• Tidak ada hasil yang ditemukan

teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "teori"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SISTEM SOSIAL-BUDAYA DALAM PERSPEKTIF TEORITIS

Oleh Dr. ARIFIN, M.Si. A. Ruang Lingkup Dan Tujuan Kajian

Ruang lingkup kajian tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis adalah menyangkut tentang: (a) fenomena sosial-budaya dalam perspektif teori sistem; (b) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fungsional struktural dan neo-fungsional; (c) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori konflik dan neo-Marxian; (d) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori interaksionis simbolik; (e) sistem sosial-budaya dalam perspektif teori fenomenologi; (f) sistem sosial budaya dalam perspektif teori posmodern; (g) sistem sosial budaya dalam perspektif teori integrasi; dan (h) kesimpulan.

Sedangkan tujuan pembahasan tentang sistem sosial-budaya dalam perspektif teoritis, antara lain: (1) diharapkan para mahasiswa, khususnya program studi ilmu-ilmu sosial dapat memahami beberapa alternatif wacana tentang fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi; (2) diharapkan para peneliti atau peminat studi ilmu-ilmu sosial, dapat memahami konsep-konsep dasar tentang fenomena sosial-budaya dalam perspektif: Teori sistem; Teori fungsional struktural dan neo-fungsional; Teori konflik dan neo-Marxian; Teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi; Teori posmodern; dan Teori integrasi, untuk kemudian dapat dijadikan sebagai theoritical orientation dalam melakukan analisis fenomena sosial dalam proses social research; dan (3) setelah memahami konsep-konsep dasar tentang teori-teori tersebut, diharapkan para mahasiswa, peneliti dan peminat studi ilmu-ilmu sosial dapat melakukan kajian lebih lanjut pada referensi-referensi ilmiah yang dianjurkan.

B. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Sistem

Pada bab I telah diuraikan tentang konsep ’aktifitas sosial dan kebudayaan sebagai suatu sistem’. Dan perlu ditegaskan kembali bahwa, ‘dalam memahami aktifitas kehidupan sosial dan kebudayaan seyogyanya menggunakan pendekatan integratif atau memandang bahwa aktifitas sosial-budaya merupakan suatu sistem, karena antar unsur-unsur sosial dan unsur-unsur kebudayaan dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya adalah saling mempengaruhi’, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) dalam realitas hidup sehari-hari, antar unsur-unsur sosial-budaya tersebut bersifat adaptif; (2) dalam praktik-praktik sosial sehari-hari

(2)

masing-masing unsur sosial-budaya saling berhubungan secara timbal balik; (3) perubahan pada satu unsur sosial atau unsur budaya akan mempengaruhi perubahan pada unsur sosial atau unsur budaya yang lain; dan (4) pada hakikatnya pola perilaku sosial atau budaya sehari-hari untuk memenuhi beragam kebutuhan hidup selalu menampilkan keterpaduan antar unsur-unsur sosial dan budaya (Koentjaraningrat, 1981; Soemardjan, S., 1981; Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).

Orientasi filosofis dari teori sistem sebenarnya adalah mengacu pada aliran positivisme yang dikembangkan oleh bapak sosiologi dunia August Comte. Comte dikenal sebagai pencetus nama atau istilah sosiologi untuk studi ilmu masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Wibisono, K., 1983). Sosiolog Graham C. Kinloch (2005) menyimpulkan beberapa asumsi pokok dari pandangan Comte tentang fenomena kehidupan sosial, antara lain: Pertama, bahwa alam semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak terlihat (invisible natural), sejalan dengan proses evolusi dan perkembangan alam pikiran atau nilai-nilai sosial yang berkembang dan dominan berlaku di masyarakat.

Kedua, bahwa proses evolusi itu terjadi melalui tiga tahap perkembangan, yaitu: (a) tahapan teologis, yaitu tahapan alam pikiran dan tindakan manusia yang selalu mencari akar sebab-sebab terjadinya sesuatu dari aspek supranatural (kekuatan gaib/ Tuhan); (b) tahapan metafisis, yaitu tahapan alam pikiran abstraksi-abstraksi yang dipersonifikasikan dan dilihat sebagai penyebab (kausal). Pada tahapan ini, alam pikiran manusia sudah mulai kitis tentang fenomena hidup, tetapi masih belum bisa melepas ikatan magis atau teologisnya; dan (c) tahapan positivistik, yaitu tahapan alam pikiran manusia rasional, atau tahapan positif/ ilmiah, dan sudah lepas dari ikatan magis. Tahap ini merupakan puncak evolusi kehidupan manusia, karena pada tahap ini terjadi puncak perkembangan ilmu pengetahuan (Wibisono, K., 1983).

Ketiga, bahwa sistem sosial sebagai suatu kesatuan berkembang melalui tiga tahap tersebut, dan puncaknya adalah tahap ke tiga (tahap positif). Tugas sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan positif adalah mengkaji dan memahami sistem sosial tersebut secara integral, agar mampu memberi kontribusi terhadap pemecahan masalah-masalah sosial; Keempat, bahwa sistem sosial terbagi menjadi dua hal, yaitu: (a) statistik sosial (social static), yaitu menyangkut sifat-sifat manusia dan masyarakat, serta hukum-hukum (nilai-nilai) yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial; dan (b) dinamika sosial (social dynamic), yaitu menyangkut hukum-hukum perubahan sosial (Rossides, 1978; Surbakti, R., 1997a).

Kelima, bahwa yang mendasari sistem itu adalah naluri kemanusiaan yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu: (a) naluri-naluri pelestarian (instincts of preservation) dalam hidup; (b) naluri-naluri perbaikan (instincts of improvement) dalam

(3)

hidup; dan (c) naluri sosial, misalnya kasih sayang, pemujaan dan cinta semesta. Jadi, menurut Comte, sistem sosial terdiri dari statis dan dinamis yang didasarkan pada seperangkat nilai sosial tertentu yang pada akhirnya ditemukan pada naluri kemanusiaan. Struktur-struktur sosial sebagai satu kesatuan (sistem) yang berkembang melalui tiga tahapan utama (teologis, metafisis, dan positivistis).

Pembahasan tentang teori sistem dalam mencermati fenomena sosial banyak dibahas dalam studi sosiologi. Ilmuwan sosial Jerman yang berjasa dalam melahirkan teori sistem adalah Nilas Luhmann, sedangkan ilmuwan sosial yang berjasa dalam mengembangkan atau mempopulerkan teori sistem adalah Kenneth Bailey dan Walter Buckley (Ritzer dan Goodman, 2003). Berikut ini akan dijelaskan sembilan konsep penting pandangan ‘teori sistem’ yang dikemukakan oleh para ahli (pendukung teori sistem) dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Pertama, teori sistem asal usulnya adalah dimunculkan atau diilhami dari ilmu-ilmu pasti (hard sciences) atau ilmu-ilmu-ilmu-ilmu alam (natural sciences). Jadi, menurut teori sistem, setiap peneliti yang ingin memahami fenomena sosial-budaya yang berkembang di masyarakat, logika berpikirnya atau metode dan pendekatan yang dipakai adalah sama seperti dalam memahami fenomena ilmu-ilmu alam (ilmu pasti). Oleh karena itu teori sistem oleh para teoritisi dikelompokkan pada teori yang berorientasi pada pandangan atau paham positivisme (Ritzer, ed. 2001). Dalam pandangan Tacott Parsons, bahwa kehidupan organisme (kehidupan biologis) merupakan contoh suatu sistem, dan kehidupan sosial juga dapat diibaratkan seperti suatu kehidupan organisme. Pada tingkat macro (besar), misalnya, masyarakat dunia (kemanusiaan) dapat dipandang sebagai sebuah sistem (terdiri dari beberapa negara, ras, dan prinsip/ hukum hak asasi manusia, dan sebagainya), pada tingkat mezo (menengah), misalnya, negara (state) atau bangsa (nation) dapat dipandang sebagai sebuah sistem, demikian juga pada tingkat micro (kecil), misalnya: satuan keluarga, satuan pendidikan, satuan perusahaan, ikatan pertemanan, dan segmen-segmen tertentu dapat dipandang sebagai sebuah sistem (Johnson, D.P. 1981).

Kedua, pendekatan teori sistem adalah memandang bahwa semua aspek atau unsur-unsur dalam sistem sosiokultural (sosial-budaya) adalah dari segi proses, khususnya sebagai jaringan informasi dan komunikasi. Oleh karena itu teori sistem secara inheren bersifat integratif, sedangkan bentuk integratif antar unsur sosial-budaya tersebut adalah bersifat menyatu dan umpan balik (feed back). Dinamika sosial-budaya yang terjadi di masyarakat akan mengarah pada terwujudnya keserasian fungsi antar unsur-unsur sosial-budaya dalam kehidupan kelompok (social and cultural integrations). Unsur-unsur sosial dalam kehidupan kelompok merupakan subsistem dari sistem dalam kelompok, demikian juga unsur-unsur budaya

(4)

merupakan subsistem budaya dalam kehidupan di masyarakat, masing-masing subsistem tersebut bersifat integratif (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Harper, C.L. 1989; Bachtiar, W. 2006).

