung pelestariannya, yang meliputi:

1) mendeskripsikan aspek kesejarahan dan karakteristik lanskap permukiman tipen kolonial di kawasan Taman Kencana,

2) menganalisis signifikansi nilai kesejarahan dari lanskap permukiman tipe kolonial di kawasan Taman Kencana,

3) mendeskripsikan pola pelestarian yang dianalisis dari: aspek legal, pembangunan kota, dan pendapat masyarakat dan ahli,

4) menyusun rencana lanskap untuk pelestarian permukiman tipe kolonial di kawasan Taman Kencana sebagai identitas Kota Bogor.

(16)

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a) Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk memaparkan ide pelestarian warisan sejarah di Kota Bogor.

b) Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam pelestarian sumberdaya sejarah yang ada di Kota Bogor.

c) Bagi masyarakat adalah mendapatkan informasi mengenai bentuk rencana lanskap yang dapat mendukung pelestarian warisan sejarah, khususnya permukiman tipe kolonial di Kota Bogor.

d) Bagi LSM pemerhati heritage dan kebudayaan Bogor, dapat menjadi bahan masukan sebagai suatu bentuk pelestarian.

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Kota Bogor, dalam sejarah pembentukannya, mendapatkan pengaruh dari masa perkembangan kebudayaan mulai dari masa prasejarah, masa kerajaan, hingga masa kolonial. Perkembangan kebudayaan ini meninggalkan kekayaan sumberdaya sejarah dalam lanskap kota Bogor.

Sebagai salah satu wilayah yang penting pada masa kolonial, kota Bogor memiliki karakter lanskap sejarah yang khas dan perlu untuk dilestarikan. Salah satu karakter lanskap sejarah adalah keberadaan permukiman tipe kolonial yang terdapat di kawasan Taman Kencana. Untuk mendapatkan zona lanskap kesejarahan, maka dilakukan analisis terhadap aspek kesejarahan. Analisis nilai signifikansi historis pada kawasan mendapatkan area dengan nilai kesejarahan tinggi yang selanjutnya menjadi zona lanskap yang akan dilestarikan. Pelestarian zona tersebut mempertimbangkan aspek legal pembangunan daerah dan pendapat masyarakat yang mendukung upaya pelestarian. Selanjutnya sesuai dengan konsep pelestarian, maka disusun rencana penataan lanskapnya. Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

(17)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Peninggalan Pengaruh Pendudukan Eropa

(Kolonial)

Aspek Kesejarahan Lanskap

Zona Lanskap Sejarah

Pendapat Masyarakat dan Ahli Aspek Legal dalam Rencana Pembangunan Daerah Konsep Pelestarian Lanskap

Rencana Lanskap untuk Pelestarian Permukiman Tipe Kolonial Peninggalan-peninggalan Sejarah di Kota Bogor

Tatanan Lanskap Permukiman Tipe Kolonial di Kawasan Taman Kencana

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanskap Budaya dan Sejarah

Lanskap budaya didefinisikan sebagai suatu area geografis, meliputi baik budaya dan sumberdaya alami dan cagar alam, berasosiasi dengan kejadian historis, kegiatan, atau seseorang atau memperlihatkan nilai budaya atau keindahan lainnya (Birnbaum, 1994). Menurut Platcher dan Rossler (1995) lanskap budaya mencerminkan interaksi antara manusia dengan lingkungan alami dalam ruang dan waktu. Alam, dalam hal ini merupakan bagian dari kehidupan manusia, meliputi proses yang dinamis, seperti membentuk lanskap. Lanskap budaya juga menunjukkan interaksi antara manusia, sistem sosial dan bagaimana mereka dapat mengorganisasikan ruang.

Lanskap sejarah (historical landscape) merupakan bagian dari bentuk suatu lanskap budaya yang memliki dimensi waktu di dalamnya. Lanskap sejarah ini, umumnya dibentuk antara unsur alam dan unsur budaya dengan skala cakupan areal: tapak, distrik, ketetanggaan, komuniti, kota, wilayah, nasional, dan internasional (Nurisyah dan Pramukanto, 2001). Selanjutnya Birnbaum (1994) juga menjelaskan, terdapat empat jenis lanskap budaya dan sejarah: historic site, historic designed landscape, historic vernacular landscape, dan ethnographic landscape.

1. Historic designed landscape adalah suatu lanskap yang secara nyata didesain oleh seorang arsitek lanskap, master gardener, arsitek, atau ahli agronomi, sesuai dengan prinsip-prinsip desain, atau sesuai dengan tradisi. Nilai-nilai keindahan memegang peranan penting dalam designed landscape, seperti taman, kampus, dan perumahan. Lebih lanjut Keller dan Keller (1989) menjelaskan beberapa tipe designed historic landscapes: residensial, arboretum, taman, plaza, kampus, perencanaan kota, battlefield, area rekreasi outdoor, area exhibition, parkways, dan badan air.

2. Historic vernacular landscape adalah suatu lanskap yang berkembang melalui suatu penggunaan oleh manusia yang kegiatan atau pekerjaannya membentuk pada lanskap. Melalui sikap budaya dan sosial seseorang,

(19)

keluarga, komunitas, lanskap mencerminkan karakter fisik, biofisik dan budaya pada kehidupan sehari-harinya.

3. Historic site adalah suatu lanskap yang berasosiasi dengan suatu kejadian sejarah, aktivitas, ataupun manusia.

4. Ethnographic landscape adalah suatu lanskap yang meliputi berbagai keragaman keadaan tersebut.

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria dan/atau alasan sebagai berikut:

1. Etnografis, merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini adalah rural landscape dan urban landscape. Rural landscape yaitu suatu model atau bentuk lanskap yang dapat merupakan cerminan aspek ekonomi perdesaan dan berbagai kehidupan perdesaan. Urban landscape adalah bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan

2. Associative, suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya.

3. Adjoining, adalah bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian dari struktur bangunan tertentu.

Lanskap sejarah mampu bertahan hingga keadaan masa kini namun tetap menampilkan keadaan masa lalu secara berkelanjutan, serta mengikuti perkembangan pembangunan. Lanskap sejarah juga memiliki fokus terhadap lanskap budaya, diantara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat. 2.2 Pelestarian Lanskap Budaya dan Sejarah

Pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari perubahan yang negatif atau yang merusak keberdaaannya atau nilai-nilai yang dimilikinya. Kegiatan pelestarian lanskap sejarah ini, selanjutnya, menitikberatkan pada berbagai upaya guna menciptakan pemanfaatan yang lebih kreatif, menghasilkan berbagai produk warisan (heritage products) yang baru, melaksanakan berbagai program partisipasi, melaksanakan analisis ekonomi serta

(20)

berbagai kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian tersebut (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).

Sebagai designed historic landscape, kawasan Taman Kencana memiliki nilai penting yang perlu dilestarikan keberadaannya di Kota Bogor. Nurisyah dan Pramukanto (2001), berpendapat ada lima manfaat yang diperoleh dari pelestarian yang dilakukan, antara lain :

1. Mempertahankan warisan budaya/sejarah yang dimiliki karakter spesifik suatu kawasan.

2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan. Adanya areal sejarah atau yang bernilai budaya tinggi di suatu kawasan tertentu yang relatif modern akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda.

3. Kebutuhan psikis manusia, yaitu untuk melihat dan merasakan ekstensi dalam alur kesinambungan masa lampau, masa kini dan masa depan yang tercermin dalam objek atau karya lanskap untuk selanjutnya dikaitkan dengan harga diri. 4. Motivasi ekonomi, peninggalan budaya dan sejarah memiliki nlai yang tinggi

apabila dipelihara baik, terutama dapat mendukung perekonomiann kota/daerah bila dikembangkan sebagai kawasan wisata.

5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu.

