STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU
DALAM KISAH NABI MUSA A.S
DAN NABI KHIDIR A.S
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
AHMAD ZIDNI ANWAR MUSYADDAD
NIM 11113297
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
STUDI TENTANG ETIKA MURID KEPADA GURU DALAM
KISAH NABI MUSA A.S
DAN NABI KHIDIR A.S
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh:
AHMAD ZIDNI ANWAR MUSYADDAD
NIM 11113297
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
MOTTO
يسَا سَ يمٍو تُ يْ سَ يسَ يْ يبِولَّلا يسَ يْ سَ يتُ يْ بِ سَ يسَا سَ يمٍ بِا سَ ي بِ سَ يسَ يْ يسَ يْ سَقَ
يبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيُّ بِ لَّنا يسَا سَ
يٌلتُجسَرسَويِّقسَحيْا ي بِفيبِوبِتسَكسَلسَىيىسَلسَ يسَطِّلتُ سَفي الَ سَ يتُولَّلا يتُه سَتآيٌلتُجسَريبِ يْ سَقَتسَنيْقَث ي بِفي لَّلَبِإيسَ سَ سَ ي سَلَيسَملَّلسَ سَو
سَهتُ ِّلسَ تُقَيسَوي سَهبِ ي بِضيْقسَقَييسَ تُهسَقَفيسَةسَ يْكبِحيْا يتُولَّلا يتُه سَتآ
Qais bin Abu Hazim berkata; aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata;
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh mendengki kecuali
terhadap dua hal; (terhadap) seorang yang Allah berikan harta lalu dia
pergunakan harta tersebut di jalan kebenaran dan seseorang yang Allah berikan
hikmah lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain.”
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur dan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu,
skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Kepada Abah KH. Mahasin Munir yang pertama kali telah mengenalkan penulis
kepada Allah swt., dan selalu memberikan motivasi-motivasi yang bisa mendongkrak
semangat penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan studi dan skripsi ini.
2. Kepada Ibu Hj. Siti Mahmudah yang senantiasa tanpa henti-hentinya mendoakan
penulis, dan tiada bosan memberikan nasehat dan pengarahan sehingga penulis bisa
menjadi manusia yang beriman dan selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah
swt.
3. Kepada para masyayikh yang selalu mendoakan dan memberikan ilmu kepada penulis
sehingga penulis dapat mengetahui perintah-perintah Allah yang harus dilaksanakan
dan larangan Allah yang harus ditinggalkan.
4. Kepada keluarga tercinta kakak dan adik yaitu keluarga pandawa lima (Mas Rosyid,
Mas Anton, Mas Adib, dan Dik Wafa) yang selalu menginspirasi bagi penulis.
5. Kepada teman-teman di Ponpes Hidayatul Mubtadi-ien Kalibening yang selalu
memberikan pengalaman baru dan kesan bahagia.
6. Kepada teman-teman PAI seperjuangan angkatan 2012 dan 2013 yang memberikan
pahit dan manis pelajaran kehidupan.
7. Kepada jeng Sifan yang selalu terbuka untuk mengajarkan ilmunya kepada penulis
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt. yang telah
memberikan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi
ini dengan lancar. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis haturkan kepada baginda Nabi
Agung Muhammad saw. yaitu satu-satunya Nabi yang dapat memberikan safaat kelak di hari
kiamat.
Dengan izin dari Allah swt. proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah
penulis lalui dengan baik. Dalam penulisan ini juga tidak terlepas dari dukungan dan motivasi
dari berbagai pihak, maka dari itu tentunya banyak pihak yang penulis libatkan, sehingga
penulis mengucapkan banyak terima kasih, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga yang telah
menyetujui skripsi ini.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI.
4. Bapak H. M. Yusuf Khumaini, S.HI. MH. selaku dosen Pembimbing Akademik.
5. Bapak H. Achmad Maimun, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang telah ikhlas
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Bapak ibu dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu dalam
penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak dan ibu serta keluarga ku yang telah mendoakan dan memberikan dukungan yang
tiada henti untuk keberhasilan studi penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.
Kepada mereka semua penulis tidak bisa memberikan balasan apa-apa. Hanya untaian
membalas amal kebaikan mereka semua dengan balasan yang lebih banyak dan lebih baik
atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Akhirnya, dengan berakhirnya analisis ini, penulis berharap semoga tulisan ini bisa
mempunyai nilai guna dan kemanfaatan khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Salatiga, 23 Agustus 2017 Penulis,
ABSTRAK
Musyaddad, Ahmad Zidni Anwar. 2017. Studi tentang Etika Murid Kepada Guru dalam
Kisah Nabi Musa A.S dan Nabi Khidir A.S. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga.Pembimbing: H. Achmad Maimun, M. Ag.
Kata Kunci: Etika, Murid, Guru, Kisah, Nabi Musa A.S, Nabi Khidir A.S
Penelitian ini tentang etika murid teradap guru yang terdapat pada kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. dalam Al-Qur‟an surat Al-Kahfi ayat 66-82, bahwa seorang murid harus memiliki etika yang baik agar guru merasa senang terhadap sifat murid. Terkadang ada beberapa murid yang saat ini tidak tahu bagaimana ia harus bersikap kepada gurunya karena bagaimanapun juga ia telah mengajar dan memberikan ilmu kepadanya. Banyak kejadian akhir-akhir ini beberapa murid kurang memiliki etika yang baik terhadap guru, baik itu dilakukan secara langsung dihadapan gurunya atau dengan cara tidak langsung. Sehingga dalam rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam Kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. 2. Bagaimana relevansinya dalam pendidikan Islam.
Untuk menjawab penelitian tersebut penulis menggunakan metode library research, karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan objek penelitian, juga mengumpulkan data-data-data-data yang diperlukan, baik yang primer maupun sekunder yang dicari dari sumber kepustakaan. Dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode analisis maudhu‟i. Analisis maudhu‟i adalah merumuskan tema masalah yang akan dibahas menghimpun menyusun dan menelaah ayat-ayat Al-Qur‟an, kemudian melengkapinya dengan hadits yang relevan.
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
LEMBAR JUDUL SKRIPSI ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi
MOTTO ... ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
ABSTRAK ... xi
DAFTAR ISI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Kajian Terdahulu ... 6
F. Metode Penelitian ... 8
BAB II KOMPILASI AYAT
A. Surat Al-Kahfi ... 12
1. Pengertian Surat Al-Kahfi ... 12
2. Keutamaan Surat Al-Kahfi ... 13
3. Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi ... 14
B. Kompilasi Surat Al-Kahfi Ayat 66-82 ... 15
1. Ayat ke 66-68 ... 15
2. Ayat ke 69-70 ... 19
3. Ayat ke 72-73 ... 23
4. Ayat ke 74-75 ... 28
5. Ayat ke 76-77 ... 30
6. Ayat ke 78-79 ... 34
7. Ayat ke 80-81 ... 38
8. Ayat ke 82 ... 40
C. Kajian Konseptual tentang Etika ... ... 44
1. Etika ... 44
a. Pengertian Etika ... 44
b. Ruang Lingkup Etika ... 46
2. Murid ... 47
a. Pengertian Murid ... 47
b. Tugas dan Kewajiban Murid/Pelajar ... 48
3. Guru ... 52
b. Kode Etik Guru ... 53
4. Etika Murid terhadap Guru ... 54
BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH A. Asbabun Nuzul ... 56
B. Munasabah ... 72
1. Pengertian Munasabah ... 72
2. Munasabah Surat Al-Kahfi ... 74
a. Munasabah Ayat dengan Ayat ... 74
b. Munasabah Surat dengan Surat ... 88
BAB IV PEMBAHASAN A. Etika Murid kepada Guru dalam Kisah Nabi Musa A.S dan Nabi Khidir A.S ... 97
1. Tawadhu‟ ... 97
2. Tidak Merasa Lebih Tahu dari Gurunya ... 101
3. Tidak Memiliki Hasrat Ingin Mengungguli Ilmu Gurunya ... 108
4. Mengakui Kualitas Ilmu Gurunya ... 113
5. Tidak Memotong Pembicaraan Guru saat Menjelaskan Materi Sebelum Dipersilahkan ... 118
B. Relevansinya dalam Lingkungan Pendidikan ... 118
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 126
2. Untuk guru ... 127
3. Untuk Penulis ... 128
DAFTAR PUSTAKA ... 129
DAFTAR LAMPIRAN
1. Riwayat Hidup Penulis
2. Nota Pembimbing Skripsi
3. Lembar Konsultasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana dapat diketahui bahwa jika memperhatikan isi
Al-Qur‟an dan Hadits, maka terdapatlah beberapa perintah yang mewajibkan
bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu.