Ketiga, teori sistem dalam memandang tentang ‘perubahan sosial’ adalah setiap perubahan yang tidak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan. Perubahan adakalanya hanya terjadi sebagian (pada subsistem) dan tidak menimbulkan akibat besar terhadap unsur-unsur lain dalam sistem. Kehidupan kelompok (macro, mezo atau micro) sebagai suatu sistem sifatnya sangat kompleks, tidak hanya berdimensi tunggal, melainkan merupakan kombinasi dari beberapa komponen, antara lain: (a) unsur pokok, misalnya: individu, tindakan individu; (b) hubungan antar unsur, misalnya: nilai-norma, status-peran, solidaritas, interaksi; (c) berfungsinya unsur dalam sistem, misalnya, pelaksanaan peranan individu berdasarkan nilai-norma; (d) pemeliharaan batas, misalnya: persyaratan menjadi anggota kelompok, kriteria menjadi anggota sistem dan sebagainya; (e) subsistem, misalnya: segmen, divisi khusus, jenis seksi; dan (f) lingkungan, misalnya, keadaan alam, kondisi geopolitik.

Menurut teori sistem, ada beberapa kemungkinan terjadinya perubahan sosial dalam suatu kelompok, antara lain: (a) perubahan komposisi anggota kelompok, misalnya, bertambah/ berkurangnya anggota; (b) perubahan struktur, misalnya: terjadi ketimpangan atau konflik, pergantian kekuasaan, hubungan kompetitif; (c) perubahan fungsi, misalnya, adanya spesialisasi jenis peran-peran dalam kelompok; (d) perubahan batas, misalnya: penggabungan antar subsistem, longgarnya syarat/ kriteria anggota; (e) perubahan hubungan antar subsistem, misalnya, munculnya dominasi aspek politik pada aspek ekonomi; dan (f) perubahan lingkungan, misalnya, bencana alam atau rusaknya lingkungan (ekologi) (Lauer, R.H. 1978; Sztompka, P. 1993).

Keempat, Menurut Buckley, bahwa sifat atau bentuk hubungan sistem dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) hubungan ‘sistem mekanik’, cirinya antara lain: (a) bersifat langsung dan otomatis atau ‘transfer energi’; (b) lebih bersifat tertutup; dan (c) cenderung bersifat entropik; (2) hubungan ‘sistem organik’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek dalam sistem tersebut sudah lebih menekankan aspek pertukaran informasi daripada aspek pertukaran energi; (b) lebih terbuka daripada sistem mekanik; dan (c) cenderung bersifat negentropik; dan (3) hubungan ‘sistem sosiokultural’, cirinya adalah: (a) hubungan antar aspek atau unsur dalam sistem tersebut adalah lebih menekankan pada pertukaran informasi; (b) sifatnya paling terbuka; (c) cenderung lebih banyak terjadi ketegangan dalam sistem, apabila dibandingkan pada sistem mekanik dan sistem organik; dan (d) bersifat purposif dan

(5)

mengejar tujuan karena sistem ini menerima umpan balik (feed back) dari lingkungan yang menyebabkan mereka terus bisa berubah untuk meraih tujuan.

Kelima, ada perbedaan teori sistem yang dikembangkan Buckley dengan teori sistem yang dikembangkan Parsons, antara lain: (1) menurut Buckley, faktor ‘umpan balik’ (feed back) adalah aspek yang esensial (mendasar) dalam ‘sistem sosiokultural’ atau pendekatan sibernetik (cybernetic), sedangkan menurut Parsons, faktor menjaga atau terwujudnya ‘keseimbangan’ (equilibrium) unsur-unsur dalam sistem adalah aspek yang esensial dalam memahami ‘teori sistem’; dan (2) Buckley, memandang peran subjek atau individu ikut mewarnai ‘sistem sosiokultural’, karena kesadaran (jiwa) individu tidak terpisahkan dari tindakan dan interaksi, atau antara ‘kesadaran’ dan ‘tindakan’ serta ‘interaksi’ bersifat integratif, sedangkan menurut Parsons kesadaran (jiwa) individu tidak menentukan tindakan dan interaksi sosial, yang menentukan struktur, atau struktur yang menentukan tindakan atau interaksi sosial seseorang (Abraham, F.M. 1982; Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Jadi, bagi Buckley, faktor internal (subjek) seseorang menentukan struktur dalam sistem, sedangkan bagi Parsons, faktor eksternal (struktur dari sistem) menentukan seseorang (subjek).

Keenam, beberapa prinsip atau konsep dasar ‘teori sistem sosiokultural’ Buckley adalah: (1) teoritisi sistem menerima ide bahwa ‘ketegangan’ dalam sistem adalah sesuatu yang normal, selalu hadir, dan merupakan realitas yang diperlukan dalam sistem sosial; (2) penekanan pada ketegangan dan variasi aktivitas dalam sistem membuat perspektif sistem sosial menjadi dinamis; (3) proses sosial didalam sistem sosial selalu terjadi ‘proses seleksi’ secara terbuka terhadap kemampuan individu atau antar individu, sehingga proses sosial dalam sistem lebih dinamis. Jadi, faktor kualitas individu atau kualitas internal individu menentukan proses sosial; (4) level interpersonal merupakan dasar pengembangan dari struktur yang lebih luas. Demikian juga proses transaksional dalam interpersonal, yang berupa pertukaran, negoisasi, dan tawar menawar (bargaining) adalah proses-proses yang melahirkan truktur sosial dan kultural yang lebih stabil; dan (5) melalui transaksi dan bargaining yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan penyesuaian dan akomodasi yang relatif stabil (Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003). Sedangkan menurut Parsons, setiap sistem mempunyai empat ‘fungsi memaksa’, artinya, setiap sistem harus menghadapi dan harus berhasil menyelesaikan masalah-masalah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola yang tersembunyi. Keempat fungsi memaksa tersebut diterapkan pada sistem tindakan, baik yang bersifat alamiah, kultur, kepribadian dan masyarakat (Hamilton, P. ,ed., 1990).

(6)

Ketujuh, teoritisi sistem dalam studi sosiologi yang mencoba mengkombinasikan antara teori fungsional struktural Parsons dengan teori sistem umum adalah Luhmann. Kritik Luhmann terhadap pandangan Parsons adalah: (1) pendekatan Parsons tidak memberikan tempat untuk ‘referensi diri’ (self reference), sedangkan menurut Luhmann ‘kemampuan masyarakat untuk merujuk pada dirinya sendiri adalah penting untuk memahaminya sebagai sebuh sistem’; dan (2) pendekatan Parsons tentang skema AGIL tidak memberi kemungkinan (contingency) adanya faktor-faktor lain yang ikut menentukan dalam suatu sistem sosial, sedangkan menurut Luhmann, bahwa segala sesuatu mungkin bisa memberikan pengaruh yang berbeda. Jadi, faktor eksternal (lingkungan fisik dan struktur sosial) bukan satu-satunya faktor yang menentukan gerak sistem, tetapi juga faktor internal (jiwa, motivasi, mentalitas) individu sebagai warga kelompok juga ikut menentukan gerak sistem (Hamilton, P. ,ed. 1990). Menurut Luhmann, suatu ‘sistem’ selalu kurang kompleks daripada ‘lingkungan’, namun sistem mengembangkan subsistem-subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antar subsistem-subsistem untuk mengatasi lingkungan secara efektif (Ritzer, ed, 2001).

Kedelapan, Luhmann mengembangkan teori sistem dengan istilah ‘sistem-sistem autopoietic’, beberapa karakteristik ‘‘sistem-sistem-‘sistem-sistem autopoietic’ Luhmann antara lain: (a) sebuah sistem autopoietic’ menghasilkan elemen-elemen dasar, misalnya sistem ekonomi modern menghasilkan elemen dasar ‘uang’; (b) sistem autopoietic’ mengorganisasikan diri (self organizing) dalam dua cara, yaitu mengorganisasi diri dengan membuat batas-batas diri dan mengorganisasikan struktur internalnya, misalnya sistem ekonomi dengan menetapkan harga barang tertentu atau peraturan tertentu; (c) sistem autopoietic’ adalah self referential, misalnya sistem ekonomi menggunakan harga sebagai cara untuk mengacu pada dirinya sendiri; dan (d) sebuah sistem autopoietic’ adalah sistem tertutup, artinya tidak ada kaitan antara sistem dengan lingkungan. Jadi, menurut Luhmann, ‘bahwa masyarakat adalah sistem autopoietic’, dimana masyarakat adalah: (a) menghasilkan elemen-elemen dasarnya, (b) membangun struktur dan batas-batasnya sendiri; (c) self reference; dan (d) tertutup’.