Selanjutnya, Nurisyah dan Pramukanto (2001) juga menjelaskan kriteria untuk melakukan tindakan pelestarian didasarkan atas pertimbangan faktor-faktor:

1. Makna sejarah, yaitu pertimbangan terhadap makna kesejarahan dan keunikannya.

2. Extant historic resources, yaitu pertimbangan pada jumlah dan tipe dari fitur utama yang terkait dengan periode sejarah tapak tersebut, serta integritas historis dari berbagai sumberdaya yang dapat dipertahankan keberadaannya. 3. Kondisi sumberdaya sejarah, termasuk kondisi struktur dan tanaman. Seleksi

sumberdaya sejarah, meliputi: kepentingan dari asosiasi sejarah, ketersediaan sumberdaya eksisting, keterpaduan sumberdaya tersedia, keterkaitan antara sumberdaya eksisting dengan keterkaitan sejarah, kondisi sumberdaya saat ini,

(21)

ketersediaan informasi sejarah pada periode yang otentik untuk upaya restorasi.

2.3 Perencanaan Lanskap Kawasan Budaya dan Sejarah

Perencanaan adalah suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik mencapai keadaan tersebut (Simonds dan Starke, 1983). Perencanaan kawasan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya: mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar, memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan, dan merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan masa lalunya (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).

Menurut Harris dan Dines (1988) beberapa tujuan dari perencanaan lanskap sejarah adalah:

1. Mempreservasi karakter keindahan dari bangunan atau area: a. menekankan pada keberlanjutan masa dahulu dan saat ini, b. melengkapi suatu struktur sejarah,

c. menahan penurunan karakter pada lingkungan,

d. menginterpretasikan kehidupan sejarah sesorang, kejadian, maupun tempat.

2. Mengkonservasi sumberdaya:

a. melindungi pepohonan, semak, dan berbagai macam material tanaman, b. memperpanjang kehidupan pada elemen tapak,

c. memperbaiki dan merehabilitasi elemen yang sudah tidak berfungsi lagi, d. mengurangi pemeliharaan.

3. Memfasilitasi pendidikan lingkungan:

a. mengilustrasikan selera, proses, teknologi pada masa lalu,

b. mengevaluasi penerapan penggunaan teknologi pada masa lalu dan saat ini.

4. Mengakomodasi kebutuhan akibat perubahan pada kawasan permukiman baik di perkotaan, suburban atau perdesaan.

(22)

Selanjutnya, Harris dan Dines (1988) menjelaskan langkah-langkah umum dalam proses perencanaan (pengumpulan data, analisis, options, evaluasi rencana alternatif, dan pemilihan rencana yang paling sesuai) dapat digunakan dalam perencanaan lanskap kawasan bersejarah, dengan mempertimbangkan faktor yang paling mempengaruhi, yaitu fitur atau elemen sejarah serta karakteristik tapak. Salah satu tools dalam perencanaan preservasi lanskap bersejarah adalah site master plan, berupa bentuk pendekatan dan implementasi yang sesuai dalam tapak. Proses perencanaan lanskap menurut Haris dan Dines (1988) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Perencanaan Preservasi Lanskap Sejarah

Birnbaum (1994) menjelaskan beberapa langkah dalam perencanaan Preservasi kawasan bersejarah meliputi penelitian kesejarahan, analisis tapak, dan perencanaan pengembangan. Sedangkan Keller dan Keller (1989), designed historic landscapes dapat dievaluasi meliputi enam langkah, lebih lanjut dijelaskan dalam Tabel 1.

Establishing Historical Significance, Philospophy and Site Protection

Site Assessment

Expertise as Required

Research Planning Design

Expertise as Required

Maintenance Interpretive Program

(23)

Tabel 1. Langkah-langkah Perencanaan Preservasi designed historic landscapes Birnbaum (1994) Keller dan Keller (1989) Deskripsi

1.Penelitian kesejarahan, inventarisasi dan dokumentasi kondisi eksiting,

1.Penelusuran Informasi, Penjelasan deskriptif dan spasial penggunaan baik eksisting atau historis. 2.Identifikasi tipe lanskap

dan konteks pengembangan,

-Mengidentifikasi material yang mengandung nilai kesejarahan -Menentukan konteks geografi yang

paling mempengaruhi (level lokal, regional, nasional)

3.Analisis Karakter Elemen, Menentukan elemen yang mewakili karakteristik historis.

2.Analisis tapak, evaluasi integritas dan signifikansi, 4.Evaluasi Signifikansi Kesejarahan, 5.Evaluasi Integritas,

Setiap elemen atau fitur lanskap memenuhi beberapa kriteria:

-Berasosiasi dengan suatu kejadian sejarah yang berpengaruh terhadap pola lanskap.

-Berhubungan dengan seorang yang penting pada masa lampau.

-Memiliki karakter yang unik, berbeda. -Menyimpan informasi penting masa

lampau.

Derajat nilai signifikansi kesejarahan menurut Harris dan Dines (1988) dapat ditentukan melalui kriteria uniqueness

dan typicality lanskap sejarah. -Tingkat karakter kesejarahan. -Tingkat keaslian

-Perubahan yang terjadi. 3.Perencanaan pengembangan, dan pendekatan tindakan preservasi dalam pengelolaan, dan persiapan terhadap tindakan dan rekomendasi penelitian di masa yang akan datang.

6.Penentuan Tindakan. Menentukan tindakan yang tepat untuk dilakukan

Lebih lanjut Birnbaum (1994) menjelaskan tindakan pelestarian sebagai kegiatan yang mengarah pada tujuan preservasi. Hal-hal yang mempengaruhi pemilihan tindakan meliputi nilai (value) kesejarahan dari elemen-elemen pada tapak, signifikansi historis dan integritas, dokumentasi kesejarahan, kondisi eksisting, penggunaan dahulu dan yang direncanakan (seperti pendidikan, interpretasi, pasif, aktif, institusi, privat), tujuan jangka pendek dan jangka panjang dan kebutuhan tertentu (aksesibilitas, keamanan, pemadam kebakaran) dan biaya antisipasi perubahan, kepegawaian, dan pemeliharaan. Beberapa

(24)

pendekatan dalam tindakan pelestarian menurut beberapa ahli dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pendekatan dalam Tindakan Pelestarian Pendekatan Definisi

Preservasi - Harris dan Dinnes (1988)

Mempertahankan tapak seperti apa adanya.

Rehabilitasi

- Harris dan Dinnes (1988)

Meningkatkan standar yang modern dengan tetap mempertahankan karakter historisnya.

- Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan suatu lanskap sejarah. Restorasi

- Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Pengembalian kondisi lanskap pada kondisi aslinya dengan mengembalikan penampilan sejarah.

Rekonstruksi

- Harris dan Dinnes (1988)

Membuat kembali bagian yang dulu ada tetapi sudah tidak ditemui lagi saat ini . - Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik keseluruhan atau sebagian dari tapak asli

Konservasi

- Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Tindakan pasif untuk melindungi lanskap sejarah dari kehilangan, pelanggaran atau pengaruh yang tidak tepat.

- Harris dan Dinnes (1988)

Tindakan secara aktif membantu menghalangi dari kerusakan yang lebih jauh pada tapak atau elemen tapak

Adaptive Use

- Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan berbagai penggunaan.

Interpretasi

- Nurisyah dan Pramukanto (2001)

Usaha pelestarian mendasar untuk mempertahankan lanskap asli secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan baru serta kondisi yang akan dihadapi di masa ini dan masa yang akan datang.

2.4 Permukiman Tipe Kolonial

Kota Bogor sebagai kota yang dibangun pada masa kolonial, pada awalnya dibangun dengan konsep tata ruang Garden City Ebenezer Howard 1898 (Sarilestari, 2009). Konsep tersebut terlihat dalam layout dan penataan ruang sesuai dengan fungsinya. Penataan permukiman di Buitenzorg pada abad 19, oleh pemerintah Hindia Belanda, diatur berdasarkan pengelompokan etnis (Wijkenstelsel). Bangsa Eropa yang disamakan haknya diizinkan membangun pemukiman di sebelah barat Jalan Raya Pos. Mulai dari witte pall Pabaton sampai dengan sebelah selatan Kebun Raya dan Pakancilan. Sedangkan orang Tionghoa diberi hak tinggal di sepanjang Handlestraat sampai tanjakan Empang. Sisanya para pribumi tinggal di luar kota pemerintahan (Kampoeng Bogor).

