• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik

Dalam dokumen teori (Halaman 47-56)

Uraian tersebut di atas (teori sistem; teori fungsional struktural dan neo-fungsional; teori konflik dan neo-Marxian) merupakan teori-teori yang tergolong pada paradigma fakta sosial dan berorientasi pada paham positivisme, atau naturalisme, atau saintisme (Poloma, M. M. 1979; Ritzer, G. 1980), atau teori-teori yang tergolong pada paradigma fungsional dan paradigma struktural radikal. Sedangkan teori interaksionis simbolik dan teori fenomenologi termasuk teori yang berparadigma definisi sosial dan berorientasi pada paham idealisme, atau konstruktivisme. Atau teori yang berparadigma humanis radikal dan paradigma interpretif (Burrell, G. and Morgan, G. 1994). Ditinjau dari segi orientasi filosofis, maka teori interaksionis simbolik adalah berlandaskan pada aliran filsafat pragmatisme. Sedangkan pokok-pokok pandangan aliran filsafat pragmatisme antara lain: (1) realitas yang sejati itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan (individu) ketika individu itu berpikir dan bertindak di dan terhadap dunia; (2) bahwa manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti bermanfaat bagi mereka; (3) manusia mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan manfaatnya bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari; dan (4) apabila

individu ingin memahami orang lain yang melakukan tindakan (aktor), maka individu yang memahami tersebut harus mendasarkan pemahamana itu pada apa yang sebenarnya dilakukan / dipikirkan oleh orang lain (Kattsoff, L.O., 1996; Mulyana, D., 2002).

Teori interaksionis simbolik juga telah mengilhami perkembagan teori-teori lain yang berbasis paradigma definisi sosial, antara lain: (a) teori penamaan/ label (labeling theory) tentang terjadinya perilaku menyimpang; (2) teori dramaturgi oleh Erving Goffman; dan (3) teori etnometodologi oleh Harold Garfinkel. Jadi, ketiga teori tersebut dapat dianggap sebagai varian-varian teori interaksionis simbolik. Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar tentang pandangan teori interaksionis simbolik dalam memahami fenomena sosial-budaya di masyarakat.

Pandangan teori Interaksionis Simbolik tentang fenomena sosial-budaya

Menurut para ahli tokoh-tokoh yang mengembangkan teori interaksionis simbolik antara lain: Horton Cooley; John Dewey; William I. Thomas; Herbert Mead; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan-pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena kedua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik. Perspektif teori interaksionis simbolik H.Mead dan Blumer sebenarnya berada di bawah payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma ‘definisi sosial’ (Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Pandangan teori interaksionis simbolik oleh para ahli juga sering disebut sebagai teori sosial yang tergolong dalam ‘perspektif interpretif’ dan berorientasi pada ‘filsafat pragmatisme’ (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Teori interaksionis simbolik George Herbert Mead

Herbert Mead adalah pemikir terpenting dalam sejarah teori interaksionis simbolis, dan buku berjudul ‘Mind, Self, and Society’ adalah karya terpenting H. Mead. Berikut ini beberapa pokok pandangan teori interaksionis simbolik versi H. Mead, antara lain

Pertama, tentang Tindakan. Dalam menganalisis tindakan, Mead melakukan pendekatan perilaku dan berfokus pada stimulus (pendorong) dan respon. Menurut Mead, ‘stimulus sebagai kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah untuk bertindak’. Mead mengidentifikasi ada empat tahap dasar yang saling berhubungan dalam bertindak, yaitu: (1) tahap impuls, yaitu tindakan yang melibatkan ‘respon panca indera secara cepat/ langsung’. Contoh impuls, adalah rasa lapar dan haus. Respon manusia terhadap stimulus rasa lapar tidak seperti binatang,

karena respon manusia masih melibatkan pikiran dan perasaan; (2) tahap persepsi, dimana pelaku mencari dan bertindak terhadap stimulasi yang berhubungan dengan impuls, pada kasus rasa lapar adalah berbagai cara dilakukan untuk meraih perasaan puas. Orang memiliki kemampuan untuk merasakan atau menerima stimulus melalui mendengar, mencium, mengecap, melihat, meraba. Individu tidak hanya merespon stimulasi eksternal dengan cepat (langsung/ otomatis) tetapi individu memikirkan, menilainya, melihat pengalaman yang lalu, dan menyeleksi stimulus yang ada untuk mencari yang terbaik; dan (3) tahap pelaksanaan, yaitu tahap mengambil suatu tindakan yang memuaskan atau yang dianggap baik dan menyelamatkan hidupnya ke depan. Menurut H. Mead, manusia merupakan pencipta, pelaku, pelaksana dan pengarah diri sendiri dalam tindakan atau interaksi (Turner, J. 1982; Surbakti, R., 1997b) .

Manusia melakukan tindakan sesuatu adalah berdasarkan ‘arti /makna’ yang dimilikinya, sedangkan asal mula munculnya ‘arti/ makna terhadap sesuatu’ adalah dari proses interaksi sosial. Jadi, interaksi simbolik memandang ‘arti / makna’ merupakan produk sosial / hasil modifikasi dari interaksi sosial. Manusia adalah makhluk yang ikut serta dalam berinteraksi sosial dengan dirinya sendiri, dengan membuat indikasinya sendiri, dan memberikan respon pada sejumlah indikasi selama proses interaksi (Campbell, T. 1981; Soeprapto, R., 2002).

Dalam bertindak, individu berusaha untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang diinginkan atau apa yang menjadi tujuannya, menggambarkan arah tingkah lakunya, memperkirakan situasinya, mencatat dan menginterpretasikan tindakan orang lain, mengecek dirinya sendiri, menggambarkan apa yang akan dilakukan dengan faktor-faktor lain. Jadi, bagi Herbert Mead, manusia adalah makhluk aktif, dinamik, dan mampu memodifikasi dan menginterpretasi tindakan dalam proses interaksisosial (Rossides, D. W. 1978; Abraham, F.M. 1982).

Kedua, tentang Isyarat. Menurut Herbert Mead, isyarat adalah mekanisme dasar dalam tindakan sosial dan dalam proses-proses sosial di masyarakat. Ada dua macam isyarat, yaitu: (a) isyarat ‘tidak signifikan’ yaitu tindakan yang muncul karena tidak diawali dengan kesadaran tinggi; dan (b) isyarat ‘signifikan’, yaitu tindakan yang mucul dari kesadaran yang tinggi. Isyarat vokal (bahasa) dalam interaksi sosial adalah sangat penting untuk pengembangan isyarat ‘signifikan’. Jadi, bahasa adalah faktor terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan bahasa berkembanglah ilmu pengetahuan. Atau bahasa merupakan simbol yang signifikan dalam proses interaksi sosial. Dengan menggunakan orientasi pragmatisnya, H. Mead juga melihat ‘fungsi’ dari isyarat pada umumnya dan simbol signifikan pada khususnya. Fungsi isyarat adalah ‘untuk melakukan penyesuaian diri bagi individu dan akan diwujudkan dalam tindakan sosial

tertentu sesuai dengan objek tindakan dalam interaksinya’. Simbol signifikan akan bekerja atau berfungsi lebih baik dalam aktivitas sosial individu dibandingkan isyarat non signifikan (Turner, J. 1982).

Ketiga, tentang pikiran. H. Mead menyatakan bahwa ciri unik pikiran manusia adalah kapasitasnya dalam hal: (1) menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di sekitarnya; (2) melatih beberapa jalan alternatif untuk menyikapi objek tersebut; (3) menghalangi jalan yang tidak tepat, yang dapat berakibat buruk bagi individu. Mead menganggap proses penggunaan bahasa dan simbol sebagai sebuah pelatihan imajinatif; dan (4) pikiran lebih merupakan ‘proses’ daripada struktur.

