• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU DALAM KISAH NABI MUSA A.S DAN NABI KHIDIR A.S SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU DALAM KISAH NABI MUSA A.S DAN NABI KHIDIR A.S SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU

DALAM KISAH NABI MUSA A.S

DAN NABI KHIDIR A.S

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

AHMAD ZIDNI ANWAR MUSYADDAD

NIM 11113297

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(2)
(3)

STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU DALAM

KISAH NABI MUSA A.S

DAN NABI KHIDIR A.S

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh:

AHMAD ZIDNI ANWAR MUSYADDAD

NIM 11113297

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO

يسَا سَ يمٍو تُ يْ سَ يسَ يْ يبِولَّلا يسَ يْ سَ يتُ يْ بِ سَ يسَا سَ يمٍ بِا سَ ي بِ سَ يسَ يْ يسَ يْ سَقَ

يبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيُّ بِ لَّنا يسَا سَ

يٌلتُجسَرسَويِّقسَحيْا ي بِفيبِوبِتسَكسَلسَىيىسَلسَ يسَطِّلتُ سَفي الَ سَ يتُولَّلا يتُه سَتآيٌلتُجسَريبِ يْ سَقَتسَنيْقَث ي بِفي لَّلَبِإيسَ سَ سَ ي سَلَيسَملَّلسَ سَو

سَهتُ ِّلسَ تُقَيسَوي سَهبِ ي بِضيْقسَقَييسَ تُهسَقَفيسَةسَ يْكبِحيْا يتُولَّلا يتُه سَتآ

Qais bin Abu Hazim berkata; aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata;

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh mendengki kecuali

terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia

pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan

hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.”

(8)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu,

skripsi ini penulis persembahkan kepada:

1. Kepada Abah KH. Mahasin Munir yang pertama kali telah mengenalkan penulis

kepada Allah swt., dan selalu memberikan motivasi-motivasi yang bisa mendongkrak

semangat penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dan skripsi ini.

2. Kepada Ibu Hj. Siti Mahmudah yang senantiasa tanpa henti-hentinya mendoakan

penulis, dan tiada bosan memberikan nasehat dan pengarahan sehingga penulis bisa

menjadi manusia yang beriman dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah

swt.

3. Kepada para masyayikh yang selalu mendoakan dan memberikan ilmu kepada penulis

sehingga penulis dapat mengetahui perintah-perintah Allah yang harus dilaksanakan

dan larangan Allah yang harus ditinggalkan.

4. Kepada keluarga tercinta kakak dan adik yaitu keluarga pandawa lima (Mas Rosyid,

Mas Anton, Mas Adib, dan Dik Wafa) yang selalu menginspirasi bagi penulis.

5. Kepada teman-teman di Ponpes Hidayatul Mubtadi-ien Kalibening yang selalu

memberikan pengalaman baru dan kesan bahagia.

6. Kepada teman-teman PAI seperjuangan angkatan 2012 dan 2013 yang memberikan

pahit dan manis pelajaran kehidupan.

7. Kepada jeng Sifan yang selalu terbuka untuk mengajarkan ilmunya kepada penulis

(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt. yang telah

memberikan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis haturkan kepada baginda Nabi

Agung Muhammad saw. yaitu satu-satunya Nabi yang dapat memberikan safaat kelak di hari

kiamat.

Dengan izin dari Allah swt. proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah

penulis lalui dengan baik. Dalam penulisan ini juga tidak terlepas dari dukungan dan motivasi

dari berbagai pihak, maka dari itu tentunya banyak pihak yang penulis libatkan, sehingga

penulis mengucapkan banyak terima kasih, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga yang telah

menyetujui skripsi ini.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.

3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI.

4. Bapak H. M. Yusuf Khumaini, S.HI. MH. selaku dosen Pembimbing Akademik.

5. Bapak H. Achmad Maimun, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang telah ikhlas

memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Bapak ibu dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam

penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak dan ibu serta keluarga ku yang telah mendoakan dan memberikan dukungan yang

tiada henti untuk keberhasilan studi penulis.

8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

Kepada mereka semua penulis tidak bisa memberikan balasan apa-apa. Hanya untaian

(10)

membalas amal kebaikan mereka semua dengan balasan yang lebih banyak dan lebih baik

atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Akhirnya, dengan berakhirnya analisis ini, penulis berharap semoga tulisan ini bisa

mempunyai nilai guna dan kemanfaatan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Salatiga, 23 Agustus 2017 Penulis,

(11)

ABSTRAK

Musyaddad, Ahmad Zidni Anwar. 2017. Studi tentang Etika Murid Kepada Guru dalam

Kisah Nabi Musa A.S dan Nabi Khidir A.S. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga.Pembimbing: H. Achmad Maimun, M. Ag.

Kata Kunci: Etika, Murid, Guru, Kisah, Nabi Musa A.S, Nabi Khidir A.S

Penelitian ini tentang etika murid teradap guru yang terdapat pada kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. dalam Al-Qur‟an surat Al-Kahfi ayat 66-82, bahwa seorang murid harus memiliki etika yang baik agar guru merasa senang terhadap sifat murid. Terkadang ada beberapa murid yang saat ini tidak tahu bagaimana ia harus bersikap kepada gurunya karena bagaimanapun juga ia telah mengajar dan memberikan ilmu kepadanya. Banyak kejadian akhir-akhir ini beberapa murid kurang memiliki etika yang baik terhadap guru, baik itu dilakukan secara langsung dihadapan gurunya atau dengan cara tidak langsung. Sehingga dalam rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam Kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. 2. Bagaimana relevansinya dalam pendidikan Islam.

Untuk menjawab penelitian tersebut penulis menggunakan metode library research, karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan objek penelitian, juga mengumpulkan data-data-data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun sekunder yang dicari dari sumber kepustakaan. Dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode analisis maudhu‟i. Analisis maudhu‟i adalah merumuskan tema masalah yang akan dibahas menghimpun menyusun dan menelaah ayat-ayat Al-Qur‟an, kemudian melengkapinya dengan hadits yang relevan.

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

LEMBAR JUDUL SKRIPSI ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO ... ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Terdahulu ... 6

F. Metode Penelitian ... 8

(13)

BAB II KOMPILASI AYAT

A. Surat Al-Kahfi ... 12

1. Pengertian Surat Al-Kahfi ... 12

2. Keutamaan Surat Al-Kahfi ... 13

3. Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi ... 14

B. Kompilasi Surat Al-Kahfi Ayat 66-82 ... 15

1. Ayat ke 66-68 ... 15

2. Ayat ke 69-70 ... 19

3. Ayat ke 72-73 ... 23

4. Ayat ke 74-75 ... 28

5. Ayat ke 76-77 ... 30

6. Ayat ke 78-79 ... 34

7. Ayat ke 80-81 ... 38

8. Ayat ke 82 ... 40

C. Kajian Konseptual tentang Etika ... ... 44

1. Etika ... 44

a. Pengertian Etika ... 44

b. Ruang Lingkup Etika ... 46

2. Murid ... 47

a. Pengertian Murid ... 47

b. Tugas dan Kewajiban Murid/Pelajar ... 48

3. Guru ... 52

(14)

b. Kode Etik Guru ... 53

4. Etika Murid terhadap Guru ... 54

BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH A. Asbabun Nuzul ... 56

B. Munasabah ... 72

1. Pengertian Munasabah ... 72

2. Munasabah Surat Al-Kahfi ... 74

a. Munasabah Ayat dengan Ayat ... 74

b. Munasabah Surat dengan Surat ... 88

BAB IV PEMBAHASAN A. Etika Murid kepada Guru dalam Kisah Nabi Musa A.S dan Nabi Khidir A.S ... 97

1. Tawadhu‟ ... 97

2. Tidak Merasa Lebih Tahu dari Gurunya ... 101

3. Tidak Memiliki Hasrat Ingin Mengungguli Ilmu Gurunya ... 108

4. Mengakui Kualitas Ilmu Gurunya ... 113

5. Tidak Memotong Pembicaraan Guru saat Menjelaskan Materi Sebelum Dipersilahkan ... 118

B. Relevansinya dalam Lingkungan Pendidikan ... 118

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 126

(15)

2. Untuk guru ... 127

3. Untuk Penulis ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 129

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Riwayat Hidup Penulis

2. Nota Pembimbing Skripsi

3. Lembar Konsultasi

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana dapat diketahui bahwa jika memperhatikan isi

Al-Qur‟an dan Hadits, maka terdapatlah beberapa perintah yang mewajibkan

bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu.

