• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERPRETASI RADAR CUACA SEBAGAI KAJIAN PUTING BELIUNG DAN ANGIN KENCANG WILAYAH JAWA TIMUR (Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan dan Pasuruan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTERPRETASI RADAR CUACA SEBAGAI KAJIAN PUTING BELIUNG DAN ANGIN KENCANG WILAYAH JAWA TIMUR (Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan dan Pasuruan)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

INTERPRETASI RADAR CUACA SEBAGAI KAJIAN PUTING

BELIUNG DAN ANGIN KENCANG WILAYAH JAWA TIMUR

(Studi Kasus Sidoarjo, Bangkalan dan Pasuruan)

Linda Fitrotul Muzayanah1,Taufiq Hidayah2

1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email : fitrotullinda@gmail.com

ABSTRAK

Berdasarkan data BNPB terjadi kurang lebih 610 kejadian puting beliung di Indonesia selama kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2014. (http://bnpb.go.id). Perlu diketahui bahwa puting beliung biasa disebabkan oleh awan cumulonimbus. Sedangkan tidak semua awan Cumulonimbus menyebabkan puting beliung. Puting beliung sangatlah singkat dan sulit untuk dideteksi. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi puting beliung adalah radar cuaca serta didukung data radiosonde. Pada penelitian ini dispesifikasikan di wilayah Jawa Timur dengan merujuk pada teori tornado genesis dengan pola – pola bow echo, hook echo dan mesocyclone. Rawdata yang digunakan adalah reflectifity untuk melihat bow echo, hook echo dan comma echo dari produk CMAX dan CAPPI (dBz) overlay SWI sedangkan data velocity untuk melihat pola mesocyclone yang diolah menggunakanCAPPI (V) overlay

HWIND. Dari analisis yang dilakukan diperoleh bahwa wilayah Bangkalan terlihat adanya pola bow echo dan mesocyclone serta kecepatan angin mencapai 25 knot. Sedangkan di wilayah Pasuruan teramati pola hook echo dan mesocyclone dengan kecepatan angin mencapai 30 knot. Daerah Sidoarjo meskipun terlihat adanya cluster awan cumulonimbus namun tidak menunjukkan karakteristik puting beliung melainkan angin kencang lainnya. Pada ketiga kejadian ini kondisi atmosfer tidak stabil sehingga berpotensi menimbulkan cuaca buruk.

Kata kunci : puting beliung, radar cuaca, bow echo, hook echo, mesocyclone

ABSTRACT

Based on data from BNPB, there were 610 funnel cloud events in Indonesia during 2011 until 2014 period. (http://bnpb.go.id). It is important to know that the usual funnel cloud caused by cumulonimbus clouds. While not all Cumulonimbus causing funnel cloud. Funnel cloud has very short period that make it difficult to detect. Therefore data and instrument that can be used to detect characteristics (pattern) funnel cloud is needed.One of the tools that can be used to detect funnel cloud is weather radar instrument and supported radiosonde data. This study specified occurrence of the funnel cloud in East Java with reference to the theory of tornado genesis with a pattern of bow echo, hook echo and mesocyclone. Rawdata that be used in this study is reflectifity to see bow echo, hook echo and comma echo from CMAX and CAPPI (dBz) overlay SWI product, while velocity data to see mesocyclone pattern that is processed using CAPPI (V) overlay HWIND. From the analysis it is known that the strong wind event and a funnel cloud in the three regions of East Java occured in the afternoon and evening. In the area Bangkalan, bow echo pattern and mesocyclone pattern appeared with wind speed reaching 25 knots. While the pattern was observed in Pasuruan were region hook echo and mesocyclone with wind speed reaching 30 knots. At Sidoarjo area , although it showed the cluster of cumulonimbus clouds,

(2)

however does not show tornado pattern but like other strong winds. At all of the events, the atmospheric conditions was unstable, it was cause potentially bad weather.

Keywords : Funnel cloud, weather radar, bow echo, hook echo, mesocyclone

I.

PENDAHULUAN

Berdasarkan data BNPB terjadi kurang lebih 610 kejadian puting beliung di Indonesia selama kurun waktu tahun 2011 sampai dengan 2014. Masyarakat Indonesia terkadang mengangggap semua kejadian angin kencang adalah puting beliung. Sehingga perlu adanya klasifikasi mana yang termasuk puting beliung dan mana yang bukan merupakan puting beliung Perlu diketahui bahwa puting beliung biasa disebabkan oleh awan cumulonimbus. Sedangkan tidak semua awan Cumulonimbus

menyebabkan puting beliung. Untuk itu perlu adanya identifikasi kejadian putting beliung tersebut, apakah angin tersebut merupakan puting beliung atau bukan. Maka dibutuhkan data dan instrument yang dapat digunakan untuk mendeteksi karakteristik (pola) puting beliung. Salah satunya menggunakan radar cuaca untuk mengklasifikasikan pola pola puting beliung pada radar dan akan didukung dengan data radiosonde. Radar cuaca ini dapat memberikan informasi cuaca dengan resolusi tinggi dan dengan data real time per 10 menit. Pada penelitian ini dispesifikasikan di wilayah Jawa Timur dengan merujuk pada teori

tornadogenesis dengan pola – pola bow echo,

hook echo dan mesocyclone.