(25)

Pada awal abad 20, pemisahan secara etnis pada daerah perumahan oleh Karsten dicoba untuk dieliminer. Sebagai penggantinya daerah perumahan dikelompokkan berdasarkan alasan ekonomi ketimbang masalah etnis (Handinoto, 1998). Menurut Soepandi (2008), rumah-rumah Belanda bertipe besar dan luas untuk kaum elit banyak terdapat di tepi jalan-jalan utama, sedangkan rumah-rumah yang lebih kecil untuk tingkatan karyawan atau pengusaha biasa tersebar di jalan-jalan sekunder.

Lebih lanjut Handinoto (1998) juga menjelaskan ciri permukiman untuk kelas jalan boulevard, straat, dan laan dengan kapling-kapling yang luas, diletakkan rumah bagi penghuni kelas ekonomi menengah keatas, sedangkan untuk jalan kecil dan gang, diletakkan rumah bagi penghuni kelas ekonomi menengah kebawah. Sedangkan, ciri permukiman dalam konsep Garden City yang mengambil contoh Welwyn Garden City adalah: terdapat ragam rumah dari yang kecil hingga yang besar, lebar jalan utama 6 m, Koefisien Dasar Bangunan 30%, serta lanskap jalan yang dilengkapi dengan dengan tree lines street (Sanjaya, 2008).

Sebagai ciri permukiman bangsa Eropa yang berkembang pada awal abad 20 adalah adanya aturan sempadan bangunan serta tersedianya fasilitas umum, dan permukiman ini biasanya dibangun sebagai rumah dinas bagi pegawai pemerintahan (Heryanto, 2000). Keberadaan permukiman bangsa Eropa ini juga meninggalkan suatu bentuk arsitektur yang dikenal sebagai arsitektur kolonial. Arsitektur kolonial merupakan sebutan singkat untuk langgam arsitektur yang berkembang selama masa pendudukan Belanda di tanah air (Murtomo, 2008).

Pada awal abad 20, arsitek-arsitek yang baru datang dari negeri Belanda memunculkan pendekatan untuk rancangan arsitektur di Hindia Belanda. Gaya arsitektur Indo-Eropa, yang dipelopori oleh Henri Maclaine Pont dan Thomas Karsten, disebut sebagai arsitektur kolonial modern. Istilah Indo-Eropa ditujukan pada bangunan yang mempunyai bentuk (atau kesan luarnya) perpaduan antara arsitektur Nusantara dan arsitektur modern yang disesuaikan dengan iklim, bahan bangunan serta teknologi yang berkembang waktu itu (Hadinoto, 1998). Bentuk arsitektur kolonial pada kawasan dapat dilihat pada bangunan pemerintahan dan rumah tinggal. Bangunan rumah tinggal memiliki ciri umum mempunyai atap

(26)

dengan kemiringan lebih dari 35o sebagai antisipasi terhadap curah hujan yang cukup tinggi dan panas yang cukup menyengat. Banyak terdapat bukaan dengan menghadirkan bukaan-bukaan jendela berjalusi (berkisi-kisi) serta lubang angin. Selain itu juga terdapat teras atau serambi depan (Safeyah, 2006). Ragam rumah tinggal (Gambar 3) di kawasan Taman Kencana terdiri dari ukuran besar yang berada di sepanjang jalan Ciremai hingga ukuran yang kecil di jalan lainnya.

Gambar 3. Ragam Rumah Tinggal di Kawasan Taman kencana Sumber: Pribadi (2011)

(27)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Kencana Kota Bogor. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4, merupakan daerah yang dikenal sebagai Kedoeng Halang (peta 1946), yang berada di wilayah administratif Kecamatan Bogor Tengah dengan 77% merupakan bagian dari Kelurahan Babakan dan sisanya bagian dari Kelurahan Sempur. Wilayah penelitian dibatasi oleh sungai Ciliwung di sebelah barat, sebelah timur dengan Jalan Pajajaran, sebelah utara dengan Jalan Gunung Gede, dan Kebun Raya di sebelah selatan. Penelitian dilaksanakan selama enam bulan, mulai bulan Maret hingga Agustus 2011.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital untuk survei lapang, alat tulis, alat gambar, pedoman wawancara, komputer serta software grafis seperti Autocad, Photoshop dan Sketchup untuk pengolahan data spasial. Penggunaan bahan dan alat dijelaskan pada Tabel 3.

Peta Bogor th 1946 (tanpa skala) Sumber: Kampoeng Bogor

(28)

Tabel 3. Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan dan Alat Tujuan

• Peta Sejarah Bogor tahun

1920-1946. Mengidentifikasi karakteristik lanskap permukiman, Menganalisis nilai signifikansi kesejarahan.

• Sejarah Bogor.

• Peta Rencana

Pembangunan Kota Bogor.

Mengidentifikasi kondisi saat ini dan rencana pembangunan.

• Perundangan dan peraturan yang berlaku.

• Komputer dan software -nya.

• Scanner.

Mendapatkan foto-foto kondisi lama tapak.

• AutoCAD 2008,

Photoshop. Mengolah data.

• Office 2007.

• Kamera digital. Mendapatkan data dan kondisi eksisting tapak.

• Pedoman wawancara. Mendapatkan informasi dari narasumber 3.3 Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka dan instansi terkait, meliputi Bappeda, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, serta Kampoeng Bogor. Sedangkan, data primer didapatkan melalui pengamatan lapang dan wawancara (Lampiran). Jenis data selanjutnya dijelaskan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan

Aspek Data Jenis Data Sumber

Spasial Deskriptif Kesejarahan

Kampoeng Bogor, Bappeda, Disparbud, Pustaka, Wawancara, Lapang. Peta Bogor tahun 1920-1946. √

Sejarah Bogor. √

Sejarah Kawasan. √

Benda Cagar Budaya Kota Bogor √ √ Kondisi Eksisting Kawasan. √ √ Legal

Bappeda, Disparbud

RDTR Bogor Tengah 2002

Perundangan dan Peraturan. √ √ Masyarakat

(29)

3.4 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahap, meliputi: 1) persiapan, 2) pengumpulan data, 3) analisis data dan 4) perencanaan lanskap. Merupakan modifikasi dari tahapan perencanaan preservasi laskap sejarah menurut Haris dan Dines (1988). Secara singkat, deskripsi tahapan penelitian dijelaskan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Deskripsi Tahapan Penelitian Persiapan Pengumpulan Data dan

Informasi Analisis Data

Perencanaan Lanskap Usulan Penelitian Perijinan 1. Aspek Kesejarahan Birnbaum (1994): Peta Kesejarahan Kondisi Fisik

Keller dan Keller (1989): Sirkulasi, land use, bangunan, tata hijau 2. Aspek Legal dan

Pembangunan Kota Rencana Pembangunan Rencana Pelestarian Kawasan

3. Aspek Pendapat Masyarakat dan Ahli

Aspek Fisik Aspek Legal

1. Analisis Signifikansi Kesejarahan Harris dan Dines (1988):

Uniqueness Typicality

Keller dan Keller (1989): Penilaian Keaslian dan Identifikasi Perubahan 2. Rencana Ruang Pelestarian Konsep Pelestarian Konsep Lanskap Kawasan Pelestarian Rencana Lanskap 1) Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap pembuatan usulan penelitian dan pengurusan perijinan. Pembuatan usulan penelitian bertujuan merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pengumpulan data sekunder melalui studi pustaka.

2) Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder seperti pada Tabel 3. Data sekunder didapatkan dari instansi-instansi terkait, meliputi Bappeda, Disparbud dan Kampoeng Bogor. Data yang digunakan mempunyai deskripsi pemanfaatan dan fungsi, yaitu:

a. Aspek Kesejarahan

Data sejarah kawasan berdasarkan peta lama Buitenzorg dan informasi kesejarahan, akan digunakan untuk menyusun peta dasar dan mendeskripsikan data kesejarahan sesuai dengan Tabel 4. Informasi sejarah kawasan didapatkan

(30)

dan studi pustaka dan melalui wawancara terhadap nararumber baik masyarakat lama yang mengetahui sejarah dan perubahan kawasan, maupun dari instansi terkait. Peta dasar berfungsi untuk selanjutnya digunakan untuk analisis spasial uniqueness, typicality, dan keaslian lanskap sejarah yang dibagi dalam unit lanskap berupa zonasi.

b. Aspek Pembangunan Kota

Data meliputi Rencana Tata Ruang, terutama Kecamatan Bogor Tengah yang dimana secara administratif, kawasan Taman Kencana berada di dalamnya. Serta kebijakan perundangan yang berkaitan dengan pelestarian kawasan. Pada Rencana Tata Ruang dapat diketahui pembentukan ruang yang direncanakan oleh pemerintah kota dalam waktu ke mendatang.

c. Aspek Pendapat Masyarakat dan Ahli

Persepsi masyarakat meliputi pendapat dan keinginan masyarakat yang diperoleh melalui wawancara. Wawancara dilakukan secara purposif terhadap narasumber yang diharapkan dapat mewakili pendapat dan keinginan masyarakat, meliputi pihak: pemerintah, LSM, masyarakat lama, dan ahli. Selanjutnya, aspek pendapat masyarakat ini dianalisis secara deskriptif.

3) Tahap Analisis

Tahap analisis meliputi tahap penilaian terhadap signifikansi kesejarahan serta analisis spasial yang menghasilkan zona signifikansi kesejarahan.

a. Analisis Nilai Signifikansi Kesejarahan

Menurut Harris dan Dinnes (1988) derajat kekhasan dan keunikan pada lanskap dapat dinilai menurut kriteria-kriteria tertentu. Kriteria-kriteria tersebut disusun untuk menilai signifikansi kesejarahan oleh tiga orang responden (Tabel 6) yang telah tinggal di dalam kawasan selama paling sedikit 45 tahun, sehingga dianggap mengetahui mengenai sejarah dan perkembangan kawasan Taman Kencana.

(31)

Tabel 6 Responden Penilai

No Responden Usia Keterangan Alamat

1 Ibu Dewi Pandji 63 th Masyarakat Lama (Jurnalis) Jl. Taman Malabar 2 Ibu Prof. Dr. Sri Setyati

Harjadi

72 th Masyarakat Lama (Dosen)

Jl. Cikuray 3 Bp. Sobara S. 78 th Masyarakat Lama (Ketua RW) Jl. Tangkuban

Parahu

Penilaian kekhasan dan keunikan berdasarkan kriteria seperti tertera pada Tabel 7 dan Tabel 8. Penilaian keaslian lanskap sejarah menggunakan kriteria pada Tabel 9. Analisis nilai signifikansi historis dilakukan dengan skoring 1 sampai 4, dimana skor tinggi menunjukkan derajat uniqueness, typicality dan keaslian tinggi.

Segmentasi penilaian dibagi menjadi tiga zona, berdasarkan kemiripan elemen pembentuk lanskap dan pemanfaatan lahan, yang dibagi berdasarkan batas fisik dan batas alami, yaitu jalan-jalan utama dan sungai. Peta zonasi untuk analisis penilai signifikansi kesejarahan dapat dilihat pada Gambar 5. Batas-batas zona adalah sebagai berikut:

Zona I dibatasi oleh sungai Ciliwung, jalan Salak, dan jalan Jalak Harupat, merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Sempur. Merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan sedang dan cenderung menjadi padat.

Zona II dibatasi jalan Salak dan Pajajaran, merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Babakan. Merupakan area permukiman tipe kolonial dengan kepadatan rendah. Area perdagangan jasa berkembang terutama di ruas jalan Pangrango, Salak dan Pajajaran.

Zona III dibatasi jalan Ciremai, Salak, Pajajaran, merupakan wilayah yang sebagian besar masih berupa permukiman dengan tipe kolonial dengan kepadatan rendah, dan area perdagangan jasa berkembang pada ruas jalan Pajajaran.

b. Rencana Ruang Pelestarian

Setelah mendapatkan penilaian terhadap signifikansi kesejarahan, didapatkan zonasi nilai kesejarahan. Hasil analisis merupakan zonasi rencana ruang yang

(32)

selanjutnya digunakan pada tahap perencanaan lanskap. Pada Zona tersebut ditentukan tindakan pelestarian yang sesuai.

4) Tahap Perencanaan Lanskap

Pada tahap ini, dilakukan formulasi konsep pelestarian yang akan dilakukan, selanjutnya digunakan dalam pengembangan terhadap konsep perencanaan lanskap. Hasil analisis yang telah dihasilkan pada tahap sebelumnya, selanjutnya sesuai konsep perencanaan dikembangkan rencana lanskap berupa site plan, gambar potongan hingga gambar ilustrasi.

(33)

Tabel 7. Kriteria Penilaian Keunikan (Uniqueness) Lanskap Sejarah Kawasan Taman Kencana

No Kriteria Skor 4 Skor 3 Skor 2 Skor 1

1 Asosiasi Kesejarahan

• Memiliki hubungan

kesejarahan yang sangat kuat.

• Mempertahankan konsep arsitektur indis.

• Mempertahankan konsep permukiman bangsa Eropa.

• Memiliki hubungan kesejarahan yang kuat.

• Mempertahankan konsep arsitektur indis.

• Mempertahankan konsep permukiman bangsa Eropa.

• Memiliki hubungan kesejarahan yang kurang kuat.

• Mempertahankan konsep arsitektur indis.

• Mempertahankan konsep permukiman bangsa Eropa.

• Tidak memiliki hubungan kesejarahan yang kuat.

• Tidak mempertahankan konsep arsitektur indis.

• Tidak mempertahankan konsep permukiman bangsa Eropa. 2 Keragaman yang Berbeda dari Kebiasaan

• Karakter elemen pembentuk kawasan sangat berbeda dari yang lain dan bernilai sejarah sangat kuat.

• Jumlahnya banyak.

• Karakter, struktur, dan elemen berbeda dari yang lain dan nilai sejarah kuat.

• Jumlahnya cukup banyak.

• Karakter, struktur, dan elemen cukup berbeda dari yang lain dan nilai sejarah kurang kuat.

• Jumlahnya sedikit.

• Karakter, struktur, dan elemen dan nilai sejarah tidak berbeda dari yang lain.

3 Integritas

• Karakter elemen pembentuk kawasan sangat menyatu dengan lingkungan sekitarnya. • Karakter elemen pembentuk kawasan menyatu dengan lingkungan sekitarnya.

• Karakter elemen pembentuk kawasan kurang menyatu dengan lingkungan sekitarnya.

• Karakter elemen pembentuk kawasan tidak menyatu dan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Keterangan Skor:

4 = Sangat unik, 3 = unik, 2 = kurang unik, 1 = tidak unik Sumber: Modifikasi Harris dan Dines (1988)

(34)

Tabel 8. Kriteria Penilaian Tipikal (Typicality) Lanskap Sejarah Kawasan Taman Kencana

No Kriteria Skor 4 Skor 3 Skor 2 Skor 1

1 Tipe Struktur

• Konsep arsitektur indis sangat dipertahankan.

• Memiliki ciri struktur dan karakter elemen yang tidak berubah dari konsep awal.