Menuntut ilmu adalah suatu usaha atau bentuk proses yang dilakukan oleh

seseorang untuk merubah tingkah laku dan perilaku dari yang tidak baik ke

arah yang lebih baik (Idauniq, 2012 : 2). Perintah kewajiban menuntut ilmu

terdapat dalam hadits Nabi Muhammad saw. yaitu:

يتُ يْ يتُر بِثسَكي سَنسَقَثلَّ سَ يسَن سَ يْ سَلتُ يتُ يْ يتُصيْفسَ ي سَنسَقَثلَّ سَ يمٍر لَّ سَ يتُ يْ يتُ سَشبِىي سَنسَقَثلَّ سَ

يمٍر بِ يْنبِ

يسَا سَ ي مٍ بِا سَ يبِ يْ يبِ سَ سَ ييْ سَ يسَ يبِر بِ يبِ يْ يبِ لَّ سَحتُ ييْ سَ

يىسَلسَ يٌةسَضيبِرسَفيبِميْلبِ يْا يتُبسَلسَطيسَملَّلسَ سَويبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيبِولَّلا يتُا تُ سَريسَا سَ

يسَرسَىيْ سَجيْا يبِريبِا سَنسَخيْا يبِ ِّلسَقتُ سَكيبِوبِليْىسَ يبِريْ سَغيسَ يْنبِ يبِميْلبِ يْا يتُعبِض سَوسَويمٍمبِليْ تُ يِّلتُك

يسَبسَىلَّلا سَويسَ تُايْ ُّلا سَو

(18)

Dari hadits ini dapat diperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan

pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui

segala kemaslahatan dan jalan kemanfaatan. Dan orang yang berilmu,

berpengetahuan luas, maupun orang yang mencapai kesuksesan tentunya

tidak akan bisa didapatkan tanpa sebuah usaha ataupun pembelajaran.

Dalam proses belajar saat ini, nilai tidak hanya berdasarkan

kemampuan akademiknya saja tetapi juga berdasarkan sikap dan tingkah

laku siswa tersebut terhadap gurunya. Banyak dari siswa yang saat ini tidak

tahu bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap gurunya. Terkadang

beberapa dari sikap dan perkataan mereka dianggap kurang sopan, namun

mereka tidak menyadari hal tersebut. Di sini pendidikan hendaknya berlaku

bagaimana merubah pengetahuan atau ilmu yang mereka dapat itu menjadi

tingkah laku dan bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan

sehari-hari. Etika itu harus diajarkan sejak dini agar para murid tahu siapa

dirinya dan kepada siapa saja mereka harus hormat.

Memperhatikan realitas belakangan ini, bahwa ada beberapa murid

yang kurang memiliki adab pada gurunya. Baik secara langsung maupun

tidak langsung. Ada yang diam-diam memaki gurunya, dan ada pula yang

secara terang-terangan menunjukkan sikap yang kurang sopan dihadapan

seorang guru. Bahkan jejaring sosial seperti facebook, bbm dan twitter

sering kali dijadikan sebagai media untuk menumpahkan kekesalan atau

(19)

status-statusnya di jejaring sosial yang dia miliki. Padahal Rasulullah saw. telah dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami)

Dalam agama Islam tentu sudah banyak pedoman-pedoman untuk

memperbaiki etika, salah satunya dalam Al-Qur‟an, sementara itu belum

banyak peneliti yang mengupas tentang bagaimana cara mengubah etika

murid yang buruk menjadi lebih baik seperti yang dicontohkan dalam

Al-Qur‟an. Sehingga, penulis terpanggil untuk memberikan penjelasan tentang

adab seorang siswa kepada gurunya.

Ilmu sangatlah penting untuk dimiliki bagi setiap orang, karena

pentingnya itulah Rasulullah bersabda “Tuntutlah ilmu walau sampai ke

negeri China.” Guru merupakan orang yang sangat berjasa dalam

menyalurkan ilmu kepada murid-muridnya, dan murid mempunyai hak

bertanya tentang apa yang belum ia ketahui. Allah telah berfirman dalam

kitab suci Al-Qur,an dalam surat An-Nahl ayat 43 seperti di bawah ini:

(20)

Guru adalah orang yang harus dihormati, karena guru adalah dokter

rohani untuk kebaikan dunia dan akhirat, guru ketika mendidik sangatlah

sulit, diantaranya: mendidik akhlak, mengajarkan ilmu yang bermanfaat

serta memberikan nasihat-nasihat yang baik. Hal itu dilakukan tidak lain

agar murid-muridnya bahagia seperti orang tua yang membahagiakan

anaknya dan mengharapkan masa depan yang baik dalam berpendidikan.

Oleh karena itu murid harus memiliki adab yang baik kepada guru, agar

ilmu yang didapat bisa diterima dengan mudah dan barokah, meskipun guru

itu sendiri tidak menuntut hal itu dari muridnya. Guru tidak berharap

dihormati, tapi justru murid lah yang harus mengerti balas budi dengan cara

menghormati guru.

Berdasarkan latar belakang di atas mengingat pentingnya etika

dalam lingkungan pendidikan yang harus diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari, maka penulis mengambil judul: STUDI TENTANG ETIKA SEORANG MURID KEPADA GURU DALAM KISAH NABI MUSA A.S DAN NABI KHIDIR A.S.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam kisah Nabi Musa

as. dan Nabi Khidir as.?

2. Bagaimana relevansinya dalam pendidikan Islam ?

(21)

1. Mengetahui bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam kisah

Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.

2. Mengetahui relevansi dalam pendidikan Islam.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dari penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang

pendidikan etika yang harus senantiasa ditanamkan oleh seorang

murid seperti yang terkandung dalam Al-Qur‟an.

Dalam perbuatan ataupun perilaku yang manusia lakukan itu

bisa jadi dilandaskan pada moral, etika seperti menghargai pendapat

orang lain, ataupun akhlak atau muncul secara alami seperti duduk,

tidur, makan, apalagi ketika berada dalam lingkungan pendidikan

yang mana etika itu sangat penting bagi seorang murid (Drajat, 2014 :

4). Seorang murid perlu memahami sebuah etika dan dia harus

menyadari bahwa dia sedang berposisi sebagai seorang murid ketika

melaksanakan pembelajaran. Etika yang dilaksanakan dengan baik

oleh masing-masing murid juga akan menjaga akhlak yang baik dan

kesopan santunan dalam lingkup pendidikan.

2. Manfaat praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(22)

a. Bermanfaat bagi peserta didik dalam mengimplementasikan etikanya

kepada guru di lingkungan pendidikan.

b. Bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada

khususnya.

E. Kajian Terdahulu

Dari pengamatan penulis terdapat analisis-analisis yang relevan

terhadap judul penelitian yang berkaitan dengan pembahasan etika murid

kepada guru, antara lain:

Skripsi Maulia Rahmawati (2016) yang berjudul Analisis Nilai-Nilai

Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat An Nahl Ayat 90-91. Hasil dari peneletian

ini adalah bahwa islam dalam menetapkan nilai-nilai akhlak tidak hanya

pada teorinya saja, melainkan menuntut umatnya untuk mengaplikasikannya

dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapannya dalam kehidupan salah satunya berawal dari sebuah

pendidikan. Sebagaimana telah dapat diketahui bahwa pendidikan itu

merupakan sarana yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka hal

yang harus ditempuh bahkan merupakan kewajiban adalah menuntut ilmu

atau mendapatkan pendidikan lah jalan yang relevan untuk merubah akhlak

dan etika menjadi lebih baik. Seseorang yang dapat menerapkan

akhlak-akhlak dalam surat An Nahl ayat 90-91 merupakan mereka yang

(23)

dalam kehidupan sehari-hari dan mana akhlak yang harus ditinggalkan

untuk berinteraksi dengan baik kepada sesama makhluk ciptaan Allah,

dalam hal ini adalah murid dan guru.