Menurut peraturan Kep. KBMKG

no.009 th 2010 bahwa puting beliung

adalah angin kencang yang berputar yang

keluar dari awan

cumulonimbus

(Cb)

dengan kecepatan lebih dari 34,8 knots atau

64,4 km/jam dan terjadi dalam waktu

singkat. Kejadian putting beliung sering

dikaitkan dengan tornado sehingga hal ini

juga diperkuat oleh definisi dari Richard

Smith (1996) bahwa tornado sebagai

"kolom udara yang berputar kencang, dari

awan

cumulonimbus

, dan hampir selalu

diamati sebagai 'corong awan' atau tuba.”

Berdasarkan teori

tornado genesis

yaitu

mengenai pembentukan tornado yang

tergambar pada radar cuaca dibagi menjadi

dua yaitu

tornado supercell

yang ditandai

dengan

hook echo

(kait) atau

comma echo

( koma) dari data reflektifitas dan

mesocyclone

dari data velocity sedangkan

tornado non – supercell

yang merupakan

masa hidupnya yang pendek yang sering

dikaitkan dengan pola reflektifitas

bow

echo

(busur)

.

Beberapa contoh kasus puting beliung yang terjadi di Indonesia adalah Sidrap (Sulawesi Utara), Pangkep (Sulawesi), Denpasar (Bali) dan Sidoarjo (Jawa Timur). Pada penelitian di Sidoarjo tergambar adanya pola hook echo (Ayudia, 2012). Penelitian di Pangkep tanggal 12 Januari 2013 memberikan informasi terdapat pola mesocyclone (Fikroh, 2013). Putting beliung di Sidrap 24 Februari 2012 terlihat adanya pola hook echo (Abubakar, 2013). Analisis putting beliung di Denpasar Bali terlihat adanya pola hook echo yang sangat jelas dan dari produk UWT terlihat kecepatan angin hingga 40 knot.

Dari beberapa kejadian diatas penulis melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kajian puting beliung di wilayah Jawa Timur diantaranya Sidoarjo, Bangkalan dan Pasuruan dengan mengadopsi pola atau karakteristik putting beliung pada radar yang pernah dilakukan di Indonesia dan didukung juga dengan melihat stabilitas atmosfer. Tujuan yang dilakukan diantaranya untuk melhat adanya relektifitas pola bow echo, hook echo dan comma echo. Sedangkan dari profil radial velocity dilihat ada atau tidaknya pola mesocyclone per lapisan dan kecepatan anginnya serta dari data radiosonde dilihat indeks-indeks stabilitas atmosfer meliputi showalter index, K-index, Lifted Index, SWEAT dan Convective Available Potential Energy (CAPE). Manfaat dari penelitian ini untuk kedepannya dapat memberikan informasi

(3)

kepada masyarakat seperti apa yang termasuk putting beliung dan mana yang angina kencang. Sehingga analisis ini bisa dikembangkan untuk layanan forecast terkait dengan indikasi putting beliung.

II. DATA DAN METODE

1. Lokasi penelitian adalah provinsi Jawa Timur. Ibu kotanya terletak di Surabaya. Wilayah ini membentang antara 111°0’BT - 141° 4’ BT dan 7°12’LS - 8° 48’LS. 2. Data yang digunakan adalah Data puting

beliung dari BNPB (badan nasional penanggulangan bencana) selama kurun waktu 2013 sampai dengan 2014 yang dapat diakses melalui website http://geospasial.bnpb.go.id/pantauanbenca na/data/datatopan.php dan dipilih hanya tiga kejadian saja yaitu di Sidoarjo, Pasuruan dan Bangkalan. Data selanjutnya yang digunakan adalah data radar cuaca sebelum dan sesudah kejadian yaitu raw data dari Stasiun Meteorologi Klas I Juanda Surabaya tanggal 9 Maret 2014 (Sidoarjo), 26 November 2013 (Pasuruan) dan 12 November 2013 (Bangkalan). Raw data

radar cuaca gematronik Juanda yang digunakan adalah reflektivitas (Z) dan

radial velocity (V). Produk yang digunakan CMAX (dBz), CAPPI (V) overlay HWIND, CAPPI (dBz) overlay SWI. Data ketiga adalah data pengamatan udara atas jam 00 dari Stasiun Meteorologi Juanda yang diambil dari BMKG pusat tanggal 9 Maret 2014, 26 November 2013 dan 12 November 2013.