Menuntut ilmu adalah suatu usaha atau bentuk proses yang dilakukan oleh
seseorang untuk merubah tingkah laku dan perilaku dari yang tidak baik ke
arah yang lebih baik (Idauniq, 2012 : 2). Perintah kewajiban menuntut ilmu
terdapat dalam hadits Nabi Muhammad saw. yaitu:
يتُ يْ يتُر بِثسَكي سَنسَقَثلَّ سَ يسَن سَ يْ سَلتُ يتُ يْ يتُصيْفسَ ي سَنسَقَثلَّ سَ يمٍر لَّ سَ يتُ يْ يتُ سَشبِىي سَنسَقَثلَّ سَ
يمٍر بِ يْنبِ
يسَا سَ ي مٍ بِا سَ يبِ يْ يبِ سَ سَ ييْ سَ يسَ يبِر بِ يبِ يْ يبِ لَّ سَحتُ ييْ سَ
يىسَلسَ يٌةسَضيبِرسَفيبِميْلبِ يْا يتُبسَلسَطيسَملَّلسَ سَويبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيبِولَّلا يتُا تُ سَريسَا سَ
يسَرسَىيْ سَجيْا يبِريبِا سَنسَخيْا يبِ ِّلسَقتُ سَكيبِوبِليْىسَ يبِريْ سَغيسَ يْنبِ يبِميْلبِ يْا يتُعبِض سَوسَويمٍمبِليْ تُ يِّلتُك
يسَبسَىلَّلا سَويسَ تُايْ ُّلا سَو
Dari hadits ini dapat diperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan
pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui
segala kemaslahatan dan jalan kemanfaatan. Dan orang yang berilmu,
berpengetahuan luas, maupun orang yang mencapai kesuksesan tentunya
tidak akan bisa didapatkan tanpa sebuah usaha ataupun pembelajaran.
Dalam proses belajar saat ini, nilai tidak hanya berdasarkan
kemampuan akademiknya saja tetapi juga berdasarkan sikap dan tingkah
laku siswa tersebut terhadap gurunya. Banyak dari siswa yang saat ini tidak
tahu bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap gurunya. Terkadang
beberapa dari sikap dan perkataan mereka dianggap kurang sopan, namun
mereka tidak menyadari hal tersebut. Di sini pendidikan hendaknya berlaku
bagaimana merubah pengetahuan atau ilmu yang mereka dapat itu menjadi
tingkah laku dan bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Etika itu harus diajarkan sejak dini agar para murid tahu siapa
dirinya dan kepada siapa saja mereka harus hormat.
Memperhatikan realitas belakangan ini, bahwa ada beberapa murid
yang kurang memiliki adab pada gurunya. Baik secara langsung maupun
tidak langsung. Ada yang diam-diam memaki gurunya, dan ada pula yang
secara terang-terangan menunjukkan sikap yang kurang sopan dihadapan
seorang guru. Bahkan jejaring sosial seperti facebook, bbm dan twitter
sering kali dijadikan sebagai media untuk menumpahkan kekesalan atau
status-statusnya di jejaring sosial yang dia miliki. Padahal Rasulullah saw. telah dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami)
Dalam agama Islam tentu sudah banyak pedoman-pedoman untuk
memperbaiki etika, salah satunya dalam Al-Qur‟an, sementara itu belum
banyak peneliti yang mengupas tentang bagaimana cara mengubah etika
murid yang buruk menjadi lebih baik seperti yang dicontohkan dalam
Al-Qur‟an. Sehingga, penulis terpanggil untuk memberikan penjelasan tentang
adab seorang siswa kepada gurunya.
Ilmu sangatlah penting untuk dimiliki bagi setiap orang, karena
pentingnya itulah Rasulullah bersabda “Tuntutlah ilmu walau sampai ke
negeri China.” Guru merupakan orang yang sangat berjasa dalam
menyalurkan ilmu kepada murid-muridnya, dan murid mempunyai hak
bertanya tentang apa yang belum ia ketahui. Allah telah berfirman dalam
kitab suci Al-Qur,an dalam surat An-Nahl ayat 43 seperti di bawah ini:
Guru adalah orang yang harus dihormati, karena guru adalah dokter
rohani untuk kebaikan dunia dan akhirat, guru ketika mendidik sangatlah
sulit, diantaranya: mendidik akhlak, mengajarkan ilmu yang bermanfaat
serta memberikan nasihat-nasihat yang baik. Hal itu dilakukan tidak lain
agar murid-muridnya bahagia seperti orang tua yang membahagiakan
anaknya dan mengharapkan masa depan yang baik dalam berpendidikan.
Oleh karena itu murid harus memiliki adab yang baik kepada guru, agar
ilmu yang didapat bisa diterima dengan mudah dan barokah, meskipun guru
itu sendiri tidak menuntut hal itu dari muridnya. Guru tidak berharap
dihormati, tapi justru murid lah yang harus mengerti balas budi dengan cara
menghormati guru.
Berdasarkan latar belakang di atas mengingat pentingnya etika
dalam lingkungan pendidikan yang harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, maka penulis mengambil judul: STUDI TENTANG ETIKA SEORANG MURID KEPADA GURU DALAM KISAH NABI MUSA A.S DAN NABI KHIDIR A.S.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam kisah Nabi Musa
as. dan Nabi Khidir as.?
2. Bagaimana relevansinya dalam pendidikan Islam ?
1. Mengetahui bagaimana etika seorang murid kepada guru dalam kisah
Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as.
2. Mengetahui relevansi dalam pendidikan Islam.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Dari penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
pendidikan etika yang harus senantiasa ditanamkan oleh seorang
murid seperti yang terkandung dalam Al-Qur‟an.
Dalam perbuatan ataupun perilaku yang manusia lakukan itu
bisa jadi dilandaskan pada moral, etika seperti menghargai pendapat
orang lain, ataupun akhlak atau muncul secara alami seperti duduk,
tidur, makan, apalagi ketika berada dalam lingkungan pendidikan
yang mana etika itu sangat penting bagi seorang murid (Drajat, 2014 :
4). Seorang murid perlu memahami sebuah etika dan dia harus
menyadari bahwa dia sedang berposisi sebagai seorang murid ketika
melaksanakan pembelajaran. Etika yang dilaksanakan dengan baik
oleh masing-masing murid juga akan menjaga akhlak yang baik dan
kesopan santunan dalam lingkup pendidikan.
2. Manfaat praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
a. Bermanfaat bagi peserta didik dalam mengimplementasikan etikanya
kepada guru di lingkungan pendidikan.
b. Bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya.
