• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan teori konflik integratif Collins

Dalam dokumen teori (Halaman 42-46)

D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian

5. Pandangan teori konflik integratif Collins

Tokoh utama dalam upaya membangun ‘teori konflik yang lebih sintesis dan integratif’, adalah Randall Collins (karyanya Conflict Sociology, 1975). Sedangkan beberapa pokok pikiran Randall Collins tentang teori ‘konflik integratif’ antara lain:

a.

Teori konflik integratif Collins lebih condong berorientasi ‘mikro’, sedangkan

konflik Marx dan Dahrendorf lebih bersifat ‘makro’. Jadi, Collins telah memberi ‘kontribusi penting bagi teori konflik versi Marx, khususnya dalam menambah analisis fenomena sosial-budaya pada tingkat mikro, dan dia mengatakan,

bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari’ di masyarakat.

b.

Perhatian terhadap konflik tidak akan bersifat ideologis (politis). Bahwa konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial. Konflik Marx dan Dahrendorf memulai dan tetap menganalisis level kemasyarakatan (makro), sedangkan Collins lebih mendekati konflik dari sidut pandang individu (mikro), karena akar atau orientasi teori Collins adalah ‘fenomenologi dan etnometodologi’.

c.

Marx dan Dahrendorf memandang, bahwa struktur sosial berada di luar (eksternal), dan memaksa atau menentukan pihak aktor (individu) dalam proses-proses sosial-budayanya, sedangkan Collins cenderung melihat struktur sosial tidak dapat dipisahkan dari aktor (individu) yang berbuat atau membangunnya (internal). Struktur sosial oleh Collins lebih sebagai ‘pola interaksi’, ketimbang sebagai ‘kesatuan eksternal dan imperatif’ (seperti pandangan Marx dan Dahrendorf).

d.

Menurut Collins, teori konfliknya sedikit sekali dipengaruhi oleh Marxian, dan justru lebih banyak dipengaruhi pandangan Weber, Durkheim dan terutama teori fenomenologi dan teori etnometodologi.

e.

Tentang stratifikasi sosial. Collins lebih memusatkan pada stratifikasi sosial, karena stratifikasi sosial adalah institusi yang menyentuh banyak ciri kehidupan, bidang: ekonomi, politik, keluarga, gaya hidup, sosial dan sebagainya. Jadi, proses analisis Collins terhadap fenomena sosial adalah lebih tertuju pada fenomena ‘mikrososiologi stratifikasi’.

f.

Collins mengkritik teori fungsionalisme dan Marxian, antara lain: (1) teori fungsional struktural dan teori konflik Marx dianggap sebagai teori yang gagal menjelaskan stratifikasi sosial; (2) teori fungsional struktural dan teori konflik Marx, dalam penjelaskan fenomena sosial bersifat monokasual untuk kehidupan yang multikasual (kompleks). Meskipun demikian pandangan R. Collins tetap ada sebagian yang dipengaruhi oleh pandangan Marx.

g.

Teori stratifikasi konflik Collins. Meski Collins pola pikirnya dilatarbelakangi oleh pandangan Marxian dan Weber, tetapi teorinya tentang stratifikasi konflik lebih menyerupai teori fenomenologi dan etometodologi. Asumsi Collins adalah (1) setiap orang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga mudah berkonflik dalam prose-proses sosial di masyarakat; (2) setiap orang dalam hidup mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, sehingga dalam kehidupan kelompok atau masyarakat sering terjadi beragam benturan kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

h.

Pendekatan konflik Collins terhadap stratifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip, yaitu: (1) bahwa manusia hidup dalam dunia subyektif yang dibangun sendiri (faktor internal); (2) orang lain mempunyai kekuasaan atau pengaruh untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subyektif sesorang individu (faktor eksternal); dan (3) orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Ketiga sebab inilah yang memunculkan konflik antar individu, dan konflik bersifat integratif.

i.

Berdasarkan tiga pendekatan tersebut Collins mengembangkan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan pada stratifikasi sosial (Collins, yakin lima prinsip itu bisa juga diterapkan disetiap bidang kehidupan sosial budaya), yaitu: (1) bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak (hal ini menunjukkan Collins lebih menyukai gaya analisis material Marxian daripada gaya abstraksi fungsionalisme); (2) bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi (misalnya, lingkungan fisik, mode komunikasi, senjata, peralatan), namun Collins tetap memandang sumber daya masing-masing aktor beragam; (3) bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mengeksploitasi kelompok sumber daya yang terbatas; (4) teoritisi konflik harus melihat fenomena kultural seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan; (5) sosiolog tidak boleh berteori saja tentang stratifikasi, tetapi juga harus menelitinya secara empiris, dan bila memungkinkan secara komparatif. Hipotesis harus dirumuskan dan diuji secara empiris.

j.

Dari kelima prinsip analisis konflik tersebut, Collins mengemukakan tiga proposisi tentang hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial (konflik integratif), antara lain: (1) pengalaman memberikan dan menerima perintah, adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu sehari-hari; (2) makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan diri dengan tujuan oragnisasi serta dengan mengatasnamakan organisasi dia menjustifikasi perintahnya; dan (3) makin sering orang menerima perintah, makin ia patuh , makin fatalistis, makin terasing dari tujuan organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik dan amoral (Ritzer dan Goodman, 2004).

k. Collins juga memandang: (1) organisasi adalah arena untuk bersaing; (2) penggunaan paksaan menimbulkan upaya yang kuat untuk menghindari menjadi

pihak yang yang dipaksa; (3) Bahwa penawaran pemberian imbalan secara material adalah strategi yang lebih baik.

6.

Perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik

Menurut para ahli ada beberapa perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural dan teori konflik dalam memahami fenomena sosial di masyarakat. Perbedaan tersebut dapat dilustrasikan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 2.2. Tentang perbedaan teori fungsionalisme struktural dan teori Konflik:

No Konsep fenomena sosial Perspektif Fungsional Struktural Perspektif Konflik 01 Kehidupan sosial (masyarakat)

Masyarakat cenderung untuk mempertahankan sistem kerja menuju kearah

keseimbangan (equilibrium), dan relatif terintegrasi, keserasian fungsi sosial

Masyarakat cenderung untuk berada dalam konflik terus menerus antar individu/ kelompok dan terus dalam ketegangan.

02 Stratifikasi sosial

Lapisan sosial diperlukan semua orang, untuk menentukan status dan peran, hak dan kewajiban masing-masing individu dalam masyarakat. Lapisan sosial dapat digunakan sebagai media selektif atas keahlian individu, media kompetisi menuju status lebih tinggi Setiap lapisan membangun pola gaya hidup dan

perasaan yang berbeda.

Lapisan sosial tidak

diperlukan oleh semua orang, karena menimbulkan

diskriminasi hidup Lapisan sosial dapat

menghambat keahlian, bakat lapisan yang bawah

Sekelompok orang yang punya kepentingan ekonomi dan kekuasaan akan

berkembang untuk mengeksploitasi lapisan bawah

03 Diferensiasi sosial

Kondisi objektif kehidupan yang menampilkan serba keberagaman, untuk menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan norma yang disepakati Tidak dapat dihindarkan, terutama pada masyarakat yang kompleks, disebabkan beragam keahlian, profesi individu dalam masyarakat

Kondisi subjektif kehidupan, yang menunjukkan adanya lapisan elite untuk

memaksakan dan

melanggengkan kekuasaan/ kepentingannya pada yang lemah

Tidak perlu dan tidak adil. Terutama disebabkan perbedaan dalam kekuasaan. Jadi,perlu ditempuh jalan penyusunan masyarakat sosialistis 04 Perubahan

sosial

Timbul dari perubahan kebutuhan fungsional masyarakat yang terus menerus. Bentuk perubahan

Dipaksanakan oleh suatu kelas ke kelas lainnya untuk ke pentingan kelas elite. Atau kelas proletar melakukan

bersifat evolusi, dan selalu mengarah ke seimbangan sistem

gerakan revolusi untuk merubahan dominasi kelas borjuis

05 Tertib Sosial (social control)

Hasil usaha tidak sadar dari anggota masyarakat untuk mengorganisir kegiatan mereka secara produktif Kehidupan sosial tergantung kepada solidaritas bersama

Dihasilkan dan di

pertahankan oleh pemaksa yang ter organisir oleh kelas yang dominan.

Kehidupan sosial selalu menghasilkan suatu oposisi, karena ke hidupan sosial melahir kan konflik struktural 06 Nilai-nilai

dalam kehidupan sosial

Konsensus atas nilai-nilai, sebagai pemersatu anggota masyarakat (norma- nilai dasar hidup)

Kehidupan sosial melibatkan komitmen/ konsensus

bersama untuk hidup berkelompok

Kepentingan yang bertentangan akan

memecahbelah masyarakat. Konsensus nilai, hanyalan & alat kaum penindas (elite). Kehidupan sosial penuh dorongan kepentingan (dasar hidup) untuk menguasai 07 Lembaga2

sosial

Berfungsi menanamkan nilai-nilai umum (disepakati bersama) demi keserasian fungsi (integrasi).

Berfungsi menanamkan nilai dan kesetiaan yang

melindungi kepentingan kaum elite yang punya hak

istimewa 08 Hukum dan

pemerintahan

Menjalankan peraturan yang mencerminkan kesepakatan (konsensus) nilai-nilai masyarakat

Menjalankan peraturan yang dipaksakan oleh kelas dominan untuk melindungi hak istimewanya

09 Sistem sosial Sistem-sistem sosial diintegrasikan dalam kehidupan kelompok. Dan sistem sosial cenderung untuk bertahan lama

Sistem sosial tidak

terintegrasi dan ditimpa oleh kontradiksi-kontradiksi. Dan sistem sosial cenderung untuk berubah

( Horton & Hunt, 1996; Craib, 1992).

Dalam dokumen teori (Halaman 42-46)