Berlanjut ke penelitian skripsi Khifdhotul Kholifah (2017) yang

berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imron

Ayat 159-160. Hasil dari penelitian ini adalah pendidikan akhlak merupakan

perpaduan antara pengertian pendidikan dan akhlak. Maksudnya yaitu

pendidikan akhlak adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang

dewasa atau pendidik untuk membawa anak didik kepada tingkat

kedewasaan yang mampu menerapkan dan membiasakan diri dengan

sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela seperti sikap yang tidak

sopan kepada guru atau pendidik. Kemudian salah satu faktor yang bisa

merubah akhlak murid menjadi baik adalah contoh daripada yang diterapkan

oleh guru, karena akhlak sangat berkaitan dengan kebiasaan, maka sebagai

pihak pendidik atau guru harus berakhlakul karimah sebagai teladan bagi

para muridnya.

Dari kedua uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa

skripsi yang penulis angkat mempunyai persamaan dan perbedaan dengan

melihat penelitian yang sudah ada. Letak persamaannya dapat dilihat pada

objek yang diteliti, yakni sama-sama mempunyai gambaran dan upaya

untuk menciptakan etika murid yang baik terhadap guru dalam lingkungan

(24)

fokus penelitian, pada penelitian di atas yang banyak memberikan

kontribusi dalam pencapaian etika yang baik adalah sang guru sebagai

contoh akhlakul karimah, sementara yang penulis teliti adalah bagaimana

etika yang baik yang harus dimiliki dan diterapkan oleh murid itu sendiri

kepada guru.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk

sampai tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi:

1. Jenis penelitian.

Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library

research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka

(Hadi, 1983: 3). Di mana data-data yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul

yang penulis angkat.

Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:

a. Sumber data primer.

Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian.

b. Sumber data sekunder.

(25)

sumber-mencari, menganalisis buku-buku, internet, dan informasi

lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

2. Teknik pengumpulan data.

Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini,

penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi

yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa

catatan-catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, ledger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1993: 234).

Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara

membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir Al-Qur‟an dan

Hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan.

Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan

yang terdapat dalam kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. tentang

etika seorang murid terhadap guru.

3. Metode analisis.

a. Analisis maudhu‟i

Analisis maudhu‟i adalah “Merumuskan tema masalah

yang akan dibahas menghimpun menyusun dan menelaah

ayat-ayat Al-Qur‟an. Kemudian melengkapi dengan hadist yang

relevan serta menyusun kesimpulan sebagai jawaban Al-Qur‟an

atas masalah-masalah yang dibahas” (Al-Aridl, 1992: 88).

Metode ini penulis gunakan untuk membahas kisah Nabi

(26)

menghimpun ayat-ayat Al-Qur‟an yang lain dari berbagai surat

yang berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga menjadi

satu kesatuan yang utuh.

b. Analisis deduksi.

Metode deduksi adalah “Berangkat dari pengetahuan

yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang

umum itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus” (Hadi,

1981: 36). Penerapan metode ini misalnya penulis gunakan

untuk mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan

ditarik kesimpulan agar bisa lebih memahami permasalahan

yang ada. Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan

kesimpulan dari suatu yang umum menjadi khusus, berdasarkan

data yang telah diperoleh, penulis menganalisis etika seorang

murid secara umum, kemudian menggolongkannya secara

khusus sesuai kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as

.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam memahami isi dan kajian skripsi ini,

maka penulis memaparkan sistematika yang terbagi menjadi lima bab yakni

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah,

(27)

BAB II : KOMPILASI AYAT DAN KONSEPTUAL TENTANG ETIKA

Pada bab ini dikemukakan tentang etika murid yang meliputi:

pengertian etika, ruang lingkup etika, etika murid kepada guru,

serta kompilasi ayat.

BAB III : ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai asbanun nuzul terjadinya

kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as., yakni ayat yang

berhubungan dengan etika murid kepada guru serta munasabah

ayat.

BAB IV : PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dikaji mengenai etika seorang murid kepada guru

yang terdapat dalam kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. serta

relevansinya di lingkungan pendidikan.

BAB V : PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan penulisan dari

pembahasan skripsi dan saran.

BAB II

(28)

1. Pengertian Surat Al-Kahfi

Surat ini dinamakan Al-Kahfi yang secara harfiah yaitu gua. Nama

ini diambil dari kisah sekelompok pemuda yang menyingkir dari gangguan

penguasa pada zamannya, lalu mereka beristirahat di gua dan tertidur di

dalamnya selama tiga ratus tahun lebih. Nama ini juga sudah ada sejak

jaman Rasulullah saw. bahkan beliau sendiri juga menamai surat ini

dengan sebutan yang sama. Beliau bersabda: “Siapa yang menghafal 10

ayat petama dari surat Al-Kahfi maka dia akan terpelihara dari fitnah

ad-Dajjal.” (HR. Muslim dan Abu Daud melalui Abu ad-Darda). Adapun

riwayat-riwayat yang lain ada yang menamainya dengan surah Ashab

Al-Kahf.

Surat ini merupakan wahyu Al-Qur‟an yang ke 68 yaitu turun

sesudah surah Al-Ghasyiyah dan sebelum surat Asy-Syura. Dalam surat

Al-Kahfi ini terdapat 110 ayat, yang menurut ulama, kesemuanya turun

sekaligus sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Namun

mengenai surat ini juga ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa ada

ayat yang tidak turun secara bersamaan sekaligus yaitu ayat pertama

sampai ayat kedelapan. Ada juga yang mengatakan ayat 28 dan 29, ada

pula yang mengatakan ayat 107 sampai ayat 110. Ayat-ayat yang tidak

turun secara bersamaan itu dinilai oleh banyak ulama bukan pada

tempatnya.

(29)

kemudian setelah itu ada kisah Nabi Adam as. dan iblis. Pada pertengahan

surat terdapat kisah Nabi Musa as. dengan seorang hamba Allah yang

saleh (Nabi Khidir as). Dan pada akhir suratnya terdapat kisah

Dzurqarnain. Adapun sebagian besar dari ayat-ayat yang tidak tertampung

dalam surat-surat di atas adalah ayat yang membahas komentar tentang

kisah-kisah tersebut, yaitu membahas tentang gambaran hari kiamat,

benang merah, dan tema utama yang menghubungkan kisah-kisah ini

adalah pelurusan tentang akidah tauhid dan kepercayaan yang benar

(Shihab, 2002: 224).

2. Keutamaan Surat Al-Kahfi

Dalam Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadits,

menjelaskan tentang keutamaan surat Al-Kahfi seperti di bawah ini:

ييْ سَ يسَقسَحيْ بِإي بِ سَ ييْ سَ يسَةسَ سَثيْ سَخي تُ سَ ي سَ سَرسَقَ يْخسَ يىسَ يْحسَييتُ يْ يىسَ يْحسَيي سَنسَقَثلَّ سَ يو

يسَا سَ يبِا سَرسَقَ يْا

يٌط تُ يْرسَ يٌسسَرسَقَفيتُهسَ يْنبِ سَوي بِفيْهسَكيْا يسَةسَر تُ يتُ سَريْقسَقَييٌلتُجسَريسَن سَك

يتُوتُ سَرسَقَفيسَلسَ سَجسَوي تُ يْ سَتسَويتُروتُ سَتييْ سَلسَ سَجسَفيٌةسَ سَحسَ يتُويْتلَّشسَغسَقَتسَقَفيبِ يْ سَقَنسَطسَشبِ

يسَرسَكسَلسَفيسَملَّلسَ سَويبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيلَّ بِ لَّنا يىسَتسَ يسَحسَ يْصسَ ي لَّ سَلسَقَفي سَهيْقَنبِ يتُربِفيْنسَقَي

يبِنآيْرتُقيْلبِاييْ سَالَّ سَقَنسَقَتيتُةسَن بِكلَّ ا يسَ يْلبِتيسَا سَقسَقَفيتُوسَايسَ بِاسَ

(30)

pun bersabda: "Itulah As sakinah (ketenangan) yang turun bagi (pembaca) Al Qur`an” (Muslim-1325).

3. Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi

Di dalam hadits banyak yang membahas mengenai keutamaan dan

manfaat bagi seseorang yang mengamalkan surat Al-Kahfi. Di antaranya

dari Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, dalam kitab at-Targhib wa al-Tarhib juz 1 halaman 298 berkata: Rasulullah saw. bersabda:

ي بِ يْحسَتييْ بِ يٌريْ تُقَ يتُوسَايسَعسَطسَ يبِةسَ تُ تُجيْا يبِ يْ سَقَيي بِفي بِفيْهسَكيْا يسَةسَريْ تُ يسَ سَرسَقَ ييْ سَ

يسَ يْ سَقَ ي سَ يتُوسَايسَربِفتُغسَويبِةسَ سَ بِقايْ يسَ يْ سَقَييتُوسَايتُايْ بِضتُييبِا سَ لَّ ا يبِن سَنسَ يىسَابِإيبِوبِ سَ سَ

يبِ يْ سَقَتسَ يْ تُجيْا

“Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari jum‟at maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua jum‟at.”

Dan terdapat juga banyak pemahaman yang mengatakan

bahwasanya ketika membaca Al-Qur‟an yang disertai sekaligus dengan

pemahamannya, kemudian ia mengamalkan isi kandungannya itu dalam

kehidupan sehari-hari maka hal ini merupakan salah satu kunci rahasia

untuk bisa mendapatkan berkah dari Al-Qur‟an (Faqih, 2005: 6).

(31)

Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Depag RI, 2010:301).

a) Penjelasan Ayat 66-68

Ketika Nabi Musa as. berhasil menemukan hamba yang saleh

yang diisyaratkan oleh Allah, maka beliau berkata,“Bolehkah aku

mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar

diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dan hamba yang

saleh itu pun berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan

sanggup sabar bersama aku.” Hamba yang saleh menegaskan bahwa

ketika Nabi Musa as. mengikutinya maka sesungguhnya beliau sudah

tahu bahwa Nabi Musa as. tidak akan sabar menempuh perjalanan

bersamanya. Kemudian dipertegas lagi ucapan hamba yang saleh itu

dengan berkata, “Dan bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu

yang mana engkau sendiri belum mempunyai pengetahuan batiniyah

yang cukup tentang apa yang kau lihat dan alami ketika melakukan

(32)

Kata (اربخ) khubran di sini berarti pengetahuan yang mendalam.

Dari kata (ريبخ) khabir, yaitu pakar yang sangat dalam

pengetahuannya. Dalam kisah ini Nabi Musa as. memiliki ilmu

lahiriah dan setiap kali menilai sesuatu hanya berdasarkan lahiriahnya

saja. Namun pada setiap sisi lahiriah pasti ada sisi batiniyahnya juga,

yang berperan penting dalam munculnya hal-hal yang bersifat lahiriah.

Dari sifat inilah yang membuat Nabi Musa as. tidak sabar dalam

perjalanannya bersama hamba yang saleh, karena tingkah laku yang

ditunjukkan oleh hamba yang saleh dalam perjalanannya dalam setiap

peristiwa yang terjadi adalah menyimpang dari hukum-hukum syariat

dan merupakan sifat batiniah.

Kata (كعبّتأ) attabi‟uka berasal dari kata (كعبتأ) atba‟uka dari kata

(عبت) tabi‟a yaitu mengikuti. Penambahan huruf (ث) ta‟ pada attabi‟uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti.

Ucapan Nabi Musa as. ini memang sangat halus, beliau dalam

keingin belajarannya kepada hamba yang saleh, tidak ada sama sekali

faktor paksaan ataupun permintaan yang mendesak kepada hamba

yang saleh itu, beliau hanya mengungkapkannya dalam sebuah

pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu.” Pengajaran ini dinilai juga

oleh Nabi Musa as. sebagai petunjuk bagi dirinya. Di sini digambarkan

bahwa Nabi Musa as. tidak meragukan lagi atas keluasan ilmu hamba

yang saleh itu dan beliau hanya berharap hamba yang saleh itu mau

(33)

Hamba yang saleh juga termasuk orang yang penuh dengan tata krama

karena dalam menanggapi pertanyaan Nabi Musa as. yang hendak

mengikutinya beliau tidak langsung menolak, akan tetapi dengan

komunikasi yang halus dan menyampaikan alasan yang logis tidak

menyinggung perasaan, yaitu menyampaikan bahwa Nabi Musa as.

tidak akan sabar bersamanya.

Thahir Ibn „Asyur memahami bahwa jawaban hamba yang

saleh itu bukan berarti memberi tahu kepada Nabi Musa as. atas

ketidaksanggupannya melainkan hanya untuk berhati-hati sebelum

memulai perjalanan yang penuh dengan keterkejutan. Karena kalau

hamba yang saleh itu menyampaikan kepada Nabi Musa as. atas

ketidaksanggupannya maka tidak akan terjadi dialog yang

menghasilkan syarat dalam keikutsertaan dan Nabi Musa as. tidak akan

menjawab insyaAllah dia akan sabar.

Ucapan hamba yang saleh itu memberi acuan bahwasannya

sebagai seorang pendidik seharusnya menuntun, mengarahkan dan

menjelaskan rintangan-rintangan yang akan dihadapi oleh seorang

anak didik dalam belajar dan seorang pendidik seharusnya tidak

mengajarkan suatu ilmu kepada anak didik jika mengetahuinya bahwa

kemampuan itu belum akan mampu diterima olehnya (Shihab, 2002:

245).

(34)

Ketika Nabi Musa as. bertemu dengan hamba yang saleh (Nabi

Khidir as), lalu dihadapan beliau ada seekor burung yang mengambil

air dari laut dengan paruhnya dan meneteskan air dari paruh burung itu

ke tanah, kemudian hamba yang saleh itu berkata kepada Nabi Musa

as., apakah kamu tahu wahai Musa apa rahasia dibalik burung yang

meneteskan air dari paruhnya ke tanah itu. Sesungguhnya ia

mengajarkan kepada kita bahwa ilmu Allah dibandingkan

makhluk-Nya itu tiada bandingannya, hanya bagaikan satu tetes air dari paruh

burung yang jatuh ke tanah dengan luasnya air di lautan. Maka tidak

ada yang patut disombongkan di dunia ini. Nabi Musa as. berkata

kepada hamba yang saleh, bolehkah aku mengikutimu agar aku

mendapatkan ilmu pengetahuan dari ilmu Allah yang telah diajarkan

kepadamu?

Pengetahuan yang dimaksud oleh Nabi Musa as. tentunnya

pengetahuan yang bisa mengajarkan kebaikan bagi manusia, bukan

yang membawa kesia-siaan dan kedzaliman. Kemudian jawaban dari

hamba yang saleh untuk Nabi Musa as. adalah menjelaskan bahwa

Nabi Musa as. tidak akan sabar menimba ilmu dengannya karena ilmu

yang dikuasai oleh Nabi Musa as. adalah ilmu lahiriah saja sedangkan

ilmu yang akan diterapkan oleh hamba yang saleh tersebut dalam

perjalanan nanti adalah ilmu batiniyah. Oleh karena itu melaksanakan

(35)

Hamba yang saleh melanjutkan perkataannya, bagaimana menentangmu dalam sesuatu urusanpun." Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu" (Depag RI, 2010:301)

a) Penjelasan Ayat 69-70

Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa Nabi Musa as.

berkomentar tentang jawaban yang diberikan oleh hamba yang saleh

sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dengan berkata, “InsyaAllah

engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang penyabar dan aku

tidak akan mementangmu dalam sesuatu urusanpun.” Dan hamba yang

saleh kemudian berkata jika engkau benar-benar ingin mengkutiku

maka jangan tanyakan sesuatu hal pun kepadaku tentang perbuatan

(36)

aku akan menjelaskannya sendiri kepadamu. Inilah syarat yang

ditetapkan oleh hamba yang saleh itu dalam keikutsertaan Nabi Musa

as. terhadapnya (Shihab, 2009: 346).

