• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf

Dalam dokumen teori (Halaman 36-39)

D. Fenomena Sosial-budaya Dalam Perspektif Teori Konflik dan Neo-Marxian

3. Kritik terhadap teori konflik Marx dan Dahrendorf

Menurut para ahli, ada beberapa titik kelemahan pandangan Karl Marx dalam memahami fenomena sosial, antara lain:

a. Marx terlalu menekankan ‘determinisme ekonomi’ (material) dalam teorinya, padahal faktor ekonomi tidak selalu menjadi ‘kunci utama’ memahami fenomena sosial-budaya dan politik di masyarakat yang sangat dinamik dan kompleks. b. Marx terlalu menekankan bahwa perubahan sosial itu muncul sebagai ‘akibat

perjuangan kelas’, padahal banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosial-budaya, tidak hanya karena perjuangan kelas saja, masih ada kepentingan atau aspek-aspek lain, misalnya faktor: keyakinan, ideologi, budaya, psikhologis, dan sebagainya.

c. Marx tidak memperhitungkan terjadinya ‘kelas baru’ dalam proses modernisasi (kapitalis modern), yaitu kelas menengah (para profesional, teknisi, dan sebagainya) yang mampu menjembatani dua kepentingan yang berbeda yaitu, antara kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas baru ini muncul bukan semata-mata faktor material, tetapi karena ‘keahlian, kemampuan, ketrampilan atau profesionalnya’.

d. Kesadaran kelas (class conciousness) yang oleh Marx dianggap dapat muncul diantara kaum proletar karena tertindas, dalam realitasnya banyak ‘kesadaran kelas’ tidak muncul secara murni hanya dari kaum proletar yang tertindas, yaitu kaum ‘cerdik cendekia’, bahkan ada juga kesadaran dari kaum proletar yang tertindas tersebut sifatnya adalah kesadaran palsu (false consicousness), karena

ketika sebagian kaum proletar yang berhasil naik kelas elit justru dia berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk kelasnya (palsu).

e. Marx kurang memperhatikan ‘peranan agama’ atau tokoh agama sebagai penggerak atau motivator dalam proses perubahan dalam masyarakat. Dalam realitasnya sangat banyak bukti yang menunjukkan bahwa peran tokoh agama adalah sangat sentral untuk menjadi aktor penggerak terjadinya perubahan sosial budaya di masyarakat

f. Perubahan sosial dan pergolakan sosial, dalam realitas yang terjadi di masyarakat, tidak hanya disebabkan oleh konflik antar kelas yang berbasis kepentingan ekonomi (materi). Disamping itu apa yang diramalkan Marx, bahwa ‘kapitalisme dunia akan runtuh dan digantikan sosialisme komunis’ (masyarakat tanpa kelas) sampai sekarang belum terbukti. Hal ini membuktikan bahwa pandangan Marx bersifat ‘ahistoris’ atau mengingkari realitas sejarah..

g. Hampir tidak mungkin dalam suatu masyarakat, hanya ada konflik, dan konflik sebagai sumber perubahan, tanpa ada struktur wewenang atau mekanisme pengatur (penguasa), yang mengatur kehidupan masyarakat yang ‘cenderung integratif dan konflik’, karena sifat dasar masyarakat adalah, ‘adanya integrasi dan konflik’. Jadi, pandangan Marx bertentangan dengan realitas karakter dasar sosial budaya di masyarakat yang selalu ada integrasi dan konflik.

h. Marx mencampuradukkan konsep sosiologis yang bersifat empiris (dapat diuji kebenarannya) dengan konsep yang bersifat filosofis. Konsep hak milik yang dikemukakan Marx terlalu menekankan pada ‘hak milik dalam arti sempit’ (hak milik secara hukum atau pemodal pribadi), padahal dalam masyarakat modern konsep ‘hak milik suatu industri bisa luas atau kompleks’, yaitu manajer, masyarakat, buruh (saham masyarakat).

i. Marx tidak melihat bahwa dalam kelas juga terjadi perkembangan adanya ‘spesialisasi kelas’ (dekomposisi kelas), yaitu dalam kelas proletar ada dua kelas: kelas proletar murni (kelas buruh) dan kelas lumpen proletar (kelas buruh tapi ahli/ profesional dengan gaji tinggi). Marx sangat keliru dalam memandang bahwa perkembangan kekuatan produksi akan mengarah pada homogenitas internal kaum proletariat, dalam kenyataannya tidak pernah ada homogentitas internal proletariat, yang terjadi adalah heterogenitas internal proletariat, karena adanya un-skill labour, semi skill labour dan skill labour atau profesional (Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

Sedangkan beberapa teoritikus ilmu sosial yang mengemukakan kritik terhadap teori konflik versi Dahrendort, antara lain: Weingart (1969), Hazelring

( 1972), dan Turner (1973). Dari beberapa kritik para ilmuwan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.