E. Kajian Terdahulu
Dari pengamatan penulis terdapat analisis-analisis yang relevan
terhadap judul penelitian yang berkaitan dengan pembahasan etika murid
kepada guru, antara lain:
Skripsi Maulia Rahmawati (2016) yang berjudul Analisis Nilai-Nilai
Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat An Nahl Ayat 90-91. Hasil dari peneletian
ini adalah bahwa islam dalam menetapkan nilai-nilai akhlak tidak hanya
pada teorinya saja, melainkan menuntut umatnya untuk mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapannya dalam kehidupan salah satunya berawal dari sebuah
pendidikan. Sebagaimana telah dapat diketahui bahwa pendidikan itu
merupakan sarana yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka hal
yang harus ditempuh bahkan merupakan kewajiban adalah menuntut ilmu
atau mendapatkan pendidikan lah jalan yang relevan untuk merubah akhlak
dan etika menjadi lebih baik. Seseorang yang dapat menerapkan
akhlak-akhlak dalam surat An Nahl ayat 90-91 merupakan mereka yang
dalam kehidupan sehari-hari dan mana akhlak yang harus ditinggalkan
untuk berinteraksi dengan baik kepada sesama makhluk ciptaan Allah,
dalam hal ini adalah murid dan guru.
Berlanjut ke penelitian skripsi Khifdhotul Kholifah (2017) yang
berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Ali Imron
Ayat 159-160. Hasil dari penelitian ini adalah pendidikan akhlak merupakan
perpaduan antara pengertian pendidikan dan akhlak. Maksudnya yaitu
pendidikan akhlak adalah bimbingan, asuhan dan pertolongan dari orang
dewasa atau pendidik untuk membawa anak didik kepada tingkat
kedewasaan yang mampu menerapkan dan membiasakan diri dengan
sifat-sifat yang terpuji dan menghindari sifat-sifat yang tercela seperti sikap yang tidak
sopan kepada guru atau pendidik. Kemudian salah satu faktor yang bisa
merubah akhlak murid menjadi baik adalah contoh daripada yang diterapkan
oleh guru, karena akhlak sangat berkaitan dengan kebiasaan, maka sebagai
pihak pendidik atau guru harus berakhlakul karimah sebagai teladan bagi
para muridnya.
Dari kedua uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
skripsi yang penulis angkat mempunyai persamaan dan perbedaan dengan
melihat penelitian yang sudah ada. Letak persamaannya dapat dilihat pada
objek yang diteliti, yakni sama-sama mempunyai gambaran dan upaya
untuk menciptakan etika murid yang baik terhadap guru dalam lingkungan
fokus penelitian, pada penelitian di atas yang banyak memberikan
kontribusi dalam pencapaian etika yang baik adalah sang guru sebagai
contoh akhlakul karimah, sementara yang penulis teliti adalah bagaimana
etika yang baik yang harus dimiliki dan diterapkan oleh murid itu sendiri
kepada guru.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk
sampai tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi:
1. Jenis penelitian.
Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library
research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka
(Hadi, 1983: 3). Di mana data-data yang digunakan penulis dalam
penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul
yang penulis angkat.
Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah:
a. Sumber data primer.
Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan penelitian.
b. Sumber data sekunder.
sumber-mencari, menganalisis buku-buku, internet, dan informasi
lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.
2. Teknik pengumpulan data.
Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini,
penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi
yaitu mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan-catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, ledger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1993: 234).
Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara
membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir Al-Qur‟an dan
Hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan.
Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan
yang terdapat dalam kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. tentang
etika seorang murid terhadap guru.
3. Metode analisis.
a. Analisis maudhu‟i
Analisis maudhu‟i adalah “Merumuskan tema masalah
yang akan dibahas menghimpun menyusun dan menelaah
ayat-ayat Al-Qur‟an. Kemudian melengkapi dengan hadist yang
relevan serta menyusun kesimpulan sebagai jawaban Al-Qur‟an
atas masalah-masalah yang dibahas” (Al-Aridl, 1992: 88).
Metode ini penulis gunakan untuk membahas kisah Nabi
menghimpun ayat-ayat Al-Qur‟an yang lain dari berbagai surat
yang berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh.
b. Analisis deduksi.
Metode deduksi adalah “Berangkat dari pengetahuan
yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang
umum itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus” (Hadi,
1981: 36). Penerapan metode ini misalnya penulis gunakan
untuk mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan
ditarik kesimpulan agar bisa lebih memahami permasalahan
yang ada. Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan
kesimpulan dari suatu yang umum menjadi khusus, berdasarkan
data yang telah diperoleh, penulis menganalisis etika seorang
murid secara umum, kemudian menggolongkannya secara
khusus sesuai kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as
.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami isi dan kajian skripsi ini,
maka penulis memaparkan sistematika yang terbagi menjadi lima bab yakni
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah,
BAB II : KOMPILASI AYAT DAN KONSEPTUAL TENTANG ETIKA
Pada bab ini dikemukakan tentang etika murid yang meliputi:
pengertian etika, ruang lingkup etika, etika murid kepada guru,
serta kompilasi ayat.
BAB III : ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai asbanun nuzul terjadinya
kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as., yakni ayat yang
berhubungan dengan etika murid kepada guru serta munasabah
ayat.
BAB IV : PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dikaji mengenai etika seorang murid kepada guru
yang terdapat dalam kisah Nabi Musa as. dan Nabi Khidir as. serta
relevansinya di lingkungan pendidikan.
BAB V : PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan penulisan dari
pembahasan skripsi dan saran.
BAB II
1. Pengertian Surat Al-Kahfi
Surat ini dinamakan Al-Kahfi yang secara harfiah yaitu gua. Nama
ini diambil dari kisah sekelompok pemuda yang menyingkir dari gangguan
penguasa pada zamannya, lalu mereka beristirahat di gua dan tertidur di
dalamnya selama tiga ratus tahun lebih. Nama ini juga sudah ada sejak
jaman Rasulullah saw. bahkan beliau sendiri juga menamai surat ini
dengan sebutan yang sama. Beliau bersabda: “Siapa yang menghafal 10
ayat petama dari surat Al-Kahfi maka dia akan terpelihara dari fitnah
ad-Dajjal.” (HR. Muslim dan Abu Daud melalui Abu ad-Darda). Adapun
riwayat-riwayat yang lain ada yang menamainya dengan surah Ashab
Al-Kahf.
Surat ini merupakan wahyu Al-Qur‟an yang ke 68 yaitu turun
sesudah surah Al-Ghasyiyah dan sebelum surat Asy-Syura. Dalam surat
Al-Kahfi ini terdapat 110 ayat, yang menurut ulama, kesemuanya turun
sekaligus sebelum Nabi Muhammad saw. berhijrah ke Madinah. Namun
mengenai surat ini juga ada beberapa ulama yang mengatakan bahwa ada
ayat yang tidak turun secara bersamaan sekaligus yaitu ayat pertama
sampai ayat kedelapan. Ada juga yang mengatakan ayat 28 dan 29, ada
pula yang mengatakan ayat 107 sampai ayat 110. Ayat-ayat yang tidak
turun secara bersamaan itu dinilai oleh banyak ulama bukan pada
tempatnya.
kemudian setelah itu ada kisah Nabi Adam as. dan iblis. Pada pertengahan
surat terdapat kisah Nabi Musa as. dengan seorang hamba Allah yang
saleh (Nabi Khidir as). Dan pada akhir suratnya terdapat kisah
Dzurqarnain. Adapun sebagian besar dari ayat-ayat yang tidak tertampung
dalam surat-surat di atas adalah ayat yang membahas komentar tentang
kisah-kisah tersebut, yaitu membahas tentang gambaran hari kiamat,
benang merah, dan tema utama yang menghubungkan kisah-kisah ini
adalah pelurusan tentang akidah tauhid dan kepercayaan yang benar
(Shihab, 2002: 224).