Sintesa George Herbert Mead: ‘Pikiran, Diri Sendiri, dan Masyarakat’. George Herbart Mead menyatukan konsep mereka dalam sebuah teori perspektif yang koherens yang menghubungkan munculnya pikiran manusia, rasa sosial diri sendiri, dan struktur masyarakat dengan proses interaksi sosial. Mead mengawali sintesanya dengan dua asumsi utama. Pertama, kelemahan biologis manusia mendorong mereka untuk bekerja sama (berinteraksi) dengan orang lain dalam konteks kelompok sosial agar dapat bertahan dalam hidup, dan kedua, aksi atau tindakan antar individu yang diwarnai dengan kerja sama sesama anggota, menyebabkan pertahanan dan penyesuaian diri pada lingkungan mereka akan tetap terjaga dengan baik. Berawal dari asumsi ini, Mead mereorganisasi konsep mereka agar dapat menunjukkan bagaimana pikiran, rasa sosial dan diri sendiri, dan masyarakat muncul dan didukung oleh proses interaksi sosial.

Keempat, tentang ’diri’ (self). Konsep ‘diri’ menurut H. Mead adalah ‘suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain’. Bagi Mead, konsep ‘diri’ terletak pada konsep ‘pengambilan peran orang lain’ (taking the role of the other). Jadi, konsep ‘diri’ merupakan penjabaran ‘diri sosial’ (social self). Oleh karena itu, bagi Mead dan pengikutnya, individu bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat baru yang perilakunya tidak dapat diramalkan. Kesadaran individu adalah pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri, yang memungkinkannya mendefinisikan dirinya sendiri dan keadaannya. Bagi Mead, perilaku manusia tidak terdeterminasi (tertekan atau ditentukan secara mutlak) oleh lingkungan (faktor eksternal) sebagaimana paham kaum positivis (teori fungsional struktural dan teori konflik). Dengan munculnya konsepsi ‘diri’ (self) ini, tindakan individu mengambil konsistensi, dan kapasitas untuk mendapatkan gambaran diri sendiri sebagai objek evaluasi dalam interaksi tergantung pada proses pikiran individu.

Manusia adalah makhluk yang memiliki ‘diri sendiri’ (objek dirinya sendiri), artinya manusia akan melakukan interaksi dengan dirinya sendiri untuk menghadapi dunia luar, manusia akan menginterpretasi apa yang ada di dunia luar sesuai dengan

pikirannya. Menurut H. Mead, ada tiga tingkatan penting pada pengembangan diri, dan dapat meningkatkan konsepsi diri yang lebih stabil. (1) tingkat awal, pengambilan peran dimana gambaran diri dapat ditimbulkan orang terdekat (masa bayi). Dalam permainan, bayi hanya mampu mengenal orang-orang di sekitarnya dalam jumlah terbatas, awalnya mungkin hanya satu atau dua orang yang terdekat. (2) tingkat kedua, seiring dengan pertumbuhan biologis dan praktek pengambilan peran, individu dewasa mampu mengambil peran beberapa orang ditambah orang-orang dalam aktifitas organisasi kelompok; (3) tingkat ketiga, pada pengembangan diri ditunjukkan saat individu dapat mengambil peran ‘penyamarataan sesama’ atau ‘komunitas tingkah laku/ etika’ di masyarakat. Pada tingkat ini, individu terlihat mampu mengartikan perspektif komunitas secara menyeluruh, menangkap simbol-simbol dan menginterpretasi, nilai dan norma dalam berbagai macam interaksi di lingkungan atau masyarakat (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982)..

Kelima, tentang masyarakat. Menurut H. Mead, masyarakat, atau ‘institusi’ adalah menunjukkan proses interaksi yang terorganisasi dan berpola antar individu dan antar kelompok yang beraneka ragam. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu , terutama pada proses evaluasi diri dalam penyamarataan dengan yang lain. H. Mead memandang masyarakat selalu mengalami perubahan secara terus-menerus, karena keberadaan masyarakat tergantung pada kapasitas ‘diri’ individu atau perkembangan pikiran individu yang bersifat sangat dinamik. Masyarakat dapat berubah atau dibangun kembali (rekonstruksi) melalui proses yang ditunjukkan oleh konsep pikiran dan diri sendiri melalui interaksi sosial. Bahwa kehidupan kelompok manusia (masyarakat) adalah sebuah proses dimana objek-objek diciptakan, dikukuhkan, ditransformasikan dan bahkan dibuang menurut pikiran individu. Kehidupan kelompok (masyarakat) dan perilaku manusia akan selalu berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi didalam dunia objek mereka (Surbakti, R., 1997b; Soeprapto, R., 2002).

Menurut H.Mead, memandang bahwa interaksi sosial dalam masyarakat terjadi dalam dua bentuk utama, antara lain: (a) percakapan isyarat (interaksi non simbolik); dan (b) penggunaan simbol-simbol penting (interaksi simbolik). Bagi Mead, interaksi simbolik merupakan interaksi yang sangat penting, dan ada beberapa konsep penting yang terdapat dalam interaksi simbolik, antara lain: (1) interaksi simbolis adalah proses-proses formatif dalam haknya sendiri; (2) dalam proses interaksi individu terus menerus melakukan pengembangan penyesuaian tingkah laku, melalui proses dualisme definisi dan interpretasi; dan (3) dalam pembuatan proses interpretasi dan definisi dari tindakan satu orang ke orang lain adalah berpusat pada diri individu.

Keenam, tentang metodologi. Metodologi H. Mead dalam memahami fenomena sosial adalah seperti Max Weber, yaitu metode interpretif dan introspeksi. Tipologi pandangan Mead antara lain: (1) interaksi sosial meliputi pemikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; (2) melalui bahasa individu dapat mempelajari sikap dan emosi; (3) karena individu memberikan respons yang cukup berarti, kemudian merealisasikannya melalui komunikasi verbal dan nonverbal, kehidupan sosial itu sendiri termasuk ‘saya’ (reaksi terhadap orang lain), dan ‘aku’ (diasumsikan sebagai sikap); (4) kehidupan sosial itu sediri memiliki sebuah aspek kreatif, dinamik dan spontan yang memberikan kontribusi bagi pola sosialisasi yang baru dan mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Dinamiknya (perubahan terus menerus) dalam kehidupan masyarakat karena masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang dinamik dan kreatif (Abraham, F.M. 1982; Turner, J. 1982).

Menurut Kinloch, G. (2005), teori H. Mead tentang masyarakat banyak menimbulkan beberapa perasalahan atau kelemahan antara lain: (1) sintesis analisis antara individu dan masyarakat tidak jelas; (2) kualitas evolusi masyarakat juga sangat umum dan tidak jelas; (3) aspek kreatif dan spontan dari sosial itu sendiri juga hanya dijelaskan secara umum; dan (4) masalah metodologi pendekatan interpretatif- introspektif terus berlanjut sehingga menjadi hambatan bagi para peneliti dalam meyakinkan validasi yang dibuat.

Teori interaksionis simbolik Herbert Blumer

Beberapa asumsi dasar teori Blumer tentang realitas sosial, antara lain: (1) bagi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, telah disiapkan sebuah perbuatan yang berdasarkan mana-makna, yang objeknya terdiri atas dunia mereka. Objek-objek ini terdiri atas tiga tipe utama: fisikal, sosial, dan abstrak; (2) menggambarkan asosiasi sebagai suatu ‘proses ketika (masyarakat) memberi petunjuk antara satu dan lainnya dan menafsirkan indikasi-indikasi lain, seperti tingkah laku manusia yang diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan tindakan sosial terus menguntruksi sebuah proses yang para pelakunya mencatat, menafsirkan dan menilai untuk menghadapi situasi mereka; (4) hubungan secara kompleks tentang tindakan-tindakan yang terdiri atas organisasi, institusi, pembagian tugas kerangka yang menunjukkan saling bergantung. Jadi, asumsi dasar Blumer adalah: (1) tindakan didasarkan pada makna dan objek; (2) tindakan diinterpretasi dan dikonstruksi; (3) tindakan meliputi diri dan peran yang diambil; dan (4) organisasi sosial (masyarakat) itu bersifat dinamik, atau terus berubah-ubah, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh pikiran individu yang bersifat dinamik.

Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain sepanjang hidupnya, dan (c) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Turner, J. 1982; Soeprapto, 2002). Pada dasarnya banyak sudut pandang H. Mead dan H. Blumer tentang fenomena sosial berada pada titik temu pemikiran yang relatif sama, oleh karena itu berikut ini dikemukakan kesimpulan dari beberapa titik kesamaan pandangan kedua teoritikus interaksi simbolik.

Kesamaan H.Mead dan H. Blumer dalam memahami fenomena sosial

Berikut ini merupakan pokok-pokok pandangan teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam masyarakat, antara lain:

1. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’, baik versi Mead maupun Blumer, antara lain: (a) sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’ dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada ‘definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu sendiri’. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan ‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002); dan (b) dalam pandangan teori Interaksionis simbolik H Mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan lingkungannya; Tujuannya; Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan; Aturan-aturan; Peralatannya dan sebagainya. Oleh karena itu memahami manusia harus dengan pendekatan dinamik dan kontekstual serta menyelami pikiran atau pendangannya dalam kehidupan sehari-hari (Rossides, D. W. 1978; Poloma, 1979).

2. Interaksionis simbolik dalam memahami ‘individu’, baik versi Mead maupun Blumer, antara lain: (a) bahwa individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya (tindakan sosial di masyarakat) berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut; (b) ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan fungsional struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai dengan

kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu bersifat aktif bukan pasif (Surbakti, R., 1997b; Ritzer, 2001); dan (c) dalam pandangan teori Interaksionis simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan ditemukan individu dalam proses interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. 3. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang proses interaksi sosial. Baik

versinya Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’ manusia memungkinkan untuk menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial. Kunci dalam proses interaksi sosial adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu yang ‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau antar kelompok individu dalam masyarakat adalah melibatkan suatu pertukaran simbol. Contoh, kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut kata mobil, maka antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran masing-masing (jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil, dan sebagainya) walaupun wujud mobil itu tidak terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam proses interaksi sosial merupakan ‘pertukaran simbol’ (Rossides, D. W. 1978; Ramlan, S., 1997).

4. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol (Turner,J., 1982).. ‘Pikiran’ lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam pandangan fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan ‘Diri’ (self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang sebagai subjek sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya pengalaman sosial. Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil peranan orang lain’ dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam proses interaksi sosial tidak ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan ditentukan oleh faktor internal, yaitu: pikirannya, motivasinya, pengetahuannya, pandangan hidupnya. Jadi, kualitas faktor internal tersebut itulah yang membentuk objek, menilai berdasarkan makna dan memutuskan untuk berbuat berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma, 2000).

5. Interaksionis simbolik dalam memahami tentang ‘Masyarakat’, baik versi Mead maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan

masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik. Masyarakat sebagai penyaji sistem sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya itu sendiri dirumuskan individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang berbeda (Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001; Soekanto, 2002).

6. Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik H. Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang terstruktur, pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah sosok dinamis; (b) Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok selalu berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial, adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk menginterpretasikan situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri; (d) Interaksi sosial, adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa menciptakan pemikiran dan kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua di konseptualisasikan sebagai sebuah proses dari apa yang dia amati selama interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Kinloch, 2005).

Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik (paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simbolik (paradigma definisi sosial) dalam memahami fenomena perubahan sosial budaya antara lain:

1. Bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial budaya. Sedangkan dalam teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu perubahan sosial budaya adalah faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, ekonomi, struktur sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985). 2. Posisi individu menurut teori interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial

budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-budaya melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses interaksi sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik, posisi individu dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif, terdeterminasi oleh struktur

norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang tidak punya kreativitas, semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor eksternalnya’ (Rossides, D. W. 1978; Ritzer, G and Smart, B. (ed). 2001).

F. Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Fenomenologi

Dalam dokumen teori (Halaman 47-56)