Perlu diketahui bahwa ketika Nabi Musa as. dalam

mengucapkan janji akan kesabarannya itu tidak terlepas dari tuntunan

syariat, dan Nabi Musa as. dalam hal ini meyakini bahwa hamba yang

saleh itu pastinya mengikuti tuntunan Allah. Atas dasar inilah yang

membuat Nabi Musa as. mempunyai keinginan yang cukup kuat untuk

berguru dengan hamba yang saleh itu.

Di sini, Nabi Musa as. juga menjawab dengan halus. Dia

beranggapan bahwa untuk belajar kepada hamba yang saleh ini adalah

perintah yang harus dikerjakan, jika mengabaikannya berarti dia

melanggar perintah. Meskipun demikian Nabi Musa as. juga

berhati-hati dengan ucapannya sendiri, dia tidak menjamin bahwa dirinya

penyabar, tapi mengaitkan kesabaran itu dengan fikiran bahwa itu

adalah kehendak Allah swt. Dengan mengucap insyaAllah maka tidak

dapat dikatakan bahwa Nabi Musa as. adalah seorang yang tidak

penyabar karena dia juga sudah berusaha, melainkan itulah yang Allah

kehendaki untuk menunjukkan kepadanya bahwa ada seorang yang

lebih memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa as.

(37)

juga merupakan permohonan kepada Allah swt. untuk terlaksananya

sesuatu tersebut. Ini juga sangat penting bagi orang yang belajar ilmu

batiniyah/tasawuf. Dan yang lebih penting lagi bagi orang yang

memiliki ilmu pengetahuan, karena kadang kala pengetahuan yang

dimilikinya tidak sejalan dengan sikap dan apa yang diajarkan oleh

sang guru.

Perlu diketahui juga bahwa hamba yang saleh dalam menerima

keikutsertaan Nabi Musa as. tidak memaksa, karena sesungguhnya

hamba yang saleh tersebut telah memberikan kesempatan kepada Nabi

Musa as. untuk berpikir kembali dengan mengucapkan kata “Jika

engkau mengikutiku.” Jika diperhatikan pada ucapan “jika engkau

mengikutiku, maka jangan menanyakan kepadaku tentang sesuatu

apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” Hamba yang saleh

telah memberikan isyarat bahwa diperjalanannya nanti akan terjadi

sesuatu yang aneh yang bisa saja Nabi Musa as. keberatan akan hal itu

(Shihab, 2002: 347).

b) Kandungan ayat 69-70

Dalam ayat ini Nabi Musa as., ketika menjawab pernyataan

dari Nabi Khidir as., mengatakan bahwa dia akan menyaksikan bahwa

dirinya benar-benar sabar jika dikehendaki Allah, dan dia tidak akan

membangkang perintahnya dalam perkara apapun yang terjadi nanti.

(38)

mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan

menentangmu dalam suatu urusan apapun.”

Jadi, sangatlah mungkin bahwa dengan pertolongan Allah dan

kesabaran, pertumbuhan dan perkembangan yang perlu bisa diperoleh.

Sebagai seorang hamba tidak boleh lupa akan kehendak Allah bagi apa

yang akan dilakukan oleh hamba tersebut kelak pada masa depan.

Karena itu, hendaknya seorang hamba mengucap „InsyaAllah‟.

Akan tetapi menurut beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa

upaya Nabi Musa as. untuk memperoleh pengetahuan menunjukkan

bahwa tak seorang pun boleh berhenti mencari ilmu bahkan jika dia

seorang Nabi sekalipun dan telah mencapai standar pengetahuan yang

tinggi. Ini dibuktikan bahwa Nabi Musa as. telah melaksanakan hal

demikian yaitu meski sudah menyandang gelar Nabi dan Rasul masih

tetap mencari ilmu. Masalah lain adalah bahwa tak seorang pun boleh

berhenti bersikap rendah hati dihadapan seorang yang lebih berilmu

daripadanya.

Nabi Musa as. mengaitkan kesabarannya dengan kehendak

Allah dengan mengucapkan insyaAllah tadi, sebab dia berpikir bahwa

dia mungkin akan bisa bersabar atas kehendak Allah. Oleh karena

itulah mengapa dia mengaitkan kesabarannya itu dengan

(39)

akan dikatakan telah mengucapkan kebohongan dengan dasar ucapan

insyaAllah tersebut (Ahsin, 2005: 131).

Mengingat kenyataan bahwa kesabaran terhadap

kejadian-kejadian yang tampak tidak akan masuk dalam pemikiran akal, yang

tidak diketahui rahasianya oleh seseorang, tidaklah mudah untuk

dipercaya atas perbuatan yang akan terjadi, maka sekali lagi hamba

yang saleh itu menyuruh Musa berjanji. Beliau memperingatkannya

bahwa jika dia (Nabi Musa as) ingin mengikutinya, maka dia harus

mutlak untuk tidak membantah dan tidak akan bertanya kepadanya

mengenai sesuatu pun sampai pada saatnya nanti hamba yang saleh itu

sendiri akan memberitahukan kepadanya mengenai hal itu. Ayat di atas

mengatakan, dia (Nabi Khidir as) berkata, “Jika kamu mengikutiku,

maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,

sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” Nabi Musa as. lalu

berjanji lagi dan selanjutnya melaksanakan perjalanan bersama

(40)

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku" (Depag RI, 2010:301).

a) Penjelasan Ayat 71-73

Disaat mereka telah usai berdiskusi dan menyepakati

peraturan-peraturan dan syarat seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu,

maka berangkatlah mereka yakni hamba Allah yang saleh dan Nabi

Musa as. itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu, dan ketika

menaiki perahu maka hamba yang saleh itu melubangi perahu tersebut.

Nabi Musa as. tidak sabar atas perbuatan hamba yang saleh itu karena

pelubangan perahu adalah suatu perbuatan yang melanggar syariat,

yang artinya bahwa hal itu bisa menenggelamkan para penumpangnya.

Maka dia berkata kepada hamba yang saleh “Apakah engkau

melubanginya sehingga menenggelamkan penumpangnya? Sungguh,

aku bersumpah engkau telah membuat suatu kesalahan yang besar.”

Dan hamba yang saleh pun mengingatkan tentang persyaratan yang

telah disepakati, “Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu

sekali-kali tidak sabar bersama denganku?” Kemudian Nabi Musa as.

pun sadar akan kesalahannya, dan dia berkata, “Janganlah kamu

(41)

bersamamu dan janganlah engkau bebani aku dalam urusanku dengan

kesulitan yang aku tidak sanggup untuk memikulnya.”

Kata (امهطو اف) fa inthalaqa berasal dari kata (قلاطلإا) al-ithlaq,

yakni pelepasan ikatan. Dari sini, kata (امهطوا) inthalaqa dapat dipahami

dalam arti berjalan dan berangkat dengan penuh semangat. Kata ini

juga menunjukkan hahwa dalam perjalanan ini Nabi Musa as. sudah

tidak mengajak pembantunya. Beliau hanya bersama dengan hamba

yang saleh itu. Ini disebabkan karena maqam keilmuan pembantunya

itu belum sampai pada tingkatan yang memungkinkan untuk

melakukan perjalanan makrifat itu.

Ayat ini mengisyaratkan ketika keduanya menaiki perahu maka

hamba yang saleh segera melubangi perahu. Dapat dipahami dari kata

(اذإ) idza pada redaksi ayat di atas (اهلرخ تىيفّسنا ىف ابكر اذإ ىّتح) hatta idza

rakiban fi as-safinati kharaqaha yang artinya hingga tatkala keduanya

menaiki perahu, dia melubanginya. Kata idza yang disebutkan terlebih

dahulu pada redaksi di atas mengandung arti yang mengesankan

bahwa begitu naik ke perahu terjadi juga pelubangannya. Hal ini

memberitahukan bahwa hamba yang saleh mengetahui atas sesuatu

yang akan terjadi jika dia tidak melubangi perahu tersebut.