2. Keutamaan Surat Al-Kahfi
Dalam Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadits,
menjelaskan tentang keutamaan surat Al-Kahfi seperti di bawah ini:
ييْ سَ يسَقسَحيْ بِإي بِ سَ ييْ سَ يسَةسَ سَثيْ سَخي تُ سَ ي سَ سَرسَقَ يْخسَ يىسَ يْحسَييتُ يْ يىسَ يْحسَيي سَنسَقَثلَّ سَ يو
يسَا سَ يبِا سَرسَقَ يْا
يٌط تُ يْرسَ يٌسسَرسَقَفيتُهسَ يْنبِ سَوي بِفيْهسَكيْا يسَةسَر تُ يتُ سَريْقسَقَييٌلتُجسَريسَن سَك
يتُوتُ سَرسَقَفيسَلسَ سَجسَوي تُ يْ سَتسَويتُروتُ سَتييْ سَلسَ سَجسَفيٌةسَ سَحسَ يتُويْتلَّشسَغسَقَتسَقَفيبِ يْ سَقَنسَطسَشبِ
يسَرسَكسَلسَفيسَملَّلسَ سَويبِويْ سَلسَ يتُولَّلا يىلَّلسَصيلَّ بِ لَّنا يىسَتسَ يسَحسَ يْصسَ ي لَّ سَلسَقَفي سَهيْقَنبِ يتُربِفيْنسَقَي
يبِنآيْرتُقيْلبِاييْ سَالَّ سَقَنسَقَتيتُةسَن بِكلَّ ا يسَ يْلبِتيسَا سَقسَقَفيتُوسَايسَ بِاسَ
pun bersabda: "Itulah As sakinah (ketenangan) yang turun bagi (pembaca) Al Qur`an” (Muslim-1325).
3. Keutamaan Membaca Surat Al-Kahfi
Di dalam hadits banyak yang membahas mengenai keutamaan dan
manfaat bagi seseorang yang mengamalkan surat Al-Kahfi. Di antaranya
dari Ibnu Umar radhiyallahu „anhuma, dalam kitab at-Targhib wa al-Tarhib juz 1 halaman 298 berkata: Rasulullah saw. bersabda:
ي بِ يْحسَتييْ بِ يٌريْ تُقَ يتُوسَايسَعسَطسَ يبِةسَ تُ تُجيْا يبِ يْ سَقَيي بِفي بِفيْهسَكيْا يسَةسَريْ تُ يسَ سَرسَقَ ييْ سَ
يسَ يْ سَقَ ي سَ يتُوسَايسَربِفتُغسَويبِةسَ سَ بِقايْ يسَ يْ سَقَييتُوسَايتُايْ بِضتُييبِا سَ لَّ ا يبِن سَنسَ يىسَابِإيبِوبِ سَ سَ
يبِ يْ سَقَتسَ يْ تُجيْا
“Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari jum‟at maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua jum‟at.”Dan terdapat juga banyak pemahaman yang mengatakan
bahwasanya ketika membaca Al-Qur‟an yang disertai sekaligus dengan
pemahamannya, kemudian ia mengamalkan isi kandungannya itu dalam
kehidupan sehari-hari maka hal ini merupakan salah satu kunci rahasia
untuk bisa mendapatkan berkah dari Al-Qur‟an (Faqih, 2005: 6).
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? (Depag RI, 2010:301).
a) Penjelasan Ayat 66-68
Ketika Nabi Musa as. berhasil menemukan hamba yang saleh
yang diisyaratkan oleh Allah, maka beliau berkata,“Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dan hamba yang
saleh itu pun berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sanggup sabar bersama aku.” Hamba yang saleh menegaskan bahwa
ketika Nabi Musa as. mengikutinya maka sesungguhnya beliau sudah
tahu bahwa Nabi Musa as. tidak akan sabar menempuh perjalanan
bersamanya. Kemudian dipertegas lagi ucapan hamba yang saleh itu
dengan berkata, “Dan bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu
yang mana engkau sendiri belum mempunyai pengetahuan batiniyah
yang cukup tentang apa yang kau lihat dan alami ketika melakukan
Kata (اربخ) khubran di sini berarti pengetahuan yang mendalam.
Dari kata (ريبخ) khabir, yaitu pakar yang sangat dalam
pengetahuannya. Dalam kisah ini Nabi Musa as. memiliki ilmu
lahiriah dan setiap kali menilai sesuatu hanya berdasarkan lahiriahnya
saja. Namun pada setiap sisi lahiriah pasti ada sisi batiniyahnya juga,
yang berperan penting dalam munculnya hal-hal yang bersifat lahiriah.
Dari sifat inilah yang membuat Nabi Musa as. tidak sabar dalam
perjalanannya bersama hamba yang saleh, karena tingkah laku yang
ditunjukkan oleh hamba yang saleh dalam perjalanannya dalam setiap
peristiwa yang terjadi adalah menyimpang dari hukum-hukum syariat
dan merupakan sifat batiniah.
Kata (كعبّتأ) attabi‟uka berasal dari kata (كعبتأ) atba‟uka dari kata
(عبت) tabi‟a yaitu mengikuti. Penambahan huruf (ث) ta‟ pada attabi‟uka mengandung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti.
Ucapan Nabi Musa as. ini memang sangat halus, beliau dalam
keingin belajarannya kepada hamba yang saleh, tidak ada sama sekali
faktor paksaan ataupun permintaan yang mendesak kepada hamba
yang saleh itu, beliau hanya mengungkapkannya dalam sebuah
pertanyaan, “Bolehkah aku mengikutimu.” Pengajaran ini dinilai juga
oleh Nabi Musa as. sebagai petunjuk bagi dirinya. Di sini digambarkan
bahwa Nabi Musa as. tidak meragukan lagi atas keluasan ilmu hamba
yang saleh itu dan beliau hanya berharap hamba yang saleh itu mau
Hamba yang saleh juga termasuk orang yang penuh dengan tata krama
karena dalam menanggapi pertanyaan Nabi Musa as. yang hendak
mengikutinya beliau tidak langsung menolak, akan tetapi dengan
komunikasi yang halus dan menyampaikan alasan yang logis tidak
menyinggung perasaan, yaitu menyampaikan bahwa Nabi Musa as.
tidak akan sabar bersamanya.
Thahir Ibn „Asyur memahami bahwa jawaban hamba yang
saleh itu bukan berarti memberi tahu kepada Nabi Musa as. atas
ketidaksanggupannya melainkan hanya untuk berhati-hati sebelum
memulai perjalanan yang penuh dengan keterkejutan. Karena kalau
hamba yang saleh itu menyampaikan kepada Nabi Musa as. atas
ketidaksanggupannya maka tidak akan terjadi dialog yang
menghasilkan syarat dalam keikutsertaan dan Nabi Musa as. tidak akan
menjawab insyaAllah dia akan sabar.
Ucapan hamba yang saleh itu memberi acuan bahwasannya
sebagai seorang pendidik seharusnya menuntun, mengarahkan dan
menjelaskan rintangan-rintangan yang akan dihadapi oleh seorang
anak didik dalam belajar dan seorang pendidik seharusnya tidak
mengajarkan suatu ilmu kepada anak didik jika mengetahuinya bahwa
kemampuan itu belum akan mampu diterima olehnya (Shihab, 2002:
245).
Ketika Nabi Musa as. bertemu dengan hamba yang saleh (Nabi
Khidir as), lalu dihadapan beliau ada seekor burung yang mengambil
air dari laut dengan paruhnya dan meneteskan air dari paruh burung itu
ke tanah, kemudian hamba yang saleh itu berkata kepada Nabi Musa
as., apakah kamu tahu wahai Musa apa rahasia dibalik burung yang
meneteskan air dari paruhnya ke tanah itu. Sesungguhnya ia
mengajarkan kepada kita bahwa ilmu Allah dibandingkan
makhluk-Nya itu tiada bandingannya, hanya bagaikan satu tetes air dari paruh
burung yang jatuh ke tanah dengan luasnya air di lautan. Maka tidak
ada yang patut disombongkan di dunia ini. Nabi Musa as. berkata
kepada hamba yang saleh, bolehkah aku mengikutimu agar aku
mendapatkan ilmu pengetahuan dari ilmu Allah yang telah diajarkan
kepadamu?