Elemen dasar dari masyarakat adalah ‘komunikasi’, dan komunikasi dihasilkan oleh masyarakat. Individu mempunyai makna atau relevansi dengan masyarakat apabila individu tersebut dapat berkomunikasi secara efektif dalam proses interaksi sosial di masyarakat. Menurut Luhmann, ada perbedaan antara konsep ‘sistem psikis’ dengan ‘sistem sosial’, yaitu: ‘sistem psikis’ adalah kesadaran individu, dan elemen-elemen dari ‘sistem psikis adalah representasi konseptual, sedangkan ‘sistem sosial’ adalah ‘makna (meaning) sosial/kolektif’, dan elemen-elemen dari ‘sistem

(7)

sosial’ adalah komunikasi (communication) . Jadi, dalam sistem psikis, makna dikaitkan dengan kesadaran, sedangkan dalam sistem sosial makna dikaitkan dengan komunikasi. Baik sistem psikis maupun sistem sosial adalah berevolusi secara bersama-sama.

Menurut Luhmann, dalam sistem sosial terdapat ’differensiasi’, dan dalam masyarakat modern proses differensiasi dalam sistem semakin kompleks, yang sering disebut ’differensiasi sistem fungsional’. Differensiasi adalah ’replika keberagaman dalam sistem’. Dalam sistem yang differensial terdapat dua lingkungan yaitu: lingkungan internal (pola yang khas didalam sub sistem), dan lingkungan eksternal (pola yang khas antar sub sistem). Ada beberapa bentuk differensial dalam sistem menurut Luhmann, yaitu: (a) differensial segmentasi, yaitu keberagaman dalam membagi bagian-bagian dari sistem berdasarkan jenis kebutuhan hidup; (b) differensiasi stratifikasi, yaitu keberagaman dalam sistem karena perbedaan status secara hirarkhis (vertikal); (c) differensiasi pusat-pinggiran, yaitu keberagaman dalam sistem yang didasarkan pada pembagian pusat (center) dan pinggiran (periphery); dan (d) differensiasi sistem fungsional, yaitu differensiasi yang paling kompleks yang banyak terjadi pada masyarakat modern, dan lebih bersifat fleksibel daripada differensiasi lainnya. Dalam differensiasi sistem fungsional, apabila terjadi perubahan pada sub-sistem akan begitu cepat mempengaruhi sub-sistem lainnya (Ritzer dan Goodman (2003).

Kesembilan, teoritikus Ritzer dan Goodman (2003) memberikan beberapa kritik terhadap teori sistem Luhmann, antara lain: (1) Luhmann, melihat bahwa keharusan perkembangan evolosioner sesungguhnya adalah regresif dan tidak mesti (unnecessary), hal ini tentu banyak bertentangan dengan realitas sosial di masyarakat yang terus berkembang (dinamik) dan terbuka (tidak tertutup seperti pandangan Luhmann); (2) Luhmann, melihat bahwa differensiasi adalah ’kunci’ untuk mendiskripsikan perkembangan (evolusi) masyarakat dan meningkatnya kompleksitas sistem sosial dalam menghadapi lingkungannya. Dalam realitas sosial di masyarakat tidak hanya faktor differensiasi yang menjadi kunci penyebab terjadinya perubahan evolusi di masyarakat, tetapi masih ada dua faktor lain yang ikut menentukan yaitu: de-differensiasi (proses memudarnya atau pembubaran batas-batas antar sub sistem sosial); dan interpenetrasi (proses pembentukan institusi untuk memperkuat hubungan sistem); (3) teori sistem Luhmann cenderung melihat proses-proses dalam sistem adalah antievolusioner, karena evolusi didefinisikan sebagai peningkatan differensiasi. Tampaknya teori sistem Luhmann terbatas kemampuannya untuk mendeskripsikan relasi antar subsistem dalam sistem sosial. Tidak semua sistem tampak tertutup dan otonom seperti yang diasumsikan Luhmann. Meskipun teori sistem Luhman ada

(8)

kelemahannya, namun konsep-konsep dasar dari teori sistem tersebut banyak sumbangannya dalam proses analisis fenomena sosial budaya di masyarakat.

Beberapa konsep pandangan teori sistem tentang fenomena sosial, yang telah diuraikan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem, memiliki unsur-unsur yang saling berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial itu berkembang sesuai dengan beragam kebutuhan yang mendasarinya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kebutuhan ekonomi; (3) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berdasarkan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; (4) memandang bahwa masyarakat diatur oleh hukum-hukum alam, dan unsur-unsur dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh serta berkembang terus melalui tahapan-tahapan untuk menuju masyarakat yang lebih positif dan industri; dan (5) bentuk perubahan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat adalah berlangsung secara evolusi.

C. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural dan Neo-Fungsional Struktural

Perspektif teori fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial budaya telah dikaji oleh para ahli antropologi dan sosiologi. Diantara para pendekar teori fungsional struktural dari disiplin antropologi antara lain: R. Brown, Malinowski, E. Durkheim, dan C. Kluckohn. Sedangkan para pendekar teori fungsional struktural dari disiplin sosiologi antara lain: Pitirim Sorokin, Talcott Parsons, Roebert K. Merton, dan Jeffrey C. Alexander (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W. 2006). Kajian berikut ini akan lebih menekankan pada pandangan para teoritisi sosiologi tentang teori fungsional struktural, sedangkan pandangan para antropolog tentang teori fungsional struktural tidak dibahas, hal ini bukan berarti pandangan para sosiolog berada pada posisi lebih penting atau lebih baik dari pandangan para antropolog.

Nenurut Robert Nisbet, ‘bahwa teori fungsional struktural adalah satu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad 20’. Meski hegeomoni teori fungsional struktural mendominasi dua dekade sesudah Perang Dunia II, pada era akhir abad 20 teori teori fungsional struktural mulai dikritik para ilmuwan sosial. Menurut Demerath dan Peterson, ‘bahwa teori fungsional struktural masih perlu dikembangkan, karena masih ada sisi kelemahannya’. Dari pandangan ini akhirnya muncul ‘teori neofungsionalisme’ (Ritzer dan Goodman, 2004).

Kajian berikut tentang teori fungsional struktural, lebih difokuskan pada lima permasalahan, antara lain: (1) Bagaimana pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (2) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-budaya?; (3) Bagaimana pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton

(9)

dalam memahami fenomena sosial-budaya?; dan (4) Bagaimana pandangan Neofungsionalisme Jeffey C. Alexander dalam memahami fenomena sosial-budaya?;

1.

Pandangan teori fungsional Pitirim Sorokin dan George Homans dalam

memahami fenomena sosial-budaya

Menurut para ahli, makna fungsional dalam kontek kehidupan sosial-budaya, adalah ‘unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya dalam suatu kehidupan kolektif saling berkontribusi, atau saling memberi pengaruh positif antar unsur untuk mewujudkan kehidupan kolektif yang integratif’. Oleh karena itu apabila unsur-unsur sosial atau unsur-unsur budaya tersebut dalam proses-proses sosial kolektif tidak saling memberikan pengaruh positif disebut ‘disfungsional’. Dalam pandangan para ahli teori fungsional, setiap kehidupan sosial dan kebudayaan mempunyai unsur-unsur, dan masing-masing unsur tersebut cenderung untuk saling kait-mengkait untuk menuju kearah keserasian fungsi dalam sebuah sistem, apabila keserasian fungsi antar unsur dalam suatu sistem tidak terjalin dengan baik, kehidupan kelompok tersebut mengalami konflik dan akan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial-budaya (Abraham, M.F, 1982; Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984).

Teori fungsionalis mempunyai pola atau kerangka berpikir yang sama dalam memahami fenomena sosial-budaya dengan teori organisme, bahkan ada sebagian ahli mengatakan, bahwa asumsi-asumsi teori fungsionalis tentang kehidupan sosial-budaya di masyarakat adalah bersumber pada pandangan teori organisme Toynbee, Sorokin dan Spengler, juga bersumber pada teori psikologi Gestalt (Bachtiar, W., 2006). Para ilmuwan sosial yang mendukung asumsi-asumsi teori fungsionalis antara lain: A. Toynbee; Pitirim Sorokin; Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; Malinowski. George Homans. Pada pembahasan berikut ini, hanya menguraikan beberapa pokok pikiran teori fungsionalis dari Pitirim Sorokin dan George Homans, tujuan dipilihnya dua teoritikus tersebut adalah karena pandangan kedua teoritikus tersebut cukup besar dalam perkembangan teori yang berparadigma fungsional, dan diharapkan para pembaca secara mandiri lebih terdorong untuk lebih memperdalam pandangan-pandangan teoritikus A. Toynbee; Spengler; Benedict; Florian Znanieeki; R. Brown; dan Malinowski.