Kata (ارمإ) Imran adalah sesuatu yang amat besar, hebat, tetapi

tertuju kepada keburukan. Kemudian Kata (يىمهرت) turhiqni berasal

(42)

antara lain berarti sesuatu yang sangat keras, sulit, berat. Seorang

wanita yang hendak melahirkan tetapi mengalami kesulitan

digambarkan dengan kata-kata ( ةأرمنا ثرسعأ) a‟sarat al-mar‟ah.

Binatang (unta) yang liar dinamai (ريسع) „asir. Seseorang yang kidal,

yakni menggunakan tangan kiri, yang biasanya sangat sulit digunakan

secara baik oleh orang yang dinamai (رسعأ) a‟sar. Dalam Al-Qur‟an menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan kesulitan atau

krisis yang telah melebihi batas kemampuan, misalnya keadaan Hari

Kiamat yang akan dialami oleh orang-orang kafir (QS. Al-Furqan [25]:

26). Gabungan kedua kata itu menandakan bahwa jika hamba Allah

yang saleh itu tidak mengizinkan ikut lagi dalam pengembaraan maka

betapa beratnya beban yang akan dipikul oleh Nabi Musa as. (Shihab,

2009:349).

b) Kandungan ayat 72-73

Mereka berdua (Nabi Musa as. dan hamba yang saleh)

melanjutkan perjalanan mereka hingga mereka naik sebuah perahu,

hamba yang saleh lalu melubangi perahu itu. Karena disatu sisi Musa

as. adalah seorang Nabi Allah yang mempunyai tanggung jawab besar

dan dia wajib melindungi nyawa dan harta benda orang banyak, dan dia

juga wajib memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar,

sementara disisi lain kesadarannya tidak akan membiarkannya berdiam

(43)

itu, maka dia lalu mengabaikan janjinya kepada hamba yang saleh tadi

dan mengajukan pernyataan kepadanya seperti ayat yang penulis tulis di

atas. Pada saat itulah, hamba yang saleh dengan menunjukkan sikap

yang berwibawa, memandang kepada Nabi Musa as. dan berkata,

“Bukankah aku telah berkata bahwa kamu sekali-kali tidak akan bisa

bersabar bersama denganku?”

Nabi Musa as. yang menyesali sikapnya yang tergesa-gesa atas

suatu hal, yang memang itu suatu kewajaran karena disebabkan

pentingnya menyelamatkan nyawa orang yang berada di perahu

tersebut, maka dia ingat akan janjinnya dan mengemukakan alasan

mengapa dia membantah hamba yang saleh itu. Beliau berpaling

kepada hamba yang saleh dan berkata seperti ayat yang penulis tulis di

atas.

(44)

kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku? (Depag RI, 2010:301-302).

a) Penjelasan Ayat 74-75

Akhirnya hamba yang saleh itu pun menerima permohonan

maaf Nabi Musa as., kemudian mereka turun dari perahu dengan

selamat dan keduanya pun melanjutkan perjalanan sampai akhirnya

keduanya bertemu dengan anak remaja. Tanpa bercerita apapun

dengan Nabi Musa as. hamba yang saleh itu langsung membunuh anak

remaja tersebut. Seketika Nabi Musa as. kaget, kali ini dia tidak lupa

akan janjinya yang telah disepakati, dia dengan sadar menegur hamba

yang saleh dengan berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang

masih suci dari kedurhakaan?” engkau membunuhnya dengan seketika,

apakah dia pernah membunuh orang lain? sungguh engkau telah

melakukan kemungkaran yang sangat besar. Hamba Allah yang saleh

kemudian menjawab dengan jawaban yang sama seperti redaksi

sebelumnya, “Bukankah aku telah berkata kepadamu, sesungguhya

kamu sekali-kali tidak akan sabar dalam perjalanan bersamaku?”

Dalam hal ini sepertinya Nabi Musa as. tidak lupa akan

janjinya, tetapi karena memang ada kejadian besar dihadapannya atas

perbuatan yang dilakukan hamba yang saleh itu. Kali ini Nabi Musa

as. tidak hanya menganggapnya sebagai perlakuan (ارمإ) Imran seperti

ketika membocorkan perahu yang dianggap bisa mematikan orang,

(45)

hampir menghilangkan nyawa, sedangkan kejadian ini telah

menghilangkan nyawa seseorang. Adapun teguran hamba Allah untuk

Nabi Musa as. kali ini juga berbeda, dengan menggunakan kata (كن)

laka padahal pada kesalah Nabi Musa as. yang petama tidak

menggunakan itu. Ternyata penambahan itu menegaskan penekanan

tersendiri, karena Nabi Musa as. telah melanggar janjinya untuk yang

kedua kali. Kata (ولاغ) ghulam biasanya berarti remaja, meskipun tidak

selalu dalam arti remaja. Ini juga sekedar menunjuk kepada seorang

pria (Shihab, 2002: 351).

b) Kandungan ayat 74-75

Perjalanan keduanya dengan perahu pun berakhir, lalu mereka

turun dari perahu dan berjalan menyusuri daratan. Setelah tidak

berselang begitu lama keduanya tidak sengaja bertemu dengan seorang

anak laki-laki, tanpa melakukan perundingan apapun dengan Nabi

Musa as., hamba yang saleh langsung membunuh anak laki-laki itu.

Nabi Musa as. sungguh kaget bukan main melihat peristiwa itu

(membunuh seorang yang memiliki jiwa suci). Kali ini beliau tidak

lupa akan janjinya kepada hamba yang saleh, tetapi dengan penuh

kesadaran beliau berkata, mengapa engkau telah membunuh seseorang

yang memiliki jiwa yang suci dari kedurhakaan? apakah engkau

membunuhnya tanpa mengetahui bahwa dia telah membunuh satu jiwa

lain? aku bersumpah sesungguhnya engkau telah melakukan suatu

(46)

mengulangi ucapannya yang ketika Nabi Musa as. membantah saat

melubangi perahu dengan sikap tenangnya. Ayat yang penulis tulis di

atas mengatakan bahwa hamba yang saleh berkata, “Bukankah sudah

kukatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan bisa bersabar

bersamaku?”

Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu" (Depag RI, 2010:302).

a) Penjelasan Ayat 76-77

Nabi Musa as. akhirnya sadar bahwa dia telah melakukan

(47)

perjalanan hamba yang saleh itu, dia meminta maaf dan bermohon

agar diberi kesempatan yang terakhir. Karena itu dia berkata, "Jika aku

bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah

kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah

cukup memberikan udzur padaku" karena aku sudah melanggar janji

kedua kalinya dan engkau telah memaafkanku dua kali pula.

Hamba yang saleh hatinya sangat lembut, dan kali ini dia masih

memberinya kesempatan kepada Nabi Musa as. Kemudian setelah

kejadian pembunuhan anak remaja oleh hamba Allah yang saleh itu

mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi sampai akhirnya mereka

bertemu dengan penduduk suatu negeri dan mereka meminta makanan

kepada penduduk negeri itu, namun ternyata penduduk negeri itu

enggan memberikan makanan dan enggan menerima kedatangan

mereka sebagai tamu di negeri tersebut, lalu mereka beranjak dari sana

dan tidak lama mereka beranjak meninggalkan negeri tersebut

keduanya menemui sebuah dinding penduduk yang hampir roboh,

maka hamba yang saleh itu mengajak Nabi Musa as. untuk membantu

menegakkan dinding yang hampir roboh tersebut. Atas hal itu Nabi

Musa as. berkata kepada hamba yang saleh, "Jikalau kamu mau,

niscaya kamu mengambil upah untuk itu" sebagai upah yang telah

engkau kerjakan dalam penegakan dinding itu yang bisa kita gunakan

(48)

Melalui ayat ini Allah swt. memberikan gambaran betapa

buruknya penduduk di negeri tersebut. Gambaran itu dilihat pada

penyebutan dengan tegas kata-kata penduduk negeri, sedangkan pada

ayat-ayat yang lain menggunakan kata negeri untuk menunjuk

penduduknya, seperti halnya pada (QS. Yusuf [12]: 82). Selanjutnya

mereka menolak untuk memberi makan kepada keduanya, padahal

yang keduanya minta hanyalah sebuah makanan yang dapat dimakan,

dan permintaan itu bukan suatu yang mahal. Kemudian mereka enggan

menerima keduanya sebagai tamu, padahal menerima tamu dan

memberikan tempat istirahat buat tamu adalah suatu yang sangat baik

dan jika melakukan sebaliknya adalah perbuatan yang tercela.

Ketika sampai pada suatu negeri itu sebenarnya Nabi Musa as.

tidak secara tegas memberikan pertanyaan, akan tetapi beliau hanya

memberinya saran kepada hamba yang saleh itu, meskipun demikian

ungkapan itu telah dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap

hamba Allah yang saleh. Saran Nabi Musa as. itu muncul dikala ada

dua pernyataan yang bertolak belakang, penduduk negeri menolak

keduanya sebagai tamu tetapi hamba Allah yang saleh itu malah

menegakkan salah satu dinding yang mau roboh di negeri itu (Shihab,

2002: 352).

b) Kandungan Ayat 76-77

Nabi Musa as. ingat akan janjinya yang dibuat sendiri kepada

(49)

malu terhadap dirinya sendiri, sebab dia telah melanggar janjinya

untuk yang kedua kalinya, meskipun itu terjadi karena lupa. Sedikit

demi sedikit, Musa as. merasakan bahwa yang dikatakan sang guru

mungkin benar. Oleh karena itu, dia meminta maaf lagi dan

mengatakan kepada hamba yang saleh agar memaafkan kelupaannya

itu lagi. Tetapi pada hal ini Musa juga memberikan pernyatan jika

setelah itu dia meminta kepadanya untuk memberikan penjelasan

mengenai urusan-urusannya yaitu perbuatan yang dilakukan hamba

yang saleh, dan dia (Nabi Musa as) berkeberatan terhadap apa yang

dilakukannya, maka dia (Nabi Musa as) tidak akan mengikuti

perjalanannya lagi, karena hamba yang saleh itu telah beberapa kali

menerima alasan dari Musa as.

Perjalanan rohani yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur‟an

ini membawa seseorang kepada sikap keadilan Musa yang menyatakan

bahwa dia bersedia mengakhiri perjalanan yang sangat penting ini

kalau nanti dia melanggar janjinya sendiri, dan ini menunjukkan

bahwa dia memang bersedia menerima kenyatataan, meskipun itu

pahit. Sebuah hadits menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw.

membacakan ayat ini dan mengatakan bahwa Nabi Musa as., Nabi

Allah itu merasa malu kepada dirinya sendiri dan kepada gurunya itu.

Seandainya dia mau menunggu dan bersabar, niscaya dia akan

menyaksikan seribu perbuatan Khidir yang menakjubkan (Tafsir

(50)

6. Ayat 78-79

Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya”. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (Depag RI, 2010:302).

a) Penjelasan Ayat 78-79

Nabi Musa as. telah melakukan kesalahan sebanyak tiga kali.

Dan kini sudah punya cukup alasan bagi hamba yang saleh untuk

menyatakan ungkapan perpisahan, "Inilah perpisahan antara aku

dengan kamu wahai Musa as. kelak akan aku beritahukan kepadamu

tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya.”

Hamba Allah yang saleh pun mulai menerangkan satu persatu

tentang kejadian-kejadian yang keduanya alami selama perjalanan.

Adapun ketika di dalam perahu, perahu itu adalah milik orang miskin

(51)

orang miskin tersebut dapat selamat, karena di depan nanti dia akan

menemui seorang raja yang sangat kejam dan dzalim yang akan

memerintahkan pasukannya untuk merampas secara paksa setiap

perahu-perahu yang berfungsi dengan baik.

Hamba yang saleh melanjutkan pembicaraannya, jadi apa yang

kulakukan terhadap pembocoran kapal adalah bukan karena aku ingin

menenggelamkannya tetapi ingin melindungi hak-hak orang miskin.

Terkadang ada kalanya kemudharatan yang kecil dapat dibenarkan

untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.

Kata (ميوأت) ta‟wil berasal dari kata (لاوا-لوأي-لآ) ala-yaulu-aulan

yang pada mulanya berarti kembali. Al-Qur‟an mengartikannya makna

dan penjelasan sesuatu yang merupakan hakikatnya atau tibanya masa

sesuatu. Makna pertama dan kedua bisa menjadi makna yang benar

untuk kata tersebut di sini.

Allah berfirman: (رحبنا ىف نىمهعي هيكاسم) masakin ya‟maluna fi al

-bahri ini dijadikan dasar hukum oleh Imam Syafi‟i bahwa orang

miskin ini lebih baik daripada orang fakir, karena orang miskin masih

memiliki modal untuk mencari rizki (Shihab, 2002: 354).

b) Kandungan ayat 78-79

Ketika Nabi Musa as. melihat bahwa meskipun penduduk kota

itu adalah orang-orang yang tidak terpuji dengan tidak mau menjamu

makanan dan enggan atas kedatangan tamu yaitu mereka berdua (lihat

(52)

yang hampir roboh, seolah-olah hamba yang saleh itu ingin membalas

perlakuan mereka terhadap keduanya, maka Nabi Musa as. berpikir

bahwa bukankah lebih baik jika sang guru mengerjakan pekerjaan

tersebut untuk memperoleh upah sehingga mereka berdua bisa

membeli makanan, karena mereka berdua memang sudah kelaparan.

Sebenarnya Nabi Musa as. menganggap tindakan hamba yang saleh

itu melesat dari keadilan, bahwa orang mau berkorban seperti itu

untuk sekelompok orang yang memiliki sifat kikir. Pada saat itulah

hamba yang saleh tersebut mengucapkan kata-katanya yang terakhir

kepada Nabi Musa as., karena dari semua kejadian yang dialami ini,

dia yakin bahwa Nabi Musa as. tidak bersabar untuk menanggung

perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Ayat yang penulis

cantumkan di atas mengatakan, dia (hamba yang saleh) berkata:

“Inilah perpisahan antara aku dan engkau. Sekarang aku

akan memberitahukan kepadamu tafsir tentang apa yang kamu tidak bisa bersabar atasnya”.

Pernyataan perpisahan dari hamba yang saleh tersebut tampak

bagaikan tonggak yang menancap di hati Nabi Musa as., perpisahan

dengan guru yang memiliki begitu banyak rahasia, begitu sangat

menyakitkan bagi Nabi Musa as. untuk berpisah dengan pemimpin

seperti itu. Tetapi hal itu merupakan kenyataan pahit yang harus

diterima oleh Nabi Musa as. dengan lapang dada karena dia telah

(53)

bersedia mengakhiri perjalanan jika masih memprotes tindakan yang

dilakukan oleh gurunya tersebut.

Sesuatu yang dilihat oleh seseorang adalah apa yang tampak

pada suatu perkara tersebut, akan tetapi tanpa disadari bahwa

sebenarnya ada hal yang tersembunyi yang tidak diketahuai oleh

seseorang pada perkara itu. Seperti halnya Nabi Musa as. ketika

melihat tingkah laku yang ditunjukkan oleh hamba yang saleh

dianggap salah oleh Nabi Musa as., padahal beliau tidak tahu bahwa

sebenarnya ada hikmah dan hakikat yang tersembuyi dalam perbuatan

yang dilakukan oleh gurunya tersebut.

Sebenarnya apa yang dilakukan hamba yang saleh terhadap

perahu itu ialah beliau tidak membocorkan dengan hal-hal yang bisa

menyebabkan air masuk kedalam perahu dan akan menenggelamkan

seluruh penumpang yang ada di dalam perahu. Akan tetapi beliau

hanya membuat perahu itu cacat seperti halnya perahu yang sudah

tidak layak untuk dipakai, sehingga raja yang dzalim tidak akan

merampas perahu itu kemudian memakainya, dan orang miskin yang

memiliki perahu tersebut tidak menjadi lebih sengsara atas hal itu.

(54)

Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya) (Depag RI, 2010:302).

a) Penjelasan Ayat 80-81

Kemudian hamba yang saleh itu pun melanjutkan

pernyataannya mengenai kejadian yang kedua yaitu membunuh anak

remaja. Dia berkata, “Dan adapun anak remaja yang aku bunuh itu

adalah seorang dari anak yang mukmin, orang tuanya merupakan

orang yang kuat imannya, dan kami khawatir jika anak itu tumbuh

dewasa entah karena kecintaan orang tua terhadap anaknya atau atas

keberanian dan kekejaman anak terhadap orang tuanya maka orang

tuanya akan terdorong dalam kesesatan dan menjadi kafir, maka

dengan membunuhnya dengan niat yang baik Allah sebagai Tuhan

mereka akan menggantikannya dengan anak yang lebih baik

daripadanya yaitu yang lebih bakti kepada orang tuanya.

Kata (اوايغط) Thughyanan diambil dari kata (ىغط) thagha yang

mulanya melampaui batas, dalam ayat ini adalah kedurhakaan yang

sudah terlalu. Banyak ulama yang mengartikan kedurhakan dan

kekufuran dalam ayat ini adalah orang tuanya, dan ada pula yang

mengartikan pelaku itu anaknya (Shihab, 2002: 355).

(55)

Pada ayat ini, Allah swt. melalui firman-Nya dalam Al-Qur‟an

menunjukkan pada rahasia peristiwa yang kedua yaitu tentang

pembunuhan yang dilakukan oleh hamba yang saleh terhadap anak

remaja laki-laki. Ayat di atas berbunyi:

”Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang -orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.”

Tentu saja hamba yang saleh membunuh anak remaja itu

dengan tanpa alasan, yaitu jika anak remaja itu dibiarkan hidup

sampai dewasa maka akan dikhawatirkan dapat menyebabkan adanya

kejadian yang menghinakan kedua orangtuanya yang beriman dalam

kekufuran. Kemudian Allah swt. meneruskan ayat itu dengan

firman-Nya:

”Dan karena itu kami menghendaki, supaya Tuhan mereka

mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya, yaitu kepada ibu bapaknya” (Faqih, 2005: 148).

8. Ayat ke 82

(56)

simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (Depag RI, 2010:302).

a) Penjelasan Ayat82

Hamba yang saleh melanjutkan pernyataannya yang terakhir

yaitu pada kejadian penegakan dinding yang roboh. Dia berkata

“Adapun dinding yang aku tegakkan kembali tanpa mengambil upah

itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim, sedangkan di bawahnya

ada harta simpanan untuk keduanya kelak kedua anak yatim itu sudah

dewasa, kalau tidak ditegakkan dikhawatirkan harta simpanan itu akan

diambil oleh orang yang tidak berhak, dan ayah keduanya adalah

seorang mukmin yang saleh yang sengaja menyimpan hartanya itu

untuk kedua anaknya.” Sehingga Tuhanmu menghendakinya agar harta

itu terjaga hingga kedua anak itu tumbuh dewasa dan mengambil harta

yang di simpan oleh ayahnya itu untuk dimanfaatkan. Apa yang

kulakukan ini adalah rahmat dari Tuhanmu terhadap anak yatim itu.

Kemudian hamba yang saleh mengatakan aku tidak melakukan

semua hal itu mulai dari pembocoran perahu sampai penegakan

dinding karena kemauanku sendiri, melainkan atas perintah Allah

melalui ilmu-Nya yang diajarkan kepadaku. Sedangkan ilmu itu

(57)

anugerah-Nya. Inilah makna di balik kejadian-kejadian yang kamu

tidak dapat sabar terhadapnya.

Dalam ucapan hamba Allah di atas, beliau menyifati wilayah

anak yatim itu dengan (تىيدم) madinah, padahal sebelumnya

menggunakan kata (تيرل) qaryah. Mungkin hal tersebut karena kata

qaryah terdapat kecaman kepada penduduknya yang enggan menerima

tamu itu, sedangkan di sini terdapat pujian terhadap orang tua anak itu.

Kata (زىك) kanz merupakan harta yang menumpuk menjadi

banyak. Ini biasanya dimaknai dengan sesuatu yang sangat bernilai. Di

konteks ini dikenal dalam kata kekayaan yang tidak habis-habisnya.

Perbuatan yang dilakukan oleh hamba yang saleh dalam menegakkan

tembok itu menunjukkan bahwa seorang anak bisa mendapatkan

keberkahan dan dampak kebaikan yang disebabkan oleh kesalehan

orang tuanya.

Ada perbedaan yang menarik yang terdapat dalam ucapan yang

disampaikan oleh hamba yang saleh tersebut dalam menjelaskan

kejadian-kejadian ketika bersama Nabi Musa as. Ketika hamba yang

saleh membocorkan perahu, dia berucap ( اهبيعأ نأ ثدرأف) yang artinya

maka aku ingin menjadikannya memiliki cela, yang maksudnya adalah

merusak perahu. Dalam konteks ini menunjukkan yang berkehendak

dalam pembocoran perahu adalah diri hamba yang saleh sendiri. Karena

(58)

mempunyai kesan buruk harus dihindarkan dari-Nya. Namun ketika

hamba yang saleh menegakkan tembok yang hampir rubuh, di sini

kalimatnya menggunakan ( كّبر دارأف) yang artinya maka Tuhanmu

menghendaki. Karena penegakan dinding adalah kesan yang baik yaitu

untuk melindungi harta simpanan untuk kedua anak yatim. Kemudian

ketika membunuh anak remaja, di sini menggunakan kalimat (اودرأف) yang

artinya maka kami menghendaki. Kalimat itu menunjuk diri hamba yang

saleh bersama Allah swt. dengan ketentuan yang membunuh adalah

hamba yang saleh dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak yang

nantinya kafir menjadi anak yang lebih baik. Kalimat pembunuhan

dilibatkan kepada hamba yang saleh sedangkan tujuan pembunuhan

yang baik itulah yang pantas dilibatkan kepada Allah swt. (Shihab, 2002:

358).

b) Kandungan ayat 82

Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa Nabi Khidir as.

mengungkapkan tentang rahasia perbuatannya yang ketiga yaitu ketika

beliau memperbaki dinding yang hampir roboh dan berkata seperti

berikut:

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak

yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari

Referensi

Dokumen terkait

Keterampilan menulis sebagai salah satu dari empat keterampilan berbahasa, Dengan memiliki keterampilan menulis seseorang dapat mengungkapkan buah dari pikiran

ditawarkan dalam bentuk evaluasi formatif oleh guru. Jika para siswa secara terus-menerus tidak dapat menyerap informasi yang berupa nasehat perbaikan dan masih tetap gagal

 Guru menugaskan siswa untuk merumuskan kesimpulan tentang pengertian isi dan cara membuat surat permintaan penawaran.  Siswa merumuskan kesimpulan tentang pengertian, isi dan

Koefisien ini signifikan pada taraf signifikansi 5% dan lebih besar daripada total efek langsung hubungan kedua variabel itu yang hanya 0,035 sehingga terdapat hubungan tidak

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan pembahasan yang telah dijabarkan pada BAB IV, diperoleh simpulan bahwa penerapan media alat bantu tali dan audio visual sangat baik

Dengan demikian bahwa dampak kemampuan inkuiri guru terhadap hasil belajar keterampilan proses sains siswa pada materi perubahan lingkungan fisik antara yang

yakni Pertama, merajut akulturasi budaya di antara beragam etnis dan umat beragama untuk mewujudkan harmonisasi sosial hingga tercapainya kerukunan antar umat beragama,

Sesuai dengan teori identifikasi meskipun dalam kenyataan secara fisik partai politik tidak bisa melakukan perbuatan dan partai politik tidak memiliki sikap batin seperti