Pengetahuan yang dimaksud oleh Nabi Musa as. tentunnya
pengetahuan yang bisa mengajarkan kebaikan bagi manusia, bukan
yang membawa kesia-siaan dan kedzaliman. Kemudian jawaban dari
hamba yang saleh untuk Nabi Musa as. adalah menjelaskan bahwa
Nabi Musa as. tidak akan sabar menimba ilmu dengannya karena ilmu
yang dikuasai oleh Nabi Musa as. adalah ilmu lahiriah saja sedangkan
ilmu yang akan diterapkan oleh hamba yang saleh tersebut dalam
perjalanan nanti adalah ilmu batiniyah. Oleh karena itu melaksanakan
Hamba yang saleh melanjutkan perkataannya, bagaimana menentangmu dalam sesuatu urusanpun." Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu" (Depag RI, 2010:301)
a) Penjelasan Ayat 69-70
Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa Nabi Musa as.
berkomentar tentang jawaban yang diberikan oleh hamba yang saleh
sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu dengan berkata, “InsyaAllah
engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang penyabar dan aku
tidak akan mementangmu dalam sesuatu urusanpun.” Dan hamba yang
saleh kemudian berkata jika engkau benar-benar ingin mengkutiku
maka jangan tanyakan sesuatu hal pun kepadaku tentang perbuatan
aku akan menjelaskannya sendiri kepadamu. Inilah syarat yang
ditetapkan oleh hamba yang saleh itu dalam keikutsertaan Nabi Musa
as. terhadapnya (Shihab, 2009: 346).
Perlu diketahui bahwa ketika Nabi Musa as. dalam
mengucapkan janji akan kesabarannya itu tidak terlepas dari tuntunan
syariat, dan Nabi Musa as. dalam hal ini meyakini bahwa hamba yang
saleh itu pastinya mengikuti tuntunan Allah. Atas dasar inilah yang
membuat Nabi Musa as. mempunyai keinginan yang cukup kuat untuk
berguru dengan hamba yang saleh itu.
Di sini, Nabi Musa as. juga menjawab dengan halus. Dia
beranggapan bahwa untuk belajar kepada hamba yang saleh ini adalah
perintah yang harus dikerjakan, jika mengabaikannya berarti dia
melanggar perintah. Meskipun demikian Nabi Musa as. juga
berhati-hati dengan ucapannya sendiri, dia tidak menjamin bahwa dirinya
penyabar, tapi mengaitkan kesabaran itu dengan fikiran bahwa itu
adalah kehendak Allah swt. Dengan mengucap insyaAllah maka tidak
dapat dikatakan bahwa Nabi Musa as. adalah seorang yang tidak
penyabar karena dia juga sudah berusaha, melainkan itulah yang Allah
kehendaki untuk menunjukkan kepadanya bahwa ada seorang yang
lebih memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh Nabi Musa as.
juga merupakan permohonan kepada Allah swt. untuk terlaksananya
sesuatu tersebut. Ini juga sangat penting bagi orang yang belajar ilmu
batiniyah/tasawuf. Dan yang lebih penting lagi bagi orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, karena kadang kala pengetahuan yang
dimilikinya tidak sejalan dengan sikap dan apa yang diajarkan oleh
sang guru.
Perlu diketahui juga bahwa hamba yang saleh dalam menerima
keikutsertaan Nabi Musa as. tidak memaksa, karena sesungguhnya
hamba yang saleh tersebut telah memberikan kesempatan kepada Nabi
Musa as. untuk berpikir kembali dengan mengucapkan kata “Jika
engkau mengikutiku.” Jika diperhatikan pada ucapan “jika engkau
mengikutiku, maka jangan menanyakan kepadaku tentang sesuatu
apapun, sampai aku menerangkannya kepadamu.” Hamba yang saleh
telah memberikan isyarat bahwa diperjalanannya nanti akan terjadi
sesuatu yang aneh yang bisa saja Nabi Musa as. keberatan akan hal itu
(Shihab, 2002: 347).
b) Kandungan ayat 69-70
Dalam ayat ini Nabi Musa as., ketika menjawab pernyataan
dari Nabi Khidir as., mengatakan bahwa dia akan menyaksikan bahwa
dirinya benar-benar sabar jika dikehendaki Allah, dan dia tidak akan
membangkang perintahnya dalam perkara apapun yang terjadi nanti.
mendapatiku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam suatu urusan apapun.”
Jadi, sangatlah mungkin bahwa dengan pertolongan Allah dan
kesabaran, pertumbuhan dan perkembangan yang perlu bisa diperoleh.
Sebagai seorang hamba tidak boleh lupa akan kehendak Allah bagi apa
yang akan dilakukan oleh hamba tersebut kelak pada masa depan.
Karena itu, hendaknya seorang hamba mengucap „InsyaAllah‟.
Akan tetapi menurut beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa
upaya Nabi Musa as. untuk memperoleh pengetahuan menunjukkan
bahwa tak seorang pun boleh berhenti mencari ilmu bahkan jika dia
seorang Nabi sekalipun dan telah mencapai standar pengetahuan yang
tinggi. Ini dibuktikan bahwa Nabi Musa as. telah melaksanakan hal
demikian yaitu meski sudah menyandang gelar Nabi dan Rasul masih
tetap mencari ilmu. Masalah lain adalah bahwa tak seorang pun boleh
berhenti bersikap rendah hati dihadapan seorang yang lebih berilmu
daripadanya.
Nabi Musa as. mengaitkan kesabarannya dengan kehendak
Allah dengan mengucapkan insyaAllah tadi, sebab dia berpikir bahwa
dia mungkin akan bisa bersabar atas kehendak Allah. Oleh karena
itulah mengapa dia mengaitkan kesabarannya itu dengan
akan dikatakan telah mengucapkan kebohongan dengan dasar ucapan
insyaAllah tersebut (Ahsin, 2005: 131).
Mengingat kenyataan bahwa kesabaran terhadap
kejadian-kejadian yang tampak tidak akan masuk dalam pemikiran akal, yang
tidak diketahui rahasianya oleh seseorang, tidaklah mudah untuk
dipercaya atas perbuatan yang akan terjadi, maka sekali lagi hamba
yang saleh itu menyuruh Musa berjanji. Beliau memperingatkannya
bahwa jika dia (Nabi Musa as) ingin mengikutinya, maka dia harus
mutlak untuk tidak membantah dan tidak akan bertanya kepadanya
mengenai sesuatu pun sampai pada saatnya nanti hamba yang saleh itu
sendiri akan memberitahukan kepadanya mengenai hal itu. Ayat di atas
mengatakan, dia (Nabi Khidir as) berkata, “Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” Nabi Musa as. lalu
berjanji lagi dan selanjutnya melaksanakan perjalanan bersama
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku" (Depag RI, 2010:301).
a) Penjelasan Ayat 71-73
Disaat mereka telah usai berdiskusi dan menyepakati
peraturan-peraturan dan syarat seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu,
maka berangkatlah mereka yakni hamba Allah yang saleh dan Nabi
Musa as. itu menelusuri pantai untuk menaiki perahu, dan ketika
menaiki perahu maka hamba yang saleh itu melubangi perahu tersebut.
Nabi Musa as. tidak sabar atas perbuatan hamba yang saleh itu karena
pelubangan perahu adalah suatu perbuatan yang melanggar syariat,
yang artinya bahwa hal itu bisa menenggelamkan para penumpangnya.
Maka dia berkata kepada hamba yang saleh “Apakah engkau
melubanginya sehingga menenggelamkan penumpangnya? Sungguh,
aku bersumpah engkau telah membuat suatu kesalahan yang besar.”
Dan hamba yang saleh pun mengingatkan tentang persyaratan yang
telah disepakati, “Bukankah aku telah berkata: Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak sabar bersama denganku?” Kemudian Nabi Musa as.
pun sadar akan kesalahannya, dan dia berkata, “Janganlah kamu
bersamamu dan janganlah engkau bebani aku dalam urusanku dengan
kesulitan yang aku tidak sanggup untuk memikulnya.”