• Konsep arsitektur indis dipertahankan

• Memiliki ciri struktur, karakter elemen yang sedikit berubah dari konsep awal

• Konsep arsitektur indis cukup dipertahankan

• Memiliki ciri struktur, karakter, elemen yang berubah dari konsep awal

• Tidak mempertahankan konsep arsitektur indis

• Memiliki ciri struktur, karakter, elemen yang berubah total dari konsep awal

2 Fitur-fitur Ornamental

• Memiliki karakter elemen pembentuk kawasan yang sangat khas.

• Memiliki nilai sejarah sangat tinggi.

• Memiliki karakter elemen pembentuk kawasan yang khas.

• Memiliki nilai sejarah tinggi.

• Memiliki karakter elemen pembentuk kawasan kurang khas.

• Nilai sejarah kurang.

• Tidak memiliki karakter elemen pembentuk kawasan yang khas.

• Tidak Memiliki nilai sejarah.

3 Kualitas Estetika

• Kawasan memiliki karakter sebagai public amenity

yang sangat tinggi.

• Penataan elemen sangat harmonis.

• Kawasan memiliki karakter sebagai public amenity

yang tinggi.

• Penataan elemen harmonis.

• Kawasan kurang memiliki karakter sebagai public amenity.

• Penataan elemen kurang harmonis.

• Kawasan tidak memiliki karakter sebagai public amenity.

• Penataan elemen tidak harmonis.

4 Hubungan Spasial • Kawasan memiliki pola spasial sangat khas.

• Kawasan memiliki pola spasial khas.

• Kawasan memiliki pola spasial kurang khas.

• Kawasan tidak memiliki pola spasial yang khas. Keterangan Skor:

4 = Sangat tipikal, 3 = tipikal, 2 = kurang tipikal, 1 = tidak tipikal Sumber: Modifikasi Harris dan Dines (1988) dan Godchild (1991)

(35)

Tabel 9. Kriteria Penilaian Keaslian Lanskap Kawasan Taman Kencana

No Kriteria Skor 4 Skor 3 Skor 2 Skor 1

1 Pola Distrik

• Karakter elemen dan fungsi kawasan seperti kondisi awal.

• Pola penataan elemen lanskap dan bangunan tidak berubah.

• Penggunaan lahan tidak berubah.

• Karakter elemen dan fungsi kawasan mengalami perubahan.

• Pola penataan elemen lanskap dan bangunan sedikit berubah.

• Penggunaan lahan sedikit berubah.

• Karakter elemen dan fungsi kawasan mengalami perubahan.

• Pola penataan elemen lanskap dan bangunan cukup berubah.

• Penggunaan lahan cukup berubah.

• Karakter elemen dan fungsi kawasan mengalami perubahan total dari kondisi awal.

• Pola penataan elemen lanskap dan bangunan berubah dari kondisi awal.

• Penggunaan lahan berubah.

2 Ruang Terbuka • Karakter dan fungsi ruang terbuka seperti kondisi awal.

• Karakter dan fungsi ruang terbuka sedikit berubah kondisi awal.

• Karakter dan fungsi ruang terbuka cukup berubah kondisi awal.

• Karakter dan fungsi ruang terbuka berubah total dari kondisi awal. 3 Jalur Hijau

• Memiliki jalur hijau dengan karakter dan fungsi elemen seperti kondisi awal.

• Memiliki jalur hijau dengan karakter dan fungsi elemen sedikit berubah.

• Memiliki jalur hijau dengan karakter dan fungsi elemen cukup berubah.

• Memiliki jalur hijau dengan karakter dan fungsi elemen berubah total dari kondisi awal. Keterangan Skor:

4 = Asli, 3 = Kurang Asli, 2 = Cukup Asli, 1 = Tidak Asli Sumber: Modifikasi Harris dan Dines (1988) dan Godchild (1991)

(36)

G am ba r 5 . P et a Z ona si P en il ai an S ig n ifi ka ns i K es ej ara ha n

(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sejarah dan Karakteristik Kawasan

Secara historis, kawasan Taman Kencana merupakan bagian dari perkembangan Bogor sebagai kota pada masa kolonial, yang dimulai sejak pemerintahan Baron van Imhoff (Bappeda, 2005). Karakter Kota Bogor sebagai kota kolonial yang perlu dilestarikan, dapat dilihat dari sejarah awal pembentukan Kota Bogor dan pembentukan kawasan permukiman.

4.1.1 Sejarah Pembentukan Kawasan

Pembentukan Bogor modern, menurut Soepandi (2008), dimulai pada tahun 1745, Buitenzorg didirikan di atas lahan perkebunan yang terletak di antara Sungai Ciliwung dan Cisadane atas prakarsa Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1743-1750). Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff sudah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kota tahun 1872, termasuk penyebaran penduduk menurut ras. Bangsa Eropa diberi izin membangun rumah di sebelah Jalan Raya (sekarang Jalan Sudirman) mulai dari Pal putih (Witte paal) atau pilar Pabaton sampai sebelah kanan kebun raya dan Paledang (Bappeda, 2005).

Tahun 1904, dengan keputusan Gubernur Jenderal Van Nederland Indie Nomor 4 tahun 1904 mencantumkan luas wilayah Buitenzorg 1.205 km2, diproyeksikan untuk 30.000 jiwa. Pada tahun 1924, dengan keputusan Gubernur Generaal Van Nederland Indie Nomor 289, mencapai luas 2.156 ha diproyeksikan untuk 50.000 jiwa. Pada tahun 1925, dibentuk provinsi Jawa Barat (propince West Java) dimana Buitenzorg menjadi salah satu Staads Gementee (Kotapraja). Wilayah Bogor sampai 1920an, berdasarkan Staatblad van Nederlands-Indie, No. 3 Tahun 1871, dibatasi oleh dua sungai utama, yaitu Ciliwung dan Cisadane (Bappeda, 2005). Selanjutnya, berdasarkan Staatblad 1926, Buitenzorg diubah menjadi Gemmente (Kota), yang kelak akan menjadi Kota Bogor di masa sekarang (Disparbud, 2006).

Perluasan sungai Ciliwung dan pembangunan ke arah utara dan selatan yang tidak dimungkinkan, maka pada tahun 1917, dilakukan inisiasi untuk

(38)

perluasan Buitenzorg ke arah timur (Kedoeng Halang) dengan Ir. Thomas Karsten sebagi konsultan perencanaannya. Pemilihan lokasi perluasan ke daerah Kedong Halang ini dengan pertimbangan: lahan berkontur memungkinkan pembangunan permukiman dengan beberapa tipe rumah, mulai dari yang kecil hingga besar, serta menawarkan pemandangan yang indah (Roosmalen, 2009). Kompleks permukiman bangsa Eropa di kawasan ini dibangun karena adanya kepentingan untuk menyediakan perumahan bagi pegawai-pegawai perkebunan dan pemerintahan (Soepandi, 2008). Kawasan permukiman ini sebagai bagian dalam konsep perluasan Buitenzorg yang digambar Ir. Thomas Karsten pad 1917 dapat dilihat dalam Gambar 6.

Gambar 6. Kawasan Taman Kencana (

---

) (Sumber: Bogor 100)

Kompleks permukiman bangsa Eropa di kawasan yang sekarang dikenal sebagai daerah Taman Kencana, direncanakan pembangunan sedikitnya empat ratus rumah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa dalam dekade mendatang (Roosmalen, 2009). Berdasarkan peta Buitenzorg 1946 (Gambar 7), rencana pembangunan permukiman tersebut telah terwujud. Pasca kemerdekaan, pada tahun 1950an, Kota Praja Bogor merealisasikan pembangunan permukiman hingga wilayah utara-timur dan barat-selatan Bogor (Bappeda, 2005).

(39)

Gambar 7. Kawasan Permukiman Taman Kencana pada Peta Bogor 1946 Sumber: Kampoeng Bogor

(40)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa bangsa penjajah membangun Buitenzorg sebagai kota berawal diantara dua sungai besar sebagai batas fisiknya. Pada tahun 1920an, mulai berkembang menyebrangi sungai Ciliwung, yaitu daerah Kedoeng Halang yang dibangun sebagai permukiman. Kawasan Kedoeng Halang dalam peta 1946 tersebut sebagian besar masih merupakan kawasan budidaya dan hutan, tetapi kondisinya kini berubah menjadi permukiman. Secara singkat, pembentukan kota Bogor dijelaskan pada Tabel 10. Maka, dalam kurun waktu tersebut, Bogor yang merupakan kampung pada awalnya, berubah menjadi kota metropolitan dengan luas yang berkembang kurang lebih lima kali lipat dari awal pembentukannya.

Tabel 10. Pembentukan Kota Bogor

Periode Nama Wilayah Luas

1745 Buitenzorg (Regenstchap) 9 kampung/Demang 22 km2 1904 Buitenzorg (Staads

Gementee)

Batas fisik sungai Ciliwung dan Cisadane, terdiri dari 7 desa

1.205 km2

1925-1942 Buitenzorg (Gementee)

Mulai berkembang hingga ke wilayah Kedoeng Halang

1950 Kota Besar Bogor Mulai berkembang hingga ke wilayah

utara-timur, barat-selatan 2.156 Ha 1957 Kota Praja Bogor

1965 Kotamadya DT II 5 kecamatan

1999-sekarang Kota Bogor 6 kecamatan 11.850 Ha

Sumber: Bappeda (2005), Sarilestari (2009)

4.1.2 Karakteristik Kawasan

Identifikasi karakteristik lanskap sejarah dapat dilihat dari elemen atau fitur-fitur yang mewakili tipe lanskap (Keller dan Keller, 1989). Kawasan Taman Kencana sebagai designed historical landscape, memiliki karakteristik lanskap yang dapat dideskripsikan, meliputi penggunaan lahan, bangunan, sirkulasi, dan tata hijau.

4.1.2.1Penggunaan Lahan

Kawasan Taman Kencana merupakan kawasan yang dibangun sebagai permukiman bagi bangsa Eropa terutama pegawai, peneliti, penguasa atau militer yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan yang ada disekitarnya. Zona I atau

(41)

kawasan yang dikenal sebagai Sempur (Gambar 8), menurut Danasasmita (1983), sebelum tahun 1900an merupakan lahan kosong dimana asal penamaannya karena banyak ditemukan pohon Sempur. Kemudian sebagai bagian dari perluasan Buitenzorg ke arah timur oleh Thomas Karsten, maka kawasan Sempur dibangun sebagai kompleks permukiman militer. Lahan kosong yang tersisa menjadi ciri khas kawasan ini, dimana saat ini dikenal sebagai Lapangan Sempur.

Gambar 8. Kawasan Sempur Sumber: Pribadi (2012) dan Tropenmuseum (1926)

Bagian permukiman yang awalnya dibangun pada masa kolonial dikenal sebagai Sempur Kidul, sedangkan Sempur Kaler dan sekitarnya dibangun setelah kemerdekaan. Sebagai komplek militer, permukiman di Sempur lebih diperuntukan bagi kalangan prajurit, sedangkan para petingginya tinggal di permukiman sekitar Taman Kencana. Sehingga, rumah-rumah yang terdapat dikawasan ini lebih sederhana dan luas lahan lebih kecil dari di Taman Kencana. Selain rumah tinggal, di kompleks ini juga terdapat Balai Penelitian Perikanan dan Sekolah Teknik yang sekarang menjadi Gedung SMP 11. Perubahan kawasan Sempur sebagai permukiman tidak banyak berubah, akan tetapi perubahan sebagai area komersial terutama bagian di ruas jalan Sempur. Secara topografi kawasan Sempur berada di ketinggian yang lebih rendah dari Zona II dan III dan dipisahkan oleh batas alami dikenal sebagai lereng Ciremai.

Zona II dan III merupakan permukiman elit yang terdiri dari rumah villa besar, sedang hingga kecil dengan luas kavling ±700-800m2 dan luas lahan terbangun yang masih asli adalah 30%. Permukiman ini diperuntukan bagi peneliti, pegawai atau penguasa Belanda pada saat itu. Zona II dan III dipisahkan oleh jalan Salak sebagai salah satu jalan utamanya yang menghubungkan Jalan

(42)

Jalak Harupat dan Jalan Gunung Gede I. Zona II sebagian besar merupakan rumah tinggal, sedangkan pada zona III, selain rumah tinggal, terdapat ruang terbuka hijau (sekarang Taman Kencana) dan kompleks kantor pemerintahan, yaitu Penelitian Perkebunan dan Sekolah Kedokteran Hewan. Penggunaan lahan secara historis pada Gambar 9.

Perubahan penggunaan lahan lebih terlihat pada zona II, yaitu perubahan dari rumah tinggal menjadi area komersial yang terjadi pada ruas jalan Pajajaran, jalan Salak dan Pangrango. Sedangkan pada zona III perubahan menjadi area komersial ini sebagian besar hanya pada ruas jalan Pajajaran. Area perdagangan dan jasa sebagian besar berada di ruas jalan Pajajaran terdiri dari bangunan baru dan bangunan lama yang berubah fungsi. Jalan Pajajaran menjadi jalur yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga aktvitas yang dominan adalah kegiatan komersial. Kondisinya saat ini berfungsi sebagai jalan arteri dengan berbagai pendukung kegiatan komersial seperti adanya factory outlet, hotel atau rumah makan. Penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 10.

(43)

G am ba r 9 . P et a P enggun aa n L aha n H is tor is

(44)

G am ba r 10. P et a P engg u n aa n L aha n E ks is ti ng

(45)

4.1.2.2Bangunan

Bangunan yang terdapat dalam kawasan dapat dikategorikan menjadi bangunan rumah tinggal dan bangunan kantor pemerintahan. Bangunan dalam kawasan memiliki arsitektur yang khas, dikenal dengan gaya Indis atau Indo Eropa dengan ciri telah menyesuaikan dengan iklim tropis, baik pada bentuk atap, maupun penggunaan material bangunan.

Zona I sebagai permukiman militer yang diperuntukan bagi kalangan prajurit, tipe rumah tinggal yang terdapat dalam kawasan merupakan rumah sederhana dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama. Sedangkan zona II dan III terdiri dari rumah tipe villa yang dapat diidentifikasi dari tipe atap, yaitu tipe atap gandeng. Menurut data Bappeda (2007), jumlah rumah dengan tipe atap gandeng kira-kira hanya seperempatnya dan terletak di zona III. Sedangkan zona II hanya terdapat rumah dengan tipe atap tunggal. Ragam bentuk arsitektur bangunan rumah tinggal dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Ragam Rumah Tinggal

Rumah (a) Jl. Papandayan (b) Rumah Jl. Jalak Harupat (c) Rumah Jl. Sempur (2011)

Bangunan Kantor pemerintahan diletakkan di titik-titik yang strategis atau focal point dari kawasan tersebut. Beberapa bangunan pemerintahan tersebut telah mendapat status sebagai Benda Cagar Budaya Kota Bogor. Bangunan tersebut adalah Balai Penelitian Perikanan Air Tawar dan Gedung SMP 11 (Gambar 12) pada Zona I dan Balai Penelitian Perkebunan (Gambar 13) pada Zona III. Bangunan kantor pemerintahan memiliki arsitektur yang khas berbeda dengan sekitarnya, sehingga berfungsi sebagai landmark, serta memiliki ciri denah berbentuk –U- yang memungkinkan sebagai jalan masuknya cahaya. BCB lainnya yang terdapat dalam kawasan adalah Gedung Blenong dan Gedung RRI yang terdapat pada Zona II (Gambar 14).

(46)

Gambar 12. Gedung Balai Penelitian Perikanan dan Gedung SMP 11 Sumber: http://www.litbang.kkp.go.id/ dan pribadi (2011)

Gambar 13. Balai Penelitian Perkebunan (Centrale Proefstations Vereniging) (a) 2011 (b) 1933

Sumber: Pribadi (2011) dan Arsip BPPI

Gambar 14. Gedung Blenong

(47)

Bentuk perubahan diantaranya adalah terdapat tiga belas rumah yang dibangun setelah kemerdekaan di Jalan Guntur, ada juga penggunaan lahan kosong yang berubah menjadi fasilitas umum, yaitu sekolah internasional di Jl. Papandayan dan masjid di Jl. Sanggabuana (Sobara, 2008). Perubahan elemen bangunan dapat dilihat dari pengamatan fasad bangunan. Pengamatan hanya dilakukan berdasarkan tampak luar fisik bangunan dan penggunaan kavling tanah saja, diantaranya dapat dikelompokkan menjadi:

A. Tidak berubah atau sedikit berubah, yaitu bangunan yang masih mempertahakan keaslian bentuk dan fungsinya, atau mempertahankan bentuk dan bergeser fungsinya. Berdasarkan hasil pengamatan, sebagian besar muka bangunan rumah tinggal masih dapat golongkan tidak banyak perubahan. B. Cukup berubah, yaitu adalah bangunan yang mempertahankan sebagian besar

keaslian bentuknya, telah termodifikasi bagian lainnya, dan sebagian besar telah berubah fungsi atau bangunan asli yang tidak terawat. Contohnya adalah bangunan rumah tinggal yang berubah adaptif menjadi komersial.

C. Sangat berubah atau tidak berciri kolonial, yaitu kondisi bangunan yang sudah berubah total dari aslinya, atau bangunan baru yang tidak sesuai dengan karakter konsep bangunan yang dibangun pada masa kolonial. Peta kondisi elemen bangunan ini dapat dilihat pada Gambar 16.

(48)

G am ba r 16. P et a K ond is i E le m en Ba ngun an

(49)

4.1.2.3Sirkulasi

Sirkulasi dalam kawasan dihubungkan oleh jaringan jalan (weg) yang menghubungkan kawasan permukiman Eropa ini dengan pusat-pusat aktivitas di sekitarnya. Proyek perluasan Buitenzorg yang direncanakan ke arah timur menyebrangi Sungai Ciliwung, termasuk di dalamnya adalah perluasan Kebun Raya. Maka, terbangun jalan lingkar Kebun Raya yang menyebrangi Ciliwung tersebut di dua titik, yaitu jalan jembatan Ciliwung yang berada di jalan Jalak Harupat dan jalan Otto Iskandardinata. Jalan-jalan tersebut menjadi sirkulasi utama yang menghubungkan kawasan dengan pusat kota. Sedangkan, permukiman di Sempur dihubungkan oleh jembatan gantung pada jalan Sempur.

Jaringan jalan eksisting dalam kawasan terdiri dari jalan lokal, jalan kolektor dan jalan arteri (Bappeda, 2007). Jalan Jalak Harupat dan Pajajaran merupakan jalan arteri sekunder, jalan Ciremai, Salak dan Pangrango merupakan jalan kolektor sekunder, dan jalan lainnya merupakan jalan lokal. Kondisi jalan ekisting dapat dilihat pada Gambar 17.

Jalan lokal, yang dahulu diberi nama-nama kerajaan Belanda, seperti Beatrix weg (jalan Cikuray), Jan Pieterzoon Coen weg (jalan Pangrango). Jalan lokal memiliki lebar 6-7 meter cukup lebar sebagai jalan permukiman, dilengkapi dengan jalur hijau jalan dengan lebar 1,5-2 meter dan pohon-pohon penaung. Secara singkat Jaringan jalan eksisting dideskripsikan pada Tabel 11.

Gambar 17. Kondisi Jalan Eksisting Jl. Pajajaran b) Jl. Ciremai c) Jl. Papandayan

(50)

Tabel 11. Deskripsi Karakteristik Jalan Eksisting Nama Jalan Fungsi Jalan Karakteristik

Lebar Jalan Pedestrian Jalur Hijau Pajajaran (Gunung Gede I)

Jalan Arteri 40 m 3 m 3 m

Jalak Harupat 13 m 1,3 m 1,3 m

Salak, Ciremai, Pangrango Jalan Kolektor 14 m 1,5 m 1,5 m

Jalan lokal Jalan Lokal 7 m - 2 m

Sumber: Bapeda dan Pengamatan Lapang

4.1.2.4Tata Hijau

Elemen tata hijau dalam kawasan dapat dilihat pada: • Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau yang bersifat pribadi adalah ruang tidak terbangun atau halaman pada setiap kavling rumah, sedangkan yang yang bersifat publik berupa taman. Pada zona I terdapat lapangan Sempur yang pada awalnya merupakan lahan kosong, saat ini dimanfaatkan sebagai saran rekreasi atau olahraga oleh masyarakat Bogor. Pada zona II hanya terdapat taman-taman yang berfungsi sebagai traffic island. Pada zona III, terdapat ruang terbuka yang berada di titik strategis yang menjadi focal point pertemuan antara beberapa ruas jalan. Ruang terbuka hijau tersebut adalah Taman Kencana yang dahulu bernama Baron van Imhoff Plein (Sobara, 2008 dan Widjaja, 1991).

Taman Kencana (Gambar 18) merupakan taman yang dibangun pada 1927 dengan konsep Rennaissance berbentuk geometri dengan pusat berupa air mancur di tengah taman. Fungsi utama taman tersebut adalah sebagai penyedia keindahan lingkungan dengan aktivitas rekreasi pasif. Pada masa tersebut, taman ini dipeliharan oleh pihak Balai Penelitian Perkebunan dan diperutukan bagi bangsa Eropa yang tinggal di sekitarnya serta pegawai-pegawai Balai Penelitian Perkebunan (Widjaja, 1991).

(51)

Gambar 18. Taman Kencana (Baron Van Imhoff Plein) Sumber: Tropenmuseum

• Jalur Hijau Jalan.

Jalur hijau jalan ditanami rumput dan pohon-pohon besar yang berjajar. Pada zona I, jalur hijau tidak selebar di zona II atau III, juga tidak terdapat pohon-pohon besar yang berjajar dengan jenis yang sama. Sedangkan zona II dan III, jalur hijau selebar 2-3 meter ditanami rumput pohon yang berjajar. Penggunaan pohon-pohon tersebut berfungsi sebagai penaung, pemberi estetika, dan keberadaannya mempengaruhi iklim mikro yang menciptakan kesejukan dalam kawasan.

Pemilihan jenis tanaman pada jalur hijau jalan yang mengambil contoh Kota Malang, sebagai salah satu kota yang direncanakan oleh Karsten, diantaranya adalah pohon Trembesi (Samanea saman), Beringin (Ficus benyamina), Palem Raja (Oreodoxa regia), Mahoni (Switenia mahagoni), Asam Londo (Tamarindus indica) dan Kenari (Canarium amboninse) (Baskara, 2012). Penggunaan jenis tanaman tersebut diantaranya adalah untuk mengadaptasi iklim tropis, yang memiliki ciri: tinggi, bertajuk lebar, serta mudah perawatannya. Tabel 12 menunjukkan jenis tanaman tersebut yang dapat ditemukan pada ruas jalan dalam kawasan.

(52)

Tabel 12. Jenis Tanaman dan Lokasinya

Jenis Tanaman Lokasi Jalan

Trembesi (Samanea saman) Jl. Jalak Harupat, Jl. Salak

Beringin (Ficus benyamina) Jl. Jalak Harupat, Jl. Pajajaran, Jl. Papandayan

Mahoni (Switenia mahagoni) Jl. Jalak Harupat, Jl. Pajajaran, Jl. Pangrango, Jl. Sempur, Jl. Pajajaran, Jl. Salak,

Jl. Papandayan, Jl. Cikuray, Jl. Mandalawangi, Jl. Mega Mendung

Kenari (Canarium amboninse) Jl. Jalak Harupat, Jl. Ciremai, Jl. Pajajaran Palem Raja (Oreodoxa regia) Jl. Sempur

Flamboyan (Delonix regia) Jl. Jalak Harupat, Jl. Ciremai, Jl. Pajajaran, Jl. Salak

Sumber: Hasil Pengamatan

Berdasarkan tabel, dapat dilihat bahwa jenis tanaman tersebut dapat ditemukan terutama di jalan-jalan utama. Sedangkan, pada daerah Sempur masih banyak terdapat pohon Sempur. Berdasarkan pengamatan kondisi eksisting, selain tanaman-tanaman tersebut, terdapat beberapa jenis lainnya yang banyak ditemukan pada jalan-jalan lokal, yaitu kerai payung dan tanjung.

(53)

Berdasarkan uraian di atas, maka, karakteristik kawasan permukiman tipe kolonial di Taman Kencana dapat dideskripsikan secara singkat pada Tabel 13.

Tabel 13. Deskripsi Karakteristik Kawasan Taman Kencana

Zona I Zona II Zona III

Penggunaan Lahan

•Permukiman militer dan kelas pegawai

•Kantor pemerintahan •Ruang terbuka (lapangan Sempur) •Permukiman elit bagi pegawai, peneliti atau penguasa

•Permukiman elit bagi pegawai, peneliti atau penguasa •Kantor pemerintahan •Ruang terbuka (Taman Kencana) Bangunan

•Arsitektur khas Indis yang berkembang 1920-1940an, yaitu penyesuaian terhadap iklim tropis dari bentuk dan material

•Rumah tinggal tipe sederhana

•Bangunan kantor pemerintahan diletakkan pada titik yang strategis

•Rumah tinggal tipe villa sedang hingga kecil

•Rumah tinggal tipe villa besar, sedang hingga kecil

•Bangunan kantor pemerintahan diletakkan pada titik yang strategis

Sirkulasi

•Sirkulasi utama Jl. Sempur dan Jl. Jalak Harupat •Sirkuasi utama: Jalan arteri sekunder (Jl. Pajajaran), kolektor sekunder (Jl. Ciremai, Salak)

•Jalan lokal untuk jalan lainnya

•Sirkuasi utama: Jalan arteri sekunder (Jl. Pajajaran dan Jalak Harupat), kolektor sekunder (Jl. Ciremai, Salak, Pangrango),

•Jalan lokal untuk jalan lainnya

Tata Hijau

•RTH yang pada awalnya lahan kosong saat ini dimanfaatkan sebagai lapangan publik

•Jalur hijau jalan eksisting ±1 meter, terdapat bagian yang tidak kontinyu, ditanami rumput dan pohon yang tidak berderet atau tidak memberi kesan rimbun

•Pohon sempur terdapat di sisi-sisi lapangan sempur, palem raja dan mahoni pada Jl. Sempur

•RTH halaman pada permukiman

•RTH berupa halaman (pribadi) dan taman ketetanggan (publik). Taman dengan konsep geometri

Renaissance, terletak di titik yang strategis dan aktivitas pasif

•Jalur hijau jalan selebar ±2-3 meter, ditanami rumput dan pohon-pohon dengan ciri: tinggi, besar, tajuk lebar untuk menaungi dan mudah perawatannya (mahoni, flamboyan, kenari, beringin, ki hujan).

•Pohon-pohon pada jalan-jalan utama berderet sejenis. Pada jalan lokal jenis pohon lebih beragam, juga pada halaman rumah tinggal.

(54)

4.2 Analisis Nilai Signifikansi Kesejarahan

Nilai Signifikansi kesejarahan menunjukan makna kesejarahan berdasarkan tingkat kepentingan relatif yang dapat ditentukan dari penilaian derajat kenunikan (uniqueness) dan tipikal (typicality), berdasarkan tujuan perencanaannya dalam skala lokal, regional, nasional, bahkan dunia (Harris dan Dines, 1988). Penilaian keunikan menunjukkan hubungan kesejarahan lanskap dan elemen pembentuknya pada periode sejarah tertentu. Sedangkan, penilaian tipikal lanskap sejarah menunjukkan elemen pembentuk lanskap memiliki ciri tertentu yang membentuk lanskap sehingga memliki kekhasan.

Hasil penilaian keunikan dan tipikal lanskap sejarah masing-masing ditunjukkan oleh Tabel 14 dan 15. Penilaian keaslian lanskap sejarah ditunjukkan oleh Tabel 16. Hasil penilaian tersebut kemudian dioverlay ke dalam Tabel 17. Hasil overlay penilaian menunjukkan bahwa Zona III dan II memiliki derajat signifikansi kesejarahan tertinggi sedangkan Zona I derajat signifikansi kesejarahan sedang.

Tabel 14. Penilaian Keunikan Lanskap Sejarah Zona Kriteria Penilaian (Skor) Total

Skor Total Skor Zona 1 Nilai Rata-rata Kategori R-1 R-2 R-3 I Asosiasi kesejarahan 4 1 2 7 16 5,3 Unik Keragaman yang

Berbeda dari Kebiasaan 2 2 1 5

Integritas 1 1 2 4 II Asosiasi kesejarahan 4 3 4 11 32 10,7 Sangat Unik Keragaman yang

Berbeda dari Kebiasaan 4 4 3 11

Integritas 4 3 3 10 III Asosiasi kesejarahan 4 4 3 11 32 10,7 Sangat Unik Keragaman yang

Berbeda dari Kebiasaan 4 4 2 10

Integritas 4 4 3 11

Keterangan nilai 1-4 = kurang unik, 5-8 = unik, 9-12 = sangat unik

Hasil penilaian menunjukkan bahwa Zona I kategori unik dan sangat unik untuk Zona II dan III. Secara historis, baik Zona I, Zona II dan III adalah suatu kesatuan permukiman bangsa Eropa yang merupakan bagian dari perencanaan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian  Peninggalan Pengaruh Pendudukan Eropa
Tabel 1. Langkah-langkah Perencanaan Preservasi designed historic landscapes
Tabel 2. Pendekatan dalam Tindakan Pelestarian  Pendekatan Definisi
Gambar 3. Ragam Rumah Tinggal di Kawasan Taman kencana  Sumber: Pribadi (2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suatu pemeriksaan yang teliti untuk menemukan lesi ini merupakan bagian yang penting dari evaluasi klinis terhadap seorang pasien yang dicurigai menderita liken planus, dan

48 jam 72 jam 96 jam Analisis kualitatif (Spektrofo- tometer UV- Vis) Aseton 80% Bufer fosfat pH 6,8 Akua- bides Optimasi ekstraksi freeze-dry Analisis kualitatif

Berdasarkan hasil uji dari pelatihan, metode peramalan yang dipilih yaitu metode peramalan Exponential Smoothing α: 0,9 karena lebih sesuai dan akurat untuk digunakan

2.1.1 Mengenal aplikasi yang digunakan untuk membuat grafis berbasis vektor 2.1.2 Mengenal tampilan jendela Inkscape dan pengoperasian program Inkscape 2.1.3 Menjelaskan

Berdasarkan hasil pada diagram 1 menunjukkan bahwa penyembuhan luka perineum pada ibu post partum yang tidak diberikan propolis setelah diobservasi selama 7 hari,

dimungkinkan selama relevan dengan temuan-temuan Pokja saat melakukan analisis dan evaluasi hukum. Menginventarisasi peraturan perundang-undangan terkait bidang yang

Pada hari Senin, 27 Februari 2017 pukul 11.15 WIB peneliti menuju ke lokasi penelitian yang ke dua yaitu MI Al-Ifadah Kaliwungu Ngunut Tulungagung. Peneliti

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian ini maka tujuan utamanya adalah untuk mengekplorasi manajemen waqf dalam mendukung berlangsungnya pendidikan tinggi (khususnya