Model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan. Jadi, teori konfliknya merupakan terjemahan yang tidak memadai dari teori Marxian.

b.

Teori konflik Dahrendorf lebih menyerupai dengan fungsionalisme struktural daripada dengan teori Marxian. Dahrendorf dalam teorinya menekankan: ‘Asosiasi yang dikoordinir secara paksa; Posisi dan peran secara langsung mengkaitkan dengan fungsionalisme struktural’.

c.

Teori konflik hampir seluruhnya bersifat ‘makroskopik’ (sama dengan fungsionalisme struktural) dan akibatnya sedikit sekali yang ditawarkan kepada kita untuk memahami pikiran, motivasi, keyakinan, pandangan dan tindakan individu (mikroskopik).

d.

Teori konflik Dahrendorf tidak memadai karena masing-masing hanya berguna untuk menerangkan sebagian saja (sisi fenomena konflik) dari kehidupan sosial (Johnson, 1981; Craib, 1984; Ritzer dan Goodman, 2004).

Menurut para ahli, ada ada beberapa sisi perbedaan antara teori konflik Marx dengan teori konflik Dahredorf, sebagaimana dalam bagan berikut.

Bagan 2.1. Tentang Perbedaan teori konflik Marxis dan Dahrendorf:

No Teori Konflik Marx Teori Konflik Dahrendorf

01 Perubahan terjadi secara revolusi. Dan masyarakat terus dalam situasi konflik

Perubahan belum tentu terjadi karena revolusi, tetapi secara gradual, karena ada beberapa hal yang mengalami disfungsi

02 Sumber konflik adalah kepemilikan sarana produksi. Atau faktor ekonomi (materi) sebagai infra strukturnya

Sumber konflik adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi bukan hanya materi (ekonomi)

03. Kelompok Lumpen Proletariat akan menjadi penggerak terjadinya konflik dalam kelompok,

Kelompok Lumpen Proletariat tidak akan menjadi penggerak konflik bila proses rekrutmennya acak.

04. Konflik akan berakhir kalau terjadi masyarakat tanpa kelas (sosialis komunis)

Konflik berjalan terus menerus sepanjang ada masyarakat.

Para Sosiolog membedakan dua kategori besar dalam teori konflik, yaitu:

a.

Konflik endogenous (konflik dari dalam) masyarakat, yang sebab terjadinya

secara analitis dibedakan menjadi: (1) keinginan berubah secara inheren dari warga masyarakat; (2) distribusi kebutuhan atau kepentingan yang beragam

terhadap sesuatu yang dihargai dalam masyarakat; (3) konflik nilai didalam masyarakat yang merupakan akumulasi dari inovasi, revolusi teknologi, krisis lingkungan dan orientasi nilai baru; (4) konflik kewenangan (otoritas) didalam kelompok; (5) konflik individual dan konflik didalam masyarakat.

b.

Konflik eksogenous (konflik dari luar) masyarakat, yang sebab terjadinya secara analitis adalah: (1) adanya peperangan antar masyarakat; (2) terjadinya invasi kultural, atau penjajahan politik dari luar; dan (3) konflik ideologi, seperti kapitalisme, komunisme, demokrasi, fundamentalisme antar masyarakat atau banga.

c. Uraian tentang teori konflik Marx dan Dahrendorf tersebut di atas dapat disimpulkan dengan beberapa asumsi dasar perspektif konflik tentang ‘perubahan sosial-budaya’ sebagai berikut: (a) setiap masyarakat senantiasa dalam proses perubahan, perubahan dianggap inheren dalam masyarakat (Spencer, M. 1982; Horton and Hunt, 1984); (b) setiap elemen masyarakat memberikan andil untuk terjadinya konflik dan perubahan sosial-budaya. Masyarakat bukanlah sebuah sistem yang berada dalam situasi equilibrium, melainkan terbentuk karena adanya paksaan dan tujuan tertentu (Zeitling, 1973; Surbakti, R., 1997; Turner, B., 2000); (c) konflik endogenous berasal dari kegagalan integrasi dan struktural yang sama. Konflik terjadi karena distribusi penghargaan tidak sama dan paksaan dari pihak superordinat dan kurangnya nilai konsensus dalam kelompok; (d) sumber konflik adalah karena adanya ‘kepentingan ekonomi’ (menurut Marx) dan ‘beragam kepentingan’, misalnya: kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan aspek sosial (menurut Dahrendorf); (e) masyarakat selalu berubah setiap saat dan perubahan sosial itu terjadi di mana-mana; (f) konflik meskipun inheren dalam struktur sosial, tidak selamanya merusak dan bersifat nyata (manifest), namun juga bersifat tersembunyi (latent). Konflik bisa ditekan dan dikontrol, tetapi tidak bisa dihilangkan oleh siapapun dalam proses kehidupan masyarakat (Blowers, 1976; Rossides, D. W. 1978; Turner, J., 1982).

Dalam dokumen teori (Halaman 36-39)