Kata (امهطو اف) fa inthalaqa berasal dari kata (قلاطلإا) al-ithlaq,
yakni pelepasan ikatan. Dari sini, kata (امهطوا) inthalaqa dapat dipahami
dalam arti berjalan dan berangkat dengan penuh semangat. Kata ini
juga menunjukkan hahwa dalam perjalanan ini Nabi Musa as. sudah
tidak mengajak pembantunya. Beliau hanya bersama dengan hamba
yang saleh itu. Ini disebabkan karena maqam keilmuan pembantunya
itu belum sampai pada tingkatan yang memungkinkan untuk
melakukan perjalanan makrifat itu.
Ayat ini mengisyaratkan ketika keduanya menaiki perahu maka
hamba yang saleh segera melubangi perahu. Dapat dipahami dari kata
(اذإ) idza pada redaksi ayat di atas (اهلرخ تىيفّسنا ىف ابكر اذإ ىّتح) hatta idza
rakiban fi as-safinati kharaqaha yang artinya hingga tatkala keduanya
menaiki perahu, dia melubanginya. Kata idza yang disebutkan terlebih
dahulu pada redaksi di atas mengandung arti yang mengesankan
bahwa begitu naik ke perahu terjadi juga pelubangannya. Hal ini
memberitahukan bahwa hamba yang saleh mengetahui atas sesuatu
yang akan terjadi jika dia tidak melubangi perahu tersebut.
Kata (ارمإ) Imran adalah sesuatu yang amat besar, hebat, tetapi
tertuju kepada keburukan. Kemudian Kata (يىمهرت) turhiqni berasal
antara lain berarti sesuatu yang sangat keras, sulit, berat. Seorang
wanita yang hendak melahirkan tetapi mengalami kesulitan
digambarkan dengan kata-kata ( ةأرمنا ثرسعأ) a‟sarat al-mar‟ah.
Binatang (unta) yang liar dinamai (ريسع) „asir. Seseorang yang kidal,
yakni menggunakan tangan kiri, yang biasanya sangat sulit digunakan
secara baik oleh orang yang dinamai (رسعأ) a‟sar. Dalam Al-Qur‟an menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan kesulitan atau
krisis yang telah melebihi batas kemampuan, misalnya keadaan Hari
Kiamat yang akan dialami oleh orang-orang kafir (QS. Al-Furqan [25]:
26). Gabungan kedua kata itu menandakan bahwa jika hamba Allah
yang saleh itu tidak mengizinkan ikut lagi dalam pengembaraan maka
betapa beratnya beban yang akan dipikul oleh Nabi Musa as. (Shihab,
2009:349).
b) Kandungan ayat 72-73
Mereka berdua (Nabi Musa as. dan hamba yang saleh)
melanjutkan perjalanan mereka hingga mereka naik sebuah perahu,
hamba yang saleh lalu melubangi perahu itu. Karena disatu sisi Musa
as. adalah seorang Nabi Allah yang mempunyai tanggung jawab besar
dan dia wajib melindungi nyawa dan harta benda orang banyak, dan dia
juga wajib memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar,
sementara disisi lain kesadarannya tidak akan membiarkannya berdiam
itu, maka dia lalu mengabaikan janjinya kepada hamba yang saleh tadi
dan mengajukan pernyataan kepadanya seperti ayat yang penulis tulis di
atas. Pada saat itulah, hamba yang saleh dengan menunjukkan sikap
yang berwibawa, memandang kepada Nabi Musa as. dan berkata,
“Bukankah aku telah berkata bahwa kamu sekali-kali tidak akan bisa
bersabar bersama denganku?”
Nabi Musa as. yang menyesali sikapnya yang tergesa-gesa atas
suatu hal, yang memang itu suatu kewajaran karena disebabkan
pentingnya menyelamatkan nyawa orang yang berada di perahu
tersebut, maka dia ingat akan janjinnya dan mengemukakan alasan
mengapa dia membantah hamba yang saleh itu. Beliau berpaling
kepada hamba yang saleh dan berkata seperti ayat yang penulis tulis di
atas.
kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku? (Depag RI, 2010:301-302).
a) Penjelasan Ayat 74-75
Akhirnya hamba yang saleh itu pun menerima permohonan
maaf Nabi Musa as., kemudian mereka turun dari perahu dengan
selamat dan keduanya pun melanjutkan perjalanan sampai akhirnya
keduanya bertemu dengan anak remaja. Tanpa bercerita apapun
dengan Nabi Musa as. hamba yang saleh itu langsung membunuh anak
remaja tersebut. Seketika Nabi Musa as. kaget, kali ini dia tidak lupa
akan janjinya yang telah disepakati, dia dengan sadar menegur hamba
yang saleh dengan berkata, “Mengapa engkau membunuh jiwa yang
masih suci dari kedurhakaan?” engkau membunuhnya dengan seketika,
apakah dia pernah membunuh orang lain? sungguh engkau telah
melakukan kemungkaran yang sangat besar. Hamba Allah yang saleh
kemudian menjawab dengan jawaban yang sama seperti redaksi
sebelumnya, “Bukankah aku telah berkata kepadamu, sesungguhya
kamu sekali-kali tidak akan sabar dalam perjalanan bersamaku?”
Dalam hal ini sepertinya Nabi Musa as. tidak lupa akan
janjinya, tetapi karena memang ada kejadian besar dihadapannya atas
perbuatan yang dilakukan hamba yang saleh itu. Kali ini Nabi Musa
as. tidak hanya menganggapnya sebagai perlakuan (ارمإ) Imran seperti
ketika membocorkan perahu yang dianggap bisa mematikan orang,
hampir menghilangkan nyawa, sedangkan kejadian ini telah
menghilangkan nyawa seseorang. Adapun teguran hamba Allah untuk
Nabi Musa as. kali ini juga berbeda, dengan menggunakan kata (كن)
laka padahal pada kesalah Nabi Musa as. yang petama tidak
menggunakan itu. Ternyata penambahan itu menegaskan penekanan
tersendiri, karena Nabi Musa as. telah melanggar janjinya untuk yang
kedua kali. Kata (ولاغ) ghulam biasanya berarti remaja, meskipun tidak
selalu dalam arti remaja. Ini juga sekedar menunjuk kepada seorang
pria (Shihab, 2002: 351).
b) Kandungan ayat 74-75
Perjalanan keduanya dengan perahu pun berakhir, lalu mereka
turun dari perahu dan berjalan menyusuri daratan. Setelah tidak
berselang begitu lama keduanya tidak sengaja bertemu dengan seorang
anak laki-laki, tanpa melakukan perundingan apapun dengan Nabi
Musa as., hamba yang saleh langsung membunuh anak laki-laki itu.
Nabi Musa as. sungguh kaget bukan main melihat peristiwa itu
(membunuh seorang yang memiliki jiwa suci). Kali ini beliau tidak
lupa akan janjinya kepada hamba yang saleh, tetapi dengan penuh
kesadaran beliau berkata, mengapa engkau telah membunuh seseorang
yang memiliki jiwa yang suci dari kedurhakaan? apakah engkau
membunuhnya tanpa mengetahui bahwa dia telah membunuh satu jiwa
lain? aku bersumpah sesungguhnya engkau telah melakukan suatu
mengulangi ucapannya yang ketika Nabi Musa as. membantah saat
melubangi perahu dengan sikap tenangnya. Ayat yang penulis tulis di
atas mengatakan bahwa hamba yang saleh berkata, “Bukankah sudah
kukatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan bisa bersabar
bersamaku?”
Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu" (Depag RI, 2010:302).
a) Penjelasan Ayat 76-77
Nabi Musa as. akhirnya sadar bahwa dia telah melakukan
perjalanan hamba yang saleh itu, dia meminta maaf dan bermohon
agar diberi kesempatan yang terakhir. Karena itu dia berkata, "Jika aku
bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah
kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah
cukup memberikan udzur padaku" karena aku sudah melanggar janji
kedua kalinya dan engkau telah memaafkanku dua kali pula.