Pandangan Pitirim Sorokin tentang fenomena sosial

Pandangan Sorokin tentang ‘hakikat realitas sosial’ (pokok-pokok persoalan sosiologi) mempunyai kesamaan dengan pandangan Comte. Diantara sisi kesamaan pandangan Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) keduanya memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis budaya; dan (b) keduanya menekankan betapa pentingnya peran ilmu pengetahuan (rasionalis) dalam memahami dunia dan segala bentuk pola organisasi sosial serta perilaku manusia.

(10)

Sedangkan perbedaan pandangan antara Comte dengan Sorokin, antara lain: (a) Comte mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat linear yang mengarah pada terbentuknya masyarakat positif, sedangkan Sorokin mengusulkan proses perubahan sosial-budaya bersifat siklus (tahap sejarah cenderung berulang); dan (b) Comte, dalam menilai kebenaran suatu fenomena hidup lebih menekankan pada aspek rasional (kebenaran inderawi), sedangkan Sorokin, menilai bahwa dalam menentukan kebenaran suatu fenomena tidak cukup hanya dari sudut kebenaran inderawi, tetapi juga dari sudut akal budi, dan intuisi atau kepercayaan (Johnson, D.P, 1986).

Beberapa pokok pikiran Sosiolog Pitirim Sorokin (lahir di Rusia, 1889) tentang fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, tentang integrasi sosial-budaya. Menurut Sorokin, bahwa kunci dalam memahami realitas sosial-budaya di masyarakat adalah harus memahami arti nilai, norma dan simbol yang berkembang di masyarakat. Dalam budaya terdapat unsur-unsur yang saling terkait, atau saling memberi kontribusi fungsional, atau saling bergantung (terintegrasi). Terwujudnya tingkat integrasi yang tinggi pada sistem sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat adalah apabila terdapat seperangkat ‘norma hukum’ yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku (pola perilaku) di masyarakat, atau dengan kata lain, bahwa tingkat budaya integrasi yang penuh arti logis (logico meaningfull) merupakan dasar terbentuknya integrasi sosial-budaya yang paling tinggi di masyarakat (Rossides, 1978).

Kedua, tentang perubahan budaya, bahwa pola perubahan sosial-budaya bersifat siklus (berulang), tetapi pengulangan itu menunjukkan pola-pola yang berubah (tidak tetap), atau sering disebut ‘berulang-berubah’ (varyingly recurrent). Sedangkan aspek budaya yang terulang adalah tema-tema budaya dasar. Dalam memahami tentang pola perubahan sosial-budaya, perlu menggunakan pendekatan ‘integralis’. Kebenaran realitas empirik atau data empirik tidak hanya ditentukan oleh satu kebenaran inderawi (seperti pandangan positivisme Comte), tetapi kebenaran itu harus bisa terbuktikan secara integralis dari tiga aspek, yaitu kebenaran inderawi, kebenaran akal budi dan kebenaran kepercayaan atau intuisi. Bagi Sorokin, suatu epistemologi yang komprehensif harus mengakui bahwa kenyataan (realitas) sosial-budaya adalah bersifat ‘multidimensional’ dan dapat ditangkap sebagiannya oleh inderawi, sebagiannya oleh akal budi dan sebagaiannya oleh kepercayaan atau intuisi.

Ketiga, tentang tipe-tipe mentalitas budaya. Sorokin menyebutkan ada tiga tipe mentalitas budaya (disebut ketiga supersistem sosio-budaya), dan beberapa tipe kecil yang merupakan bagian dari tiga tipe mentalitas budaya tersebut, yaitu: (1)

(11)

tipe kebudayaan ideasional. Tipe ini mempunyai asumsi bahwa realitas (kenyataan akhir) bersifat nonmateri, transenden, tidak bisa ditangkap oleh indera. Dunia ini tergantung pada Tuhan (transenden). Tipe kebudayaan ideasional, dibagi menjadi dua, yaitu: (a) kebudayan ideasional asketik, yaitu mentalitas yang menunjukkan ikatan yang kuat pada prinsip ‘manusia harus mengurangi kebutuhan material agar bisa lebih dekat pada dunia transenden’; dan (b) kebudayaan ideasional aktif, yaitu mengurangi kebutuhan inderawi, tetapi berusaha mengubah dunia material supaya selaras dengan dunia transenden; (2) kebudayaan inderawi (sensate culture), yaitu dunia materi merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Kebudayaan ini dibagi dua, yaitu: (a) kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong manusia untuk aktif/ sebanyak mungkin meraih pemenuhan kebutuhan materi/ kepuasan materi. Mental ini mendorong pertumbuhan iptek; (b) kebudyaan inderawi pasif. Kebudayaan ini menghasilkan hasrat yang berlebihan (memuja nafsu) atau budaya hedonisme; dan (c) kebudayaan inderawi sinis, yaitu memunculkan budaya munafik (hipokrit); dan (3) kebudayaan campuran, yang terdiri dari dua tipe, yaitu: (a) kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan yang merupakan campuran dari mentalitas ideasional (transenden) dan inderawi (material) secara seimbang. Antara transenden dan material saling mengisi/ berhubungan/ terintegrasi; (b) kebudayaan ideasional tiruan (pseudo ideational culture), artinya antara transenden dan material tidak terintegrasi tetapi saling berdampingan (Rossides, 1978; Johnson, D.P, 1986).

Keempat, tentang unsur budaya. Setiap kebudayaan hakikatnya mempunyai dasar-dasar budaya (unsur-unsur budaya), antara lain: (a) bahasa; (b) filsafat; (c) kepercayaan/ agama; (d) etika; (e) hukum; (f) politik; (g) ekonomi; (h) seni; (i) teknologi. Masing-masing dasar-dasar budaya tersebut saling kait mengkait dalam suatu kesatuan, yang disebut ‘supersistem budaya’. Menurut Sorokin, setiap kehidupan kelompok tidak akan bisa lepas dari nilai-budaya yang berkembang dalam kelompok, nilai-budaya tersebut berfungsi sebagai ikatan para anggota kelompok dalam mewujudkan integrasi kelompok (Rossides, 1978).

Kelima, tentang bentuk mobilitas sosial (social mobility). Dalam kehidupan masyarakat selalu terjadi mobilitas sosial. Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Ada dua bentuk mobilitas sosial, yaitu: (1) mobilitas vertikal, yaitu perpindahan status sosial yang dialami seseorang atau kelompok orang pada lapisan sosial yang berbeda. Mobilitas sosial ertikal, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) social climbing (perpindahan status naik), bisa berbentuk lapisan sosial seseorang atau kelompok naik lebih tinggi. Sedangkan penyebabnya, adalah: terjadinya peningkatan kualitas ketrampilan, keahlian atau prestasi karyanya, dan

(12)

adanya kekosongan kedudukan (alih generasi dalam jabatan); (b) social sinking (perpindahan status turun), bisa berbentuk status sosial seseorang turun, dan tidak dihargainya lagi kedudukan tertentu sebagai lapisan elit (misalnya jabatan direktur perusahaan yang bangkrut). Sedangkan penyebab social sinking adalah seseorang melakukan tindak pidana, dan sesorang memasuki masa purna tugas; (2) mobilitas horisontal, yaitu perpindahan status sosial seseorang atau kelompok orang dalam lapisan sosial yang sama (Surbakti, R., 1997a).

Meskipun sumbangsih pemikiran Sorokin dalam khasanah teori sosiologi cukup besar, ada beberapa titik kelemahan pandangan Sorokin, antara lain: (a) Sorokin terlalu menggeneralisasikan dan menyederhanakan fenomena sosial-budaya di setiap masyarakat, padahal fenomena sosial-sosial-budaya sangat kompleks dan unik, atau fenomena sosial-budaya banyak dipengaruhi oleh kondisi time and space); dan (b) analisis Sorokin mengenai kebudayaan lebih bersifat umum (makro), sehingga hasil analisisnya belum tentu bisa menjangkau atau mewakili kreasi budaya secara khusus (mikro) dari keseluruhan yang ada di masyarakat yang sifatnya sangat dinamik.

Pandangan George Homans tentang fenomena sosial

Beberapa pokok pikiran Sosiolog George Homans, tentang fenomena sosial budaya antara lain: Pertama, setiap kehidupan kelompok merupakan suatu sistem, dalam suatu sistem terdapat elemen-elemen yang saling kait-mengkait (fungsional). Elemen-elemen dalam suatu sistem (fungsional) dapat dianalisis dari aspek: (a) aktivitas anggota dalam kelompok; (b) interaksi antar anggota didalam kelompok, dan antar kelompok; (c) sentimen atau solidaritas terhadap kelompok; dan (d) norma yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dalam kehidupan kelompok yang sistemik. Semua elemen dalam sistem yang ada dalam kelompok membentuk piramida interaksi antar elemen (fungsional). Jadi, setiap elemen dalam sistem bersifat fungsional dalam proses perubahan-perubahan sosial-budaya.

Kedua, dalam sebuah sistem terdapat sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal memiliki lingkup tingkah laku individu dalam kelompok, sedangkan sistem eksternal adalah tingkah laku yang mewakili kelompok berkaitan dengan lingkungan, atau reaksi kelompok terhadap kondisi lingkungan. Hubungan antara berbagai elemen yang ada dalam kelompok merupakan sistem sosial yang mempengaruhi sistem internal. Menurut Homans, bahwa: (a) ketergantungan dalam hubungan timbal balik akan mempengaruhi perasaan seseorang. Jika, interaksi sosial antar dua pihak sering dilakukan akan memunculkan perasaan suka (positif) pada masing-masing pihak, demikian juga sebaliknya; (b) ketergantungan timbal balik antara perasaan dan aktivitas. Seseorang akan merasakan perasaan orang

(13)

lain melalui hubungan timbal balik, karena masing-masing pihak saling merasakan manfaatnya. Hal ini akan mempengaruhi semua aktivitas dalam sistem eksternal; dan (c) penyandaran sebagai hasil hubungan, seringnya berinteraksi dengan pihak lain merupakan wujud dari aktivitas dan perasaan individu. Jadi, setiap sistem memiliki bagian-bagian sistem (subsistem) baik bersifat internal maupun eksternal.

Ketiga, norma sosial merupakan bagian dari budaya terpenting (dasar) dalam sebuah kelompok sebagai suatu sistem. Setiap elemen/ anggota/ subsistem dalam proses aktivitas dan interaksinya berdasarkan norma sosial. Sistem internal dan sistem eksternal dalam proses aktivitas kelompok saling berkaitan, Homans mengistilahkan ‘pengaruh arus balik’. Jadi, semua aktivitas dalam sistem tersebut berdasarkan pada norma yang berlaku dalam kelompok.

Keempat, Homans berpendapat, ada elemen dasar dalam aktivitas kelompok sebagai sistem yang terintegrasi (fungsional), antara lain: (1) ketergantungan timbal balik dan sentimen, artinya seringnya hubungan timbal balik sesama anggota dalam kelompok, akan memperkuat perasaan pertemanan satu sama lain (kuatnya hubungan antar elemen); (2) perasaan dan aktivitas, artinya perasaan pertemanan yang kuat dalam kelompok sebagai suatu sistem akan diekspresikan melalui beragam aktivitas kerja dalam sistem; dan (3) aktivitas dan interaksi, artinya seseorang yang sering berinteraksi dengan orang lain melalui beragam aktivitas, tidak terbatas hanya pada orang yang sering berinteraksi, tetapi juga pada orang lain yang kurang berinteraksi (Bachtiar, W. 2006).

Kelima, bagi Homans, manusia dalam melakukan beragam tindakan di masyarakat didasarkan kepada rasionalitas. Setiap tindakan diperhitungkan nilai fungsinya, atau imbalannya atau pertukaran yang dia peroleh dari tindakan. Oleh karena itu G. Homans termasuk salah satu pendukung teori pertukaran. Proses pertukaran dalam kehidupan sosial (masyarakat) melibatkan aspek ‘kegiatan’, ‘interaksi’ dan ‘sentimen’ secara integral. Disintegrasi kelompok akan terjadi apabila proses pertukaran dalam kehidupan kelompok tidak terjadi dengan baik. Dalam proses pertukaran dalam kelompok, terjadi saling interaksi, pengaruh, penyesuaian, persaingan, pencarian penghargaan, keadilan, kedudukan dan inovasi-inovasi, untuk memperoleh keuntungan psikis dalam pertukaran imbalan dan hukuman yang terjadi dalam kehidupan kelompok. Menurut Homans, bahwa semua struktur sosial terbentuk dari proses pertukaran yang sama. Agar terjadi hubungan yang kuat antara proses pertukaran dasar dengan pola organisasi sosial yang bersifat kompleks, maka menurut Homans diperlukan proses ‘institusionalisasi’ (melembagakan atau menjadikan nilai-norma sebagai pola dalam organiasasi secara ajek) (Turner, J.H., 1982).

(14)

Meskipun analisis atau pandangan G. Homans tentang beragam fenomena sosial telah banyak pengaruhnya terhadap khasanah wacana teori-teori sosial, sosiolog dan teoritikus Tunner, J.H. (1992) memberikan beberapa analisis kritik terhadap beberapa sisi kelemahan sudut pandang Homans, antara lain: (a) pandangan Homans terlalu menekankan aspek positivistis dalam mencermati keterlibatan individu dalam proses-proses sosial, hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai pedoman dalam memahami fenomena sosial yang sangat dinamik dan kompleks; (b) konsep atau prinsip tentang ‘pertukaran’ sebagai unsur dasar dalam mewarnai setiap kegiatan kelompok atau organisasi kelompok memiliki banyak kelemahan, karena dalam realitasnya unsur pertukaran bukan satu-satunya unsur terpenting dalam ‘proses institusionalisasi’; dan (c) gagasan atau pandangan Homans tentang ‘konsep pertukaran’, memunculkan permasalahan metodologis dalam studi fenomena sosial di masyarakat.

Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman, bahwa paradigma organik (organisme) dan paradigma fungsionalis (fungsionalisme) mempunyai konsep pemahaman yang relatif sama dalam memandang tentang masyarakat, yaitu ‘bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan, atau masyarakat memiliki unsur-unsur atau elemen-elemen yang saling berhubungan’. Beberapa asumsi pokok pandangan paradigma organik dan fungsional tentang kehidupan sosial di masyarakat antara lain: (1) masyarakat adalah suatu sistem yang saling berhubungan dan bersifat organik; (2) sistem sosial ini berkembang sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendasarinya; (3) masyarakat mengalami perkembangan dari tradisional (non industrial) menuju masyarakat industri dan modern (bersifat evolusi); (4) struktur sosial terdiri atas struktur normatif masyarakat yang berlandaskan sistem pembagian kerja yang mengikutinya; dan (5) secara umum sistem sosial dibagi menjadi dua aspek, yaitu struktur sosial (masyarakat statis) dan perubahan sosial (masyarakat dinamik) (Kinloch, G. 205).

2.

Pandangan teori fungsional struktural Talcott Parsons dalam memahami fenomena sosial-budaya

Sebenarnya ilmuwan sosial yang terlibat dalam pengembangan teori fungsional struktural adalah cukup banyak, baik yang berlatar belakang kajian antropologi maupun sosiologi, misalnya: Levi Strauss; Emille Durkheim; R. Brown; Talcott Parsons; Robert K Merton; Walter Buckley; Amitai Etzioni, dan sebagainya. Dalam kajian berikut ini lebih menekankan pada pandangan-pandangan teori fungsional struktural versi Talcott Parsons dan versi Robert K Merton. Pemilihan dua pandangan teoritikus sosiologi tersebut bukan berarti penulis menempatkan Parsons dan Merton dalam posisi teoritikus fungsional struktural yang paling baik

(15)

dan sempurna. Uraian singkat tentang teori fungsional struktural dari versi Parsons dan Merton tersebut diharapkan bisa memotivasi para pembaca untuk lebih jauh memahami perspektif fungsional struktural dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Parsons lahir di Colorado, USA tahun 1902. Selama hidupnya dia membuat sejumlah besar karya teoritis. Ada perbedaan penting antara karya awal dan karya yang terakhirnya. Menurut Herry Priyono (2002), ada tiga tahap refleksi teoritik Parsons, antara lain: (1) Tahap pertama, ketika dia menyusun teori Tindakan Voluntaristik (1949); (2) Tahap kedua, ketika dia meninggalkan teori tindakan voluntaristik ke Teori Sistem (1951); dan Tahap ketiga, tahap terakhir ketika dia menerangkan Teori Fungsional Struktural pada evolusi masyarakat (1966).

Menurut Theodorson, dalam Raho, B. (2007), pengertian fungsionalisme struktural adalah ‘salah satu paham atau perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain’. Apabila terjadi perubahan pada unsur sosial-budaya pada salah satu bagian akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pada sistem, dan akhirnya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bagian yang lain. Kemudian asumsi dasar teori fungsional struktural adalah ‘bahwa semua elemen atau unsur kehidupan sosial-budaya dalam masyarakat harus berfungsi (fungsional) sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan fungsi dengan baik’. Kajian berikut ini, tentang teori fngsional struktural Parsons lebih banyak menitikbertakan pada konsep ‘Skema AGIL’ dan konsep ‘Fungsional Struktural’.

Skema AGIL dalam fungsional struktural Parsons

Konsep, skema Adaptation, Goal attainment, Integration, dan Latensi (AGIL). Menurut Parsons ada empat fungsi penting yang diperlukan dalam menganalisis semua sistem ‘tindakan’ manusia untuk pemeliharaan pola di masyarakat, yaitu: adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L). Setiap kehidupan kelompok agar tetap bertahan (survive), maka sistem sosial dalam kelompok itu harus memiliki empat fungsi yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu:

a.

Adaptation (menyesuaikan diri dengan lingkungan). Sebuah sistem (dalam suatu

kelompok) harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri kondisi lingkungan, dan dengan kebutuhan lingkungannya. Kemudian aspek ‘Organisme perilaku’ adalah merupakan sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi (menyesuaikan dan mengubah lingkungan eksternal) dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan yaitu ‘Sistem ekonomi’,

(16)

adalah merupakan subsistem yang melaksanakan fungsi masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan melalui: tenaga kerja, produksi, dan alokasi.

b.

Goal attainment (Pencapaian tujuan). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mendefinisikan tujuan dan upaya mencapai tujuan utamanya. Kemudian aspek ‘Sistem kepribadian’, adalah melaksanakan fungsi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam sistem, dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan utamanya. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Sistem pemerintahan’ (sistem politik), adalah melaksanakan fungsi pencapain tujuan dengan mengejar tujuan kemasyarakatan dan memobilisasi aktor (sumber daya manusia) untuk mencapai tujuan utama yang telah dirumuskan.

c.

Integration (Integrasi). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus mengatur hubungan antar bagian dalam sistem. Sistem juga harus mengelola hubungan ketiga fungsi lainnya (adaptation; goal attainment; latency). Kemudian aspk ‘Sistem sosial’, adalah menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan bidang kehidupan, yaitu ‘Komunitas kemasyarakatan’ (contoh, hukum, Undang-Undang atau seperangkat aturan), adalah akan menjalankan fungsi terbentuknya integrasi, atau mengkoordinasi beragam komponen masyarakat menuju terwujudnya integrasi sosial-budaya.

d.

Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem (dalam suatu kelompok) harus

memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, serta mendorong (memotivasi) individu atau pola kultural dalam kelompok untuk bertindak sesuai dengan nilai-norma (seperangkat aturan) yang berlaku. Kemudian aspek ‘Sistem kultural’, adalah melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang mendorong individu bertindak sesuai dengan nilai-norma. Sedangkan bidang ‘sistem fiduciari’ (contoh lembaga keluarga, sekolah, dan lembaga keagamaan), adalah menangani fungsi pemeliharaan pola (nilai-norma yang sudah menjadi etos/ pola hisup dalam kelompok) dengan menyebarkan nilai, norma pada aktor (individu) untuk ‘disosialisasikan, diinternalisasikan dan dienkulturasikan’ pada dirinya.

Setiap peneliti dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya di masyarakat, apabila menggunakan teori fungsionalisme struktural versi Parsons, seharusnya menggunakan skema AGIL sebagaimana yang tergambarkan pada gambar 2.1 pada halaman berikut, yang keempat aspeknya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain secara fungsional.

(17)

Sedangkan hubungan AGIL disetiap sistem tindakan dalam kehidupan kelompok, dapat digambarkan seperti dalam skema berikut:

Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL (Johnson D, 1986; Ritzer dan Goodman, 2004)

Konsep fungsional struktural Parsons

Untuk memahami skema AGIL tersebut, perlu dipahami beberapa pemikiran kunci dari Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’ secara integral. Sedangkan beberapa konsep kunci tentang teori fungsionalisme struktural Parsons antara lain:

a.

Sistem kultural, merupakan kekuatan utama yang mengikat berbagai sistem

tindakan individu dalam kelompok. Kultur mengatur interaksi antar aktor (individu), menginteraksikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial.

b.

Kultur, dipandang sebagai: (1) sistem simbol yang terpola (ajek/ sebagai etos), teratur yang menjadi sasaran orientasi para aktor; dan (2) aspek-aspek kepribadian yang sudah terinternalisasi dan pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu dalam kelompok agar sesuai dengan nilai-norma sosial-budaya. Individu tidak merdeka dalam bertindak, karena semua tindakan individu sudah ditentukan oleh kultur (budaya) (Surbakti, R., 1997a; Bachtiar, W., 2008).

c.

Kultur, dapat dipindahkan dari satu sistem ke sistem lain melalui penyebaran

(difusi) dan dipindahkan dari kepribadian satu ke sistem kepribadian lain melalui proses ‘pembelajaran budaya’, yaitu: proses internalisasi; proses sosialisasi; dan proses enkulturasi (Koentjaraningrat, 1989; Ritzer dan Goodman, 2004). Proses internalisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk membentuk pribadi (akhlak) yang baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses sosialisasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk

ADAPTATION - Organisme Perilaku - Sistem Ekonomi GOAL ATTAINMENT - Sistem Kepribadian - Sistem Pemerintahan (sistem politik) INTEGRATION - Sistem Sosial - Komunitas Kemasyarakatan (hukum, norma) LATENCY - Sistem Kultural - Sistem Fiduciari’ (lembaga keluarga, sekolah, agama)

(18)

berinteraksi sosial, berkomunikasi atau bergaul dalam kelompok dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Proses enkulturasi adalah ‘proses melatih diri sejak dini sampai meninggal untuk tanggap pada sistem kontrol, disiplin pada aturan dengan baik sesuai kultur yang berlaku’. Pada hakikatnya setiap manusia sepanjang hidupnya selalu dalam proses pembelajaran budaya (internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi), dan proses pembelajaran budaya tersebut ditentukan oleh kultur yang berlaku, bukan ditentukan oleh jiwa dan pikiran individu. Jadi, kultur (eksternal) menentukan pikiran dan jiwa (internal) seseorang.

d.

Sistem sosial, yaitu terdiri dari sejumlah aktor individual yang saling berinteraksi (hubungan timbal balik) dalam situasi yang mempunyai aspek lingkungan (fisik). Aktor (individu) mempunyai motivasi untuk ‘mengoptimalkan kepuasan’, yang berhubungan dengan situasi lingkungan mereka, yang didifinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol yang terstruktur secara kultural.

e.

Konsep kunci ‘sistem sosial’ menurut Parsons adalah: (a) aktor; (b) interaksi; (c) lingkungan; (c) optimalisasi; (d) kepuasan; dan (e) kultur. Meski Parsons melihat sistem sosial sebagai interaksi (hubungan timbal balik), tetapi dia tidak menggunakan interaksi sebagai unit fundamental dalam studi tentang sistem sosial. Dia menggunakan ‘status-peran’ sebagai unit dasar dari sistem sosial. Status adalah menyangkut posisi struktural individu dalam sistem sosial (kelompok), sedangkan peran (role) adalah apa yang harus dilakukan individu dalam posisinya. ‘Aktor’ dalam pandangan Parsons, bukan dilihat dari sudut pikiran, ide, keyakinan dan tindakan sehari-hari individu (seperti dalam teori berparadigma definisi sosial, yaitu teori intraksionisme simbolik), tetapi ‘aktor’ dilihat sebagai ‘kumpulan dari beberapa status dan peran yang terpola oleh struktur dalam sistem sosial-budaya’. Jadi individu ter-determinasi oleh aktor eksternal, atau individu ditentukan oleh struktur sosial-budaya (Rossides, 1978.

f.

Ada tujuh persyaratan fungsional dari ‘sistem sosial’ menurut Parsons, yaitu: (1)

sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya (antar sub sistem); (2) untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain; (3) sistem sosial harus mampu memenuhi kebutuhan para aktornya dalam proporsi yang signifikan; (4) sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya; (5) sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu; (6) apabila dalam sistem terjadi konflik hal itu akan menimbulkan kekacauan, oleh karena itu harus dikendalikan; dan (7) untuk kelangsungan hidupnya, sistem

(19)

sosial memerlukan bahasa (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Disini menunjukkan analisis sistem Parsons bersifat makro, bukan mikro.

g.

Inti pemikiran Parsons ada dalam empat sistem tindakan, yaitu: (1) sistem kultural; (2) sistem sosial; (3) sistem kepribadian; dan (4) organisme perilaku, yang keempatnya terkait dengan skema AGIL, sebagaimana diuraikan di atas.

h.

Ada tujuh asumsi dasar Parsons tentang ‘fungsionalisme struktural’, yaitu: (1)

sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung; (2) sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan; (3) sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur; (4) sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain; (5) sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya; (6) alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memelihara keseimbangan sistem; dan (7) sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam (Ritzer dan Goodman, 2004). Ketujuh asumsi inilah yang menempatkan analisis struktur keteraturan masyarakat sebagai prioritas utama teori fungsionalisme struktural Parsons.

i.

Aktor (individu) dan sistem sosial. Mengenai hal ini Parsons berpandangan: (1)

antara aktor dan struktur sosial mempunyai hubungan sangat erat; (2) persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai di dalam sistem adalah proses internalisasi dan sosialisasi; (3) dalam proses sosialisasi, nilai dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’ aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan; (4) aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi. Sosialisasi dikonseptualisasikan sebagai proses konservatif (sebagian besar kebutuhan dibentuk oleh masyarakat). Norma dan nilai yang dipelajari sejak kecil cenderung tidak berubah, dan cenderung berlaku sampai tua; (5) perhatian Parsons lebih tertuju kepada sistem sebagai satu kesatuan ketimbang pada aktor (individu) di dalam sistem. Dalam fungsionalisme struktural Parsons, adalah, bagaimana cara sistem mengontrol atau mengendalikan aktor (individu), bukan mempelajari bagaimana cara aktor menciptakan dan memelihara sistem (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990).

j.

Bagaimana ‘sistem sosial’ menghadapi realitas pribadi individu yang beragam agar tidak terjadi problem?. Parsons mengemukakan pendapat, yaitu: (1) dalam sistem sosial harus ada mekanisme pengendalian sosial yang dilakukan dengan

(20)

baik (hemat); (2) sistem sosial harus mampu menghormati perbedaan (differensial), bahkan penyimpangan tertentu (sistem sosial harus lentur atau flexible); (3) sistem sosial harus menyediakan berbagai jenis peluang bagi aktor untuk berperan, yang memungkinkan terjadinya perwujudan beragam kepribadian di masyarakat tanpa mengancam integrasi dalam masyarakat (kelompok).

k.

Masyarakat. Menurut Parsons masyarakat merupakan salah satu ‘sistem sosial khusus’, karena kolektif ini relatif mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Parsons membedakan antara empat struktur atau subsistem dalam masyarakat menurut fungsi (AGIL) yang dilaksanakan masyarakat, antara lain: (1) subsistem ekonomi (dalam Adaptation); (2) subsistem pemerintahan (dalam Goal attainment); (3) sistem komunitas kemasyarakatan (dalam Integration); dan (4) subsistem fiduciari (dalam Latency), lihat bagan di atas.

l.

‘Sistem kepribadian’. Pandangan Parsons tentang sistem kepribadian (personalitas) adalah: (1) personalitas diartikan sebagai sistem orientasi dan motivasi tindakan aktor individual yang terorganisir dengan baik. Komponen dasarnya adalah ‘disposisi dan kebutuhan’. Disposisi kebutuhan merupakan ‘unit-unit motivasi tindakan individu yang paling penting’; (2) ada tiga tipe dasar disposisi kebutuhan, yaitu: (a) memaksa aktor mencari cinta, persetujuan, dan sejenisnya, dari hubungan sosial mereka; (b) meliputi internalisasi nilai yang menyebabkan aktor mengamati berbagai standar nilai-norma dalam kultural; dan (c) adanya peran yang diharapkan yang menyebabkan aktor memberikan dan menerima respon yang tepat; dan (3) hubungan sistem kepribadian dengan sistem sosial adalah: (a) aktor harus belajar melihat dirinya sendiri (kepribadian) sesuai dengan nilai-norma yang berlaku di masyarakat (sistem sosial); dan (b) peran yang diharapkan untuk dilakukan individu, terkait erat dengan status (kedudukan) yang dimiliki oleh aktor di masyarakat. Berdasarkan ketiga konsep tersebut dapat dipahami, bahwa dalam fungsionalisme struktural Parsons, menempatkan citra aktor dalam aktivitas sosial dalam posisi sangat pasif, dipaksa oleh dorongan hati dan didominasi oleh kultur atau gabungan dorongan hati dan kultur (disposisi-kebutuhan) (Craib, 1984; Hamilton, 1990; Ritzer dan Goodman, 2004).

m. Konsep perubahan sosial. Pandangan Parsons tentang proses perubahan sosial di masyarakat adalah berlangsung secara evolusioner. Menurut Parsons, ada tiga komponen paradigma proses perubahan sosial secara evolusioner, yaitu: (1) ‘proses diferensiasi’, artinya: setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang beragam strukturnya dan fungsionalnya; (2) proses diferensiasi

(21)

menimbulkan ‘sekumpulan masalah integrasi baru’ bagi masyarakat (masing-masing subsistem mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri secara meningkat dan berkualitas). Masyarakat akan berevolusi dari sistem yang bersifat ascription (atas dasar kelahiran) ke sistem yang berdasarkan achievement (atas dasar prestasi/ keahlian); dan (3) ‘sistem nilai dasar’, artinya semakin maju masyarakat semakin beragam nilai-norma yang dianut. Oleh karena itu diperlukan sistem nilai dasar (umum /pokok /ide dasar) yang lebih tinggi untuk melegitimasi atau sebagai pandangan hidup (way of life) bagi beragam norma, tujuan dan fungsi yang ada pada subsistem masyarakat (Soekanto, S dan Ratih, L. 1988).

n. Parsons, menilai masyarakat akan berevolusi dalam tiga tahap, yaitu: (1) masyarakat primitif; (2) masyarakat lanjutan; dan (3) masyarakat modern. Dia membedakan tiga tahap ini berdasarkan dimensi kultural (Abraham, 1982; Craib, 1984; Hamilton, 1990). Jadi, pandangan Parsons tentang perubahan sosial-budaya adalah: (1) proses perubahan sosial yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial, apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga keseimbangan dalam sistem; (2) proses diferensiasi struktural akan menimbulkan perubahan baru di dalam subsistem, tetapi tidak mengubah struktur sistem sosial-budaya secara keseluruhan. Nilai-nilai pokok dianggap tetap tidak berubah; (3) perubahan evolusi masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju keseimbangan hidup; dan (4) apabila terjadi perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting), hal ini akan mempengaruhi perubahan unit-unit lain dalam sistem (Appelbaum, R.P. 1970; Harper, C.L. 1989; Lauer, 1993) atau perubahan revolusi.

Parsons (1966) mengembangkan teori perubahan sosial yang dibedakan menjadi tiga macam perubahan yaitu: (1) perubahan ke arah sistem perbaikan (mempertahankan sistem), yakni memperbaiki pola utama ‘equilibrium’. Ini dianggap perubahan yang sesuangguhnya (namun pola perubahan ini masih statis); (2) perubahan dalam arti sebagai makna perbaikan unit-unit perbedaan, sub sistem kedalam pola fungsional secara khusus atau saling ketergantungan (perubahan koordinasi aktivitasnya dan fungsi-fungsinya); dan (3) perubahan ‘adaptive apgrading’, artinya sistem sosial menjadi sangat efektif dalam generasi dan distribusi sumber, sehingga meningkatkan survivalnya (Harper, 1989; Lauer, 1993).

Meskipun pandangan Parsons tentang teori fungsional struktural, telah dianggap sangat penting bagi setiap ilmuwan sosial dalam melakukan analisis

(22)

fenomena sosial, masih ada sisi kelemahan sebagai kritik dari teori fungsional struktural Parsons, antara lain

Pertama, kritik substantif (krtik utama), antara lain: (a) teori fungsional struktural tidak berkaitan dengan sejarah (bersifat ahistoris), lebih memusatkan pada masyarakat kontemporer maupun masyarakat abstrak, atau teori fungsional struktural tidak mampu menjelaskan peristiwa masa lalu; (b) teori fungsional struktural dianggap tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial secara efektif pada masa kini, atau teori fungsional structural lebih senang menjelaskan struktur sosial statis daripada proses perubahan itu sendiri (yang dinamis); (c) teori fungsional struktural tidak mampu menjelaskan fenomena konflik secara efektif, hal ini karena teori fungsional struktural terlalu menekankan aspek keharmonisan antar unsur;, dan cenderung melihat konflik sebagai sesuatu yang bersifat merusak dan terjadi di luar kerangka kehidupan masyarakat; (d) teori fungsional struktural cenderung memusatkan perhatian pada masalah kultural, norma, dan nilai. Individu dipandang sebagai dipaksa oleh kekuatan kultural dan sosial (faktor eksternal), atau individu dianggap tidak merdeka dalam menentukan jalan hidup; dan (e) teori fungsional struktural dalam praktiknya banyak digunakan untuk mendukung status quo dan elite dominan (Coser, L. and Rosenberg, B. 1969; Turner, J.H. 1982).

Kedua, kritik logika dan metodologi, menurut Mills, Abrahamson dan Cohen, antara lain: (a) teori fungsional struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna ganda (yaitu lebih memilih sistem sosial abstrak daripada masyarakat nyata); (b) teori fungsional struktural termasuk teori yang lebih bersifat umum (abstrak), padahal dalam melakukan analisa fenomena sosial akan lebih baik memakai ‘teori middle range’, spesifik yang lebih historis (Merton); (c) pada dasarnya belum ada metode yang memadai untuk mengkaji persoalan fenomena social dengan menggunakan kerangka berpikir fungsional struktural; (d) teori fungsional struktural membuat analisis konservatif dan sulit, sebab analisis fungsional structural hanya cocok bagi kondisi sistem yang sama, sedangkan sistem yang beragam sangat sulit; (e) logika teori fungsional struktural bersifat tautologi. Argumentasi Tautologi adalah argumen yang konklusinya semata-mata menegaskan apa-apa yang terkandung di dalam premis. Jadi, dinyatakan bahwa sistem sosial ditentukan oleh hubungan antar bagian dalam sistem dan bagian dalam sistem ditentukan oleh tempatnya dalam sistem sosial yang lebih luas; (f) teori fungsional struktural dianggap terlalu teleologis (seolah-olah benar secara logika, tetapi tidak selalu benar secara empiris); (g) teori fungsional struktural terlalu banyak mengadopsi dari ahli fungsional struktural antropologi, yang tentu kurang cocok untuk analisis masyarakat modern (Ritzer dan Goodman, 2004).

(23)

Dari kedua konsep tentang kelemahan (kritik) terhadap teori fungsional struktural Parsons tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (a) penerapan prinsip-prinsip biologis (hukum organism) pada kehidupan masyarakat memang menimbulkan berbagai persoalan atau mempunyai banyak titik kelemahan; (b) anggapan bahwa persoalan masyarakat merupakan elemen integral dan homeostatik yang kurang menekankan problem kekuasaan, memunculkan tuduhan bahwa pandangan Parsons bersifat elitis dan konservatif; (c) konsep struktur fungsionalisme Parsons bersifat statis dan tidak berkembang atau banyak sisi kelemahannya apabila digunakan untuk melakukan analisis masyarakat sekarang yang sangat dinamik, dan kompleks; (d) penilaian Parsons, bahwa masyarakat Barat merupakan bentuk masyarakat modern, dapat menimbulkan ethnosentrisme; dan (e) metode ‘deduksi historis’ yang didasarkan pada analogi biologi, tentu banyak titik kelemahan apabila diterapkan dalam realitas sosial-budaya yang unik, dinamik dan kompleks.

Reaksi para pengikut fungsionalis struktural terhadap kritik di atas antara lain: (1) teori fungsional struktural tidak seluruhnya bersifat statis equilibrium (Parsons), tetapi ada juga yang bersifat dinamis (Merton); (2) teori fungsional struktural juga mengakui adanya struktural konflik dan konflik internal di dalam struktur, namun perubahan yang terjadi itu hanya bersifat evolusi (bukan revolusi) (contoh, Aliran neo evolusi perspektif Merton); dan (3) Neo evolusi perspektif Merton, melihat bahwa equilibrium dari statis mengarah ke equilibrium dinamis (melihat masyarakat relatif kompleks, sehingga terbuka untuk berubah).

3.

Pandangan teori fungsional struktural Robert K. Merton dalam memahami fenomena sosial-budaya

Merton adalah murid Parsons, tetapi dia juga mengecam beberapa aspek fungsionalisme struktural Parsons. Langkah atau pandangan Merton ini lebih membantu para peneliti sosial dalam menggunakan teori fungsional struktural untuk memahami beragam fenomena sosial-budaya di masyarakat. Ada beberapa perbedaan antara fungsionalisme struktural (FS) Parsons dengan Merton, antara lain: (1) FS Parsons merupakan penciptaan teori-teori besar (Grand theory) dan luas cakupannya, sedangan FS Merton menyukai teori yang terbatas, teori tingkat menengah (Middle range theory); dan (2) FS Merton lebih menyukai teori Marxian (fungsionalisme struktural lebih ke kiri secara politis), sedangkan FS Parsons tidak (Ritzer dan Goodman, 2004).

Berikut ini merupakan beberapa pokok pikiran R.K. Merton berkaitan dengan teori fungsionalisme strukturalnya dalam memahami fenomena sosial di masyarakat, antara lain:

(24)

Pertama, Merton mengkritik tiga postulat dasar analisis struktural yang dikembangkan oleh antropolog Malinowski dan Radcliffe Bron, antara lain: (1) postulat, ‘bahwa semua keyakinan dan praktik sosial-budaya yang sudah baku adalah fungsional untuk kehidupan individu dan masyarakat’. Hal ini telah terjadi integrasi tingkat tinggi. Postulat ini bagi Merton hanya berlaku bagi masyarakat primitif atau masyarakat terisolir dengan jumlah komunitas yang kecil, tetapi tidak cocok bagi masyarakat modern yang sangat dinamik dan kompleks; (2) postulat, ‘fungsionalisme universal’, artinya, bahwa seluruh bentuk sosial, kultur (budaya), dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif (mengikat dan memaksa). Bagi Merton, tidak setiap struktur, adat, gagasan, kepercayaan mempunyai fungsi positif, terlebih dalam masyarakat yang kompleks atau modern yang multikultural dijumpai beragam struktur; dan (3) postulat, tentang ‘indispensability’, artinya semua struktur yang baku tersebut secara fungsional adalah penting untuk masyarakat. Bagi Merton, dalam hidup sosial-budaya perlu ada beragam alternatif struktur dan fungsional dalam masyarakat, terutama pada masyarakat modern yang sangat kompleks (Abraham, F.M. 1982; Surbakti, R. 1997a).

Kedua, sasaran studi struktural fungsional menurut Merton adalah: peran sosial, pola institusional, proses sosial, pola budaya, emosi yang terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial, perlengkapan untuk pengendalian sosial dan sebagainya. Dan perhatian analisis struktur fungsional seharusnya lebih memusatkan pada ’fungsi sosial’ daripada pada ‘motif individual’. Fungsi bagi Merton didefinisikan sebagai ‘konsekwensi-konsekwensi yang dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu’ (Johnson, D.P. 1981; Raho, B. 2007).

Ketiga, beberapa konsep penting Merton tentang: disfungsi; nonfunctions; net balance; dan manifest, antara lain: (1) konsep disfungsi, menurut Merton, sistem sosial, struktur, atau institusi dapat menimbulkan akibat positif dan juga negatif (disfungsi) dalam sistem sosial. Contoh, sistem perbudakan di Amerika Serikat akan menimbulkan disfungsi tatanan kehidupan politik (adanya rasdiskriminasi); (2) konsep nonfunctions, yang didefinisikan sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan, artinya bentuk tindakan sosial lama (kuno) yang tetap ‘bertahan hidup’ dan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan masyarakat sekarang; (3) konsep net balance (keseimbangan bersih), artinya setiap peneliti dalam melakukan analisis sosial harus mampu mengembangkan pertanyaan pada ‘tingkatan analisis fungsional’, dengan menimbang, membandingkan, menjumlah fungsi positif dan disfungsinya, misalnya: sistem perbudakan mungkin lebih fungsional bagi unit sosial tertentu

Gambar

Gambar 2.1 tentang hubungan timbal balik skema AGIL (Johnson D, 1986; Ritzer  dan Goodman, 2004)
Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori Konflik:
Gambar : 2.2  Tentang Hubungan dialektik Integrasi mikro-makro Ritzer  (diadopsi dari  Ritzer, 2002)
Gambar   2.4.   Tentang   garis   kontinum   Objektif-Subjektif,  diadopsi   dari   Ritzer   dan  Goodman (2003)

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok PPL di lokasi tersebut terdiri dari 17 mahasiswa, 2 Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, 2 Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, 2 Program

Analisis Faktor Budaya Akademik Dan Gaya Hidup Pada Pemilik Handphone Blackberry (Studi pada Perilaku Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas

Analisis Faktor Budaya Akademik Dan Gaya Hidup Pada Pemilik Handphone Blackberry (Studi pada Perilaku Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas

Ahmad Alfian Dzulfikar; 060910202193, mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Niaga, Jurusan Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember.

Runa, I Wayan, 2004, Sistem Spatial Desa Pegunungan di Bali dalam Perspektif Sosial Budaya, Disertasi pada Program Studi Teknik Arsitektur dan Perencanaan

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu psikologi dan psikologi sosial , khususnya mengenai culture shock mahasiswa Malaysia di Medan.

Oleh: Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Ponorogo Abstrak Tujuan dari program kewirausahaan mahasiswa adalah untuk menumbuhkan motivasi mahasiswa

Evaluasi Karya Tulis Skripsi untuk Ilmu Sejarah EVALUASI KARYA TULIS SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS AIRLANGGA JUDUL SKRIPSI : Nama mahasiswa :