3. Produk CMAX dianalisis pada waktu sebelum dan sesudah kejadian puting beliung dengan waktu yang disesuaikan dengan pertumbuhan awan cumulonimbus penyebab putting beliung. Produk CMAX tersebut dilihat dari lapisan 0,5 km hingga 10 km dan diadakan vertical cut (VCUT) pada area kejadian. Produk CAPPI (V) dan HWIND dilihat perlapisan yaitu 0,5 km, 1 km dan 2 km untuk melihat rotasi angin. Sedangkan SWI untuk melihat pola convergen dan divergen yang ditandai dengan segitiga yang saling bersinggungan (divergen), segitiga yang saling berhadapan (convergen). Untuk data radiosonde diolah menggunakan RAOB 5.7 untuk memperoleh dan melihat labilitas udara dari beberapa indeks.

(4)

III.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1.

Analisis dan Pembahasan Puting

Beliung dengan Citra Radar

Berdasarkan identifikasi puting beliung yang dilihat dari pola karakteristik puting beliung dengan merujuk dari teori

tornado genesis dapat dianalisis berdasarkan waktu sebelum kejadian dan setelah kejadian. Kejadian puting beliung

dari tiga kejadian di wilayah Jawa Timur tersebut secara umum terjadi pada waktu siang sampai sore.

a.

Puting Beliung Bangkalan 12

November 2013

Kejadian puting beliung yang tercatat oleh BNPB terjadi di wilayah Kebanjar Kabupaten Bangkalan dimana waktu terjadinya pada pukul 12.00 WIB sesuai laporan dari BNPB.

Gambar 2. Citra Radar CMAX (dBz) pukul 04.22 UTC

Pada citra radar dengan produk CMAX pukul 04.02 UTC terlihat adanya awan-awan cumulus kecil yang ditandai dengan warna biru hingga kuning dengan nilai reflektifitas 15 hingga 35 dBz di sekitar daerah Kebanjar ,Bangkalan. Kejadian ini berjarak 38,25 km dari radar Juanda ke lokasi yang dituju. Kemudian 10 menit terlihat adanya cluster single cell dengan nilai reflektifitas yang cukup tinggi yaitu 55 dBz. Tepat pukul 04.22 UTC citra radar pada lokasi kejadian terdapat menunjukkan

nilai reflektifitas awan yang cukup luas. Terlihat pola seperti bow echo (busur) dimana merupakan salah satu ciri adanya puting beliung yaitu dengan nilai reflektifitas 58,5 dBz menunjukkan adanya cluster awan konvektif yaitu cumulonimbus cukup kuat yang ditandai dengan warna merah yang pekat. Setelah diadakan vertical cut terlihat adanya awan Cb yang kuat dari lapisan 0,5 km hingga 6,5 km. Pada waktu inilah berpotensi besar terjadinya puting beliung

(5)

0.5 km 1 km 2 km

Gambar 3. Citra Radar CAPPI (V) overlay HWIND pukul 04.22 UTC

Pada citra radar CAPPI ini menujukkan pada pukul 04.22 UTC arah angin sudah mulai berubah arah yaitu dari arah timur menuju ke barat dengan keceptan angin yang ditunjukkan oleh produk HWIND yaitu sekitar 20 sampai dengan 25 knot dan pada lapisan 2 km arah angin berubah dari barat sehingga bisa

diindikasikan terdapat pertemuan atau perputaran udara. Sedangkan dari radial velocity

adanya satu titik warna merah yang memiliki kecepatan 25 knot yang menunjukkan disitu terdapat pertemuan masa udara dari lapisan 0.5 km hingga 2 km yang dikelilingi oleh warna hijau yang mendekati radar.

Gambar 4. Citra Radar CAPPI (dBz) overlay SWI pukul 04.22 UTC CONVERGEN

(6)

Pada gambar citra radar produk SWI pukul 04.02 UTC menunjukkan bahwa di sekitar daerah Kebanjar, Bangkalan terlihat adanya arus yang mengumpul yang berarti didaerah tersebut terdapat pertemuan angin pada satu titik. Hal ini bertahan hingga beberapa menit

kemudian. Pukul 04.22 UTC menunjukkan cluster awan cumulonimbus dengan ketinggian mencapai 9 km dengan adanya badai (storm) yang ditandai dengan warna merah pada wilayah kejadian dan juga wilayah convergen (arus mengumpul).

b.

Puting Beliung Sidoarjo 9 Maret 2014

Gambar 5. Citra Radar CMAX (dBz) pukul 08.22 UTC

Menurut citra radar Juanda dengan pengolahan produk CMAX kejadian puting beliung di Sidoarjo pukul 08.02 terdapat inti cell awan konvektif yang berjalan menuju wilayah Sidoarjo dari arah selatan. Pada produk CMAX tergambar bahwa nilai reflektifitas 53,5 dBz. Pukul 08.12 yang diolah menggunakan produk CAPPI, cell pada 10 menit yang lalu pecah menjadi 2

cell dengan nilai reflektifitas sekitar 35 sampai dengan 38 dBz. Dan tidak tergambar pola hook echo, comma echo maupun bow echo. Pada 10 menit kemudian di wilayah Sidoarjo ini menunjukkan 2 cell yang terpecah 10 menit yang lalu bergabung dan membentuk menjadi sebuah sel dengan nilai reflektifitas maksimum 50 dBz dan berada di lapisan bawah.

(7)

0,5 km 1 km 2 km

Gambar 6. Citra Radar CAPPI (V) overlay HWIND pukul 08.22 UTC

Dari analisis velocity tidak terlihat adanya pola mesocyclone, hanya didominasi warna hijau dengan nilai -12 m/s atau 24 knot yang mendekati radar atau arah angin searah. Dari data reflektifitas dan velocity dapat diindikasikan kejadian ini bukan putting

beliung tetapi angin kencang lainnya yang berasal dari awan CB dimana ditandai dengan reflektifitas tertinggi di lapisan bawah dan arah angin dari velocity didominasi oleh satu warna yang dipoyeksikan mendekati radar (warna hijau/ inbound).

Gambar 7. Citra Radar CAPPI (dbz) dan SWI pukul 08.22 UTC

Dari analisis produk SWI (Severe Weather Indicator) pukul 08.02 UTC ini menunjukkan pola divergen atau arus yang menyebar. Belum terdapat potensi badai pada sekitar wilayah Sidoarjo. Produk SWI pukul 08.12 pada skala luas menunjukkan

arus udara menyebar atau divergen namun ada satu titik yang convergen. Dari arah barat daya Sidoarjo terdapat cluster badai menuju arah utara (ke arah kejadian puting beliung). Pukul 08.22 UTC dari produk SWI ini

CONVERGEN

(8)

menunjukkan adanya storm core atau badai yang terjadi di wilayah kejadian.

c.

Puting Beliung Pasuruan 26 November

2013

Gambar 8. Citra Radar CMAX (dBz) pukul 07.42 UTC

Berdasarkan citra radar CMAX yang terlihat pukul 07.12 pada wilayah Pasuruan terdapat satu inti sel berwarna kuning yang berjalan dari arah barat laut menuju wilayah titik Pasuruan dengan nilai reflektifitas 43 dBz. Setelah dilakukan vertical cut nilai dBz tertinggi terjadi pada lapisan 4 km. Mengindikasikan mulai terbentuk awan konvektif yang mengarah ke Pasuruan. Analisis menurut citra radar Juanda pada pukul 07.22 UTC yang diolah menggunakan produk CMAX yaitu terdapat nilai reflektifitas maksimum yang meningkat

secara drastis pada suatu coloumn menjadi 61 dBz yang membentuk seperti bow echo (busur) pada skala yang cukup besar membentang hingga beberapa kilometer dan menjulang tinggi hingga 8 km. Hal ini mengindikasikan ada cell awan Cumulonimbus yang cukup kuat yang terdapat di Pasuruan bagian barat laut. Nilai reflektifitas pukul 07.42 bahwa evolusi bow echo menjadi hook echo masih bertahan namun nilai reflektifitas maksimum berkurang menjadi 55 dBz.

(9)

0,5 km 1 km 2 km

Gambar 9. Citra Radar CAPPI (V) overlay HWIND pukul 07.42 UTC

Berdasarkan pengolahan data radar dengan produk CAPPI (V) overlay HWIND menunjukkan bahwa pola mesocyclone

tergambar dengan adanya pertemuan dua couplet atau dua warna angin yang berbeda yaitu warna merah sebesar 15,07 m/s dan warna hijau yang mendekati radar sebesar -13.54 m/s.

Pertemuan dua couplet yang berbeda warna tersebut saling bertabrakan dan membentuk arah siklonik atau searah jarum jam. Pada daerah yang terdapat inflow atau arus masuk tersebut biasanya yang menyebabkan angin puting beliung (angin berputar). Dilihat dari horizontal wind arah angin berasal dari barat.

Gambar 10. Citra Radar CAPPI (dbz) dan SWI pukul 07.42 UTC CONVERGEN

(10)

Produk SWI pukul 07.12 pada wilayah Pasuruan terdapat arus divergen yang berarti arus menyebar pada wilayah tersebut sehingga belum ada indikasi kondisi labil pada wilayah Pasuruan. Sepuluh mneit kemudian, produk SWI menggambarkan pola divergen (segitiga yang saling bersinggungan ) dan terdapat storm

atau badai yang ditandai dengan garis merah Namun pada pukul 07.32 UTC produk SWI tergambar ada cluster awan badai yang mengelilingi wilayah Pasuruan bagian barat laut dan terjadi arus mengumpul pada waktu tersebut dan pukul 07.42 UTC pada produk SWI tergambar adanya cluster awan yang masih cukup besar yang dikelilingi oleh awan badai atau storm.

2. Kondisi Atmosfer pada saat Kejadian

Puting Beliung

a. Puting Beliung Bangkalan 12

November 2013

Data dari pengamatan udara atas (radiosonde) pada tanggal 12 November jam 00 UTC yang diambil dari Stasiun Meteorologi Juanda kemudian diolah menggunakan RAOB 5.7. Kondisi atmosfer pada saat itu jam 00 UTC adalah labil bersyarat yang dilihat dari lapisan permukaan hingga lapisan 500 mb. Pada lapisan 850 mb kondisi atmsfer labil berarti gisiran kuat.

Gambar 11. Diagram Skew – T log-P tanggal 12 Nov 2013 Jam 00 UTC

Berdasarkan analisis index stabilitas atmosfer, diperoleh nilai Showalter Index (SI) adalah -0,5 yang artinya terdapat kemungkinan

thunderstorm (TS). Nilai Lifted Index (LI) sebesar -5 yang artinya labil dan kemungkinan TS. Hal ini untuk menandai pada lapisan bawah. Sedangka SI untuk menandai stabilitas atmosfer pada lapisan atas. Nilai K- Index adalah 35.9 menunjukkan konvektivitas sedang. Potensi menimbulkan badai Guntur sebesar 60 % - 80 %. Nilai SWEAT adalah sebesar 183.6.

Nilai ini menunjukkan potensi tumbuhnya awan cumulus. Nilai CAPE (Convective Available Potential Energy) pada jam 00 UTC sebesar 1792 J/kg yang termasuk kriteria stabilitas konvektif sedang. Nilai tersebut cukup untuk mengakibatkan pertumbuhan awan konvektif secara

vertical. Dari index – index tersebut

mengindikasikan kondisi atmosfer yang

tidak stabil atau labil bersyarat dan

berpotensi cuaca buruk.

(11)

b. Puting Beliung Sidoarjo 9 Maret 2014

Gambar 12. Diagram Skew – T log-P tanggal 9 Maret 2014 Jam 00 UTC

Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde pada jam 00 UTC di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya dapat dilihat pada grafik skew-T log-P. Kondisi atmosfer pada saat itu labil bersyarat yang dihitung dari lapisan permukaan hingga lapisan 500 mb. Dimana lapisan 500 mb adalah lapisan pengendali. Data hasil pengamatan radiosonde yang diolah menggunakan software RAOB diperoleh nilai Showalter Index sebesar 0.7menunjukkan kriteria thunderstorm. Nilai Lifted Index (LI) sebesar -4.5 yang artinya kemungkinan badai TS bahkan tornado. Nilai K-Index (KI) yaitu 36.9. mengindikasikan kovektif sedang. Nilai SWEAT sebesar 195.2 berarti pertumbuhan awan cumulus. Nilai CAPE sebesar 1547 J/kg

berarti stabilitas konvektif sedang. Kondisi atmosfer yang dilihat pada jam 00 UTC tersebut megindikasikan labil bersyarat dan kemungkinan atau berpotensi cuaca buruk sehingga menyebabkan puting beliung.

c. Puting Beliung Pasuruan 26

November 2013

Data hasil pengamatan radiosonde pada tanggal 26 november 2013 pada jam 00 UTC di Stasiun Meteorologi Juanda menunjukkan bahwa kondisi atmosfer pada saat itu labil bersyarat. Dilihat dari lapisan permukaan sampai dengan lapisan 500 mb.

(12)

Gambar 12. Diagram Skew – T log-P tanggal 26 Nov 2013 Jam 00 UTC

Dari diagram skew –T log – P tanggal 26 november 2014 jam 00 UTC didapat nilai index- index stabilitas atmosfer. Nilai showalter index (SI) sebesar 0,2 yang artinya termasuk kriteria kemungkinan shower. Nilai Lifted Index sebesar -1.5 menunjukkan labil. Nilai K-index (KI) sebesar 36 yang berarti konvektifitas sedang. Nilai SWEAT sebesar 211.6 yaitu pertumbuhan awan cumulus. Nilai CAPE sebesar 592 J/kg menunjukkan stablitas konvektif kecil. Dari index stabilitas atmosfer tersebut menunjukkan bahwa kondisi atmosfer di sekitar Juanda pada tanggal kejadian puting beliung tanggal 26 november 2013 adalah labil bersayarat dan berpotensi cuaca buruk.

3. Pembahasan Kejadian Puting Beliung

a. Pembahasan Kejadian Puting Beliung

Bangkalan

Berdasarkan hasil analisis citra radar pada kejadian puting beliung di daerah Kebanjar, Bangkalan terlihat perkembangan awan-awan konvektif sebelum kejadian , saat dan setelah kejadian. Pertumbuhan awan dimulai sekitar pukul 04.02 UTC yang ditunjukkan dengan adanya awan cumulus dengan cluster kecil pada area sekitar wilayah Kebanjar dan pada beberapa menit setelah itu dengan cepat pertumbuhan awannya terdapat

awan cumulonimbus yang menjadi pemicu terjadinya angin puting beliung yang memporak porandakan daerah Kebanjar yang terlihat pada radar dengan nilai reflektifitas yang tinggi. Pukul 04.12 UTC terdapat awan konvektif menjulang tinggi hingga lapisan 6 km dan diketahui terdapat potensi badai serta arusnya konvergen. Awan konvektif tersebut semakin kuat pada pukul 04.22 UTC yang terdapat aktifitas awan cumulonimbus dengan energi yang cukup kuat hingga lapisan atas. Hal ini mengindikasikan adanya energi yang cukup kuat untuk memicu kejadian puting beliung. Dan terlihat pola bow echo sebagai karakteristik terjadinya puting beliung merujuk pada teori tornado genesis. Pola mesocyclone juga sudah mulai terlihat pada saat itu.Pada lapisan 0,5 km dan 1 km terlihat arah angin dari timur sedangkan dilapisan 2 km berubah dari barat, ini menandakan bahwa ada arus masuk (siklonik) dengan kecepatan 25 knot. Pukul 04.32 pola

mesocyclone terlihat dimana terdapat pertemuan dua couplet yang salling bertemu. Pola bow echo bertahan sampai pukul 04.32. Sehingga bisa disimpulkan kejadian puting beliung berpotensi besar pada jam 04.22 sampai dengan 04.32 UTC dengan pertumbuhan awan yang sangat cepat. Pertumbuhan awan CB dapat dilihat indikasi atau tanda tandanya meskipun hal tersebut tidak mudah. Pertumbuhan awan cumulus kecil kecil menuju pola bow echo

(13)

sangat cepat. Jadi kejadian puting beliung yang hanya terjadi kurang dari 10 menit ini bisa dibuktikan dengan melihat tanda – tanda yang terjadi pada radar. Kemudian pukul 04.42 UTC pola bow echo mulai luruh namun pertemuan nilai velocity dengan arah berlawanan masih terlihat. Sedangkan pola storm cell atau potensi badai masih terus terlihat dari pukul 04.12 hingga 04.52. Meskipun nilai reflektifitas menurun berkelanjutan. Pada pukul 04.52 seluruh awan cumulonimbus luruh hanya terlihat awan-awan cumulus dan awan menengah. Dari stabilitas atmosfer di Stasiun Meteorologi Juanda mengindikasikan kondisi atmosfer labil bersyarat dimana dapat dilihat dari index-index stabilitas atmosfer serta didukung dengan energi konvektif cukup untuk memicu tumbuhnya awan konvektif seperti cumulonimbus pemicu cuaca buruk seperti puting beliung.

b. Pembahasan Kejadian Putting Beliung

Sidoarjo

Hasil pengamatan menggunakan citra radar kejadian puting beliung di wilayah Sidoarjo dengan jarak 7 km dari radar Juanda ke tempat kejadian puting beliung menunjukkan bahwa pada jam 08.02 mulai mengindikasikan adanya pertumbuhan awan konvektif dengan reflektifitas tinggi atau sekitar 53 dBz yang datang dari arah selatan Sidoarjo menuju wilayah Sidoarjo. Namun 10 menit kemudian reflektifitas single cell tersebut pecah menjadi 2 cell dengan reflektifitas yang menurun. Potensi

badai terlihat dari pukul 08.12 UTC. Sehingga dapat memicu cuaca buruk.

Pada pukul 08.22 menunjukkan dua sel yang terpecah dengan reflektifitas maksimum 50 dBz dan berada dilapisan bawah saat dilakukan vertical cut pada produk CMAX Data

velocity tidak menunjukan adadnya

mesocyclone hanya didominasi oleh arah angin searah dan profil velocity warna hijau yang berarti mendekati radar dengan kecepatan 24 knot. Dari kedua data tersebut bisa diduga bahwa kejadian tersebut bukan puting beliung melainkan angin kencang lainnya yang disebabkan oleh awan cumulonimbus. Karena melihat pola angin searah namun kencang dan nilai reflektifitas tinggi berada dilapisan bawah. Mulai pukul 08.32 nilai reflektifitas menurun dan bow echo mulai punah. Pukul 09.02 inti cell pecah menjadi 2 bagian cell dengan reflektifitas tinggi kembali, hal ini bisa dipicu dengan keadaan atmosfer yang masih menyimpan energi untuk melakukan pemanasan. Nilai reflektifitas masing-masing 49 dBz dan 47 dBz. Kemudian reflektifitas turun drastis hingga pukul 09.32 hanya terlihat awan menengah dan awan cumulus kecil. Namun potensi badai terlihat hingga pukul 09.32 sehingga bisa diindikasikan bahwa daerah Sidoarjo berpotensi cuaca buruk.

Berdasarkan stabilitas atmosfer di Stasiun Meteorlogi Juanda yang letaknya tidak jauh

dari wilayah kejadian puting beliung

sehingga mengindikasikan wilayah tersebut

kondisi atmosfernya labil bersyarat yang

dilihat dari nilai index seperti

Showalter

index

,

Lifted index

,

K-index

, SWEAT dan

nilai CAPE.

(14)

c. Pembahasan Kejadian Puting Beliung

Pasuruan

Berdasarkan analisis puting beliung menggunakan citra radar Juanda dengan jarak 28 km dari daerah Pasuruan menunjukkan pada pukul 07.12 terdapat satu inti cell awan konvektif dengan reflektifitas 43 dBz bergerak menuju daerah Pasuruan. Sepuluh menit kemudian terlihat pada produk CMAX adanya pola bow echo yang menjadi karakteristik puting beliung namun tidak dijumpai pola

mesocyclone. Dari nilai velocity hanya didominasi warna merah yang berarti menjauhi radar. Pada pukul 07.32 pola bow echo

berevolusi menjadi hook echo yang terlihat seperti kait dimana potensi kejadian terlihat diujung kait dan terdapat potensi badai. Pola

hook echo masih bertahan hingga pukul 07.42 dan ditemukan adanya karakteristik

mesocyclone yaitu pertemuan dua couplet yang berlawanan arah sehingga menyebabkan rotasi atau ada arus masuk (inflow) pada daerah kait (hook). Pukul 07.52 angin secara horizontal masih kencang yaitu 15 sampai 20 knot. Pola

hook echo mulai punah pada pukul 08.02 tetapi reflektifitas masih diindikasikan sebagai awan konvektif dan terdapat potensi badai. Dua puluh menit kemudian awan konvektif mulai luruh dan bergerak ke arah timur mejauhi wilayah Pasuruan.

Hasil pengamatan melalui radiosonde pada tanggal 26 november 2013 di wilayah Pasuruan stabilitas konvektifnya kecil. Tetapi dari beberapa index stabilitas atmosfer seperti Showalter Index, K-index, Lifted Index dan SWEAT menunjukkan bahwa ada peluang

thunderstorm dan pertumbuhan awan konvektif. Jadi bisa dikatakan bahwa atmosfer di Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya dan sekitarnya labil bersyarat dan berpotensi terjadi cuaca buruk. Namun pada nilai CAPE pada jam 00 UTC cenderung kecil sehingga bisa dikatakan bahwa konveksi pada wilayah tersebut kecil dengan didukung oleh index-index lain dengan nilai yang tidak terlalu besar memicu kelabilan

atmosfer pada saat itu. Hal ini bisa dikarenakan awan CB yang terjadi pada wilayah Pasuruan tersebut bukan karena konveksi melainkan adveksi.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Analisis reflektifitas dengan produk CMAX diketahui bahwa dari ketiga kejadian puting beliung di wilayah Jawa Timur ada dua kejadian yang terlihat pola

bow echo atau hook echo yaitu puting beliung di Bangakalan dan Pasuruan. Dimana nilai reflektifitas maksimum yang berbeda-beda namun berkisar diatas 50 dBz yang diindikasikan sebagai awan cumulonimbus yaitu sebagai awan pemicu puting beliung

b. Data velocity dari ketiga kejadian hanya satu kejadian puting beliung yang tidak dijumpai atau tidak terlihat adanya

mesocyclone yaitu di wilayah Sidoarjo saja. Mengingat pola mesocyclone ini sangat jarang teramati apalagi dengan kasus yang skala lokasinyanya sangat sempit. Pada kejadian puting beliung di Sidoarjo ini kemungkinan besar adalah kejadian angin kencang lain yang disebabkan oleh awan

cumulonimbus (CB). Kecepatan angin rata – rata pada saat kejadian angin kencang maupun puting beliung berkisar antara 15 sampai dengan 30 knot.

c. Data radisonde yang ditunjukkan oleh index Showalter Index, K-Index, Lifted Index, SWEAT dan nilai CAPE dari ketiga kejadian menyebutkan

bahwa kondisi

atmosfer labil bersyarat sehingga dapat

memicu cuaca buruk yaitu puting

beliung dan angin kencang. Namun

kejadian putting beliung di wilayah

Pasuruan nilai CAPE tergolong kecil.

(15)

12

V. DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, A. S. 2013.

Mendeteksi Puting

Beliung dengan Radar (Studi Kasus

Puting

Beliung Sidrap tanggal 24

Februari 2012)

. Tugas Akhir DIII

AMG : Jakarta.

Ayudia, S. 2012.

Peringatan Dini Kejadian

Angin

Puting

Beliung

Dengan

Pemanfaatan Data Radar (Study

Kasus Puting Beliung di Sidoarjo 26

Desember 2012)

. Prosiding Final

Rasat 2013. BMKG : Jakarta

Fikroh, N. 2013.

Analisa Pola Angin Pada

Citra Radar saat Kejadian Puting

Beliung (Studi Kasus Pangkep, 12

Januari 2013)

. Tugas Akhir DIII.

AMG : Jakarta

Forbes, G. S,. dan R. M Wakimoto. 1983. “A

concetrated Outbreak of Tornadoes,

Downburts dan Microbusrt dan

Implicatons

Regarding

Vortex

Classification.” Mon. Wea. Rev., 111,

pp 220-235

Nugraheni, I. 2010. “

Kajian Kejadian Puting

Beliung di Sumatera Selatan dengan

Memanfaatkan Data Radar Cuaca

(Studi Kasus Januari 2013 - Maret

2014)

. Skripsi Diploma IV STMKG:

Jakarta

SELEX Sistem Integrati, 2009, Instruction Manual Rainbow®5 Products and Algoritms, Germany

Smith, R. 1996. Non-

Supercell

Tornadoes : A

Review for Forecaster.

NWSFO

Memphis

Rahmabudhi, S. 2014. “

Analisis Kondisi

Atmosfer Saat Kejadian

Puting

Beliung di Denpasar Selatan (Studi

Kasus tanggal 11 Desember 2013)”.

Tugas Akhir Diploma III AMG :

Jakarta

Tjasyono HK, Bayong, dan Herujono, Sri

Woro

B.

2007.

Meteorologi

Indonesia 2

”. BMKG: Jakarta

Wardoyo, E. 2012.

Modul Pelatihan Radar

Cuaca

. BMKG: Jakarta

Wirjohamidjojo,

S.

2007.

Praktik

Meteorologi Penerbangan

. Jakarta :

Badan Meteorologi dan Geofisika.

Zakir, A., Khotimah M.K., dan Sulistya, W.

2010 .

Prespektif Operasional Cuaca

Tropis

. Jakarta : Pusat Penelitian dan

Pengembangan BMKG

Gambar

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
Gambar 2.  Citra Radar CMAX (dBz) pukul 04.22 UTC
Gambar 4. Citra Radar CAPPI (dBz) overlay SWI pukul 04.22 UTC
Gambar 5. Citra Radar CMAX (dBz) pukul 08.22 UTC
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi ilmu-ilmu

• GPM adalah garis yang menjukkan semua kemungkinan kombinasi portofolio efisien yang terdiri dari aktiva berisiko dan aktva bebas risiko... Berapa besarnya harga pasar dari

Bahan-bahan yang digunakan ialah benih tomat varietas Betavila, media tanam steril, kompos, pupuk urea, fungisida, tanaman tomat yang terinfeksi layu bakteri di

sebaran (2) Terdapat perbedaan jumlah fasilitas kesehatan pada setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Barat Tahun 2015 (3) Diketahui bahwa 10

4.1.4.2 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan indikasi relatif Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah

Jadi dapat dirumuskan bahwa prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang dimiliki dan ditandai dengan perkembangan serta

kurstaki strain HD-7 (dipel WP) diuji di laboratorium terhadap lima strain lapangan larva Plutella xylostella (L.) yang berasal dari pusat pertanaman kubis di Lembang,

Ukuran efektivitas bauran pemasaran tentu meliputi produk, harga, distribusi, dan promosi yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk mencapai obyek pemasaran yang