Hamba yang saleh hatinya sangat lembut, dan kali ini dia masih
memberinya kesempatan kepada Nabi Musa as. Kemudian setelah
kejadian pembunuhan anak remaja oleh hamba Allah yang saleh itu
mereka berdua melanjutkan perjalanan lagi sampai akhirnya mereka
bertemu dengan penduduk suatu negeri dan mereka meminta makanan
kepada penduduk negeri itu, namun ternyata penduduk negeri itu
enggan memberikan makanan dan enggan menerima kedatangan
mereka sebagai tamu di negeri tersebut, lalu mereka beranjak dari sana
dan tidak lama mereka beranjak meninggalkan negeri tersebut
keduanya menemui sebuah dinding penduduk yang hampir roboh,
maka hamba yang saleh itu mengajak Nabi Musa as. untuk membantu
menegakkan dinding yang hampir roboh tersebut. Atas hal itu Nabi
Musa as. berkata kepada hamba yang saleh, "Jikalau kamu mau,
niscaya kamu mengambil upah untuk itu" sebagai upah yang telah
engkau kerjakan dalam penegakan dinding itu yang bisa kita gunakan
Melalui ayat ini Allah swt. memberikan gambaran betapa
buruknya penduduk di negeri tersebut. Gambaran itu dilihat pada
penyebutan dengan tegas kata-kata penduduk negeri, sedangkan pada
ayat-ayat yang lain menggunakan kata negeri untuk menunjuk
penduduknya, seperti halnya pada (QS. Yusuf [12]: 82). Selanjutnya
mereka menolak untuk memberi makan kepada keduanya, padahal
yang keduanya minta hanyalah sebuah makanan yang dapat dimakan,
dan permintaan itu bukan suatu yang mahal. Kemudian mereka enggan
menerima keduanya sebagai tamu, padahal menerima tamu dan
memberikan tempat istirahat buat tamu adalah suatu yang sangat baik
dan jika melakukan sebaliknya adalah perbuatan yang tercela.
Ketika sampai pada suatu negeri itu sebenarnya Nabi Musa as.
tidak secara tegas memberikan pertanyaan, akan tetapi beliau hanya
memberinya saran kepada hamba yang saleh itu, meskipun demikian
ungkapan itu telah dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap
hamba Allah yang saleh. Saran Nabi Musa as. itu muncul dikala ada
dua pernyataan yang bertolak belakang, penduduk negeri menolak
keduanya sebagai tamu tetapi hamba Allah yang saleh itu malah
menegakkan salah satu dinding yang mau roboh di negeri itu (Shihab,
2002: 352).
b) Kandungan Ayat 76-77
Nabi Musa as. ingat akan janjinya yang dibuat sendiri kepada
malu terhadap dirinya sendiri, sebab dia telah melanggar janjinya
untuk yang kedua kalinya, meskipun itu terjadi karena lupa. Sedikit
demi sedikit, Musa as. merasakan bahwa yang dikatakan sang guru
mungkin benar. Oleh karena itu, dia meminta maaf lagi dan
mengatakan kepada hamba yang saleh agar memaafkan kelupaannya
itu lagi. Tetapi pada hal ini Musa juga memberikan pernyatan jika
setelah itu dia meminta kepadanya untuk memberikan penjelasan
mengenai urusan-urusannya yaitu perbuatan yang dilakukan hamba
yang saleh, dan dia (Nabi Musa as) berkeberatan terhadap apa yang
dilakukannya, maka dia (Nabi Musa as) tidak akan mengikuti
perjalanannya lagi, karena hamba yang saleh itu telah beberapa kali
menerima alasan dari Musa as.
Perjalanan rohani yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur‟an
ini membawa seseorang kepada sikap keadilan Musa yang menyatakan
bahwa dia bersedia mengakhiri perjalanan yang sangat penting ini
kalau nanti dia melanggar janjinya sendiri, dan ini menunjukkan
bahwa dia memang bersedia menerima kenyatataan, meskipun itu
pahit. Sebuah hadits menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw.
membacakan ayat ini dan mengatakan bahwa Nabi Musa as., Nabi
Allah itu merasa malu kepada dirinya sendiri dan kepada gurunya itu.
Seandainya dia mau menunggu dan bersabar, niscaya dia akan
menyaksikan seribu perbuatan Khidir yang menakjubkan (Tafsir
6. Ayat 78-79
Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya”. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (Depag RI, 2010:302).
a) Penjelasan Ayat 78-79
Nabi Musa as. telah melakukan kesalahan sebanyak tiga kali.
Dan kini sudah punya cukup alasan bagi hamba yang saleh untuk
menyatakan ungkapan perpisahan, "Inilah perpisahan antara aku
dengan kamu wahai Musa as. kelak akan aku beritahukan kepadamu
tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.”
Hamba Allah yang saleh pun mulai menerangkan satu persatu
tentang kejadian-kejadian yang keduanya alami selama perjalanan.
Adapun ketika di dalam perahu, perahu itu adalah milik orang miskin
orang miskin tersebut dapat selamat, karena di depan nanti dia akan
menemui seorang raja yang sangat kejam dan dzalim yang akan
memerintahkan pasukannya untuk merampas secara paksa setiap
perahu-perahu yang berfungsi dengan baik.
Hamba yang saleh melanjutkan pembicaraannya, jadi apa yang
kulakukan terhadap pembocoran kapal adalah bukan karena aku ingin
menenggelamkannya tetapi ingin melindungi hak-hak orang miskin.
Terkadang ada kalanya kemudharatan yang kecil dapat dibenarkan
untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar.
Kata (ميوأت) ta‟wil berasal dari kata (لاوا-لوأي-لآ) ala-yaulu-aulan
yang pada mulanya berarti kembali. Al-Qur‟an mengartikannya makna
dan penjelasan sesuatu yang merupakan hakikatnya atau tibanya masa
sesuatu. Makna pertama dan kedua bisa menjadi makna yang benar
untuk kata tersebut di sini.
Allah berfirman: (رحبنا ىف نىمهعي هيكاسم) masakin ya‟maluna fi al
-bahri ini dijadikan dasar hukum oleh Imam Syafi‟i bahwa orang
miskin ini lebih baik daripada orang fakir, karena orang miskin masih
memiliki modal untuk mencari rizki (Shihab, 2002: 354).
b) Kandungan ayat 78-79
Ketika Nabi Musa as. melihat bahwa meskipun penduduk kota
itu adalah orang-orang yang tidak terpuji dengan tidak mau menjamu
makanan dan enggan atas kedatangan tamu yaitu mereka berdua (lihat
yang hampir roboh, seolah-olah hamba yang saleh itu ingin membalas
perlakuan mereka terhadap keduanya, maka Nabi Musa as. berpikir
bahwa bukankah lebih baik jika sang guru mengerjakan pekerjaan
tersebut untuk memperoleh upah sehingga mereka berdua bisa
membeli makanan, karena mereka berdua memang sudah kelaparan.
Sebenarnya Nabi Musa as. menganggap tindakan hamba yang saleh
itu melesat dari keadilan, bahwa orang mau berkorban seperti itu
untuk sekelompok orang yang memiliki sifat kikir. Pada saat itulah
hamba yang saleh tersebut mengucapkan kata-katanya yang terakhir
kepada Nabi Musa as., karena dari semua kejadian yang dialami ini,
dia yakin bahwa Nabi Musa as. tidak bersabar untuk menanggung
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Ayat yang penulis
cantumkan di atas mengatakan, dia (hamba yang saleh) berkata:
“Inilah perpisahan antara aku dan engkau. Sekarang aku
akan memberitahukan kepadamu tafsir tentang apa yang kamu tidak bisa bersabar atasnya”.
Pernyataan perpisahan dari hamba yang saleh tersebut tampak
bagaikan tonggak yang menancap di hati Nabi Musa as., perpisahan
dengan guru yang memiliki begitu banyak rahasia, begitu sangat
menyakitkan bagi Nabi Musa as. untuk berpisah dengan pemimpin
seperti itu. Tetapi hal itu merupakan kenyataan pahit yang harus
diterima oleh Nabi Musa as. dengan lapang dada karena dia telah
bersedia mengakhiri perjalanan jika masih memprotes tindakan yang
dilakukan oleh gurunya tersebut.
Sesuatu yang dilihat oleh seseorang adalah apa yang tampak
pada suatu perkara tersebut, akan tetapi tanpa disadari bahwa
sebenarnya ada hal yang tersembunyi yang tidak diketahuai oleh
seseorang pada perkara itu. Seperti halnya Nabi Musa as. ketika
melihat tingkah laku yang ditunjukkan oleh hamba yang saleh
dianggap salah oleh Nabi Musa as., padahal beliau tidak tahu bahwa
sebenarnya ada hikmah dan hakikat yang tersembuyi dalam perbuatan
yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
Sebenarnya apa yang dilakukan hamba yang saleh terhadap
perahu itu ialah beliau tidak membocorkan dengan hal-hal yang bisa
menyebabkan air masuk kedalam perahu dan akan menenggelamkan
seluruh penumpang yang ada di dalam perahu. Akan tetapi beliau
hanya membuat perahu itu cacat seperti halnya perahu yang sudah
tidak layak untuk dipakai, sehingga raja yang dzalim tidak akan
merampas perahu itu kemudian memakainya, dan orang miskin yang
memiliki perahu tersebut tidak menjadi lebih sengsara atas hal itu.
Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya) (Depag RI, 2010:302).
a) Penjelasan Ayat 80-81
Kemudian hamba yang saleh itu pun melanjutkan
pernyataannya mengenai kejadian yang kedua yaitu membunuh anak
remaja. Dia berkata, “Dan adapun anak remaja yang aku bunuh itu
adalah seorang dari anak yang mukmin, orang tuanya merupakan
orang yang kuat imannya, dan kami khawatir jika anak itu tumbuh
dewasa entah karena kecintaan orang tua terhadap anaknya atau atas
keberanian dan kekejaman anak terhadap orang tuanya maka orang
tuanya akan terdorong dalam kesesatan dan menjadi kafir, maka
dengan membunuhnya dengan niat yang baik Allah sebagai Tuhan
mereka akan menggantikannya dengan anak yang lebih baik
daripadanya yaitu yang lebih bakti kepada orang tuanya.
Kata (اوايغط) Thughyanan diambil dari kata (ىغط) thagha yang
mulanya melampaui batas, dalam ayat ini adalah kedurhakaan yang
sudah terlalu. Banyak ulama yang mengartikan kedurhakan dan
kekufuran dalam ayat ini adalah orang tuanya, dan ada pula yang
mengartikan pelaku itu anaknya (Shihab, 2002: 355).
Pada ayat ini, Allah swt. melalui firman-Nya dalam Al-Qur‟an
menunjukkan pada rahasia peristiwa yang kedua yaitu tentang
pembunuhan yang dilakukan oleh hamba yang saleh terhadap anak
remaja laki-laki. Ayat di atas berbunyi:
”Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang -orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.”
Tentu saja hamba yang saleh membunuh anak remaja itu
dengan tanpa alasan, yaitu jika anak remaja itu dibiarkan hidup
sampai dewasa maka akan dikhawatirkan dapat menyebabkan adanya
kejadian yang menghinakan kedua orangtuanya yang beriman dalam
kekufuran. Kemudian Allah swt. meneruskan ayat itu dengan
firman-Nya:
”Dan karena itu kami menghendaki, supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya, yaitu kepada ibu bapaknya” (Faqih, 2005: 148).
8. Ayat ke 82
simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya" (Depag RI, 2010:302).
a) Penjelasan Ayat82
Hamba yang saleh melanjutkan pernyataannya yang terakhir
yaitu pada kejadian penegakan dinding yang roboh. Dia berkata
“Adapun dinding yang aku tegakkan kembali tanpa mengambil upah
itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim, sedangkan di bawahnya
ada harta simpanan untuk keduanya kelak kedua anak yatim itu sudah
dewasa, kalau tidak ditegakkan dikhawatirkan harta simpanan itu akan
diambil oleh orang yang tidak berhak, dan ayah keduanya adalah
seorang mukmin yang saleh yang sengaja menyimpan hartanya itu
untuk kedua anaknya.” Sehingga Tuhanmu menghendakinya agar harta
itu terjaga hingga kedua anak itu tumbuh dewasa dan mengambil harta
yang di simpan oleh ayahnya itu untuk dimanfaatkan. Apa yang
kulakukan ini adalah rahmat dari Tuhanmu terhadap anak yatim itu.
Kemudian hamba yang saleh mengatakan aku tidak melakukan
semua hal itu mulai dari pembocoran perahu sampai penegakan
dinding karena kemauanku sendiri, melainkan atas perintah Allah
melalui ilmu-Nya yang diajarkan kepadaku. Sedangkan ilmu itu
anugerah-Nya. Inilah makna di balik kejadian-kejadian yang kamu
tidak dapat sabar terhadapnya.
Dalam ucapan hamba Allah di atas, beliau menyifati wilayah
anak yatim itu dengan (تىيدم) madinah, padahal sebelumnya
menggunakan kata (تيرل) qaryah. Mungkin hal tersebut karena kata
qaryah terdapat kecaman kepada penduduknya yang enggan menerima
tamu itu, sedangkan di sini terdapat pujian terhadap orang tua anak itu.
Kata (زىك) kanz merupakan harta yang menumpuk menjadi
banyak. Ini biasanya dimaknai dengan sesuatu yang sangat bernilai. Di
konteks ini dikenal dalam kata kekayaan yang tidak habis-habisnya.
Perbuatan yang dilakukan oleh hamba yang saleh dalam menegakkan
tembok itu menunjukkan bahwa seorang anak bisa mendapatkan
keberkahan dan dampak kebaikan yang disebabkan oleh kesalehan
orang tuanya.
Ada perbedaan yang menarik yang terdapat dalam ucapan yang
disampaikan oleh hamba yang saleh tersebut dalam menjelaskan
kejadian-kejadian ketika bersama Nabi Musa as. Ketika hamba yang
saleh membocorkan perahu, dia berucap ( اهبيعأ نأ ثدرأف) yang artinya
maka aku ingin menjadikannya memiliki cela, yang maksudnya adalah
merusak perahu. Dalam konteks ini menunjukkan yang berkehendak
dalam pembocoran perahu adalah diri hamba yang saleh sendiri. Karena
mempunyai kesan buruk harus dihindarkan dari-Nya. Namun ketika
hamba yang saleh menegakkan tembok yang hampir rubuh, di sini
kalimatnya menggunakan ( كّبر دارأف) yang artinya maka Tuhanmu
menghendaki. Karena penegakan dinding adalah kesan yang baik yaitu
untuk melindungi harta simpanan untuk kedua anak yatim. Kemudian
ketika membunuh anak remaja, di sini menggunakan kalimat (اودرأف) yang
artinya maka kami menghendaki. Kalimat itu menunjuk diri hamba yang
saleh bersama Allah swt. dengan ketentuan yang membunuh adalah
hamba yang saleh dan kehendak Tuhan adalah penggantian anak yang
nantinya kafir menjadi anak yang lebih baik. Kalimat pembunuhan
dilibatkan kepada hamba yang saleh sedangkan tujuan pembunuhan
yang baik itulah yang pantas dilibatkan kepada Allah swt. (Shihab, 2002:
358).
b) Kandungan ayat 82
Dalam ayat ini Allah swt. menjelaskan bahwa Nabi Khidir as.
mengungkapkan tentang rahasia perbuatannya yang ketiga yaitu ketika
beliau memperbaki dinding yang hampir roboh dan berkata seperti
berikut:
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak
yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari